Oleh :
Ardi Hadi Saputra (1840312784)
Sri Yulia Esti (1940312009)
Khairunisa (1940312025)
Pembimbing :
dr. Peri Eriad Yunir, SpU
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.6.1 Anamnesis
Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS)
Keluhan ini terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif seperti
yang terlihat pada tabel 1 Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang
membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat
dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Sementara itu,
gejala itritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesika urinaria yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitivitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesiika, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Tabel 1: Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS)11
Obstruktif Iritatif
Hesitancy:perlu waktu bila mau miksi Frekuensi (miksi > 8x/ hari) karena
pengosongan vesika urinaria tidak
sempurna, pembesaran prostat ke
vesika urinaria, hipertrofi m.detrusor.
Straining:miksi mengejan Urgency: non koordinasi antara
kontraksi m. detrusor dengan relaksasi
m.sfingter.
Weak stream:pancaran miksi lemah Nokturia (miksi > 2x pada malam hari)
Prolonges micturition:miksi perlu Urge incontinence: tidak bisa menahan
waktu lama miksi
Emptying incomplete:miksi tidak puas Disuria
Inkontinensia paradoks
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat
atau International Prostatic Symptom Score (I-PSS). Sistem skoring I-
PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.3
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
Ringan : skor 1-7
Sedang : skor 8-19
Berat : skor 20-35
2.6.2 Riwayat penyakit lain
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
(pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah
(hematuria), kencing batu, atau pembedahan pada saluran
kemih)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan
berkemih. Sebagai contoh, penggunaan obat harian, seperti
antidepresan, antihistamin, atau bronkodilator terbukti dapat
menyebabkan peningkatan 2 – 3 skor International Prostate
Symptom Score (IPSS).12
Status Urologis
Ginjal Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk
mengevaluasi adanya obstruksi atau tanda infeksi.
Kandung kemih Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan
palpasi dan perkusi untuk menilai isi kandung kemih, ada
tidaknya tanda infeksi.
Genitalia Eksterna Penilaian adanya meatal stenosis, fimosis,
tumor penis serta urethral discharge.13
Rectal Toucher
Pada pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE)
dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek
bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan
di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat
harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
2. Adakah asimetris/simteris
3. Adakah nodul pada prostat
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostat
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat
teraba membesar (tetapi pool atas teraba), konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri
simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum dengan
ukurannya. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas
semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba
krepitasi.12
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kemih yang
terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.12
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria
dan hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari
penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urine.13
2. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Penilaian fungsi ginjal harus dilakukan jika dicurigai adanya
gangguan fungsi ginjal, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan
klinis atau dengan adanya hidronefrosis atau ketika
mempertimbangkan tindakan bedah untuk LUTS pada laki-
laki.13
3. PSA (Prostate Spesific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific.14 Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
72 jam setelah kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang
makin tua.15 jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut.14,15
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat
diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar
PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar
PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi
prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien 16
4. Pemeriksaan Pencitran
Ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau
ultrasonografi transrektal (TRUS) pemeriksaan rutin
yang bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat
serta mencari kelainan yang mungkin ada dalam vesika
urinaria seperti batu atau tumor.17 Pengukuran besar
prostat penting dalam menentukan pilihan terapi invasif,
seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP,
atau terapi minimal invasif lainnya. Selain itu, hal ini
juga penting dilakukan sebelum pengobatan dengan 5-
ARI. USG saluran kemih bagian atas dikerjakan apabila
terdapat hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi
renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis, dan
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia.13
Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan
jika dicurigai adanya striktur uretra.13
Foto Polos Abdomen/BNO berguna untuk mencari
adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/
kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan
bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga
bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel
kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari
karsinoma prostat.2
5. Uroflowmetri
Ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini
dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik
sebelum maupun setelah terapi.13
2.7 Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu
urin setelah miksi, dan (6) mencegah progesifitas penyakit.3 Terapi yang didiskusikan
dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan
fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2)
medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel 1), dan (4) lain-lain (kondisi khusus).6
2.7.1 Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah
7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.6
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada kandung
kemih (kopi atau cokelat),
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga
berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien
yang menolak pemberian terapi medikamentosa. 6
d. Lain-Lain 6
1. Trial Without Catheterization (TWOC)
TWOC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta
dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.30 TWOC baru dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TWOC umumnya
dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang pertama kali dan belum
ditegakkan diagnosis pasti.
2. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandirimaupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang pada
pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan fungsi
ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung
kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.
3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan
kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.
4. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan
untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat
menjalani tidakan operasi.
Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol
tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalani. Pasien yang hanya mendapatkan
pengawasan dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan
skor IPSS, uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi. Setelah pembedahan, pasien
harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapat terapi invasfi minimal harus
menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3
bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal,
selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin6
2.8 Komplikasi
1. Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat terbentuk
batu saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi.
Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis5.
2.9 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap
individu. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang buruk.
BAB 3
KESIMPULAN
Benign prostatic hyperplasia adalah suatu keadaan dimana terjadi hiperplasia sel-sel
stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Benign prostatic hyperplasia ini dapat dialami
oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90%
pada pria berusia di atas 80 tahun.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi,
dan mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, R.S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2011.
2. Purnomo, B.B. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.
2009.
3. Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology,
epidemiology, and natural history. Dalam: Campbell's urology, edisi ke
10. Editor: Walsh PC, Retik AB,Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia:
WB SaundersCo. 2012.hal.2570-91.
4. Chungtai B, Lee R, Te A, Kaplan S. Role of Inflammation in Benign
Prostatic Hyperplasia. Rev Urol. 2011;13(3):147-50.
5. Gaol HL. Mochtar CA. Hiperplasia Prostat Jinak. dalam: Tanto C, Liwang
F, Hanifati S, Pradipta, EA, editor. Kapita Selekta Kedokteran. edisi ke-4
jilid 1. Jakarta:FK-UI; 2016. Hal:284-287
6. Tjahjodjati, Soebadi DM, Umbas R, Poernomo BB, Wijanarko S, Mochtar
CA, et al. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2017(3); 2-3.
7. Khomeini, Efmansyah D, Erkadius. Hubungan penurunan kadar natrium
terhadap gangguan pola tidur pasca TURP (transurethral resection of the
prostate). Jurnal Kesehatan Andalas. 2013;2(1):9-13
8. Etriyel. Hubungan Ekspresi Transforming Growth Factor Β1, Matrix
Metalloproteinase–1, Tissue Inhibitor Matrix Metalloproteinase–3
Dengan Kepadatan Fibrosis Pasca Transurethral Resection Of Prostate
[Disertasi]. Padang: Universitas Andalas; 2017.
9. Price, S.A., Lorraine, M.W. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005
10. Skinder, D., Ilana, Z., Jillian, S., Jean, C. Benign Prostatic Hyperplasia: A
Clinical Review. Journal of the American of Physician Assistants. 2016
August; 29 (8): 19-23.
11. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology, 18th edn.
California : McGraw Hill. 2013.
12. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient:History,
Physical Examination, and Urinalysis. In: Campbell-••Walsh Urology.
10th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
13. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the
Management of Non-•Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association
of Urology; 2014
14. Lim CF, Buchan NC. Measurement of serum PSA as a predictor of
symptoms scored on the IPSS for patients with benign prostatic
hyperplasia. N Z Med J. 2014 Feb 14;127(1389):17-24
15. D'Silva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract
symptoms have bladder outlet obstruction?: The Rational Clinical
Examination: a systematic review. JAMA. 2014 Aug 6;312(5):535-42.
16. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek
GM, et al. Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future
prostate growth in men with benign prostatichyperplasia. J Urol. 2000.13-
20
17. Kiliç M, Özdemir A, Altinova S, Et Al. What is the best radiological
method to predict the actual weight of the prostate? Turk J Med Sci. (2014)
44: 31-5
18. Parsons KJ. 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary
Tract Symptoms: Epidemiology and Risk Factor. PMC;5:212-218.
19. Amalia, R. 2010. Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak
(Studi Kasus di RS Dr. Kariadi. RSI Sultan Agung, RS Roemani
Semarang). http://jurnal.unimus.ac.id - Diakses Mei 2020.
20. Habsari CP. 2010. Hubungan antara pembesaran prostat jinak dengan
gambaran endapan urin di kandung kemih pada pemeriksaan
ultrasonografi. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Surakarta.
21. Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhudajat-De Jong. Edisi
ke 3. Jakarta: EGC. 2012.
22. Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. Benign prostatic hyperplasia. In:
Katzung and Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. USA: McGraw-Hill.
2012. p.483-86.