Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 19 MODUL 5
INTOKSIKASI DAN GANGGUAN METABOLIK

Disusun oleh : Kelompok 3


Wanda Riskyna Harmawan 1810015004
Selvia Gresita 1810015011
Muh. Fauzan 1810015015
Siti Nur Irliana Rifanti 1810015022
Wulan Ersa Wiranti 1810015032
Muhammad Aidil Aulia Ramadhan 1810015042
Farah Aini Fatimah 1810015050
Arya Tarakanatha Nurmadana 1810015056
Rezha Amelia Pramita 1810015061
Afifah Isnaini 1810015077

Tutor :
dr. Abdul Mu’ti, M.Kes, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021

1
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
terselesaikannya laporan DKK (Diskusi Kelompok Kecil) mengenai Penurunan
kesadaran, kelemahan anggota gerak, kejang. Laporan ini dibuat sesuai dengan
gambaran jalannya proses DKK kami, lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban yang disepakati oleh kelompok kami. 
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
kami dalam proses pembuatan laporan DKK ini. Kami berterima kasih kepada dr.
Abdul Mu’ti, M.Kes, Sp.Rad selaku tutor kami yang telah dengan sabar menuntun
kami selama proses DKK. Terima kasih pula kami ucapkan atas kerja sama rekan
sekelompok di Kelompok 3. Tidak lupa juga kami berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam mencari informasi maupun membuat
laporan DKK.
Akhir kata, kami sadar bahwa kesempurnaan tidak ada pada manusia. Oleh
sebab itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai
referensi atau perkembangan pengetahuan.

Hormat Kami,

Kelompok 3

2
Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................2
Daftar Isi..........................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................4
2.1 Latar Belakang..............................................................................................4
2.2 Tujuan...........................................................................................................5
2.3 Manfaat.........................................................................................................5

BAB II..............................................................................................................6
STEP I IDENTIFIKASI ISTILAH..........................................................................8
STEP II IDENTIFIKASI MASALAH.....................................................................8
STEP III ANALISA MASALAH.............................................................................9
STEP V LEARNING OBJECTIVE.......................................................................11
STEP VI BELAJAR MANDIRI.............................................................................12
STEP VII SINTESIS..............................................................................................12
Learning Objective 1...............................................................................................................12
1. Hiponatremia..................................................................................................................12
2. Hipernatremia.................................................................................................................22
3. Hipokalsemia..................................................................................................................28
4. Hiperkalsemia.................................................................................................................28
5. Hipokalemi......................................................................................................................30
6. Hiperkalemia...................................................................................................................34
Learning Objective 2...............................................................................................................42

BAB III..........................................................................................................44
PENUTUP......................................................................................................44
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................44
3.2 Saran..................................................................................................................44

Daftar Pustaka................................................................................................45

3
BAB I

4
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Pada tubuh seorang dewasa, sekitar 60% terdiri atas air. Sementara pada
bayi dan anak total komposisi air dalam tubuh lebih tinggi daripada dewasa,
yaitu 70-80%.Di dalam tubuh,selsel yang mempunyai konsentrasi air paling
tinggi antara lain adalah sel-sel otot dan organ-organ pada rongga badan
seperti paru-paru atau jantung sedangkan sel-sel yang mempunyai
konsentrasi air paling rendah adalah sel-sel jaringan seperti tulang atau
gigi.Cairan dan elektrolit sangat diperlukan agar menjaga kondisi tubuh
tetap sehat.Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan
salah satu bagian dari fisiologi homeostatis yang melibatkan komposisi dan
perpindahan berbagai cairan tubuh1 . Cairan tubuh adalah larutan yang
terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut) sedangkan elektrolit
adalah zat kimia yang menghasilkanpartikel-partikelbermuatan listrik yang
disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam
tubuh melalui makanan,minuman,dan cairan intravena (IV) dan di distribusi
ke seluruh bagian tubuh.Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya
distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh
bagian tubuh. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur
sedemikian rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat
dipertahankan.Untuk mempertahankan keseimbangannya, diperlukan
masukan, pendistribusian, dan keluaran yang memadai, yang diatur melalui
mekanisme tersendiri namun berkaitan satu sama lain3. Keseimbangan
cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya.Apabila
terjadi gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolitdalam tubuh
dapat mengakibatkan overhidrasi, dehidrasi, hiponatremia, hipeanatremia,
hipokalemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia.Dengan demikian,
keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan komponen atau unsur vital
pada tubuh manusia.

5
2.2 Tujuan
Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu mengetahui
dan memahami: 
1. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis dan tatalaksana dari gangguan elektrolit.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi rujukan dan komplikasi dari
gangguan elektrolit.

2.3 Manfaat
Setelah mempelajarai modul ini, mahasiwa diharapkan mampu menjelaskan
dan memahami hal- hal yang berkaitan dengan gangguan eletrolit, mulai dari
defenisi, etiopathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, hingga talaksana pada
tubuh manusia.

6
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

LEMAS DAN HAMPIR PINGSAN

Seorang laki-laki berusia 39 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan lemas (general
weakness), tidak bisa menggerakkan tungkai, dan hampir pingsan (sinkop). Pasien
menyampaikan bahwa dia mulai merasakan lemas sejak pagi, awalnya dia pikir
hanya sisa mengantuk karena salah tidur. Namun rasa lemasnya semakin
memburuk, hingga kemudian tidak bisa lagi menggerakkan tungkai. Pasien
berusaha untuk bangun tapi kemudian merasa seperti mau pingsan.
Pada anamnesis pasien mengungkapkan bahwa dia pernah mengalami satu
episode gejala serupa awal tahun, tetapi sembuh secara spontan dan waktu itu
tidak separah saat ini, dan tidak kontrol ke dokter karena keluhan tersebut.
Pasien mengatakan bahwa dia merasa sakit perut menyeluruh, mual dan
kembung, yang timbul pada episode mengalami lemas. Pasien menyampaikan jika
dia tidak ada penyakit lain baru-baru ini, kecuali dia mempunyai riwayat migrain
dan pernah dinyatakan mengalami anemia.
Pernah menjalani pembedahan adenoidektomi dan tonsilektomi sewaktu
kecil. Sepertinya tidak ada riwayat dalam keluarganya yang pernah mengalami
keluhan lemas seperti dia saat ini. Dia menyampaikan jika sering mengkonsumsi
alkohol dan merokok sejak usia 16 tahun tapi sudah berhenti sejak tahun lalu
Pada saat triase, suhu badan tidak demam (36,6 Celcius), detak jantung 40 kali per
menit, napas 20 kali per menit, tekanan darah 120/90 mmHg, dan saturasi
oksigen. 98% pada udara ruangan. Berat badan 77,3 kilogram dengan tinggi 1,65
meter (indeks massa tubuh = 28,3).
Pada pemeriksaan fisik, pasien compos-mentis dan tidak ada distres akut
tapi tampak lelah. Orientasi pasien dalam menilai orang, tempat dan waktu baik.
Tidak ada defisit sensorik dan tonus otot normal. Kekuatan otot 4/5 dengan fleksi
dan ekstensi siku, genggaman tangan, fleksi dan ekstensi lutut, serta dorsi dan

7
plantar-fleksi pergelangan kaki secara bilateral. Refleks tendon adalah 2+ untuk
refleks brakioradialis dan patela bilateral. Tidak timbul gerakan klonus yang
terprovokasi.
Tidak ada defek saraf kranial (II-XII), gaya berjalan dan stasioner normal.
Rentang gerak normal pada keempat ekstremitas, dan dia ada edema tungkai.
Kompartemen ekstremitas bawahnya lembek pada kedua paha dan kaki bagian
bawah secara bilateral, demikian juga di sekitar bahu dan tulang keringnya.
Kepala normosefalik dan tidak ada tanda-tanda cedera. Orofaring tampak lembab,
pupil simetris bulat dan reaktif terhadap cahaya. Konjungtiva dan gerakan
ekstraokular normal. Leher lentur dengan rentang gerak penuh, tidak tampak
distensi vena jugularis dan tanda adenopati.
Pada pemeriksaan kardiovaskular pasien mengalami bradikardi dengan
ritme teratur, dengan bunyi S1/S2 normal tanpa gallop atau murmur.
Elektrokardiogram (EKG) pasien menunjukkan tanda sinus bradycardia dan sinus
arrhythmia, gambaran short QT dengan T- wave inversion pada sandapan aVR
dan V1, gelombang U-waves namun bukan heart-block. Pada auskultasi suara
nafas jelas tanpa wheezing dan ronkhi. Kulit hangat dan kering, pengisian kapiler
normal (<2 detik). Perut tidak buncit, lunak dan tidak nyeri tekan dengan bising
usus normal. Tidak tampak ruam kulit. Suasana hati dan perilaku normal.
Hasil laboratorium menujukkan gangguan keseimbangan elektrolit
multipel mencakup hipokalemia, hiperkloremia yang disertai anion-gap asidosis,
hipermagnesemia and hipofosfatemia. Didapatkan juga tanda anemia moderate,
peningkatan enzim creatine kinase yang disertai myoglobinuria, hematuria dan
proteinuria, serta kadar kreatinin serum and enzim transaminase
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan evaluasi hasil laboratorium awal pasien
ditunjukkan dinyatakan jika pasien mengalami gangguan elektrolit.

8
STEP I IDENTIFIKASI ISTILAH
1. Gelombang T : pada avr sadapannya berkebalikan dengan sadapan yg
lain , misalnya ada kelainan disini, mungkin ada dekstro kardia dan bisa
menandakan adanya kelainan coroner,
Gelombang u : jika ada, artinya srebuah kelainan pada ekg, ditemukan
pada pasien dengan kelainan kalium yang rendah
Sinus aritmia adalah suatu detakan jantung yang irregular , bisa sangat
cepat dan lambat
2. Intrepertasi kekuatan otot ada 5
4/5 Artinya seluruh Gerakan otot normal mampu menahan Gerakan ringan
dan sedang pada pemeriksa
3. Merupakan suatu pemeriksaan refleks fisiologis
+2 artinya ada refleks meningkat / bisa juga normal (tergantung sumber)

STEP II IDENTIFIKASI MASALAH


1. apakah penyebab gangguan elektrolit pada pasien
2. apakah ada hubungan antara Riwayat pengobatan dan Riwayat penyakit
pasien dengan gangguan elektrolit (anemia, alcohol, pembedahan,
migrain)
3. Apakah terdapat hubungan antara gangguan elektrolit dan keluhan (lemas,
sinkop, mual, muntah)?
4. Apa saja penyebab peningkatan enzim kreatinin kinase?
5. Apa intrepretasi hasil pemeriksaan berdasarkan scenario?
6. Apa kemungkinan diagnosis sementaranya?
7. Atatalaksana apa yang dapat kita lakukan kepada pasien (hipokalemia,
hiperkloremia, anion gap, hypermagnesemia, hipofosfatemia, gangguan
elektrolit?

STEP III ANALISA MASALAH


1. Penyebab gangguan elektrolit ada banyak sekali, bisa karna intake nya
yang kurang atau sekresi nya yang berlebih (muntah, diare, IBS), atau
ginjal yang tidak mampu menyerap elektrolit.
 Jika pada pasien , sepertinya ada gangguan dari ginjal pasien

9
o Seharusnya kalium akan diserap di tubulus kontortus
proksimal.
 Jika pada pasien diabetes, kadar kalium akan menurun pada penurunan
insulin
 Hypomagnesemia pada diare
 Hipokalemia : gangguan makan, dehidrasi, muntah dan diare, diuretic,
aldosterone berlebih bisa meningkatkan aktivasi dari pump jadi kalium
yang di pembuluh darah akan masuk ke sel (hipokalemia)
 Alcohol bisa menurunkan kemampuan absorbsi pada ginjal
2. - Alcohol memiliki sifat diuretic secara alami, karena alcohol ini menekan
produksi ADH, sehingga banyak kalium yang terbuang dari ginjal
- Bloodflow ke otak menurun sehingga akan menyebabkan migrain
- Anemia terjadi karena berkurangnya produksi eritropoietin yang
berfungsi dalam pembentukan eritosit
3. -Lemas karena pasien mengalami gangguan elektrolit yang berakibat
dehidrasi sehingga volume darah berkurang dan perfusi ke organ
berkurang bisa juga karena anemia nya
-Lemah otot bisa juga karena kalium menurun mengakibatkan eksitasi
neuron serta neuromuscular junction akan berkurang
-Hipermagnesium menyebabkan low detak jantung, tekanan darah, fatigue
4. Terjadi peningkatan enzin CK yg ada di otot jantung atau otot lainnya
terjadi Ketika ada pemecahan sel otot sehingga CK nya keluar ke
pembuluh darah karena hipokalemia
5. Interpretasi
a) Fisik : suhu normal, detak jantung meningkat, tekanan darah
normal, saturasi oksigen normal, kelebihan berat badan tingkan
berat, tidak ada stress mendadak, hanya Lelah, kekuatan otot
normal, pemeriksaan motorik dan neuro normal, lingkar kepala
normal,
b) Laboratorium: sudah terbahas.
6. Gangguan elektrolit

1
0
Koma metabolic
7. Tatalaksana :
- Anamnesis
- Cek ABC
- Berikan oksigen
- Terapi cairan
- Koreksi elektrolit
- Pada penyakit diabetes diberi insulin
- Pada kerusakan hari diberi laksansia laktulosa

STEP IV STRUKTURISASI KONSEP

lemas

Stabilisasi dan tatalaksana awal

Anamnesis pemeriksaan fisik dan


penunjang

Gangguan elektrolit dan


Hipokalemia gangguan metabolik hipermagnesemia

diagnosis

tatalaksana

1
1
STEP V LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi, etiologi,
manifestasi, diagnosis, tatalaksana, dari gangguan elektrolit
2. Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi rujukan dan komplikasi
dari kelainan elektrolit

STEP VI BELAJAR MANDIRI


Semua anggota kelompok 3 belajar mandiri di rumah dengan tujuan
belajar yang telah ditetapkan.

STEP VII SINTESIS

Learning Objective 1

1. Hiponatremia
Etiopatofisiologi
Hiponatremia adalah suatu keadaan dimana tdijumpai kelebihan cairan relatif. Hal
ini terjadi bila (1) jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi dan (2)
ketidakmampuan menekan sekresi ADH, misalnya pada kehilangan air melalui
saluran cerna, gagal jantung dan sirosis hati atau pada SIADH (Syndrome of
Inappropriate ADH–secretion).

1
2
Berdasarkan konsep ini, maka etiologi hiponatremia dapat dibagi atas:
 Hiponatremia dengan ADH meningkat
 Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologik
 Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi
 Penyebab lain dari hiponatremi adalah SIADH (Syndrome of Inappropriate
ADH–secretion).
 SIADH (Syndrome of Inappropriate ADH–secretion) yang berkaitan dengan
penyakit lain :

1
3
 SIADH (Syndrome of Inappropriate ADH–secretion) y ang berkaitan
dengan pengguana obat-obatan :

Sekresi ADH meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada
muntah, diare, perdarahan, jumlah urin meningkat, gagal jantung, sirosis hati,
SIADH, insufisiensi adrenal, dan hipotiroid. Pada polidipsia primer dan gagal
ginjal terjadi ekskresi cairan lebih rendah dibanding asupan cairan sehingga
menimbulkan respons fisiologik yang menekan sekresi ADH. Respons fisiologik
dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus
sehingga ekskresi urin meningkat karena saluran–air (AQP2A) di bagian apikal
duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah).
Pemberian cairan iso–osmotik yang tidak mengandung natrium ke dalam
cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma
normal. Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemia atau
pemberian manitol intravena menyebabkan cairan intrasel keluar dari sel
menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia.
Dalam keadaan normal, 93% dari volume plasma terdiri dari air dan elektrolit
sedang 7% sisanya terdiri dari lipid dan protein. Pada hiperlipidemia atau
hiperproteinemia berat akan terjadi penurunan volume air plasma menjadi 80%

1
4
sedang jumlah natrium plasma tetap dan osmolalitas plasma normal; akan tetapi
karena kadar air plasma berkurang (pseudohiponatremia) kadar natrium dalam
cairan plasma total yang terdeteksi pada pemeriksaan laboratorium lebih rendah
dari normal.

• Hiponatremia Akut

Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung cepat


(kurang dari 48 jam). Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti
penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat edema sel otak, karena air
dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini
disebut juga sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.
• Hiponatremia Kronik
Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung lambat
(lebih dari 48 jam). Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti
penurunan kesadaran atau kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul hanya

1
5
ringan seperti lemas atau mengantuk. Pada keadaan ini tidak ada urgensi
melakukan koreksi konsentrasi natrium, terapi dilakukan dalam beberapa hari
dengan memberikan larutan garam isotonik. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia asimptomatik.
Manifestasi Hiponatremia

1. Pasien mungkin tidak memperlihatkan gejala hiponatremia ringan kadar


Na+ serum diatas 125 mEq/L. 
2. Apabila kadar Na+serum berkisar antara 120- 125 mEq/L dapat timbul
gejala-gejala dini berupa kelelahan, anoreksia, mual, kejang otot, dan akan
berlanjut menjadi kejang serta koma jika terus terjadi penurunan kadar
natrium. 
3. Bila keadaan seperti ini (<120 mEq/L) berkembang dalam waktu kurang
dari 24 jam, maka angka mortalitas mencapai 50%.
Diagnosis hiponatremia
Derajat Berat Nilai Biokimiawi
a. ‘ringan’ yaitu kadar natrium plasma antara 130 dan 135 mmol/L
b. sedang’ yaitu kadar natrium plasma antara 125 dan 129 mmol/L
c. ‘berat’ yaitu kadar natrium plasma <125 mmol/L
Waktu Terjadinya
a. Hiponatremia Akut

Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung cepat (kurang


dari 48 jam). Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat edema sel otak, karena air dari
ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini
disebut juga sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.
b. Hiponatremia Kronik
Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung lambat
(lebih dari 48 jam). Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti
penurunan kesadaran atau kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul hanya
ringan seperti lemas atau mengantuk. Pada keadaan ini tidak ada urgensi

1
6
melakukan koreksi konsentrasi natrium, terapi dilakukan dalam beberapa hari
dengan memberikan larutan garam isotonik. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia asimptomatik.
Berdasarkan Gejala
1. ‘Bergejala Sedang’ sebagai setiap derajat gangguan biokimia dari
hiponatremia yang ditandai dengan gejala hiponatremia yang cukup berat
2. ‘Bergejala Berat’ sebagai setiap derajat gangguan biokimia dari
hiponatremia yang ditandai dengan adanya gejala hiponatremia yang berat.

Algoritma Diagnosis Hiponatremia

1
7
Tatalaksana
1. Hiponatremia dengan gejala berat:
Tatalaksana jam pertama, tanpa memandang hiponatremia akut ataupun kronik
a) pemberian cepat 150 ml infus salin hipertonik 3% atau setaranya selama
20 menit
b) pemeriksaan kadar natrium plasma setelah 20 menit sementara
mengulang pemberian 150 ml infus salin hipertonik 3% setaranya dalam
20 menit berikutnya

1
8
c) mengulang kedua rekomendasi terapi diatas sebanyak dua kali atau
sampai target kenaikan kadar natrium plasma 5 mmol/L tercapai
2. Tatalaksana lanjutan jika gejala membaik setelah kenaikan kadar
natrium plasma 5 mmol/L dalam jam pertama:
a) menghentikan infus salin hipertonik
b) mempertahankan jalur intravena terbuka dengan menginfuskan sejumlah
terkecil cairan salin 0,9% sampai pengobatan spesifik terhadap penyebab
dimulai
c) memulai tatalaksana diagnosis spesifik jika ada
d) membatasi kenaikan kadar natrium plasma sampai total 10
e) mmol/L dalam 24 jam pertama dan tambahan 8 mmol/L dalam setiap 24
jam berikutnya sampai kadar natrium plasma mencapai 130 mmol/L
f) memeriksa kadar natrium plasma setelah 6 dan 12 jam serta selanjutnya
setiap hari sampai kadar natrium plasma stabil dibawah pengobatan
Catatan:
 Pertimbangkan menggunakan infus salin hipertonik 3% berdasarkan
penghitungan berat badan (2 mL/kg) dibandingkan volume tetap 150 ml.
 Tidak mengharapkan pasien dengan gejala berat akan pulih dalam waktu
singkat. Sulit untuk menilai perbaikan gejala, misalnya jika pasien
terintubasi atau disedasi.
 jika ditemukan hipokalemia, koreksi hipokalemia akan berpengaruh
terhadap peningkatan kadar natrium plasma
 mencapai kenaikan 1 mmol/L/jam seperti disarankan bisa digunakan
rumus Adrogué-Madias:

 Perkiraan cairan tubuh total dalam liter) dihitung sebagai fraksi dari berat
badan. Nilai fraksi 0,6 untuk laki-laki non-geriatri dan 0,5 untuk wanita
non-geriatri; dan berturut-turut 0,5 dan 0,45 untuk laki-laki dan wanita usia
lanjut
3. Hiponatremia dengan gejala cukup berat

1
9
a) dilakukan evaluasi diagnostik cepat
b) hentikan obat-obatan dan faktor lain yang berperan atau memperberat
hiponatremia
c) tatalaksana spesifik berdasarkan penyebab
d) pemberian cepat infus tunggal 150 mL salin hipertonik 3% intravena atau
setara dalam 20 menit
e) mencapai kenaikan kadar natrium plasma 5 mmol/L/24 jam.
f) membatasi kenaikan kadar natrium plasma sampai 10 mmol/L dalam 24
jam pertama dan 8 mmol/L dalam 24 jam berikutnya, sampai tercapai
kadar natrium plasma 130 mmol/L
g) memeriksa kadar natrium plasma setelah 1, 6 dan 12 jam
h) evaluasi diagnostik tambahan untuk penyebab gejala yang lain jika gejala
tidak membaik dengan kenaikan kadar natrium plasma
i) mengelola pasien sebagai hiponatremia dengan gejala berat jika kadar
natrium plasma semakin menurun meskipun penyebab dasar diobati

4. Hiponatremia akut tanpa gejala yang berat atau cukup berat:


a) Pastikan bahwa kadar natrium plasma diukur dengan memakai teknik yang
sama seperti yang digunakan sebelumnya dan tidak terjadi kesalahan
administratif dalam penanganan sampel
b) hentikan cairan, obat-obatan dan faktor-faktor lain yang dapat berperan
atau memperberat hiponatremia
c) evaluasi diagnostik cepat
d) terapi spesifik sesuai penyebab
e) Jika penurunan akut kadar natrium plasma melebihi 10 mmol/L, kami
menyarankan pemberian infus tunggal 150 mL salin hipertonik 3% atau
setaranya dalam 20 menit
f) memeriksa kadar natrium plasma setelah 4 jam, memakai teknik yang
sama seperti yang digunakan untuk pengukuran sebelumnya
5. Hiponatremia kronik tanpa gejala berat atau cukup berat, tatalaksana
umum:

2
0
a) Hentikan cairan yang tidak diperlukan, obat-obatan dan faktor lain yang
dapat berperan atau memperberat hiponatremia
b) terapi spesifik sesuai penyebab
c) Pada hiponatremia ringan, untuk tidak memberikan terapi yang hanya
bertujuan untuk menaikkan kadar natrium plasma
d) Pada hiponatremia sedang atau berat, untuk menghindari kenaikan kadar
natrium plasma >10 mmol/L dalam 24 jam pertama dan >8 mmol/L dalam
setiap 24 jam berikutnya
e) Pada hiponatremia sedang atau berat, disarankan untuk memeriksa kadar
natrium plasma setiap enam jam sampai kadar natrium plasma stabil dalam
pengobatan
f) Dalam kasus hiponatremia yang sulit, pertimbangkan untuk melihat
kembali algoritme diagnostik dan berkonsultasi dengan ahli
6. Pasien dengan kelebihan cairan ekstraselular:
a) tidak memberikan terapi yang hanya bertujuan untuk menaikkan kadar
natrium plasma pada hiponatremia ringan atau sedang
b) pembatasan cairan untuk mencegah kelebihan cairan lebih lanjut
c) tidak memberikan antagonis reseptor vasopresin
d) tidak memberikan demeclocycline
7. Pasien dengan sindrom sekresi hormon antidiuretik taksesuai (SiADH):
a) Pada hiponatremia sedang atau berat, kami menyarankan untuk membatasi
asupan cairan sebagai tatalaksana lini pertama
b) tatalaksana lini kedua: menaikkan asupan solut dengan 0,25 - 0,50
g/kg/hari urea atau kombinasi diuretik dosis rendah dan natrium klorida
oral
c) Tidak memberikan lithium atau demeclocycline
d) Pada hiponatremia sedang berat, tidak direkomendasikan antagonis
reseptor vasopresin
8. Pasien dengan kekurangan cairan:

2
1
a) mengembalikan volume cairan ekstraselular dengan infus intravena salin
0,9% atau cairan kristaloid yang setara dengan kecepatan 0,5 – 1,0
mL/kg/jam
b) Menatalaksana pasien dengan gangguan hemodinamik di lingkungan
dimana monitoring biokimia dan klinis dapat dilakukan dengan ketat
c) Pada kasus dengan hemodinamik terganggu, kebutuhan untuk resusitasi
cairan cepat mengesampingkan risiko untuk menaikkan kadar natrium
dengan cepat
9. Apa yang dilakukan jika hiponatremia dikoreksi terlalu cepat?
a) intervensi cepat untuk menurunkan kembali kadar natrium plasma jika
meningkat >10 mmol/L dalam 24 jam pertama atau >8 mmol/L dalam
setiap 24 jam berikutnya.
b) menghentikan tatalaksana aktif yang sedang berlangsung
c) konsultasi dengan ahli untuk membahas apakah tepat untuk memulai infus
cairan bebas elektrolit (misalnya cairan glukosa) 10 ml/kg berat badan
dalam 1 jam dengan pengawasan produksi urin dan keseimbangan cairan
yang ketat.
d) konsultasi dengan ahli untuk membahas
e) Konsultasi apakah tepat menambahkan desmopresin 2 μg intravena,
dengan pemahaman bahwa hal ini tidak boleh diulang lebih sering dari
setiap 8 jam.

2
2
2. Hipernatremia
Definisi

Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan kadar natrium lebih dari 145


mmol/L. Hal ini merupakan suatu kondisi hiperosmolar yang disebabkan oleh
penurunan total body water (TBW) relatif terhadap kandungan elektrolit.
Hipernatremia dapat disebabkan oleh kehilangan air (peningkatan kehilangan atau
penurunan asupan) atau, walaupun jarang, karena kelebihan asupan natrium.
Pasien yang berisiko tinggi untuk hipernatremia ialah termasuk mereka dengan
gangguan mekanisme rasa haus atau keterbatasan akses terhadap air (misalnya:
terdapat perubahan status mental, sedang diintubasi, bayi, dan pasien lansia).
Hipernatremia pada orang dewasa hampir selalu terjadi karena kehilangan air
daripada karena asupan natrium yang berlebihan.

Etiologi

2
3
Peningkatan konsentrasi natrium plasma, yang juga menyebabkan peningkatan
osmolaritas, dapat disebabkan oleh kehilangan air dan cairan ekstrasel, yang
memekatkan ion natrium, atau karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel
Kehilangan pimer air dari cairan ekstrasel akan menyebabkan terjadinya
hipernatremia-dehidrasi. Kondisi ini dapat terjadi akibat ketidakmampuan untuk
menyekresi hormon ADH yang dibutuhkan oleh ginjal untuk menahan air. Akibat
tidak adanya ADH, ginjal mengeluarkan urin encer dalam jumlah yang sangat
besar (kelainan ini disebut sebagai diabetes insipidus), yang menyebabkan
timbulnya dehidrasi dan peningkatan konsentrasi natrium klorida dalam cairan
ekstrasel. Pada jenis-jenis penyakit ginjal tertentu, ginjal tidak berespon terhadap
ADH, yang juga menyebabkan jenis kelainan yang disebut diabetes insipidus
nefrogenik. Penyebab hipernatremia yang lebih umum akibat penurunan volume
cairan ekstrasel ialah dehidrasi akibat asupan air yang lebih sedikit daripada
pengeluarannya, seperti halnya pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat
yang berkepanjangan.

Hipernatremia juga dapat terjadi akibat penambahan natrium klorida yang


berlebihan pada cairan ekstrasel. Hal ini sering terjadi pada hipernatremia-
hiperhidrasi, karena kelebihan natrium klorida ekstrasel, biasanya juga
berhubungan dengan beberapa derajat retensi air oleh ginjal. Sebagai contoh,
sekresi berlebihan dari hormon aldosteron yang meretensi natrium dapat
menyebabkan hipernatremia ringan dan overhidrasi. Alasan bahwa hipernatremia
ini tidak lebih berat ialah bahwa peningkatan sekresi aldosteron menyebabkan
ginjal mereabsorbsi air dan natrium dalam jumlah yang lebih besar.

Secara umum, penyebab hipernatremia dapat dibagi menjadi penyebab primer


yang disebabkan oleh keseimbangan air negatif (karena diuresis air atau zat
terlarut) dan penyebab primer yang disebabkan oleh keseimbangan natrium
positif, atau kombinasi keduanya.

Hipernatremia terjadi bila terdapat defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi
ekskresi natrium, misalnya pada pengeluaran air melalui insensible water loss

2
4
(keringat); diare osmotik akibat pemberian laktulose atau sorbitol; diabetes
insipidus sentral maupun nefrogenik; diuresis asmotik akibat glukosa atau
manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan
vaskular sehingga pengeluaran air melalui insensible water loss (keringat) tidak
direspon dengan keinginan minum. Hipernatremia dapat juga disebabkan oleh
penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh, missalnya koreksi
bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi
deplesi volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan dalam urin
menyebabkan kadar Na dalam urin lebih dari 100 meq/L. Penyebab lain dari
hipernatremia ialah masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada
latihan olahraga yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas
sel juga meningkat dan air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar
natrium akan kembali normal dalam waktu 5-15 menit setelah istirahat. Penyebab
tersering hipernatremia ialah diuresis osmotik (misal hiperglikemia), makanan
enteral protein tinggi, diabetes insipidus (sentral, nefrogenik, gestasional),
menyusui, dan aldosteronisme primer.

Klasifikasi

Hipernatremia dapat diklasifikasikan sebagai hipernatremia hipovolemia,


euvolemia, dan hipervolemia. Pada hipernatremia hipovolemia terdapat jumlah
natrium tubuh rendah dengan kehilangan air lebih banyak daripada kehilangan
natrium. Pasien mengalami penurunan volume cairan ekstrasel, defisit air bebas,
dan elektrolit (kadar natrium dan kalium dalam tubuh rendah). Hipovolemia
merupakan keadaan yang lebih mengancam jiwa daripada hipertonik. Resusitasi
cairan dengan normal salin ialah langkah pertama dalam terapi. Kehilangan cairan
hipotonik renal dapat terjadi akibat penggunaan obat diuretik (loop diuretic dan
tiazid), diuresis osmotik (hiperglikemia, manitol, urea), garam ginjal, nekrosis
tubular akut fase diuresis, kehilangan cairan hipotonik non-renal melalui saluran
cerna (muntah, diare, laktulosa, katarsis, nasogastric suction, drainase cairan
gastrointestinal, dan fistula) atau melalui kulit (berkeringat akibat olahraga
ekstrim, lari maraton, serta luka bakar).

2
5
Pada hipernatremia, euvolemia terdapat jumlah natrium tubuh normal tetapi
terjadi kehilangan air. Pasien memiliki volume cairan ekstrasel normal dengan
kadar natrium dan kalium total tubuh normal. Keadaan ini paling sering terjadi
pada beberapa keadaan, seperti gangguan asupan dan kurangnya akses terhadap
air dikombinasikan dengan peningkatan insensible water loss (pernapasan atau
kulit), kehilangan air ginjal pada penyakit ginjal primer (uropati obstruktif,
displasia ginjal, penyakit kista meduler, refluks nefropati, penyakit polikistik) atau
penyakit sistemik dengan keterlibatan ginjal (penyakit sel sabit, amiloidosis),
obat-obatan (amfoterisin, fenitoin, litium, aminoglikosida, metoksifluran), serta
ketidakmampuan ginjal untuk memekatkan urin (diabetes insipidus sentral atau
nefrogenik).

Pada hipernatremia hipervolemia terdapat jumlah natrium tubuh yang meningkat.


Pasien memiliki kelebihan volume cairan ekstrasel dengan kadar natrium total
tubuh yang tinggi, kelebihan mineralokortikoid (sindrom Cushing,
hiperaldosteronisme primer), namun sebagian besar terjadi karena penyebab
iatrogenik akibat pemberian larutan elektrolit hipertonik (larutan natrium
bikarbonat, atau pada hemodialisis).

Manifestasi Klinis

Hipernatremia lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hiponatremia dan gejala


yang menonjol biasanya hanya pada peningkatan konsentrasi natrium plasma yang
cepat dan besar diatas 158 sampai 160 mmol/L. Satu alasan untuk hal ini ialah
bahwa hipernatremia menimbulkan rasa haus yang luar biasa yang melindungi
tubuh dari peningkatan natrium dalam plasma dan cairan ekstrasel. Hipernatremia
yang berat dapat terjadi pada pasien yang dengan lesi hipotalamik yang
mengganggu sensasi rasa haus, bayi yang tidak dapat langsung mendapat
minuman, atau pada lanjut usia yang mengalami gangguan mental.

Gejala klinis hipernatremia biasanya tidak spesifik. Gejala klinis timbul pada
keadaan peningkatan natrium plasma secara akut diatas 158 meq/L. Gejala yang
ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak karena air keluar dari dalam sel.

2
6
Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan
lokal di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas,
twitching, kejang dan akhirnya koma. Kenaikan akut diatas 180 meq/L dapat
menimbulkan kematian.

Gambaran klinis hipernatremia sebagian besar merupakan konsekuensi


penyusutan otak, termasuk letargi, mengantuk, dan perubahan status mental, yang
mengarah pada kejang, koma, dan kematian jika tidak ditangani dengan segera.

Pada pasien dengan hipernatremia berat, osmolalitas urin secara nyata lebih tinggi
daripada pada pasien dengan hiponatremia, yang menunjukkan bahwa dehidrasi
memainkan peran utama. Indikator lain ialah tingkat kreatinin serum yang lebih
tinggi pada pasien dengan hipernatremia berat pada keadaan pre-renal akibat
dehidrasi. Sekitar 11% pasien dengan hipernatremia berat menggunakan diuretik
loop, yang dapat menyebabkan konsentrasi urin lebih rendah dan peningkatan
natrium serum.

Diagnosis

Penyebab hipernatremia didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan


biasanya diakibatkan kehilangan air (missalnya, kehilangan air di saluran cerna,
akses terbatas terhadap air) atau kelebihan natrium. Pasien sering tanpa gejala
tetapi dapat muncul gejala iritabilitas, mual, kelemahan, perubahan status mental,
atau koma. Kehilangan air dapat berupa kehilangan air murni (misalnya, diabetes
insipidus) atau kehilangan cairan hipotonik (misalnya, kehilangan cairan melalui
ginjal, saluran cerna, atau kulit). Kenaikan natrium biasanya karena iatrogenik
akibat infus larutan hipertonik.

Tatalaksana

Langkah pertama yang dilakukan ialah menetapkan etiologi hipernatremia.


Setelah etiologi ditetapkan, pada langkah berikut dicoba menurunkan kadar
natrium dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran

2
7
pengobatan ialah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya ialah asupan
natrium berlebihan, pemberian natrium dihentikan.

Pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan berdasarkan penghitungan jumlah


defisit cairan. Koreksi hipernatremia dapat dilakukan dengan memberikan larutan
natrium klorida yang hipo-osmotik atau dengan larutan dekstrosa. Pemberian
larutan tersebut pada pasien dengan peningkatan kadar natrium kronis harus
dengan kecepatan lambat. Alasannya ialah hipernatremia juga meningkatkan
aktivitas mekanisme pertahanan yang melindungi sel dari perubahan volume.
Mekanisme pertahanan ini ialah sebaliknya dari yang terjadi pada hiponatremia,
dan terdiri atas mekanisme yang meningkatkan kadar natrium intrasel dan zat
terlarut lainnya.

Pengurangan maksimum konsentrasi natrium serum yang disarankan ialah 12


mmol/L dalam 24 jam. Perhitungan defisit tubuh air total (TBW) ialah Defisit air
= TBW saat ini x (serum [Na]/140 - 1). Untuk total body water (TBW) saat ini
dipergunakan patokan sebagai berikut, yaitu pria muda: 60% berat badan tanpa
lemak; wanita muda: 50% berat badan tanpa lemak; pria lansia: 50% berat badan
tanpa lemak; dan wanita lansia: 45% berat badan tanpa lemak. Formula ini
memberikan perkiraan volume cairan tambahan yang diperlukan untuk
memperbaiki konsentrasi natrium serum hingga 140mmol/L.

Sebagai rekomendasi untuk koreksi hipernatremia, dilakukan hal-hal sebagai


berikut: Pada hipernatremia akut atau sangat simtomatik, pengobatan segera
dengan cairan hipotonik harus dimulai, terlepas dari penyebab yang mendasari.
Bila seorang pasien dengan hipernatremia memiliki hipotensi, pemberian cairan
isotonik harus dimulai. Pada hipernatremia kronis, koreksi cepat harus dihindari
untuk mencegah edema serebral dan perawatan diarahkan ke penyebab yang
mendasari. Untuk semua penyebab hipernatremia, angka koreksi terbatas hingga 8
mmol/L dalam 24 jam pertama dan 18 mmol/l dalam 48 jam pertama.
Hipernatremia akut dapat dikoreksi lebih cepat pada awalnya (1-2 mmol/L/jam);
kenaikan 5 mmol/L biasanya cukup untuk memperbaiki gejala.

2
8
Hemodialisis juga telah digunakan untuk pengobatan hipernatremia akut ketika
pengobatan konvensional gagal dilakukan. Hemodialisis memiliki kelebihan
dibandingkan metode konvensional karena memungkinkan pengeluaran cepat
kelebihan natrium dan penggantian cairan. Selain itu, dialisis memungkinkan
kontrol cairan dan elektrolit yang lebih baik dalam situasi yang rumit pada pasien
dengan gangguan kardiopulmonar atau gangguan ginjal.

3. Hipokalsemia
Definisi

Hipokalsemia adalah kondisi kadar kalsium darah lebih rendah dari kadar
normal. Seseorang dapat dinyatakan hipokalsemua apabila memiliki
konsentrasi kalsium darah kurang dari 8,8 mg/dl.

Etiopatofisiologi

Manifestasi Klinis

2
9
Gejala Neuromuskular:
 Mati rasa dan Sensasi Kesemutan pada area perioral atau daerah
ujung jari tangan dan ujung jari kaki
 Kram otot, terutama pada punggu dan ekstremitas bawah, bisa
mengalami progesi spasme carcopedal (contohnya: tetani)
 Whezzing akibat bronchospasme
 Disfagia
 Perubahan suara akibat laringospasme

Gejala Neurologi:

 Iritabilitas, gangguan kapasitas intelektual, depresi, atau


perubahan perilaku
 Fatigu
 Seizures
 Gerakan tidak terkontrol

Diagnosis

a. Anamnesa
 Dapat ditanyakan gejala-gejala yang muncul dan pernah
terjadi seperti manifestasi klinis
 Dapat ditanyakan obat-obatan yang berkaitan dengan
hipokalsemia, seperti penggunaan radiokontras, loop
diuretic, estrogen, bisphosphonates.
b. Pemeriksaan Fisik
 Ditemukan gejala-gejala pada manifestasi klinis.
 ditemukan aritmia ventricular takikardi pada kasus yang
mempengaruhi jantung
 ditemukan hasil trousseu sign dan cvostek sign
c. Pemeriksaan Penunjang

3
0
 EKG
 Pemeriksaan Elektrolit darah

Penatalaksanaan

 Hipokalsemia Ringan
Dapat diberikan table oral seperti calcium carbonate kalsium atau
IV dengan dosis 1-3 g/d.
 Hipokalsemia Berat
Dapat dilakukan pemberian medikasi oral Calcium chloride pada
pasien yang mengarah pada cardiac arrest atau calcium gloconate
pada pasien yang tidak mengarah ke cardiac arrest atau
replacement IV dengan Dosis 100-300 mg of elemental calcium
(10 mL of calcium gluconate mengandung 90 mg elemental
calcium; 10 mL of calcium chloride mengandung 272 mg
elemental calcium) pada 50-100 mL of 5% dextrose in water
(D5W) harus diberikan dalam waktu 5-10 minutes. Dosis ini akan
meningkatkan level ionisasi 0.5-1,5 mmol dalam waktu 1-2 jam.

4. Hiperkalsemia

Hiperkalsemia sering menyertai penyakit penyakit seperti :

Hiperparatiroidisme, hiperparatiroidisme primer terjadi adenoma,karsinoma dan


hiperplasia (akibat hipokalsemia yang lama) kelenjar paratiroid.
Hiperparatiroidisme sekunder dapat disebabkan oleh malabsorpsi vitamin d,
penyakit ginjal kronik berat. Sedangkan untuk hiperparatiroidisme tersier ditandai
dengan sekresi berlebihan yang sangat bermakna, hormon paratiroid dan
hiperkalsemia disertai dengan hiperplasi paratiroid akibat respon berlebihan
terhadap hipokalsemia. Keadaan ini disebut juga sebagai hiperparatiroidisme

3
1
refrakter. tidak memberi respon terhadap pemberian kalsium dan kalsitriol dan
terjadi pada penyakit ginjal kronik tahap terminal.

Tumor ganas, sering terjadi pada karsinoma paru, buah dada, ginjal, ovarium dan
keganasan hematologi. Faktor penyebab hiperkalsemia disebabkan oleh 1) faktor
lokal pada tulang akibat metastatis yang bersifat osteoklastik dan 2) faktor
humoral. Faktor humoral disebabkan oleh substansi yang beredar dalam darah
dihasilkan oleh sel tumor dan bersifat osteoklastik. Substansi ini disebut juga
sebagai “osteoclast- activating cytokines”

Intoksikasi vitamin D, batas Antara normokalsemia dan hiperkalsemia akibat


pemberian vitamin D sempit, sehingga kadang kadang tidak disadari sudah terjadi
hiperkalsemia. Hiperkalsemia dipermudah dengan pemberian vitamin D bersama
dengan diuretik thiazide.

Intoksikasi vitamin A, pemberian vitamin A berlebihan dapat menyebabkan


hiperkalsemia. Pada percobaan binatang, Pemberian vitamin A berlebihan
menyebabkan fraktur tulang dan peningkatan jumlah sel osteoclast serta
ditemukan kalsifikasi metastatik.

Sarkoidosis, dapat terjadi hiperkalsemia karena adanya peningkatan absorpsi


kalsium melalui usus dan pelepasan kalsium dari tulang. Pada sarkoidosis dapat
terjadi peningkatan produksi vitamin D.

Hipertiroidisme, terjadi akibat meningkatnya resorbsi tulang. Hormon tiroid


dapat memperkuat kerja hormon paratiroid atau secara langsung hormon tiroid
dapat meresorbsi kalsium tulang.

Insufisiensi adrenal, Deplesi volume yang terjadi meningkatkan reabsorpsi


kalium pada tubulus ginjal. Absorpsi kalsium usus juga meningkat akibat
kurangnya hormon glukokortikoid.

3
2
Sindrom “Milk- Alkali”, pemberian antasida yang mengandung kalsium
karbonat dengan disertai pemberian susu yang berlebihan pada pengobatan tukak
lambung dapat menyebabkan hiperkalsemia.

Diagnosis
Pemeriksaan hormon paratiroid perlu dilakukan oleh membedakan penyebab
hiperkalsemia. Apakah oleh hiperparatiroid primer atau bukan oleh hiperparatiroid
seperti oleh keganasan, intoksikasi vitamin d, obat obatan atau oleh penyakit
seperti hipertiroid, insufisiensi adrenal.

Tatalaksana Hiperkalsemia.
Meningkatkan ekskresi kalium melalui ginjal
Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis. Pemberian cairan ini akan
meningkatkan volume cairan ekstraselular yang umumnya rendah akibat
pengeluaran urin berlebihan disebabkan induksi oleh hiperkalsemia, muntah
muntah akibat hiperkalsemia.

Menghambat resorpsi tulang


 Kalsitonin- menghambat resorpsi tulang dengan cara menghambat
maturasi osteoklas. Diberikan intramuskular atau subkutan setiap 12 jam
dengan dosis 4 IU/kgBB.
 Bifosfonat- menghambat aktivitas metabolik osteoklas dan juga bersifat
sitotoksik terhadap osteoklas.
 Galium Nitrat- menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas dengan
menghambat pompa ‘ATPase Dependent’ pada membran osteoklas.
Mengurangi absorpsi kalsium dari usus. Gluko-kortikoid (prednison 20-40
mg/hari) mengurangi produksi kalsitriol oleh paru dan kelenjar limfe yang
diaktivasi produksinya oleh sel mononuclear. Kalsium serum dapat turun dalam 2-
5 hari.
Kelasi kalsium-ion.

3
3
Kalsium ion dapat dikelasi dengan mempergunakan Na-EDTA atau fosfat secara
intravena. Penggunaan terbatas oleh karena efek toksik bahan kelasi.
Hemodialisis atau dialisis peritoneal. Dialisis efektif menurunkan kadar kalsium
dengan memakai dialisat bebas kalsium. Merupakan pilihan terakhir terutama
untuk hiperkalsemia berat khususnya disertai insufisiensi ginjal atau pada gagal
jantung dimana pemberian cairan dibatasi.

5. Hipokalemi
Definisi
Hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 meq/L. Hipokalemia
merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik.

Etiopatofisiologi
Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut
1. Asupan kalium yang kurang.
2. Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau
keringat
3. kalium masuk ke dalam sel (translokasi).

Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain muntah, selang
nasogastrik, diare atau pemakaian pencahar. Pada keadaan muntah Atau
pemakaian selang nasogastrik, pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna
atas karena kadar kalium dalam cairan lambung hanya sedikit, akan tetapi kalium
banyak keluar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang nasogastrik, terjadi
alkalosis metabolik tidak direabsorpsi sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi
glomerulus tidak direabsorpsi oleh tubulus. Bikarbonat yang berlebih di lumen
tubulus akan mengikat kalium di duktus koligentes. Adanya hiperaldosteron
sekunder dari hipovolemia akibat muntah akan meningkatkan ekskresi kalium
melalui saluran kalium di duktus koligentes. Kesemuanya ini akan meningkatkan
ekskresi kalsium melalui urin dan terjadi hipokalemi.

3
4
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian
diuretik. Kelebihan hormon mineralokortikoid primer/ hiperaldosteronisme primer
(adenoma kelenjar adrenal). Selain itu, pengeluaran kalium berlebihan melalui
keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas
sehingga produksi keringat mencapai 10 liter. Lalu, kalium masuk ke dalam sel
dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas
beta adrenergik( pemakaian B2 agonis), paralisis periodik hipokalemi, hipotermia.

Diagnosis
Pada keadaan normal, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalsium melalui
ginjal turun hingga kurang dari 25 meq/hari sedang ekskresi dalam urin lebih dari
40 meq/hari menandakan adanya pembuangan kalium berlebihan dari ginjal.
Pemeriksaan kadar kalium dalam urin sewaktu juga dapat digunakan untuk
menilai besaran ekskresi kalsium melalui urin. Pada kasus dengan hipokalemia
akibat pembuangan kalium berlebihan, kadar kalium dalam urin sewaktu lebih
dari 15 meq/L menunjukkan adanya pembuangan kalium berlebihan melalui
ginjal. Jika kadar kalium urin sewaktu kurang dari 15 meq/L menunjukkan adanya
pembuangan kalium berlebihan ekstra renal. Pengukuran kadar kalium yang
paling tepat dalam urin sewaktu adalah menghitung rasio antara kadar kalium dan
kreatinin urin sewaktu. Hipokalemia disertai rasio Antara kadar kalium dan
kreatinin urin sewaktu kurang dari 13 meq/g kreatinin. menunjukkan adanya
asupan kalium kurang dari makanan, translokasi kalium dari ekstrasel ke intrasel,
kehilangan kalium melalui gastrointestinal atau karena penggunaan diuretika.
Hipokalemia disertai rasio Antara kadar kalium dan creatinin urin sewaktu lebih
dari 13 meq/g kreatinin menunjukkan adanya pengeluaran kalium berlebihan
melalui ginjal.

Penilaian ekskresi kalium dalam urin dapat juga dinilai dengan apa yang disebut
sebagai TTKG ( Trans Tubular Potassium Concentration Gradient ).

3
5
TTKG.menunjukkan estimasi kadar kalium dalam cairan tubulus, tepatnya pada
akhir duktus koligentes bagian kortikal. Rumus TTKG adalah sebagai berikut

TTKG = [ Urin [K] : (Osmolalitas Urin / Osmolalitas Plasma )] : Plasma [K]

Nilai normal TTKG adalah 8-9. TTKG lebih dari 11 menunjukkan ekskresi
kalium urin meningkat, sedang nilai kurang dari 11 menunjukkan peningkatan
ekskresi kalium ekstra renal pada kasus dengan hipokalemia.

Ada beberapa ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk diagnostik


hipokalemia.
 Tahap pertama adalah menilai ekskresi kalium dalam urin dan penilaian
terhadap status asam basa.
 Kedua, setelah penilaian ekskresi kalium dapat ditetapkan apakah ekskresi
berlebihan melalui ginjal seperti pada penggunaan diuretika, kelebihan
primer mineralokortikoid, kemampuan sekresi gaster berkurang, asidosis,
metabolik, hipomagnesemia dan lain lain dapat menyebabkan ekskresi
kalium meningkat. Bila pada penilaian ekskresi kalium berlebihan
ternyata ekstra renal maka dapat melalui gastrointestinal yang dapat
disertai oleh asidosis metabolik atau ekskresi berlebihan melalui keringat.
 Tahap terakhir, setelah tahap ekskresi berlebihan melalui ginjal dan luar
ginjal dapat disingkirkan, maka dipikirkan apakah ada translokasi kalium
ekstrasel ke intrasel atau sebaliknya. Pada keadaan ini, ekskresi kalium
melalui ginjal juga rendah. Dengan kata lain bila hasil penilaian ditetapkan
ekskresi kalsium melalui ginjal rendah, maka etiologi hipokalemia dapat
dipikirkan apakah ekskresi kalium berlebihan melalui luar ginjal atau ada
translokasi dari ekstrasel ke intrasel. Translokasi terjadi pada alkalosis,
hiper insulin, Aktivitas beta adrenergik meningkat, dan lain lain.

Tatalaksana
Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam.

3
6
 Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada
keadaan; 1) pasien sedang dalam pengobatan digitalis, 2)pasien dengan
ketoasidosis diabetik,3) pasien dengan kelemahan otot pernafasan, 4)
pasien dengan hipokalemia berat.( K< 2 meq/L)
 Indikasi kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama
yaitu pada keadaan; 1) insufisiensi koroner atau iskemi otot jantung, 2)
encephalopathy hepatikum, 3) pasien memakai obat yang dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra sel ke intrasel
 Indikasi sedang, pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada
hipokalemia ringan ( K antara 3-3,5 meq/L).
Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral oleh karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 meq/L dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 meq/L,
sedang pemberian 135-160 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 2,5-3,5
meq/L.

Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar dengan kecepatan 10-20 meq/jam. Pada keadaan aritmia yang
berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan dapat diberikan dengan kecepatan
40-100 meq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 meq dalam 100 cc NaCl isotonik.

6. Hiperkalemia
Definisi

Hiperkalemia ialah kadar kalium plasma/serum melebihi batas atas rentang


normal, yaitu mencapai ≥ 5,5 mEq/L.1 Angka ini bervariasi tergantung cut off
setiap laboratorium dan sampel pemeriksaan (plasma atau serum). Hiperkalemia
jarang dilaporkan pada populasi umum, yakni kurang dari 5% secara global,
terjadi pada 10% pasien rawat inap. Hiperkalemia sedang-berat (>6,0 mmol/L)
terjadi pada 1% pasien rawat inap dan meningkatkan risiko mortalitas secara
signifikan. Hiperkalemia merupakan kondisi emergensi karena menyebabkan

3
7
aritmia berupa sinus bradikardia, sinus arrest, slow idioventricular rhythm,
takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan asistol.

Faktor risiko
Hiperkalemia sering dijumpai pada pasien diabetes, gangguan ginjal akut, gagal
ginjal kronik, keganasan, usia sangat tua/ sangat muda, dan asidosis. Hiperkalemia
lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita karena massa otot yang
lebih banyak, kecepatan rhabdomyolisis yang lebih cepat, dan insidens penyakit
neuromuskular yang lebih tinggi. Hiperkalemia jarang dijumpai pada anak-anak,
tetapi dapat terjadi pada 50% bayi prematur. Pada kondisi rawat inap,
hiperkalemia sering disebabkan karena obat-obatan dan insufisiensi renal. Risiko
hiperkalemia meningkat pada penggunaan ACE inhibitor, yang sering digunakan
pasien-pasien diabetes, gagal jantung, dan penyakit vaskular perifer.

Etiologi
Hiperkalemia dapat terjadi secara akut ataupun kronik. Hiperkalemia akut sering
disebabkan oleh keluarnya K+ dari sel dalam jumlah banyak, pada keadaan
trauma, asidosis metabolik, dan hemolisis. Hiperkalemia kronik disebabkan oleh
gangguan ekskresi K+ dan/ atau meningkatnya intake K+.

3
8
a. Perpindahan K+ intraseluler ke ekstraseluler
Beberapa kondisi dapat menyebabkan efluks K+ menuju ekstraseluler.
Pada kondisi asidosis, terjadi uptake ion H+ dan efluks ion K+ yang
berguna untuk mempertahankan pH ekstraseluler. Selain asidosis, efluks
ion K+ dapat diakibatkan oleh pemberian cairan hipertonik, seperti
manitol, salin hipertonik, dan IVIg (imunoglobulin intravena), karena K+
ikut terbawa cairan yang bergerak keluar sel searah gradien osmotik.
Overdosis digoxin dapat mengakibatkan hiperkalemia melalui inhibisi
Na+/K+-ATPase dan mengurangi uptake K+ pada otot skeletal. Kerusakan
sel dapat melepaskan K+ intrasel menuju ekstrasel, seperti kondisi
rhabdomyolisis pada crush injury, latihan fisik berlebihan, serta proses
hemolitik lainnya. Defisiensi insulin dan diabetik ketoasidosis dapat
menyebabkan perubahan kadar K+ intraseluler dan ekstraseluler secara
signifikan dan mendadak menyebabkan K+ serum meningkat, sedangkan
total K+ tubuh berkurang. Sindrom lisis tumor pasca-kemoterapi dapat
menyebabkan hiperkalemia akut karena kematian sel kanker secara massif
b. Ekskresi inadekuat
Ekskresi inadekuat dapat disebabkan oleh gagal ginjal kronik, acute
kidney injury, dan obat-obatan penghambat RAAS.4 Gagal ginjal kronik
merupakan penyebab tersering hiperkalemia, karena berkurangnya atau
hilangnya fungsi nefron.1 Hiperkalemia pada umumnya tampak saat eGFR
di bawah 30 mL/ menit.3 Hiperkalemia juga sering terjadi pada acute
kidney injury, terutama bila dijumpai oliguria.1 Keadaan ini dapat terjadi
karena kurangnya volume darah secara akut akibat dehidrasi, perdarahan,
atau hipovolemia karena gagal jantung kongestif atau sirosis.
Selain itu, obat-obatan golongan Angiotensin - converting enzymes (ACE)
inhibitor, Angiotensin receptor blocker (ARB), antagonis reseptor
mineralokortikoid, NSAID, dan COX-2 inhibitor dapat meningkatkan
risiko hiperkalemia dengan mengurangi biosintesis aldosterone
c. Peningkatan asupan K+

3
9
Peningkatan asupan K+ dari makanan mudah menyebabkan hiperkalemia
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Makanan kaya K+ meliputi
asinan buah/buah kering, rumput laut, kacang-kacangan, alpukat, dan
kacang Lima. Sayuran kaya kalium, yaitu bayam, kentang, tomat, brokoli,
beet, wortel, dan squash. Buah-buahan tinggi kalium, yaitu kiwi, mangga,
jeruk, pisang, dan melon. Daging merah juga memiliki kandungan kalium
tinggi. Seseorang dengan homeostasis kalium baik dapat mengonsumsi
makanan ini dalam jumlah banyak, tetapi perlu dihindari oleh pasien
penurunan fungsi ginjal atau kondisi medis lain yang berisiko
hiperkalemia. Selain itu, cairan intravena mengandung tinggi kalium,
seperti total parenteral nutrition, obat-obatan tinggi kalium, dan transfusi
darah masif dapat meningkatkan K+ serum secara signifikan

Manifestasi Klinis
Hiperkalemia dapat diklasifikasikan berdasarkan kadar K+ serum menjadi ringan
(5,5–6,5 mmol/L), sedang (6,5–7,5 mmol/L), dan berat (>7,5 mmol/L). Beberapa
literatur terakhir membagi hiperkalemia dengan mempertimbangkan ada-tidaknya
perubahan EKG.
Hiperkalemia sering asimtomatik. Pada hiperkalemia ringan dan sedang, sebagian
besar pasien asimtomatik. Pasien mengeluh gejala-gejala non-spesifik seperti
lemas, palpitasi, mual, nyeri otot, kelemahan otot, parestesia, atau sinkop. Gejala
tersering ialah kelemahan otot. Kelemahan otot dapat menyerupai Guillain Barre
Syndrome, kelemahan otot menjalar secara ascending (dari tungkai bawah menuju
ke atas). Gejala awal dapat berupa parestesi dan fasikulasi otot lengan dan tungkai
bawah
Pada umumnya, gejala timbul pada kadar kalium lebih tinggi (6,5-7 mEq/L);
kecepatan kenaikan lebih dipertimbangkan dibandingkan kadar K+ sewaktu.
Pasien hiperkalemia kronis dapat menjadi asimtomatik pada kadar tinggi,
sedangkan pasien dengan perubahan kadar kalium secara akut/ mendadak akan
mengalami gejala yang lebih berat pada kadar kalium yang lebih rendah

4
0
Diagnosis
Pada anamnesis, perlu digali riwayat penyakit berisiko hiperkalemia seperti
penyakit ginjal, hipertensi, diabetes, kemoterapi, trauma mayor, trauma listrik,
crush injury, atau rhabdomyolisis (keluhan nyeri otot). Penggunaan obat-obatan
yang dapat menyebabkan hiperkalemia juga perlu ditanyakan, seperti digoxin,
diuretik hemat kalium, NSAID, ACE inhibitor, pemberian kalium intravena,
nutrisi parenteral total, suksinilkolin, atau penicilin V potassium. Ada beberapa
red flags yang menimbulkan kecurigaan adanya hiperkalemia

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda bervariasi sesuai penyebab hiperkalemia.


Pada pasien gagal ginjal, sering dijumpai hipertensi dan edema. Pada kondisi
syok, bisa ditemukan tanda-tanda hipoperfusi. Nyeri otot bisa tampak pada
keadaan rhabdomyolisis. Jaundice terlihat pada kondisi hemolitik. Selain itu,
dapat ditemui tanda hiperkalemia seperti, kelemahan otot, paralisis flaccid, atau
menurunnya refleks tendon dalam.
KDIGO merekomendasikan pemeriksaan EKG 12 lead dan monitoring jantung
saat kadar K+ >6,0 mmol/L. Hiperkalemia mengakibatkan konduksi miokard
menjadi tidak stabil dengan mengurangi potensial membran istirahat, sehingga
meningkatkan depolarisasi jantung, eksitabilitas miokard, ketidakstabilan jantung,
dan aritmia, yang dapat berakhir pada fibrilasi ventrikel dan asistol.8 Pada
hiperkalemia ringan (5,5-6,5 mM), peningkatan K+ ekstraseluler mempengaruhi
fase repolarisasi jantung, sehingga terbentuk gelombang T tinggi dan menukik
(tall peaked T waves). Hiperkalemia sedang (6,5-7,5 mM) menyebabkan
hilangnya gelombang P. Seiring meningkatnya konsentrasi K+, konduksi

4
1
intrakardiak akan terhambat, menyebabkan pemanjangan interval PR dan interval
QRS. Hiperkalemia berat (7,0-8.0 mM) akan menyebabkan kompleks QRS
melebar. Pada akhirnya, hiperkalemia berat yang tidak ditangani segera (>8,0
mM) dapat menimbulkan ritme sinoventrikular dengan gelombang sine (sine-
wave) yang menandakan impending fibrilasi ventrikel atau asistol yang
mengancam nyawa. Akan tetapi, fase perubahan EKG ini tidak sensitif, terutama
pada pasien gagal ginjal kronik.

Hiperkalemia juga dapat menimbulkan asidosis metabolik karena mengganggu


proses ekskresi asam pada ginjal. Selain EKG, pasien hiperkalemia perlu
menjalani pemeriksaan elektrolit lengkap, BUN, kreatinin, osmolalitas serum, Mg
dan Ca, pemeriksaan darah lengkap, urinalisis

Tatalaksana
Langkah pertama ialah menyingkirkan kemungkinan pseudohiperkalemia.
Hiperkalemia akut yang sudah terkonfirmasi memerlukan penanganan segera,
seperti monitor jantung, intervensi medis akut, dan mungkin dialisis. Tatalaksana
awal harus fokus menstabilkan miokard dan mencegah/memperbaiki disritmia,
redistribusi/pemindahan K+ menuju intraseluler, serta membuang K+ yang
berlebih. Tatalaksana akut hiperkalemia direkomendasikan saat K+ plasma
mencapai >6,5 mmol/L atau adanya manifestasi gangguan jantung tanpa melihat
kadar K+ plasma
 Stabilisasi miokard
Pemberian kalsium intravena dapat mencegah fibrilasi ventrikel dan
memproteksi jantung, dengan menaikkan threshold potensial aksi dan
mengurangi eksitabilitas, tanpa mengubah potensial membran istirahat.
Kalsium mampu memperbaiki abnormalitas EKG dalam waktu singkat.
Dosis dapat diulang bila tidak ada perbaikan EKG atau EKG kembali
memburuk setelah perbaikan awal. Hati-hati pemberian calcium gluconate
pada pasien yang mengonsumsi digoxin karena bersifat toksik terhadap
jantung.1,4 Calcium gluconate memiliki efek toksisitas jaringan yang

4
2
lebih rendah dibandingkan calcium chloride. Perlu diingat bahwa calcium
tidak mengurangi konsentrasi K+ dan durasi kerja hanya 60 menit. Oleh
karena itu, diperlukan upaya pengobatan selanjutnya untuk mengurangi
K+. Pemberian kalsium direkomendasikan pada pasien hiperkalemia
dengan perubahan EKG atau pasien hiperkalemia dengan kadar K+ >6,5
mmol/L tanpa pemeriksaan EKG (tidak tersedia saat itu).

 Redistribusi kalium ke intraseluler, sehingga kalium plasma


berkurang secara cepat
Insulin mampu menurunkan konsentrasi K+ plasma dengan memasukkan
K+ ke intraseluler. Tipe insulin yang digunakan ialah regular atau short
acting. Untuk mencegah hipoglikemia, pasca-pemberian insulin dan
dextrosa, perlu diberi infus dextrosa 10% 50- 75 mL/jam, dan pemantauan
ketat konsentrasi glukosa plasma. Jika pasien hiperkalemia dengan
hiperglikemia (glukosa ≥200-250 mg/ dL), insulin dapat diberikan tanpa
glukosa, tetapi dengan pemantauan ketat konsentrasi glukosa plasma.1
Pemberian insulin 20 IU memiliki efek menurunkan kalium setara dengan
insulin 10 IU, tetapi dengan risiko hipoglikemia yang lebih besar.
Selain insulin, pemberian β2 agonis, seperti albuterol/salbutamol, juga
efektif mengatasi hiperkalemia dan direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama pada hiperkalemia tidak berat pada pasien bernapas spontan tanpa
takikardi. β2 agonis memberikan efek aditif pada insulin; efek sampingnya
ialah takikardia, hiperglikemia, dan peningkatan laktat. Pemberian melalui
inhalasi/ nebulisasi dapat mengurangi efek terhadap jantung. Hati-hati
nebulisasi β2 agonis pada pasien penyakit jantung (gagal jantung atau
angina tidak stabil), karena dapat menyebabkan takikardia. Sebanyak 20%
pasien gagal ginjal kronik dengan hiperkalemia resisten terhadap
nebulisasi β2 agonis.1,4,8

Pemberian bikarbonat intravena kurang tepat untuk tatalaksana akut


hiperkalemia, karena onset yang lama, tetapi cukup memberi manfaat bagi

4
3
pasien asidosis atau hipovolemik. Bikarbonat diberikan dalam bentuk
infus cairan isotonik atau hipotonik (150 mEq dalam D5W 1 L). Pada
asidosis metabolik, berkurangnya kadar K+ serum dapat dilihat setelah 4-6
jam infus bikarbonat isotonik. Pemberian bikarbonat memerlukan banyak
cairan, sehingga dapat menyebabkan fluid overload, hipernatremia, dan
alkalosis respiratorik. Pengobatan ini dikontraindikasikan pada pasien
hipertensi atau gagal jantung

 Pembuangan K+
Pembuangan K+ dapat dengan cation exchange resin, diuretik, dan/atau
dialysis. Hemodialisis merupakan metode paling efektif untuk mengurangi
konsentrasi K+ plasma. Hemodialisis emergensi dipertimbangkan pada
pasien dengan perubahan EKG persisten atau menunjukkan respons
inadekuat terhadap β2 agonis dan insulin, serta pada kondisi AKI stage 2
atau stage 3 dengan/ tanpa hiperkalemia. Pasien hiperkalemia yang lebih
stabil (euvolemik/ hipervolemik) dapat diberi diuretik loop/ thiazide, jika
fungsi ginjal adekuat untuk merespons diuretik. Cara ini dapat
dikombinasikan dengan salin intravena atau bikarbonat isotonik untuk
menjaga atau mencapai euvolemia. Cation exchange resin berupa sodium
polystyrene sulfonate (SPS) bekerja melalui pergantian Na+ dengan K+
pada saluran gastrointestinal dan meningkatkan ekskresi K+ pada feses.
SPS telah lama digunakan untuk mengurangi K+ plasma, tetapi dapat
menimbulkan nekrosis kolon. Onset SPS cukup lama dan sulit diprediksi.
Oleh karena itu, dalam keadaan gawat darurat, pertimbangkan alternatif
tatalaksana lainnya. Selain natrium, juga tersedia resin berbahan dasar
kalsium. Hati-hati pemberian SPS pada pasien overload cairan karena
dapat menambah cairan dan menimbulkan gagal jantung, dengan
pertukaran K+ dengan Na+.1,8 Potassium-binder baru, seperti patiromer
dan sodium zirconium cyclosilicate memberikan efek menjanjikan

4
4
menurunkan K+ dalam waktu singkat, tetapi masih perlu diteliti efek
samping jangka panjangnya terhadap gastrointestinal

Learning Objective 2

Komplikasi Hipernatremia

Hipernatremia-dehidrasi berat dapat menyebabkan penyusutan otak akibat


adanya perpindahan cairan intrasel ke ekstrasel, yang dapat merobek pembuluh
darah otak, menyebabkan pendarahan otak, kejang, kelumpuhan, dan ensefalopati.
Pada pasien dengan hipernatremia yang berkepanjangan, rehidrasi cepat dengan
cairan hipotonik dapat menyebabkan edema serebral, yang dapat menyebabkan
koma, kejang, dan kematian. Hipernatremia akut <24 jam dapat menyebabkan
perdarahan subural. Kongesti vena dapat menyebabkan thrombosis sinus
intracranial. Peregangan arterial dapat menyebabkan perdarahan subkortikal dan
infark serebral. Kejang mungkin dapat terjadi. Hypernatremia kronis dengan
durasi lebih dari dua hari dikaitkan dengan peningkatan mortalitas terutama jika
dikoreksi terlalu cepat, edema otak dan sekule neurologic yang terkait dapat
terjadi.

Hipernatremia berat dapat menyebabkan angka mortalitas pada pasien


lanjut usia sebesar 40-70%. Dalam prakteknya, seringkali sulit untuk memisahkan
kontribusi hipernatremiadengan mortalitas dari penyakit yang mendasarinya.
Tingkat kesadaran merupakan indicator prognosis terbaik yang terkaitdengan
mortalitas pada lansia. Studi pada pasien sakit kritis di ICU menunjukan bahwa
hipernatremia merupakan factor resiko independen untuk mortalitas. Sebagian
besar kasus tampaknya timbul setelah masuk ke ICU dan oleh karena itu,
mungkin setidaknya sebagian berasal dari iatrogenik.

Komplikasi Hiponatremia

Hiponatremia akut yang terjadi secara tiba-tiba bisa berdampak serius pada
pada otak, seperti kecacatan permanen atau kematian otak pembengkakan otak

4
5
yang dapat menyebabkan koma dan bahkan kematian. Sedangkan pada
hiponatremia kronis, penurunan kadar natrium terjadi secara bertahap selama 48
jam atau lebih. Meski kelihatannya jinak, hiponatremia kronis juga bisa
berdampak serupa.

Wanita pra menopause memiliki risiko terbesar mengalami kerusakan otak


terkait hiponatremia. Hal ini diduga terkait dengan efek hormon seks wanita yang
bekerja menyeimbangkan kadar natrium

Komplikasi Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat menyebabkan komplikasi aritmia atau gangguan irama


jantung. Kondisi ini dapat memicu terjadinya ventrikel fibrilasi yang
menyebabkan jantung bagian bawah berdetak cepat namun tidak memompa darah.

Hiperkalemia yang tidak segera ditangani juga dapat menyebabkan henti


jantung, kelumpuhan, hingga kematian.

Komplikasi Hipokalemia

Deteksi dan penanganan hipokalemia sejak dini perlu dilakukan untuk mencegah
komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling berbahaya adalah aritmia.
Komplikasi ini berisiko terjadi pada penderita hipokalemia yang juga menderita
gangguan jantung.

Selain itu, kekurangan kalium juga berisiko menyebabkan komplikasi lain jika
tidak ditangani secara tepat. Komplikasi tersebut meliputi:

 Rhabdomyolysis
 Ileus paralitik
 Gangguan otak pada penderita sirosis (ensefalopati hepatik)
 Penyakit ginjal
 Kelumpuhan otot pernapasan

4
6
Komplikasi Hiperkalsemia

Kondisi hiperkalsemia yang parah dapat menimbulkan sejumlah komplikasi.


Beberapa di antaranya meliputi:

 Osteoporosis
Bila terus-menerus melepas kalsium ke dalam darah, lama-kelamaan tulang akan
keropos dan memicu penyakit osteoporosis. Tulang pun menjadi mudah patah dan
bentuk badan Anda bisa berubah menjadi bungkuk.

 Nefrolitiasis
Jika jumlahnya terlalu banyak di dalam urine, risiko kalsium yang mengkristal di
dalam ginjal turut meningkat dan dapat berujung pada Nefrolitiasis.

 CKD
Hiperkalsemia yang parah dan tidak ditangani bisa menyebabkan kerusakan
ginjal. Kondisi ini akan mengakbatkan organ tersebut kehilangan kemampuan
dalam menyaring dan membuang racun-racun dari tubuh.

 Gangguan sistem saraf


Hiperkalsemia berat bisa menimbulkan kepikunan atau menyebabkan kondisi
koma yang fatal.

 Aritmia

Kelebihan kalsium akan memengaruhi impuls elektrik pada jantung yang


berfungsi mengatur denyut jantung. Sebagai akibatnya, detak jantung menjadi
tidak teratur (aritmia).Diagnosis dan pengobatan yang tepat adalah kunci utama
untuk mengatasi hiperkalsemia. Karena itu, segera konsultasi ke dokter apabila
Anda merasakan gejala-gejala yang mengarah pada kelebihan kalsium. Bila
dibiarkan, kondisi ini dapat mengganggu fungsi organ vital tubuh dan
membahayakan kesehatan.

Komplikasi Hipokalsemia

4
7
Kekurangan kalsium jangka panjang dapat menyebabkan perubahan gigi,
katarak, perubahan pada otak dan osteoporosis yang menyebabkan tulang
menjadi rapuh

4
8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keseimbangan elektrolit sangat penting untuk diketahui karena gangguan pada
keseimbangan elektrolit memiliki makna klinis yang berbeda-beda. Natrium,
kalium, kalsium adalah beberapa elektrolit yang dapat mengalami gangguan baik
itu hipo- maupun hiper- (kelebihan atau kekurangan). Sebagai seorang dokter
sangat penting untuk mengetahui manifestasi klinis dari masing-masing
ketidakseimbangan elektrolit tersebut.

3.2 Saran
Laporan ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami selaku penyusun laporan
berharap kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki tulisan kami.

4
9
Daftar Pustaka

Setyawan, Y. (2021). Hipernatremia dan Penatalaksanaanya. Medical Scope


Journal, 2(2), 93–99. https://doi.org/10.35790/msj.2.2.2021.32693

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid 2. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.

Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku


Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010.

Siregar P. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MS, Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(6th ed). Jakarta: Interna Publishing, 2014.

Androque Horacio J, Nicholaos E Madison Hyponatremia. New Eng J Med 2000;


342:1581-9.

Craig S. Hyponatremia. Available at: URL: http://www.eMedicine.com. Accessed


January, 2, 2008.

Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to


Therapy. Verlag Italia: Springer.

Teo, G. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan


Hiperkalemia. Cermin Dunia Kedokteran, 48(8), 305-310.

5
0

Anda mungkin juga menyukai