Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya mikroba patogen seperti bakteri,
virus, jamur maupun parasit. Penyakit infeksi dianggap sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan
(mordibity) dan angka kematian (mortality) pada negara berkembang seperti Indonesia.1 Salah satu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi yaitu penyakit hepatitis. Hepatitis merupakan penyakit infeksi pada hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis. A, B, C, D atau E berifat akut maupun kronik. Hepatitis termasuk dalam golongan penyakit
infeksi menular, yang penyebarannya dapat melalui makanan, air atau cairan tubuh.2

Penyakit infeksi hepatitis menurut World Health Organization (WHO) 2017 menempati urutan ketujuh
penyakit penyebab kematian di seluruh dunia. Hal ini mengalami peningkatan dari tahun 1990 – 2013. Pada tahun
2015, dilaporkan bahwa 90% pasien hepatitis terdiagnosa hepatitis B dan C kronik sisanya terdiagnosa hepatitis A
atau E akut didunia.3

Berdasarkan data WHO 2017, Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki tingkat endemisitas
intermediate terhadap penyakit hepatitis di wilayah Asia Tenggara. Prevalensi ditemukannya HBsAg untuk negara
dengan tingkat tersebut adalah berkisar 2–7 %. Angka komplikasi yang ditimbulkan oleh infeksi hepatitis juga cukup
tinggi. Data WHO 2017 menjelaskan bahwa angka kejadian hepatitis di daerah Asia Tenggara pada tahun 2015 yang
menyebabkan kematian berupa hepatitis akut yang mencapai 22%, sedangkan hepatitis kronik mencapai 78% dengan
komplikasi sirosis yang ditimbulkan hampir mencapai 83% dan kanker hati 17%.4 Pada tahun 2013, riset kesehatan
dasar (Riskesdas) telah melakukan pendataan terbaru mengenai angka kejadian hepatitis di Indonesia dan
didapatkan prevalensi hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hepatitis virus akut adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang mengenai hati. Hepatitis virus akut dapat
disebabkan oleh satu dari lima jenis virus hepatitis yaitu virus hepatitis A (HAC), virus hepatitis B (HBV), virus
hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), atau virus hepatitis E (HEV). Berbeda dengan hepatitis virus akut,
hepatitis kronik memiliki pengertian yaitu serangkaian gangguan hati dengan penyebab dan derajat keparahan
beragam yang disertai keadaan adanya peradangan serta terjadinya nekrosis hati berlanjut selama minimal 6 bulan.5

2.2 Prevalensi

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2015 penyakit virus hepatitis
menyebabkan terjadinya kematian pada 1,34 juta orang didunia. Diperkirakan pada tahun 2017, terdapat 325 juta
orang didunia yang terdiagnosa dengan penyakit hepatitis B kronik maupun hepatitis C kronik. Hasil data riskesdas
Indonesia tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi penyakit hepatitis didapatkan sebanyak 1,2%. Hasil ini
dinyatakan meningkat dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007. Lima provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku
(2,3%). Provinsi Nusa Tenggara Timur masih menjadi provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi di Indonesia
sejak tahun 2007.2

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi hepatitis dapat terbagi berdasarkan lama penyakit berupa akut atau kronik, yaitu:5

a. Akut

Kasus hepatitis virus umumnya disebabkan satu dari lima jenis virus, yaitu virus hepatitis A (HAV), virus
hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV).

o Virus hepatitis A

Virus hepatitis A termasuk virus RNA tidak berselubung, memiliki ukuran 27 – 32 nm, resisten panas, asam,
dan eter yang berasal dari genus hepatovirus famili picornavirus. Virus ini menular melalui jalur fekal – oral
terutama minuman dan makanan yang terkontaminasi. Virus ini sangat stabil pada lingkungan dengan suhu 60°C
selama 60 menit, namun dapat menjadi tidak aktif pada suhu 81°C selama 1 menit. Cara inaktivasi lainnya yaitu
kontak dengan formaldehida dan klorin atau radiasi ultraviolet. Virus hepatitis A resisten terhadap detergen dan
pH rendah, sehingga virus ini dapat berpenetrasi ke saluran pencernaan mukosa lambung.5,6

Virus ini memiliki masa tunas sekitar empat minggu dan replikasinya terbatas pada hati, namun dapat
ditemukan pada hati, darah, empedu dan juga tinja. Antibodi terhadap HAV (anti-HAV) dapat terdeteksi selama
fase akut, ketika aktivitas aminotransferase meningkat dan pengeluaran HAV melalui tinja masih berlangsung.
Respon antibodi tubuh awal berasal dari IgM anti - HAV menetap selama beberapa bulan dan pada masa
konvalesens IgG anti – HAV menjadi antibodi predominan. Hal inilah yang menjadi dasar penilaian penyakit
dalam masa akut bila ditemukan adanya IgM anti – HAV. Keberadaan Ig-G anti – HAV sebagai perlindungan
terhadap infeksi HAV berulang.5,6
o Virus hepatitis B

Virus hepatitis B termasuk dalam virus dengan jenis DNA dengan ukuran yang sangat kecil sekitar 3200
bp dan termasuk golongan Hepadnaviridae. HBV memiliki beberapa bentuk partikel virion masing – masing
ukuran partikel tersebut berbeda – beda. Partikel yang memiliki ukuran 22 nm berbentuk bulat atau filament
panjang, partikel ini yang paling banyak ditemukan dan tidak dapat dibedakan dengan protein selubung luarnya.
Partikel lainnya berukuran besar kurang lebih 42 nm dengan dinding rangkap, berbentuk tubulus berupa virion
utuh. Pada selubung permukaan luar virion yang berbentuk tubulus biasa ditemukan antigen permukaan hepatitis
B atau HBsAg. Partikel berukuran 42 nm juga memiliki inti nukleokapsid yang disandi oleh gen C. Antigen yang
diekspreskan di permukaan inti nukleokapsid disebut antigen inti hepatitis B atau Hepatitis B core antigen
(HBcAg). Suatu protein nukleokapsid non partikel yang larut dan juga merupakan produk gen C adalah antigen
e hepatitis B atau HBeAg, namun secara imunologis HBeAg berbeda dengan HBcAg.5,6

o Virus Hepatitis C

Virus hepatitis C sebelumnya dinamai dengan hepatitis non – A non – B. Virus ini termasuk RNA linier
dengan rantai tunggal yang berasal dari genom flavivirus dan pestivirus, genus Hepacivirus dalam family
Flaviviridae. RNA - HCV dapat terdeteksi sebelum kemunculan anti – HCV beberapa hari setelah terpajan dan
selama berlangsung pajanan, namun pada infeksi kronis RNA - HCV terkadang hanya terdeteksi secara
intermiten. Transmisi virus ini umumnya melalui darah seperti pada kegiatan transfuse.5,6

o Virus Hepatitis D

Virus Hepatitis D merupakan virus golongan RNA yang fungsinya bergantung pada bantuan yang
disediakan oleh virus hepatitis B dalam replikasinya. HDV dapat menginfeksi seseorang bersamaan dengan HBV
(ko-infeksi) atau menginfeksi seseorang yang sudah terinfeksi HBV (superinfeksi). Pada saat infeksi HDV akut,
penanda yang mendominasi adalah anti – HDV kelas IgM.5

o Virus Hepatitis E

Virus Hepatitis E termasuk dalam golongan Hepaviridae. Virus RNA ini berbentuk sferis, tidak memiliki
selubung, memiliki diameter 27-34 nm dan memiliki bentuk simetri iksohedral. Virus ini stabil terhadap keadaan
lingkungan dan bahan kimia, namun bila dibandingkan virus hepatitis A virus ini tidak lebih stabil. Infeksi virus
hepatitis E dapat ditularkan melalui empat jalur yaitu melalui air, makanan seperti konsumsi daging merah yang
kurang matang, transmisi melalui darah atau parenteral serta melalui transmisi vertikal antara ibu dengan janin.
Virus ini dapat terdeteksi di tinja, empedu dan hati. Penanda IgM anti – HEV dan IgG anti – HEV dapat dideteksi
namun keduanya cepat turun setelah infeksi akut dan mencapai kadar rendah dalam 9 – 12 bulan.5,6

b. Kronik

Hepatitis virus kronik biasa terjadi pada pasien dengan hepatitis B dan C yang menjadi kronik serta pasien
hepatitis D yang superimpose dengan hepatitis B kronik.7

o Hepatitis B kronik

Pada pasien hepatitis B kronik, gambaran histologik memiliki makna terhadap prognostik. Selain
gambaran histologik, derajat replikasi HBV juga perlu diperhatikan. Pada infeksi kronik, dapat ditemukan
hepatitis B e serum (HBeAg) baik yang reaktif maupun non-reaktif. Tingkat DNA - HBV juga memiliki
keterkaitan dengan cedera hati dan resiko perkembangan penyakit.
o Hepatitis C kronik

Hepatitis C kronik terjadi pada 50 – 70% setelah infeksi hepatitis C akut. Pada beberapa negara maju,
infeksi HCV kronik menjadi indikasi utama dilakukannya transplantasi hati.

o Hepatitis D kronik

Penyakit ini dapat terjadi setelah masa ko-infeksi dengan HBV, namun angka kejadiannya tidak lebih
tinggi dibanding kronisitas hepatitis B akut. Hal ini berarti meskipun ko – infeksi HDV dapat meningkatkan
keparahan hepatitis B akut, namun HDV tidak meningkatkan kemungkinan perkembangan menuju hepatitis B
kronik.

2.4 Manifestasi klinis


Hepatitis virus akut akan terjadi setelah masa tunas yang bervariasi sesuai dengan virus
penyebab. Gejala pada pasien hepatitis terbagi atas 3 fase yaitu fase pre – ikterik, fase ikterik dan
fase perbaikan / konvalesens. Hampir semua fase antar virus sama gejalanya, namun ada beberapa
ciri khas antar jenis infeksi7,9 .

• Fase pre-ikterik

Fase ini terjadi 1 – 2 minggu sebelum fase ikterik. Biasa ditemukan gejala kontituasional seperti
mual, muntah, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis atau dapat juga batuk. Perubahan
warna urin menja di lebih gelap dan feses menjadi lebih pucat / dempul biasa ditemukan 1 – 5 hari
sebelum fase ikterik. Pada infeksi hepatitis B juga biasa disertai dengan demam yang tidak terlalu
tinggi 9.

• Fase ikterik

Pada fase ini gejala konstitusional umumnya sudah membaik, namun timbul gambaran
jaundice pada pasien. Umumnya terdapat nyeri perut kuadran kanan atas yang dapat terjadi akibat
hepatomegali disertai penurunan berat badan ringan. Fase ini berlangsung 2 – 12 minggu. Pada
infeksi hepatitis B juga dapat ditemukan splenomegali, gambaran kolestatik hingga adenopati
servikal. Pada hepatitis C akut ditemukan gejala ikterik yang menyertai lebih lama durasinya.9
• Fase Perbaikan
Gejala konstitusional sudah menghilang namun hepatomegali dan keabnormalitasan fungsi hati
masih dapat ditemukan. Pada <1% kasus, dapat menjadi hepatitis fulminant yaitu terjadinya
ensefalopati dan koagulopati dalam 8 minggu setelah gejala penyakit hati pertama kali9.

2.5 Diagnosis

Diagnosis penyakit hepatitis dapat dilihat dari gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan.

• Hepatitis A
Diagnosa Hepatitis A akut dapat ditegakkan bila ditemukannya IgM anti– HAV positif tanpa
ditemukannya IgG anti – HAV.9
• Hepatitis B

Infeksi hepatitis B akut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan temuan serologis
HBsAg positif dan IgM anti – HBs positif.9

• Hepatitis C
Infeksi hepatitis C akut ditegakkan bila,
Ditemukan serokonversi anti – HCV yang diketahui sebelumnya anti – HCV nya negatif.
Pasien ikterik dan ditemukan serum SGPT nya > 10 x nilai batas normal, tanpa ada riwayat
penyakit hati kronis atau penyebab hepatitis akut lainnya dan atau dapat diindentifika s i
sumber penularannya.9
Infeksi hepatitis C kronik ditegakkan bila anti - HCV dan RNA - HCV tetap terdeteksi lebih dari
6 bulan sejak terinfeksi dengan gejala penyakit hati kronis.9

2.6 Pemeriksaan penunjang

• Hepatitis A

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu,

o Serologi hepatitis A
- IgM anti – HVA positif menandakan fase hepatitis A akut.
- IgG anti – HVA positif menandakan pasien memiliki riwayat hepatitis A.

o Biokimia hati
Pada fase ikterik ditemukan kadar SGPT lebih tinggi dibanding kadar SGOT.
Pada pasien yang ditemukan keadaan klinis ikterik pada sklera maupun kulit, kadar bilirubin yang
ditemukan >2,5 mg/dL. Alkalin fosfatse umumya normal atau meningkat sedikit. Waktu
protombin (PT) umumnya normal atau memanjang 1 – 3 detik. Peningkatan yang signifikan
menunjukkan nekrosis hepatoselular yang ekstensif dan memiliki prognosis buruk. Penurunan
albumin serum jarang ditemukan pada hepatitis virus akut tanpa komplikasi.9

o USG abdomen
Biasa dilakukan untuk mengetahui adakah penyait penyerta batu empedu.9

• Hepatitis B

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu,

o Serologis hepatitis B
o Biokimia hati
Dilakukan pemeriksaan terhadap kadar SGPT, SGOT, gamma – glutamyl
transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirub in, albumin, globulin, darah perifer lengkap
dan waktu protrombin. Umumya ditemukan kadar SGPT lebih tinggi dibanding SGOT, namun
bila perjalanan penyakit sudah menuju sirosis maka rasio tersebut dapat menjadi terbalik. Untuk
pemeriksaan komplikasi berupa karsinoma hepatoseluler perlu dilakukan pemeriksaan α-
fetoprotein.9
o USG dan biopsi hati

Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk memilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada kasus
infeksi kronis dan sirsosis hati.9

o Pemeriksaan lain
Perlu dilakukan untuk mencari penyebab hati lain termasuk kemungkinan HIV.9

• Hepatitis C

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu,

o Serologis hepatitis C
Dilakukan dengan metode ELISA atau chemiluminescent immunoassay (CLIA).
Ddilakuka n pemeriksaan titer anti – HCV dan RNA – HCV. Hasil anti – HCV dapat
ditemukan negatif palsu pada pasien HIV, hemodialisa, dan pengguna immunosupresan.

o Biokimia hati
Dilakukan pemeriksaan terhadap kadar SGPT, SGOT, gamma – glutamyl
transpeptidase (GGT), alkalin fosfatase, bilirub in, albumin, globulin, darah perifer lengkap
dan waktu protrombin.9

o USG dan biopsi hati

Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk memilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis
pada kasus infeksi kronis dan sirsosis hati.9

o Pemeriksaan lain

Perlu dilakukan untuk mencari penyebab hati lain termasuk kemungkinan HIV atau
ko – infeksi hepatitis B.

2.7 Tatalaksana

o Hepatitis A

Sebagian besar kasus hepatitis A mengalami resolusi spontan tanpa diberikan antiviral
sehingga pada kasus ini tidak ada terapi medikamentosa yang spesifik. Terapi yang diberikan
biasanya berupa terapi simpomatis dan hidrasi yang sangat adekuat. Terapi farmakolo gi sebagai
terapi simpomatis yang biasa diberikan berupa obat antiemet ik, analgesok atau antipruritus. Terapi
non – farmakologi yang dianjurkan berupa asupan kalori dan cairan secara adekuat (tidak ada
larangan diet spesifik), hindari konsumsi alkohol dan obat – obatan yang bersifat hepatotoksik
seperti paracetamol dan pasien dianjurkan untuk istirahat total di tempat tidur (tirah baring) pada
fase akut.6,9

Pada infeksi hepatitis virus akut D dan E, pengobatan yang diberikan sama dengan
infeksi hepatitis A akut yaitu terupa terapi suportif dan simpomatis saja.6,7,9
o Hepatitis B
Terapi yang diberikan pada infeksi hepatitis B akut umumnya bersifat suportif berupa
tirah baring, menjaga asupan nutrisi dan cairan yang adekuat. Bila terjadi komplikasi hepatitis
fulminant, maka dapat diberikan lamivudin dengan dosis 100 – 150 mg/hari hingga 3 bulan setelah
muncul anti-HBe pada pasien HBsAg positif.9
Pemberian terapi pada infeksi hepatitis B kronik memilik i algoritmanya tersendiri
berdasarkan kadar HBaAg. Pada kelompok HBeAg positif, terapi ditujukan agar HBeAg
menjadi negatif, sedangkan HBeAg negatif ditujukan agar kadar DNA-HBV tidak terdeteksi
lagi pada 2 kali pemeriksaan selama 6 bulan.
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentika n progresi
jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilngka n injeksi. Dalam
pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah menghilangnya petanda
replikasi virus yang aktif seara menetap (HbeAg dan DNA HBV). Pada umumnya serokonversi
HbeAg menjadi anti – Hbe disertai hilangnya DNA HBV dalam serum dan meredanya penyakit
hati. 6
Terapi dengan imunomodulator biasa digunaka n dengan interfer on (IFN) alfa yang
merupakan kelompok protein intraseluler yang normal ada didalam tubuh dan diproduksi oleh
berbagai macam sel. Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomod ulator, anti
prolifera t if dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat antivirus langsung tapi merangsang
terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Dalam proses
terjadinya aktifitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat pada
membran sitoplasma sel hati yang di kuti dengan diproduksinya protein efektor.

IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg
positif, dengan aktifitas penyakit ringan-sedang, yang belum mengalami sirosis.6

Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN:

Konsentrasi ALT yang tinggi.

Konsentrasi DNA HBV yang rendah.

Timbulnya flare-up selama terapi.

IgM anti-HBc yang positif.

Efek samping IFN:

Gejala seperti flu.


Tanda-tanda supresi sumsum tulang.

Flare-up.

Depresi.

Rambut rontok.

Berat badan turun.

Gangguan fungsi tiroid.


Kontra indikasi:

Sirosis dekompensata.

Depresi.

Penyakit jantung berat.

Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-
10 MU 3x seminggu selama 16- 24 minggu. Untuk hepatitis B dengan HBeAg negatif
diberikan selama 12 bulan. 6
Terapi antivirus yang biasa digunakan dalam tatalaksana hepatitis virus B kronik yaitu
lamivudin dan adifoir dipivoksil.6
o Lamivudin

Lamivudin adalah analog nukleosid yang berfungsi sebagai bahan pembentuk


pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat
menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA
menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi HBV. Lamivudin menghambat produksi HBV baru dan
mencegah terjadinya infeksi hepaosit sehat yang belum terinfeksi. Setelah obat dihentikan,
titer DNA HBV akan kembali seperti semula karena sel-sel yang terinfeks i akhirnya
memproduksi virus baru lagi.
o Adefoir Dipivoksil

Suatu nekleosid oral yang menghambat enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat
adefoir hampir sama dengan lamivudi n. Pada saat ini adefoir baru dipakai pada kasus-kasus yang
kebal terhadap lamivudin karena memperhatikan segi keuntungan dan kerugian dari adefoir.
Dosis yang dianjurka n adalah 10 mg tiap hari. Pemakaian adefoir pada dosis 30 mg atau lebih
dapat menyebabkan toksisitas pada ginja l. Keuntungan adefoir adalah jarangnya terjadi
kekebalan serta menjadi terapi yang ideal untuk terapi hepatitis B kronik yang parah. Kerugiannya
adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan
dalam penggunaan jangka panjang.

o Hepatitis C
Pada hepatitis C akut, dapat diberikan terapi suportif. Hal ini berdasarkan berbagai
pertimbangan yang menyatakan bahwa tidak diperlukannya terapi spesifik pada infeksi
hepatitis akut.6,7 Menurut hasil meta – analisis terhadap uji klinis kecil menunjukkan
bahwa pemberian terapi antivirus dengan monoterapi interferon α dosis 3 juta unit subkutis tiga
kali seminggu dapat bermanfaat mengurangi angka kronisitas infeksi.7
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila ditemukan peningkatan kadar ALT lebih
dari batas nilai normal.6 Pengobatan HCV kronik adalah dengan menggunaka n infterferon
alfa dan ribaviri n. 6 Telah disepakati bahwa pada jenis genotipe 1 dan 4 diperlukan terapi
yang diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi yang dibutuhkan cukup
diberikan selama 24 minggu.6
BAB III

Kesimpulan

Hepatitis virus akut adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang mengena i hati yang
disebabkan oleh satu dari lima jenis virus hepatitis yaitu virus hepatitis A (HAC), virus hepatitis B (HBV),
virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), atau virus hepatitis E (HEV). Hepatitis kronik
yaitu serangkaian gangguan hati dengan penyebab dan derajat keparahan beragam yang disertai
keadaan adanya peradangan serta terjadinya nekrosis hati berlanjut selama minimal 6 bulan.7
Pemeriksaan penunjang yang digunakan dalam mendiagnosa pasien hepatitis adalah dengan
melakukan pemeriksaan serologi hepatitis, biokimia hati dan

pemeriksaan penunjang seperti USG abdomen. Tatalaksana yang dibutuhkan bagi

infeksi hepatitis virus akut berupa terapi suportif dan tirah baring. Terapi yang dibutuhkan untuk infeksi
hepatitis virus B kronik yaitu dapat diberikan kelompok imunomodulasi berupa interferon, timosin alfa
1 atau vaksinasi terapi. Dapat juga diberiksan kelompok terapi antivirus berupa lamivudi ne atau
adifoir dipivoks il. Terapi yang dibutuhkan untuk infeksi hepatitis virus C kronik yaitu dengan
menggunakan infterferon alfa dan ribavirin. Pentingnya ketepatan diagnosa dan penatalaksanaan
yang tepat pada pasien yang terinfeksi hepatitis virus, dapat mengurangi tingginya kerugian yang
dirasakan masyarakat akibat penyakit infeksi ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Martin A and Lemon SM. Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines.


Hepatology: 2006. Vol 45; No.2 Suppl 1; p 164-72.
2. Riset kesehatan dasar 2013. diakses pada 28 Oktober 2021
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
2 02013.pdf.
3. World Health Organization. 2017. Global Hepatitis Report 2017. Diakses
pada tanggal 30 Oktober 2021.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/255016/1/9789241565455-
eng.pdf?ua=1
4. World Health Organization. 2017. Regional Hepatitis Plan in SEA, Diakses
pada 30 oktober 2021. http://www.searo.who.int/entity/hepatitis/viral-
hepatitis-action-plan.pdf?ua=1

5. Dienstag J.L., Isselbacher K.J.,Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld


et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition, McGraw Hill,
2008.
6. Sanityoso, A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi V. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.

7. Foster GR and Goldin RD. Management of Chronic Hepatitis, 2nd ed.,


Oxfordshire: Taylor & Francis, 2005:17-61.

10

Anda mungkin juga menyukai