Anda di halaman 1dari 26

Referat

ULKUS PEPTIKUM

Oleh :

Intan Permata Sari Syafrudin 2040312136


Muhammad Rayhan Firdaus 2040312140

Preseptor :
dr. Saptino Miro, Sp. PD-KGEH, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Referat
Kepaniteraan Klinik senior Ilmu Penyakit Dalam dengan judul “Ulkus Peptikum” ini
dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penyusunan Referat ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik senior di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Selain itu, penyusunan
Referat ini juga bertujuan agar penulis lebih memahami tentang Ulkus Peptikum.
Dalam penulisan Referat ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terimakasih kepada dr. Saptino Miro, Sp.PD-KGEH, FINASIM selaku
pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan Ulkus Peptikum.
Kritik dan saran membangun tentu sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga Referat ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran dalam memecahkan masalah tentang
Ulkus Peptikum.

Padang, Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... I
Daftar Isi .............................................................................................................. II
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Batasan Penulisan ............................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
1.4 Metode Penulisan ................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1 Definisi ................................................................................................ 3
2.2 Anatomi, Fisiologi dan Histologi Gastrointestinal .............................. 3
2.3 Pertahan Mukosa ................................................................................. 6
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko .................................................................. 8
2.5 Patogenesis .......................................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................... 11
2.7 Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang....................................................................... 12
2.9 Klasifikasi............................................................................................ 13
2.10 Diagnosis ........................................................................................... 14
2.11 Tatalaksana ........................................................................................ 15
2.12 Komplikasi ........................................................................................ 18
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lambung sebagai reservoir makanan berfungsi menerima makanan/
minuman, menggiling, mencampur dan mengosongkan makanan kedalam
duodenum. Lambung yang selalu berhubungan dengan semua jenis makanan,
minuman dan obat-obatan akan mengalami iritasi kronik.1
Di USA, ada 4 juta pasien yang mengalami gangguan asam-pepsin dengan
prevalensi 12% pada pria dan 10% pada wanita. Secara klinis ulkus duodenum lebih
sering terjadi dibandingkan ulkus gaster.2
Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi ulkus
peptikum pada pasien yang diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai
16,9% di Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. 3
Peningkatan prevalensi dihubungkan dengan beberapa faktor agresif
seperti penggunaan dari OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid), Asam Asetil
Salisilat (ASA) dan H. Pylori. Baik ulkus gaster maupun ulkus duodenum Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki efek samping terhadap keduanya.
Meskipun obat ini sering dipakai dalam pengobatan berbagai penyakit. Seperti
penyakit artritis dan reumatik dengan cara menekan gejala dan tanda peradangan.
Tetapi obat ini dapat menyebabkan gastritis dan ulkus gaster. Gastritis terjadi
mungkin disebabkan oleh iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut.
Sedangkan ulkus yang disebabkan oleh OAINS non selektif adalah bahan kimia
langsung maupun inhibisi cyclooxigenase yang mencegah sintesis prostaglandin.
Sebagaimana kita ketahui prostaglandin berfungsi sebagai proteksi lambung
dengan cara meningkatkan sekresi bikarbonat dan meningkatkan perfusi
vaskuler.1,3
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ulkus gaster adalah
perdarahan ulkus, perforasi ulkus, penetrasi ulkus, dan obstruksi saluran keluar
lambung.11 Kejadian ini meningkat terutama pada orang tua. Diantara komplikasi
ini, perdarahan merupakan insiden paling banyak meningkat dibandingkan
perforasi dan obstruksi. Perdarahan ini lebih sering pada ulkus yang disebabkan
oleh OAINS dari pada H.pylori. Komplikasi lainnya adalah perforasi.12,13

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 1


1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai ulkus peptikum mencakup definisi hingga
komplikasi.

1.3 Tujuan Penulisan


Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang ulkus
peptikum.

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai adalah tinjauan pustaka dengan merujuk kepada
beberapa literatur beruba buku teks, jurnal, dan makalah ilmiah.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Ulkus Peptikum

Menurut The American Collage of Gastroenterology, ulkus peptikum


berasaldari kata “ulcer” yang berarti luka berlubang dan kata “peptic” yang
mengacu pada masalah yang disebabkan oleh asam lambung. 5 Secara anatomis,
ulkus peptikum merupakan defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat
menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat
menyebabkan perforasi. Secara klinis, ulkus adalah hilangnya epitel dengan
diameter ≥ 5mm yang dapat diamati secara endoskopi atau radiologi. 6 Terminologi
ulkus harus dibedakan dengan erosi, erosi adalah kerusakan mukosa yang tidak
meluas hingga lapisan di bawah mukosa.3
Ulkus Peptikum didefinisikan sebagai kerusakan intergritas mukosa pada
gaster dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi aktif. 7 Ulkus
yang mengenai mukosa gaster disebut Ulkus Gaster sedangkan ulkus yang terjadi
pada duodenum disebut sebagai Ulkus Duodenum yang masing- masing memiliki
ciri khas masing-masing.2

2.2 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Gastrointestinal

Secara anatomi, lambung dibagi menjadi empat bagian, yaitu cardia,


fundus, corpus, dan pylorus. Cardia merupakan bagian atas yang langsung
berhubungan dengan esofagus, tepat di bawah sphincter esofagus setinggi vertebrae
torakal ke-10 dan berada di bagian posterior yang menghadap ke costae ke-7.
Bagian kiri cardia yang disebut Fundus merupakan bagian kubah di daerah sinistra
yang langsung bersentuhan dengan diafragma dan letaknya setinggi sulcus
inercostal ke-5. Corpus merupakan bagian tengah dari lambung yang berukuran
paling besar. Corpus dibatasi oleh pankreas dan bagian descenden diafragma.
Sementara pylorus merupakan bagian berbentuk saluran/cerobong pada bagian
ujung dari lambung.2
Sphincter pylorus merupakan otot sirkular yang termodifikasi pada
ujung pylorus yang bersambungan dengan usus halus. Pylorus berada setinggi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 3


vertebrae lumbal ke-1 dan 2,5 cm kanan dari midline. Persambungan ini mengatur
pergerakan chyme menuju usus halus dan menghambat aliran balik ke arah
lambung. Pylorus terbagi menjadi bagian antrum (menghubungkan corpus dari
gaster), canal (menghubungkan gaster ke duodenum), dan sphincter (otot polos
yang menghubungkan pylorus ke duodenum).4
Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang
menghasilkan mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk mencegah
terjadinya autodigestive dari asam lambung. Mukosa lambung membentuk
cekungan ke arah dalam yaitu Faveola gastric/ gastric pits (sumur lambung) yang
memperluas area penghasil enzim dan zat lainnya.8
Gaster memiliki Kelenjar Tubuloalveolar yang terdiri beberapa sel yang
antara lain9:
• Sel Mukus (Sel leher/neck cell) menghasilkan mucus yang bersifat asam
• Sel Parietal (Sel HCl) menghasilkan HCl dan faktor intrinsik vit. B12
• Sel Zimogen (Chief Cell) menghasilkan pepsinogen yang akan diubah
menjadi pepsin di lumen lambung
• Sel Arginafin (enteroendokrin) menghasilkan hormon pengatur yaitu
• sekretin, gastrin dan kolesistokinin

Sel Parietal (Sel HCl / Oxytic cell) dalam keadaan tidak terstimulasi,
sitoplasmanya didominasi oleh vesikel tubular dan kanalikuli intraselular dengan
mikrovili yang pendek pada permukaan apikalnya. Dalam keadaan terstimulasi, sel
ini akan mengekpresikan H+,K+- ATPase pada membran vesikel tubular dan
kanalikuli intraselular akan bertranformasi dengan membentuk mikrovili yang
panjang.2 Gambar 2.1 menunjukkan perbandingan antara sel parietal pada keadaan
istirahat dengan keadaan terstimulasi.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 4


Gambar 2.1 Sel Parietal dalam keadaan istirahat dan terstimulasi4

Hidroclorida (HCl) dan Pepsinogen merupakan produk dari sekresi gaster


yang mampu menginduksi kerusakan pada mukosa. Sekresi asam pada gaster
terjadi dalam dua keadaan yakni pada keadaan basal dan pada keadaan terstimulasi.
Pada keadaan basal, produksi asam dipengaruhi oleh irama sirkadian impuls
kolinergik melalui nervus vagus dan impuls histaminergik yang berasal dari sumber
gaster itu sendiri. Pada keadaan ini, asam lambung mencapai level puncak pada
malam hari dan menurun hingga level terendah pada pagi hari.2
Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase antaralain fase
sefalik, fase gastrik dan fase intestinal. Bentuk, aroma dan rasa makanan merupakan
komponen dari fase sefalik yang mampu mempengaruhi sekresi gaster melalui
stimulasi nervus vagus. Fase gastrik teraktivasi ketika makanan mencapai lambung,
dimana komponen nutrient menstimulasi Sel Arginafin untuk mensekresikan
gastrin yang mampu menstimulasi aktivasi dari sel parietal. Fase intestinal diinisiasi
ketika makanan mencapai duodenum. Fase penghasilan asam ini dapat dihambat
oleh hormone somatostatin yang dihasilkan oleh sel endokrin pada mukosa gaster.
Somatostatin dapat menghambat secara langsung (menghambat kerja sel
parietal) dan secara tidak langsung (menurunkan produksi histamin dan
pelepasan hormone gastrin dari sel argifinin). 10 Fase sekresi asam lambung secara
skematis dijelaskan pada Gambar 2.2

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 5


Gambar 2.2 Fase Sekresi Gaster dan Regulasinya9

2.3 Pertahanan Mukosa Gastroduodenal


Mukosa gaster dan duodenum memiliki peran penting untuk melindungi
dariberbagai zat agresif baik endogen (HCl, Pepsin, garam empedu) maupun
eksogen (obat-obatan, bakteri dan alkohol). sistem pertahanan mukosa terdiri dari
3 level, yaitu: 2, 11
2.3.1 Pertahanan Pre-Mukosa
Pertahanan ini terdiri dari lapisan mucus bikarbonat yang melindungi
mukosa dari beberapa molekul salahsatunya H+. mucus dihasilkan oleh sel epitel
permukaan, dengan komposisi 95% air dan 5% campuran antara lipid dan
glikoprotein. Bikarbonat disekresikan ke lapisan mucus untuk menciptakan
gradient pH antara 1-2 pada lumen gaster dan 6-7 pada permukaan sel epitel.2
Bikarbonat dihasilkan oleh sel epitel permukaan melalui stimulasi dari
prostaglandin, pakreas dan juga garam empedu. Bikarbonat juga berperan dalam
menetralisir asam pada makanan sebelum menuju duodenum karena proses di
duodenum membutuhkan suasana pH netral. Adapun reaksi bikarbonat adalah
sebagai berikut11:
HCO3 + H+ → CO2 + H2O

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 6


2.3.2 Pertahanan Mukosa
Mukosa memberikan pertahanan antara lain produksi mucus, transport ion
untuk menjaga pH intraselular, produksi bikarbonat, dan tight junction intraselular.
Ketika system pertahanan preepitel rusak, sel-sel epitel yang berbatasan dengan
daerah cidera akan bermigrasi dan mengganti sel daerah yang rusak. Proses ini
diikuti dengan pembelahan sel yang membutuhkan suasana pH basa, pembuluh
darah yang tidak terganggu serta melibatkan beberapa factor pertumbuhan (EGF,
TGF, FGF) guna memodulasi proses resusitasi. Untuk kerusakan dengan ukuran
yang lebih besar, dibutuhkan proses proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel.
Proses ini dimodulasi oleh prostaglandin dan factor pertumbuhan EGF, TGF.
Proses ini juga diikuti dengan proses angiogenesis dengan factor pertumbuhan
VEGF.2,10,11

2.3.3 Pertahanan Submukosa


Sistem mikrovaskular pada lapisan submukosa merupakan komponen
kunci dari pertahanan subepitel. Mikrovaskular memberikan suplai karbonat yang
menetralkan H+ dari sel parietal, menyediakan nutrisi dan oksigen serta
mengeluarkan metabolik berbahaya.11
Sistem pertahanan gastroduodenal yang kompleks di atas, diringkas secara
skematis pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Pertahanan Mukosa Gastroduodenal10

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 7


2.4 Etiologi Dan Faktor Resiko
Etiologi ulkus peptikum adalah rusaknya mukosa traktus gastrointestinal,
umumnya lambung dan duodenum proksimal. Kerusakan ini dipengaruhi beberapa
faktor risiko seperti infeksi Helicobacter pylori, konsumsi nonsteroidal
antiinflammatory drugs (NSAID), stres, merokok, dan konsumsi alkohol
kronik.11,12
Sebuah tinjauan sistematik melaporkan faktor risiko yang berkaitan
dengan munculnya ulkus peptikum, rekurensinya, dan mortalitasnya. Faktor risiko
yang berkaitan dengan munculnya ulkus peptikum di antaranya13 :
• Infeksi pylori
• Obat : NSAID, aspirin
• Jenis kelamin laki-laki
• Pertambahan usia
• Adanya komorbiditas : gangguan cemas menyeluruh, schizophrenia,
penyakit paru obstruktif kronis
• Alkoholisme kronik
• Merokok

Faktor risiko yang berkaitan dengan munculnya rekurensi ulkus peptikum


di antaranya13:
• Pertambahan usia
• Obat : NSAID, aspirin, antikoagulan, imunosupresan, kortikosteroid (misal
: prednison)
• Infeksi pylori
• Ukuran ulkus > 1 cm
• Kelas Forrest I (ulkus peptikum dengan perdarahan aktif), dan II (ulkus
peptikum dengan riwayat perdarahan dalam waktu dekat)
• Sindrom Zollinger-Ellison

Faktor risiko yang berkaitan dengan mortalitas ulkus peptikum di


antaranya13:
• Pertambahan usia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 8


• Komorbiditas
• Penggunaan steroid
• Keadaan klinis : syok, kadar Hb rendah saat masuk rumah sakit, tekanan
darah rendah, keterlambatan penanganan
• Kelas Forrest I-II
• Rekurensi komplikasi

2.5 Patogenesis
Ulkus peptikum terjadi akibat ketidakseimbangan faktor agresif dan factor
defensif yang mengakibatkan rusaknya pertahanan mukosa gastroduodenum.
2.5.1 Faktor-faktor agresif:
2.5.1.1 Helicobacter pylori
H. Pylori merupakan bakteri gram negatif yang dapat hidup dalam suasana
asam dalam lambung/duodenum (antrum, korpu, bulbus), dengan ukuran panjang
sekitar 3 um dan diameter 0,5 um, mempunyai satu atau lebih flagel pada salah satu
ujungnya. Bakteri ini ditularkan secara feko-oral atau oral-oral. Bakteri ini berada
pada lapisan mukus pada permukaan epitel yang sewaktu-waktu dapat menembus
sel-sel epitel/antar epitel. Bila terjadi infeksi HP, maka bakteri ini akan melekat
pada permukaan epitel dengan bantuan adhesin dan melepas sitotoksin yang secara
langsung dapat merusak mukosa gastroduodenum, misalnya vacuolating cytotoxin
(Vac A gen) yang menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel dan sejumlah enzim yang
dapat merusak sel-sel epitel, seperti urease, protease, lipase, dan fosfalipase.3
H. pylori menyebabkan respons radang pada mukosa, dengan stimulasi
sitokin, terutama interleukin 8 dan IL 1β. Masuknya neutrofil dan makrofag ke
dalam mukosa lambung dengan pelepasan enzim lisosom, leukotrien dan spesies
oksigen reaktif menghambat pertahanan mukosa lambung dan merangsang proses
pembentukan ulkus. H. pylori juga menghasilkan amonia untuk melindungi
organisme dari lingkungan lambung yang sangat asam. Produksi amoniak alkali
oleh bakteri pada epitel permukaan dan di kelenjar antrum menghambat sel D di
kelenjar untuk merasakan tingkat keasaman yang sebenarnya yang menyebabkan
pelepasan somatostatin dan hipergastrinemia yang tidak tepat. Urease
mengkatalisasi produksi amoniak, ketika dalam konsentrasi besar menyebabkan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 9


pembentukan kompleks beracun seperti amonium klorida yang bersama dengan
bakteri fosfolipase A dan C merusak lapisan kaya fosfolipid dalam mukosa yang
mempertahankan hidrasi mukosa dan integritas penghalang epitel lambung. Akan
terjadi peningkatan asam lambung akibat kerusakan sel D dan kemudian akan
masuk ke dalam duodenum sehingga keasaman meningkat menyebabkan
duodenitis yang dapat berlanjut menjadi ulkus duodenum. 14

2.5.1.2 Obat Anti Inflamasi non-steroid (OAINS)


Ulkus yang disebabkan oleh OAINS dengan cara iritasi bahan kimia
langsung atau bisa juga melalui inhibisi cyclooksigenase. Inhibisi cyclooksigenase
menghasilkan dua efek toksik yang signifikan, yaitu pengurangan dalam
pembentukan prostaglandin dan meningkatkan pembentukan leukotrien.
Prostaglandin meningkatkan sekresi bikarbonatdan sebagai vasodilator yang
berfungsi sebagai pelindung mukosa. Sedangkang leukotrien merupakan
vasokonstriktor. Akibat dari penurunan prostaglandin dan peningkatan leukotrien
menyebabkan aliran darah ke mukosa menurun yang menyebabkan hipoksia
sehingga rentan terhadap kerusakan.15

2.5.1.3 Faktor lingkungan lain dan penyakit lain9:


• Merokok : meningkatkan kerentanan terhadap infeksi H.pylori dengan
menurunkan faktor pertahanan dan menciptakan miliu yang sesuai untuk
H.pylori. Selain itu merokok juga menyebabkan peningkatan peningkatan
saraf pada kelenjar penyekresi di lambung.
• Alkohol , karena kecenderungan alkohol dalam merusak sawar mukosa.
• Faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin, dan
faktor genetik.
• Beberapa penyakit tertentu yang menyebabkan prevalensi ulkus duodenum
meningkat seperti sindrom Zollinger Elison (sekresi berlebihan gastrin oleh
tumor sehingga terjadi peningkatan berlebihan produksi asam lambung),
mastositosis sistemik, dan penyakit Crohn.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 10


2.5.2 Faktor-faktor Defensif3:
Ada 3 faktor pertahan yang berfungsi memelihara daya tahan mukosa
gastrodudenal, yaitu :
2.5.2.1 Faktor preepitel, terdiri dari :
• Mukus dan bikarbonat yang berguna untuk menahan pengaruh asam
lambung/pepsin
• Mucoid cap, yaitu suatu struktur yang terdiri dari mukus dan fibrin, yang
terbentuk sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi.
• Active surface phospholipid yang berperan untuk meningkatkan
hidrofobisitas membran sel dan meningkatkan viskositas mukus.

2.5.2.2 Faktor epitel


• Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, sehingga terjadi migrasi sel-sel
yang sehat ke daerah yang rusak untuk perbaikan.
• Kemampuan transporter asam-basa untuk mengangkut lapisan bikarbonat
ke dalam lapisan mukus dan jaringan supepitel
• Faktor pertumbuhan, prostaglandin dan nitrit oksida

2.5.2.3 Faktor subepitel


• Aliran darah, yang bertugas mengangkut nutrisi, oksigen, dan bikarbonat ke
epitel sel
• Prostaglandin endogen juga menekan perlekatan dan ekstravasasi leukosit
• yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.

2.6 Manifestasi Klinis


Secara umum penderita ulkus peptikum yang memiliki keluhan utama
mengeluh nyeri ulu hati yang berhubungan dengan dispepsia.16 Dispepsia secara
klinis terbagi atas empat. Yakni dispepsia karena gangguan motilitas, dispepsia
karena ulkus, dispepsia karena asam lambung naik ke esofagus, dan unspesific
dispepsia.1
Penderita dengan penyakit ulkus gaster memiliki keluhan seperti
epigastrium, rasa tidak nyaman disertai muntah. Pada ulkus duodeni rasa nyeri

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 11


seperti terbakar, nyeri rasa lapar, tidak nyaman yang mengganggu dan tidak
terlokalisir setelah 90 menit sampai 3 jam post prandial, nyeri nokturnal, dan rasa
sakit hilang setelah makan dan minum obat penetral asam lambung seprti
antasida.17 Sedangkan ulkus gaster memiliki klinis spesifik berupa nyeri yang
timbul setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah
makan.18 Rasa sakit ulkus gaster sebelah kiri, sedangkan ulkus duodeni rasa
sakitnya sebelah kanan garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada suatu titik lalu
menjalar ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan oleh penyakit yang bertambah
berat atau mengalami komplikasi seperti penetrasi tukak keorgan pangkreas. 1
Sekitar sepuluh persen dari tukak peptikum, khusunya yang disebabkan
oleh OAINS menimbulkan komplikasi berupa perdarahan tanpa adanya keluhan
nyeri sebelumnya. Tinja bewarna seperti ter (melena) harus diwaspadai sebagai
suatu perdarahan tukak. Terdapat beberapa tanda peringatan antara lain berupa3:
• Umur >45-50 tahun keluhan muncul pertama kali
• Adanya perdarahan hematemesis/melena
• BB menurun >10%
• Anoreksia/rasa cepat kenyang
• Riwayat tukak peptik sebelumnya
• Muntah yang persisten
• Anemia yang tidak diketahui penyebabnya

2.7 Pemeriksaan Fisik


Jika ulkus yang tidak disertai dengan komplikasi bisa terlihat normal.
Beberapa temuan pemeriksaan fisik yang dapat dijumpai pada tukak peptik tanpa
komplikasi adalah nyeri epigastrik pada saat dilakukan palpasi. 17 Jika mengalami
perforasi dapat menyebabkan isi lambung keluar ke rongga perut. Perforasi dapat
menyebabkan peritonitis akut dengan nyeri perut dengan onset mendadak dan
kekakuan pada dinding perut.19

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Jika penderita berumur besar dari 55 tahun dengan mempunyai gejala
alarm (anemia, hematemesis, melena, muntah yang kemungkinan disebabkan oleh

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 12


obstruksi, penurunan berat badan yang dicurigai kanker, nyeri perut bagian meetap
hingga ke punggung dicurigai telah mengalami perforasi) sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penunjang.1 Pemeriksaan radiologi dengan barium meal kontras ganda
dapat digunaklan dalam menegakkan diagnosis ulkus peptik, namun sekarang gold
standar dengan pemeriksaan endoskopi yaitu esofagogastroduodenoskopi (EGD).
Pada pemeriksaan EGD ulkus akut akan terlihat memerah, nekrosis, jaringan
granulasi dengan dasar tertutupi darah beku. sedangkan ulkus kronis terlihat
jaringan granulasi dengan jaringan fibrosis yang mendasarinya. 20 Melalui
endoskopi juga dapat memastikan diagnosa keganasan tukak peptik harus
digunakan pemeriksaan histopatologi, sitologi brushing jika penderita berumur
kecil dari 55 tahun tanpa gejala alarm maka harus dilakukan pemeriksaan ELISA
untuk mengkonfirmasi terinfeksi H.pilori.18

2.9 Klasifikasi Ulkus Peptikum


Ulkus peptikum dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa klasifikasi,
yaitu klasifikasi Forrest, klasifikasi berdasarkan lokasi ulkus dan klasifikasi
berdasarkan kedalaman ulkus. Table 2.1 menjelaskan klasifikasi ulkus menurut
klasifikasi Forrest. Pada klasifikasi ini derajat ulkus ibagi menjadi enam macam.
Pada gambar 2.4 diperlihatkan bentuk ulkus berdasarkan klasifikasi forrest.
Tabel 2.1 Klasifikasi ulkus menurut klasifikasi forrest 21
Derajat Ulkus
Ia ulkus gdengan perdarahan aktif memancar
Ib ulkus dengan perdarahan merembes
IIa ulkus dengan pembuluh darah visibel tidak berdarah
IIb ulkus dengan bekuan adheren
IIc ulkus dengan bitnik pigmentasi
III ulkus dengan dasar bersih

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 13


Gambar 2.4 Klasifikasi ulkus berdasarkan klasifikasi forrest.22

Berdasarkan kedalaman ulkus, ulkus dapat dibagi menjadi empat. Gambar


2.5 menampilkan derajat ulkus peptikum berdasarkan kedalaman ulkus, yaitu
derajat I ulkus hingga mukosa, derajat II ulkus hingga Submukosa, derajat II ulkus
hingga lapisan Muskularis, dan derajat IV ulkus hingga lapisan serosa.23

Gambar 2.5 Klasifikasi ulkus peptikum berdasarkan kedalaman ulkus.23

2.10 Diagnosis
Diagnosis diawali dengan penderita datang dengan dengan gejala nyeri ulu
hati, rasa seperti terbakar, mual, muntah, penurunan berat badan dan nyeri perut

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 14


setelah makan. Penderita usia lanjut seringkali tidak memiliki gejala. Gejala alarm
termasuk adalah pendarahan gastro intestinal, penurunan berat badan, rasa kenyang
dini, disfagia atau odynophagia, riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian
atas, anemia defisiensi besi. Untuk menegakkan diagnosis direkomendasikan
dengan pemeriksaan menggunakan endoskopi yaitu Esophagogastroduodenoscopy
(EGD).1,3 Ulkus gaster memiliki diagnosis banding seperti dispepsia fungsional,
Gerd, penyakit vascular, penyakit crohn’s.1 Sedangkan ulkus duodeni memiliki
diagnosis banding berupa dyspepsia non ulkus, tukak lambung, penyakit
pankreatobilier, penyakit chron’s, dan tumor saluran cerna bagian atas.17

2.11 Tatalaksana
2.11.1 Non farmakologi
Ada beberapa tatalaksana non farmakologi yang perlu dilakukan, seperti
menghindari stres, kurangi merokok, kurangi penggunaan OAINS dan juga aspirin.
Jika tidak bisa menghentikan OAINS maka mulailah menurunkan dosis atau pakai
obat yang faktor agresif terhadap mukosa lambung lebih rendah atau dapat
menggunakan asetaminofen, non asetil salisilat seperti salsalat. Untuk pola makan
sebaiknya kurangi makanan pedas, mengkonsumsi kafein dan minum alkohol.7

2.11.2 Farmakologi
Tatalaksana farmakologi untuk penyakit ulkus peptikum terdiri dari
pengobatan menyembuhkan ulkus dan membasmi H.Pylori. Pengobatan untuk
menyembuhkan ulkus terdiri dari dua yaitu obat yang mengurangi produksi asam
di dalam lambung dan obat berfungsi sebagai meningkatkan perlindungan
mukosa.25 Obat yang mengurangi keasaman dalam lambung terdapat beberapa
pilihan, yaitu antasid, antagonis reseptor H2, dan inhibitor pompa proton.
Sedangkan jenis obat yang berfungsi sebagai pelindung mukosa lambung adalah
sukralfat, analog prostaglandin dan senyawa bismut. 25

1. Antasid
Anatasid merupakan basa lemah yang bereaksi dengan HCl membentuk
garam dan air. Mekanisme kerja utamanya adalah mengurangi keasaman lambung.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 15


Sediaan nya berupa natrium bikarbonat dan magnesium hidroksida. Satu dosis
antasid diberikan 1 jam setelah makan efektif menetralkan asam lambung hingga 2
jam. Antasida merupakan obat satu-satunya untuk tukak peptik. Dosis dapat
diberika 3x1 tablet atau 4x30cc. Preparat yang mengandung magnesium dapat
menyebabkan BAB/tidak beraturan/loose, tidak dianjurkan pada gagal ginjal
karena menimbulkan hypermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan
alumunium menyebabkan konstipasi dan neurotoksik tapi bila kedua komponen
dikombinasikan maka akan menghilangkan efek samping berupa diare ataupun
konstipasi. 1,25

2. Antagonis reseptor H2/ARH2


Jenis obat selanjutnya adalah antagonis reseptor H2, obat ini
dimetabolisme di hati yang bioavaibilitasnya berkurang 50%. Waktu paruh obat ini
antara 1,1 sampai 4 jam. Obat ini di sekresikan di ginjal. Cara kerja obat ini yaitu
inhibisi kompetitif di reseptor H2 sel parietal dan menekan sekresi asam basal.
Antagonis reseptor H2 mengurangi pengeluaran asam yang diransang oleh histamin
dan gastrin. Jenis obat ini efektif untuk ulkus peptikum jika dimakan pada malam
hari karena efeknya bisa mencapai 6-10 jam.1,25
Dosis terapeutik1:
• Simetidin: dosis 2 x 400 mg atau 800 gr malam hari
• Ranitidin: 300 mg malam hari
• Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari
• Famotidin : 1 x 40 mg malam hari
• Roksatidin : 2 x 75 mg atau 150 mg malam hari

3. Proton pump inhibito/PPI


Jenis obat selanjutnya adalah inhibitor pompa proton. Obat ini merupakan basa
lemah lipofilik yang akan di serap di usus yang akan berdifusi menembus membran
lemak untuk masuk ke kompartemen yang asam di kanalikulus sel parietal
menginaktifkan enzim H+/K+-ATPase. Obat ini efektif untuk ulkus gaster.25
Dosis:1
• Omeprazo 2x20 mg/standard dosis atau 1 x 40 mg/double dose

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 16


• Lansoprazol/Pantoprazol 2 x 40mg/standard dosis atau 1 x 60 mg/double dose

4. Obat pelinding mukosa1


a. Koloid bismuth
Mekanisme kerja belum jelas kemungkinan membentuk lapisan penangkal
Bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap pengaruh
asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG,
bikarbonat, mukus. Dosis berupa 2x2 tablet sehari.

b. Sukralfat
Mekanisme kemungkinan melalui pelepasan kutub alumunium hidroksida
yang berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan
fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh asam
dan pepsin. Dosis berupa 4x1gr perhari.

c. Prostagladin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi
mukus., bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
pertahanan dan perbaikan mukosa. Dosis 4x200 mg atau 2x400mg pagi dan
malam hari.

5. Pada infeksi H. Pylori


HP pada tukak peptic dianjurkan untuk dieradikasi, tidak tergantung
apakah episode pertama atau tidak, keparahan keluhan, terdapatnya faktor pemberat
seperti OAINS atau sedang masa remisi tukak. Tujuan pengobatan adalah
menyembuhkan ulkus dan membasmi organisme. Rejimen pengobatannya selama
14 hari terdiri dari kombinasi dari PPI dan 2 antibiotik atau disebut sebagai terapi
tripel yaitu PPI 2 kali sehari, Klaritomisin 500 mg dua kali sehari dan amoksisilin
1 gram dua kali sehari atau metronidazol 500 mg dua kali sehari. Setelah itu
dilanjutkan PPI sekali sehari selama 10 minggu untuk menjamin selesainya
penyembuhan ulkus.1,25

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 17


2.11.3 Bedah
Pembedahan dilakukan pada penderita yang memiliki kriteria diantaranya
penderita yang tidak bisa ditatalaksana dengan farmakologi, penderita yang tidak
bisa menghentikan penggunaan OAINS ataupun steroid, dan penderita yang
memiliki ulkus yang sangat besar. Operasi juga diindikasikan kepada penderita
yang tidak sembuh selama 12 minggu perawatan atau penderita yang mengalami
kekambuhan ataupun yang mempunyai banyak pengobatan.18,26

2.12 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ulkus
peptikum adalah perdarahan ulkus, perforasi ulkus, penetrasi ulkus dan obstruksi
saluran keluar lambung.26,27 Jumlah penderita ulkus yang mengalami perdarahan
sekitar 10%, angka kematian penderita ulkus dengan perforasi mencapai 50%, dan
jumlah kematian akibat ulkus gaster di Amerika mencapai 3000 hingga 4500
pertahunnya.26 Faktor risiko perdarahan ini adalah usia diatas 65 tahun, penggunaan
alkohol, riwayat konsumsi OAINS. Penderita sering datang dengan bukti langsung
perdarahan berupa hematemesis, melena, maupun keduanya. Diantara komplikasi
ini, perdarahan merupakan insiden paling banyak meningkat dibandingkan
perforasi dan obstruksi berupa stenosis.20
Penderita ulkus gaster yang mengalami perdarahan lebih sering pada ulkus
yang disebabkan oleh OAINS dari pada H.pylori. Jika penyebab ulkus gaster
disebabkan oleh penggunaan OAINS atau aspirin ditambah dengan positif H.pylori
maka risiko terjadinya perdaharan ulang lebih besar daripada hanya karena OAINS
atau aspirin saja.28 Namun risiko perdarahan berkurang jika pengobatan
dikombinasikan antara infeksi H.pylori dan terapi PPI jangka panjang. Terjadinya
perdarahan ketika ulkus di mukosa lambung mengikis pembuluh darah. Hal ini
dapat diamati dari tinja yang berwarna hitam dan lengket atau disebut melena.16
Komplikasi ulkus peptikum selain perdarahan adalah perforasi. perforasi
yaitu berlobangnya dinding lambung yang dapat menyebabkan keluarnya material
lambung ke rongga perut. Klinisnya berupa nyeri hebat di bagian perut. Jika nyeri
hebat, nyeri tekan perut, perut diam tanpa terdengar peristaltik merupakan perforasi
yang telah mengalami peritonitis. Selain perforasi juga bisa menyebabkan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 18


pembengkakan dan jaringan parut disebabkan oleh bisul perut membuat
penyumbatan hebat di pilorus gaster. Klinismya dapat berupa muntah parah dan
berdarah atau disebut juga hematemesis.29

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 19


BAB 3
KESIMPULAN

1. Ulkus gaster dan duoenum merupakan daerah lokal erosi pada lapisan lambung
dan duodenum sehingga timbul nyeri perut, perdarahan mungkin, dan gejala
gastrointestinal lainnya. Penyebab paling umum dari ulkus lambung adalah
yang berhubungan dengan bakteri Helicobacter pylori (H. pylori).
2. Faktor etiologi terjadinya ulkus gaster dan duodenum, yaitu infeksi
Helicobacter pylori, penggunaan NSAID, merokok, dan kebiasaan makanan.
3. Penegakkan diagnosis ulkus gaster dan duodenum dapat ditegakkan melalui
anamnesis mengenai gambaran klinis ulkus peptikum, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa endoskopi.
4. Pentalaksanaan ulkus gaster dan duodenum meliputi terapi
nonmedikamentosa, medikamentosa, dan operatif. Pengobatan ulkus gaster
dan duodenum didasarkan berdasarkan etiologi dari ulkus gaster.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 20


DAFTAR PUSTAKA

1. Tarigan P. Tukak Gaster. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,


Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta: Interna Publising; 2014. p1783-93.
2. Valle JD. Acid Peptic Disorder. In: Anthony S, Fauci J, Larry J, Dennis K,
Stephen H, Joseph L, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th
ed. New York: McGraw-Hill. 2008. p716-22.
3. Akil HAM. Tukak Duodenum. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. p1794-98.
4. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
edition. Asia: John Wiley & Sons; 2009. p921-50.
5. Lee SP, Sung I-K, Kim JH, Lee S-Y, Park HS, Shim CS. Risk factors for the
presence of symptoms in peptic ulcer disease. Clin Endosc. 2017;50(6):578–
84.
6. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku ajar patologi robbins. 9th ed. Nasar M,
Cornain S, editors. Elsevier. Singapura: Elsevier; 2013. p556–61.
7. Dasari ST, Qadrie Z. Peptic Ulcer Desesase: An Overview. Intern Med.
2018;12(1):9–26.
8. Anthony L, Mecher. Histologi Dasar Janqueira Teks dan Atlas. 14th ed. Jakarta:
EGC;2007. p196-7.
9. Guyton AC, Hall JE. In: Gruliow R, Stingelin L, editors. Guyton and Hall
textbook of medical physiology. 12th ed. New York: Elsevier;2012. p208–12
10. Stefan S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme; 2000. p142-7
11. Mustafa M, Menon J, Muiandy RK, et al. Risk factor, diagnosis, and
management of peptic ulcer disease. IOSR J of Dental and Med Sci.
2015;14(7): 40-6.
12. Levenstein S, Rosenstock S, Jacobsen RK, Jorgensen T. Psychological stress
increases risk for peptic ulcer regardless of Helicobacter pylori infection or use
of NSAID. Clin Gastroenterol Hepatol. 2014;9(2):1–7.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 21


13. Lau JY, Sung J, Hill C, et al. Systematic Review of the Epidemiology of
Complicated Peptic Ulcer Disease: Incidence, Recurrence, Risk Factors and
Mortality. Digestion. 2011;84(2):102–13.
14. Prabhu V, Shivani A. An overview of history, pathogenesis and treatment of
perforated peptic ulcer disease with evaluation of prognostic scoring in adults.
Ann Med Health Sci Res. 2014;4(1):22.
15. Bertram TA, Ludlow JW, Basu J, Muthupalani S. Digestive Tract. In: Haschek
WM, Rousseaux C, Wallig M, Bolon B, Ochoa R, Mahler BW, editors.
Haschek and Rousseaux’s Handbook of Toxicologic Pathology. 3rd ed.
London: Elsevier; 2013. p2345–7.
16. Kavitt RT, Lipowska AM, Anyane A, Gralnek IM. Diagnosis and treatment of
peptic ulcer disease. Am J Med. 2019 Apr;132(4):447–56.
17. Kirsch JM, Hirsch-Reilly C. Peptic ulcer disease. In: Acute Care General
Surgery. Germany: Springer International Publishing; 2017. p1449–57.
18. Ramakrishnan K, Salinas R. Peptic ulcer disease. In: Modern concepts in
gastroenterology. Boston: Springer US; 2007. p1005–11.
19. Brown D, Alvarado JAC. Sepsis (Septic), Peritonitis. In: StatPearls. StatPearls
Publishing; 2018.
20. West AB, Mitchell KA. Vascular Disorders of the GI Tract. In: Odze R,
Goldblum J, editors. Surgical pathology of the GI tract, liver, biliary tract and
pancreas. 2nd ed. Philadelphia: Saunders; 2009. p186–93.
21. The Indonesian Society of Gastroenterology. National Consensus on
management of non-variceal gastrointestinal tract bleeding in Indonesia. Acta
Medica Indonesianan. 2014;46(2);163-71.
22. Van Rensburg C, Marais M. Management of acute gastric ulcer bleeding. In:
Chai J, editor. South African Gastroenterology Review. Croatia: InTech; 2012.
p9–17.
23. Price S, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis prosesproses penyakit, edisi 6.
6th ed. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Asih D, editors. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran; 2006. p423–33.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 22


24. Xie Y, Kang R, Tang D. The Flavone Baicalein and Its Use in Gastrointestinal
Disease. In: Dietary Interventions in Liver Disease. New York: Elsevier; 2019.
p146.
25. Mcquaid KR. Obat yang digunakan dalam terapi penyakit saluran cerna. In:
Soeharso R, Heriyanto P, Iskandar M, Octavius H, editors. Farmakologi dasar
& klinik. 12th ed. Jakarta: McGraw-Hill Medical; 2012. p1227–36.
26. Gurusamy KS, Pallari E. Medical versus surgical treatment for refractory or
recurrent peptic ulcer. Cochrane Libr. 2016;(3):5–19.
27. Eisner F, Hermann Di, Bajaeifer K, Glatzle J, Königsrainer A, Küper MA.
Gastric ulcer complications after the introduction of proton pump inhibitors
into clinical routine: 20-year experience. Visc Med. 2017;33(3):221–6.
28. Sostres C, Carrera P, Benito R, Roncales P, Arruebo M, Arroyo MT, et al.
Peptic ulcer bleeding risk. The role of helicobacter pylori iInfection in
NSAID/low-dose aspirin users. Am J Gastroenterol. 2015 May;110(5):684–9.
29. Milosavljevic T, Kostić-Milosavljević M, Jovanović I, Krstić M.
Complications of peptic ulcer disease. Dig Dis. 2011;29(5):491–3.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 23

Anda mungkin juga menyukai