Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN TUTORIAL

SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI

dr. Nurul Eliza, M.Biomed

Kelompok 3

Albar Rasyad Yefri (17719267)

Asy Syifa Dhiya Ulhaqq Anwar (11719118)

Baya Syabitha Whezia Harsojo (11719296)

Diana Dwi Hartati (11719766)

Hanna Nur Fauziah (17719346)

Hasna Khoerunisa (12719771)

Nirwana Tri Hartati (14719799)

Raisa Sabrina (15719275)

Ratna Rizqia Widati (15719335)

BLOK 4.1 SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GUNADARMA

TAHUN 2021
LEMBAR PENILAIAN
Judul Laporan Tutorial : Sistem Hematologi

Kelompok : 3 (Tiga)

Tutorial ke- : 1 (Satu)

Blok : 4.1 (Sistem Hematologi dan Imunologi)

Penilaian Laporan Tutorial

Komponen yang Dinilai Skor Umpan Balik


Pendahuluan
Dasar Teori
Pembahasan
Kesimpulan
Referensi
Total Skor
………………,…………………20..

Tutor yang menilai

( )
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas ridho dan
karunia-Nya serta limpahan nikmat sehat-Nya, baik berupa sehat fisik maupun
akal pikiran, sehingga pembuatan Laporan Tutorial Skenario 1 Blok 4.1 ini dapat
terselesaikan dengan baik sesuai waktu yang ditentukan.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Nurul Eliza,


M.Biomed selaku dosen pembimbing tutor kelompok 3 atas segala masukan ilmu
dan kesabaran dalam membimbing kami dalam penyusunan laporan ini, sehingga
dapat terselesaikan dengan semestinya.

Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa masih terdapat


banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan di masa yang akan datang.
Serta Laporan Tutorial Skenario 1 Blok 4.1 ini dapat bermanfaat bagi penyusun
khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Depok, 2 April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENILAIAN.........................................................................................2

KATA PENGANTAR............................................................................................3

DAFTAR ISI...........................................................................................................4

BAB I.......................................................................................................................5

PENDAHULUAN...............................................................................................5

1.1. LATAR BELAKANG.........................................................................5

1.2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................6

1.3. TUJUAN MAKALAH.........................................................................6

BAB II.....................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................7

2.1. ANATOMI............................................................................................7

2.2. HISTOFISIOLOGI.............................................................................7

2.3. DIAGNOSIS KLINIS........................................................................15

2.4. DIAGNOSIS BANDING...................................................................23

BAB III..................................................................................................................38

PEMBAHASAN................................................................................................38

3.1. SKENARIO KASUS..........................................................................38

3.2. SISTEMATIKA KASUS...................................................................39

3.3. PEMBAHASAN KASUS...................................................................42

3.4. SKEMA KASUS................................................................................43

3.5. KLASIFIKASI ANEMIA.................................................................44

3.6. PATOFISIOLOGI KASUS...............................................................45

BAB IV..................................................................................................................46
KESIMPULAN.....................................................................................................46

BAB V....................................................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48
BAB I
PENDAHULUAN
1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Aneimia adalah keadaan
dimana massa eritrosit dan massa hemoglobin yang beredar tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan dibawah normal kadar
hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell). Anemia
memiliki kriteria dan derajat untuk menentukan seberapa parah seseorang
mengidap anemia. Kriteria anemia perlu ditetapkan untuk mengatuhi
seseorang mengidap penyakit anemia seperti batas hemoglobin atau
hematokrit. Batas ini disebut sebagai cut off poit (titik pemilah), yang
dipengaruhi oleh : umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari
permukaan laut dan lain-lain. (“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,” n.d.)

Cut off point yang di gunakan ialah kriteria WHO tahun 1968,
dinyatakan anemia bila:

1. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl


2. Perempuan dewasa tak hamil : Hb <12 g/dl
3. Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl
4. Anak 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
5. Anak 6 bulan-6 tahun : Hb < 11 g/dl
Derajat anemia ditentukan oleh kadar hemoglobin, klasifikasi
derajat anemia yang umum dipakai adalah sebagai berikut:

1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-cut off point


2. Ringan : Hb 8 g/dl - Hb 9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 g/dl - Hb 7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia
(CML) adalah penyakit yang mengenai sel induk hemopoetik. chronic
myeloid leukemia (CML) merupakan penyakit kronik, dengan gejala yang
timbul perlahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk
mieloid. Leukemia myeloid kronik (CML) merupakan 15–20% dari
leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai di
Indonesia. Lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita, dengan
perbandingan 1,9 : 1,1. (“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,” n.d.)

1.2. RUMUSAN MASALAH


2. Bagaimana anatomi dan histofisiologi sel darah?
3. Apa saja kelainan yang terjadi dapat terjadi pada darah?
4. Bagaimana penjelasan tentang penyakit Anemia et causa Chronic
Myeloid Leukemia, Anemia Hemolitik, Chronic Myeloid Leukemia,
dan Acute Myeloid Leukemia?
5. Bagaimana pemeriksaan darah yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis?
6. Apa penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita?
1.3. TUJUAN MAKALAH
2. Mahasiswa mengetahui struktur anatomi pada kasus pasien
3. Mahasiswa mengetahui gambaran histologi pada kasus pasien
4. Mahasiswa mengetahui diagnosis yang berkaitan pada kasus pasien
5. Mahasiswa mengetahui definisi hingga tatalaksana dari diagnosis
kerja dan diagnosis banding pada kasus pasien
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami penanganan yang tepat pada
kasus pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI

Gambar 1.

Dalam embrio berkembang, pembentukan darah terjadi dalam


agregat sel darah di yolk sac, yang disebut pulau darah. Saat perkembangan
berlangsung, pembentukan darah terjadi di lien, hati dan kelenjar getah
bening. Ketika sumsum tulang berkembang, akhirnya mengambil tugas
membentuk sebagian besar sel darah untuk seluruh organisme. Namun,
pematangan, aktivasi, dan beberapa proliferasi sel limfoid terjadi di lien,
timus, dan kelenjar getah bening. Pada anak-anak, hematopoiesis terjadi di
sumsum tulang panjang seperti tulang paha dan tibia. Pada orang dewasa,
ini terjadi terutama di panggul, tengkorak, tulang belakang, dan tulang
dada. (Fernández and de Alarcón, 2013)
Gambar 2.

Lien adalah organ limfoid yang berasal dari jaringan mesenkimal


mesogastrium dorsale, dengan berat rata-rata pada orang dewasa adalah 75
sampai 100 gram dan berukuran 12 x 7 x 4 cm. arteri lienalis terletak di
perut kiri atas, di antara tulang rusuk 9 sampai 11, dan diikat oleh ligament
lambung dan ligament-ligamen. Arteri lienalis adalah cabang terbesar dari
batang fibula dan melewati ligament ginjal lien ke hilum lien. Arteri lien
memasok darah ke segmen pembuluh darah atas dan bawah, dan vena lien
melewati pancreas setelah hilus terbentuk, dan kemudian mengarah ke vena
mesenterika superior. (Pai, 2014)

Gambar 3.

Hati atau hepar adalah organ terbesar yang terletak di sisi kanan
atas rongga perut. Dalam kondisi hidup, hati berwarna merah tua karena
kaya akan suplai darah. Hepar adalah kelenjar terbesat di tubuh manusia,
dengan berat sekitar 1,5 kilogram. Sebagian besar hepar terletak di
profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan
hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke
sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Sloane, 2004)
(Junqueira & Carneiro., 2007) (Snell, 2006)

2.2. HISTOFISIOLOGI
Semua sel darah yang bersirkulasi berasal dari diferensiasi sel stem
pluripotent yang diproduksi di sumsum tulang. Mereka terbagi menjadi
tiga jenis utama. Yang paling banyak adalah sel darah merah yang
dikhususkan untuk pengangkutan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan
karbon dioksida ke arah sebaliknya, mereka memiliki masa hidup 4 bulan,
sedangkan sel terkecil, trombosit yang terlibat dalam hemostasis,
bersirkulasi hanya selama 10 hari. Sel darah putih terdiri dari empat jenis
fagosit, neutrofil, eosinofil, basofil dan monosit, yang melindungi dari
infeksi bakteri dan jamur, dan limfosit, yang meliputi sel B, yang terlibat
dalam produksi antibodi, dan sel T (pembantu CD4 dan CD8). penekan),
berkaitan dengan respons kekebalan dan perlindungan terhadap virus dan
sel asing lainnya. Sel darah putih memiliki rentang umur yang luas
(Hoffbrand, n.d.).

Gambar 4. Sumber: (Hoffbrand, n.d.)

Sumsum tulang ditemukan pada tulang panjang dan di rongga kecil


tulang kanselus. Klasifikasi sumsum tulang sumsum tulang merah
pembentuk darah, yang warnanya dihasilkan oleh darah yang melimpah
dan sel hemopoietik , dan sumsum tulang kuning, yang diisi dengan
adiposit yang mengecualikan sebagian besar sel hemopoietic (Mescher and
Junqueira, 2018).
Gambar 5-6. Sumber: (Mescher and Junqueira, 2018)

Sel-sel progenitor untuk sel darah sering disebut colony forming unit
(CFU), karena mereka hanya membentuk koloni dari satu jenis sel ketika
dibiakkan secara in vitro atau disuntikkan ke dalam limpa.

Ada empat tipe utama sel progenitor / CFU:

1. Garis keturunan eritroid dari eritrosit


2. Garis keturunan trombositis dari megakariosit untuk pembentukan trombosit
3. Garis keturunan granulosit-monosit dari ketiga granulosit dan monosit
4. Garis keturunan limfoid dari limfosit B, limfosit T, dan sel pembunuh alami

Setiap garis keturunan sel progenitor menghasilkan sel prekursor (blast)


yang secara bertahap mengasumsikan karakteristik morfologi dari jenis sel yang
matang dan fungsional mereka akan menjadi (Mescher and Junqueira, 2018).

Gambar 7. Sumber: (Hoffbrand, 2016)

Eritropoiesis (produksi sel darah merah) diatur oleh eritropoietin, yang


disekresikan oleh ginjal sebagai respons terhadap hipoksia. Berbagai sediaan
eritropoietin kerja jangka pendek atau panjang digunakan secara klinis untuk
mengobati anemia pada gagal ginjal dan penyakit lainnya (Hoffbrand, 2016).
Gambar 8-9. Sumber: (Mescher and Junqueira, 2018)

Eritrosit umumnya berbentuk bikonkaf, dimana bentuk bikonkaf memiliki


ruang yang cukup luas untuk tempat hemoglobin yang tidak jauh dari permukaan
sel, yang mampu untuk mengikat dan mentransport oksigen. Eritrosit juga cukup
elastis untuk dapat masuk kedalam kapiler-kapiler kecil. Dalam pembuluh darah
kecil, sel darah merah sering menumpuk dalam agregat longgar yang disebut
rouleaux (Mescher and Junqueira, 2018).
Gambar 10-11. Sumber: (Hoffbrand, 2016)

Pada masa perkembangan sel eritrosit muda (erytroblast), bentuknya jauh


lebih besar dari sel eritrosit matur dengan sitoplasma basofilik, sitoplasma pada
sel eritroblas ini memiliki kromatin nuclear yang terbuka, semakin
berkembangnya sel eritroblas ini, sitoplasmanya akan menjadi lebih eosinofilik
yang diakibatkan formasi hemoglobin. Sel darah putih terbagi menjadi dua grup
besar, yaitu fagosit dan limfosit. Pada fagosit, system imun ini bergerak cepat
terhadap infeksi yang terjadi. Sedangkan respon imun adaptif cenderung
mengembangkan respon immunological memori, seperti vaksin (Hoffbrand, n.d.).
Anemia merupakan kondisi berkurangnya konsentrasi hemoglobin dari
jumlah normalnya. Anemia terklasifikasi berdasarkan bentuk morfologi dan
etiopatogenesis.

Gambar 12. Sumber: (“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,” n.d.)

Gambar 13. Sumber: (Hoffbrand, 2016)

Leukemia adalah sekelompok kelainan yang ditandai dengan penumpukan


sel darah putih ganas di sumsum tulang dan darah. Sel abnormal ini menimbulkan
gejala karena:
1. Gagal sumsum tulang (misalnya anemia, neutropenia, trombositopenia)
2. Fnfiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meninges, otak,
kulit atau testis).

Klasifikasi utama dibagi menjadi empat jenis: akut dan kronis leukemia,
yang selanjutnya dibagi lagi menjadi limfoid atau myeloid.

Gambar 14. Sumber: (Hoffbrand, n.d.)

Leukemia akut merupakan penyakit agresif di mana transformasi


keganasan terjadi pada sel stem hemopoietik atausel progenitor awal. Kerusakan
genetik diyakini mengakibatkan:

1. Peningkatan laju proliferasi


2. Penurunan apoptosis
3. Pemblokiran diferensiasi seluler.

Bersama-sama, peristiwa-peristiwa ini menyebabkan penumpukan sel-sel


hemopoietik awal di sumsum tulang yang dikenal sebagai sel-sel blast. Leukemia
kronis dibedakan dari leukemia akut dengan perkembangannya yang lebih lambat.
Gambar 15-16. Sumber: (Hoffbrand, 2016)

Lien adalah penyaring darah terbesar dalam tubuh (Hoffbrand, 2016). Lien
mengandung akumulasi jaringan limfoid terbesar di dalam tubuh dan merupakan
satu-satunya organ limfoid yang terlibat dalam penyaringan darah, menjadikannya
organ penting dalam pertahanan terhadap antigen yang dibawa oleh darah
(Mescher and Junqueira, 2018).

Gambar 17. Sumber: (Mescher and Junqueira, 2018)

Limpa memiliki dua jenis pupla, yaitu pulpa merah dan pulpa putih (20%)
dari lien. Massa kecil pulpa putih terdiri dari nodul limfoid periarteriolar (PALS),
sedangkan pulpa merah terdiri dari sinusoid berisi darah dari kabel-kabel lien.
Arteri trabecular merupakan cabang dari hilum yang meninggalkan jaringan
konektif trabecular menuju parenkim sebagai arteriole yang diselubungi oleh
PALS, dimana pembuluh ini dikenal dengan arteriole centralis. Arteriole ini
menyalurkan kapiler-kapiler yang melewati pulpa putih dan sinus kecil pada zona
marginal perifer tempat berkembangnya sel B disekitar nodul limfoid. Hampir
seluruh bagian pulpa merah terdiri dari kabel-kabel lien (cord) dan sinus lien,
dimana menjadi tempat perombakan sel darah merah (RBC). Darah yang mengalir
dari pulpa merah dapat melewati dua rute, yaitu:

 Rute tertutup, cabang-cabang kapiler dari arteriole penicillar terhubung


langsung dengan sinusoid dan darah terselubungi dengan endotel.
 Rute terbuka, kapiler dari arteriole penicillar setengahnya terbuka,
menyebarkan Kembali sel darah yang tersalurkan Kembali ke stroma dari
kabel-kabel lien. Pada rute ini, plasma dan elemen-elemn ini haus Kembali
lagi ke pembuluh darah melewati celah kecil diantara sel stave (sel-sel
endotel pelapis sinusoid pada lamina basal yang terputus-putus). Pada
platelet, leukosit, dan eritrosit yang flesibel dapat melewati celah tersebut,
namun untuk eritrosit yang besar tidak dapat masuk dan akan menjalani
penghapusan selektif oleh makrofag. Zat besi dari daur ulang eritrosit akan
disimpan dan akan digunakan Kembali pada eritrosit baru yang
berdiferensiasi.

Dari sinusoid, darah mengalir menuju vena pada pulpa merah yang
berkumpul menjadi vena trabecular, nantinya akan menjadi vena lienalis (Mescher
and Junqueira, 2018).

2.3. DIAGNOSIS KLINIS


2.3.1. Anemia et causa Chronic Myeloid Leukemia
a. Definisi

Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya


kadar hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal
pada usia tertentu.1 Anemia yang berhubungan dengan penyakit
keganasan, penyebab dan mekanismenya kompleks dan multifaktor dan
salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang atau
adanya kehilangan darah, hemolysis, kelainan ginjal, hati atau endokrin,
ataupun adanya tanda-tanda defisiensi nutrisional. (Rouli, 2016)
Chronic Myeloid Leukimia (CML) adalah kondisi yang ditandai
dengan produksi sel myeloid berlebihan khususnya leukosit (gangguan
mieloploriferatif) dan bersifat progresif. Maka, Anemia et causa Chronic
Myeloid Leukimia (CML) adalah kondisi dimana produksi berlebihan dari
sel darah putih yang menyebabkan penekanan terhadap elemen darah yang
lain khususnya sel darah merah serta fungsi dari sel darah merah menjadi
terganggu.

b. Epidemiologi

Angka kejadian anemia pada penyakit keganasan bervariasi


bergantung pada jenis penyakit keganasan, stadium dan lamanya penyakit
yang diderita, regimen terapi yang dipakai, dan ada tidaknya infeksi. Lebih
dari lima puluh persen pasien dengan penyakit keganasan akan mengalami
anemia. Penelitian di Belgia, melaporkan 79% pasien dengan penyakit
keganasan mengalami anemia, dan membuktikan bahwa anemia setelah
kemoterapi terjadi pada 90% pasien leukemia dan 69% pasien tumor
padat. Sitostatik yang dapat menyebabkan anemia adalah cisplatin,
karboplatin, etoposid, doxorubisin dan 5- fluorourasil. Terapi radiasi juga
dapat meningkatkan angka kejadian anemia pada penyakit keganasan, dari
48% sebelum terapi radiasi menjadi 57% sesudah terapi. (Rouli, 2016)

Angka kejadian CML mencapai 20% dari semua leukemia orang


dewasa, umumnya CML menyerang pada usia 40-60 tahun walaupun
dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Sekitar
90% pasien CML mengalami anemia. (Hakiki, 2007)

c. Etiologi

Pada penyakit keganasan, anemia terjadi akibat hipoplasi sumsum


tulang yang akan terlihat dari penurunan jumlah retikulosit. Nilai MCV
(mean corpuscular volume) dapat digunakan untuk memperkirakan
etiologi anemia. Peningkatan nilai MCV menggambarkan suatu defisiensi
nutrisi seperti vitamin B12 dan asam folat atau efek kemoterapi seperti
metotreksat atau hidroksiurea. Penurunan nilai MCV umumnya
menunjukkan defisiensi besi atau anemia karena keadaan inflamasi
kronik. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dapat membantu untuk
mengevaluasi anemia dengan karena hipoplasi sumsum tulang, serta
membuktikan kurangnya produksi besi atau adanya maturasi
megaloblastik. Pemeriksaan ini juga dapat mengungkapkan adanya atropi
lemak serous, hemofagositosis, aplasia eritrosit, mielodisplasia, limfoma,
leukemia dan anemia sideroblastik. (Rouli, 2016)

Gambar 18.
d. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya anemia terbagi menjadi dua mekanisme


yaitu anemia sebagai akibat efek langsung dari penyakit keganasan dan
anemia sebagai akibat terapi pengobatan sitostatik dan radioterapi. (Rouli,
2016)

1. Anemia sebagai akibat efek langsung dari penyakit keganasan

Gambar 19.
Patogenesis anemia berdasarkan Gambar 19 merupakan
interaksi antara sel tumor dengan sistem imun pejamu yang
mendorong pengaturan inflamasi sitokin spesifik seperti interleukin-1
(IL-1), interferon gamma (IFN-γ) dan faktor nekrosis tumor (TNFα).
Peningkatan kadar sitokin ini akan menekan progenitor eritroid burst-
forming unit erythroid (BFUE) dan colony-forming unit erythroid
(CFU-E) di sumsum tulang, mengganggu metabolisme besi dan
mengurangi produksi eritropoietin (EPO). Kerusakan ginjal termasuk
disfungsi renal oleh zat yang nefrotoksik akan menurunkan respons
eritropoietin (EPO) terhadap anemia terutama saat pemberian
kemoterapi. Umur eritrosit menjadi pendek sedangkan jumlah produksi
sel yang baru tidak dapat mengkompensasi. Hal inilah yang akan
menyebabkan anemia. Perdarahan tumor juga akan menambah berat
anemia. (Rouli, 2016)

Tumor padat yang bermetastasis ke sumsum tulang sering


menimbulkan anemia. Metastasis merusak sel progenitor, sel-sel
sumsum tulang dan menurunkan produksi faktor pertumbuhan.

Beberapa jenis tumor yang bermetastasis ke sumsum tulang adalah


histiositosis sel langerhans (Letterer-Siwe disease), neuroblastoma,
limfoma non-hodgkin, limfoma hodgkin, retinoblastoma, dan
rabdomiosarkoma.
2. Anemia akibat dari terapi penyakit keganasan
Kemoterapi atau radioterapi dapat menyebabkan terjadinya
anemia dan pengulangan siklus kedua terapi ini secara kumulatif akan
merusak eritropoiesis. Walaupun sebagian besar sitostatik mempunyai
efek penekanan proliferasi sel pada umumnya di sumsum tulang, ada
beberapa kemoterapi yang mempunyai target eritropoiesis. Sitostatik
yang mengandung platinum (cisplatin dan karboplatin) merupakan
penyebab tersering terjadinya komplikasi anemia sedang sampai berat,
hal ini disebabkan efek toksik sitostatika tersebut pada sel renal.
Cisplatin bersifat nefrotoksik terutama pada sel endotel kapiler
peritubular yang menghasilkan eritropoietin. Sekitar 61% pasien yang
mendapat cisplatin dan 49% yang mendapat karboplatin akan
mengalami anemia. Selain itu kombinasi dari siklofosfamid,
metotreksat dan 5-fluorourasil dapat merusak sel induk sehingga dapat
menyebabkan terjadinya anemia sedang. (Rouli, 2016)
Status oksigenisasi sel berhubungan erat dengan respons
radioterapi terhadap tumor. Tumor yang mengalami hipoksia
memerlukan dosis radiasi 2,8-3 kali lebih besar dan bahkan dapat
terjadi kegagalan radiasi dibandingkan dengan tumor dengan kadar
oksigen normal. Kemampuan radioterapi dalam eradikasi sel ganas
sangat bergantung pada kadar molekul oksigen dalam tumor, karena
oksigen merupakan suatu radiosensitizer penting dalam penghancuran
DNA sel ganas. Radioterapi membentuk radikal bebas dari molekul
oksigen dan menerobos sampai DNA tumor sehingga menyebabkan sel
tumor mati.

e. Gambaran Klinis
1. Gejala umum anemia

75% dari pasien anemia melaporkan adanya rasa lelah


(fatigue) yang dapat bermanifestasi menjadi rasa lemas, kurang
energi, sulit memulai dan mengakhiri suatu pekerjaan, serta rasa ingin
tidur seharian. Rasa lelah merupakan gejala utama pada pasien
anemia, selain itu anemia juga menyebabkan keluhan lain seperti
palpitasi (rasa berdebar), gangguan fungsi kognitif, mual,
menurunnya temperature kulit, gangguan fungsi imun, vertigo, sakit
kepala, nyeri dada, napas pendek, dan depresi. (Kar, 2005)

2. Gambaran klinis anemia


a. Lelah dan menurunnya kualitas hidup

Kelelahan merupakan keluhan utama pasien dengan


anemia pada penyakit keganasan yang prevalensinya cukup
tinggi yaitu bervariasi antara 70% sampai 90%. Kelelahan
mempunyai dampak yang besar pada kualitas hidup pasien,
diantaranya lemah, lesu, tidak berenergi, dan kesulitan dalam
memulai atau menyelesaikan pekerjaan. (Kar, 2005)

b. Meningkatnya angka kematian (mortalitas)

Secara umum adanya anemia pada pasien kanker akan


meningkatkan mortalitas sebanyak 65%. Anemia pada pasien
dengan karsinoma otak dan leher meningkatkan risiko mortalitas
menjadi 75%, sedangkan pada pasien limfoma 67%. (Kar, 2005)

c. Menurunkan efektivitas pengobatan

Hipoksia pada tumor merupakan salah satu masalah


dalam terapi keganasan, selain membuat tumor menjadi resisten
terhadap radioterapi dan beberapa kemoterapi (seperti
siklofosfamid dan karboplatin); hipoksia juga merangsang
kinetik proliferasi, posisi siklus sel dan jumlah sel tumor yang
berakumulasi pada fase G0 (fase histopatologi) sehingga terjadi
perubahan ekspresi gen ke arah perubahan proteome. Perubahan
ini mengatur banyaknya sel yang akan dihancurkan oleh radiasi
atau kemoterapi. Bila hipoksia pada tumor tidak diperbaiki maka
akan terjadi proliferasi sel yang lambat, berhentinya siklus sel
dan peningkatan jumlah sel pada fase G0 . Hal ini menyebabkan
tumor menjadi resisten terhadap radioterapi dan kemoterapi.
Selain itu , hipoksia tumor yang terus menerus akan
meningkatkan progresifitas dan agresifitas penyakit keganasan
melalui clonal selection dan perubahan gen. Akibatnya
diferensiasi dan apoptosis sel berhenti, angiogenesis menjadi
kacau, penyebaran metastasis ke locoregional meningkat yang
selanjutnya akan meningkatkan resistensi terapi dan
memperburuk prognosis jangka panjang. (Kar, 2005)

f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
 Pemeriksaan penyaring: kadar Hb, Indeks Eritrosit, apusan darah
tepi
 Pemeriksaan darah seri anemia: hitung trombosit, leukosit,
retikulosit, Ht (hematocrit), LED
 MCH dan MCHC test untuk menggambarkan kualitas sel darah
merah (Rafika, 2019)
2. Pemeriksaan Penunjang CML  Aspirasi dan biopsi sumsum
g. Diagnosis

Diagnosis anemia et causa CML umumnya dapat ditegakkan


dengan anamnesis, melihat manifestasi klinis (pemeriksaan fisik) dan
hasil laboratorium pemeriksaan darah lengkap. (Rafika, 2019)

h. Penatalaksanaan

Berikut ini adalah tata laksana anemia pada penyakit keganasan


berdasarkan penyebabnya. (Rouli, 2016)

1. Suplementasi

Bila ditemukan keadaan defisiensi berupa defisiensi besi, folat


atau vitamin B12. maka perlu diberikan suplementasi. Suplemen besi
dibutuhkan sebagai terapi kombinasi dengan recombinant human
eritro- poietin (rHuEPO) agar lebih efektif dan efisien dalam
mengkoreksi Hb. Pemberian secara oral lebih disukai walaupun
menyebabkan efek samping berupa rasa mual. Pemberian secara
intravena selain tidak nyaman dan mahal, juga dapat terjadi reaksi
anafilaksis.

2. Transfusi eritrosit

Transfusi eritrosit diberikan untuk memenuhi kebutuhan


oksigen yaitu pada kasus anemia akut setelah perdarahan, anemia
kronik yang tidak responsif dengan suplementasi besi dan pada
pasien dengan anemia yang berat. Jumlah eritrosit yang dapat
diberikan sebanyak 10-15 mL per kg berat badan dalam empat jam.
Pada anak dengan nilai Hb < 5 g/ dL sebaiknya diberikan 4 mL per
kg berat badan per kali, dalam empat jam, diselingi pemberian
diuretik untuk mencegah terjadinya overload.

3. Recombinant human eritropoietin (rHuEPO)

Pemberian rHuEPO dapat meningkatkan eritrosit dan nilai Hb


sehingga dapat mengurangi pemberian transfusi darah, mengurangi
gejala kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup Terapi ini juga
terbukti aman, efek samping minimal dan dapat ditoleransi dengan
baik oleh tubuh. Sekitar 50%- 60% pasien yang diobati dengan satu
siklus pemberian rHuEPO dalam meningkatkan kadar Hb sekitar 2
g/dL.

National Comprehensive Cancer Network merekomendasikan


pemberian rHuEPO pada pasien dengan kadar Hb kurang dari 11
g/dL. Sedangkan The America Society of Clinical Oncology dan The
America Society of Hematology merekomendasikan pemberian
rHuEPO pada pasien dengan nilai Hb = 10 g/dL. Dosis rHuEPO yang
direkomendasikan oleh ketiga institusi tersebut adalah 150 U/kg yang
diberikan subkutan tiga kali seminggu, minimal selama empat
minggu sebagai dosis awal. Bila dengan dosis awal tidak memberikan
respon yang baik, dosis dapat diting- katkan menjadi 300 U/kg
dengan dosis maksimal 40.000 U/minggu.

i. Prognosis

Prognosis bergantung pada fase CML dan dikatakan buruk apabila


ditemukan:

– Hepatosplenomegali
– Peningkatan jumlah basophil dan eosinophil dalam sampel darah
– jumlah platelet yang terlalu tinggi atau rendah
– usia yang lebih dari 60 tahun. (Hakiki, 2007)
2.4. DIAGNOSIS BANDING
2.4.1. Anemia Hemofilik
a. Definisi

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan adanya


peningkatan destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi
eritropoesis sumsum tulang.(“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,” n.d.)

Anemia hemolitik dikalsifikasikan sebagai anemia normositik


dengan MCV 80-100 fL bentuk hb rendah karena kerusakan sel darah
merah, peningkatan katabolisme hb, penurunan kadar hb, dan upaya
peningkatan sumsum tulang untuk meregenerasi.

b. Etiologi

Faktor intrinsik

 Kongenital:
o Defek membran eritrosit : sferositosis, eliptositosis
o Defisiensi enzim glikolitik eritrosit : piruvat kinase
o Defisiensi enzim pentose phosphate pathway : G6PD
o Defek struktur dan dintesis Hb : unstable Hb disease,
Talasemia, anemi bulan sabit
 Didapat: Paroksismal nokturnal heboglobinuria.
Faktor ekstrinsik

 Anemia hemolitik autoimun (warm antibody)


 Anemia hemilitik autoimun (cold antibody)
 Traumatik dan anemia hemolitik mikroangiopatik
 Infeksi
 Zat kimia dan obat oksidatif
 Zat fisika (Parlina and Fadjari, n.d.)
c. Epidemiologi

Anemia hemolitik memerlukan pendekatan yang tepat, seperti


pada kasus penyakit dalam yang dirawat di RSUP, anemia hemolitik
merupakan 6% dari kasus anemia, menempati urutan ketiga setelah
anemia aplastik dan anemia sekunder karena keganasan hematologik.
(“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,” n.d.)

d. Patofisiologi

Ada dua mekanisme hemolisis :

 Hemolisis intravascular adalah penghancuran sel darah merah


dalam sirkulasi dengan pelepasan sel kedalam plasma. Trauna
mekanis dari endotel yang rusak, fiksasi dan aktivasi komplemen
pada permukaan sel, dan agen infeksi dapat menyebabkan degradasi
membrane langsung dan kerusakan sel .
 Hemolisis ekstravaskular yang lebih umum adalah penganggkatan
dan penghancuran sel darah merah dengan perubahan membrane
oleh makrofag limpa dan hati. (Anderson, n.d.)
e. Diagnosis
Anemia hemolitik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.

f. Anamnesis

Untuk berat dan akut:

 Mendadak mual- mual, panas, muntah, menggigil, nyeri perut,


lemah badan, sesak napas, pucat
 Gangguan kardiovaskular
 Buang air kecil warna merah/gelap
Bentuk kronis:

 Lemah badan berlangsung dalam periode beberapa minggu sampai


bulan.(Parlina and Fadjari, n.d.)
g. Pemeriksaan Fisik
 Sklera ikterus
 Splenomegali
 Hepatomegali
 Kelainan tulang
 Ulkus pada kaki (Parlina and Fadjari, n.d.)
h. Pemeriksaan Penunjang
 Apus darah tepi: anisositosis
 Apus sumsum tulang : hyperplasia eritopoesis
 Retikulosit meningkat
 Peningkatan LDH
 Trombositopenia (Parlina and Fadjari, n.d.)
i. Penatalaksanaan

Tergantung etiologi:

1. Anemia hemolitik autoimun:


 Glukokortikoid: prednisone 40 mg/m2
 Splenektomi: yang tidak berespon dengan pemberian
glukokortikoid
 Imunosupresif: gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi
o Azatioprin: 80 mg/m2/ hari
o Siklofosfamid: 60– 75 mg/m2/hari
 Obati penyakit dasar: SLE, infeksi, malaria, keganasan
 Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab
2. Pada hemolisis kronik, diberikan: asam folat 0,15 – 0,3 mg/hari
untuk mencegah krisis megalobastik
3. TTP (thrombotic thrombocytopenic purpura
 kortikosteroid, prednisone 200 mg/hari atau metil prednisolone
0,75 mg/kg IV tiap 12 jam. (Parlina and Fadjari, n.d.)
j. Prognosis
Prognosis untuk anemia hemolitik bervariasi pada penyebab nya
serta beberapa dini didiagnosis dan ditangani dengan cepat. Anemia
hemolitik autoimun : kelangsungan hidup 73% (Parlina and Fadjari,
n.d.)
2.4.2. Leukemia Mieloid Akut
a. Definisi

Leukemia Mieloid Akut (AML) merupakan keganasan yang


mengenai stem cell hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua
sel myeloid yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan
diferensiasi sel-sel progenitor dari mieloid.

AML juga merupakan leukemia yang agresif dan mempunyai


progresivitas yang cepat, dengan ditandai banyaknya sel mieloblast atau
leukosit imatur di sumsum tulang dan darah. (Longo and Harrison,
2013)

b. Epidemiologi

Setiap tahun terdapat 2500-3000 kasus baru leukemia pada anak


yang terjadi di Amerika Serikat. Sekitar 15-20% kasus mencakup
leukemia myelogenous akut (AML). (Kumar V., Cotran R.S., Robbin
S.L., 2007)

c. Etiologi
 Radiasi (pekerja radiologi, pasien yang menjalani radioterapi).
 Faktor leukemogenik (benzena tingkat tinggi, insektisida,
formaldehyde).
 Obat kemoterapi (obat agen alkilasi  obat anti kanker).
 Herediter (abnormal kromosom).
 Virus leukemia feline, human T-cell leukemia virus (HTLV-1) pada
dewasa.
d. Diagnosis

Diagnosis leukemia myeloid akut itegakkan oleh anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

e. Anamnesis

Pada penderita leukemia myeloid akut pasien biasanya datang


dengan kondisi buruk seperti:
 Muntah
 Kehilangan kontrol otot
 Epilepsi
 Nyeri tulang atau sendi
 Nyeri dada dan sesak napas
 Gangguan saluran pencernaan, ginjel, paru-paru
 Kulit pucat karena anemia
 Kehilangan nafsu makan sehingga terjadi penurunan berat badan

(Longo and Harrison, 2013)

f. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum tampak terjadi penurunan kesadaran.
 Ditemukan perdarahan seperti purpura, petekie dan ekimosis.
 Tanda infeksi akibat kegagalan sumsum tulang  leukosit tinggi
>100.00/mm
 Ditemukan limfadenopati dan hepatosplenomegali.

Gambar 20-22.

(Behrman., Kliegman. & Arvin. 2000)

g. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan CBC dan Apus Darah Tepi  Anemia normokromik-normositer,


pada anemia sering berat dan timbul
cepat.
 Trombositopenia, sering sangat berat di
bawah 10 x 106/ lc.
 Jumlah leukosit dapat normal,
meningkat, atau menurun.
 Apusan darah tepi: adanya sel muda
(mieloblast, promielosit, limfoblast,
monoblast, eritroblast atau
megakariosit).
Pemeriksaan Aspirasi Sumsum Tulang  Tampak hiperseluler dengan limfoblast
dan Biopsi di sumsum tulang.
 Jumlah sel blast min. 30% dari sel
berinti dalam SST.
Teknik Immunophenotyping Menggunakan flow cytometry untuk
menentukan tipe sel leukemia berdasarkan
antigen.

Sitogenetik Pemeriksaan ini bertujuan untuk


menentukan kromosom abnormal, pada
pasien AML dewasa kromosom terdeteksi
sekitar 55%.
Biologi Molekuler  Pemeriksaan ini dilakukan bila
sitogenetik gagal.
 Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
abnormalitas gen atau pada bagian
kromosom.
Pemeriksaan Imaging  Dilakukan untuk menentukan
apabila terjadi perluasan ke organ
lain.
 X-ray thorax, CT-scan, dan MRI.

h. Penatalaksanaan
Terapi Spesifik Terapi Suportif
Kemoterapi adalah pengobatan yang Untuk menyeimbangkan terapi spesifik.
dilakukan, terdiri atas:
Fase induksi remisi: Terapi untuk mengatasi anemia:
 Pada fase ini, dilakukan untuk  Transfusi PRC (Packed Red Cells)
menghilangkan gejala klinis. untuk mempertahankan hemoglobin
 Blast dalam SST kurang dari 5%. sekitar 9-10 g/dl.
 Komplikasi: Perdarahan, masalah  Calon transplantasi sumsum tulang
sistem pencernaan, gagal ginjal, dan sebaiknya tidak melakukan transfusi
gangguan elektrolit. darah.
Terapi untuk mengatasi infeksi:
 Antibiotik adekuat
 Transfusi konsentrat granulosit
 Perawatan khusus (Isolasi)
 Hemopoietic Growth Factor (G-CSF
atau GM-CSF)
Fase postremisi: Terapi untuk mengatasi perdarahan:
a. Kemoterapi lanjutan  Transfusi konsentrat trombosit untuk
 Terapi konsodilatasi mempertahankan trombosit.
o Transplantasi sel hematopoietic  Pada M3 diberikan heparin untuk
(HCT) lebih disukai oleh mengatasi DIC (Disseminated
individu usia ≤ 60 tahun. Intravascular Coagulation)
o Prognosis sedang atau tidak Terapi untuk mengatasi hal lainnya:
baik.  Pengelolaan leukostasis – Dilakukan
 Terapi pemeliharaan dengan hidrasi intravenosus dan
Dengan terapi per oral jangka panjang. leukapheresis, lakukan induksi remisi

Masih diperdebatkan. dengan segera untuk menurunkan

 Imunoterapi jumlah leukosit

o Dapat diberikan BCG.  Pengelolaan simdrom lisis tumor –


Dengan hidrasi yang cukup,
o Manfaat masih belum terbukti.
pemberian alupurinol dan alkalinisasi.
b. Transplantasi sumsum tulang
 Untuk memberikan penyembuhan
permanen.
 Target: Pasien berusia di bawah 40
tahun
 Efek samping: Pneumonia
interstitial (Cytomegalo virus),
graft versus host disease, dan graft
rejection.
 Lebih sering diberikan dalam
bentuk transplantasi sel induk
darah tepi.
Gambar 23. Sumber: (Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.Pdf, n.d.)

i. Prognosis

Prognosis penyakit AML atau leukemia myeloid akut ini


ditentukan berdasarkan umurnya, terdapat 60-80% kasus dan dari 30%
nya dinyatakan bebas dari leukemia setelah 3 – 5 tahun dan Sebagian
besar akan mengalami kesembuhan. Namun, pada pasien dengan
leukemia di atas umur 65 tahun hanya didapat hasil kesembuhan sekitar
5%. Kemudian, dapat ditentukan juga berdasarkan kelainan
kormosomnya, pada pasien dengan mutase gen NPM1 prognosisnya
baik, namun pada pasien dengan mutase gen FLT3 memiliki prognosis
yang tidak baik.

2.4.3. Leukemia Mieloid Kronik


a. Definisi

Leukemia mieloid kronik (CML) adalah suatu penyakit klonal


sel induk pluripoten dan digolongkan sebagai salah satu penyakit
mieloproliferatif. (Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.Pdf, n.d.)

b. Epidemiologi

Leukemia myeloid kronik (CML) merupakan 15 – 20% dari


leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai
di Indonesia. Insiden CLM adalah 1,5 per 100.000 orang per tahun, dan
insiden yang disesuaikan dengan usia, lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,9 : 1,1. Insiden ini
meningkat seiring bertambahnya usia sampai pertengahan 40-50
tahunan, namun dapat dijumpai pada anak-anak juga dalam bentuk
juvenile CML.

Namun, ada jurnal yang mengatakan tingkat kejadian CML


tahunan di seluruh dunia sebesar 0,87 orang per 100.000. Rata-rata
diagnosisnya adalah 56 tahun. Di Amerika Serikat, tingkat insiden
tahunan antara 2009 dan 2013 adalah 1,4 dan 2,2 per 100.000 untuk
wanita dan pria, masing-masing. Pada tahun 2018, ada 8.490 kasus baru
CML dan 1.090 perkiraan kematian. (“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,”
n.d.) (Longo and Harrison, 2013)

c. Etiologi

Penyebab dari CML bukan karena virus, karena tidak ditemukan


korelasi yang jelas dengan paparan sitotoksik dan tidak ada bukti yang
jelas. Merokok dapat mempercepat perkembangan dan karena itu dapat
berdampak buruk pada kelangsungan hidup di CML. Pada kejadian
Chernobyl tahun 1986, tidak ada peningkatan kejadian CML yang
ditemukan pada orang yang selamat dari kecelakaan tersebut, namun
menunjukkan bahwa hanya radiasi dengan dosis besar yang dapat
menyebabkan CML. Korban bom atom mengalami peningkatan insiden,
perkembangan massa sel CML 10.000/µl membutuhkan waktu 6,3
tahun.

d. Patogenesis
Gambar 24. Sumber: (“Hematologi Klinik Ringkas.pdf,” n.d.)

Fase perjalanan penyakit:

1. Fase kronik

Fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap


kemoterapi.

2. Fase akselerasi atau transformasi akut


 Pada fase ini, perangai klinik CML berubah mirip leukemia
akut
 Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk ke dalam
“blast crisis”
 Sekitar 2/3 menunjukkan sel blast seri mieloid sedangkan 1/3
menunjukkan seri limfoid.
e. Diagnosis
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
 Penatalaksanaan
 Prognosis
f. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan gejala klinis yang berhubungan
dengan hipermetabolisme, seperti penurunan berat badan, kelelahan,
anoreksia, keringat malam, splenomegali disertai rasa nyeri atau rasa
tidak nyaman, rasa penuh di daerah abdomen, rasa penuh dengan jumlah
makanan yang sedikit, gangguan pencernaan, gejala gangguan trombosit
: perdarahan, memar, epistaksis, menorhagia. Simptom-simptom ini
adalah tidak spesifik untuk mendiagnosis CML karena dapat juga dilihat
pada penyakit kanker dan non-kanker lain.

g. Pemeriksaan Fisik
Ditemukan tanda-tanda seperti:
 Pucat
 Organomegali (splenomegali- hepatomegali)
 Limfadenopati
 Purpura atau perdarahan pada retina sebagai akibat gangguan fungsi
trombosit
h. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin:
 Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut
(fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
 Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/dL
2. Gambaran darah tepi :
3
 Leukositosis berat 20.000-50.000/mm pada permulaan

3
kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm .

 Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari


mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah
segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel
darah merah bernukleus.
 Jumlah basofil dalam darah meningkat.
 Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase
awal lebih sering meningkat.
 Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu
rendah.

3. Gambaran sumsum tulang:


 Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum
lengkap seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah
netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit
pada fase kronik normal atau meningkat
 Sitogenik konvensional: Pemeriksaan ini menilai kromosome
yang juga dikenali sebagai karyotype. Pemeriksaan ini akan
mengambil waktu karena proses divisi dari sel dalam sumsum
tulang akan mengambil jangka waktu yang cukup lama. Sel-sel
normal memiliki 23 kromosome, namun pasien dengan CML
memiliki kromosome yang abnormal yaitu Philadelphia (Ph1)
kromosom yang terlihat sebagai kromosome 22 tetapi lebih
pendek. Keadaan ini terjadi karena perubahan posisi dari
kromosome 9 dan 22. Pemeriksaan ini membantu diagnosis
CML namun, jika hasil ini negative pemeriksaan oncogene
BCR-ABL dapat membantu.
 Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction), pemeriksaan
yang supersensitive dapat mendeteksi adanya oncogene BCR-

3,8
ABL pada 99% kasus PCR juga boleh digunakan untuk
memantau progress pengobatan, dengan adanya BCR-ABL
membuktikan leukemia masih ada.
i. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa

Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu:


 Fase Kronik:
o Busulphan (Myleran), dosis: 0,1-0,2mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika
leukosit turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit
20.000/mm. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi

3
50.000/mm . Efek samping dapat berupa aplasia sumsum
tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya
leukemia akut.
o Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit
dan mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase
kronik, tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup. Dosis
mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit Interferon α juga
dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda
onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup
menjadi 1-2 tahun. IFN-α biasanya digunakan bila jumlah
leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α merupakan
terapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik
(CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang
(BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang
cocok. Interferon alfa diberikan pada rata- rata 3-5 juta IU / d
subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l).
Hampir semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu”
pada beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih
serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil
pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang
dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik
walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui
PCR.
o Imatinib (Gleevec), nilotinib (Tasigna), dasatinib (Sprycel)
adalah obat tyrosine-kinase inhibitor yang merupakan
pengobatan standar bagi pasien CML pada fase kronik.
o Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell
transplantation, SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung
yang HLA-nya cocok memungkinkan kesembuhan 70% pada
fase kronik dan 30% atau kurang pada fase akselerasi
b. Non-Medikamentosa
 Radiasi:

Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi


sinar- sinar tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk
menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang
diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang.

j. Prognosis
Dikatakan buruk apabila:
 Ditemukan pada fase akeselerasi atau fase blast
 Spelenomegali
 Area-area bone damage akibat leukemia
 Peningkatan jumlah basofil dan eosinophil dalam sampel darah
 Jumlah platelet yang terlalu tinggi atau rendah
 Usia lebih dari 60 tahun
 Perubahan kromosome multipel
BAB III
PEMBAHASAN
3. PEMBAHASAN

3.1. SKENARIO KASUS


i. Skenario

Riwayat penyakit sekarang:

Seorang pria berusia 57 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat RS.


Gunadarma dengan keluhan riwayat pingsan 2 jam sebelum masuk RS.
Pasien dibawa oleh rekan kerja karena pingsan selama 5 menit di tempat
kerja. Sebelumnya pasien mengeluh badan lemas disertai mudah lelah
bila beraktivitas sejak beberapa minggu. Pasien juga mengeluhkan nyeri
ulu hati, perut membesar dan terasa begah bila makan banyak. Menurut
rekan kerja, pasien semakin terlihat pucat dan kurus dalam setahun
terakhir.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat anti nyeri bila kaki bengkak
karena asam urat. Pasien merokok 1 bungkus/hari. Pasien juga mengaku
mempunyai masalah lambung dan asam urat sejak lama.

Riwayat pekerjaan:

Pasien bekerja sebagai petugas radiologi di RS sejak 20 tahun yang lalu.

ii. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Compos mentis, tampak sakit sedang
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 116 x/ menit
 Frekuensi pernapasan : 24 x/ menit
 Suhu : 36.2 C
 Mata : Konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik
 Mulut : papil lidah atrofi
 Paru : Rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
 Jantung : BJ I-II normal, murmur tidak ada
 Abdomen : Buncit, Bising usus normal, timpani, Lien
teraba Schuffner 6, Hepar 2 jari BAC, terdapat nyeri seluruh
abdomen
 Ekstremitas : tidak ada edema, tidak ada ptechiae, tidak
ada kuku sendok (koilonikia)
iii. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Lengkap dan Profil Besi:
 Hemoglobin : 6.9 gr/dL
 Leukosit : 76.500/uL
 Pada hitung jenis, didapatkan 4% sel blast
 Trombosit : 455.000/uL
 Hematokrit : 22 %
 Eritrosit : 2.430.000/uL
 Mcv : 76 fl
 Mch : 27 pg
 Serum iron : 38 ug/dl ( 37-145)
 Ferritin : 55 ug/dl (18-160)
 TIBC : 225 ug/ dl (250-425)
b. Apusan Darah Tepi:
 Eritrosit tampak normokrom normositer, serta dijumpai eritrosit
anisositosis.
 Leukosit tampak sel mielosit dan metamielosit meningkat, dijumpai
mieloblast.

3.2. SISTEMATIKA KASUS


1. Identifikasi Kata:
a. Begah  Berasa penuh di perut karena terlalu kenyang.
b. Asam urat  Produk akhir katabolisme purin pada primata
meningkatkan kadar asam urat dikasitkan dengan gout dan
nefrodiasis
c. Pucat  Putih pudar
d. Bengkak  Suatu kondisi kelebihan cairan dalam jaringan tubuh.
e. Radiologi  Cabang ilmu yang berhubungan dengan substansi
radiaktif dan energi pancarannya dan dengan diagnosis serta
pengobatan penyakit baik dengan radiasi pengion (sinar x) maupun
bukan pengion (ultrasonik).
2. Identifikasi Masalah:
a. Apakah yang menyebabkan pasien lemas, mudah lelah, pucat dan
kurus dengan mudah pingsan di tempat kerja?
b. Apakah faktor umur berhubungan dengan keluhan pasien?
c. Apakah ada hubungan riwayat konsumsi obat anti nyeri dengan
keluhan yang sedang dialami sekarang?
d. Adakah hubungan antara riwayat pekerjaan pasien sebagai petugas
radiologi dengan keluhan pasien?
e. Apakah ada hubungan nyeri ulu hati dengan masalah lambung
dengan keluhan pasien yang diderita sejak lam?
f. Adakah hubungan riwayat asam urat pasien dengan keluhan selalu
merasa begah setelah makan?
g. Apakah ada hubungan antara gejala pasien dengan kebiasaan pasien
merokok 1 bungkus/hari?
h. Apakah ada hubungan keluhan pasien yang pucat dan kurus dengan
keluhan yang sekarang?
i. Apakah pasien pingsan disebabkan oleh riwayat asam urat?
j. Mengapa perut pasien membesar dan terasa begah bila makan
banyak?
k. Apakah yang memicu bengkak karena asam uratnya?
3. Analisis Masalah (Brainstorming)
a. Mungkin karena riwayat penyakit pasien ada yang kambuh dan
akibat dari pajanan radioaktif yang terlalu lama yang menyebabkan
kelainan pada darah sehingga kandungan oksigen dalam darah
sedikit sehingga perfusi oksigen ke otak dan jaringan menurun
sehingga terjadi penurunan berat badan, lemas dan pucat (ditambah
kebiasaan pasien yang merokok).
b. Mungkin iya, karena semakin tua semakin rentan dengan penyakit
dan juga disertai adanya komplikasi dari asam urat dan lambung.
Atau mungkin karena perjalanan penyakit yang lama dan baru
muncul akhir-akhir ini.
c. Mungkin iya, karena obat yang dikonsumsi yaitu obat anti nyeri
NSAID yang kemungkinan bisa menimbulkan efek samping iritasi
lambung.
d. Mungkin iya, karena pajanan radioaktif.
e. Karena pasien mengkonsumsi anti nyeri NSAID yang menyebabkan
asam lambung meningkat. adanya pembesaran limpa dan hepar
sehingga dapat mendesak ke bagian organ lain.
f. Kemungkinan ada, karena pasien tidak terlalu memperhatikan
riwayat asam urat sehingga ada pembesaran hepar. Mungkin karena
pasien mengkonsumsi obat asam urat yang efek sampinya
menyebabkan kembung.
g. Ada, mungkin perfusi oksigen ke jaringan yang kurang sehingga
mudah lemas dan pingsan.
h. Kemungkinan ada, karena kebiasaan pasien merokok sehingga
mengalami penurunan berat badan.
i. Ada, karena saat asam urat kambuh bisa saja pasien tdk bisa
menahan rasa sakit sehingga pingsan.
j. Mungkin karena pasien kekenyangan sehingga perutnya terasa
penuh. Mungkin akibat ada pembesaran limpa dari riwayat asam
urat sehingga saat makan perut terasa penuh.
k. Karena pola makan yang tidak sehat. Kemungkinan adanya
penumpukan sodium urat (tophi) pada sendi kaki pasien sehingga
menyebabkan inflamasi dan pembengkakan. Karena ada
penumpukan asam urat dalam tubuh bisa menyebabkan batu ginjal
sehingga pengaturan keseimbangan cairan dalam tubuh terganggu
dan terjadi pembengkakan.
3.3. PEMBAHASAN KASUS
3.3.1. ANAMNESIS
 Keluhan utama:
 Keluhan tambahan: Badan lemas disertai mudah lelah saat
beraktivitas, nyeri ulu hati, perut membesar dan terasa begah bila
makan banyak, serta pasien juga terlihat pucat dan kurus.
 Riwayat penyakit sekarang: Pasien dating dengan keluhan riwayat
pingsan 2 jam sebelum masuk RS. Pasien dibawa oleh rekan kerja
karena pingsan selama 5 menit di tempat kerja. Sebelumnya pasien
mengeluh badan lemas disertai mudah lelah bila beraktivitas sejak
beberapa minggu. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati, perut
membesar dan terasa begah bila makan banyak. Menurut rekan
kerja, pasien semakin terlihat pucat dan kurus dalam setahun
terakhir.
 Riwayat penyakit dahulu: Pasien mengaku sering mengkonsumsi
obat anti nyeri bila kaki bengkak karena asam urat. Pasien merokok
1 bungkus/hari. Pasien juga mengaku mempunyai masalah lambung
dan asam urat sejak lama.
 Riwayat sosial: (-)
 Riwayat penyakit keluarga: (-)
 Riwayat alergi: (-)
 Riwayat lingkungan: Pasien sehari-hari bekerja menjadi petugas
radiologi di RS
 Riwayat pekerjaan: Pasien bekerja sebagai petugas radiologi di RS
sejak 20 tahun yang lalu.
 Riwayat penyakit dahulu:
 Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat anti nyeri bila kaki
bengkak karena asam urat. Pasien merokok 1 bungkus/hari. Pasien
juga mengaku mempunyai masalah lambung dan asam urat sejak
lama.
3.3.2. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis:

Keadaan umum : Compos mentis, tampak sakit sedang

Tanda vital : TD 110/70 mmHg, N 116 x/ menit, Frekuensi


pernafasan 24 x/ menit, S 36.2 C

Mata : Konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik

Mulut : Papil lidah atrofi

Paru : Rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung : BJ I-II normal, murmur tidak ada

Abdomen : Buncit, Bising usus normal, timpani, Lien teraba


Schuffner 6, Hepar 2 jari BAC, terdapat nyeri
seluruh abdomen

Ekstremitas : Tidak ada edema, tidak ada ptechiae, tidak ada


kuku sendok (koilonikia)

3.3.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap dan Profil Besi:

 Hemoglobin : 6.9 gr/dL


 Leukosit : 76.500/uL
 Pada hitung jenis, didapatkan 4% sel blast
 Trombosit : 455.000/uL
 Hematokrit : 22 %
 Eritrosit : 2.430.000/uL
 Mcv : 76 fl
 Mch : 27 pg
 Serum iron : 38 ug/dl ( 37-145)
 Ferritin : 55 ug/dl (18-160)
 TIBC : 225 ug/ dl (250-425)
Apusan Darah Tepi:

 Eritrosit tampak normokrom normositer, serta dijumpai eritrosit


anisositosis.
 Leukosit tampak sel mielosit dan metamielosit meningkat, dijumpai
mieloblast.

3.3.4. DIAGNOSIS BANDING


Anemia hemolitik, leukemia mieloid akut, dan leukemia mieloid kronik

3.3.5. DIAGNOSIS KLINIS


Pada scenario kasus ini, kelompok kami memilih diagnosis
klinis Anemia et causa Leukemia myeloid kronik. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, kami
menggaris bawahi beberapa gejala anemia, berupa mudah pingsan,
lemas, lelah, konjungtiva anemis, papil lidah atrofi, penurunan jumlah
eritrosit, penurunan hemoglobin, beserta penurunan hematokrit. Lalu
didukung dengan gejala Chronic myeloid leukaemia (CML), berupa
perut membesar (diduga pembesaran organ), terpapar radiasi ditempat
kerja, kebiasaan merokok, adanya peningkatan leukosit beserta
ditemukannya peningkatan sel-sel mieoblas pada apusan darah.

Anemia et causa Leukemia myeloid kronik diduga disebabkan


karena paparan radiasi dari tempat pasien bekerja, sebagai radiologi
selama 20 tahun, sehingga terjadi peningkatan produksi sel-sel darah
seperti leukosit, trombosit, dan eritrosit muda yang kurang kompeten
dalam bekerja. Pada situasi ini, terjadi peningkatan kerja lien dan hepar
dalam perombakan sel-sel darah imatur tersebut. Seiring berjalannya
waktu, peningkatan produksi sumsum tulang akan menyebabkan
penutupan pada beberapa bagian produksi, salah satunya pada
eritroblas, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan
perombakan pada sel eritrosit, sehingga menyebabkan pasien
mengalami gejala-gejala anemia.
3.4. SKEMA KASUS
3.5. KLASIFIKASI ANEMIA
Anemia Mikrositik : Normositik : Makrositik :
Berdasarkan 1. Normal RDW: 1. Normal RDW: 1. Normal RDW:
Morfologi  Thalasemia  Anemia  Anemia Aplastik
 Anemia Inflamasi Inflamasi  Mielodisplasia
 Trait  Sferositosis 2. Peningkatan RDW:
Hemoglobinopati herediter  Defisiensi B12
2. Peningkatan RDW:  Trait  Defisiensi folat
 Defisiensi Fe hemoglobinopat  Anemia Hemolitik
 Penyakit HbH i Autoimun
 Anemia Inflamasi  Perdarahan akut  Cold Aglutinin
 Thalasemia 2. Peningkatan RDW: disease
 Fragmentasi  Awal dari  Penyakit Tiroid
Hemolisis Defisiensi Fe  Alkohol
 Defisiensi
Vitamin
 Penyakit Sickle
Cell
Anemia Penurunan Produksi Kehilangan Eritrosit: Peningkatan Destruksi
Berdasarkan Eritrosit:  Anemia Pasca Eritrosit:
Etiologi  Anemia Perdarahan Akut  Anemia Hemolitik
Megaloblastik  Anemia Pasca
 Anemia Aplastik Perdarahan
 Anemia Kronik
Hipoplastik
3.6. PATOFISIOLOGI KASUS
BAB IV

KESIMPULAN
4. KESIMPULAN

Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai


baik di klinik maupun di lapangan. Anemia adalah keadaan dimana massa
eritrosit dan massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Normalnya hemoglobin pada
laki-laki dewasa ialah < 13 g/dl dan untuk perempuan dewasa yang tidak
hamil adalah < 12 g/dl. Derajat anemia ditentukan oleh kadar hemoglobin,
diantaranya ada Anemia ringan sekali, ringan, sedang, dan berat. Leukemia
mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit
yang mengenai sel induk hemopoetik. chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan penyakit kronik, dengan gejala yang timbul perlahan dan sel
leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. Biasanya dalam
pemeriksaan labolatorium, banyak ditemukan sel-sel mieloblas (sel-sel muda).

Kelompok kami memilih diagnosis klinis Anemia et causa Leukemia


myeloid kronik. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, kami menggaris bawahi beberapa gejala anemia, berupa mudah
pingsan, lemas, lelah, konjungtiva anemis, papil lidah atrofi, penurunan
jumlah eritrosit, penurunan hemoglobin, beserta penurunan hematokrit. Lalu
didukung dengan gejala Chronic myeloid leukaemia (CML), berupa perut
membesar (diduga pembesaran organ), terpapar radiasi ditempat kerja,
kebiasaan merokok, adanya peningkatan leukosit beserta ditemukannya
peningkatan sel-sel mieoblas pada apusan darah.

Anemia et causa Leukemia myeloid kronik diduga disebabkan karena


paparan radiasi dari tempat pasien bekerja, sebagai radiologi selama 20 tahun,
sehingga terjadi peningkatan produksi sel-sel darah seperti leukosit, trombosit,
dan eritrosit muda yang kurang kompeten dalam bekerja. Pada situasi ini,
terjadi peningkatan kerja lien dan hepar dalam perombakan sel-sel darah
imatur tersebut. Seiring berjalannya waktu, peningkatan produksi sumsum
tulang akan menyebabkan penutupan pada beberapa bagian produksi, salah
satunya pada eritroblas, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara produksi
dan perombakan pada sel eritrosit, sehingga menyebabkan pasien mengalami
gejala-gejala anemia.

Beberapa diagnosis banding seperti Acute myeloid leukaemia (AML),


Chronic myeloid leukaemia (CML), dan Anemia hemolitik, dapat kami
singkirkan dengan menulusuri kembali gejala-gejala pada pasien yang tidak
berhubungan dengan diagnosis banding tersebut, sehingga kami dapat
mengambil diagnosis klinis berupa Anemia et causa Leukemia myeloid
kronik.
BAB V

DAFTAR PUSTAKA
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Hematologi Klinik Ringkas.pdf. (n.d.)
2. Fernández, K.S., de Alarcón, P.A., 2013. Development of the
Hematopoietic System and Disorders of Hematopoiesis that Present During
Infancy and Early Childhood. Pediatr. Clin. North Am. 60, 1273–1289.
https://doi.org/10.1016/j.pcl.2013.08.002
3. Pai, A. Medscape (2014). Drugs & Diseases. Spleen Anatomy. 
4. Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku
Kedokteran (EGC). Jakarta.
5. Junqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC.
6. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Dialihbahasakan oleh Suguharto L. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
7. Hoffbrand, V. (2016) ‘Hoffbrand’s Essential Haematology’, p. 382.
8. Mescher, A. L. and Junqueira, L. C. U. (2018) Junqueira’s basic histology:
text and atlas. Available at:
http://www.vlebooks.com/vleweb/product/openreader?
id=none&isbn=9781260026184 (Accessed: 31 March 2021).
9. Rouli, N., & Amalia, P. (2016). Anemia pada penyakit keganasan anak.
Sari Pediatri, 6(4), 176-81.
10. Kar, A. S. (2005). Pengaruh anemia pada kanker terhadap kualitas hidup
dan hasil pengobatan. Disampaikan pada Pidato Pengukuhan Gurun Besar
Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan, 17.
11. Rafika, M., & Setiadhi, R. (2019). LESI ORAL TERKAIT LEUKEMIA
MIELOID KRONIK: LAPORAN KASUS. ODONTO: Dental
Journal, 6(1), 62-67.
12. Hakiki, H (2007). MANIFESTASI KLINIS DAN GAMBARAN
LABORATORIK LEUKEMIA MIELOID KRONIK DI RSUP KARIADI.
Semarang : FK UNDIP
13. Anderson, S. (n.d.). Anderson’s Atlas of Hematology. 607.
14. Parlina, D., & Fadjari, T. H. (n.d.). PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK 2008. 346.
15. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558904
16. Behrman., Kliegman. & Arvin. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak( edisi:
15, vol 2). Jakarta : EGC. 854 – 856.
17. Longo, D., Harrison, T.R., 2013. Harrison’s Hematology and Oncology, 2e.
McGraw-Hill
18. Publishing, New York.
19. Kumar V., Cotran R.S., Robbin S.L., 2007, Buku Ajar Patologi, Volume 2,
Edisi 7, EGC, Jakarta, 12-887
20. Longo D, Harrison TR. Harrison’s Hematology and Oncology, 2e.
[Internet]. New York: McGraw-Hill Publishing; 2013 [cited 2021 Mar 31].
Available from:
https://public.ebookcentral.proquest.com/choice/publicfullrecord.aspx?
p=4959577
21. Anwar C. ACUTE MYELOID LEUKAEMIA. :51.
22. Buku_Ajar_Ilmu_Penyakit_Dalam_PAPDI_FK_UI_Edisi_Keenam,_2014_
Tiga.pdf.
23. Hematologi Klinik Ringkas.pdf.
24. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.pdf.
25. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4810104/#:~:text=Acute
%20myeloid%20leukemia%20(AML)%20is%20a%20heterogeneous
%20disorder%20characterized%20by,60%20years%20old%20%5B1%5D.
26. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531459/
27. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507875/
28. url-3.html.

Anda mungkin juga menyukai