Anda di halaman 1dari 28

WRAP UP SKENARIO 4

BLOK GASTROINTESTINAL
“NYERI PERUT KANAN ATAS”

Kelompok B-9
Ketua : Raissa Salsabila (1102018255)

Sekretaris : Ilham Mahardika (1102018326)

Anggota : Rozzika Zaklin Mangestu (1102018215)

Wina Ainun Patimah (1102018236)

Hana Kautsarina (1102018237)

Marza Akbar Zulafa (1102018252)

Andi Safira Afra Amin (1102018257)

Nuraharvi (1102018315)

Novandri Rizky Muhammad (1102018300)

Rita Fauzia (1102018313

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2019/2020
Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. (+62)214244574 Fax.(+62)214244574
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 1
SKENARIO ............................................................................................................................... 2
KATA SULIT ............................................................................................................................ 3
PERTANYAAN ........................................................................................................................ 4
HIPOTESIS ............................................................................................................................... 6
SASARAN BELAJAR .............................................................................................................. 7
1. Memahami dan Menjelaskan Entamoeba histolytica ........................................................ 8
1.1 Morfologi ................................................................................................................... 8
1.2 Siklus Hidup............................................................................................................. 10
2. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis ......................................................................... 11
2.1 Definisi ..................................................................................................................... 11
2.2 Etiologi ..................................................................................................................... 11
2.3 Epidemiologi ............................................................................................................ 12
2.4 Patogenesis/Patofisiologi ......................................................................................... 12
2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................................... 14
2.6 Penegakan Diagnosis & Diagnosis Banding............................................................ 15
2.7 Tatalaksana .............................................................................................................. 17
2.8 Pencegahan .............................................................................................................. 20
2.9 Komplikasi ............................................................................................................... 20
2.10 Prognosis .................................................................................................................. 21
3. Memahami dan Menjelaskan Analisis Feses ................................................................... 22
3.1 Aspek yang Diperiksa .............................................................................................. 22
3.2 Interpretasi Hasil ...................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27

1
SKENARIO
NYERI PERUT KANAN ATAS
Nn. A, 14 tahun, tinggal di daerah padat penduduk, dibawa oleh keluarganya ke RS
YARSI karena nyeri perut kanan atas disertai demam sejak 1 minggu yang lalu.
Pemeriksaan fisik pada Nn. A ditemukan perut membesar, hati teraba 4 jari bawah arcus
costarum disertai nyeri tekan pada sela iga kanan.
Pemeriksaan laboratorium pada Nn. A ditemukan peningkatan enzim hati. Beberapa
bulan lalu Nn. A pernah mengalami buang air besar berdarah dan berlendir, serta pada analisa
feses ditemukan bentuk tropozoid Entamoeba histolytica.

2
KATA SULIT
1. Analisa feses : Serangkaisan tes yang dilakukan pada sampel feses untuk
membantu mendiagnosis kondisi tertentu yang memngaruhi sal. pencernaan. kondisi ini
dapat mencakup infeksi, seperti parasit, virus, atau bakteri, penyerapan nutrisi yang buruk
atau kanker.
2. Entamoeba histolytica : Parasit amoeboid anaerob yang menjadi bagian dari genus
entamoeba, parasit ini menyerang manusia dan primata. parasit gol. protozoa usus yang
sering hidup sebagai organisme komensal di jar. usus besar manusia, namun pada kondisi
tertentu dapat berubah menjadi patogen.

3
PERTANYAAN
1. Apa hubungan daerah padat penduduk dgn keluhan yang dirasakan?
2. Mengapa enzim hati dapat meningkat?
3. Apa yang menyebabkan perut membesar dan nyeri perut kanan atas?
4. Mengapa dapat terjadi BAB berdarah dan berlendir?
5. Apa tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien tersebut?
6. Apa penyebab dan faktor risiko penyakit tersebut?
7. Apa pencegahan yang dapat dilakukan pada kasus tersebut?
8. Mengapa terjadi pembesaran hati pada kasus tersebut?
9. Bagaimana cara penularan Entamoeba histolytica?
10. Bagaimana cara mendiagnosis Entamoeba histolytica?
11. Apa saja penyakit yang dapat disebabkan Entamoeba histolytica?
12. Apa diagnosis sementara penyakit tersebut?
13. Apa yang dapat terjadi apabila penyakit ini tidak ditangani dengan baik?
14. Apa saja yang dinilai pada analisa feses?
Jawaban
1. Karena endemik Entamoeba histolytica adalah pada daerah padat penduduk dan daerah
yang sanitasinya kurang baik. PHBS rendah, kendala sosial ekonomi
2. Karena terdapat hepatomegali yang menyebabkan kerusakan hati yang disebabkan oleh
obat-obatan, penyakit hati berlemak dan alkohol. karena terdapat kolonisasi tropozoit di
mukosa usus besar sehingga menyebabkan ulserasi, epitel dan mukosanya mengalami
kerusakan sehingga tropozoit masuk ke aliran darah dan bisa menginfeksi organ lain (paling
sering hati), sehingga menyebabkan abses hati. jika ada kerusakan di hati, akan
mengeluarkan enzim hati ke pembuluh darah sehinggan kadar enzim meningkat.
3. Karena terdapat pembesaran hati.
4. Bentuk histolytica bersifat patogen dan menyebabkan gejala klinis, bentuk ini memasuki
usus besar dan mengeluarakan enzim sistein proteinase yang menghancurkan jaringan, lalu
bentuk ini memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosa, bersarang
di submukosa dan menimbulkan kerusakan yang lebih luas sehingga terjadi luka dan darah
keluar bersama tinja, lendir dikeluarkan oleh epitel mukosa.
5. Infeksi usus asimptomatik: furamid, iodokuinol, paromomicin (25-35 mg/KgBB/hari)
diberikan dlm 7-10 hari, infeksi ringan-sedang: metronidazol (250 mg, 35-50
mg/KgBB/hari) 10 hari, infeksi berat dan abses amoeba hati: metronidazol (750 mg, 35-50
mg/KgBB/hari) 10 hari, dehidrometin 5 hari. Aspirasi abses hepar dengan kondisi apabila
pasien memiliki risiko tinggi mengalami ruptur abses yang lebih dari 5 cm dan apabila
absesnya terdapat pada lobus sinistra, jika tidak merespon terapi dalam 5-7 hari, jika kondisi
tidak bisa dibedakan dengan abses hepar piogenik.
6. Infeksi Entamboeba histolytica. Faktor risiko: homoseksual, daerah padat penduduk dan
kebersihan rendah, orang dengan imunosupresi, imigran dari daerah endemis.
7. Minum air yang matang, cuci dan kupas buah&sayur, lindungi makanan dari lalat, cuci
tangan setelah BAB dan sebelum menyiapkan makanan.
8. Adanya hepatomegali dan terganggunya kapsula glissoni membentuk sekat interlobaris
pada hati menimbulkan manifestasi klinis yaitu anemia, menyebabkan eritropoesis pada
sumsum tulang terganggu, destruksi eritrosit berlebih, menyebabkan eritropoesis dilakukan
di hepar dan akhirnya menyebabkan hepatomegali.
9. Fecal-oral transmission, melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi Entamoeba
histolytica. penyebaran pada pelaku homoseksual juga dapat terjadi, tidak tersedianya
jamban. Bentuk infektifnya kista.

4
10. Sediaan hapus feses (direct feces smear) dan pewarnaannya (tidak bisa menentukan
spesies), identidikasi spesies menggunakan PCR, untuk memeriksa antigen monoklonal,
kultur feses menggunakan media robinson atau media jones. ditemukannya stadium kista
pada pem. feses, stadium tropozoit hanya bertahan dalam beberapa jam. gold standardnya
biopsi jaringan. tes serologi, jika titer AB tinggi maka menunjukkan invasi amoebiasis.
11. Melukai dinding usus dan menyebabkan infeksi (infeksi dinding colon), komplikasi hati
(serosis), menyerang paru-paru.
12. Abses hati et causa amebiasis.
13. Sepsis, gagal ginjal akut, syok septik, abses multipel, ruptur abses, anemia,
hipoalbuminemia, dan emfiema.
14. Makroskopik: pemeriksaan jumlah, warna, bau, konsistensi, lendir, darah, nanah, dan
adanya sisa makanan. mikro: pem. protozoa, telur cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, krista,
makrofag, dan sel ragi (yeast). pemeriksaan darah samar tidak terlihat pada pem makro atau
mikro tetapi melalui reaksi kimia, kultur feses untuk menilai pertumbuhan bakteri yang
tidak normal.

5
HIPOTESIS
Infeksi Entamoeba histolytica merupakan penanda adanya amebiasis. Parasit ini dapat
menular melalui makanan dan minuman terkontaminasi, daerah padat penduduk dan sanitasi
yang buruk juga merupakan faktor risiko penularan parasit tersebut. Infeksi parasit tersebut
dapat menimbulkan beberapa gejala seperti BAB berdarah dan berlendir, serta hepatomegali.
Penyakit ini dapat diobati dengan beberapa macam obat amobisid seperti metronidazol dan
dehidrometin. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga sanitasi dengan baik serta
makan dan minum yang matang. Amebiasis yang berkelanjutan dapat menyebabkan abses hati.

6
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Entamoeba histolytica
1.1. Morfologi
1.2. Siklus Hidup
2. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis
2.1. Definisi
2.2. Etiologi
2.3. Epidemiologi
2.4. Patogenesis/Patofisiologi
2.5. Manifestasi Klinis
2.6. Penegakan Diagnosis & Diagnosis Banding
2.7. Tatalaksana
2.8. Pencegahan
2.9. Komplikasi
2.10. Prognosis
3. Memahami dan Menjelaskan Analisis Feses
3.1. Aspek yang Diperiksa
3.2. Interpretasi Hasil

7
1. Memahami dan Menjelaskan Entamoeba histolytica
1.1 Morfologi
Entamoeba histolytica adalah penyebab penyakit amubiasis pada manusia yang dapat
menyerang usus (intestinal amoebiasis) dan organ-organ selain usus (extra-intestinal
amoebiasis).
Kingdom : Protista
Filum : Sarcomastigophora
Kelas : Rhizopoda
Ordo : Amoebida
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba histolytica
Sebaran Geografis
Amubiasis banyak dilaporkan dari berbagai daerah di seluruh dunia, terutama daerah
tropis dan subtropis yang lingkungan kebersihannya buruk. Penyakit ini endemis di Indonesia,
baik di luar Jawa maupun di pulau Jawa terutama di daerah pedesaan (rural). Di Kalimantan
Selatan 12% dari tinja yang diperiksa menunjukkan adanya Entamoeba histolytica sedangkan
di Medan 6,25% dari penderita diare adalah disenteri amubawi. Di daerah Kepulauan Seribu,
Jakarta, 5% dari tinja anak sekolah dasar yang diperiksa menunjukkan adanya protozoa usus
ini.
Tempat hidup
Stadium trofozoit Entamoeba histolytica ditemukan hidup di dalam jaringan mukosa dan
submukosa usus besar penderita, sedangkan bentuk kista parasit ini hanya ditemukan di dalam
lumen usus.
Morfologi
Entamoeba histolytica mempunyai kariosom yang tampak seperti titik k ecil yang terletak
sentral dan dikelilingi daerah terang (halo) yang jelas. Inti parasit ini mempunyai selaput tipis
yang dibatasi oleh butir-butir kromatin yang halus dan rata.
Protozoa usus ini termasuk kelas Rhizopoda yang bergerak menggunakan pseudopodi
atau kaki semu. Terdapat tiga bentuk Entamoeba histolytica, yaitu bentuk trofozoit , bentuk
kista dan bentuk prakista.
v Trofozoit
o Bentuk parasit yang aktif bergerak, dapat tumbuh dan berkembang biak, aktif mencari
makanan, dan bersifat invasif karena mampu memasuki organ dan jaringan tubuh
lainnya.
o Bergerak menggunakan pseudopodia
o Ukuran 18 u – 40 u
o Sitoplasma trofozoit terdiri dari ektoplasma yang jernih, sedangkan endoplasmanya
berbutir-butir (granuler)
o Inti bulat, ukuran 4 – 6 mikron
v Prakista
o Merupakan bentuk peralihan antara stadium kista dan stadium trofozoit

8
o Bentuk stadium prakista agak lonjong atau bulat, berukuran antara 10-20 mikron, dan
mempunyai pseudopodi yang tumpul
o Endoplasma prakista tidak ditemukan eritrosit maupun sisa-sisa makanan
o struktur inti prakista sesuai dengan inti dan struktur inti trofozoit.

v Kista
o Kista berbentuk bulat, mempunyai dinding dari hialin, dan tidak aktif bergerak
o Di dalam sitoplasma kista pada stadium awal terdapat 1-4 badan kromatoid (chromatoid
body)
o Terdapat masa glikogen yang pada pewarnaan dengan iodin akan berwarna coklat tua.
o Jika kista sudah matang akan ditemukan 4 buah inti (quadrinucleate cyst) namun tidak
dijumpai badan kromatoid maupun masa glikogen.
o Bentuk infektif : kista dengn inti 4
o Ukuran:
§ kista minutaform yang kecil ukurannya (antara 6-9 mikron)
§ kista magnaform yang berukuran lebih besar (antara 10-15 mikron)

Entamoeba histolytica (a) trofozoit (b) kista


(Sumber: CDC. http://www.dpd.CDC,USA.gov)

Pada pemeriksaan di bawah mikroskop menggunakan garam faali untuk pengencer


tinja, Entamoeba histolytica masih dalam keadaan hidup. Tampak trofozoit bergerak aktif
dengan gerakan-gerakan pseudopodi yang cepat. Inti parasit sukar dilihat, tetapi di dalam
sitoplasma tampak eritrosit yang berwarna hijau kekuningan. Kista terlihat bulat dengan
dinding yang tipis dan halus, sedangkan badan kromatoid yang berbentuk batang mudah
dikenal. Di dalam sitoplasma masa glikogen sukar dilihat.
Pada pewarnaan tinja menggunakan lugol parasit tampak berwarna kuning sampai
coklat muda. Inti terlihat dengan jelas dengan kariosom terletak di tengah-tengah inti.
Sitoplasma Entamoeba histolytica tampak halus dengan badan kromatoid yang tidak berwarna
dan masa glikogen yang berwarna coklat tua. Dengan pewarnaan iron-hematoxylin, inti parasit

9
dan badan kromatoid tampak berwarna hitam, dengan sitoplasma yang berwarna kebiru-biruan
atau kelabu, sedangkan masa glikogen tidak berwarna.
1.2 Siklus Hidup
Entamoeba histolytica memiliki dua stadium, yaitu trofozoit dan kista. Trofozoit
merupakan bentuk vegetatif yang dapat dibedakan dengan amoeba usus lainnya karena
memiliki sifat yang penting untuk diagnosis. Kista biasanya ditemukan pada feses yang
terbentuk (formed stool) sedangkan trofozoit ditemukan pada feses penderita diare (diarrhea
stool).

Infeksi terjadi ketika seseorang menelan kista matur dari makanan, air, atau tangan yang
terkontaminasi. Paparan kista dan trofozoit juga dapat terjadi melalui kontak seksual. Di dalam
usus halus, dinding kista dihancurkan oleh tripsin sehingga terjadi ekskistasi. Trofozoit lepas,
kemudian bermigrasi ke usus besar. Trofozoit berkembang biak melalui pembelahan biner dan
menghasilkan kista. Pada infeksi non-invasive, trofozoit akan berada di lumen usus lalu keluar
melalui feses.
Kista dapat bertahan hidup hingga berminggu-minggu di lingkungan eksternal dan
tetap infektif karena dilindungi oleh dindingnya. Sedangkan trofozoit yang keluar melalui feses
cepat hancur saat berada diluar tubuh dan apabila tertelan, tidak akan bertahan di lambung.
Pada infeksi invasif, trofozoit menembus mukosa usus lalu terbawa oleh aliran darah menuju
daerah ekstraintestinal, seperti hepar, otak, dan paru-paru.
Hepar merupakan organ yang paling sering diinfeksi selain usus. Keterlibatannya
terjadi ketika Entamoeba histolytica masuk ke sirkulasi portal melalui venula mesenterika
kemudian masuk ke hepar membentuk satu atau lebih abses. Lektin Entamoeba histolytica
galactose/N-acetyl-D-galactosamine merupakan kompleks protein adhesi yang menopang
invasi jaringan. Abses yang terbentuk mengandung debris protein aseluler, yang diduga
menginduksi apoptosis dan dikelilingi oleh trofozoit yag menyerang jaringan. Lobus kanan

10
hepar lebih sering terkena daripada lobus kiri. Hal ini dikaitkan dengan aliran darah laminar
portal lobus kanan dipasok terutama oleh Vena Mesenterica Superior, sedangkan aliran darah
portal lobus kiri dipasok oleh Vena Lienalis.
Terkadang, Entamoeba histolytica juga memasuki sirkulasi sistemik melalui venula
rectal media dan inferior serta vena vertebral, kemudian menuju paru-paru, otak, dan saluran
genitourinaria. Selain itu, infeksi juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang terkontaminasi
atau aspirasi kista/trofozoit dan sebagai perluasan abses hepar. Paru-paru adalah organ
ekstraintestinal kedua yang paling sering diserang setelah hepar. Lobus bawah dan tengah paru-
paru kanan merupakan daerah yang biasanya terkena. Lobus kiri bawah atau segmen lingular
lobus kiri atas juga merupakan tempat abses paru. keterlibatan paru biasanya bilateral.
Diperkirakan bahwa parasit dapat mencapai bronkus melalui penyebaran hematogen.

2. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis


2.1 Definisi
Amebiasis merupakan suatu keadaan terdapatnya Entamoeba histolytica dengan atau tanpa
manifestasi klinik, dan disebut juga sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne Diseases).
Entamoeba histolytica juga dapat menyebabkan penyakit dysentry amoeba.
Amebiasis merupakan suatu infeksi Entamoeba histolytica pada manusia, dapat terjadi
secara akut dan kronik.
2.2 Etiologi
Manusia merupakan pejamu dari beberapa spesies amuba, yaitu Entamuba histolytica,
E. coli, E. ginggivalis, Dientamuba frigilis, Endolimax nana, Iodamuba butclii. Di antara

11
beberapa spesies amuba, hanya satu spesies yaitu E. histolytica yang merupakan parasit
patogen pada manusia.
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa usus biasanya didapatkan per-oral melalui
kontaminasi feses pada air atau makanan. Pada manusia E. histolytica mengadakan invasi ke
dalam mukosa usus dan dapat menyebar ke dalam traktus intestinal, misalnya ke duodenum,
gaster, esofagus atau ekstraintestinal, yaitu hati (terutama), paru, perikardium, peritonium,
kulit, dan otak. Infeksi terjadi karena tertelannya kista dari makanan atau minuman yang
terkontaminasi, sedangkan tertelannya bentuk trofozoit tidak menimbulkan infeksi karena
tidak tahan terhadap lingkungan asam dalam lambung.
Berikut beberapa masalah yang kerap mengakibatkan infeksi amebiasis:
a. Penyediaan air bersih dan sumber air sering tercemar.
b. Tidak tersedianya jamban mengakibatkan orang-orang buang air besar sembarangan yang
akan di hinggapi oleh lalat atau kecoak.
c. Tempat pembuangan sampah yang buruk dapat menjadi tempat perkembangbiakan lalat
yang menjadi faktor mekanik infeksi amoeba.
2.3 Epidemiologi
Amebiasis terdapat di seluruh dunia atau bersifat kosmopolit terutama di daerah yang
kondisi sanitasi yang kurang baik. Parasit ini terutama ada di daerah tropis dan daerah beriklim
sedang. Secara epidemiologi didapatkan 8-15 per 100.000 kasus yang memerlukan perawatan
di RS.
Laju infeksi yang tinggi terjadi di tempat-tempat penampungan anak atau pengungsi
dan di negara-negara berkembang dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Prevalensi
amebiasis di Amerika Serikat adalah sebesar 1-5%. Strain patogen lebih banyak ditemukan di
negara beriklim tropis dibandingkan di negara maju dengan iklim sedang. Pada negara maju
lebih sering ditemukan pasien asimptomatik, sedangkan di negara berkembang lebih banyak
ditemukan pasien asimptomatik.
2.4 Patogenesis/Patofisiologi
Kista matang yang tertelan mencapai lambung masih dalam keadaan utuh karena kista
tahan terhadap asam lambung. Di rongga usus halus terjadi ekskistasi dan keluarlah bentuk-
bentuk minuta yang masuk ke dalam rongga usus besar. Bentuk minuta ini berubah menjadi
bentuk histolitika yang pathogen dan hidup di mukosa usus besar serta menimbulkan gejala.
Diare akan didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E. histolytica dan sel
epitel kolon, melalui antigen Gal/Gal Nacletin yang terdapat di permukaan trofozoit. Antigen
terdiri dari dua kompleks disulfida. Kedua rantai tersebut dihubungkan dengan protein. Sel
epitel usus yang berikatan dengan trofozoit akan berikatan tidak bergerak dalam waktu
beberapa menit yang kemudian akan menghilang. Invensi ameba berlanjut menuju jaringan
ekstra sel melalui sistem proteinase yang dikeluarkan trofozoit. Sistein proteinase akan
melisiskan matriks protein ekstra sel, sehingga invensi trofozoit ke jaringan submukosa akan
mudah. Trofozoit akan menembus dan bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang
lebih luas pada mukosa usus, akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Lesi ini biasanya

12
merupakan ulkus-ulkus kecil yang letaknya tersebar di mukosa usus, bentuk rongga ulkus
seperti botol dengan luban sempit dan dasar yang lebar, dengan tepi yang tidak teratur agak
meninggi dan menggaung. Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan. Bila
terdapat infeksi sekunder, terjadilah proses peradangan yang dapat meluas di submucosa dan
melebar ke lateral sepnajnag sumbu usus. Kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus-
ulkus saling berhubungan dan terbentuk sinus-sinus dibawah mukosa. Melalui aliran darah,
bentuk histolitika ini dapat menyebar hingga ke jaringan hati, paru, dan otak. Dengan peristalsis
usus, bentuk histolitika dikeluarkan bersama isis ulkus ke rongga usus kemudian menyerang
lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja.

13
2.5 Manifestasi Klinis
Amebiasis intestinal
Pada daerah endemik, 75% yang didiagnosis terinfeksi amebiasis adalah asimptomatik
(carrier), 20% mengalami penyakit disentri kronik, dan 5% mengalami disentri akut. Pada
daerah non endemik, infeksi yang terjadi kebanyakan bersifat asimptomatik. Masa inkubasi
untuk munculnya gejala klinik bervariasi dari beberapa hari sampai berbulanbulan atau
bertahun-tahun (biasanya 2-4 minggu). Beberapa bentuk manifestasi klinik pada penderita
amebiasis intestinal adalah:
§ Asymptomatic amebiasis (Cyst-Passer) : Merupakan bentuk yang non invasif dan parasit
akan hidup sebagai suatu komensal didalam lumen usus.
§ Non dysentric amebiasis (Chronic Amebiasis) : Bentuk ini mengikuti penyakit yang akut
atau muncul diawal infeksi. Gejalanya bervariasi mulai dari ringan dan singkat sampai
berat dan berlangsung lama. Adanya diare (terkadang dengan mucus), kramp abdominal,
kembung, nausea, distensi post prandia dan anoreksia, namun tidak terlihat adanya darah
didalam tinja.
§ Dysentric amebiasis (Acute Amebiasis) : Bentuk ini biasanya mulai dengan lambat selama
beberapa hari dengan kramp abdominal, tapi kemudian berkembang secara bermakna-
menjadi diare dengan darah dan mucus.
§ Ameboma (Amebic Granuloma) : Merupakan hasil produksi yang berlebihan dari jaringan
granulasi sebagai respon terhadap penyakit kronik atau amebiasis intestinal disentrik.
Ameboma tedadi terutama di caecum dan rectosigmoid, yang menyerupai sebuah tumor
ireguler yang tunggal ataupun multiple.
§ Localized ulcerative lesion of the colon: Terkadang ulkus pada usus besar hanya terbatas
pada area rektal, yang secara karalcteristik menghasilkan pengeluaran tinja dengan eksudat
darah.
§ Post dysentric colitis : Gejala ini terkadang mengikuti suatu terapi yang adekuat terhadap
amebiasis intestinal yang berat. Diare akan berlanjut dan mukosa menjadi kemerahan dan
edem4 tetapi tidak terdapat ulkus atau tidak ditemukannya organisme. Kebanyakan kasus
akan sembuh dengan sendirinya dengan masa remisi selama beberapa minggu atau bulan.
Terkadang diare akan berlanjut dan muncul sebagai kolitis inflamatori non spesifik yang
berkembang dengan cepat oleh karena infeksi amoeba.
Amubiasis Hepar
Abses hati ameba merupakan penyulit ekstraintestinal yang paling sering terjadi. Aliran
darah dari usus akan menuju ke hati, terutama lobus kanan atas. Oleh sebab itu, bersama aliran
darah maka organisme yang berada di submukosa usus dapat sampai ke hati. Gejala dapat
timbul secara perlahan atau mendadah rasa nyeri di abdomen kanan atas, disertai demam 38-
390C, merupakan gejala yang sering dijumpai Kelemahan, penurunan berat badan, batuk-batuk
dan berkeringat lebih jarang terlihat. Dapat timbul hepatomegali yang disertai rasa sakit, tapi
fungsi hati dapat normal atau sedikit terganggu dan jarang disertai ikterik. Mungkin dapat juga
terjadi kelainan pada paru kanan bawah yang disebabkan oleh naiknya diafragma. Abses yang
terjadi dapat dideteksi secara radiolcgis ultrasonik atau dengan menggunakan radionuklir.

14
Pada sebagian besar pasien, abses biasanya tunggal dan terletak di lobus hati bagian
kanan. Komplikasi yang umum terjadi adalah pecahnya abses kedalam rongga pleura. Abses
dapat juga meluas ke peritoneum atau ke kulit. Dapat juga terjadi penyebaran secara hematogen
ke otak, paru, perikardium dan tempat-tempat lain. Jarang ditemukan kista dan tropozoit E.
histolytica pada tinja pasien dengan abses hati. Biasanya 60% dari penderita tidak mempunyai
gejala gastrointestinal ataupun gejala disentri.
2.6 Penegakan Diagnosis & Diagnosis Banding
Anamnesis
a. Riwayat penyakit pasien dahulu
b. Riwayat penyakit pasien sekarang
c. Keluhan yang dirasakan (diare (mungkin berdarah), demam, mual,dll)
d. Riwayat penyakit keluarga
Anamnesis diare yang dapat membantu :
1. Bentuk Feses
2. Makanan dan minuman 6-24 jam terakhir
3. Orang di sekitar yang mempunyai keluhan serupa
4. Lingkungan tempat tinggal
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya tidak begitu tinggi kurva suhu bisa intermiten atau remiten. Lebih dari
90% didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar kearah caudal dan
cranial dan mungkin mendesak kea rah perut atau ruang intercostals. Pada perkusi di atas
daerah hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa juga agak keras seperti
keganasan. Abses yang besar tampak sebagai massa yang membenjol di daerah dada kanan
bawah. Pada kurang dari 10% abses terletak di lobus kiri yang sering kali terlihat seperti massa
yang teraba nyeri di daerah epigastrium. Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila
ikterus hebat biasanya disebabkan abses yang besar atau multiple, toraks di daerah kanan
bawah mungkin di dapatkan adanya efusi pleura atau ‘friction rub’ dari pleura yang disebabkan
oleh iritasi pleura. Gambaran klinik abses hati amebic mempunyai spectrum yang luas dan
sangat bervariasi, hal ini disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan penyulit yang
terjadi. Pada penderita gambaran bisa berubah setiap saat. Dikenal gambaran klasik dan tidak
klasik.
a. Pada gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan nyeri perut kanan
atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan epatomegali yang nyeri. Gambaran klasik
didapatkan pada 54-70% kasus.
b. Pada gambaran klinik tidak klasik ditemukan pada penderita ini gambaranklinik klasik
seperti di atas tidak ada. Ini disebabkan letak abses pada bagian hati yang tertentu
memberikan manifestasi klinik yang menutupi gambaran yang klasik. Gambaran klinik
tidak klasik dapat berupa:
1. Benjolan didalam perut, seperti buakn kelainan hati misalnya didugaempyema kandung
empedu atau tumor pancreas.

15
2. Gejala renal. Adanya keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan massa yang
didugaginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobuskanan
hati.
3. Ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak di dekat
portahapatis.
4. Colitis akut. Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran klasik
absesnya sendiri.
5. Gejala kardiak. Rupture abses kerongga pericardium memberikan gambaran klinik efusi
pericardial.
6. Gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa empyema toraks atau abses paru
menutupi gambaran klasik abses hatinya.
7. Abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga
peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang berkurang.
8. Gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas nyeri,
ditemukan pada 1.5%
9. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto dada
Kelainan foto dada pada amoebiasis hati dapat berupa : peninggian kubah diafragma
kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
2. Foto polos abdomen
Kelainan yang didapat tidak begitu banyak, mungkin dapat berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid
level yang jelas.
3. Ultrasonografi
untuk mendeteksi amoebiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran
USG pada amoebiasis hati adalah :
a. bentuk bulat atau oval
b. tidak ada gema dinding yang berarti
c. ekogenisitas lebih rendah dari parenkim hati normal
d. bersentuhan dengan kapsul hati
e. peninggian sonic distal
4. Tomografi komputer
Sensitivitas tomografi komputer berkisar 95-100% dan lebih baik untuk melihat kelainan
di daerah posterior dan superior.
5. Pemeriksaan serologi
Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain indirect haemaglutination (IHA),
counter immunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Yang banyak dilakukan adalah tes
IHA. Tes IHA menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Titer 1:128 bermakna untuk
diagnosis amoebiasis invasive.
Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis abses hati ameba:
1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik
2. Pembesaran hati pada laki-laki muda

16
3. Respons baik terhadap metronidazole
4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan lekositosis dengan pada
riwayat sakit yang lama.
5. Ada dugaan amebiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect
7. Tes fluorescen antibodi ameba positif
Diagnosis Banding
Penyakit amebiasis hati perlu dibedakan dengan penyakit hati lainnya, penyakit paru-paru dan
penyakit infeksi sistemik.
1. Pada hepatitis infeksiosa dapat timbul kenaikan suhu badan, tetapi biasanya rendah dan
tidak ada lekositosis. Tidak dijumpai hepatomegalidan tanda Ludwig negative. Diafragma
kanan tak meninggi. Tes faal hatimenunjukkan hati terganggu.
2. Penyakit paru-paru misalnya pneumonia dan empiema kanan perlu dibedakan dengan
abses hati amuba, karena keluhan yang timbul dapat serupa. Pada penyakit paru-paru
tersebut di atas tidak dijumpai hepatomegali, dan tidak ada peninggian diafragma kanan.
3. Abses hati piogenik perlu dibedakan dengan abses hati amuba. Pada abses piogenik
biasanya ditemukan leukositosis yang hebat, dan tidak ditemukan kuman ameba
histolitika. Pengobatan dengan anti amuba tidak menunjukkan perbaikan.

2.7 Tatalaksana
Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dinding usus maupun di luar usus.
Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di sernua tempat tersebut, terutama
bila diberikan obat tunggal, sehingga perlu diberikan obat kombinasi untuk meningkatkan hasil
pengobatan.
Amebiasis asimptomatik (carrier atau cyst passer).
Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, pasien ini sebaiknya diobati karena
merupakan sumber infeksi utama. Obat yang digunakan adalah amebisid luminal misalnya:
• Diloksanid furoat (Diloxanite furoate)
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari, diberikan sebelum makan. Dosis anak-anak
adalah 25 mg/kgBB/hari. Saat ini obat ini merupakan amebisid luminal pilihan, karena
memiliki efektivitas tinggi (80-85%), sedangkan efek sampingn minimal yaitu mual dan
kembung.
• Diyodohidroksikuin (Diiodohydroxyquin)
Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari. Efek samping berupa dermatitis generalisata,
nyeri abdomen, diare dan sakit kepala iritatif dan pruritik. Terapi ini kontraindikasi untuk
penderita yang hipersensitif jodium atau setiap bahan campuran yang mengandung 8-
hidroksikuinolin.
• Yodoklorohidroksikin (Iodochlorohydroxyquin) atau kliokinol (clioquino[)

17
Dosis 3 x 250 mg sehari, selama l0 hari. Kedua obat tersebut termasuk halogenated
hydroxy-quinolin yang cukup efektif sebagai amebisid luminal. Efektivitasnya 60-70%.
Efek samping yang terjadi biasanya ringan, berupa mual dan muntah, tapi dapat juga berat,
berupa Subacute Myelooptic Neuropathy (SMON). Hal ini hanya terjadi bila dosis dan
jangka waktu pemberian obat melebihi aturan pakai yang telah ditentukan. Obat ini tidak
dianjurkan untuk diberikan pada penderita yang mengidap penyakit Optic Neuropathy.
Dan sebaiknya juga tidak diberikan pada penderita yang mengidap penyakit kelenjar
gondok, karena dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok.
Karena ada kemungkinan invasi ameba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak
adanya gangguan peristaltik usus, namun dianjurkan untuk menambahkan amebisid jaringan
sebagai
profilaksis, misalnya:
• Klorokuin difosfat (chloroquiru diphosphate)
Dosis 2 x 500 mg sehari, selama l-2 hari, kemudian dilanjutkan 2 x 250 mg sehari,
selama 7-12 hari. Obat ini mudah diserap di saluran pencernaan tetapi lambat eksresinya.
Konsentrasi obat dalam jaringan, terutama jaringan hatisangat tinggi, sehingga digunakan
untuk profilaksis abses hati ameba. Efek samping berupa mual, pusing dan nyeri kepala.
Pemakaian jangka lama dapat menyebabkan retinopati. Tidak dianjurkan bagi wanita
hamil, karena dapat mengakibatkan anak yang lahir akan tuli.
• Metronidazol
Dosis 35-50 mg/kgbb atauS x 500 mg sehari, selama 5 hari.
• Tinidazole
Dosis 50mg/kgbb atau 2 g/ hari/ peroral selama 2-5 hari.
• Ornidazole
Dosis 50-60 mdkg bb atau 2 g/hari/ peroral selama 3-5 hari.
Ketiga obat ini termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam
lumen usus, dinding usus maupun di luar usus (ekstraintestinal). Efek samping yang sering
terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri kepala. Tidak dianjurkan pemberian pada pasien
penyakit darah (blood discrasia) dan pada ibu hamil, karena pada hewan coba obat ini terbukti
mempunyai sifat karsinogenik dan teratogenik serta dapat rnengakibatkan mutasi bakteri.
Disentri ameba ringan-sedang
Pada pasien ini ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan
submukosa dan dapat mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dan didapatkan stadium
tropozoit di dalam lumen dan dalam dinding usus besar. Pada kondisi seperti ini obat
pilihannya adalah metronidazol dengan dosis 3 x 750 mg sehari, selama 5-10 hari. Dapat juga
diberi tinidazol dan ornidazol dengan dosis seperti tersebut diatas. Oleh karenapasien yang
telah sembuh dengan pengobatan mefronidazol dapat timbul abses hati ameba dalarn waktu 3-
4 bulan kemudian, maka dianjurkan untuk menambah terapi dengan obat amebisid luminar.

18
Obat ini akan memberantas sumber tropozoit di dalam lumen usus. Dapat digunakan
diyodohidroksikin, kliokinol, diloksanid furoat, dan tetrasiklin dengan dosis seperti tersebut
diatas.
Disentri ameba berat
Pasien tidak hanya membutuhkan obat amebisid saja, tapi juga memerlukan infus
elektrolit atau transfusi darah. Pengobatan sama dengan kasus disentri ameba ringan-sedang
ditambah dengan emetin 1mg/KgBB sehari (maksimum 60 mg sehari) selama 3-5 hari dan
dihidroemetin I 1.5 mg/kg bb sehari (maksimum 90 mg sehari) selama 3-5 hari secara
intramuskular atau subkutan yang dalam. Selama pengobatan dengan emetin sebaiknya
penderita dirawat di rumah sakit karena pemakaian emetin dosis tinggi akan menimbulkan efek
samping yang berat berupa efek kardiotoksisitas, antara Iain berupa nekrosis otot jantung,
aritmia atau penderita dapat meninggal secara mendadak, sehingga penderita perlu diobservasi
dengan teliti terutama dilakukan pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi dan EKG.
Terapi Non-Medikamentosa
1. Aspirasi terapeutik
Selain diberi antibiotika, terapi abses juga dilakukan dengan aspirasi. Dalam hal ini,
aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan menyingkirkan adanya
infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada abses yang
volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan elevasi diafragma.
Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi
seperti pada kehamilan. Aspirasi bisa dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dilakukan
dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran yang tepat. Aspirasi
dapat dilakukan secara berulang-ulang secara tertutup pada daerah hati atau thorax bawah
yang paling menonjol atau daerah yang paling nyeri saat dipalpasi atau dilanjutkan dengan
pemasangan kateter penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik
dan antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder.
Indikasi:
a. Abses yang dikhawatirkan akan pecah.
b. Respon terhadap terapi medikamentosa setelah 5 hari tidak ada
c. Abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga perikardium atau
peritoneum.
2. Drainase Perkutan
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan diameter
yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada rongga abses setelah
dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.
3. Tindakan Pembedahan
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik
dengan cara yang lebih konservatif. Laparotomi diindikasikan untuk perdarahan yang
jarang terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Tindakan operasi juga dilakukan bila abses amuba mengenai sekitarnya. Penderita dengan

19
septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk
tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil.
Jika tindakan laparotomi dibutuhkan, maka dilakukan dengan sayatan subkostal kanan.
Abses dibuka, dilakukan penyaliran, dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan
antibiotik serta dengan ultrasonografi intraoperatif.
Pembedahan dilakukan bila:
a. Abses disertai dengan komplikasi infeksi sekunder
b. Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal.
c. Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil
d. Ruptur abses ke dalam rongga pleura /intraperitoneal /prekardial.
Kontraindikasi operasi pada abses hepar antara lain:
a. Abses multipel
b. Infeksi polimikrobakteri
c. Immunocompromise dissease
Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan reseksi
misalnya lobektomi
4. Hepatektomi
Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati yang terkena abses.
Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel, lobus kanan atau kiri, juga
pada pasien dengan penyakit saluran empedu. Tipe reseksi hepatektomi tergantung dari
luas daerah hati yang terkena abses juga disesuaikan dengan perdarahan lobus hati.
2.8 Pencegahan
Tindakan pencegahan terutama ditujukan pada kebersihan perorangan (personal
hygiene) dan kebersihan lingkungan (environmental sanitation). Kebersihan perorangan antara
lain adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, serta setelah kontak dengan anus.
Kebersihan lingkungan meliputi memasak air minum sampai mendidih sebelum diminum,
memasak makanan dengan baik, karena kista akan mati bila dipanaskan selama 5 menit dengan
suhu 50 derajat celcius, mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan,
buang air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia sebagai pupuk, dihidangkan agar
tidak terkontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah di tempat sampah yang tertutup
untuk menghindari lalat, serta lakukan isolasi dan pengobatan terhadap carrier. Carrier
sebaiknya dilarang bekerja sebagai juru masak atau pekerjaan yang berhubungan dengan
makanan.
2.9 Komplikasi
• Komplikasi Intestinal
o Perdarahan Usus
Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak
pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.
o Perforasi Usus
Terjadi apabila abses menembus lapisan muscular dinding usus besar. Sering
mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonistis juga dapat terjadi akibat
pecahnya abses hati ameba.

20
o Ameboma
Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan
granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rectosigmoid, sukar dibedakan dengan
karsinoma usus besar. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
o Intususepsi
Sering terjadi di diaerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi
segera.
o Penyempitan Usus (Striktura)
Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma
• Komplikasi Ekstra Intestinal
o Amebiasis Hati
Merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Abses dapat timbul
bebrapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi ameba, kadang-kadang terjadi tanpa
diketahui menderita disentri ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi
ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening.
Mula-mula terjadi “hepatitis ameba” yang merupakan stadium dini abses hati, kemudian
nekrosis fokal kecil, yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal.
Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalu berjalan posisinya
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan diatasnya. Hati teraba di bawah
lekung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi yang bersifat intermiten atau remiten.
Kadang-kadang terasa nyeri tekan local di daerah antara iga ke-8, ke-9 atau ke-10, jarang
terjadi icterus.
o Amebiasis Pleuropulmonal
Dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kira-kira 10=20% abses hati ameba
dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan pleura, atelectasis, pneumonia,
atau abses paru. Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari
dinding usus besar. Dapat terjadi hiliran (fistel) hepatobronkial, penderita batuk-batuk
dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
o Abses otak, limpa, dan organ lain
Dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dan dinding usus besar maupun abses
hati walaupun sangat jarang terjadi.
o Amebiasis Kulit
Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar, dengan membentuk
hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perineal atau dinding perut. Dapat pula terjadi di
daerah vulvaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
2.10 Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini
yang tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Umumnya prognosis
amebiasis baik bila tanpa komplikasi. Pada abses hati ameba dan amebiasis yang disertai

21
penyulit efusi pleura maka diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah. Prognosis
yang kurang baik adalah pada kasus abses otak ameba.
3. Memahami dan Menjelaskan Analisis Feses
3.1 Aspek yang Diperiksa
Indikasi dilakukan pemeriksaan feses:
§ Adanya diare dan konstipasi
§ Adanya darah dalam tinja
§ Adanya lendir dalam tinja
§ Adanya ikterus
§ Adanya gangguan pencernaan
§ Kecurigaan penyakit gastrointestinal
Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna, bau, darah,
lendir dan parasit.
a. Pemeriksaan Jumlah
Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-250gram per hari.
Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan bila banyak makan sayur jumlah tinja
meningkat.
b. Pemeriksaan Warna
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua dengan
terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinjadipengaruhi oleh berbagai
jenis makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning
juga dapat disebabkan karena susu,jagung, lemak dan obat santonin.
Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung
khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam
mekonium.
Warna kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran
pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis.Keadaan
tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang
menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga
setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan radiologik.
Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar
dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat.
Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran
pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua
disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna
hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan
mungkin juga oleh melena.
c. Pemeriksaan Bau

22
Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja. Bau busuk
didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan dirombak
oleh kuman.Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu.Tinja yang berbau
tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare.
Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam. Konsumsi makanan dengan rempah-rempah
dapat mengakibatkan rempah-rempah yang tercerna menambah bau tinja
d. Pemeriksaan Konsistensi
Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja yang keras atau
skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja
yang lunak dan bercampur gas. Konsistensi tinja berbentuk pita ditemukan pada penyakit
hisprung. Feses yang sangat besar dan berminyak menunjukkan malabsorpsi usus
e. Pemeriksaan Lendir
Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja. Terdapatnya lendir
yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus.
§ Lendir yang terdapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak pada usus
besar. Sedangkan bila lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi
pada usus halus.
§ Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa tinja.
§ Lendir transparan yang menempel pada luar feces diakibatkan spastik kolitis, mucous
colitis pada anxietas
§ Tinja dengan lendir dan bercampur darah terjadi pada keganasan serta peradangan rektal
anal
§ Tinja dengan lendir bercampur nanah dan darah dikarenakan adanya ulseratif kolitis,
disentri basiler, divertikulitis ulceratif
§ Tinja dengan lendir yang sangat banyak dikarenakan adanya vilous adenoma colon
f. Pemeriksaan Darah
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah itu
mungkin terdapat di bagian luar tinja atau bercampur baurdengan tinja.
§ Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan
warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices dalam
oesophagus
§ Pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darah terdapat di bagian luar tinja
yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma rektum.
Semakin proksimal sumber perdarahan semakin hitam warnanya
g. Pemeriksaan Nanah
Pada pemeriksaan feses dapat ditemukan nanah. Hal ini terdapat pada pada penyakit
Kronik ulseratif kolon, fistula colon sigmoid, lokal abses.Sedangkan pada penyakit disentri
basiler tidak didapatkan nanah dalam jumlah yang banyak.

23
Pemeriksaan Parasit Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan spesies cacing
lainnya yang mungkin didapatkan dalam feses.
h. Pemeriksaan adanya sisa makanan
Hampir selalu dapat ditemukan sisa makanan yang tidak tercerna, bukan keberadaannya
yang mengindikasikan kelainan melainkan jumlahnya yang dalam keadaan tertentu
dihubungkan dengan sesuatu hal yang abnormal. Sisa makanan itu sebagian berasal dari
makanan daun-daunan dan sebagian lagi makanan berasal dari hewan, seperti serta otot, serat
elastin dan zat-zat lainnya. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan
Lugol maka pati (amilum) yang tidak sempurna dicerna terlihat seperti butir-butir biru atau
merah. Penambahan larutan jenuh Sudan III atau Sudan IV dalam alkohol 70% menjadikan
lemak netral terlihat sebagai tetes-tetes merah atau jingga.
Pemeriksaan Mikroskopis
Karena unsur-unsur patologik biasanya tidak dapat merata, maka hasil pemeriksaan
mikroskopis tidak dapat dinilai derajat kepositifannya dengan tepat, cukup diberi tanda
negative (-),(+),(++),(+++) saja.
Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit,
sel epitel, kristal, makrofag dan sel ragi. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah
pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing.
Pemeriksaan Kimia
§ Darah samar
Pemeriksaan kimia tinja yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap darah samar.
Tes terhadap darah samar dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak
dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik. Adanya darah dalam tinja selalau
abnormal. Pada keadaan normal tubuh kehilangan darah 0,5 – 2 ml / hari. Pada keadaan
abnormal dengan tes darah samar positif (+) tubuh kehilangan darah > 2 ml/ hari. Zat yang
mengganggu pada pemeriksaan darah samar di antara lain adalah preparat Fe, chlorofil,
extract daging, senyawa merkuri, Vitamin C dosis tinggi dan antioxidant dapat
menyebabkan hasil negatif (-) palsu, sedangkan Lekosit, formalin, cupri oksida, jodium
dan asam nitrat dapat menyebabkan positif (+) palsu.
Macam-macam metode tes darah samar yang sering dilakukan adalah guajac tes,
orthotoluidine, orthodinisidine, benzidin tes berdasarkan penentuan aktivitas peroksidase/
oksiperoksidase dari eritrosit (Hb)
§ Urobilin
Dalam tinja normal selalu ada urobilin. Jumlah urobilin akan berkurang pada ikterus
obstruktif, pada kasus obstruktif total hasil tes menjadi negatif, tinja dengan warna kelabu
disebut akholik.
§ Urobilinogen
Penetapan kuantitatif urobilinogen dalam tinja memberikan hasil yang lebih baik
jika dibandingkan terhadap tes urobilin karena dapat menjelaskan dengan angka mutlak

24
jumlah urobilinogen yang diekskresilkan per - 24 jam sehingga bermakna dalam keadaan
seperti anemia hemolitik dan ikterus obstruktif.Tetapi pelaksanaan untuk tes tersebut
sangat rumit dan sulit, karena itu jarang dilakukan di laboratorium. Bila masih diinginkan
penilaian ekskresi urobilin dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan urobilin urin.
§ Bilirubin
Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal karena bilirubin dalam
usus akan berubah menjadi urobilinogen dan kemudian oleh udara akan teroksidasi
menjadi urobilin.Reaksi mungkin menjadi positif pada diare dan pada keadaan yang
menghalangi perubahan bilirubin menjadi urobilinogen, seperti pengobatan jangka
panjang dengan antibiotik yang diberikan peroral, mungkin memusnakan flora usus yang
menyelenggarakan perubahan tadi. Untuk mengetahui adanya bilrubin dapat digunakan
metode pemeriksaan Fouchet.
3.2 Interpretasi Hasil
Nilai Normal Feses
Nilai normal feses pada setiap parameter bisa menjadi acuan bagi hasil pemeriksaan
feses lengkap yang didapatkan, di bawah ini merupakan nilai normal feses pada beberapa
parameter:
1. Nilai normal feses pada pemeriksaan makroskopis
1. Jumlah : 100-300 gram per hari dan 70% air dan 30% sisa makanan
2. Warna : kuning kehijauan
3. Bau : bau indol, asam butirat, dan scatol
4. Konsistensi : berbentuk dan agak lunak
5. Lendir : tidak ada
6. Parasit makro : tidak ada
7. Darah tampak : tidak ada
2. Nilai normal feses pada pemeriksaan mikroskopis
1. Parasit mikro
• Telur dan jentik cacing : negatif (tidak ada)
• Protozoa : negatif (tidak ada)
2. Seluler
• Sel epitel : sedikit
• Leukosit dan makrofag : sedikit
• Eritrosit : negatif (tidak ada)
3. Sisa makanan : ada sebanyak 30% dari volume total
4. Darah samar : tidak ada

25
26
DAFTAR PUSTAKA

Fotedar, R., Stark, D., Beebe, N., Marriott, D., Ellis, J., & Harkness, J. (2007).
Laboratory diagnostic techniques for Entamoeba species. Clinical microbiology
reviews, 20(3), 511-532.

Ideham, B., & Pusawarati, S. (2004). Buku Penuntun Praktis Parasitologi


Kedokteran. Jakarta: EGC.

Kantor, Micaella, et al. (2018). Entamoeba histolytica: Updates in clinical


manifestation, pathogenesis, and vaccine development. Canadian Journal of Gastroenterology
and Hepatology, 2018.

Maryatun. (2008). Entamoeba histolytica: Parasit Penyebab Amebiasis Usus dan


Hepar. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Vol 8(1), 39–46.

Mescher, A. L. (2013). Junqueira's basic histology: text and atlas. Mcgraw-hill.

Parija, S. C., Mandal, J., & Ponnambath, D. K. (2014). Laboratory methods of


identification of Entamoeba histolytica and its differentiation from look-alike Entamoeba
spp. Tropical parasitology, 4(2), 90.

Pritt, B. S., & Clark, C. G. (2008, October). Amebiasis. In Mayo Clinic


Proceedings (Vol. 83, No. 10, pp. 1154-1160). Elsevier.

Shamsuzzaman, S. M., & Hashiguchi, Y. (2002). Thoracic amebiasis. Clinics in chest


medicine, 23(2), 479-492.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2006). Buku
ajar ilmu penyakit dalam.

Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P. K., & Sungkar, S. (2011). Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2, 189-218.

https://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/index.html

https://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#a5

27

Anda mungkin juga menyukai