Anda di halaman 1dari 53

WRAP UP

SKENARIO 1 BLOK GIT

“NYERI PERUT”

Kelompok A-6

Ketua : Firyal Iftinanda (1102017095)


Sekretaris : Anida Hasna Purnamaningsih
(1102017026)
Anggota : Andika Faisal Fajri
(1102016023)
Adilah Rifat Hakimah (1102017005)
Aji Amrulloh (1102017014)
Cantika Putri Zatnika (1102017055)
Chintya Prima Chairunnisa (1102017056)
Festiana Amalia Muhlis (1102017091)
Imam Rahmatullah Maulana Pasha (1102017107)
Keysha Farach Dwikhanza (1102017121)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2018/2019
Jl. Letjen. Suprapto, RT. 10 / RW. 5, CempakaPutihTimur, Jakarta
Pusat, 10510

Telp. +62 21 4206675 Fax. +62 21 4243171

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................... 2

SKENARIO...........................................................................3

KATA SULIT.........................................................................4

BRAIN STORMING................................................................5

HIPOTESIS........................................................................... 6

SASARAN BELAJAR...............................................................7

1. LO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANATOMI SALURAN


CERNA ATAS.................................................................8
1.1............................................................. MAKROSKOPIK
..................................................................................8
1.2............................................................... MIKROSKOPIK
................................................................................13
2. LO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FISIOLOGI SALURAN
CERNA ATAS
......................................................................................
22
3. LO 3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN SINDROM DISPEPSIA
......................................................................................
29
3.1....................................................................... DEFINISI
................................................................................29
3.2...................................................................... ETIOLOGI
................................................................................29
3.3................ EPIDEMIOLOGI DAN DEMOGRAFI (INDONESIA)
................................................................................30
3.4................................................................. KLASIFIKASI
................................................................................31
3.5................................ PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
................................................................................32
3.6..................................................... MANIFESTASI KLINIS
................................................................................34
3.7................... CARA DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
................................................................................35

2
3.8.............................................................. TATALAKSANA
................................................................................38
3.9............................................................... PENCEGAHAN
................................................................................47
3.10.............................................................. KOMPLIKASI
................................................................................. 48
3.11............................................................... PROGNOSIS
................................................................................. 49
4. LO 4. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN GASTRITIS..............49
4.1 ETIOLOGI.................................................................49
4.2 PATOFISIOLOGI........................................................51
4.3 KOMPLIKASI.............................................................52
4.4 MANIFESTASI KLINIS................................................52

DAFTAR PUSTAKA..............................................................53

SKENARIO 1

NYERI PERUT

Nn A, 20 tahun, mengeluh nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan di epigastrium. Dokter menduga terdapat gangguan saluran
cerna bagian atas, sehingga menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan gastroskopi.
Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan gastritis dan duodenitis, sehingga dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab keadaan tersebut. Pasien
diberikan obat dan makanan yang sesuai untuk mencegah komplikasi dari penyakit
tersebut.

3
KATA SULIT

1. Gastroskopi : Pemeriksaan pada bagian perut menggunaka endoskop


yang dimasukkan melalui mulut.
2. Epigastrium : Regio atas tengah abdomen di bawah Processus
Xipoideus.
3. Gastritis : Proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh factor iritasi dan
infeksi.
4. Duodenitis : Peradangan mukosa duodenum.

4
PERTANYAAN

1. Kenapa nyeri tekan pada pasien?


2. Apa penyebab gastritis dan duodenitis?
3. Apa batas saluran pencernaan atas dan bawah?
4. Mengapa dianjurkan melakukan pemeriksaan gastroskopi?
5. Apa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan?
6. Apa saja obat yang dapat diberikan?
7. Apa makanan yang dianjurkan untuk pasien ini?
8. Apa diagnosis sementara?
9. Apa komplikasinya?
10. Apa gambaran/hasil pemeriksaan yang dihasilkan oleh pemeriksaan
gastroskopi?
11. Apa gejala lain yang dapat ditimbulkan?

JAWABAN

1. Karena letak gaster dan awal letak duodenum berada di epigastrium


2. Penyebab pertama karena telat makan menyebabkan asam lambung meningkat
sehingga dinding mukosa menjadi terkikis dan pada pemeriksaan fisik
didipatkan nyeri tekan. Penyebab yang lainnya karena infeksi H. pylori,
penggunaan OAINS dan pertambahan usia.
3. Batas saluran cerna atas dan bawah adalah
4. Untuk menegakkan diagnosis

5
5. Biopsi untuk identifikasi infeksi dan untuk histopatologi
6. Obat AH2: ranitidine, Antasid: kompleks dan sederhana, dan Sukralfat
7. Makanan yang bertekstur lembut, menghindari makanan yang bersifat asam
pedas, alcohol, kopi dan teh
8. Sindrom Dispepsia
9. Ulkus peptic, Gerd
10. Ditemukannya eritema mukosa
11. Mual, muntah, tidak nafsu makan, kembung

HIPOTESIS

Nyeri tekan pada epigastrium menandakan adanya kelainan pada organ di region
tersebut. Organnya yaitu hepar lobus sinistra, gaster bagian cardia, duodenum,
pancreas, dll. Diagnosis awalnya Sindrom Dispepsia dengan gejala nyeri / mual /
muntah / kembung / begah / tidak nafsu makan. Setelah pemeriksaan gastroskopi
ditemukan radang pada mukosa duodenum dan radang mukosa gaster.

6
SASARAN BELAJAR

LO 1 Memahami dan Menjelaskan Saluran Cerna Atas

1.1 Makroskopik
1.2 Mikroskopik

LO 2 Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Cerna Atas

LO 3 Memahami dan Menjelaskan Sindrom Dispepsia


3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Epidemiologi
3.4 Klasifikasi
3.5 Patofisiologi
3.6 Manifestasi Klinis
3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
3.8 Penatalaksanaan (Farmako dan Non-Farmako)
3.9 Pencegahan
3.10 Komplikasi
3.11 Prognosis

LO 4 Memahami dan Menjelaskan Gastritis dan Duodenitis

4.1 Etiologi
4.2 Patofisiologi

7
4.3 Komplikasi
4.4 Manifestasi Klinis

LO 1 Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Cerna Atas

1.1 Makroskopik
 Cavum Oris

a. Cavum oris propium


Atap: palatum durum, palatum molle.
Dasar: m. digastricus venter anterior, m. mylohyoideus, m. geniohyoideus.
Lateral: processus alveolaris dan arcus dentalis.

8
b. Vestibulum oris
Terdiri atas pipi/bucca, labium oris, frenulum labium oris. Batas cavum oris
dan pharynx adalah isthmus faucium.
Lingua

- Apex linguae, dorsum linguae, dan radix linguae


- Foramen caecum, sulcus terminalis
- Impressio dentes
- Papilla linguae: papilla vallata, papilla filiformis, papilla fungiformis,
papilla foliate, dan papilla simplex
- Otot-otot lidah
a. Otot intrinsic: m. longitudinalis superior, m. longitudinalis inferior, m.
transversus, m. verticalis.
b. Otot ekstrinsik: m. genioglossus (mendorong lidah keluar), m.
hyoglossus (menarik lidah ke bawah dan belakang), m. styloglossus
(menarik lidah ke bawah dan ke atas), dan m. palatoglossus (menarik
lidah ke atas).
Dentes

9
- Dentes decidui (gigi susu)
- Dentes permanents
(2 incisivus, 1 caninus, 2 premolar, 3 molar) x 4 = 32 dentes

 Pharynx

- Nasopharynx
- Oropharynx
Dinding lateral: arcus palatoglossus, arcus palatopharyngeus, dan fossa
tonsilaris.
Dinding ventral: isthmus faucium, radix linguae, tonsilla lingualis, plica
glossoepiglottica, dan vallecula glossoepiglottica
- Laryngopharynx

 Oesophagus

- Pars cervicalis
- Pars thoracalis
- Pars abdominalis
Ada 3 penyempitan:
1. Sphincter (setinggi cartilage cricoidea)

10
2. Tengah (disilang arcus aorta)
3. Bawah (hiatus oesophagus diaphragma)
Ada pertemuan vena-vena system portal. Jika ada kelainan hepar, maka ada
bendungan ke vena sehingga tekanan dilanjutkan ke dalam v. oesophagea,
kemudian terjadi varices oesophagea. Apabila rupture mengakibatkan
hematemesis.
Arteria: a. thyroidea inferior, tr. Oesophageal, a. gastrica sinistra
Venae: v. thyroidea inferior, v. azygos, v. gastrica sinistra
Nervi: n. recuren larynges cabang n. vagus [X}

 Gaster
A. Anatomi Lambung
Lambung terletak pada regio epigastrium sinistra dan hipokondrium sinistra
dan sebagian pada regio umbilical cranio lateral sinistra. Dalam keadaan kosong
lambung menyerupai tambung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah
pir. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 L. Pada bagian superior,
lambung berbatasan dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior
berbatasan dengan duodenum.
Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri
ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.
b. Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura angularis, suatu
lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura minor.
c. Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk lambung.
Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum. Rongga pylorus
dinamakan canalis pyloricus.
Curvatura minor membentuk pinggir kanan lambung dan terbentuk dari ostium
cardiacum sampai pylorus. Omentum minus terbentang dari curvatura minor
sampai hati. Curvatura major jauh lebih panjang dari curvatura minor dan
terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian
mengitarinya dan menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum
(omentum) gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai
limpa, dan omentum majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai
colon transversum.
Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga bahwa
terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung ke
oesophagus.
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar 2,5
cm. Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara
anatomis dan fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus terletak pada

11
bagian transpilorica dan posisinya dapat dikenali dengan adanya sedikit kontraksi
pada permukaan lambung. Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran
isi lambung ke duodenum.
Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan
yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan
masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam
duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran
balik isi usus ke dalam lambung.
Membran mukosa lambung tebal, banyak mengandung pembuluh darah dan
terdiri atas lipatan atau rugae yang arahnya longitudinal. Lipatan tersebut akan
memendek bila lambung teregang.
Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular
dan serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling
banyak sepanjang curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi
fundus lambung dan sangat menebal pada pylorus untuk membentuk sphincter
pyloricum. Serabut sirkular jarang sekali ditemukan pada daerah fundus. Serabut
oblik membentuk lapisan otot yang paling dalam. Serabut ini mengitari fundus dan
berjalan turun sepanjang dinding anterior dan posterior, berjalan sejajar dengan
curvatura minor. Peritoneum mengelilingi lambung secara lengkap dan
meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda yang dikenal sebagai omentum.

B. Perdarahan dan Persarafan Gaster


1. Pembuluh Arteri
Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus :
a. Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke
atas dan kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun

12
sepanjang curvatura minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3
bawah oesophagus dan bagian atas kanan gaster.
b. Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir
atas pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini
mendarahi bagian kanan bawah gaster.
c. Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi
fundus.
d. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale
dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi
gaster sepanjang bagian atas curvatura major.
e. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang
merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan
mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra dan
dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra
bermuara dalam V.mesenterica superior.
3. Persarafan Gaster
Saraf-saraf lambung, berasal dari plexus symphaticus coeliacus dan dari
N.vagus kanan dan kiri. Truncus vaginalis anterior, yang dibentuk dalam thorax
terutama berasal dari N.vagus kiri. Truncus ini masuk abdomen pada permukaan
anterior oesophagus. Truncus yang mungkin tunggal atau multipel, kemudian
membelah menjadi cabang-cabang yang mempersarafi permukaan anterior
lambung. Rami hepatici berjalan sampai hati dan dari sini ramus pylorica berjalan
turun ke pylorus.
Pembuluh Lymph
Pembuluh-pembuluh limf mengikuti perjalanan arteria menuju ke nodi gastric
sinstri dan dextri, nodi gastroomentalis sinistri dan dextri dan nodi gastric breves.
Seluruh cairan limf dari gaster akhirnya berjalan melalui nodi coeliaci yang
terdapat di sekitar pangkal trunkus coeliacus pada dinding posterior abdomen.

1.2 Mikroskopik
RONGGA MULUT
Rongga mulut dapat dibagi selanjutnya menjadi ruang yang lebih kecil: sisi
luar vestibulum oris dan sisi dalam kavum oris proprium. Vestibulum oris adalah
ruang yang dibatasi oleh bibir dan pipi pada sisi anterior dan lateral, sedangkan
sisi dalam dibentuk oleh lengkung gigi-geligi. Saluran keluar kelenjar parotis
mengalirkan sekret kelenjar ke dalam vestibulum oris.
Kavum oris proprium dibatasi oleh gigi-geligi pada sisi luarnya, dasar mulut
sisi inferior, dan palatum durum serta palatum mole sisi superior. Ke arah
belakang kavum oris proprium dipisahkan dari orofarings, yang tampak diantara
lipatan anterior palatoglosus ke tonsila palatina oleh bidang imajiner. Baik kavum
oris proprium maupun vestibulum oris dibatasi oleh epitel berlapis gepeng, dan
pada daerah yang terkena gesekan, epitel berubah menjadi epitel
berlapis gepeng dengan lapisan tanduk (atau parakeratinisasi).

Kelenjar Liur Palatum dan Tonsil

13
Tiga pasang kelenjar liur utama-parotis, sublingualis dan submandibularis
melepaskan sekretnya ke dalam rongga mulut. Palatum durum membantu lidah
dalam menyiapkan bolus, sedang palatum mole, bangunan yang dapat bergerak,
menutup hubungan antara mulut dan nasofarings, jadi mencegah masuknya
makanan dan air dari mulut ke faring.
Jaringan ikat di bawah epitel kavum oris banyak mengandung kelenjar liur
kecil, yang menghasilkan saliva secara terus menerus, mempertahankan
lingkungan yang lembab. Saliva juga berfungsi membantu proses menelan dengan
melumasi makanan yang kering dan membentuk bolus yang setengah padat.
Selanjutnya, ada enzim dalam saliva yang mengawali pencernaan karbohidrat,
juga antibodi sekretoris melindungi tubuh terhadap zat-zat antigen.
Masuk ke faring dijaga terhadap masuknya bakteri oleh adanya cincin tonsilar,
terdiri atas tonsila lingualis, tonsila faringea, dan tonsila palatina.

LIDAH
Permukaan dorsal lidah dibagi menjadi dua-pertiga bagian anterior, dipenuhi
empat jenis papila lingua dan sepertiga bagian posterior ditempati tonsila
lingualis. Kedua bagian itu satu sama lain dipisahkan oleh lekukan berbentuk
"huruf V" yaitu sulkus terrninalis. Papila filiformis pendek, berbentuk konus dan
mempunyai lapisan keratin tebal. Papila fungiformis berbentuk seperti jamur dan
sisi dorsal epitelnya ditempati oleh tiga sampai lima kuncup kecap. Papila
sirkumvalata adalah papila lingualis yang paling besar, berjumlah enam sampai
dua belas. Setiap papila sirkumvalata melekuk dari permukaan lidah dan
dikelilingi oleh suatu parit. Sisi lateral papila serta juga pembatas parit ada
sejumlah kuncup kecap. Papila foliata terletak pada sisi lateral lidah.

Gambar 15-4. Lidah dan papilla lingualis. Sepertiga posterior merupakan akar
lidah dan dua pertiga anterior merupakan badan lidah.Mukosa akar lidah dipenuhi
dengan massa nodul limfoid yang dipisahkan oleh kriptus, yang kesemuanya
membentuk tonsila lingualis. Di badan lidah terdapat keempat jenis papilla yang
kesemuanya mengandung inti jaringan ikat yang dilapisi dengan epitel skuamosa

14
berlapis. Papilla filiformis yang runcing menimbulkan friksi yang membantu
menggerakkan makanan selama mengunyah. Papilla foliata yang menyerupai rigi
pada sisi lidah berkembang paling baik pada anak-anak. Papilla fungiformis
tersebar pada permukaan dorsal dan 6-12 papilla vallata yang sangat besar
terdapat berupa garis V di dekat sulcus terminalis. Kuncup kecap terdapat pada
papilla fungiformis dan foliata tetapi lebih banyak pada papilla vallata.

15
Tas te buds (kuncup kecap) adalah kecil,
merupakan bangunan intraepitelial terdiri atas
40-70 sel, sel basal, sel neuroepitelial
(sel pengecap) dan sel
sustentakular (sel
penyokong). Kuncup kecap
berfungsi dalam menerima
lima rangsangan pengecap
primer yaitu asin, manis, pahit, asam
serta umami.

ESOFAGUS
Esofagus (oesophagus)
adalah suatu saluran lunak
dengan panjang kira-kira
10 inci yang berjalan dari
faring sampai ke lambung.
Saluran ini terletak di belakang trakea dan di mediastinum rongga
toraks. Setelah turun di rongga toraks, esofagus menembus diafragma muskular.
Bagian esofagus yang pendek terdapat di rongga abdomen sebelum berakhir di
lambung.
Di rongga toraks, esofagus hanya dikelilingi oleh jaringan ikat, yang disebut
adventisia. Di rongga abdomen, dinding terluar segmen pendek esofagus dilapisi
oleh mesotelium (epitel selapis gepeng) untuk membentuk serosa. Di sebelah
dalam, lumen esofagus dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
(epithelium stratificatum squamosum non cornificatum) yang basah. Jika esofagus
kosong, lumennya memperlihatkan banyak lipatan longitudinal temporer di
mukosa.
Di lamina propria esofagus dekat lambung terdapat kelenjar kardia esofagus
(glandula cardialis oesophagi). Di submukosa terdapat kelenjar esofagus kecil.
Kedua kelenjar mengeluarkan mukus untuk melindungi mukosa dan
mempermudah lewatnya bahan makanan melalui esofagus.
Dinding luar esofagus, muskularis eksterna, mengandung campuran berbagai
jenis serat otot. Di sepertiga atas esofagus, muskularis eksterna mengandung serat

16
otot rangka. Di sepertiga tengah esofagus, muskularis eksterna mengandung baik
serat otot rangka maupun otot polos, sementara sepertiga bawah esofagus
terutama terdiri dari serat otot polos.

LAMBUNG

Lapisan-lapisan yang menyusun lambung yaitu :


1. Lapisan Mukosa
Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan
longitudinal, disebut juga rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan, yakni
epitel, lapisan propria, dan muskularis mukosa. Pada epitel permukaannya
menekuk dengan kedalamaan berbeda ke dalam lamina propria membentuk
sumur lambung (gastric pits). Lamina propria tersusun atas jaringan pengikat

17
longgar diselingi otot polos dan sel-sel limfoid. Juga terdapat muskularis mukosa,
yakni lapisan yang memisahkan mukosa dan submukosa yang masih merupakan
lapisa notot polos (Junquiera dan Carneiro, 2003) .
Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk
(foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik. Kelenjar
pada daerah cardiac dan pylorus hanya memproduksi mukus, sedangkan kelenjar
pada daerah corpus dan fundus memproduksi mukus, asam klorida danenzim
proteolitik. Karena itu pada kelenjar corpus dan fundus ditemukan 3 jenissel, yaitu
sel yang memproduksi mukus yaitu sel mukus, sel yang menghasilkan HCl yaitu
sel parietal, sel yang menghasilkan enzim proteolitik yaitu sel epitel mukosa
(Sukirno, 2008).
Lamina propria terdiri atas anyaman serat retikuler dan kolagen, serta sedikit
elastin. Juga anyaman fibrosa yang mengandung limfosit, eosinofil, selmast, dan
sel plasma. Kontraksinya berhubungan dengan pengeluaran sekret pada mukosa
(Bloom dan Fawcett, 2002) .
Lapisan muskularis mukosa terdiri atas lapisan otot polos tipis yang tersusun
sirkuler di bagian dalam serta lapisan longitudinal di bagian luar (Eroschenko,
2003)
2. Lapisan Submukosa
Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang
menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini
memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik. Pada lapisan
ini banyak mengandung pleksus saraf (Plexus Meissner), pembuluh darah, dan
saluran limfe (Price danWilson, 2006).
3. Lapisan Muskularis Eksterna
Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos : lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan
sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang
unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan
untuk mencegah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil, mengaduk daan
mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah
duodenum.
4. Lapisan Serosa

18
Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis.
Merupakan lapisan paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis.
Jaringan ikat yang menutupi peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak
(Eroschenko, 2003).

Histologi Bagian-bagian Lambung


1. Esophagus Cardia

Pada bagian esophagus


cardia terjadi peralihan dari
epitel berlapis gepeng menjadi
epitel selapis silindris. Saat
mencapai cardia kelenjer
esophagus di submucosa tidak
ada lagi.

2. Fundus Gaster
Mukosa diliputi oleh epitel selapis torak.
Foveola gastrica sepertiga tebal mukosa (dangkal)
sedangkan kelenjernya (fundus) dua pertiga tebal
mukosa, terletak di lamina propria. Ada beberapa
macam kelenjer yang terdapat disini antara lain :
a. Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung
dan meluas ke dalam sumur-sumur atau foveola.
Epitel selapis silindris ini berawal di cardia, di
sebelah epitel berlapis gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri
menjadi epitel usus (epitel selapis silindris). Pada tepian muka yang menghadap
lumen, terdapat mikrovili gemuk dan pendek-pendek. Mukus glikoprotein netral
yang disekresikan oleh sel-sel epitel permukaan membentuk lapisan tipis,
melindungi mukosa terhadap asam. Tanpa adanya mukus ini, mukosa akan
mengalami ulserasi.
b. Sel zimogen (Chief cell)

19
Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung, dan menunjukkan ciri-ciri sel yang
mensekresi protein (zimogen). Sel zimogen mengeluarkan pepsinogen, yang dalam
suasana asam di lambung akan diubah menjadi pepsin aktif dan berfungsi
menghidrolisis protein menjadi peptida yang lebih kecil.
c. Sel parietal (oksintik)
Sel ini tersebar satu-satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya,
mulai dari ismus sampai ke dasar kelenjar lambung, tetapi paling banyak di daerah
leher dan ismus. Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak gelembung tubulosa, dan
kenalikuli melebar dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu mensekresi asam,
mikrovili bertambah banyak dan gelembung tubulosa berkurang, yang
menunjukkan adanya pertukaran membran di antara gelembung tubulosa di dalam
sitoplasma dan mikrovili pada permukaan, sekresi asam HCl terjadi pada
permukaan membran yang luas ini. Sel ini juga mensekresikan faktor intrinsik,
suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin B12 dan membantu absorbsi vitamin
ini di usus halus. Vitamin B12 diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya faktor ini dapat menyebabkan anemia
pernisiosa.
d. Sel mukus leher
Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam kelompok kecil atau
satu-satu. Bentuknya cenderung tidak teratur, seakan-akan terdesak oleh sel-sel
disekitarnya (terutama sel parietal). Sel ini memiliki mikrovili apikal yang gemuk
dan pendek berisi filamen halus yang tampak kabur. Sel ini menghasilkan mukus
asam, berbeda dengan mukus netral yang dibentuk oleh sel mukus permukaan.
e. Sel enteroendokrin
Beberapa jenis sel enteroendokrin ditemukan di dalam kelenjar lambung. Sel-sel
ini berjumlah banyak, terutama di daerah antrum pylorik, dan umumnya ditemukan
pada dasar kelenjar. Sel-sel enteroendokrin serupa dengan sel endokrin yang
mensekresi peptida. Sel ini juga ditemukan di dalam epitel usus halus dan besar,
kelenjar oesophagus bagian bawah (cardia), dan dalam jumlah terbatas pada ductus
utama hati dan pankreas.

20
Sel enteroendokrin menghasilkan beberapa hormon peptida murni (sekretin,
gastrin, kolesitokinin); semuanya melalui peredaran darah untuk mencapai organ
sasaran pankreas, lambung, dan kandung empedu. Walaupun sistem saraf
mengendalikan aktivitas sekretoris dan gerakan otot dalam saluran cerna, terdapat
interaksi yang rumit dengan kebanyakan hormon yang dihasilkan oleh sel
enteroendokrin ini.

3. Pylorus

Memiliki foveola gastrica yang lebih


dalam. Sel-sel kelenjer hamper homogeny,
semua sel mucus kelenjer pylorus sering
berkelok-kelok di dalam lamina propria.
Tunika muskularis dengan lapisan sirkular
amat tebal membentuk sfingter.

21
4. Gaster Duodenum

Tunika mukosa epitel


selapis torak pada gaster
akan memiliki sel goblet
ketika memasuki daerah
duodenum.

LO 2 Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Cerna Atas

MULUT
Liur (saliva), sekresi yang berkaitan dengan mulut, terutama dihasilkan oleh
tiga pasang kelenjar liur utama yang terletak di luar rongga mulut dan mengeluarkan
liur melalui duktus pendek ke dalam mulut.
Liur mengandung 99,5% H2O dan 0,5% elektrolit dan protein. Konsentrasi NaCl
(garam) liur hanya sepertujuh dari konsentrasinya di plasma, yang penting dalam
mempersepsikan rasa asin. Demikian juga, diskriminasi rasa manis ditingkatkan
oleh tidak adanya glukosa di liur. Protein liur yang terpenting adalah amilase, mukus,
dan lisozim. Protein-protein ini berperan dalam fungsi saliva sebagai berikut:
1. Liur memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja arnilase liur, suatu
enzim yang menguraikan polisakarida menjadi maltosa, suatu disakarida yang terdiri
dari dua molekul glukosa
2. Liur mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel makanan sehingga
partikel-partikel tersebut menyatu, serta menghasilkan pelumasan oleh adanya mukus
yang kental dan licin.
3. Liur memiliki sifat antibakteri melalui efek rangkap pertama, dengan lisozim, suaru
enzim yang melisiskan atau menghancurkan bakteri tertentu dengan merusak dinding
sel; dan kedua, dengan membilas bahan yang mungkin berfungsi sebagai sumber
makanan untuk bakteri.
4. Liur berfungsi sebagai bahan pelarut yang merangsang kuncup kecap. Hanya
molekul dalam larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor kuncup kecap
5. Liur membantu berbicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah. Kita sulit
berbicara jika mulut kita kering.
6. Liur berperan penting dalam higiene mulut dengan membantu menjaga mulut dan
gigi bersih. Aliran liur yang konstan membantu membilas residu makanan, partikel
asing, dan sel epitel rua yang terlepas dari mukosa mulut. Kontribusi liur dalam hal ini
dapat dirasakan oleh setiap orang yang pernah mengalami bau mulut ketika saiivasi
tertekan sementara, misalnya ketika demam atau mengalami kecemasan
berkepanjangan.
7. Liur kaya akan dapar bikarbonat, yang menetralkan asam dalam makanan serta
asam yang dihasilkan oleh bakteri di mulut sehingga karies dentis dapat dicegah.

22
Meskipun memiliki banyak fungsi di atas, liur tidak esensial untuk pencernaan
dan penyerapan makanan, karena enzim-enzim yang diproduksi oleh pankreas dan
usus halus dapat menuntaskan pencernaan makanan meskipun tidak terdapat liur dan
sekresi lambung.

Pencernaan di mulut bersifat minimal; tidak terjadi penyerapan nutrien.


Pencernaan di mulut melibatkan hidrolisis polisakarida menjadi disakarida oleh
amilase. Namun, sebagian besar pencernaan oleh enzim ini dilakukan di korpus
lambung setelah massa makanan dan liur tertelan. Asam menginaktifkan amilase,
tetapi di bagian tengah makanan, di mana asam lambung belum sampai, enzim liur ini
terus berfungsi selama beberapa jam.
Tidak terjadi penyerapan makanan di mulut. Yang penting, sebagian obat
dapat diserap oleh mukosa oral, contoh utamanya adalah nitrogliserin, obat
vasodilator yang kadang digunakan oleh pasien jantung untuk menghilangkan
serangan angina yang berkaitan dengan iskemia miokardium.

FUNGSI LAMBUNG
Fungsi Motorik
1. Fungsi menampung : menyimpan makan dengan kapasitas lambung normal 50 ml
pada saat kosong dan dapat mencapai 1000m saat makan yang memungkinkan
adanya interval yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan
makanan dalam jumlah besar sampai makanan ini dapat terakomodasi di bagian
bawah saluran cerna.
2. Fungsi mencampur : adanya sel-sel pemacu depolarisasi spontan ritmik yang
berada di fundus yaitu irama listrik dasar (basic electric rhythm/BER)
menyebabkan adanya kontraksi otot polos sirkuler lambunggelombang
peristaltik dan menyapu isi lambung dalam bentuk kimus. Gelombang peristaltik
pada fundus lemah sehingga fundus dan korpus banyak berperan utk menampung
makanan. Sedangkan pada daerah antrum kimus didorong lebih kuat kebagian
sfingter pylorus. Sfingter pylorus yang tidak terbuka seluruhnya menyebabkan
kimus tertolak kembali ke antrum  mekanisme pencampuran (retropulsi)
3. Fungsi pengosongan: terbukanya sfingter pylorus yang dipengaruhi
keasaman,viskositas,volume,keadaan fisik,emosi dan obat-obatab. Pengosongan
lambung dipengaruhi oleh faktor saraf dan hormona seperti kolesistokinin

Fungsi Pencernaan dan Sekresi


1. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus
(massa homogen setengah cair berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus)
dan mendorongnya ke dalam duodenum.
2. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan
asam klorida.
3. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barrier
setebal 1 mm untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan
sekresinya sendiri.
4. Produksi faktor intrinsik.
a. Faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal.
b. Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung, terikat pada
faktor intrinsik. Kompleks faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum
usus halus, tempat vitamin B12 diabsorbsi.

23
5. Absorbsi. Absorbsi nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya sedikit.
Beberapa obat larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding
lambung. Zat terlarut dalam air terabsorbsi dalam jumlah yang tidak jelas.

MEKANISME SEKRESI ASAM LAMBUNG


Kecepatan sekresi lambung dapat dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor yang muncul
sebelum makanan mencapai lambung; (2) faktor-faktor yang timbul akibat adanya
makanan di dalam lambung; dan (3) faktor-faktor di duodenum setelah makanan
meninggalkan lambung. Dengan demikian, diaktifkan, pepsin secara autokatalis
mengaktifkan lebih banyak pepsinogen dan memulai pencernaan protein. Sekresi
pepsiongen dalam bentuk inaktif mencegah pencernaan protein struktural sel
tempat enzim tersebut dihasilkan. Pengaktifan pepsinogen tidak terjadi sampai
enzim tersebut menjadi lumen dan berkontak dengan HCl yang disekresikan oleh
sel lain di kantung-kantung lambung. Sekresi lambung dibagi menjadi tiga fase—
fase sefalik, fase lambung, dan fase usus.
a. Fase sefalik terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan
ke dalam mulut atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan dapat
merangsang sekresi lambung.
b. Fase lambung terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung
selama makanan masih ada.
a. Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa
lambung dan memicu refleks lambung. Serabut aferen menjalar ke medula
melalui saraf vagus. Serabut eferen parasimpatis menjalar dalam vagus
menuju kelenjar lambung untuk menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim
pencernaan, dan gastrin.
b. Fungsi gastrin:
i. merangsang sekresi lambung,
ii. meningkatkan motilitas usus dan lambung,
iii. mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan merelaksasi sphincter
pylorus,
iv. efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.
c. Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui penghambatan
umpan balik yang didasarkan pada pH isi lambung.
i. Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam makan, pH
lambung akan rendah dan sekresi lambung terbatas.
ii. Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan
(buffering) yang mengakibatkan peningkatan pH dan sekresi lambung.
d. Fase usus terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus
halus yang kemudian memicu faktor saraf dan hormon. Sekresi lambung
distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat berlangsung
selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh bagian atas duodenum dan
dibawa dalam sirkulasi menuju lambung. Sekresi lambung dihambat oleh
hormon-hormon polipeptida yang dihasilkan duodenum. Hormon ini
dibawa sirkulasi menuju lambung, disekresi sebagai respon terhadap
asiditas lambung dengan pH di bawah 2, dan jika ada makanan berlemak.
Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP), sekretin,
kolesistokinin (CCK), dan hormon pembersih enterogastron.

24
PROSES PENGISIAN, PENYIMPANAN, PENCAMPURAN, DAN
PENGOSONGAN LAMBUNG
Terdapat empat aspek motilitas lambung:
(1) pengisian lambung/gastric filling,
(2) penyimpanan lambung/gastric storage,
(3) pencampuran lambung/gastric mixing, dan
(4) pengosongan lambung/gastric emptying.
Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan.
Akomodasi perubahan volume yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut
akan menimbulkan ketegangan pada dinding lambung dan sangat
meningkatkan tekanan intralambung jika tidak terdapat dua faktor berikut ini:
a. Plastisitas otot lambung. Plastisitas mengacu pada kemampuan otot
polos lambung mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang
panjang yang lebar, tidak seperti otot rangka dan otot jantung, yang
memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan demikian, saat serat-serat
otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut
melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung. Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks
lambung sewaktu menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan
kemampuan lambung mengakomodasi volume makanan tambahan
dengan hanya sedikit mengalami peningkatan tekanan. Tentu saja apabila
lebih dari 1 liter makanan masuk, lambung akan sangat teregang dan
individu yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif
dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh nervus vagus.
Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom
dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di
lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan
potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang lambung
menuju sphincter pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit. Pola
depolarisasi spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic
electrical rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan mungkin
disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan
corpus lalu ke antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus
dan corpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada
saat mencapai antrum, gelombang menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh
lapisan otot di antrum yang jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang
kuat, makanan yang masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif
tenang tanpa mengalami pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak
menyimpan makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas. Makanan secara
bertahap disalurkan dari corpus ke antrum, tempat berlangsungnya
pencampuran makanan.

25
Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan
bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap
gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah sphincter
pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar, gelombang
peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan sphincter
tersebut berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat
aliran kimus lebih lanjut ke dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum
yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam duodenum
dengan tiba-tiba berhenti pada sphincter yang tertutup dan tertolak kembali
ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada
saat gelombang peristaltik yang baru datang. Gerakan maju-mundur tersebut,
yang disebut retropulsi, menyebabkan kimus bercampur secara merata di
antrum.
Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum—selain menyebabkan pencampuran lambung—
juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah
kimus yang lolos ke dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik
sebelum sphincter pylorus tertutup erat terutama bergantung pada kekuatan
peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat bervariasi di bawah
pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan demikian,
pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan
lambung. Faktor lambung utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi
adalah jumlah kimus di dalam lambung. Apabila hal-hal lain setara, lambung
mengosongkan isinya dengan kecepatan yang sesuai dengan volume kimus
setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas lambung
melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan
plexus intrinsik, nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu,
derajat keenceran (fluidity) kimus di dalam lambung juga mempengaruhi
pengosongan lambung. Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin
cepat isi lambung siap dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan
lambung. Walaupun terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang
lebih penting untuk mengontrol kecepatan pengosongan lambung. Duodenum
harus siap menerima kimus dan dapat bertindak untuk memperlambat
pengsongan lambung dengan menurunkan aktivitas peristaltik di lambung
sampai duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu
lambung teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak
dapat mengosongkan isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.

Tabel 2-2. Faktor yang mengatur motilitas dan pengosongan lambung

26
MEKANISME MUNTAH
Muntah, atau emesis, yaitu ekspulsi secara paksa isi lambung keluar melalui
mulut, secara umum dianggap disebabkan oleh motilitas lambung yang
abnormal. Namun, muntah tidak ditimbulkan oleh peristalsis terbalik (reverse
peristalsis), seperti yang semula diperkirakan. Sebenarnya, lambung itu
sendiri tidak berpartisipasi aktif dalam tindakan muntah. Lambung,
oesophagus, sphincter gastroesophagus, dan sphincter pylorus semua
melemas sewaktu muntah. Gaya utama yang mendorong keluar isi lambung,
secara mengejutkan, datang dari kontraksi otot-otot pernapasan—yaitu
diaphragma (otot inspirasi utama) dan otot abdomen (otot ekspirasi aktif).
Muntah diawali oleh inspirasi dalam dan penutupan glottis. Diaphragma
yang berkontraksi turun menekan lambung sementara kontraksi otot-otot
abdomen secara stimultan menekan rongga abdomen, sehingga tekanan intra-
abdomen meningkat dan isi abdomen terdorong ke atas. Karena lambung
yang lunak itu tertekan antara diaphragma dari atas dan tekanan rongga
abdomen dari bawah, isi lambung terdorong ke dalam oesophagus dan keluar
dari mulut. Glottis tertutup, sehingga muntahan tidak masuk ke saluran
pernapasan. Uvula juga terangkat untuk menutupi rongga hidung.
Siklus muntah dapat berulang beberapa kali sampai lambung kosong.
Muntah biasanya didahului oleh pengeluaran air liur berlebihan, berkeringat,
peningkatan kecepatan denyut jantung, dan rasa mual, yang semuanya
merupakan tanda-tanda umum lepas muatan sistem saraf autonom. Tindakan
muntah yang kompleks tersebut dikoordinasikan oleh pusat muntah di
medula. Mual, retching, dan muntah dapat dimulai oleh masukan aferen ke
pusat muntah dari sejumlah reseptor di seluruh tubuh.
Peran enzim-enzim pencernaan
Pencernaan makanan secara kimiawi terjadi dengan bantuan zat kimia
tertentu.Enzim pencernaan merupakan zat kimia yang berfungsi
memecahkan molekulbahan makanan yang kompleks dan besar menjadi
molekul yang lebih sederhanadan kecil. Molekul yang sederhana ini
memungkinkan darah dan cairan getahbening ( limfe ) mengangkut ke
seluruh sel yang membutuhkan. Secara umum enzim memiliki sifat : bekerja
pada substrat tertentu, memerlukansuhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu
pula. Suatu enzim tidak dapat bekerjapada substrat lain. Molekul enzim juga
akan rusak oleh suhu yang terlalu rendahatau terlalu tinggi. Demikian pula
enzim yang bekerja pada keadaan asam tidakakan bekerja pada suasana basa
dan sebaliknya.
Macam-macam enzim pencernaan yaitu:
a. Enzim ptyalin
Enzim ptialin terdapat di dalam air ludah, dihasilkan oleh kelenjar ludah.
Fungsi enzim ptialin untuk mengubah amilum (zat tepung) menjadi
glukosa .
b. Enzim amylase
Enzim amilase dihasilkan oleh kelenjar ludah ( parotis ) di mulut dan
kelenjar pankreas. Kerja enzim amilase yaitu : Amilum sering dikenal
dengan sebutan zat tepung atau pati. Amilum merupakan karbohidrat atau
sakarida yang memiliki molekul kompleks. Enzim amylase memecah

27
molekul amilum ini menjadi sakarida dengan molekul yang lebih
sederhana yaitu maltosa.
c. Enzim maltase
Enzim maltase terdapat di usus dua belas jari, berfungsi memecah
molekul maltosa menjadi molekul glukosa . Glukosa merupakan sakarida
sederhana (monosakarida ). Molekul glukosa berukuran kecil dan lebih
ringan dari padamaltosa, sehingga darah dapat mengangkut glukosa untuk
dibawa ke seluruh selyang membutuhkan.
d. Enzim pepsin
Enzim pepsin dihasilkan oleh kelenjar di lambung berupa pepsinogen.
Selanjutnya pepsinogen bereaksi dengan asam lambung menjadi pepsin .
Carakerja enzim pepsin yaitu : Enzim pepsin memecah molekul protein
yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu pepton.
Molekul pepton perlu dipecah lagi agar dapatdiangkut oleh darah.
e. Enzim tripsin
Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pancreas dan dialirkan ke dalam
usus duabelas jari ( duodenum ). Cara kerja enzim tripsin yaitu :
Asam amino memiliki molekul yang lebih sederhana jika dibanding
molekul pepton. Molekul asam amino inilah yang diangkut darah dan
dibawa ke seluruhsel yang membutuhkan. Selanjutnya sel akan merakit
kembali asam amino-asam amino membentuk protein untuk berbagai
kebutuhan sel.
f. Enzim rennin
Enzim renin dihasilkan oleh kelenjar di dinding lambung. Fungsi enzim
renin untuk mengendapkan kasein dari air susu. Kasein merupakan protein
susu, sering disebut keju. Setelah kasein diendapkan dari air susu maka
zat dalam air susudapat dicerna.
g. Asam khlorida (HCl)
Asam khlorida (HCl) sering dikenal dengan sebutan asam lambung,
dihasilkanoleh kelenjar didalam dinding lambung. Asam khlorida
berfungsi untukmembunuh mikroorganisme tertentu yang masuk bersama-
sama makanan.Produksi asam khlorida yang tidak stabil dan cenderung
berlebih, dapat menyebabkan radang lambung yang sering disebut
penyakit ”mag”.
h. Cairan empedu
Cairan empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung dalam kantong
empedu. Empedu mengandung zat warna bilirubin dan biliverdin yang
menyebabkan kotoran sisa pencernaan berwarna kekuningan. Empedu
berasal dari rombakansel darah merah ( erithrosit ) yang tua atau telah
rusak dan tidak digunakan untuk membentuk sel darah merah yang baru.
Fungsi empedu yaitu memecah molekul lemak menjadi butiran-butiran
yang lebih halus sehingga membentuk suatu emulsi . Lemak yang sudah
berwujud emulsi ini selanjutnya akan dicerna menjadi molekul-molekul
yang lebih sederhana lagi.
i. Enzim lipase
Enzim lipase dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan kemudian dialirkan ke
dalam usus dua belas jari ( duodenum ). Enzim lipase juga dihasilkan oleh
lambung, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Cara kerja enzim lipase yaitu :
Lipid (seperti lemak dan minyak) merupakan senyawa dengan molekul
kompleks yang berukuran besar. Molekul lipid tidak dapat diangkut oleh

28
cairan getah bening, sehingga perlu dipecah lebih dahulu menjadi molekul
yang lebih kecil. Enzim lipase memecah molekul lipid menjadi asam
lemak dan gliserol yang memiliki molekul lebih sederhana dan lebih kecil.
Asam lemak dan gliserol tidak larut dalam air, maka pengangkutannya
dilakukan oleh cairan getah bening (limfe ).

LO 3 Memahami dan Menjelaskan Sindrom Dispepsia


3.1 Definisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein
(pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical
Investigations, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang
terutama dirasakan di daerah perut bagian atas.
Sindroma dispepsia merupakan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat
kenyang, rasa perut penuh, sendawa.
Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para pakar dibidang
gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) rasa tidak
nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai
dengan keluhan lain yaitu perasaan panas di dada dan perut, regurgitas, kembung,
perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan banyak
mengeluarkan gas asam dari mulut. Sindroma dispepsia ini biasanya diderita
selama beberapa minggu /bulan yang sifatnya hilang timbul atau terus-menerus.

3.2 Etiologi

Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia


fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum,
striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik,
dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua
penyebab organik.

29
3.3 Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik
klinis seharihari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi
3,3% pada tahun 2003.

Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat


prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan
primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1
dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. Pylori
yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan. Prevalensi pasien
dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum
dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia
dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan
dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina,
Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia
fungsional.
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan
44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan
ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami
nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar
8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut
yang dialaminya ke dokter. Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja
berusia di atas 5 tahun yang 6 25 mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman,
dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia
fungsional dan 35% peradangan mukosa. Seiring dengan bertambah majunya
ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya
penyakit gastroduodenum yang disebabkan Helicobacter pylori, maka
diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi
melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada
kelompok yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4
tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di
atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.

3.4 Klasifikasi

Batasan dispepsia terbagi atas dua yaitu:

a. Dispepsia organik, dyspepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik


sebagai penyebabnya. Dispepsia organic dikategorikan menjadi :
1. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia).

30
Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati.
Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan,
pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati.
Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya
tukak lambung atau di duodenum.
2. Dispepsia bukan tukak.
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada
gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan
tanda-tanda tukak.
3. Refluks gastroesofageal.
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan
regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan
tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat
disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
4. Penyakit saluran empedu.
Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa
nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung
dan bahu kanan.
5. Karsinoma.
Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan
bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang
menurun.
6. Pankreatitis.
Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa
makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma
dispepsi juga ada.
7. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi.
Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea,
anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok
ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
8. Dispepsia akibat obat-obatan.
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di
daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat
golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis,
antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh
karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan
dispepsia.
9. Gangguan metabolisme.
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan
lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan
lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut
dan vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas
lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea,
vomitus, dan anoreksia.

b. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus
(DNU), Dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional dibagi atas
3 sub grup yaitu:

31
1. Dispepsia mirip ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominan adalah
nyeri ulu hati;
2. Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala dominan
adalah kembung, mual, cepat kenyang
3. Dyspepsia non-spesific yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b)
3.5 Patofisiologi

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti
nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi
kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan
erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian
dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya
kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa
impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan


dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter
pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.

32
a. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya
mempunyai tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi
basal maupun dengan stimulasi pentagastrin. Diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak
di perut.
b. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.
c. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia
fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas
antrum. Tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal
merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan
lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.
d. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi,
tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap
disetensi balon di gaster atau duodenum.
e. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya
neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal
lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada
pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia
fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.
g. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron,
estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal.
h. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
i. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres
sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dilaporkan
dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,
adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia
fungsional.

3.6 Manifestasi Klinis


Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan
organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan
ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional
merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-
benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like

33
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara
dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan
menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan
tanda-tanda bahaya.

a. Nyeri perut (abdominal discomfort),


b. Rasa perih di ulu hati,
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah,
d. Nafsu makan berkurang,
e. Rasa lekas kenyang,
f. Perut kembung,
g. Rasa panas di dada dan perut,
h. Regurgitasi (keluar cairan dari gaster secara tiba-tiba).

Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominant membagi dispepsia
menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia akibat gangguan motilitas


Perasaan kembung, rasa penuh ulu hati stelah makan, cepat merasa kenyang
disertai sendawa.
2. Dispepsia akibat tukak
Tukak peptik memberikan keluhan nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman disertai
muntah.
Tukak duodeni rasa sakit timbul saat pasien merasa lapar, rasa sakit dapat
hilang setelah makan dan minum obat antasida. Sedangkan tukak gaster, rasa
sakit timbul stelah makan dan rasa sakit disebelah kiri.
Tukak akibat obat OAINS/ usia lanjut biasanya tidak menimbulkan keluhan,
hanya diketahui bila terjadi komplikasi.

3. Dispepsia tidak spesifik.

Gambaran alarm sign untuk dispepsia :


Umur ≥ 45 tahun (onset baru)
Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan >10%
Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati 34
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

 Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu :

ANAMNESIS

Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang terjadi,


karakteristik dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan bisa bersifat lokal
atau bisa sebagai manifestasi dari gangguan sistemik. Harus menyamakan persepsi
antara dokter dengan pasien untuk menginterpretasikan keluhan tersebut.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen
yang padat misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan
adanya rangsangan peritoneal/peritonitis.

PEMERIKSAAN LAB

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi seperti


lekositosis, pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran cerna.
2. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan seperti: batu
kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
3. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan bila
dispepsia itu disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu adanya
penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia
lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik
terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural
atau organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ulkus,
tumor dan sebagainya, juga dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi)
dari jaringan yang dicurigai untuk memperoleh gambaran histopatologiknya atau
untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori.
4. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa
saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran yang mengarah ke
tumor. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama pada kelainan yang bersifat
penyempitan/stenotik/obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.

35
5. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir
ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari
suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan
setiap saat, dan pada kondisi pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan.
Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan
di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan di
oesophagus dan lambung.
- Invasive Test :

 Rapid Urea Test : Tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim


urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat suasana
menjadi basa,yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa
lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang
mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen
tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan
perubahan warna.
 Histologi: Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk 2
kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari
dasar,pinggir dan sekitar tukak (min. 6 sampel).
 Kultur : Untuk kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin
-Non Invasive Test :

 Urea Breath Test : mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea
yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondiokasida diproduksi di dalam perut
dan diarbsobsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan akhirnya
dikeluarkan lewat pernapasan.
 Stool Antigen test : tes ini juga mengidentifikasikan adanya infeksi H.pylori
melalui mendeteksi keadaan antigen H.pylori dalam feces.
ROMA II
Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
 Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat
diabdomen atas)
 Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola
dan bentuk defekasi

a. Dispepsia like-ulcer : Rasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas


b. Dispepsia like-dysmotility : Rasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen
atas berupa rasa penuh, lekas kenyang, sebah dan mual
c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific): Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi
criteria like-ulcer atau like-dysmotility

ROMA III
Dispepsia Fungsional

36
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya:
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan 
b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan
Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan
gejala-gejala tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6
bulan setelah terdiagnosis

a. Sindroma distress postprandial


  Kriteria diagnosis* Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini
1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-
kurangnya beberapakali seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-kurangnya
beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6
bulan setelah terdiagnosis
   Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa
yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik

b. Sindroma Nyeri Epigastrik


  Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya :
  Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium derajat sedang sekurang-
kurangnya sekaliseminggu
1. Nyeri bersifat intermitten
2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6
bulan setelahterdiagnosis
   Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat
puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada, perut
kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga
sering memberikan keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-kadang
penderita angina mempunyai keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.

Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus,
akan sering memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan
pada penderita SLE, terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.

37
1. Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang
berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam kurun waktu tersebut
gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit organik yang bisa menerangkan gejala
tersebut secara klinis, biokimia, endoskopi (tidak ada ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak
ada keganasan) atau radiografi
2. Gastritis, merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat
akut,kronik,difus atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri dan panas pada
uluhati diserta mual dan muntah.Diagnosa ditegakkan dengan endoskopi.Didapatkan
mukosa memerah,edematosa ditutpi oleh mukus yang melekat.
3. Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada, perut
kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering
memberikan keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-kadang penderita
angina mempunyai keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.
4. Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus, akan
sering memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada
penderita SLE, terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
3.8 Penatalaksanaan

TERAPI FARMAKOLOGIS

a. Antasid Sistemik

Natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbon dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi
lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan
alkalosis metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium
bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk
mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus.
Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium
bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram.
Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada pengobatan
tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)

b. Antasid Non-sistemik

Aluminium hidroksida -- Al(OH)3

Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang.
Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak
larut lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan

38
fosfat membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga
eksresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion
aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini
mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al
tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat
demulsen dan adsorben.

Efek samping Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi
fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai
osteomalasia. Al(OH)3 dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan
tetrasiklin. Al(OH)3 lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.

Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan sebagai
adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH) 3 gel
yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam
bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat
menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.

Kalsium karbonat

Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka
daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.

Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran


cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan
berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di
antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl
(H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan
mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah
hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada
penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk alkali
syndrom).

Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan


pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang. Kalsium karbonat tersedia
dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat
menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.

Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak
larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl2.
Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam
lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa

39
kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal
menetralkan HCl.

Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal,
hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium
yang diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan
alkali uria, tetapi jarang alkalosis.

Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek


katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam
usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat
menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.

Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 7-8,55
Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang
dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg Mg(OH) 2 yang
dapat dinetralkan 11,1 mEq asam.

Magnesium trisiklat

Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam


lambung sebagai berikut:

Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup
tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan
dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang
baik; tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan.
Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan
waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu
jam.

Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu
silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya
yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang
beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.

Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.

c. Obat Penghambat Sekresi Lambung

Penghambat pompa proton

40
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih
kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih
distal dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol,
lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut
adalah subtitusi cinci piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran
resemik isomer R dan S. Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol
(S-omeprazol) yang mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.

Farmakodinamik. Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan


suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik,
obat ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan
mengalami aktivasi di situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini
berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai
pompa proton) dan berada di membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung berhenti 80%-95%
setelah penghambatan pompa poroton tersebut.

Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi
asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas dari jenis perangsangnya histamin,
asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali
dapat terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut


enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini
tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet
yang dipecah dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus
sulfhidril mukus dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan
50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah
makan.

Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan


persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut
enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi
asam lambung setelah obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P
450 (CYP), terutama CYP2P19 dan CYP3A4.

Indikasi. Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap
sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik
pada AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Efek samping. Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi,
flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala,
dan ruam kulit.

Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg,
diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut

41
enterik 20 mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam
bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.

d. Antagonis Reseptor H2

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan


metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun
karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H 2 yang ada saat ini
adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien
dengan hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak
lambung. Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan
pemberian yang lebih sering sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bagi
pasien yang menggunakan obat lain/banyak obat, nampaknya akan lebih aman
menggunakan ranitidin, famotidin, atau nizatidin yang tidak/kurang kemungkinannya
dibandingkan simetidin untuk mengadakan interaksi dengan obat lain yang
merupakan substrat enzim sitokrom P450. Dibandingkan simetidin, kemungkinan
efek samping ranitidin, famotidin, dan nizatidin nampaknya lebih kecil, termasuk
kemungkinan di antaranya kemungkinan impotensi dan ginekomastia karena ketiga
obat tersebut tidak mengikat reseptor androgen.

e. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon,
cisapride.

Bathanecol

Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai
untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa
tidak turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek
sampingnya cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya
adalah sakit kepala, mata kabur, kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung
kemih, berkeringat. Oleh karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.

Metoklopramid

Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek
anti-dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun
perifer. Khasiat metoklopramid antara lain:

1. meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion


kolinergik,
2. merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
3. merupakan reseptor antagonis dopamin

42
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari saluran cerna
dan mempercepat pengosongan lambung.

Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas
atau sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin
sentral dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan
hipertonis dan kejang.

Domperidon

Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan


antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping yang
rendah daripada metoklopramid.

Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah
sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan meningkatkan
koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung yang sedang
terganggu, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta menghambat
relaksasi lambung sehingga pengosongan lambung akan lebih cepat.

Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa pengosongan


yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa, gastroparesis. Demikian
pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita pasca-bedah, bahkan efektif
sebagai pencegah muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi.

Efek sampingnya lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering, kulit
gatal, diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya akan
meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan ginekomasti pada pria, serta
galaktore dan amenore pada wanita.

Cisapride

Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang
mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai
spektrum yang luas.

Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas pada
saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal ini disebabkan
karena cisapride meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah, peristaltik
oesophagus, dan pengosongan oesophagus. Di samping itu, akan meningkatkan
peristaltik antrum, memperbaiki koordinasi gastro-duodenum dan mempercepat
pengosongan lambung. Manfaat cisapride pada saluran cerna bagian bawah yaitu akan
merangsang aktivitas motorik usus halus dan kolon sehingga mempercepat transit di

43
sini. Jadi, obat ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus kronis idiopatik, pada
penderita konstipasi karena paraplegia, dan pemakai obat laxatif yang menahun.

Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di perut
yang sifatnya sementar.

a. Sitoprotektive agent
Agen Cytoprotective merangsang produksi lendir dan meningkatkan aliran
darah ke seluruh lapisan saluran pencernaan. Agen ini juga bekerja dengan
membentuk lapisan yang melindungi jaringan ulserasi. Contoh agen Cytoprotective
termasuk misoprostol dan sukralfat.
1) Misoprostol (Cytotec)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin yang dapat digunakan untuk
menurunkan kejadian tukak lambung dan komplikasi jangka panjang
pengguna NSAID yang berisiko tinggi.
2) Sukralfat (Carafate)
Sukralfat mengikat dengan protein bermuatan positif dalam eksudat dan
membentuk zat perekat kental yang melindungi lapisan GI terhadap pepsin,
asam lambung, dan garam empedu. Hal ini digunakan untuk jangka pendek
pengelolaan bisul.
4. Antibiotik H pylori
PPI regimen berbasis terapi tiga untuk H pylori terdiri dari PPI, amoksisilin, dan
clarithromycin selama 7-14 hari. Sebuah durasi yang lebih lama tampaknya
menjadi lebih efektif dan saat ini perawatan yang dianjurkan. Amoksisilin harus
diganti dengan metronidazol dalam penisilin-alergi pasien saja, karena tingginya
tingkat resistensi metronidazol. Pada pasien dengan ulkus rumit disebabkan oleh H
pylori, pengobatan dengan PPI di luar kursus 14 hari antibiotik dan sampai
konfirmasi pemberantasan H pylori dianjurkan.
Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling
sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton.
Terkadang ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk
membunuh bakteri, penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa
sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan meningkatkan efektifitas antibiotik.
Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk
membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang digunakan.
Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi

44
dua obat. Terapi dalam jangka waktu yang lama (terapi selama 2 minggu
dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas.
Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan pemeriksaan
kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan pernapasan dan pemeriksaan
feces adalah dua jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan sudah
tidak adanya H. pylori. Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang positif
selama beberapa bulan atau bahkan lebih walaupun pada kenyataanya bakteri
tersebut sudah hilang.

Terapi lini pertama :

Urutan prioritas

a. PPI + amoksisilin + klaritromisin

b. PPI + metronidazol + klaritromisin

c. PPI + metronidazol + tetrasiklin

Pengobatan dilakukan selama satu minggu.

Terapi lini kedua atau terapi kuadrupel :

Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria
gagal adalah 4 minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif berdasarkan
pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi.

Urutan prioritas :

a. Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin + kklaritromisin

b. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + klaritromisin

c. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + tetrasiklin

45
Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi
H.pylori dengan media transport MIU.

Pembedahan
a. Vagotomi
-Pemotongan n.vagus  menghilangkan fase sefalik
-Vagotomi trunkus konvensional: mengurangi sekresi lambung dan motilitas
serta pengosongan
-Vagotomi selektif : n.vagus cabang lambung saja yang dipotong
-Vagotomi superselektif: potong yang mempersarafi daerah penyekresi asam
di lambung
-Vagotomi trunkal posterior dan seromiotomi : dengan laparoskpi,denervasi
seluruh kurvatura minor dan kurangi sekresi asam
b. Antrektomi
-Pembuangan seluru antrum lambung
-Mengilangakan fase hormonal dan fase gastrik
c. Gastrektomi parsial
-Pembuangan 50-75% distal lambung
-Menyebabkan pembuang mukosa penyekresi asam dan pepsin
-Setelah itu dilakukan anastomosis lambung dengan duodenum
(gastroduodenostomi/billrothI) atau dengan jejunum (gastrojejunostomi/bilroth
II)
TERAPI NONFARMAKOLOGIS

Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy’s
diet. Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan
masyarakat Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan sedikit dan berulang kali,
makan makanan yang mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang
dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan dapat
menetralisir HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan
pedas, asam, alkohol.

3.9 Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :


1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

46
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia
bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan
pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat
mengenai :
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali
dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan
gizi dan penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang
diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang
diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol, kopi serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik
meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau
ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap
dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah berlangsung
lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih dari 40 tahun.
Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik perlu dilakukan
pemeriksaan
b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
1) Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah
makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu
dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang peningkatan dalam lambung dan kemungkinan
dapat menetralisir asam HCL.
2) Perbaikan keadaan umum penderita
3) Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.

47
4) Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan
untuk pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik,
sitoprotektif dan lain-lain.
3. Pencegahan Tertier
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia
terhadap masalah yang dihadapi.

3.10 Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, dyspepsia bersifat ringan dan hanya terjadi sesekali.
Tetapi, dyspepsia berat dapat menyebabkan komplikas, seperti:
a. Esofageal stricture
Dyspepsia kadang disebabkan oleh reflux asam lambung, yang terjadi ketika
asam lambung naik ke atas menuju esophagus dan mengiritasi permukaannya. Jika
iritasi ini bertambah seiring berjalannya waktu, dapat menyebabkan esophagus
menjadi terluka. Luka ini dapat menyebabkan esophagus menyempit dan konstriksi
(esophagus stricture). Gejala yang dialami adalah:
- Susah menelan (dysfagia)
- Makanan tersangkut di kerongkongan
- Sakit dada
Esophagus stricture biasanya di terapi dengan operasi untuk memperlebar
esofagus
b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan karena
asam lambung. Ini terjadi ketika jalan antara lambung dan duodenum (daerah
pylorus) menjadi terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan muntah dan
mencagah makanan yang dimakan dicerna sempurna. Pada kebanyakan kasus,
stenosis pylorus diterapi dengan operasi untuk mengembalikan lebar awal pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel
permukaan esophagus bawah. Ini adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s
esophagus biasanya tidak menyebabkan gejala seperti reflux asam lambung

48
lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel yang terkena Barret’s esophagus dapat menjadi
kanker dan memicu kanker esophagus.
d. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum. Perdarahan
besar mendadak dapat mengancam jiwa. Ini terjadi ketika ulkus mengikis salah
satu pembuluh darah.
e. Perforasi (lubang di dinding)
Perforasi sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi dinding gastro-usus
oleh ulkus menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke dalam rongga perut.
Perforasi pada permukaan anterior perut menyebabkan peritonitis akut, awalnya
kimia dan kemudian bakteri peritonitis. Tanda pertama adalah sering nyeri perut
tiba-tiba intens. Perforasi dinding posterior menyebabkan pankreatitis, sakit dalam
situasi ini sering menjalar ke punggung.
f. Penetrasi
Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan seperti
hati dan pankreas.
g. Jaringan parut dan pembengkakan
Terjadi karena ulkus menyebabkan penyempitan di duodenum dan obstruksi
lambung. Pasien sering menyajikan dengan muntah-muntah hebat.
3.11 Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional
memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu
dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih
sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap
bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan,
memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.

LO 4 Memahami dan Menjelaskan Gastritis

4.1 Etiologi
a. Gastritis akut
Banyak faktor yang menyebabkan gastritis akut, seperti merokok, jenis
obat, alkohol, bakteri, virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi atau intoksitasi
dari bahan makanan dan minuman, garam empedu, iskemia dan trauma
langsung (Muttaqin, 2011). Faktor obat-obatan yang menyebabkan gastritis
seperti OAINS (Indomestasin, Ibuprofen, dan Asam Salisilat), Sulfonamide,
Steroid, Kokain, agen kemoterapi (Mitomisin, 5-fluoro-2- deoxyuridine),
Salisilat dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa lambung (Sagal, 2006). Hal
tersebut menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi

49
prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Hal tersebut terjadi
jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang
berlebihan sehingga dapat mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer (Jackson,
2006).
Faktor-faktor penyebab gastritis lainnya yaitu minuman beralkohol,
seperti whisky, vodka dan gin. Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan
mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih
rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga, dapat
menyebabkan perdarahan (Wibowo, 2007). Penyebab gastritis paling sering
yaitu infeksi oleh bakteri H. Pylori, namun dapat pula diakibatkan oleh bakteri
lain seperti H. heilmanii, Streptococci, Staphylococci, Protecus species,
Clostridium species, E.coli, Tuberculosis dan Secondary syphilis (Anderson,
2007). Gastritis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti
Sitomegalovirus. Infeksi jamur seperti Candidiasis, Histoplasmosis dan
Phycomycosis juga termasuk penyebab dari gastritis (Feldman,2001).
Gastritis dapat terjadi pada kondisi refluks garam empedu (komponen
penting alkali untuk aktivasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil ke
mukosa lambung sehingga menimbulkan respons peradangan mukosa
(Mukherjee, 2009). Terjadinya iskemia, akibat penurunan aliran darah ke
lambung, trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan
antara agresi dan mekanisme pertahanan untuk menjaga integritas mukosa,
yang dapat menimbulkan respons peradangan pada mukosa lambung (Wehbi,
2008).
Penyebab gastritis akut menurut Price (2006) adalah stres fisik dan
makanan, minuman. Stres fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis,
trauma, pembedahan, gagal nafas, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat
dan refluks usus-lambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah
termasuk pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan gangguan pada
produksi mukus dan fungsi sel epitel lambung (Price dan Wilson, 2005;
Wibowo, 2007). Mekanisme terjadinya ulcer atau luka pada lambung akibat
stres adalah melalui penurunan produksi mukus pada dinding lambung. Mukus
yang diproduksi di dinding lambung merupakan lapisan pelindung dinding
lambung dari faktor yang dapat merusak dinding lambung antara lain asam
lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori,
OAINS, alkohol dan radikal bebas (Greenberg, 2002).
b. Gastritis kronik.
Penyebab pasti dari penyakit gastritis kronik belum diketahui, tetapi ada dua
predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian gastritis kronik, yaitu
infeksi dan non infeksi (Muttaqin, 2011).
a) Gastritis infeksi
Beberapa peneliti menyebutkan bakteri Helicobacter pylori merupakan
penyebab utama dari gastritis kronik (Anderson, 2007). Infeksi
Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat
bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Saat ini Infeksi

50
Helicobacter pylori diketahui sebagai penyebab tersering terjadinya gastritis
(Wibowo, 2007; Price dan Wilson, 2005). Infeksi lain yang dapat
menyebabkan gastritis kronis yaitu Helycobacter heilmannii,
Mycobacteriosis, Syphilis,infeksi parasit dan infeksi virus (Wehbi, 2008).
b) Gastritis non-infeksi
1) Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding lambung. Hal ini
mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding
lambung, menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan
mengganggu produksi faktor intrinsik yaitu sebuah zat yang membantu
tubuh mengabsorbsi vitamin B-12. Kekurangan vitamin B-12 akhirnya
dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah kondisi serius yang jika
tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmue
atrophic gastritis terjadi terutama pada orang tua (Jackson, 2006).
2) Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluk garam
empedu kronis dan kontak dengan OAINS atau Aspirin (Mukherjee, 2009).
3) Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang menyebabkan
ureum terlalu banyak beredar pada mukosa lambung dan gastritis sekunder
dari terapi obat-obatan (Wehbi, 2008).
4) Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang berhubungan dengan
berbagai penyakit, meliputi penyakit Crohn, Sarkoidosis, Wegener
granulomatus, penggunaan kokain, Isolated granulomatous gastritis,
penyakit granulomatus kronik pada masa anak-anak, Eosinophilic
granuloma, Allergic granulomatosis dan vasculitis, Plasma cell granulomas,
Rheumatoid nodules, Tumor amyloidosis, dan granulomas yang
berhubungan dengan kanker lambung (Wibowo,2007).
5) Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous gastritis dan injuri
radiasi pada lambung (Sepulveda, 2004).
4.2 Patofisiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya
bersifat jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai
iritan lokal. Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila
terdapat ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor pertahanan
(defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan
atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi
asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter
pylori yang bersifat gram-negatif, OAINS, alkohol dan radikal bebas.
Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa gastroduodenal
terdiri dari tiga lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial
(Pangestu, 2003).
Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa
lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi
terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis
pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya

51
meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan
pH, dan membuat ikatan antar sel (Kumar, 2005). Lapisan pertahanan ketiga
adalah aliran darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini
ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat (Pangestu, 2003).
Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein,
alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori
lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut
melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung,
meninggalkan daerah epitel yang gundul.
Obat lain juga terlibat, misalnya OAINS (indomestasin, ibuprofen,
naproksen), sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas,
dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila
alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak
dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum secara
terpisah (Price dan Wilson, 2005).
4.3 Komplikasi
Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis
kronik. Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian
atas berupa hematemesis dan melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok
hemoragik. Gastritis kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna
bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001).
4.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik gastritis terbagi menjadi yaitu gastritis akut dan gastritis
kronik (Mansjoer, 2001):
1. Gastritis akut
Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah,
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian
disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika
dilakukan anamnesis lebih dalam, terdapat riwayat penggunaan obat-
obatan atau bahan kimia tertentu.
2. Gastritis kronik
Bagi sebagian orang gastritis kronis tidak menyebabkan gejala apapun
(Jackson, 2006). Hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia,
nausea dan pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan. Gastritis
kronis yang berkembang secara bertahap biasanya menimbulkan gejala
seperti sakit yang tumpul atau ringan (dull pain) pada perut bagian atas dan
terasa penuh atau kehilangan selera setelah makan beberapa gigitan.

Daftar Pustaka
Anthony, LM. (2013). Junqueira's Basic Atlas Histology. 13th Ed. McGraw Hill
Education. E-Books

52
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi
5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Dorland WAN. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Gandasoebrata,R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat.
Ganong, WF. 2008. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 22. Jakarta :
Penerbit buku Kedokteran EGC

Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. Dispepsia.


http://www.kalbemed.com/portals/6/197_cme-dispepsia.pdf. Diakses pada : Senin, 24
April 2019 10.30
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2014. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta
Richard Snell,S. (2012). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC
Robert K. Murray dkk. 2009. Biokimia HARPER Edisi 27. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC

Siti, S. Et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing. 1729.

Sylvia A. Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.


Jakarta : Penerbit buku Kedokteran EGC

53

Anda mungkin juga menyukai