Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERTUSIS

Anggota :
Temi Bagja Pratama 4111151110
I Wayan Arief Wimar 4111151141
Arina Hanin Rihannur 4111171026
Mochammad Afgar Dwi N 4111171047
Muhammad Bagas Aditya 4111171063
Athaya Shafa M S 4111171073
Muhammad Debry M 4111171080
Tersia Viradanti 4111171086
Tri Wahyuni 4111171095
Shelby Jovanka Novari 4111171105
Desi Veronika 4111171107
Fahmi Aditya Riza 4111171110
Muhammad Rizki Alamsyah 4111171130
Sinta Rachmanita 4111171137
Meyta Dwi Lestari 4111171171
Universitas Jenderal Achmad Yani
Fakultas Kedokteran
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidahnya-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Pertusis ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Yudith Yunia Kusmala, dr.,
M.Kes., SpPD selaku Ketua Blok 12 yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pertusis. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan yang jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya masukan, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di waktu yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumya kami memohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun bagi kami demi perbaikan makalah ini di waktu
yang akan datang.

Cimahi, 3 Agustus 2019

Diskusi Kelompok 3
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
1.1 Skenario Kasus....................................................................................................................... 5
1.2 Rumusan masalah .................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 6
BAB II .................................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 7
2.1 Overview Case ........................................................................................................................ 7
2.2 Definisi .................................................................................................................................... 9
2.3 Epidemiologi ........................................................................................................................... 9
2.4 Ilmu Kedokteran Dasar ........................................................................................................... 9
2.5 Patogenesis dan patofisiologis .............................................................................................. 12
2.6 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................................ 13
2.7 Factor risiko .......................................................................................................................... 13
2.8 Penatalaksanaan .................................................................................................................... 14
2.9 Komplikasi ............................................................................................................................ 14
2.10 Prognosis .................................................................................................................................. 14
2.11 Pencegahan .............................................................................................................................. 15
2.12 BHP .......................................................................................................................................... 15
BAB III................................................................................................. Error! Bookmark not defined.
KESIMPULAN ................................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau
“batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang
sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis
adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis. Di seluruh dunia insidensi pertussis
banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.. meskipun anak yang
lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi
terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. Dahulu pertusis
adalah penyakit yang sangat epidemik karena menyerang bukan hanya negara-
negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti
Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya vaksinasi
untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi. Seiring
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis
diharapkan tidak diketemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak
signifikan atau kurang. Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari
gejala klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para
klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat
penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti
ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.
1.1 Skenario Kasus
Seorang anak perempuan, berusia 2 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas
dengan keluhan batuk-batuk sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan batuk pada
awalnya berupa batuk kering tidak berdahak, namun batuk kemudian menjadi
terus menerus, batuk sering diakhiri muntah dan anak tampak kelelahan.
Keluhan tidak disertai demam, pilek, mengi atau napas menjadi cepat.
Keluhan serupa juga terdapat pada tetangga sebelah rumah dan saudara
kandung yang tinggal serumah. Riwayat pengobatan baru diberikan obat
batuk cair, dan keluhan tidak membaik. Riwayat imunisasi Hepatitis B 2x,
polio 3x, BCG 1x. Riwayat alergi pada kedua orangtua atau saudara kandung
disangkal.
HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik: BB: 13 kg, TB: 95 cm
Kesadaran : komposmentis, suhu 37,5oC, laju nadi 105 x/menit; respirasi
28 x/menit, teratur dangkal.
Kepala: Mata: conjunctival bleeding +/+
Mukosa mulut: basah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis
Hidung: sekret encer -/-
Telinga tak ada kelainan
Leher: KGB tidak teraba
Thorax: Jantung dalam batas normal
Paru-paru: VBS normal kanan dan kiri, ronkhi-/-, wheezing -/-
Abdomen: Datar lembut, turgor dan elastisitas normal, BU normal,
hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, sianosis -
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb 11 g/dL, Leukosit 24.000/mm3, Trombosit 300.000/mm3, Hitung
Jenis 0/1/2/25/70/2
1.2 Rumusan masalah
1. Berdasarkan data yang didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lab, jelaskanlah sampai diagnosis pasien di atas dapat
ditegakkan!
2. Apakah agen infeksi penyebab penyakit di atas? Jelaskan karakteristik
yang dimiliki agen infeksi tersebut yang berkaitan dengan penyakit di
atas.
3. Bagaimana agen infeksi tersebut dapat menyebabkan gejala dan tanda
pada pasien?
4. Jelaskanlah organ-organ yang terlibat dalam kasus ini, baik secara
makroskopik maupun mikroskopik!
5. Batuk merupakan refleks fisiologis tubuh sebagai upaya membersihkan
jalan nafas dari benda-benda asing. Jelaskanlah bagaimana refleks
batuk terjadi?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit pada kasus di atas, baik secara
farmakologis (pemilihan obat, farmakodinamik dan farmakokinetik
obat, serta penulisan resep) maupun secara non farmakologis? Apakah
penyakit ini dapat dicegah? Jelaskan.
7. Kemungkinan apa saja yang dapat terjadi bila penyakit ini tidak
ditangani dengan baik?
8. Jelaskan konsep dasar komunikasi efektif, etika profesi serta aspek
epidemiologi dan kesehatan masyarakat pada kasus.

1.3 Tujuan
1. Merumuskan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium melalui resume kasus.
2. Menganalisis patogenesis & patofisiologi terkait gejala dan tanda pada
kasus dengan melibatkan kaidah ilmu kedokteran dasar .
3. Merencanakan penatalaksanaan sesuai dengan konsep patofisiologi
penyakit serta kompetensi dokter umum.
4. Menganalisis komplikasi penyakit sesuai dengan konsep patofisiologi.
5. Menjelaskan konsep dasar komunikasi efektif, etika profesi serta aspek
epidemiologi dan kesehatan masyarakat pada kasus.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Overview Case
Data Analisis
Seorang anak perempuan, berusia 2 Insidensi <14 tahun
tahun.
Keluhan batuk-batuk sejak 2 minggu DD/ Infeksi :
yang lalu  Faringitis
 Laringotrakeobronkhitis
 Pertussis
 Pneumoni afebris
 TBC
 Infeksi clamidia
 Infeksi mycoplasma
Alergi :
 Batuk alergi
Benda asing :
 Aspirasi benda asing
(susu)

Keluhan batuk pada awalnya berupa Terdapat whooping cough


batuk kering tidak berdahak, namun batuk
kemudian menjadi terus menerus, batuk
sering diakhiri muntah dan anak tampak
kelelahan.
Keluhan tidak disertai demam, pilek, Menyingkirkan DD/Infeksi
mengi atau napas menjadi cepat. Mycoplasma, Infeksi
Adenovirus, Afebril
pneumonia.
Keluhan serupa juga terdapat pada Faktor risiko penularan
tetangga sebelah rumah dan saudara
kandung yang tinggal serumah.
Riwayat pengobatan baru diberikan obat Tidak mengobati etiologi,
batuk cair, dan keluhan tidak membaik. pengobatan tidak adekuat.
Riwayat imunisasi Hepatitis B 2x, polio F. risiko (imunisasi tidak
3x, BCG 1x. lengkap).
Riwayat alergi pada kedua orangtua atau Menyingkirkan DD/Alergi
saudara kandung disangkal.
HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik: BB: 13 kg, TB: 95
cm
Kesadaran : komposmentis,
d.b.n
Suhu 37,5oC
Laju nadi 105 x/menit
Respirasi 28 x/menit, teratur dangkal.
Kepala:
Mata: conjunctival bleeding +/+ komplikasi
Mukosa mulut: basah, faring
tidak hiperemis, tonsil T1-T1 Komplikasi faringitis (-),
tidak hiperemis
Dehidrasi (-),
Hidung: sekret encer -/-
Telinga tak ada kelainan Tonsilitis (-).
Leher: KGB tidak teraba DD/Adenovirus (-)
Komplikasi OMA (-)
d.b.n
Thorax:
Jantung dalam batas normal
Paru-paru: VBS normal kanan dan Menyingkirkan
kiri, ronkhi-/-, wheezing -
DD/Pneumoniae dan Infeksi
/-
Saluran Nafas Bawah
Abdomen : Datar lembut, turgor dan d.b.n
elastisitas normal, BU normal,
hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, sianosis - d.b.n
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb 11 g/dL d.b.n
Leukosit 24.000/mm3 leukositosis
Trombosit 300.000/mm3
d.b.n
Hitung Jenis 0/1/2/25/70/2
limfositosis absolute
DD// DK//
1. Pertussis pertussis stadium paroxysmal
2. Batuk alergi
+ perdarahan konjungtiva.
3. Pneumonia afebrile
4. Infeksi chlamydia
5. Infeksi mycoplasma
2.2 Definisi
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat
menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang
bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. Penyakit
saluran nafas ini disebabkan oleh Bordetella pertusis, nama lain penyakit ini
adalah tussis quirita, whooping coagh, batuk rejan. Istilah pertussis (batuk
kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana
istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu
sebutan untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”.
Penyakit ini menimbulkan Serangan batuk panjang yang bertubi-tubi,
berakhir dengan inspirasi berbising dan juga dengan suara pernapasan dalam
bernada tinggi atau melengking.

2.3 Epidemiologi
Angka kejadian Pertusis pada laki-laki dan perempuan tidak terdapat
perbedaan yang berarti. Pertusis merupakan penyebab kematian utama pada
anak yang berusia di bawah atau sama dengan 14 tahun. Dan menurut WHO
didapatkan sejumlah 50 juta kasus per tahun di seluruh dunia.

2.4 Ilmu Kedokteran Dasar


Anatomi sistem respirasi
Saluran respirasi dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu bagian konduksi dan
bagian respirasi. Bagian konduksi terdiri dari atas rongga hidung, nasofaring,
laring, trakea, bronkus dan bronkiolus terminalis. Sedangkan bagian respirasis
terdiri atas bronkiolus respiratori, ductus alveolaris, saccus alveolaris dan
alveolus.
Bagian dari organ sistem respirasi yang mengalami infeksi pada kasus ini
adalah bagian saluran respirasi bagian atas yang dilapisi epitel respirasi yaitu
nasofaring, laring dan trachea.
Histologi
Hampir seluruh mukosa bagian konduksi dilapisi oleh epitel bertingkat
silidris bersilia yang banyak mengandung sel goblet. Pada bronkiolus
respiratorius, epitel mukosanya masih mengandung silia walaupun selnya
berbentuk kuboid.
Nasofaring, laring dan trachea dilapisi oleh epitel respirasi yang terdiri
dari epitel silindris bertingkat bersilia, sel goblet, brush cell, sel granular, dan
sel basal.epitel bersilia pada saluran respirasi merupakan epitel yang bagian
permukaannya memiliki kinosilllia yang mengandung mikrotubul.
Mikrotubul adalah jenis sitoskeleton yang berperan untuk pergerakan silia.
Adanya aktivitas mikrotubul inilah yang menyebabkan silia pada sebagian
besar epitel mukosa dapat bergerak ke satu arah untuk mendorong partikel
kecil kea rah luar.
Fisiologi Refleks Batuk
Laring trachea, dan bronkus sangan sensitive terhadap sentuhan ringan,
sehingga bila ada benda asing akan menimbulkan refleks batuk. Impuls
afferent yang berasal dari saluran pernafasan melalui nervus vagus ke
medulla otak akan timbul peristiwa sebagai berikut:
1. Sekitar 2,5 lt udara inspirasi secara cepat.
2. Epiglottis menutup, dan pita suara mwnutup erat-erat untuk menjerat
udara kedalam paru.
3. Otot-otot abdomen berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma, juga
M intercostalis internus berkontraksi kuat. Akibatnya tekanan dalam paru
meningkat ≥ 100 mmHg.
4. Pita suara dengan epiglotis sekoyong-koyong terbuka lebar, sehingga
udara bertekanan tinggi dalam paru meledak keluar. Kadang-kadang
udara inidikeluarkan dengan kecepatan 75-100mil/jam.

Etiologi
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetellae pertussis yang bersifat gram
negative, berbentuk batang (coccobacilus), aerobic, tidak dapat bergerak.,
tidak berspora, mempunyai kapsul, tidak memfermentasi karbohidrat,
mengeluarkan pertussis toxin, mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan
pada suhu rendah (0º- 10ºC), dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat
granula bipolar metakromatik, tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin,
eritomisisn, tetapi resisten terhdap penicillin.
Berikut klasifikasinya:
Kindon : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Beta Proteobacteria
Order : Burkholderiales
Family : Alealigenaceae
Genus : Bordetella
Spesies : Bordetella pertussis
Bakteri ini memiliki beberapa faktor virulensi ,yaitu, fimbriae (FIM2 dan
FIM3) untuk perlekatan bakteri pada epitel silia,Filamentous
Hemaglutinin (FHA) untuk perlekatan bakteri pada epitel silia,Tracheal
Citotoksin untuk mencegah perbaikan silia dan menyebabkan silia
statis,Dermonekrotik toxin untuk kontraksi otot polos,ADP Toxin untuk
meningkatkan kerja insulin dan memblokir Beta adrenergic
reseptor,Adenilate cycles toxin (ACT) untuk menghambat fagosit,Toxin
pertussis untuk menghambat migrasi limfosit dan makrofag.

2.5 Patogenesis dan patofisiologis


2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.7 Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan sputum
Didapatkan agen infeksi penyakit ini adalah Bordetellae pertussis
2. Pemeriksaan darah rutin : leukosit
Leukositosis disertai limfositosis absolut merupakan ciri khas dari pertusis
2.8 Faktor risiko
1. Imunisasi yang tidak lengkap
2. Kontak dengan orang yang terkena pertussis
3. Muntah setelah batuk

2.9 Penatalaksanaan
a) Non-Farmako:
 Isolasi pasien untuk mencegah penularan
 Asupan cairan dan kalori
 Antibiotik “profilaksis” untuk orang-orang yang berkontak erat
dengan penderita
b) Farmako :
1. Eritromisin (golongan makrolid)
Mekanisme kerjanya menghambat sintesis produksi bakteri dan
secara reversible berikatan dengan ribososm 50S. Diserap
dengan baik secara per oral dan dimetabolisme di hepar, lalu
disekresikan lewat empedu, dan distribusi luas ke seluruh
cairan tubuh, termasuk Cairan Serebrospinal.
2. Simptomatik
Diberikan Paracetamol untuk mengatasi demam jika ada.
2.10 Komplikasi
Pada kasus ini jika penyakit tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan hipoglikemi, sehingga status gizi berat badan turun, lemah
badan, infeksi sekunder, dan juga conjungtival bleeding akibat batuk hebat.
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Karena pada kasus belum terjadi komplikasi
2.11 Pencegahan
Imunisasi lengkap pada bayi dan anak adalah hal penting untuk
mencegah terkenanya suatu penyakit tertentu yang sering menyerang anak,
salah satunya adalah imunisasi DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling
cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka
interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk
DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td
diberikan setiap 10 tahun.
Pemberian imunisasi ini diharapkan dapat mencegah anak terkena
infeksi bakteri Bordetella pertusi, yang dapat menyebabkan penyakit
Pertusis atau lebih dikenal oleh masyarakat sebagai batuk rejan.

2.12 PBHL
o Medical Indication
1. Beneficence : Menerapkan Golden Rule Principle
Dokter telah melakukan anamnesis didapatkan batuk kering
tidak berdahak sejak 2 minggu yang lalu yang terjadi terus menerus
diakhiri dengan muntah dan kelelahan. Juga riwayat imunisasi
didapatkan tidak melakukan imunisasi DPT. Kemudian melakukan
pemeriksaan fisik didapatkan mata conjungtival bleeding. Lalu
pmeriksaan laboratorium didapat leukositosis dan limfositosis
absolut, sehingga dapat ditegakkan diagnosis kerjanya adalah
Pertusi stadium Paroxysmal dengan Perdarahan Konjungtiva.
2. Nonmaleficence : Mengobati secara proporsional
Setelah didapatkan diagnosis yaitu pertusis,dokter
melakukan pengobatan atau penatalaksanaan yang sesuai
yaitu dengan memberikan antibiotik dan paracetamol
3. Autonomi : Informed consent
Dokter sudah melakukan informed consent kepada orangtua
pasien karena pasien belum kompeten dan capable
4. Justice : Mendistribusikan keuntungan dan kerugian
Megedukasikan kepada orangtua pasien bahwa penyakit pertusis
ini sangat menular sehingga pasien perlu diisolasi.
◦ Patient Preference
1. Autonomy (Memberikan Informed Consent)
Pasien masih anak-anak (belum kompeten), sehingga yang
mengambil keputusan adalah orangtuanya.
◦ Quality of Life
1. Non Maleficence (Mencegah komplikasi)
Pemberian antibiotik dan juga isolasi pada anak dapat
mencegahnya dari terjadi komplikasi.
◦ Contextual Features
1. Justice (Menjaga kelompok yang rentan)
Penjelasan kepada orang tua mengenai bahay penularan
Pertusis, oleh karena itu perlu diberikan antibiotik “profilaksis”
kepada orang-orang di sekitar yang berisiko.
2. Beneficence (Paternalisme bertanggung jawab)
Penjelasan pada orang tua pentingnya imunisasi dasar
lengkap untuk menghindari penyakit berat.
BAB III
KESIMPULAN

Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat
ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai dewasa dan terbanyak pada
penderita di bawah 1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya.
Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit
menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada
kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat
penularannya mencapai 99%, dapat ditularkan melalui udara secara droplet,
bahan droplet, memegang benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis
akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan
mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan
inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus.
Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi
melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Masa inkubasi
pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini 6 – 8
minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium
yaitu stadium kataralis, stadium paroksismal/spasmodic, dan stadium
konvalesens.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas dan perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala
klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien
diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 ±
50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan
selama stadium paroksismal.
Komplikasi-komplikasi dari pertusis. Pada saluran pernapasan :
bronkopneumoinia, otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema pulmonum,
bronkiektasis, kolaps alveoli paru. Pada sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi –
komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis, hernia, prolaps rekti, malnutirsi
karena anoreksia dan infeksi sekunder Pengobatan pertussis terdiri dari, terapi
kausal : antimikroba, eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif.
Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang, pemberian makanan,
hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk
cair., bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit
secara parenteral, pembersihan jalan napas, oksigen, terutama pada serangan
batuk yang hebat yang disertai sianosis.
Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif, Imunisasi aktif diberikan
vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan
unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama – sama
dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU
dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Prognosis
tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lukman H. Makmun,dkk Buku Ajar Ilmu Anak. Jilid I. Edisi VI. Tahun 2015
2. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Edisi Kesebelas). Jakarta:
EGC, 2007
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
( 6th ed ). ECG,2005.

Anda mungkin juga menyukai