Anda di halaman 1dari 45

Makassar, 22 November 2018

LAPORAN TUTORIAL MODUL SESAK


BLOK RESPIRASI
“SKENARIO 1”

DOKTER PEMBIMBING

Dr. dr. Sri Vitayani, Sp.KK

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1 PBL

FAATHI MA RUF CHOMO (11020130159)


RIZKIANA HUSNIA (11020170016)
YEYEN ANUGRAH. H (11020170037)
A.AHMAD FITRAH R.N (11020170045)
HASNIA (11020170073)
NUR SAKINAH SAHRO (11020170097)
MUHAMMAD FATUR R (11020170109)
NURUL FATIMAH (11020170132)
NURFADILLAH SYAM (11020170151)
ASMIN (11020170167)
AZIMAR KHATIMAH. Z (11020170170)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna memacu kami
menciptakan karya-karya yang lebih bagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini.

Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi dalam


menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan dan
pengorbanan dengan limpahan rahmatdari-Nya. Aamiin yaa Robbal A’lamiin.

Makassar, 9 November 2018

Kelompok 1
SKENARIO 1

Seorang perempuan 16 tahun dating ke IRD dengan keluhan sesak yang dialami
sejak 3 jam terakhir. Keluhan ini diawali demam selama 3 hari dan batuk dengan dahak
yang sulit keluar. Pasien merasa terganggu tidurnya karena sesak. Pasien memiliki riwayat
alergi terhadap debu. Pasien memiliki riwayat menggunakan obat semprot

KATA SULIT

KATA KUNCI

 Perempuan 16 tahun
 Keluhan sesak 3 jam terakhir
 Demam 3 hari
 Batuk dahak susah keluar
 Tidur terganggu
 Alergi terhadap debu
 Menggunakan obat semprot

PERTANYAAN PENTING

1. Bagaimana klasifikasi dan mekanisme sesak ?


2. Apa faktor resiko dan pemicu yang menyebabkan sesak ?
3. Bagaimana patomekanisme gejala dari skenario ?
4. Apa saja langkah - langkah diagnosis ?
5. Apa saja diferensial diagnosis dari skenario ?
6. Apa saja penyakit yang ditandai dengan gejala sesak pada orang dewasa dan anak
– anak ?
7. Bagaimana persfektif Islam yang berkaitan dengan skenario ?
JAWABAN PERTANYAAN

1. Bagaimana klasifikasi dan mekanisme sesak?


DYSPNEA (SESAK NAPAS)

Mekanisme Sentral

Bagaimana informasi yang berasal dari sistem pernapasan perifer diterjemahkan ke dalam
sensasi dyspnea? Studi modalitas sensorik terkait, seperti deteksi / persepsi beban
pernapasan tambahan, telah memberikan beberapa wawasan. Deteksi beban pernapasan
tambahan mungkin terjadi ketika gaya otot inspirasi melebihi 10% hingga 20% dari
kekuatan otot yang diperlukan untuk inspirasi yang diturunkan secara normal.37 Pada
pasien dengan penyakit paru kronis dan derajat ekuivalensi mekanis yang setara, mereka
dengan dyspnea memiliki signifikansi dorongan neuromuskular pusat inspirasi yang lebih
besar daripada pasien tanpa dispnea; lebih jauh lagi, respon ventilasi untuk tingkat pusat
penggerak tertentu secara signifikan lebih sedikit pada pasien dengan dyspnea,
menunjukkan bahwa itu adalah gangguan antara pusat pengendara neuromuskular dan
respon pernafasan (yaitu, ventilasi) yang berhubungan dengan dyspnea.1

Namun, meskipun aktivitas otot pernafasan setidaknya penting untuk persepsi dyspnea,
mechanoreceptors dinding dada, serabut vagal C, dan kemoreseptor semua memainkan
peran mendasar dalam genesis dyspnea. Karena kesulitan yang melekat pada studi
neuroanatom pada manusia, sedikit yang diketahui tentang pemrosesan saraf pusat
informasi paru aferen. Serat Vagal C membawa informasi aferen dari proyek sensor perifer
ke nucleus tractus solitarius (NTS) di medula.38 Demikian pula, area chemoreceptive
sentral diduga memproyeksikan neuron orde kedua ke NTS3; memang, neuron NTS adalah
kemoreseptor sentral yang diduga sendiri dan NTS dianggap sebagai situs relai kunci
untuk semua sinyal aferen pernapasan ke pusat yang lebih tinggi. Pemrosesan sinyal pada
sinapsis dalam NTS, yang menggabungkan aktivitas di sirkuit lokal dan sinyal efferen
hulu, menentukan output informasi sensorik dari paru-paru dan saluran udara ke semua
sinapsis hilir di jalur refleks, termasuk daerah otak yang lebih tinggi.38,39

Masukan aferen anatomi dari NTS ke talamus telah didokumentasikan pada tikus, 40 dan
pada monyet talamus diaktifkan oleh saraf vagus aferen.41 Pada kucing dan tikus, stimulasi
saraf vagus serviks menghasilkan aktivasi korteks somatosensori dan korteks insular.43
Jadi, informasi aferen yang ditularkan melalui vagus ke NTS diyakini naik melalui jalur
talamokortikal ke viscerosensori korteks insular.44 Hubungan langsung antara NTS dan
sistem limbik juga telah diusulkan.45

Pada manusia, studi tentang potensi yang ditimbulkan terkait pernapasan menunjukkan
bahwa otak depan diaktifkan dengan oklusi inspirasi.46 Namun, banyak sensasi pernapasan
yang dipelajari mungkin atau mungkin tidak terkait dengan dyspnea. Memang, daerah-
daerah yang berbeda dari korteks dirangsang oleh rangsangan pernafasan yang berbeda:
Beban inspirasi mempengaruhi girus frontal inferior kiri, 47 sedangkan beban ekspirasi
mempengaruhi girus frontalis kanan depan, 48 dan hiperkapnia mengaktifkan girus frontal
tengah.49 Meskipun studi ini dari pernafasan yang berbeda. sensasi telah memberikan
informasi yang berguna, ini mungkin tidak spesifik untuk dyspnea. Banzett dan rekan, 50
menggunakan pencitraan otak fungsional dengan PET scan, menunjukkan bahwa insula
anterior diaktifkan ketika kelaparan udara diinduksi dengan membatasi volume tidal.51
Aktivasi saraf terjadi di insula anterior kanan, vermis serebelum, dan pons medial ketika
pernafasan ketidaknyamanan diinduksi oleh pemuatan resistif eksternal.52

Studi tambahan oleh von Leupoldt dan rekan 53,54 dan Schön dan rekan55 menggunakan
MRI fungsional mengkonfirmasi bahwa disppnea yang diinduksi berhubungan dengan
aktivasi saraf di insula anterior kanan dan pada amigdala kanan, dan persepsi dispnea dan
nyeri tumpul dengan lesi neurologis dalam hal ini. area.55

Dengan demikian, informasi yang tersedia saat ini memungkinkan pemahaman umum
mekanisme saraf dyspnea (Gambar 2).
Sensasi tampaknya memiliki dua sensor perifer primer — kemoreseptor dan serabut saraf
vagal; kemoreseptor mungkin termasuk tubuh aorta dan karotid dan / atau serabut saraf
vagal. Informasi aferen tambahan diberikan oleh mechanoreceptors dinding dada dan
reseptor peregangan vagal. Informasi saraf aferen disampaikan kepada NTS di medulla
dan dari sana, mungkin melalui talamus, ke korteks insular dan sistem limbik, terutama
insula anterior, dan korteks sensorimotor. Dengan demikian, dapat dispekulasikan bahwa
dyspnea terjadi ketika ada peningkatan di atas tingkat biasa informasi aferen refleks dari
sensor perifer, yang diproses di insula dan jaringan kortikal dan menghasilkan output
neural ke sistem pernapasan; Umpan balik aferen pada efek dari output neural ini (yaitu,
perubahan volume pulmonal, aliran udara, dan ventilasi), diberikan oleh peregangan
pulmonal dan reseptor lain yang dipersarafi oleh saraf vagal dan oleh mechanoreceptors
dinding dada. Informasi ini dapat diterjemahkan secara klinis: Jika output neural sentral
tidak menghasilkan hasil yang diharapkan (aliran udara atau ventilasi), baik karena
kelumpuhan otot atau mekanika paru-paru abnormal (misalnya, pada COPD, asma atau
penyakit paru restriktif), sensasi dispnea adalah dihasilkan. Pada asma dan COPD
hubungan antara dorongan saraf inspirasi dan keluaran ventilasi, dan karena itu dispnea,
dapat memburuk (peningkatan kapasitas residual fungsional) pada latihan dan meningkat
dengan bronkodilatasi. Ini mengasumsikan bahwa pusat kortikal memiliki memori yang
sudah ada sebelumnya dari input aferen "normal" dan respon sistem pernapasan "normal",
dalam hal upaya yang diperlukan untuk mencapai aliran udara atau ventilasi yang
diberikan. Luasnya ketidaksesuaian antara informasi aferen / eferen baru dan memori yang
sudah ada sebelumnya, ("perubahan dalam hubungan antara pusat pernapasan drive dan
output, yaitu, ventilasi atau usaha")2 menentukan intensitas dyspnea. Penelitian lanjutan
pada sensor perifer dan jalur saraf pusat memegang janji klarifikasi lebih lanjut mekanisme
sensasi umum ini.

Reseptor Perifer

Mekanoreseptor Dinding Dada

Otot spindel dan organ tendon di otot-otot pernafasan bertindak sebagai mekanoreseptor
Mereka merasakan ketegangan dan kontraksi otot dan diinervasi melalui sel tanduk
anterior neuron motor spinal dan memproyeksikan ke korteks somatosensori. Diafragma
kaya dengan organ tendon tetapi memiliki beberapa sel spindel; mereka dipersarafi oleh
saraf frenikus (Gambar 1).
Peran dinding dada dan diafragma mekanoreseptor dispnea yang telah diperiksa dalam
studi setelah transeksi atau blok dari sumsum tulang belakang. Anestesi spinal untuk T1
mengungkapkan tidak ada efek pada sensasi CO2 rebreathing, menahan nafas, atau
kemampuan load-detection.8 Pada quadriplegics tingkat tinggi (C1-C2) (yaitu, dengan
denervasi dari kedua dinding dada dan diafragma),9 kemampuan untuk mendeteksi
perubahan volume paru masih ada, menunjukkan bahwa informasi aferen paru melalui
saraf vagus dirasakan di korteks sensorik. Demikian pula, pada pasien dengan transeksi
sumsum tulang belakang di C3, kemampuan untuk mendeteksi beban resistif tambahan
adalah sama seperti dalam kelompok subjek normal.10 Singkatnya, blok atau transeksi
sumsum tulang belakang tidak mencegah kemampuan untuk mendeteksi perubahan
volume paru-paru atau mengubah sensasi yang disebabkan oleh peningkatan PCO2,
menahan nafas, atau menambahkan beban pernafasan.

Getaran dinding dada telah dipelajari untuk mengevaluasi peran mekanoreseptor. Getaran
di fase dinding dada (yaitu, getaran otot inspirasi selama inspirasi dan otot ekspirasi selama
ekspirasi) menghasilkan pengurangan dyspnea yang diinduksi oleh hiperkapnia dan
pemuatan resistif pada subjek normal dan pasien dengan COPD, sedangkan getaran di luar
fase meningkatkan dyspnea.11 Hasil ini menunjukkan bahwa mechanoreceptors dinding
dada diinervasi melalui neuron tulang belakang memiliki efek modifikasi penting pada
dyspnea, tetapi aktivitas otot pernapasan tampaknya tidak penting untuk persepsi dyspnea
(lihat "Kemoreseptor").

Kemoreseptor

Pada subjek normal, induksi hiperkapnia atau hipoksemia berat menyebabkan sesak napas.
Namun, pasien dengan hiperkapnia dan / atau hipoksemia tidak selalu mengalami
dispneik. Bukti dominan menunjukkan bahwa hiperkapnia dapat menginduksi sesak napas
di hadapan denervasi efektif di C1, dan hiperkapnia dapat dirasakan dengan adanya
transeksi kabel di C1.5 Penting untuk dicatat bahwa dalam penelitian ini jalur aferen dari
saraf sensoris saluran nafas melalui saraf vagus masih utuh. Pada subjek normal dan pasien
dengan penyakit paru-paru, hiperpnea sukarela untuk menyesuaikan refleks, hiperpnea
yang diinduksi CO2 menyebabkan sedikit atau tidak ada sesak napas12; sehingga sesak
napas yang berhubungan dengan hiperkapnia tampaknya tergantung pada tingkat
kemostimulasi refleks yang efektif.

Penelitian pertama tentang efek paralisis neuromuskular induksi pada sensasi pernafasan
oleh Campbell dan rekan-rekannya melaporkan tidak adanya sensasi dyspneic selama
menahan nafas dan hiperkapnia setelah paralisis otot pernapasan yang diinduksi oleh
curare. Namun, penelitian selanjutnya, 6,14 menemukan bahwa dispnea yang diinduksi
oleh hiperkapnia dipertahankan setelah blokade neuromuskular total. Studi-studi ini tidak
menjelaskan apakah sumber dispnea yang diinduksi CO2 terletak pada kemoreseptor
perifer atau sentral. Sumber lain yang mungkin adalah serat vagus C bronkopulmonalis,
yang mengandung saluran ion penginderaan asam.15 Pada hewan, CO2 merangsang
bronkopulmoner vagal aferen C-fibre dengan adanya peradangan,15 dan mungkin stimulasi
reseptor-reseptor ini dengan peningkatan CO2. memberikan sinyal untuk dyspnea.

Induksi hipoksia akut pada subjek normal selama latihan16 tampaknya meningkatkan
intensitas sesak napas tanpa adanya efek spesifik pada ventilasi. Selama hipoksia
ketinggian tinggi, intensitas sesak napas yang diinduksi oleh latihan tampaknya terutama
berkaitan dengan tingkat ventilasi yang distimulasi secara refleks daripada tingkat
hipoksia per se.17 Pada pasien dengan dispnea dengan obstruksi saluran napas kronis, akan
tetapi, tidak jelas apakah sesak napas yang diinduksi oleh latihan adalah ameliorated
dengan oksigen tambahan.18

Dengan demikian, berat bukti saat ini menunjukkan bahwa hiperkapnia adalah
dyspnogenic pada subyek normal dan tergantung pada tingkat stimulasi refleks dari pusat
pernapasan; sumber sinyal dyspnogenic, apakah dari kemoreseptor perifer, serabut vagal
C, atau kemoreseptor pusat, tidak jelas. Apakah hipoksia adalah dispnogenik per se tetap
tidak pasti.

Reseptor Paru-Paru

Informasi sensorik yang timbul dari paru-paru ditularkan oleh saraf vagus ke batang otak
(Gambar 2).
Saraf-saraf ini terdiri dari serat mielin dan unmyelinated dan yang terakhir melakukan>
75% dari lalu lintas saraf aferen di saraf vagus.19 Reseptor sensoris di paru-paru terdiri
dari reseptor beradaptasi cepat, perlahan beradaptasi reseptor, dan Ad-serat polymodal di
saluran udara besar. (yang terakhir terutama di laring dan trakea), semua diinervasi oleh
serat myelinated saraf vagus, 20,21 dan serat vagal C unilelinated, hadir di seluruh saluran
pernapasan.

Reseptor yang beradaptasi dengan cepat dan reseptor beradaptasi lambat terutama terlibat
dalam peregangan paru dan refleks batuk, modulasi kaliber jalan napas dan pola
ventilasi20; meskipun mereka tampaknya tidak memainkan peran utama dalam genesis
dyspnea, informasi aferen pada perubahan volume paru-paru yang mereka berikan ke
pusat pernapasan memungkinkan kesadaran tingkat ventilasi dan "peregangan" yang
terjadi di paru-paru, yang mungkin merupakan bagian penting dari keseluruhan sensasi
dyspnea.

Serat C yang tidak bermyelin telah dipostulasikan sebagai sumber dispnea yang mungkin
selama beberapa dekade.22 Penelitian pada manusia 23,24 menunjukkan bahwa sensasi
dyspneic menurun dengan blokade vagal atau bagian, yang melibatkan saraf vagal pada
sensasi ini. Di sisi lain, penelitian menggunakan rangsangan kimia ke serat C telah
memberikan hasil yang bertentangan. Capsaicin dikenal untuk merangsang reseptor
transien reseptor vanilloid tipe 1 (TRPV1) potensial yang diekspresikan pada serat C. 20.25
Setelah injeksi capsaicin intravena, Winning et al26 mencatat sensasi "mentah, membakar"
perasaan; tidak ada subjek yang dilaporkan merasa sesak napas. Sensasi ini diblokir
dengan menghirup anestesi aerosol sebelumnya. Capsaicin yang dihirup menginduksi
batuk tetapi belum didokumentasikan memiliki efek dyspnogenic. Phenyldiguanide
adalah agonis reseptor 5-hydroxytryptamine subtipe 3 (5-HT3) selektif yang dapat
menyebabkan rangsangan pada serabut C paru. Namun, penelitian dengan
phenyldiguanide27 belum melaporkan adanya sesak napas. Akhirnya, lobeline diyakini
telah menstimulasi serabut vagal C27; Namun, injeksi IV lobeline pada manusia
menghasilkan batuk dan sensasi ketidaknyamanan pernapasan yang dirujuk ke
tenggorokan dan dada bagian atas, 28 tetapi sensasi sesak napas tidak diyakini terkait
dengan stimulasi lobalis dari serabut C.

Sebaliknya, dalam serangkaian penelitian pada manusia 30-32 kami telah menunjukkan
bahwa adenosin IV adalah dyspnogenic tetapi tidak menyebabkan batuk atau
bronkokonstriksi. Efek dyspnogenic ini meningkat pada asma31 dan dilemahkan oleh
lidocaine32 yang dihirup atau pretreatment dengan theophylline. Penelitian ini dan data
hewan sebelumnya 33,34 menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa adenosin
memberikan efek dyspnogenic dengan mengaktifkan serat vagal C oleh aksinya pada
reseptor adenosin A1 dan mungkin reseptor A2.

Alasan untuk perbedaan yang jelas dalam efek dari berbagai zat yang dikenal untuk
bertindak pada serat C udara, dan fakta bahwa hanya adenosin tampaknya dispnnogenik
khusus, dapat dijelaskan oleh penelitian hewan terbaru dari serat sensoris vagal. 20,21
Terminal sensorik dari serat C mengekspresikan sejumlah saluran ion ligan-dan tegangan-
gated dan reseptor farmakologis; ini termasuk TRPV1, reseptor adenosine, saluran ion
penginderaan asam, 5-HT3, P2X3 purinoceptor, reseptor nicotinic acetylcholine, dan
sebagainya. 15,21,35 Telah ditunjukkan pada babi guinea bahwa serabut C yang timbul
dari ganglion jugularis (neural) crest) terutama terkait dengan saluran udara besar (yaitu,
saluran udara ekstrapulmoner dan bronkus intrapulmonar besar), sedangkan serat C lebih
dalam di paru-paru (yaitu, "pulmonary" serat C atau reseptor J) 22 memiliki badan sel
lebih sering terletak di nodose ganglia.20,21 Profil aktivasi serat C jugular berbeda dari
nodose (placodal) serat C.

Sebaliknya, dalam serangkaian penelitian pada manusia 30-32 kami telah menunjukkan
bahwa adenosin IV adalah dyspnogenic tetapi tidak menyebabkan batuk atau
bronkokonstriksi. Efek dyspnogenic ini meningkat pada asma31 dan dilemahkan oleh
lidocaine32 yang dihirup atau pretreatment dengan theophylline. Penelitian ini dan data
hewan sebelumnya 33,34 menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa adenosin
memberikan efek dyspnogenic dengan mengaktifkan serat vagal C oleh aksinya pada
reseptor adenosin A1 dan mungkin reseptor A2.

Alasan untuk perbedaan yang jelas dalam efek dari berbagai zat yang dikenal untuk
bertindak pada serat C udara, dan fakta bahwa hanya adenosin tampaknya dispnogenik
khusus, dapat dijelaskan oleh penelitian hewan terbaru dari serat sensoris vagal. 20,21
Terminal sensorik dari serat C mengekspresikan sejumlah saluran ion ligan-dan tegangan-
gated dan reseptor farmakologis; ini termasuk TRPV1, reseptor adenosine, saluran ion
penginderaan asam, 5-HT3, P2X3 purinoceptor, reseptor nicotinic acetylcholine, dan
sebagainya. 15,21,35 Telah ditunjukkan pada babi guinea bahwa serabut C yang timbul dari
ganglion jugularis (neural) crest) terutama terkait dengan saluran udara besar (yaitu,
saluran udara ekstrapulmoner dan bronkus intrapulmonar besar), sedangkan serat C lebih
dalam di paru-paru (yaitu, "pulmonary" serat C atau reseptor J) 22 memiliki badan sel lebih
sering terletak di nodose ganglia.20,21 Profil aktivasi serat C jugular berbeda dari nodose
(placodal) serat C.

Serat Nodose C dirangsang oleh adenosin (melalui reseptor A1 dan, dalam beberapa
penelitian, juga reseptor A2a), dan agonis purinergik seperti ATP (melalui reseptor
heteromer P2X2,3), serta melalui reseptor 5-HT3, 21,27, 35 sedangkan serat C jugularis
tidak terpengaruh oleh rangsangan ini.

Kami telah menunjukkan bahwa adenosin intravena adalah dyspnogenic pada manusia
tetapi tidak menyebabkan batuk apa pun, 30-32 dan bahwa efek ini dapat dilemahkan dengan
pretreatment dengan lidokain inhalasi (yang menghambat saraf saluran napas oleh
penghambatan saluran natrium dan penghentian aksi potensial konduksi) dan dengan
blokade oleh teofilin sistemik, antagonis reseptor adenosin yang tidak selektif dan
dikenal.36 Data kami menunjukkan atenuasi yang lebih besar dari efek dyspnogenic dari
adenosine dengan teofilin sistemik daripada lidokain inhalasi, mendukung konsep efek
pada nodose C serat.36 Perbedaan ini dalam profil aktivasi juga mungkin menjelaskan
perbedaan antara efek capsaicin dan adenosin intravena. Pertama, capsaicin yang dihirup
mungkin lebih disukai disimpan dalam distribusi serat C jugularis; di samping itu, karena
capsaicin bekerja pada reseptor TRPV-127 tetapi tidak pada reseptor adenosin, ada
kemungkinan bahwa sensasi dyspneic secara khusus berkaitan dengan aktivasi
subkelompok serat C yang mengekspresikan reseptor adenosin. Meskipun lobeline dan
phenyldiguanide belum diteliti dalam hal efeknya pada dua fenotip C-fiber yang berbeda
ini, kemungkinan efek utama mereka adalah pada serat C jugularis.

Referensi : Burki NK, Lee LY. Mechanisms of dyspnea. Chest. 2010 Nov 1;138(5):1196-
201.
KLASIFIKASI BEBERAPA DYSPNEA

Estimasi subjektif dari tingkat keparahan dyspnea diklasifikasikan dengan kadar ftom 0
hingga 10 menggunakan Borg yang dimodifikasi skala. (Borg dyspnea index [9] atau
(Borg Modified skala - American Thoracic Society [8])

Klasifikasi tingkat keparahan dyspnea menggunakan

A. Skala Borg [9]:

0. tidak ada sama sekali

1. hanya terlihat

2. sangat sedikit

3. cahaya

4. ringan hingga sedang

5. moderat

6. diskrit

7. agak parah

8. parah

9. sangat parah

10. tak tertahankan

B. Skala dispnea menurut Amerika Thoracic Society [8]:

0. tidak nyaman saat berjalan

1. dyspnea dengan upaya fisik sedang

2. berjalan lebih lambat dari yang lain

3. harus berhenti untuk bernapas sambil berjalan

4. dyspnea saat istirahat

Klasifikasi pasien mengenai parameter vital dan presentasi klinis [2]


1. Pasien sakit kritis dengan dyspnea: apnea, pernapasan menilai <10 dan> 34 / menit;
stridor, sianosis, tidak dapat berbicara; setetes tekanan darah (BP), brady /
tachyarrhythmia; gangguan tingkat kesadaran - somnolentio, comatous; saturasi
oksigen arteri (SaO2), 86%; auskultasi menemukan nafas yang berkurang atau
tidak ada suara; gerakan paradoks dinding dada; hilangnya pulsa paradoks.
2. Pasien sedang dengan dyspnea: takipnea (RR 24-34 / menit); dyspnea yang
menyebabkan kehilangan kesadaran; dyspnea dengan nyeri dada; duduk posisi;
mencoba untuk menjaga saluran udara atas tetap terbuka; penggunaan otot
pernapasan pernafasan; gelisah; ronchy.
3. Pasien yang agak sakit dengan dyspnea: tidak ada temuan obyektif; hanya perasaan
subjektif dyspnea hadir.
Referensi : MANIC D, MOSKOVLJEVIC J, JANKOVIC D, RADOMIROVIC G,
GOSTOVIC D. DYSPNEA–COMMON SYMPTOM AND DIFFERENTIAL
DIAGNOSTIC PROBLEM IN PREHOSPITAL EMERGENCY MEDICINE. ABC-
časopis urgentne medicine. 2009;9(1):5-11.

2. Apa factor resiko dan pemicu yang menyebabkan sesak ?


Faktor risiko asma dibagi menjadi dua, faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan
asma yang disebut faktor pencetus. Faktor risiko yang mencetuskan terjadinya Asma
Bronkial diantaranya

 asap rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri maupun
orangorang yang terkena asap rokok.
 tungau debu rumah
Tungau debu rumah adalah hewan (Dermatophagoides Pteronyssinus) yang sangat
kecil sekitar 0,5 mm yang umum di jumpai di tempat tinggal manusia. Tungau debu
rumah biasanya berada di karpet dan jok kursi yang kotor, terutama yang berbulu
tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian yang
kotor. Tungau debu rumah yang menyerang penderita asma bronkial disebabkan
oleh masuknya suatu alergen ke dalam saluran napas seseorang sehingga
merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi.
 polusi udara
Polusi udara adalah suatu keadaan dimana udara mengandung bahan kimia,
partikel, organisme hidup lainnya yang menyebabkan kerugian atau
ketidaknyamanan pada manusia. Polusi udara di bagi menjadi 2 yaitu :
Polusi udara dalam ruangan dapat menimbulkan ancaman kesehatan yang serius,
seperti semprotan minyak wangi, semprotan nyamuk, debu dalam lemari, dan lain-
lain.
Kualitas udara di luar ruangan merupakan masalah kesehatan. Di luar ruangan,
seperti polusi akibat zat kimia hasil pabrikan, kendaraan bermotor, dan orang yang
bekerja di lingkungan berdebu atau asap dapat memicu serangan sesak napas yang
berkepanjangan. Polusi udara di luar ruangan memberikan efek yang merugikan
kesehatan seperti penyakit jantung, kanker, asma, penyakit pernapasan, dan bahkan
kematian.
 perubahan cuaca
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban
dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma
menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi
partikel alergenik. Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga
terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk
asma dengan serangan sesak napas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini
umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara
yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan.
 jenis makanan
Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal
yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi
yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telur. Alergi makanan seringkali
tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian
membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5%
anak dengan asma.
Gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada penderita asma tanpa membedakan
penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik. Baik asma yang alergik maupun non
alergik ditemukan adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas.

Referensi :

Beasley B, Holt S, Fabian D, Masoli M. GINA (Global Initiative for Asthma). Global
Strategy For Asthma Management And Prevention. New Zealand: Medical Research
Institute of New Zealand; 2012.
3. Bagaimana patomekanisme gejala dari skenario ?

Patomekanisme sesak dimulai dari terjadinya inflamasi. Inflamasi jalan nafas


pada asma alergi telah diketahui dengan baik. Terdapat beberapa langkah pada
evolusi inflamasi jalan nafas. Dimulai dari sensitiasi primer diikuti penentuan
fenotipe alergi dari respon imun yang akhirnya terlokalisasi di jalan napas.
Terjadinya pajanan yang berulang akan mengaktivasi sel yang sudah
tersensitisasi memproduksi mediator yang menimbulkan spasme bronkus dan
inflamasi kronik.Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen
serta rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor
kemotaktik yang menimbulkan migrasi cosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat
molekul terjadi pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor
per mukaan oleh sel yang saling bekerja sama tersebut yaInng akan membentuk
jalinan reaksi inflamasi. Pada orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar
pengaruh sel Th sebagai regulator penghasil sitokin yang dapat ahlimemacu
pertumbuhan dan maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak
kerusakan epitel serta sebukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan
mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertropi otot polos.
Ref : Lily irsa. 2005. Sari Pediatri, Vol. 7 No.. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

4. Apa saja langkah – langkah diagnosis ?


ANAMNESIS
1. Mengucapkan bismillahirrahmanirrahim.
2. Memperlihatkan sikap yang ramah, mengucapkan salam
3. Menjaga suasana santai dan rileks, berbicara dengan lafal yang jelas dengan
menggunakan bahasa yang dapat dipahami dan menyebutkan nama pasien.
4. Menanyakan data umum pasien :
5. Nama : tidak diketahui
6. Jenis kelamin : pria
7. Umur : 35 tahun
8. Alamat : tidak diketahui
9. Status perkawinan : tidak diketahui
10. Pekerjaan : tidak diketahui
11. Menyanyakan keluhan utama dan menggali riwayat penyakit sekarang (RPS)
12. Keluhan utama : batuk bercak darah
13. Onset dan lamanya keluhan batuk : dialami sejak 3 hari
14. Keluhan lain yang menyertai : nafsu makan dan berat badan menurun serta
keringat pada malam hari.
15. Sudah pernah berobat atau belum : tidak diketahui
16. Riwayat penyakit masa lalu (RPD) : pasien mengalami batuk selama 2 bulan
terakhir.
17. Riwayat alergi, riwayat psikososial, riwayat penyakit dalam keluarga : tidak
diketahui
18. Menanyakan fungsi fisiologis lain, bila ada gangguan lanjutkan anamnesis
berdasarkan keluhan tersebut.
19. Mengakhiri anamnesis dengan mengulang hasil wawancara/cross check .
mengakhiri pembicaraan dengan ucapan terima kasih dan akan dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

PEMERIKSAAN FISIS
Persiapan :
 Memberikan informasi kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan
dilakukan dan memminta izin untuk melakukan pemeriksaan
 Penderita diminta melepaskan pakaian
 Mempersilahkan duduk / berbaring
 Pemeriksa berdiri disamping kanan penderita.

INSPEKSI :
1. Melakukan pemeriksaan awal dengan memperhatikan
 Rambut (tampak kering atau tidak, mudah rontok atau tidak)
 Mata (konjugtiva terlihat anemis atau tidak, sklera terlihat ikterik atau tidak)
 Hidung (sekret, bekuan darah, massa atau benjolan)
 Mulut (bibir sianosis/tidak, mukosa, tonsil, faring, sekret, pernapasan
cuping)
 Leher (Trakhea di tengah atau tidak, pembesaran KGB)
 Kulit: bekas herpes (neuralgia post herpetik), pelebaran vena (sindroma
cava superior, sirosis hepatis)
 Extremitas: jari-jari (sianosis/tidak, clubbing finger)
 Tingkat kesadaran
2. Perhatikan bentuk dada
 Simetris atau tidak
 Cekung atau cembung salah satu sisi atau keduaduanya
 Apakah penderita menggunakan otot-otot tambahan untuk bernafas
 Perhatikan apakah terdapat daerah-daerah yang menonjol atau retraksi lokal
 Apakah terdapat deformitas rongga dada
 Hitung frekuensi pernapasan
 Posterior: letak vertebra, gibus, deformitas

PALPASI
1. Dengan menggunakan kedua tangan untuk memeriksa apakah ada
limfadenopati supraklavikularis dan leher, metastasis tumor.
2. Lakukan pemeriksaan posisi trakea dengan jari telunjuk apakah normal, deviasi
ke kanan atau ke kiri.
3. Palpasi dinding dada, dengan menggunakan kedua tangan untuk memastikan -
Apakah terdapat nyeri tekan lokal - Apakah terdapat massa atau krepitasi -
Memastikan pergerakan dada (1/3 atas, tengah dan 1/3 bawah).
4. Menilai vokal remitus, letakkan kedua sisi medial telapak tangan pada
dinding/samping dada.
5. Menilai pelebaran masing-masing sela iga kanan dan kiri.
6. Mempersilahkan menarik nafas panjang.
7. Mempersilahkan mengucapkan kata “sembilansembilan“ atau “iii iii iii“.
8. Menentukan perbedaan vocal fremitus (Taktil fremitus) kiri dan kanan.
PERKUSI
1. Melakukan perkusi dari atas kebawah pada dada depan merata di seluruh dada.
2. Melakukan pemeriksaan kronig isthmus.
3. Membandingkan tempat-tempat yang sama pada kedua sisi kanan dan kiri.
4. Menentukan batas perubahan sonor ke pekak.
5. Beri tanda untuk tindakan punksi percobaan (bila ditemukan daerah pekak
curiga efusi pleura).

AUSKULTASI
1. Stetoskop diletakkan pada anterior, lateral dan posterior dada secara sistematis
17. Penderita dim inta untuk menarik nafas panjang.
2. Lakukan auskultasi secara sistematis dan bandingkan bunyi yang terdengar
pada tiap sisi.
3. Menentukan jenis suara pernafasan * Vesikuler * Bronkovesikuler * Bronkial.
4. Menetukan jenis suara napas tambahan : wheezing, ronchie, stridor.
5. Menentukan lokasi perubahan dari suara vesikuler hingga menghilang.

POSTERIOR
1. Melakukan pengulangan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
bagian posterior tubuh1

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan dahak mikroskopis.

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan


pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan ini mengumpulkan 3
spasme berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) 9.

 S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberculosis datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.

1
Modul CSL Mahasiswa Sistem Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
2018
 P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
 S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi
hari.
2. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik
untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua dibutuhkan.
Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita.

3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi ialah
foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif:
a. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
b. Kalsifikasi.
c. Penebalan pleura.2 3

5. Apa saja diferensial diagnosis dari skenario ?

ASMA

DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan

2
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Iv Jilid 2. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal 999-1000, 1062
7
Ilmu Penyakit Dalam Jilid Ii. Jakarta : Internapublishing. Halaman 1653-1655
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.

ETIOLOGI
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma alergi
sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti
rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit terhadap
injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi
yang melibatkan inhalasi antigen spesifik. Pada manusia alergen berupa debu rumah
(tungau) marupakan pencetus tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut
secara biologis dapat merusak struktur daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik,
yang selanjutnya menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali
fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan mudah
masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun daripada tungau-
tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini dapat memasuki daerah
epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran pernafasan.

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga merupakan
pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25% sampai 30%
dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan bahwa merokok
ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan penyakit dari
penderita asma.

EPIDEMIOLOGI
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat
perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain
dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 –7 %. (pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan ASMA di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
2003)

PATOFISIOLOGI

Penyempitan Saluran Napas


Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran
napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. Kontraksi otot polos
saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai mediator bronkokonstiktor dan
neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap penyempitan saluran napas dan
prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas
disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut.
Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga
”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-
sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak
dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodeling.

Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling
ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini
kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses
remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini
dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan
sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan
peningkatan jumlah sel atau hiperplasi

Hiperreaktivitas saluran napas


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara
klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi
mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan
hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat
memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos

PENATALAKSANAAN

EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri, tujuan
pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus, obat-obat
yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan asma di rumah.

PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA


Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru
IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian lagi
tidak dap at menegtahui faktor pencetus asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG


Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:
1.Medikasi (obat-obatan)
2.Tahapan pengobatan
3.Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A.Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah:

a.Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan komponen yang
berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan asma. Pada tingkat vascular,
glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya hipoperfusi,
mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis). Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka
panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek
samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.

b.Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek
sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada
steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan
selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis,
hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma,
obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.

c.Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi
yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi pada sel
inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan menghambat
saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan
inhalasi.

d.Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis β kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin
atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian
jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas
lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam
dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis
tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea,
muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi.

Efek kardio pulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala


merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.

Emfisema

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak
penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk
penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh,
dan memenuhi kriteria PPOK.

Etiologi

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

• Pertambahan penduduk

• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an

• Industrialisasi

• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan Di negara
dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh
setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak
terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik,
klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit
Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT). Fasiliti pelayanan kesehatan di Indonesia
yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti
pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya manusianya,
peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometri hanya terdapat di rumah
sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas. Pencatatan Departemen
Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu
sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk
kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini,
penatalaksanaan yang rasional.

Faktor Resiko

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan : a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

Patogenesis

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan


terbanyak pada paru bagian bawah

- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura Obstruksi saluran napas
pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran
napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas.

Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

A. Gambaran klinis

a. Anamnesis

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

• Inspeksi

- Pursed

- lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas


- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema
tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah

• Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

- ekspirasi memanjang

- bunyi jantung terdengar jauh

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed

B. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

• Spirometri

(VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1


prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%

• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian


dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal
dan < 200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu
yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

5. Analisis gas darah Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi

- CT

- Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan

9. bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi


diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Diagnosis Banding

• Asma

• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) Adalah penyakit obstruksi saluran


napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

• Pneumotoraks

• Gagal jantung kronik

• Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan :

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

- Meningkatkan kualiti hidup penderita Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi:

1. Edukasi

2. Obat - obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,


sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas

(1) penatalaksanaan pada keadaan stabil, dan

(2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan
memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktiviti optimal

4. Meningkatkan kualiti hidup Pedoman Diagnosis


Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara
pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan,
lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

3. Cara pencegahan perburukan penyakit

4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan

2. Pengunaan obat - obatan

- Macam obat dan jenisnya

- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja
)

- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan

- Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen


5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti edukasi diberikan dengan


bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang
ditemukan pada waktu itu.

Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak
terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik
progresif yang pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti
merokok - Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat

- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

- Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat - obatan

a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit . Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek
panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2 . Kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.

- Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : amoksisilin makrolid

- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru


Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih

- Amoksilin dan klavulanat


- Sefalosporin generasi II & III injeksi

- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas - Aminoglikose per injeksi

- Kuinolon per injeksi

- Sefalosporin generasi IV per injeksi d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan


memperbaiki kualiti hidup

- asetilsistein.

Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

Referensi:

Buku Saku Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia.Perhimpunan Dokter Paru di Indonesia.2003.Hal 3-25

BRONKITIS KRONIK

Bronkitis kronis ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang berlebihan
(ekspektorasi) dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak nyaman akibat batuk
kronik berdahak tersebut. Penyakit ini menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis
yang tidak sederhana kepada yang penderitanya dengan efek samping pada kualiti
hidupnya. Penderita dengan bronkitis kronis mengalami eksaserbasi yang cukup
sering sepanjang tahunnya, terutama pada saat musim penghujan atau musim dingin
pada negara dengan 4 musim. Data setiap tahunnya di Poliklinik PPOK RS
Persahabatan, menunjukkan kunjungan meningkat 3-4 kali pada bulan November
sampai dengan Februari dibandingkan bulan-bulan lainnya. Kejadian eksaserbasi
merupakan episode perburukan gejala respirasi yang berulang mengakibatkan
penurunan fungsi paru, perburukan kualiti hidup dan peningkatan kebutuhan
perawatan medis (kunjungan ke dokter, penambahan medikasi, emergensi, rawat
inap, dll). Dengan kata lain eksaserbasi akut bronkitis kronis adalah penyebab utama
rawat inap dan kematian pada penderita bronkitis kronis. Lima puluh persen
penderita bronkitis kronis mengalami episodik eksaserbasi > 2 kali dalam setahunnya
dengan seperlimanya membutuhkan rawat inap pada eksaserbasi tersebut dan
sebagiannya membutuhkan perawatan di ICU. Banyak pula penderita bronkitis kronis
dnegan rawat inap membutuhkan ulang (readmission) karena gejala yang menetap
dan berkepanjangan. Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus
pernapasan dan infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal
jantung kongestif, emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan
seperti narkotik dan lain-lain.

Proses yang kompleks merupakan kombinasi berbagai mekanisme adalah


patofisiologis yang bertanggung jawab untuk terjadinya bronkitis kronis. Efek
kombinasi mekanisme tersebut menghasilkan kolonisasi bakteri dan infeksi kronik
yang berkontribusi terhadap kejadian eksaserbasi dan kerusakan mekanisme
pertahanan paru yang berakibat memudahkan terjadinya eksaserbasi dan demikian
steerusnya. Ingkaran yang saling berkaitan tersebut dikenal dengan vicious circle
pada bronkitis kronis, sehingga pendekatan yang ideal penanganan yang berakibat
memutuskan mata rantai lingkaran tersebut.

Inflamasi dan Mekanisme Pertahanan Paru1-4

Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronis (merokok, polusi udara,
infeksi berulang, dll) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Perubahan
patologi yang terjadi pada trakea, bronki dan bronkiolus terus sampai ke saluran
napas kecil (diameter 2-4 mm) berupa infiltrasi permukaan epitel jalan napas,
kelenjar duktus, kelenjar-kelenjar dengan eksudat inflamasi (sel dan cairan) yang
didominasi oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil. Proses inflamasi kronik
itu berhubungan dengan metaplasia sel goblet dan sel squamosa dari epitelium,
peningkatan ukuran epitelepitel kelenjar, peningkatan banyak otot polos dan jaringan
penunjang pada dinding jalan napas, serta degenerasi tulang rawan jalan napas.
Semua perubahan patologi itu bertanggung jawab terhadap gejala pada bronkitis
kronis yaitu batuk kronik dan produksi sputum berlebihan seperti yang dijelaskan
sebagai definisi bronkitis kronis dengan kemungkinan berkombinasi dengan masalah
jalan napas perifer dan emfisema. Inflamasi melibatkan berbagai sel, mediator dan
menimbulkan berbagai efek. Sel makrofag banyak didapatkan di lumen jalan napas,
parenkim paru dalam cairan kurasan bronkoalveolar (BAL). Makrofag mempunyai
peran penting pada proses inflamasi tersebut. Aktivasi makrofag menghasilkan TNF-α
dan berbagai mediator inflamasi lainnya serta protease sebagai respons terhadap
asap rokok dan polutan. Mediator inflamasi tersebut sebagian bersifat kemokin dan
bertanggung jawab terhadap kemotaktik dan aktivasi sel neutrofil.
Mediator LTB4 Il-8-GROα MCP-1,MIP-α GM-CSF Endotelin Substance P

Sel Makrofag Neutrofil CD8 + limfosit Eosinofil Sel epithelial Fibroblast

Proteinase Neutrofil elastase Catepsin Proteinase MMP

Efek Hipersekresi mucus Fibrosis Dinding alveolar Destruksi

Gambar 1. Sel inflamasi dan mediator yang terlibat pada bronkitis kronis/PPOK
(Dikutip dari 3)

Selain makrofag, sel limfosit T dan neutrofil berperan pada inflamasi ini sehingga
terjadi berbagai mediator dan sitokin (perforin, granzyme-B, TNF-α oleh limfosit T dan
II-8, LTB4, GM-CSF oleh neutrofil) yang saling berinteraksi dan menimbulkan proses
inflamasi kronik. Neutrofil yang teraktivasi meningkat terbukti pada sputum dan
cairan BAL penderita PPOK ataupun bronkitis kronis dan semakin meningkat pada
saat eksaserbasi akut. Peran nuertrofil pada bronkitis kronis adalah berkontribusi
pada hipersekresi mukus melalui produknya metease-protease dan juga destruksi
parenkim pada PPOK. Neutrofil mengeluarkan elastase dan proteinase-3 yang
merupakan mediator yang poten untuk merangsang produksi mukus sehingga terlibat
dalam hipersekresi mukus yang kronik. Mediator inflamasi yang terlibat pada
bronkitis kronis/PPOK adalah.4 • Faktor hemotaktik o Mediator lipid misalnya LTB4 &
limfosit T menarik neutrofil o Kemokin misalnya Il-8 menjadi neutrofil • Sitokin
inflamasi misalnya TNF-α, IL-Iβ, IL-6, meningkatkan proses inflamasi dan berefek pada
inflamasi sistemik. • Faktor pertumbuhan misalnya TGF-β menimbulkan fibrosis pada
saluran napas kecil.

Mekanisme pertahanan paru/saluran napas yang sangat kompleks meliputi mekanik,


imuniti alamiah, imuniti humoral yang didapat, baik dari saluran napas atas dan
bawah. Selain itu juga melimbatkan mekanisme pertahanan parenkim (alveoli) dan
imuniti selular didapat khususnya pada saluran napas bawah. Imunoglobulin (Ig) A
sekretori merupakan Ig yang berperan pada saluran napas disebabkan fungsinya
sebagai barier pada epitel saluran napas mencegah penetrasi antigen ke dalam
mukosa selain fungsi sebagai antibodi pada umumnya kecuali tidak untuk
merangsang komplemen aktivasi sebagaimana peran IgG. Asap rokok/polusi udara
melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas antara lain melalui pengaruhnya
terhadap ekspresi reseptor polimerik Ig yang mengakibatkan penurunan produksi
komponen sekretori juga IgA sekretori dan melemahkan transport komponen
sekretori yang mengakibatkan rendahnya kadar IgAs dalam lumen saluran napas. Hal
itu menyebabkan penurunan mekanisme pertahanan saluran napas menimbulkan
mudahnya kolonisasi bakteri menimbulkan refluks neutrofil dan degradasi IgAs oleh
neutrofil maupun produk-produk bakteri. Sehingga kejadian menimbulkan inflamasi,
juga semakin melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan infeksi kronik dan
meningkatkan jumlah neutrofil dan seterusnya.

Mekanisme Kerusakan Paru pada Bronkitis Kronis.2-4

Mekanisme hipersekresi mucus disebabkan pada kelenjar-kelenjar besar yang


memproduksi mukus dan peningkatan banyaknya sel goblet akibat pengaruh
mediatormediator inflamasi. Leukotrien, protease, neuropeptida dapat menyebabkan
sekresi mukus. Iritasi anata lain yang disebabkan asap rokok menyebabkan
peningkatan sel-sel sekretori dan hiperplasia mukus.

Penyempitan jalan napas merupakan hasil dari berbagai mekanisme seperti edema
mukosa jalan napas akibat inflamasi, banyaknya mukus pada saluran napas kecil dan
metaplasi sel goblet serta fibrosis saluran napas kecil sebagai dampak inflamasi.
Kerusakan pada saluran napas kecil baik secara langsung akibat zat-zat yang dihirup
maupun secara tak langsung akibat mediator-mediator inflamasi. Epitelium jalan
napas mempunyai kemampuan untuk melakukan perbaikan yang berdampak pada
perubahan anatomi dan fugnsi jalan napas. Proses perbaikan jaringan menimbulkan
fibrosis matriks ekstraselular atau jaringan ikat sehingga terjadi penyempitan jalan
napas. Fibrosis peribronkial seperti proses fibrosis pada inflamasi lazimnya ditandai
dengan akumulasi sel-sel mesenkimal (fibroblast dan miofibroblas) bersama matriks
ekstraselular jaringan penunjang. Mediator-mediator inflamasi seperti TGF-β,
endotelin 1, IGF-1, fibronektin, platelet-derived growth factor (PDGF) dan lain-lain
memperantarai akumulasi sel-sel mesenkimal tersebut. Selain itu inflamasi, sel
fagosit mononuklear dan sel epitel menghasilkan mediator-mediator yang berperan
pada proses fibrosis.

Patofisiologi Bronkitis Kronis1,2,5


Perubahan struktur pada paru menimbulkan perubahan fisiologik yang merupakan
karakteristik bronkitis kronis seperti batuk kronik, sputum produksi, obstruksi jalan
napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dan kor-pulmonale.

Akibat perubahan bronkiolus dan elveoli terjadi gangguan pertukaran gas yang
menimbulkan 2 masalah yang serius yaitu : 1. Aliran darah dan aliran udara ke
dinding alveoli yang tidak sesuai (mismatched). Sebagian tempat (alveoli) terdapat
adekuat aliran darah tetapi sangat sedikit aliran udara dan sebagian tempat lain
sebaliknya 2. Performance yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot
respirasi sehingga terjadi overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan
hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli menyebabkan CO2 darah
meningkat dan O2 dalam darah berkurang.

Mekanisme patofisiologik yang bertanggung jawab pada bronkitis kronis sangat


kompleks, berawal dari rangsang toksik pada jalan napas menimbulkan 4 hal besar
seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia dan rangsangan
refleks vagal saling mempengaruhi dan berinteraksi menimbulkan suatu proses yang
sangat kompleks.
Vicious Circle1,2,5

Infeksi jalan napas diduga merupakan penyebab penting terjadinya perburukan pada
bronkitis kronis. Murphy and Sethi mengemukakan hipotesis Vicoious circle pada
bronkitis kronis dengan mengungkapkan kerusakan jalan napas akibat infeksi kronik
dan kolonisasi bakteri adalah melalui penglepasan mediator inflamasi yang terus
menerus. Kondisi tersebut melemahkan pertahanan paru dan menyebabkan
persisten infeksi sehingga menyebabkan persisten infeksi sehingga menyebabkan
inflamasi kronik dengan konsekuensi penurunan fungsi paru secara progresif. Kondisi
ini sebagai lingkaran setan atau lingkaran yang tika jelas ujung dan pangkalnya.

Rangsangan Toksik

Disfungsi silia Inflamasi Hipersekresi Refleks vagal

Infeksi

Emfisema Sekresi bronkial ↑ Tonus bronkomotor ↑

Obstruksi bronkial

Gambar 2. Mekanisme patofisiologik Bronkitis Kronis (Dikutip dari 1)

Faktor inisial (merokok, penyakit pernapasan Saat usia anak-anak)

Melemahnya Bersihan mukosilier

Eksaserbasi Akut

Kerusakan epitel Jalan napas

Kolonisasi bakteri

Progresif Bronkitis kronis

Produk-produk bakteri

Respons inflamasi

Keseimbangan Elastase-antielastase ↑ Aktiviti elastolitik

Gambar 3. Hubungan kerusakan paru dan persisten infeksi pada bronkitis


kronis/PPOK
(Dikutip dari 1)

Infeksi merupakan penyebab eksaserbasi yang tersering pada bronkitis kronis


disebabkan kondisi kerusakan paru sebagaimana diuraikan di atas, baik infeksi
pernapasan akibat virus maupun bakteri ataupun kombinasi keduanya. Pemutusan
mata rantai lingkaran tersebut melalui pengobatan infeksi yang adekuat dengan
menurunkan kolonisasi serendah mungkin dan menghentikan produk-produk bakteri
serta secara tidak langsung menurunkan mediator-mediator inflamasi merupakan
salah satu pendekatan yang jitu.

Kolonisasi mikrobial

PMN Respons imun selular Produksi mukus Fungsi silia ↓ IgAs ↓

Infeksi virus Asap rokok

Inflamasi Pertahanan lokal melemah

Kerusakan jaringan

Enzim proteinase Radikal oksigen

Kerusakan silia, epitel, rheologi mukus

6. Apa saja penyakit yang ditandai dengan gejala sesakpada orang dewasa dan
anak – anak ?

Asma bronkial

Merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemen selularnya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi atau wheezing, sesak napas,
dada terasa berat, dan batuk, terutama pada malam hari atau dini hari. Asma bronkial
merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua
negara di dunia, diderita oleh anak - anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang
ringan sampai berat, bahkan dapat mengancam jiwa seseorang. Lebih dari seratus juta
penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak –
anak
Tekanan darah rendah (hipotensi)

Hipotensi adalah kondisi di mana tekanan darah pada arteri sangat rendah sehingga darah
tidak dapat mengantarkan cukup oksigen dan nutrisi ke organ-organ tubuh. Aliran darah
yang tersumbat membuat oksigen tidak dapat dialirkan ke seluruh tubuh. Hal ini yang
kemudian menimbulkan gejala sesak napas.

Emboli paru

Emboli paru adalah penyumbatan di salah satu arteri pulmonal di paru-paru Anda. Kondisi
ini menyebabkan aliran darah ke salah satu atau kedua sisi paru menjadi sangat terbatas
sehingga membuat dada terasa sesak dan detak jantung meningkat, yang membuat Anda
kesulitan bernapas. Peradangan pada jaringan pembungkus paru-paru dan dinding dada
(pleura) juga bisa menyebabkan nyeri dada yang terasa tajam.

Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah sebuah kondisi di mana ada pengumpulan udara yang mengalir di
antara paru-paru dan dinding dada. Udara yang terkumpul tersebut dapat menekan paru-
paru dan membuat paru-paru menjadi kolaps (mengempis).

Peningkatan tekanan dinding paru-paru akan menghalangi paru-paru untuk mengembang


saat kita menarik napas. Akibatnya, Anda akan mengalami sesak napas dan gejala lain
seperti nyeri dada, jantung berdebar-debar, batuk, dan lain sebagainya.

Pneumonia

Pneumonia atau infeksi pada paru-paru juga dapat menyebabkan sesak napas. Pneumonia
adalah penyakit yang menyebabkan kantung udara di dalam paru-paru meradang,
membengkak, hingga dipenuhi cairan. Kondisi ini dapat disebabkan karena infeksi bakteri,
virus, atau jamur.

Zat asing penyebab infeksi akan menyerang kantung udara yang membuat tubuh
kehilangan oksigen untuk masuk ke dalam darah. Akibatnya, sel-sel orang tubuh lain tidak
berfungsi dengan baik karena kekurangan oksigen.

Tuberkulosis (TBC).

TBC adalah gangguan pernapasan kronis yang disebabkan oleh infeksi


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada gejala TBC, keluhan sesak napas yang muncul
merupakan proses penyakit TBC yang meningkatkan produksi lendir. Akibatnya hal
tersebut membuat saluran napas jadi menyempit dan merusak jaringan paru-paru.

Referensi: Rahajoe, Nastiti N, Supriyatno. Buku Ajar

Respirologi Anak. Jakarta: IDAI; 2008


Wahyuningsih.Tuberkulosis. Universitas Diponegoro. 2014

7. Perspektif Islam Beserta Maknanya :

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan
penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
(HR. Muslim)

Kandungan Hadist berdasarkan skenario :

Maksud hadits tersebut adalah, apabila seseorang diberi obat yang sesuai
dengan penyakit yang dideritanya, dan waktunya sesuai dengan yang ditentukan
oelh Allah, maka dengan seizin-Nya orang sakit tersebut akan sembuh. Dan Allah
akan mengajarkan pengobatan tersebut kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Daftar Pustaka

1. Loscalzo, J.2015. HARRISON Pulmonologi dan Penyakit Kritis. Ed.2. Jakarta :


EGC.
2. Guyton and Hall.Text Book of Medical Physiology.pdf
3. Prof. Dr. H. TabraniRab, 2010. IlmuPenyakitParu. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Hal 80-81.
4. Dr. R. Darmanto Djojodibroto, Sp.P. FCCP. 2012. RESPIROLOGI (Respiratory
Medicine). Ed 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 50-51.
5. Modul CSL Mahasiswa Sistem Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia.
6. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid 2. Pusat Penerbitan Departmen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006.
Halaman 999-1000,1062
7. Setiati S, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2017. Buku Ilmu penyakit
dalam Ed.6. Jakarta : Interna Publishing. Hal. 1653-1657
8. Chris Tanto, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius. Hal. 180-183
9. Chris Tanto, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius. Hal. 828-830
10. Bahar Asril dan Zulkifli Amin. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Ed VI. Jilid I.
Jakarta : Interna Publishing. Hal. 863-868
11. Loscalzo, Joseph. 2015. Harrison dan penyakit pumonolgi kritis. Ed 2. Jakarta :
EGC. Hal. 167-177
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia
13. Loscalzo, Joseph. 2015. Harrison Pulmologi dan Penyakit Kritis. Ed 2. Jakarta :
EGC hal 160-161
14. Safitri Y. 2016. Faktor Resiko Yang Berhubungan Drngan Derajat Keparahan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Studi Kasus di Puskesmas Bangetayu Tahun
2015).Doctoral dissertation, Universitas Negeri Semarang

Anda mungkin juga menyukai