Anda di halaman 1dari 32

Grand Case

Benign Prostatic Hyperplasia

Oleh :
Ardi Hadi Saputra (1840312784)
Sri Yulia Esti (1940312009)
Khairunisa (1940312025)

Pembimbing :
dr. Peri Eriad Yunir, SpU

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUP DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan
pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau Benign Prostatic Hyperplasia
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel
epitel kelenjar prostat.1,2 Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia
tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. Di samping itu,
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi,
obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar
prostat secara tidak langsung.3,4
Berdasarkan hasil penelitian bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka
tersebut meningkat seiring bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar
43%. Beberapa hasil studi memperkirakan prevalensi BPH sebanyak 20% pada pria
usia 40 tahun, 60% pada pria usia 60 tahun, dan meningkat sampai 90% pada pria
usia 70-80 tahun.5 Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti,
tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) sejak tahun 1994- 2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur
penderita berusia 66,61 tahun.6 Sedangkan data yang didapatkan dari Rumah Sakit
Hasan Sadikin dari tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-rata umur
penderita berusia 67.9 tahun.6 Angka kejadian BPH di RSUP Dr. M. Djamil Padang
adalah 3.780 tahun 2006-2011.7 Terdapat peningkatan kasus kasus BPH yang
dilakukan tindakan TURP di RSUP Dr. M. Djamil. Pada tahun 2013 terdapat
sebanyak 179 kasus dan meningkat pada tahun 2014 sebanyak 185 kasus.8
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher
kandung kemih dan uretra oleh BPH. Selanjutnya obstruksi ini dapat menimbulkan
perubahan struktur kandung kemih maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi
pada saluran kemih atas maupun bawah.3
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary
tract symptoms (LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala
iritasi (storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis
berkemih. Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia.
Gejala pasca berkemih berupa urine menetes (dribbling); hingga gejala yang paling
berat adalah retensi urine.3
Pemeriksaan yang penting pada pasien BPH adalah colok dubur atau digital
rectal examina-tion (DRE) disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk
mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul
yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Kecurigaan suatu keganasan
pada pemeriksaan colok dubur, diapatkan 26-34% yang positif kanker prostat pada
pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya
karsinoma prostat sebesar 33%.9

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan mengenai BPH.

1.3. Batasan Penulisan


Batasan penulisan makalah ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan BPH.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada
beberapa literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi BPH


Benign prostate hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostat benigna (HPB)
adalah kelainan histologis yang khas ditandai dengan proliferasi sel-sel kelenjar
prostat. Akumulasi sel-sel dan pembesaran kelenjar merupakan hasil dari proliferasi
sel epitel dan stroma kelenjar prostat. Kelenjar prostat adalah salah satu organ
genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli – buli dan membungkus uretra
posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
pada usia 21-30 tahun ±20 gram. Ukuran tersebut akan meningkat bersama dengan
kenaikan umur seseorang.2

2.2 Etiologi BPH


Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat.2
a. Teori dihydrotestosterone (DHT)
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron.
Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif
dihydrotestosterone (DHT) dengan bantuan enzim 5α–reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.2
Gambar 2.1 Perubahan testosterone menjadi dihidrotetosteron oleh
enzim 5α -reduktase2
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α–reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.2
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar tetosteron makin menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen dan
testosterone relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya,
dengan testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-
sel prostat yang telah ada memiliki usia yang lebih panjang sehingga massa prostat
menjadi lebih besar.2
c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel
stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun
stroma.2
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi homeostatis
kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam
menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.2
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-
sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada
hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi),
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.2

2.3 Epidemiologi BPH


Di dunia, diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta, jumlah ini hanya
pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kalenjar prostat. Di Amerika Serikat,
terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki laki usia 60- 70 th mengalami gejala BPH
dan antara usia 70-90 th sebanyak 90% mengalami gejala BPH. Jika dilihat secara
epidemiologinya, di dunia, menurut usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada
usia 40-an, kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan seiring
meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat menjadi
50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90%. Akan
tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum sejumlah 20% pria
pada usia 40-an, dan meningkat pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 tahun.18
Kasus di dunia jumlah penderita selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di
Indonesia pun, kasus BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih,
dan secara umum, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50
tahun ditemukan menderita BPH ini. Oleh karena itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih
rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60
tahun dan ke atas adalah kira-kira sejumlah 5 juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5
juta pria Indonesia menderita penyakit ini.18 BPH merupakan kelainan urologi kedua
setelah batu saluran kemih yang dijumpai di klinik Urologi. Diperkirakan 50% pada
pria berusia diatas 50 tahun. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang
berjumlah 200 juta lebih, kira – kira 100 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki–
laki Indonesia yang menderita BPH.19
Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi BPH yang bergejala pada pria
berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan
bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun prevalensinya mencapai hampir
25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di
Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta
yaitu RSCM dan Sumber Waras terdapat 1040 kasus.20

2.4 Klasifikasi BPH


Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat
ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012).
Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH.
Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel 1.21
Tabel 1. Derajat penyakit BPH21
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas <50 mL
atas
mudah diraba
II Penonjolan prostat jelas, 50−100 mL
batas atas dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat >100 mL
diraba
IV - Retensi urin total

2.5 Patofisiologi BPH


Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, terjadi penyempitan
lumen uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, vesika urinaria harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
peruabahan anatomi vesika urinaria berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan ini dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala prostatismus.2

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian


vesika urinaria termasuk pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari vesika urinaria ke
ureter (refluks vesico- ureter). Keadaan ini jika terus berlangsung akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke gagal ginjal.10

2.6 Diagnosis BPH


Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik.

2.6.1 Anamnesis
Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS)
Keluhan ini terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif seperti
yang terlihat pada tabel 1 Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang
membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat
dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Sementara itu,
gejala itritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesika urinaria yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitivitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesiika, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Tabel 1: Keluhan pada saluran kemih bawah (LUTS)11
Obstruktif Iritatif
Hesitancy:perlu waktu bila mau miksi Frekuensi (miksi > 8x/ hari) karena
pengosongan vesika urinaria tidak
sempurna, pembesaran prostat ke
vesika urinaria, hipertrofi m.detrusor.
Straining:miksi mengejan Urgency: non koordinasi antara
kontraksi m. detrusor dengan relaksasi
m.sfingter.
Weak stream:pancaran miksi lemah Nokturia (miksi > 2x pada malam hari)
Prolonges micturition:miksi perlu Urge incontinence: tidak bisa menahan
waktu lama miksi
Emptying incomplete:miksi tidak puas Disuria
Inkontinensia paradoks
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat
atau International Prostatic Symptom Score (I-PSS). Sistem skoring I-
PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.3

Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
 Ringan : skor 1-7
 Sedang : skor 8-19
 Berat : skor 20-35
2.6.2 Riwayat penyakit lain
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
(pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah
(hematuria), kencing batu, atau pembedahan pada saluran
kemih)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan
berkemih. Sebagai contoh, penggunaan obat harian, seperti
antidepresan, antihistamin, atau bronkodilator terbukti dapat
menyebabkan peningkatan 2 – 3 skor International Prostate
Symptom Score (IPSS).12

2.6.3 Pemeriksaan Fisik

Status Urologis
 Ginjal Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk
mengevaluasi adanya obstruksi atau tanda infeksi.
 Kandung kemih Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan
palpasi dan perkusi untuk menilai isi kandung kemih, ada
tidaknya tanda infeksi.
 Genitalia Eksterna Penilaian adanya meatal stenosis, fimosis,
tumor penis serta urethral discharge.13
Rectal Toucher
Pada pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE)
dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek
bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan
di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat
harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
2. Adakah asimetris/simteris
3. Adakah nodul pada prostat
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostat
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat
teraba membesar (tetapi pool atas teraba), konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri
simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum dengan
ukurannya. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas
semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba
krepitasi.12
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kemih yang
terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.12
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria
dan hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari
penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urine.13
2. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Penilaian fungsi ginjal harus dilakukan jika dicurigai adanya
gangguan fungsi ginjal, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan
klinis atau dengan adanya hidronefrosis atau ketika
mempertimbangkan tindakan bedah untuk LUTS pada laki-
laki.13
3. PSA (Prostate Spesific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific.14 Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
72 jam setelah kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang
makin tua.15 jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut.14,15
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat
diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar
PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar
PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi
prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien 16

4. Pemeriksaan Pencitran
 Ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau
ultrasonografi transrektal (TRUS) pemeriksaan rutin
yang bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat
serta mencari kelainan yang mungkin ada dalam vesika
urinaria seperti batu atau tumor.17 Pengukuran besar
prostat penting dalam menentukan pilihan terapi invasif,
seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP,
atau terapi minimal invasif lainnya. Selain itu, hal ini
juga penting dilakukan sebelum pengobatan dengan 5-
ARI. USG saluran kemih bagian atas dikerjakan apabila
terdapat hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi
renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis, dan
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia.13
 Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan
jika dicurigai adanya striktur uretra.13
 Foto Polos Abdomen/BNO berguna untuk mencari
adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/
kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan
bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga
bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel
kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari
karsinoma prostat.2

5. Uroflowmetri
Ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini
dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik
sebelum maupun setelah terapi.13
2.7 Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu
urin setelah miksi, dan (6) mencegah progesifitas penyakit.3 Terapi yang didiskusikan
dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan
fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif (watchful waiting), (2)
medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel 1), dan (4) lain-lain (kondisi khusus).6
2.7.1 Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah
7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.6
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,

(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada kandung
kemih (kopi atau cokelat),

(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,

(4) jangan menahan kencing terlalu lama.

(5) penanganan konstipasi


Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine.
Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang
lain. 6
2.7.2 Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan
obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Selain kedua
cara tersebut, banyak terapi dengan menggunakan fitofarmaka yang mekanisme
kerjanya masih belum jelas.2,21,22
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang
digunakan adalah: 6,22
1. α1-‐blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra.
Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan
tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari 1 serta silodosin dengan dosis 2 kali
sehari.
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding
symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-45% atau
penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%.1,5,6 Tetapi obat α1-blocker tidak
mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang.
α1-blocker memiliki selektivitas terhadap a1-adrenoceptor yang terdapat selain
di prostat (buli-buli dan medulla spinalis). Subtype adrenoceptor ini berperan dalam
mediasi mekanisme kerja terhadap reseptor tersebut. Selain itu a1-adrenoceptor yang
terdapat pada pembuluh darah, sel otot polos selain prostat dan susunan saraf pusat
akan terkena juga sehingga akan memberikan efek samping.
Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem
kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang
seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan.6 Penyulit lain yang dapat
terjadi adalah ejakulasi retrograde dimana semakin selektif obat tersebut terhadap a1-
adrenoceptor maka makin tinggi kejadian ejakulasi retrograde.5,6 Selain itu komplikasi
yang harus diperhatikan adalah intraoperativefloppy iris syndrome (IFIS) pada operasi
katarak dan hal ini harus diinformasikan kepadapasien dan Ophthalmologist bila akan
menjalani operasi katarak.
Gambar 2.7.1 Reseptor Alpha Adrenergik pada Otot Polos Prostat dan Leher
Kandung Kemih 2
2. 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel epitel
prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%. 5a-reductase
inhibitor juga inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan
dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan
bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride atau
dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.
3. Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga
akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa obat antagonis
reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate,
propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.
Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (≈volume prostat kecil)
menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat.1 Sampai saat ini, penggunaan
antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat kontroversi, khususnya yang
berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urine pasca berkemih.
Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-blocker
tidak mengurangi gejala storage.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti mulut
kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih
(sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%), dan pusing (sampai dengan
5%)
4. Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraseluler,
sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra.1 Di
Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil,
dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang
direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.
Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%.
Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu.6 Pada penelitian
uji klinis acak tanpa meta-analisis, peningkatan Qmax dibandingkan plasebo adalah
2,4 ml/s dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada residu urine.1 Data meta-
analisis menunjukkan PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih
muda dengan indeks massa tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat.
5. Terapi Kombinasi
• α1-blocker + 5α-reductase inhibitor
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α-
reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan efek
sinergis denganmenggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan obat
tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah
perkembangan penyakit.
Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan efek klinis adalah beberapa
hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk
menunjukkan perubahan klinis yang signifikan.Data saat ini menunjukkan terapi
kombinasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam risiko
terjadinya retensi urine akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi,
terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS sedang-
berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA yang tinggi (>1,3
ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan
pengobatan jangka panjang (>1 tahun).
• α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik
Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik bertujuan
untuk memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada
saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih,
nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup
dibandingkan dengan α1-blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami
LUTS setelah pemberianmonoterapi α1-blocker akan mengalami penurunan keluhan
LUTS secara bermakna dengan pemberian anti muskarinik, terutama bila ditemui
overaktivitas detrusor (detrusor overactivity).
Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu α1-blocker dan
antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan monoterapi.
Pemeriksaan residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini.
6. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Di antara
fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens,
Hypoxis rooperi, Radixurtica, dan masih banyak lainnya.
2.7.3 Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
seperti:
(1) retensi urine akut; 6

(2) gagal Trial Without Catheter (TWOC);

(3) infeksi saluran kemih berulang;

(4) hematuria makroskopik berulang;

(5) batu kandung kemih;

(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;

(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga
berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien
yang menolak pemberian terapi medikamentosa. 6

Gambar 2.7.2 Open Simple Prostatectomy10


1. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan
volume prostat 30-80 ml.1 Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume prostat untuk
tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi,
kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum, TURP dapat memperbaiki
gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang
memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan
darah (0-39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%).. Sementara itu, angka mortalitas
perioperatif (30 hari pertama) adalah 0,1. 1 Selain itu, komplikasi jangka panjang yang
dapat terjadi meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%),
striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), dan
retensi urin dan UTI.1
Modifikasi TURP: Biporal TURP
Mekanisme Aksi: TURP Bipolar (TURP-B) memiliki perbedaan dengan TURP
monopolar dimana pada bipolar menggunakan normal saline sebagai cairan irigasi.
Berbeda dengan TURP Monopolar, pada sistem TURP Bipolar, energi tidak melalui
tubuh untuk mencapai pad kulit. Sirkuit bipolar bekerja secara lokal melalui pole aktif
(resection loop) dan pole pasif (ujung resektoskop), serta membutuhkan energi yang
lebih sedikit. Energi dari loop ditransmisikan ke larutan garam, sehingga eksitasi ion
natrium untuk membentuk plasma; molekul tersebut kemudian dengan mudah dibelah
dalam tegangan rendah sehingga memungkinkan terjadinya reseksi. Selama koagulasi,
panas menghilang dalam dinding pembuluh, menciptakan gumpalan dan penyusutan
kolagen.
TURP-B memiliki efektifitas yang sama dibandingkan dengan TURP-M dalam
IPSS, skor kualitas hidup dan Qmax. Namun TURP-B memiliki profil keamaan peri-
operatif yang lebih baik dibandingkan TURP-M (Sindroma TUR, retensi bekuan darah,
angka transfusi darah, waktu irigasi dan kateterisasi yan lebih singkat). Angka kejadian
striktur uretra dan kontraktur bladder neck serta disfungsi ereksi tidak ada perbedaan
dibandingkan dengan TURP-M
Komplikasi TURP
Disfungsi ereksi diketahui merupakan salahsatu komplikasi pasca TURP yang
dialami sebagian populasi. Dari studi yang dilakukan Taher dkk, insidensi disfungsi
ereksi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 14%. Diabetes mellitus
dan skor IIEF-5 kurang dari 21 merupakan fakor risiko terjadinya disfungsi ereksi
setelah TURP. TURP merupakan prosedur yang aman bagi fungsi seksual bila tidak
didapatkan faktor risiko tersebut.1

Gambar 2.7.3 Transurethral Resection of the Prostate (TURP)10


2. Laser Prostatektomi 6
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode.
Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-650C dan mengalami
vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000C.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya
pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.1
3. Lain-lain 6
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih
(bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang
dari 30 ml) dantidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.9,27 TUIP mampu
memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik
TURP.
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari
berbagai cara, antara lain adalah Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT),
Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound
(HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang
didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek samping yang ditimbulkan. Teknik
thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi masih
harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka terapi ulang TUMT (84,4%
dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan). 1
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di proksimal
verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen serta pada pasien yang tidak dapat untuk
dilakukan tindakan operatif. Namun secara umum stent mempunyai risiko untuk
terjadinya kesalahan posisi, migrasi, dan enkrustrasi. Efek samping utama diantaranya
nyeri perineal dan gejala pengisian buli-buli.
ii. Operasi Terbuka 6
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau
Freyer) dan retropubik (Millin).29 Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang
volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan
morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi dilaporkan
sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi. Sementara itu, angka
mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka
panjang dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%) dan
inkontinensia urine (10%).

d. Lain-Lain 6
1. Trial Without Catheterization (TWOC)
TWOC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta
dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.30 TWOC baru dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TWOC umumnya
dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine akut yang pertama kali dan belum
ditegakkan diagnosis pasti.
2. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandirimaupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang pada
pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan fungsi
ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung
kemih pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.
3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan
kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.
4. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan
untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat
menjalani tidakan operasi.
Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol
tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalani. Pasien yang hanya mendapatkan
pengawasan dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan
skor IPSS, uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi. Setelah pembedahan, pasien
harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapat terapi invasfi minimal harus
menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3
bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal,
selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin6
2.8 Komplikasi
1. Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat terbentuk
batu saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi.
Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis5.
2.9 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada setiap
individu. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang buruk.
BAB 3
KESIMPULAN

Benign prostatic hyperplasia adalah suatu keadaan dimana terjadi hiperplasia sel-sel
stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Benign prostatic hyperplasia ini dapat dialami
oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90%
pada pria berusia di atas 80 tahun.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi,
dan mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, R.S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2011.
2. Purnomo, B.B. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.
2009.
3. Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology,
epidemiology, and natural history. Dalam: Campbell's urology, edisi ke
10. Editor: Walsh PC, Retik AB,Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia:
WB SaundersCo. 2012.hal.2570-91.
4. Chungtai B, Lee R, Te A, Kaplan S. Role of Inflammation in Benign
Prostatic Hyperplasia. Rev Urol. 2011;13(3):147-50.
5. Gaol HL. Mochtar CA. Hiperplasia Prostat Jinak. dalam: Tanto C, Liwang
F, Hanifati S, Pradipta, EA, editor. Kapita Selekta Kedokteran. edisi ke-4
jilid 1. Jakarta:FK-UI; 2016. Hal:284-287
6. Tjahjodjati, Soebadi DM, Umbas R, Poernomo BB, Wijanarko S, Mochtar
CA, et al. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2017(3); 2-3.
7. Khomeini, Efmansyah D, Erkadius. Hubungan penurunan kadar natrium
terhadap gangguan pola tidur pasca TURP (transurethral resection of the
prostate). Jurnal Kesehatan Andalas. 2013;2(1):9-13
8. Etriyel. Hubungan Ekspresi Transforming Growth Factor Β1, Matrix
Metalloproteinase–1, Tissue Inhibitor Matrix Metalloproteinase–3
Dengan Kepadatan Fibrosis Pasca Transurethral Resection Of Prostate
[Disertasi]. Padang: Universitas Andalas; 2017.
9. Price, S.A., Lorraine, M.W. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005
10. Skinder, D., Ilana, Z., Jillian, S., Jean, C. Benign Prostatic Hyperplasia: A
Clinical Review. Journal of the American of Physician Assistants. 2016
August; 29 (8): 19-23.
11. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology, 18th edn.
California : McGraw Hill. 2013.
12. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient:History,
Physical Examination, and Urinalysis. In: Campbell-••Walsh Urology.
10th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
13. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the
Management of Non-•Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association
of Urology; 2014
14. Lim CF, Buchan NC. Measurement of serum PSA as a predictor of
symptoms scored on the IPSS for patients with benign prostatic
hyperplasia. N Z Med J. 2014 Feb 14;127(1389):17-24
15. D'Silva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract
symptoms have bladder outlet obstruction?: The Rational Clinical
Examination: a systematic review. JAMA. 2014 Aug 6;312(5):535-42.
16. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek
GM, et al. Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future
prostate growth in men with benign prostatichyperplasia. J Urol. 2000.13-
20
17. Kiliç M, Özdemir A, Altinova S, Et Al. What is the best radiological
method to predict the actual weight of the prostate? Turk J Med Sci. (2014)
44: 31-5
18. Parsons KJ. 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary
Tract Symptoms: Epidemiology and Risk Factor. PMC;5:212-218.
19. Amalia, R. 2010. Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak
(Studi Kasus di RS Dr. Kariadi. RSI Sultan Agung, RS Roemani
Semarang). http://jurnal.unimus.ac.id - Diakses Mei 2020.
20. Habsari CP. 2010. Hubungan antara pembesaran prostat jinak dengan
gambaran endapan urin di kandung kemih pada pemeriksaan
ultrasonografi. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Surakarta.
21. Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhudajat-De Jong. Edisi
ke 3. Jakarta: EGC. 2012.
22. Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. Benign prostatic hyperplasia. In:
Katzung and Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. USA: McGraw-Hill.
2012. p.483-86.

Anda mungkin juga menyukai