Anda di halaman 1dari 38

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH
a. MCV
Mean Corpuscular Volume yaitu volume rata-rata eritrosit.
(Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.2014.Jakarta:EGC)
Nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah
merah,

dan

oleh

karenanya

menentukan

kuantitas

warna

(normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat


digunakan untuk mendiagnosa anemia.
(Pedoman interpretasi data klinik.2011. Kementerian kesehatan
republik indonesia)
b. MCHC
Mean Corpuscular hemoglobin concentration adalah konsentrasi
Hb eritrosit rata-rata.
(Sylvia. 2015)
c. MCH
Mean Cell Hemoglobin yaitu rata-rata massa Hb dalam tiap
eritrosit dan dinyatakan dalam pico gram.
(Gandasoebrata R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik.Jakarta : Dian
Rakyat)
d. Konjungtiva
Membran tipis yang melapisi kelopak mata dan menutupi
permukaan sklera yang terpajan.
(Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.2014.Jakarta:EGC)
e. Hemoglobin
Pigmen merah pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh
eritrosit yang berkembang dalam sumsum tulang. Merupakan
hemoprotein yang mengandung empat gugus hem dan globin serta
mempunyai kemampuan oksigenasi reversibel.
(Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.2014.Jakarta:EGC)
f. Retraksi dinding dada
Tindakan menarik kembali atau keadaan tertarik kembali bagian
dinding dada.
(Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.2014.Jakarta:EGC)

g. Sulfat ferrous
Merupakan suatu obat yang mengandung zat besi yang dibutuhkan
oleh tubuh untuk menghasilkan sel darah merah.
(Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, B., dkk.2009.Buku Ajar:Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta:EGC)

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa Ny. Annisa berwajah pucat, lemas, dan mudah lelah?
2. Mengapa Ny Annisa diberikan Sulfat Ferrous dan diijinkan pulang
oleh dokter?
3. Bagaimana nilai normal dari sel sel darah?cara pengukuran
MCV,MCH,MCHC dan TIBC dan intrepetasi data hasil laboratorium?
4. Bagaimana Farmakodinamik dan farmakokinetik dari sulfat ferous ?
5. Mengapa konjungtiva Ny Annisa anemis, sklera tidak pucat, tangan
dan kaki Ny Annisa pucat?
6. Bagaimana proses pembuatan sel darah merah (eritropoesis) ?
7. Mengapa dokter menyarankan Ny Annisa untuk memperbaiki pola
makan dan jenis makanan yang dikonsumsi?
8. Apa fungsi HB dalam tubuh manusia ?

BAB III
BRAINSTORM
1. Mengapa Ny Annisa berwajah pucat, lemas, dan mudah lelah?
Dalam proses metabolisme pembentukan energi dalam tubuh,
diperlukan proses perombakan glukosa dan oksigen dalam darah,
dengan cara:
a) Fosfolirasi oksidatif : dengan menggunakan O2 ( Aerob )
b) Glikolisis : Tanpa menggunakan O2 ( Anaerob )
Pada penderita anemia, tubuh kekurangan oksigen dalam
darah, sehingga metabolisme pembentukan energi yang dihasilkan
menggunakan proses anaerob, hal ini berakibat dalam banyaknya
penimbunan asam laktat.

Sementara proses Anaerob tidak banyak menghasilkan oksgen,


sehingga oksigen yang harusnya dialirkan ke otak dan area wajah
menjadi berkurang.
(Martini, Frederic H. Judi L. Nath. And Edwin F. Bartholomew. 2012.
Fundamentals of Anatomy & Physiology. San Francisco: Pearson
Education)
2. Mengapa Ny. Annisa diberikan Sulfat Ferrous dan diizinkan
pulang oleh dokter?
Ferrous sulphate dengan rumus kimia FeSO4 adalah satu
bentuk suplemen zat besi. Zat besi adalah mineral yang diperlukan
untuk memproduksi sel darah merah. Kekurangan zat besi
menyebabkan anemia defisiensi besi dengan gejala lemah, lesu,
sampai sesak napas. Ferrous sulphate dapat memenuhi kebutuhan zat
besi pada saat-saat diperlukan secara ekstra, seperti hilangnya sel
darah akibat parasit, menstruasi, selama waktu hamil, menyusui, masa
pertumbuhan, setelah mengalami pendarahan / pembedahan dan
sebagainya. Ferrous sulfat tersedia dalam bentuk sediaan tablet salut
gula atau berupa tablet salut selaput yang digunakan secara per-oral.
(Lubis, D.A. 2012. Anemia Defisiensi Besi. Medan : Divisi Hemato
Onkologi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.)
Kontra indikasi dari obat ini adalah hipersensitif terhadap
senyawa besi atau komponen lain dalam sediaan, hemokromatotis
primer, anemia hemolitik, pasien yang mendapat transfusi berulangulang.
Efek samping obat sulfat ferrous yaitu mual dan nyeri
lambung, diare, dan kolik. Gangguan ini biasnya ringan dan dapat
dikurangi dengan mengurangi dosis atau dengan pemberian sesudah
makan, walaupun dengan cara ini absorpsi dapat berkurang.
(Setiabudy, Rianto.2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI)
3. Bagaimana nilai normal dari sel sel darah? Cara pengukuran
MCV, MCH, MCHC dan TIBC dan intrepetasi data hasil
laboratorium ?
4

Nilai normal sel darah merah pada orang dewasa.


Pria
13 - 18 g/dL

Hemoglobin (g/dL)
Hemoglobin

Wanita
12 - 16 g/dL

adalah
yang

SI unit : 8,1 -

SI unit : 7,4

berfungsi sebagai alat

11,2 mmol/L

9,9 mmol/L

40% - 50 %

35% - 45e%

SI unit : 0,4 -

SI unit : 0.35

0,5

- 0,45

komponen
transportasi
(O2)

oksigen

dan

karbon

dioksida

(CO2).

Penetapan

anemia

didasarkan pada nilai


hemoglobin

yang

berbeda

secara

individual

karena

berbagai adaptasi tubuh


(misalnya

ketinggian,

penyakit

paru-paru,

olahraga).

Secara

umum,

jumlah

hemoglobin kurang dari


12 gm/dL menunjukkan
anemia.

Pada

penentuan

status

anemia, jumlah total


hemoglobin
penting

lebih
daripada

jumlah eritrosit.
Hematokrit (PCV) %
Hematokrit
menunjukan persentase
sel

darah

merah

tehadap volume darah


total
5

Hitung Eritrosit

4,4 - 5,6 x 106

3,8-5,0 x 106

sel/mm3

sel/mm3

SI unit: 4,4 -

SI unit: 3,5 -

ke

5,6 x 1012

5,0 x 1012

dan

sel/L

sel/L

Fungsi utama eritrosit


adalah

untuk

mengangkut
dari

oksigen

paru-paru

jaringan

tubuh

mengangkut CO2 dari


jaringan tubuh ke paruparu

oleh

Hb.

Jika

kadar oksigen menurun


hormon

eritropoetin

akan

menstimulasi

produksi

eritrosit.

Nama proses produksi


eritrosit disebut sebagai
eritropoesis.

Proses

eritropoiesis

pada

sumsum tulang melalui


beberapa tahap, yaitu:
1.

Hemocytoblast

(prekursor dari seluruh


sel

darah);

Prorubrisit

2.

(sintesis

Hb); 3. Rubrisit (inti


menyusut, sintesa Hb
meningkat);

4.

Metarubrisit
(disintegrasi

inti,

sintesa Hb meningkat;
5.

Retikulosit

(inti

diabsorbsi); 6. Eritrosit
(sel dewasa tanpa inti).

MCV (Mean Corpuscular Volume/Volume

Nilai Normal
80 100 (fL)

korpuskuler rata rata)


MCV

adalah

indeks

untuk

menentukan ukuran sel darah merah.


MCV menunjukkan ukuran sel darah
merah

tunggal

Normositik

apakah

(ukuran

sebagai
normal),

Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL),


atau Makrositik (ukuran kecil >100
fL).
Perhitungan : MCV (femtoliter) = 10
x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/L)
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin /

28 34 pg/ sel 14

Hemoglobin Korpuskuler rata rata)


Indeks MCH adalah nilai yang
mengindikasikan berat Hb rata-rata
di dalam sel darah merah, dan oleh
karenanya

menentukan

kuantitas

warna (normokromik, hipokromik,


hiperkromik) sel darah merah. MCH
dapat digunakan untuk mendiagnosa
anemia.
Perhitungan : MCH (picogram/sel) =
hemoglobin/sel darah merah.
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration

Konsentrasi

Hemoglobin

Korpuskuler rata rata)


Indeks MCHC mengukur konsentrasi
Hb rata-rata dalam sel darah merah;
semakin kecil sel, semakin tinggi
konsentrasinya. Perhitungan MCHC
tergantung pada Hb dan Hct. Indeks
ini adalah indeks Hb darah yang
7

32 36 g/dL

lebih baik, karena ukuran sel akan


mempengaruhi nilai MCHC, hal ini
tidak berlaku pada MCH.
Perhitungan : MCHC = hemoglobin /
hematokrit
Retikulosit

0,5-2%

Retikulosit adalah sel darah yang


muda,

tidak

berinti

merupakan

bagian dari rangkaian pembentukan


eritrosit

di

Peningkatan

sumsum
jumlah

tulang.
retikulosit

mengindikasikan bahwa produksi sel


darah merah dipercepat; penurunan
jumlah retikulosit mengindikasikan
produksi sel darah merah oleh
sumsum tulang berkurang.
Perhitungan : Retikulosit (%) =
[Jumlah retikulosit / Jumlah eritrosit]
X 100.
(Sumber : Pedoman Interpretasi Data Klinik.2011. Kementerian
kesehatan republik indonesia)
4. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari sulfat
ferous ?
Dijadikan sasaran belajar
5. Mengapa konjungtiva Ny Annisa anemis, sklera tidak pucat,
tangan dan kaki Ny Annisa pucat?
Mengapa konjunctiva anemis dan sklera tidak ikterik?
Konjunctiva anemis : karena pada anemia kekurangan eritrosit
sehingga darah yang seharusnya dialirkan ke seluruh tubuh dengan
cukup menjadi tidak merata, sementara itu konjunctiva merupakan
salah satu area sensitif yang apabila tidak teraliri darah dengan
sempurna akan tampak pucat.

Sklera tidak ikterik : sklera akan tampak ikterik bila terdapat


penumpukan bilirubin.
Jadi, pada skenario tidak terdapat penumpukan bilirubin, sehingga
sklera tidak ikterik.
(sumber : Rubenstein, David. 2003. Keokteran Klinis. Jakarta :
Penerbit Erlangga)

6. Bagaimana proses pembuatan sel darah merah (eritropoesis) ?


Dijadikan sasaran belajar
7. Mengapa dokter menyarankan Ny. Annisa untuk memperbaiki
pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi?
Asupan zat besi yang berada di tubuh tidak dapat memenuhi
kebutuhan zat besi, karena makanan yang dikonsumsi kurang
mengandung zat besi dan juga dengan pola makan yang tidak teratur
sehingga tidak cukupnya zat utama yang diserap dalam makanan
sehari-hari guna pembentukan sel darah merah, karena pemasukan dan
pengeluaran tidak seimbang. Maka memperbaiki pola makan dapat
dilakukan dengan cara makan dengan teratur dan juga memilih jenis
makanan yang banyak mengandung zat besi seperti daging sapi, ayam,
telur, ikan, kacang kacangan, dan lain - lain.
( Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia)
8. Apa fungsi Hb dalam tubuh manusia ?
Dijadikan sasaran belajar

Ny Annisa
(35 tahun)

Datang ke poliklinik

Anamnesis
Keluhan
Waktu
Sosial ekonomi
Kebiasaan pribadi

: Lemas,pucat,mudah lelah
: 6 bulan terakhir
: Buruh Pabrik
: Tidak pernah sarapan

BAB IV

Analisis Masalah

Pemeriksaan fisik
1.Konjungtiva anemis
2.Sklera tidak ikterik
3.Kaki dan tangan tidak pucat

Pemeriksaan laboratorium
1.MCV (<)
2.MCH (<)
3.MCHC(<)
10
4.
TIBC(<)

Diagnosis banding
Anemia karena penyakit kronik
Thalassemia
Anemia sideroblastik

Diagnosis kerja
Anemia defisiensi besi

Gejala khas :
Etiologi : Pemeriksaan laboratorium
1.Atrofi papil 1.perdarahan
lidah
menahun.
MCV(<)
Prevalensi ADB di Indonesia
2.Koilonikia 2.Faktor nutrisi
MCH(<)
1.Laki-laki : 16-50%
3.Stomatis3.Peningkatan
angularis
kebutuhan
zat
besi
MCHC(<)
2.Wanita tak hamil : 25-48%
4.Disfagia
4.Gangguan absorbsi
besi
TIBC(<)
3.Wanita hamil : 46-92%
5.Pica

Terapi

Terapi supportif
Terapi oral
Terapi besi parenteral
Terapi khas pada masing masing
anemia
1.Ferrous gluconat
Terapi
Kausal
1.Iron dextron complex
2.Ferrous lactate2.Iron sorbitol citric acid complex
3.Ferrous fumarat
3.Iron ferric gluconate
11
4.Ferrous succinate
Iron sucrose
Ferrous sulfat

BAB V
MENENTUKAN SASARAN BELAJAR
1. Bagaimana proses destruksi eritrosit?
2. Bagaimana prosedur pemeriksaan MCV, MCH, MCHC, dan TIBC?
3. Mengapa Ny. Annisa tidak mengalami nafas cuping hidung dan
retraksi dinding dada?
4. Bagaimana proses eritropoiesis?
5. Bagaimana proses farmakokinetik dan farmakodinamik dari sulfat
ferrous?
6. Apakah fungsi Fe dalam eritrosit?
7. Bagaimana gambaran dari penyakit thalassemia?
8. Bagaimana terapi oral dan parenteral dari anemia defisiensi besi
(ADB)?
9. Jelaskan mengenai golongan darah dan transfusi darah (indikasi, jenis,
sediaan darah, dan transfusi yang tepat pada masing masing anemia!

12

10. Jelaskan mengenai defisiensi anemia, kriteria, macam-macam anemia,


etiologi,

prevalensi,

diagnosis

banding,

penatalaksanaan anemia!

BAB VI
BELAJAR MANDIRI

13

diagnosis

kerja,

BAB VII
BERBAGI INFORMASI
1. Bagaimana proses destruksi eritrosit?
Destruksi eritrosit adalah proses penghancuran sel darah
merah. Eritrosit rata-rata berumur 120 hari semenjak terbentuknya
melalui proses eritropoeisis. Eritrosit tidak memiliki nukleus pada
selnya sehingga tidak dapat untuk mensintesis protein yang berfungsi
untuk perbaikan sel-selnya. Sehingga pada saat eritrosit tua, sel ini
menjadi tua dan rapuh.
Eritrosit yang tua dan rapuh ini sebagian besar pecah di dalam
limpa tepatnya di dalam pulpa merah karena jaringan kapiler organ ini
yang sempit dan berkelok-kelok dapat merusak eritrosit yang sudah
rapuh. Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit terurai menjadi
komponen globin dan heme. Komponen protein globin yang
mengandung asam amino akan dikembalikan kembali ke pool protein
dan dipakai kembali. Sedangkan komponen heme akan pecah menjadi

14

dua yaitu besi dan bilirubin. Besi akan dikembalikan kembali ke pool
besi dan dipakai ulang. Bilirubin akan dieksresikan melalui hati dan
empedu.

Hemoglobin

Globin

Asam amino
Pool protein

Heme

Fe

CO

Protoporfirin

pool besi

Bilirubin Indirect

HATI
digunakan lagi

digunakan lagi

Bilirubin direct
EMPEDU
Feses

Urine

(Sumber : Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:


EGC )
2. Bagaimana prosedur pemeriksaan MCV, MCH, MCHC & TIBC?
A. Darah rutin
a. MCH
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) merupakan ukuran
jumlah rata-rata hemoglobin dalam tiap satuan sel eritrosit,
dimana jumlah nilai normal adalah sebanyak 27-32 pg
(picogram). (Larry, 2011).

15

b. MCHC
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
merupakan konsentrasi hemoglobin pada volume eritrosit, dimana
nilai konsentrasi normal adalah 31,5-36 g/dL (gram/100 ml)
(Larry, 2011).
c. MCV
MCV (Mean Corpuscular Volume) merupakan rata-rata
volume eritrosit, dengan nilai volume normal adalah 82-98 fl
(femtoliter atau mikrometer kubik)
(Sumber : Larry, 2011). Buku Saku Hematologi. Edisi 3. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
d. TIBC
Menurut Hoffbrand & Moss (2013), TIBC (Total Iron
Binding Capacity) merupakan jumlah besi yang dapat diikat,
dengan nilai normal adalah 300-360 g/dl (mikrogram/100 ml).
Ketika terjadi anemia defisiensi besi, saat cadangan besi habis,
besi serum mulai menurun, maka sedikit demi sedikit nilai TIBC
mulai meningkat.
(Sumber : Hoffbrand, A.V., & Moss, P.A.H. 2013. Kapita Selekta
Hematologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.)
B. Cara pemeriksaan:
1) MCH (hemoglobin eritrosit rata-rata)
hemoglobin x 10
MCH = jumlah eritrosit
2) MCHC (konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata)
hemoglobin x 100
MCHC =
hematokrit
3) MCV (volume eritrosit rata-rata)
hematokrit x 10
MCV = juml ah eritrosit
4) TIBC (jumlah besi yang diikat)
(Sumber : Price dan Wilson.2005.Patofisiologi:Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Jakarta:EGC)
C. Cara pemeriksaan Hb

16

Gandasoebrata (2008) menyatakan bahwa kadar hemoglobin


dalam darah dapat ditentukan dengan brrbagai macam metode.
Metode yang paling tepat adalah berdasarkaan atas kandungan
besi atau kapasitas peningkatan oksigen dari molekul tersebut.
Sejumlah prosedur yang cepat telah dikembangkan berdasarkan
pengamatan secara langsung pada warna darah dan menyamakan
dengan suatu standar buatan, seperti pada metode Sahli.
Pemeriksaan Hb metode Sahli didasarkan atas pembentukan
asam hematin setelah darah ditambah larutan HCl 0,1 N. Alat
pemeriksaan Hb Sahli (Haemometer atau Hemoglobinometer)
adalah

instrumen

laboratorium

untuk

menentukan

kadar

hemoglobin dalam darah berdasarkan satuan warna (colorimetri).


Metode yang digunakan adalah membandingkan warna sampel
darah dengan warna merah standar.

Warna sampel darah

didapatkan pada pemisahan globin dan hemoglobin dengan


penambahan HCl untuk menghasilkan asam hematin yang
warnanya diukur oleh colorimetri.
Prosedur pemeriksaan Hb metode Sahli cukup mudah
dilakukan, yaitu sebagai berikut :
Alat:
- Pipet Hb Sahli,
- Hemoglobinometer,
- Batang pengaduk,
- Tabung pengencer hemometer,
- Bahan pemeriksaan,
- Darah yang telah diberi antikoagulan EDTA,
- Reagen,
- Aquadest; dan
- HCl 0,1 N.
Cara kerja
- Masukkan beberapa tetes HCl 0,1 N ke dalam tabung
-

pengencer hemometer sampai tanda 2


Ambil darah yang telah diberi EDTA dengan pipet sam[pai

garis 0,5 tepat


Hapuslah kelebihan darah yang menempel pada bagian
luar pipet dengan tissue

17

Masukkan darah ke dalam tabung (hati-hati jangan sampai

terjadi gelembung udara)


Goyang isi tabung supaya darah dan HCl bereaksi
Tambahkan tetes demi tetes aquadest sambil diaduk

dengan batang pengaduk hingga warnanya merata.


Bandingkan warna sampel darah dengan warna standar

yang sama pada alat hemoglobinometer


Baca kadar hemoglobin berdasar warna standar tersebut

(Sumber : Gandasoebrata, R. (2008). Penuntun Laboratorium


Klinik. Jakarta : Dian Rakyat)
D. Cara Pemeriksaan Hematokrit
Metode pengukuran hematokrit secara manual dikenal ada 2,
yaitu :
1) Metode makrohematokrit
Pada metode makro, sebanyak 1 ml sampel darah
(darah EDTA atau heparin) dimasukkan dalam tabung
Wintrobe yang berukuran panjang 110 mm dengan diameter
2.5-3.0 mm dan berskala 0-10 mm. Tabung kemudian
disentrifus selama 30 menit dengan kecepatan 3.000 rpm.
Tinggi kolom eritrosit adalah nilai hematokrit yang
dinyatakan dalam %.
2) Metode mikrohematokrit
Pada metode mikro, sampel darah (darah kapiler,
darah EDTA, darah heparin atau darah amonium-kaliumoksalat) dimasukkan dalam tabung kapiler yang mempunyai
ukuran panjang 75 mm dengan diameter 1 mm. Tabung
kapiler yang digunakan ada 2 macam, yaitu yang berisi
heparin (bertanda merah) untuk sampel darah kapiler
(langsung), dan yang tanpa antikoagulan (bertanda biru)
untuk darah EDTA / heparin / amonium kalium
-oksalat. Prosedur pemeriksaannya adalah : sampel darah
dimasukkan ke dalam tabung kapiler sampai 2/3 volume
tabung. Salah satu ujung tabung ditutup dengan dempul
(clay) lalu disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan

18

15.000 rpm. Tinggi kolom eritrosit diukur dengan alat


pembaca hematokrit, nilainya dinyatakan dalam vol %.
Nilai normal Hematokrit:
Laki laki

40 48 vol %

Wanita

37 43 vol %

(Sumber : Uliyah, Musrifatul. (2008). Praktikum Keterampilan


Dasar Praktik Klinik: Aplikasi Dasar - dasar Praktik
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika)
3. Mengapa Ny Annisa tidak mengalami nafas cuping hidung dan
retraksi dinding dada?
Pada skenario, Ny. Annisa tidak diinformasikan mengalami
gejala sesak nafas maupun kelainan yang berhubungan dengan sistem
pernafasan. Hal ini mengindikasikan tidak timbulnya nafas cuping
hidung maupun retraksi dinding dada. Nafas cuping hidung lebih
identik dengan mekanisme terjadinya dipsnea atau sesak nafas yang
terjadi jika ruang dari bernafasa itu meningkat akan menimbulkan
gangguan pada pertukaran gas anatara O2 dan CO2 sehingga
menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi
sesak nafas. Dipsnea jua dapat terjadi pada orang yang mengalami
penurunan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan
terhadap compliance paru maka semakin

besar gradien tekanan

transmural yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan


pengembangan paru yang normal. Retraksi bisa dikatakan sebagai
kontraki otot yang disebabkan otot sekitar dada dan perut tertarik ke
dalam pada saat kita menarik nafas. Salah satu penyebab terjadinya
retraksi adalah timbulnya infeksi yang menyebabkan bengkak di
tenggorokan.
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : IDAI)
4. Bagaimana proses eritropoiesis?
Sel darah merah memulai kehidupannya dari sumsum tulang
dari stem sel dari tipe yang disebut sel punca hematopoetik. Berikut

19

gambar perkembangan sel punca hematopoetik menjadi sel darah


merah.

Sumber : Guyton & Hall. 2014. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.


5. Bagaimana proses farmakokinetik dan farmakodinamik dari
sulfat ferrous?
a. Absorpsi
Absopsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di
duodenum dan jejenum poximal. Zat ini lebih mudah diabsorpsi
dalam bentuk fero. Ion fero yang sudah diabsorpsi akan diubah
menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan
masuk ke dalam plasma dengan perantara trasferin, atau diubah
menjadi feritinin dan disimpan didalam sel mukosa usus. Secara
umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat
besi rendah, maka lebih banyak Fe diubah menjadi feritinin. Bila
cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru
diserap akan segera diangkut dari sel mukosa ke sumsum tulang

20

untuk eritropoesis. Eritropoesis dapat meningkat sampai lebih dari


5 kali pada anemia berat atau hipoksia.
b. Distribusi
Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh
transferin , untuk kemudia diangkut ke berbagai jaringan,
terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Selain transferin, selsel retikulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan
eritropoesis. Sel ini juga berfungsi sebagai guang Fe.
c. Metabolisme
Bila tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe mengikat suatu
protein yang disebut apoferitin dan membentuk feritin. Fe
disimpan terutama pada sel mukosa usus halus dan dalam sel-sel
retrokuloendotelial (hati, limpa, sumsum tulang).
d. Ekskresi
Jumlah Fe yang diekskresi setiap hari sedikit sekali,
biasanya sekitar 0,5-1 mg sehari. Ekskresi terutama berlangsung
melalui sel epitel kulit dan saluran cerna yang terkelupas, selain
itu juga melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang
di potong.
(Setiabudy, Rianto.2012.Farmakologi dan Terapi.Jakarta:Balai
Penerbit FKUI)
6. Apakah fungsi Fe dalam eritrosit?
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di
dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam
tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di
dalam tubuh antara lain :
a. Sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
Untuk mengangkut oksigen, zat besi harus bergabung
dengan protein dan membentukhemoglobin di dalam sel darah
merah dan myoglobin di dalam serabut otot.
b. Sebagai pengangkut elektron di dalam sel.
Mengangkut elektron di dalam proses pembentukan
energi di dalam sel.
c. Sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam
jaringan tubuh.

21

Bila bergabung dengan protein di dalam sel, zat besi


membentuk enzim yang berperan di dalam pembentukan
energi di dalam sel.
Jadi, zat besi paling banyak ditemukan di dalam sel darah
merah, di mana disitu merekalah yang membentuk hemoglobin. Inilah
zat yang memberikan warna merah pada darah.
Selain itu, besi juga berperan dalam metabolisme energi,
peningkatan kemampuan belajar, dan sistem kekebalan tubuh.
(Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama)
7. Bagaimana gambaran dari penyakit thalassemia?
A. Definisi
Merupakan sindrom kelainan yang disebabkan gangguan
sintesis hemoglobin akibat mutasi didalam atau dekat gen globin.
Mutasi gen globin dapat menimbulkan perubahan rantai globin
dan , berupa perubahan kecepatan sintesis atau kemampuan
produksi rantai globin tertentu.
(Sumber : Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid II)
B. Epidemiologi
Sekitar 5% populasi dunia memiliki varian globin tetapi
hanya 1,7% memiliki trait talasemia alfa ata beta. Talasemia
mengenai baik laki-laki mauun perempuan dan terjadi sekitar 4,4
setiap kelahiran hidup. Talasemia alfa terjadi paling sering pada
keturunan Afrika dan Asia Tenggara sedangkan talasemia beta
paling umum terjadi pada orang Mediterania, Afrika dan
keturunan Asia Tenggara.
(Kapita Selekta Kedokteran UI edisi IV jilid I)
C. Etiologi
Dasar kelainan pada semua jenis thalasemia adalah mutasi
gen pengkode molekul globin yang diturunkan secara autosomal
resesif. Mutasi yang mungkin terjadi yaitu delesi gen, mutasi
splicing, varian modifikasi RNA, varian translasi-terminasi dan
varian fusi gen.
1) Etiologi thalasemia

22

Thalasemia alfa adalah hasil dari defisinsi atau tidak


adanya sintesis rantai globin alfa, sehingga rantai globin beta
berlebih. Produksi rantai globin alfa dikendalikan oleh dua
gen pada masing-masing kromosom 16. Penurunan produksi
biasanya disebabkan oleh delesi atau lebih dari gen ini.
Delesi gen tunggal akan menyebabkan karier talasemia alfa
(minor) dengan mikrositosis dan biasanya tidak terdapat
anemia.
2) Etiologi talasemia
Produksi rantai globin alfa dikendalikan oleh dua gen
pada masing-masing kromosom 11. Talasemia beta terjadi
akibat lebih dari 200 mutasi titik dan delesi dari dua gen.
(Kapita Selekta Kedokteran UI edisi IV jilid I)
D. Penatalaksanaan
1) Transfusi darah, ditujukan untuk menjaga kadar hemoglobin
di atas 10 g/dL.
2) Splenektomi, Mungkin saja diperlkan untuk mengurangi
kebutuhan transfusi darah sekitar 150 ml/kgBB/tahun.
3) Pemberian Chelating agent (desferal) secara teratur
membentuk dan mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan
secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil,
2 g dengan setiap unit darah transfusi.
4) Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun
untuk merangsang hipofise jika pubertas terlambat.
(Buku Saku Hematologi, 2015)
8. Bagaimana terapi oral dan parenteral dari anemia defisiensi besi
(ADB)?
Terapi oral dan parenteral anemia defisiensi besi
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh :
a Besi per oral
Obat pilihan pertama karena efektif, murah dan aman.
Preparat

Tablet

Flemen
Tiap Tablet

23

Besi Dosis
Dewasa

untuk

Ferrous sulphat

325 mg

65 mg

3-4

Ferrous gluconate

325 mg

56 mg

3-4

Ferrous fumarat

200 mg

66 mg

3-4

Preparat besi sebaiknya diberikan saat lambung kosong,


tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian
setelah makan. Efek samping dapat berupa mual, muntah, serta
konstipasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar
hemoglobin normal unutk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau
tidak, anemia sering kambuh kembali.
b Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal.
Indikasi, yaitu :
a) Intoleransi oral berat
b) Kepatuhan berobat kurang
c) Kolitais ulserativa
d) Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil
trimester akhir)
Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex, iron
sorbitol citric acid complex. Dapat diberikan secara intramuscular
dalam atau intravena pelan.
Efek samping : reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Dosis besi parenteral : harus dihitung dengan tepat karena
besi berlebihan akan membahayakan pasien. Besarnya dosis dapat
dihitung dari rumus berikut :
Kebutuhan besi (mg) = (15- Hb sekarang) x BB x 3
Pemberian sulfat ferous akan memberikan asupan besi (FE)
kepada tubuh, berikut farmakodinamika, farmakokinetik, indikasi,
dosis, kontra indikasi dan efek samping dari sulfat ferous.
a. Farmakokinetika
Onset kerja

: Respon hematologik : pemberian

oral ~3-10 hari.

24

Efek plasma : retikulositosis : 5-10 hari, hemoglobin


meningkat dalam 2-4 minggu.
Absorbsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung
melalui duodenum, dan lebih kedistal absorbsi akan lebih
berkurang. Besi lebih mudah diabsorbsi dalam bentuk fero.
Jumlah kebutuhan Fe setiap hari dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti : umur, jenis kelamin, wanita hamil dan
menyusui.
Ekskresi : melalui urin, keringat, mukosa intestinal dan
saat haid.
b. Farmakodinamika
Sebagai Fe yang ada dalam hemoglobin, myoglobin dan
enzim lainnya, memfasilitasi pengangkutan oksigen melalui
hemoglobin.
c. Indikasi
Pencegahan dan pengobatan anemia karena kekurangan
zat besi.
d. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap senyawa besi atau komponen lain
dalam sediaan, hemokromatotis primer, anemia hemolitik,
pasien yang mendapat transfusi berulang-ulang.
e. Dosis
Dosis untuk anak-anak : Anemia karena defisiensi Fe
parah : 4-6 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi. Anemia karena
defisiensi Fe ringan -sedang : 3 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis
terbagi. Profilaksis : 1-2 mg/kg/hari sampai dosis maksimum 15
mg/hari.
Dosis untuk dewasa : Kekurangan Fe : 300 mg, dua kali
sehari sampai 300 mg 4 kali sehari atau 250 mg (lepas lambat)
dalam 1-2 kali sehari. Profilaksis : 300 mg/hari.
f. Efek samping
Peroral dapat menimbulkan gangguan saluran cerna,
seperti : mual, diare, konstipasi, rasa nyeri epigaster. Efek
samping ini mungkin dikurangi dengan pengurangan dosis,
sediaan diminum waktu atau segera setelah makan (jangan
waktu perut kosong).

25

(Sumber : Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas.


Jakarta : EGC)
9. Jelaskan mengenai golongan darah dan transfusi darah!
A. Transfusi darah
1) Transfusi darah lengkap
Diberikan kepada penderita yang mengalami perdarahan aktif
yang kehilangan darah
2) Transfusi darah komponen (Sel sel darah merah pekat)
Diberikan kepada kasus kehilangan darah yang tidak berat.
Transfusi darah praoperatif atau anemia kronik folume
plasmanya normal.
3) Transfusi leukosit (granulosir konsetrat)
Untuk penderita yang jumlah leukositnya turun berat infeksi
yang tidak membaik atau berat yang tidak sembuh dari
pemberian antibiotik, kualitas leukosit normal.
4) Transfusi tombosit
Untuk penderita yang mengalami gangguan jumlah atau fungsi
trombosit.
5) Transfusi plasma dan produksi
Untuk mengganti faktor pembekuan darah
B. Indikasi transfusi darah
Dalam pedoman WHO disebutkan :
1. Transfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat.
2. Transfusi hanya diberikan berupa komponen darah
pengganti yang hilang/kurang.
Berdasarkan pada tujuan di atas, maka saat ini transfusi
darah cenderung memakai komponen darah disesuaikan
dengan kebutuhan. Misalnya kebutuhan akan sel darah merah,
granulosit, trombosit, dan plasma darah yang mengandung
protein dan faktor-faktor pembekuan. Indikasi transfusi darah
dan komponen-konponennya adalah :
a) Anemia
b)
c)
d)
e)

pada

perdarahan

akut

setelah

didahului

penggantian volume dengan cairan.


Anemia kronis.
Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
Plasma loss atau hipoalbuminemia.
Kehilangan sampai 30% EBV umumnya dapat diatasi
dengan cairan elektrolit saja. Kehilangan lebih daripada itu,
26

setelah diberi cairan elektrolit perlu dilanjutkan dengan


transfusi jika Hb<8 gr/dl.
C. Macam- macam golongan darah
Sistem golongan darah pada manusia ada 3 macam yaitu
sistem ABO,system MN,dan sistem rhesus
1) Sistem ABO
Sistem golongan darah tersebut dikembangkan oleh Karl
Landsteiner, seorang ahli biologi dan fisika dari Austria. Dalam sel
darah merah kita, terdapat beberapa jenis antigen di permukaan sel
darah merah. Salah satunya adalah antigen A dan B. Darah kita
bisa mengandung antigen A, antigen B, keduanya, atau tidak
mengandung keduanya sama sekali. Antigen inilah yang menjadi
penentu utama jenis golongan darah seseorang.
Selain itu, di dalam darah kita juga terkandung aglutinin.
Aglutinin ini bertindak sebagai antibodi terhadap antigen A dan B.
Adanya aglutinin a akan menolak keberadaan antigen A dalam
darah. Demikian pula aglutinin B akan menolak keberadaan
antigen

dalam

darah.

Penolakan

ini

ditandai

dengan

penggumpalan aglutinin saat bertemu dengan antigen yang


ditolaknya. Inilah yang menyebabkan donor darah tidak bisa
dilakukan sembarangan. Harus diperhatikan apakah aglutinin yang
dimiliki oleh golongan darah penerima tidak menolak antigen yang
dimiliki oleh golongan darah pendonor.
a) Orang dengan golongan darah A hanya memiliki antigen A dan
aglutinin b.
b) Orang dengan golongan darah B hanya memiliki antigen B dan
aglutinin a.
c) Orang dengan golongan darah AB memiliki antigen A dan B,
tetapi tidak memiliki aglutinin a dan b.
d) Orang dengan golongan darah O tidak memiliki antigen A dan B,
tidak memiliki aglutinin a dan b(Robertus sonny.2013.Sistem
Golongan Darah ABO).
2) Sistem Rhesus
27

Sistem

penggolongan

darah

yang

lain

adalah

berdasarkan faktor Rhesus. Sistem rhesus ditemukan oleh Lionel


dan Weiner pada tahun 1940 dengan menyuntikkan darah
kera Macacus rhesus ke tubuh kelinci, ternyata darah kera tersebut
digumpalkan oleh aglutinin yang dihasilkan plasma darah kelinci.
Aglutinin yang berasal dari kelinci itu juga menggumpalkan darah
manusia walaupun tidak pada semua orang.
Orang yang darahnya dapat digumpalkan oleh aglutinin
dari kelinci dikelompokkan sebagai golongan Rhesus positif (Rh+),
sedangkan yang darahnya tidak dapat digumpalkan oleh aglutinin
kelinci tadi dikelompokkan ke dalam Rhesus negatif (Rh). Secara
singkat dapat diterangkan:
a) Golongan darah Rh+, dalam eritrositnya mengandung antigen
Rhesus, pada plasmanya tidak dibentuk antibodi terhadap
antigen Rhesus.b)
b) Golongan darah Rh , dalam eritrositnya tidak ada antigen
Rhesus, pada plasmanya dapat dibentuk antibodi terhadap
antigen Rhesus.
Golongan darah Rhesus negatif banyak dimiliki oleh orang
Eropa 85% dari jumlah penduduk, sedangkan orang Asia
terutama Indonesia golongan Rhesus negatif hanya 0,013%.
3) Sistem MN
Pada

tahun

1972

k.landsteiner

dan

P.levine

telah

menemukan golongann darah sistem MN pada golongan darah


manusia akibat ditemukan antigen M dan antigen N pada sel darah
merah (eritrosit) manusia.Sistem golongan darah ini terdiri atas 3
jenis yaitu:
a) Golongan M,mengandung antigen M
b) Golongan N,mengandung antigen N
c) Golongan MN,mengandung antigen M dan antigen N
(Hikmat.2013.Macam-macam golongan darah).
(Joko waluyo.2006:180).

28

(sumber: Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: penerbit


buku kedokteran. EGC; 2006)
10. Jelaskan mengenai defisiensi anemia, kriteria, macam-macam
anemia, etiologi, prevalensi, diagnosis banding, diagnosis kerja,
dan penatalaksanaan anemia!
A. Anemia
a. Definisi
Anemia didefinisikan

sebagai

penurunan

massa

eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat membawa O2


dalam jumlahyang cukup ke jaringan perifer.
b. Kriteria
Dari segi praktis, hal tersebut ditunjukkan dengan
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau eritrosit.
c. Macam
1) Anemia defisiensi besi, yaitu kondisi dimana tidak ada
cadangan besi yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk
diikutkan dalam proses hematopoiesis sebagai salah satu
dampak dari cadangan besi jaringan yang berkurang
2) Anemia sederoblastik, adalah kumpulan kelainan heterogen
dengan gambaran klinis berupa adanya cincin sideroblas
dalam sumsum tulang, eritropoiesis inefektif, peningkatan
kadar besi tubuh, dan eritrosit hipokrom dalam darah.
3) Anemia akibat hemoglobinopati, adalah kelainan darah
yang disebabkan oleh kelainan sintesis rantai globin baik
secara kuantitatif maupun kualitatif
4) Anemia hemolitik, adalah suatu kondisi dimana eritrosit
dihancurkan dan dihilangkan dari sirkulasi sebelum waktu
hidup normal mereka habis.
5) Anemia megaloblastik, adalah kelainan eritrosit yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA. Anemia ini
disebut megaloblastik karena merupakan anemia makrositer
yang

ditandai

dengan

gambaran

eritrosit

dengan

peningkatan ukuran dan bentuk yang bervariasi.


6) Anamia aplastik, merupakan suatu kondisi kegagalan
produksi sel-sel darah di sumsum tulang. Ha tersebut

29

terlihat dari sumsum tulang yang hiposeluler, anemia


dengan

derajat

bervariasi,

granulositopenia,

dan

trombositopenia.
7) Anemia pada penyakit kronik, yaitu anemia yang ditemukan
pada

pasien

dengan

infeksi,

peradangan,

dan

keganasanyang terjadi hingga lebih dari 1-2 bulan


d. Patofisiologi Anemia
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat
digolongkan pada tiga kelompok:
a) Anemia akibat produksi sel darah merah yang
berkurang atau gagal
b) Anemia akibat penghancuran sel darah merah
c) Anemia akibat kehilangan darah
B. Anemia defisiensi besi
a. Definisi
Anemia defisiensi besi, yaitu kondisi dimana tidak ada
cadangan besi yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk
diikutkan dalam proses hematopoiesis sebagai

salah satu

dampak dari cadangan besi jaringan yang berkurang.


b. Patofisiologi
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan
hemoglobin (Hb).Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan
Hb.Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit
mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa sehingga timbul
anemia hipokromik mikrositik.3
c. Etiologi anemia defisiensi besi
Penyebab paling sering yaitu pendarahan kronik,
terutama melalui saluran pencernaan (ankilostomiosis, ulkus
peptikum, kolik ulserativa, atau keganansan kolon) dan uterus
(menstruasi). Penyebab yang lebih jarang yaitu sindrom
malabsorbsi

primer

atau

malabsorbsi

akibat

tindakan

pembedahan saluran cerna. Pendarahan kronik sering menjadi


penyebab anemia defisiensi besi pada negara maju dan
golongan lansia. Sementara asupan besi peroral
d. Patogenesis

30

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi


sehingga cadangan zat besi makin menurun. Jika cadangan
kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila
kekurangan zat besi berlanjut terus maka penyediaan zat besi
untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi,
keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.Selanjutnya
timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut iron
deficiency anemia.
e. Gejala klinis
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak
nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas
dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis
lain, seperti :
a) Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
b) Glositis : iritasi lidah
c) Keilosis : bibir pecah-pecah
d) Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya
seperti sendok.
f. Diagnosis banding
1) Thalasemia : tidak terdapat kelainan metabolisme besi,
sehingga uji metabolisme besi akan menunjukan hasil yang
normal. Selain itu RDW pada thalasemia biasanya normal,
2) Anemia pada penyakit kronik : relatif sulit dibedakan
dengan anemia defisiensi besi secara klinis. Sediaan darah
tepi pada anemia penyakit kronik biasanya menunjukkan
anemia normositik normokromatik. Feritin dalam jumlah
normal atau meningkat, dan TIBC tidak meningkat pada
anamia penyakit kronik.
3) Sindrom mieloblastik : memperlihatkan anemia mikrositik
karena gangguan sintesis Hb pada tingkat mitokondria
sehingga terjadi disfungsi pengikatan besi ke molekul
heme.
g. Pemeriksaan laboratorium

31

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi


besi yang dapat dijumpai adalah :
a) Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia
hipokrom mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia
difisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell
distribution width) meningkat yang menandakan adanya
anisositosis.Indeks

eritrosit

sudah

dapa

mengalami

perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar


hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan
gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul
perlahan-perlahan.

Apusan

darah

menunjukkan

anemiahipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis,


anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan
derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan
trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat
anemia.

Pada

kasus ankilostomiasissering

dijumpai eosinofilia.
b) Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan
kelompok-kelompok

normo-blast

basofil.

Bentuk

pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.2


c) Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding
capacity (TIBC) meningkat >350 mg/dl, dan saturasi
transferin < 15%.
d) Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi
dalam serum, konsentrasinya sebanding dengan cadangan
besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia
defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan
feritin serum yang meningkat menunjukkan adanya
kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari

32

jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya


pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau meningkat
pada anemia penyakit kronik.
e) TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
f) Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator
americanus.
g) Pemeriksaan

lain

gastroduodenografi,

:
colon

endoskopi,
in

loop,

kolonoskopi,
pemeriksaan

ginekologi.1
h. Epidemiologi
Menurut data WHO tahun 2001 diperkirakan hampir
seluruh anak balita dan wanita hamil mengalami defisiensi
besi. Jumlah ini lebih rendah pada negara berkembang, yaitu
sebesar 30-40 persen dari populasi. Setiaknya setengah dari
wanita hamil di seluruh dunia diperkirakan menderita anemia,
52 % pada negara berkembang dan 23% pada negara maju.
Angka anemia defisiensi besi di Indonesia diperkirakan
sebesar 25-35 persen. Secara sosio-konomi, prevalensi anemia
defisiensi lebih tinggi pada golongan ekonomi rendah .
Oenyakit

ini

juga

realtifemnurun/diturunkan,

yang

diperkirakan kakarena pengaruh faktor ekekonomi. Pada


golongan ekonomi rendah, jika seorang anak diketahui
menderita anemia defisiensi besi , maka anggota keluarganya
kemungkinan menderita hal yang sama.
i. Prognosis
Anemia defisiensi besi adlah keadaaan yang mudah
diterapi. Dengan terapi besi peroral hamenunjukkan anemia
normositik normokromatik. Feritin dalam jumlah noralatau
meningkat, dan TIBC tifak meningkat pada anemia penyakit
kronik,
j. Terapi

33

Setelah diagnosis ditegakan

maka dibuat rencana

pemberian terapi, terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat


berupa :
a) Terapi

kausal:

pengobatan

tergantung

cacing

tambang,

penyebabnya,misalnya
pengobatan

hemoroid,

pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan,


kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
b) Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi
dalam tubuh :
c) Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena
efektif, murah, dan aman.preparat yang tersedia, yaitu:
(1) Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan
pertama (murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
(2) Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate,
dan ferrous succinate,harga lebih mahal, tetepi
efektivitas dan efek samping hampir sama.
Sedangkan besi parenteral tersedia beberapa preparat yaitu :
(1) iron dextran complex
(2) iron sorbitol citric acid complex.
Keduanya dapat diberikan secara intramuscular
dalam atau intravena pelan.
(Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm,
352 : 1011-1023.)
(Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life:
prevalence, significance, and causes in patients receiving palliative
care. Medlineplus. 26:1132-1139.)
(Tjahyadi, Cindy A. 2015. Buku Saku Hematologi, Jakarta : Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya)

34

PENUTUP
Kesimpulan
Anemia didefinisikan sebagai penurunan massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat membawa O2 dalam jumlahyang cukup ke
jaringan perifer. Dari segi praktis, hal tersebut ditunjukkan dengan
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau eritrosit.
Patofisiologi anemia berdasarkan proses patofisiologi terjadinya
anemia, dapat digolongkan pada tiga kelompok:

a) Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
b) Anemia akibat penghancuran sel darah merah
c) Anemia akibat kehilangan darah
Sedangkan anemia defisiensi besi yaitu kondisi dimana tidak ada
cadangan besi yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk diikutkan dalam
proses hematopoiesis sebagai

salah satu dampak dari cadangan besi

jaringan yang berkurang.


Patofisiologi dari anemia defisiensi besi adalah zat besi (Fe)
diperlukan

untuk

pembuatan

hemoglobin

(Hb).Kekurangan

Fe

mengakibatkan kekurangan Hb.Walaupun pembuatan eritrosit juga


menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit daripada biasa
sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.
Penyebab paling sering anemia defisiensi besi yaitu pendarahan
kronik, terutama melalui saluran pencernaan (ankilostomiosis, ulkus
35

peptikum,

kolik

ulserativa,

atau

keganansan

kolon)

dan

uterus

(menstruasi). Penyebab yang lebih jarang yaitu sindrom malabsorbsi


primer atau malabsorbsi akibat tindakan pembedahan saluran cerna.
Pendarahan kronik sering menjadi penyebab anemia defisiensi besi pada
negara maju dan golongan lansia. Sementara asupan besi peroral. Dapat
juga disebabkan oleh infeksi cacing tambang.
Gejala klinis anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak
nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada
defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti atrofi papil
lidah (permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang), glositis (iritasi lidah), keilosis : bibir pecah-pecah, koilonikia
: kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
Terapi oral dan parenteral anemia defisiensi besi Pemberian
preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh : Preparat
yang tersedia adalah iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex. Dapat diberikan secara intramuscular dalam atau intravena pelan.
Pemberian sulfat ferous akan memberikan asupan besi (FE) kepada tubuh,
berikut farmakodinamika, farmakokinetik, indikasi, dosis, kontra indikasi
dan efek samping dari sulfat ferous. Preparat besi sebaiknya diberikan saat
lambung kosong, tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan
pemberian setelah makan. Efek samping dapat berupa mual, muntah, serta
konstipasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin
normal unutk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak, anemia sering
kambuh kembali.
Diagnosis banding dari anemia defisiensi besi yaitu thalasemia,
anemia pada penyakit kronik, sindrom mieloblastik.
Saran
Pada tutorial skenario kali ini, mahasiswa sudah mulai lebih berani
untuk

menyampaikan

hasil

belajarnya

masing-masing.

Namun

pemahaman masalah di skenario nampak kurang baik, sehingga ketika


menjelaskan solusi masalah tersebut terkesan masih superifical. Selain itu,

36

mahasiswa masih terkesan malu dalam menyampaikan pendapat yang


pada

dasarnya

untuk

memperjelas

dan

memperdalam

khazanah

pengetahuan. Alangkah lebih baik untuk kedepannya diharapkan


mahasiswa lebih kritis dalam menganalisis kasus sehingga pemahaman
dan penarikan solusi akan masalah di skenario dapat lebih baik.

Daftar Pustaka
Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Bakta IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: penerbit buku
kedokteran. EGC
Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life:
prevalence, significance, and causes in patients receiving palliative
care. Medlineplus. 26:1132-1139
Gandasoebrata, R. 2008. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian
Rakyat
Hikmat.2013.Macam-Macam Golongan Darah.
Hoffbrand, A.V., & Moss, P.A.H. (2013). Kapita Selekta Hematologi.
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : IDAI
Larry, 2011. Buku Saku Hematologi. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Lubis, D.A. 2012. Anemia Defisiensi Besi. Medan : Divisi Hemato
Onkologi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Martini, Frederic H. Judi L. Nath. And Edwin F. Bartholomew. 2012.
Fundamentals of Anatomy & Physiology. San Francisco: Pearson
Education
Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.2014.Jakarta:EGC
Kapita Selekta Kedokteran UI edisi IV jilid I
Setiabudy, Rianto.2012.Farmakologi dan Terapi.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI
Tjahyadi, Cindy A. 2015. Buku Saku Hematologi, Jakarta : Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.

37

Uliyah, Musrifatul. 2008. Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik:


Aplikasi Dasar - dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika
Price dan Wilson.2005.Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit.Jakarta:EGC
Setiabudy, Rianto.2012.Farmakologi dan Terapi.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI
Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, B., dkk.2009.Buku Ajar:Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta:EGC
Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm, 352
: 1011-1023

38

Anda mungkin juga menyukai