Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

INVAGINASI

Oleh:

Dadang Novianto G991905018


M Thoriqur Rohman G991908014
Cicilia Viany E G991905017
Novalya Kurniawati G991908015

Pembimbing:

dr. Ida Prista Maryetty M.kes., M.Sc., Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/
RSUD Dr.MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

Naskah untuk refrat - Invaginasi – ini telah disetujui untuk dipresentasikan pada
Tanggal 10 Bulan Desember 2019

PEMBIMBING
Pembimbing: Tanda tangan
dr. Ida Prista Maryetty M.kes., M.Sc., Sp. Rad
.....................................................

Sie. Ilmiah: Tanda tangan


dr. Luths Maharina
.....................................................

i
LEMBAR PENGESAHAN

TELAH DIPRESENTASIKAN REFERAT DENGAN JUDUL:

INVAGINASI

Oleh:
Dadang Novianto G991905018
M Thoriqur Rohman G991908014
Cicilia Viany E G991905017
Novalya Kurniawati G991908015

Pembimbing:
dr. Ida Prista Maryetty M.kes., M.Sc., Sp. Rad

Pada hari/tanggal: Desember 2019


Ruang Diskusi KSM Radiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta

Mengetahui:

PEMBIMBING

dr. Ida Prista Maryetty M.kes., M.Sc., Sp. Rad


NIP. 19720324 200212 1 003

iii
DAFTAR ISI

1.. Halaman persetujuan.......................................................................................... ii


2.. Lembar pengesahan ........................................................................................... iii
3.. Daftar isi............................................................................................................. iv
4.. Daftar gambar..................................................................................................... v
5.. BAB I: Pendahuluan........................................................................................ 1
6.. BAB II: Tinjauan Pustaka............................................................................... 3
2.1. Definisi.................................................................................................... 3
2.2. Anatomi................................................................................................... 3
2.3. Klasifikasi................................................................................................ 5
2.4. Etiologi.................................................................................................... 6
2.5. Patofisiologi............................................................................................. 7
2.6. Diagnosis................................................................................................. 8
2.7. Diagnosis Banding................................................................................... 14
2.8. Tatalaksana.............................................................................................. 15
2.9. Prognosis dan Komplikasi ...................................................................... 17
7.. BAB III: Penutup........................................................................................... 18
3.1. Kesimpulan.............................................................................................. 18
3.2. Saran........................................................................................................ 18
8. Daftar Pustaka..................................................................................................... 19

iv
DAFTAR GAMBAR

1.. Gambar 1. Invaginasi (Adam dan Olson, 2008)................................................. 3


2.. Gambar 2. Colon (Intestinum crassum) (Adam dan Olson, 2008)..................... 5
3.. Gambar 3. Gambaran Pseudikidney appearancen atau doughnut’s sign............ 11
4.. Gambar 4. Foto polos abdomen menunjukan dilatasi ileus dan distribusi gas
tak merata ........................................................................................................ 12
5.. Gambar 5. Foto polos abdoemn pada pasien berusia 14 minggu disertai
obstruksi. .......................................................................................................... 13
6.. Gambar 6. Tanda ying-yang klasik dari intussusceeptum di dalam
intussuscipiens................................................................................................ 14
7.. Gambar 7. Enema barium menunjukan invaginasi kolon descenden.......................... 17
8.. Gambar 8. .......................................................................................................... 18

v
vi
BAB I

PENDAHULUAN

Invaginasi merupakan prolapsus usus dari bagian proksimal ke bagian distal


yang berdekatan. Istilah invaginasi dikenalkan oleh Paul Barbette dari Amsterdam
pada tahun 1674. Pada tahun 1899, Treves mendefinisikannya sebagai prolapsus
usus ke dalam lumen yang berdampingan dengannya (Ignacio, 2010). Bagian usus
yang masuk disebut intussusceptum dan bagian yang menerima
intussuscepturn dinamakan intussuscipiens . Oleh karena itu, invaginasi disebut
juga intussusception. Pemberian nama invaginasi bergantung hubungan antara
intussusceptum dan intussuscipiens, misalnya ileo-ileal menunjukkan invaginasi
hanya melibatkan ileum saja. Ileo-colica berarti ileum sebagai intussusceptum dan
colon sebagai intussuscipiens. Kombinasi lain dapat terjadi seperti ileo-ileo colica,
colo-colica dan appendical-colica. Ileo-colica yang paling banyak ditemukan
(75%), ileoileocolica 15%, lain-lain 10%,paling jarang tipe appendicalcolica.
Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan agak jarang
pada orang muda dan dewasa. Sering dijumpai pada umur 3 bulan - 2 tahun,
paling banyak 5 - 9 bulan. Prevalensi penyakit diperkirakan 1 - 2 penderita di
antara 1000 kelahiran hidup. Anak laki-laki lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 3 : 1 2 (Mensah, 2011).
Intusepsi pada anak-anak biasanya idiopatik. Penderita biasanya bayi sehat,
menyusui, gizi baik dan dalam pertumbuhan optimal. Ada yang menghubungkan
terjadinya invaginasi karena gangguan peristaltik, 10% didahului oleh pemberian
makanan padat dan diare. Diare dan invaginasi dihubungkan dengan infeksi virus,
karena pada pemeriksaan tinja dan kelenjar limfa mesenterium, terdapat
adenovirus bersama-sama invaginasi (Bai, 2009).
Intususepsi pada orang dewasa termasuk jarang, sekitar 5% dari semua
intususepsi dan hanya mewakili 1% dari semua obstruksi usus. Tidak seperti
intususepsi anak-anak yang biasanya idiopatik, intususepsi dewasa seringkali
disebabkan oleh penyebab sekunder. Beberapa kondisi patologis, seperti

1
neoplasma ganas atau jinak, polip, Divertikulum Meckel, dan adhesi pasca
operasi, menjadi titik awal berubahnya peristaltik usus. Infeksi parasit sering juga
menyertai invaginasi pada orang dewasa. Pada intususepsi usus besar, 65-70%
kasus berkaitan dengan tumor ganas, sedangkan pada intususepsi usus halus
hanya 30-35% kasus berkaitan dengan tumor ganas.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Intususepsi/invaginasi merupakan penyebab tersering obstruksi saluran
pencernaan akut pada bayi dan anak. Intususepsi termasuk pada kasus gawat
darurat pada anak, sering terjadi pada anak usia 4 hingga 10 bulan (binez J,
2002). Intususepsi merupakan suatu kondisi ketika segmen dari usus
masuk/terlipat ke dalam bagian lain (biasanya pada bagian yang lebih distal)
yang terkadang dapat memicu kondisi perforasi pada usus jika tidak ditangani
( Jenke , 2011).

Gambar 1. Invaginasi (Adam dan Olson, 2008).


2.2. Anatomi
Usus halus (intestinum tenue) terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum,
yejunum dan ileum. Panjang duodenum 26 cm, sedangkan jejunum + ileum:
6 m, dimana 2/5 bagian adalah jejunum. Batas antara duodenum dan jejunum
adalah ligamentum treits.
Jejunum dan ileum dapat dibedakan dari:
1. Lekukan–lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga atas
peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum; ileum terletak pada
bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.

3
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih
merah daripada ileum. Dinding jejunum terasa lebih tebal karena lipatan
mukosa yang lebih permanen yaitu plica circularis, lebih besar, lebih banyak
dan pada yejunum lebih berdekatan; sedangkan pada bagian atas ileum lebar,
dan pada bagian bawah lipatan ini tidak ada.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen
diatas dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan
kanan aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya membentuk satu atau
dua arkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang berjalan ke
dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh darah yang pendek,
yang beraal dari 3 atau 4 atau malahan lebih arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan
dan lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung
mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian, sehingga lemak
ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada
mukosa ileum bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.
Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi:
Perbedaan eksterna
1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobile, sedangkan colon
asenden dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus
besar yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang
berjalan ke bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar
usus. Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam
tiga pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appendices epiploideae.

4
6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar
sakular.

Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang
dinamakan plica cilcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar
tidak mempunyai.
3. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) ditemukan pada
mukosa usus halus, jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.
Colon dimulai dari ileum terminale sampai rectum dengan panjang
sekitar 150 cm. Bagian kanan Colon terdiri dari caecum, colon ascendens,
dan bagian proximal colon transversum, sedangkan bagian kirinya terdiri dari
distal colon transversum, colon descendens, sigmoid dan rectum. Dinding
colon mempunyai 4 lapisan yaitu mucosa, submucosa, muscularis dan serosa.

Gambar 2. Colon (Intestinum crassum) (Adam dan Olson, 2008).

2.3. Klasifikasi
Invaginasi dibedakan dalam 4 tipe:
1. Enterik: usus halus ke usus halus

5
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps
ke sekum dan menarik ileum di belakangnya.
Valvula tersebut merupakan apex dari invaginasi.
3. Kolokolika : colon ke colon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke colon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa invaginasi paling sering
mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan
insidensi untuk masing-masing jenis invaginasi.  Perrin dan Linsay
memberikan gambaran: 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7
% kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas.

2.4. Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal3.

1. Idiopatik

Sekitar 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu tahun tidak
dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai infantile
idiophatic intussusceptions.

Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian


terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’
untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari
usus yang diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum
meckel atau polip yang dapat diidentifikasi saat pembedahan4.

2. Kausal

Pada penderita intususepsi berusia lebih dua tahun, adanya kelainan usus
dapat menjadi penyebab intususepsi. Kelainan - kelainan tersebut dapat
meliputi inverted Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma,
hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus ( Santoso,
2011). Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan
polip seperti peutz-jeghers syndrom, dan duplikasi intestinal. Lead point lain
diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-

6
Schönlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome, dan
caseating  granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis abdominal.

Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul


setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik
usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi
retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal, yang mengakibatkan perbedaan
peristaltik antar segmen ( Jiang, 2012).

2.5. Patofisiologi

Intususepsi dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder berdasarkan


terjadinya, Intususepsi primer terjadi secara idiopatik. Paling sering terjadi
bersamaan dengan kondisi gangguan pernafasan atas, diduga terjadi akibat
dari hipertrofi limfonodi pada dinding usus. Selain itu, pada 50% kasus
dijumpai adanya peran dari adenovirus dan rotavirus. Intususepsi primer lebih
umum terjadi dibanding intususepsi sekunder ( Bowker, 2018).

Intususepsi sekunder terjadi akibat adanya identidiable lead point. Lead


point pada umumnya jinak, dapat meliputi divertikulum Meckel (pada
umumnya), hemangioma, tumor carsinoid, benda asing, jaringan pankreas
ektopik, dan lipoma. Lead point ganas seperti limfoma dan tumor usus kecil
jarang terjadi pada anak - anak. Namun, resiko meningkat seiring
bertambahnya usia ( Jiang, 2012) .

Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik. Namun, jenis ileoileokolik,


ileosekal, dan ileoileal terkadang dapat ditemui. Kasus yang jarang terjadi
adalah sekokolik dan intususepsi apendiks. Bagian atas usus (intususeptum),
berinvaginasi/melipat ke dalam usus di bawahnya (intususipiens), sambil
menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada
mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi aliran
darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat edema dan perdarahan
mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung
lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum

7
desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus – kasus yang tidak segera
ditangani. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus
dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat mengakibatkan gangren usus
dan syok ( Bowker, 2018).

Patogenesis dari intususepsi diyakini diakibatkan oleh


ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal.
Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak
sebagai pencetus atau oleh pola yang tidak teratur dari gerak peristaltik usus
(contohnya, pada ileus pasca operasi). Gangguan elektrolit juga dapat
menyebabkan gangguan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah
pada terjadinya invaginasi ( Santoso, 2011).

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus


terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini terus berlanjut mengakibatkan
intususeptum masuk ke dalam intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem
limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana
ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai
mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Kondisi ini dapat
mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan memicu strangulasi dan
perforasi usus.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit di daerah
intususepsi mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti,
oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang
mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB
darah lendir yang disebut juga  red currant jelly stool.

2.6. Diagnosis
Invaginasi ditandai dengan gejala klinis berupa trias klasik yaitu nyeri
perut yang hilang timbul, muntah, dan red currant jelly stool. Namun
demikian, trias klasik invaginasi tersebut hanya terjadi pada sepertiga pasien.
Pada bayi, biasanya muncul nyeri perut yang ditandai dengan bayi yang tiba-
tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, tampak

8
seperti kejang dan pucat menahan sakit. Nyeri perut seperti ini berlangsung
dalam 15-20 menit, lalu bayi terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai
serangan datang kembali. Awalnya, muntah yang terjadi berstumor karsinoid,
benda asing, jaringan pankreas ektopik, dan lipomaifat non-bilious tetapi
ketika terjadi obstruksi intestinal maka muntah menjadi bilious. Selain itu,
diare juga dapat menjadi tanda awal invaginasi. Setelah serangan kolik yang
pertama, muncul tinja berlendir bercampur darah (red currant jelly stool) dan
dehidrasi (Brunicardi et al., 2010).
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya massa berbentuk sosis
(sausage sign) pada hipokondrium dextra. Massa ini lebih mudah teraba pada
waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba
kosong yang disebut dance’s sign. Hal ini akibat caecum dan kolon naik ke
atas, ikut proses intususepsi. Pada pemeriksaan rectal touch dapat ditemukan
tonus sfingter ani melemah. teraba massa seperti portio/pseudo portio
(portio like-appearance), dan bila jari ditarik, maka akan keluar darah
bercampur lendir (currant jelly stool). Terdapat 3 kriteria penanda risiko
tinggi kemungkinan invaginasi yaitu bila gejala klinis di atas dialami pada
seseorang lebih dari 5 bulan, laki-laki, dan letargi (Weihmiller et al., 2011).
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan
sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan
mayor. Strasifikasi ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga
level dari pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah
invaginasi (Saxena, 2019).
Kriteria Mayor
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah
hijau, diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau
tidak ada sama sekali.
2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya
tercakup hal-hal berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps
rectum, terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi
perdarahan rectum atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan

9
rectal toucher.
Kriteria Minor
1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
2. Nyeri abdomen
3. Muntah
4. Lethargy
5. Pucat
6. Syok hipovolemi
7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian,
yaitu:
Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
1. Kriteria Pembedahan – invaginasi usus yang ditemukan saat
pembedahan
2. Kriteria Radiologi – enema udara atau cair pada enema
menunjukkan invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan
dapat direduksi oleh enema tersebut.
3. Kriteria Autopsi – invaginasi dari usus
Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)
1. Dua kriteria mayor
2. Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
Level 3 – Possible
Empat atau lebih kriteria minor
Pencitraan ultrasonografi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dalam mendeteksi invaginasi ileokolik. Foto polos abdomen juga dapat
menunjukkan karakteristik diagnostik invaginasi, tetapi sensitivitasnya 48%
dan spesifisitasnya 21% (Chahine A, 2018).
Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan awal untuk
menentukan kemungkinan invaginasi. Untuk mendeteksi invaginasi, USG
memiliki sensitivitas sebesar 97,9% dan spesifisitas 97,8%. Pemeriksaan
USG menghilangkan risiko terkena radiasi pengion serta membantu untuk

10
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari sakit perut. Meskipun
demikian, hasil ultrasonografi bersifat subjektif karena sangat tergantung
pada keterampilan operator. Adanya asites dan invaginasi segmen panjang
merupakan prediktor kegagal manajemen operatif (Hryhorczuk dan Strouse,
2009).

Gambar 3. Gambaran pseudokidney appearance atau doughnut’s sign

Foto polos abdomen


Pada awal perjalanan invaginasi, kemungkinan masih didapatkan
gambaran normal. Seiring perjalanan penyakitnya, didapatkan distribusi
udara di dalam usus tidak merata (terutama terlihat tidak adanya udara di
kuadran hipokondriaka dan iliaka dextra). Bila terjadi obstruksi usus, maka
akan terlihat gambaran air fluid level (Morrison et al., 2009). Tareen et al
(2016) menyatakan bahwa foto polos abdomen terutama perlu dilakukan pada
kasus peritonitis saja.

11
Gambar 4. Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi ileus dan distribus
gas tidak merata.

Gambar 5. Foto polos abdomen pada pasien berusia 14 minggu disertai


obstruksi.
Computed Tomography (CT) Scan
Alat CT scan juga dapat digunakan untuk mendiagnosis invaginasi.

12
Namun, hasil temuannya tidak dapat diandalkan. Selain itu, terdapat risiko
terkait pemberian kontras intravena, paparan radiasi, dan sedasi.

Gambar 6. Tanda ying-yang klasik dari intussusceptum di dalam


intussuscipiens.
Kontras Enema
Cara tradisional dan paling dapat diandalkan untuk menegakkan
diagnosis invaginasi adalah dengan kontras enema (baik barium atau udara)
karena cepat, dapat diandalkan dan memiliki potensi menjadi terapi.
Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi,
dimana akan terlihat gambaran “cupping” dan “coilspring. Untuk tujuan
terapi, barium enema dikerjakan dengan tekanan hidrostatik untuk
mendorong usus yang masuk ke arah proksimal Teknik ini dapat dikerjakan
bila belum ada tanda-tanda obstruksi usus yang jelas, seperti muntah hebat,
perut distensi, dan dehidrasi berat. Peritonitis merupakan kontra indikasi
dilakukan reposisi dengan barium enema. Reposisi berhasil bila setelah rectal
tube ditarik dari anus maka barium keluar dengan disertai massa feses dan
udara/menyemprot (Shekherdimian et al., 2009).

13
Gambar 7. Enema barium menunjukkan invaginasi kolon descenden.

2.7. Diagnosis Banding


a. Gastroenteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika
dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
b. Diverticulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa
nyeri.
c. Hernia abdominalis
d. Disentri amoeba, pada keadaan ini diare mengandung lendir dan
darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya
nyeri di perut, tenesmus dan demam.
e. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
f. Prolapsus recti atau rectal prolaps, dimana biasanya terjadi
berulang kali. Pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa
dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi didapati adanya
celah (Caruso et al., 2017).

14
2.8. Penatalaksanaan

Dari perspektif klinis, menggunakan usia batas usia 3 tahun sangat


membantu untuk mengklasifikasikan pasien dengan invaginasi menjadi 2
kelompok. Pasien yang berusia 5 bulan sampai 3 tahun biasanya responsif
terhadap manajemen non-operatif, sedangkan anak yang lebih dari 3 tahun
dan orang dewasa memerlukan reduksi operatif (Saxena, 2019).
1. Non-operatif
Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk
diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak
pusat kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus
dilakukan dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah
menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene
pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar
kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi tersebut. Barium enema
berfungsi dalam diagnostik dan terapi. Reduksi invaginasi dengan
nonoperatif telah menunjukkan lama rawat inap, pemulihan yang lebih
cepat, mengurangi biaya rumah sakit, dan mengurangi kompilkasi yang
berhubungan dengan operasi abdomen (Shekherdimian et al., 2009).
Kelebihan enema menggunakan barium dibanding udara adalah dapat
menjadi sarana diagnostik. Barium enema juga dapat mengidentifikasi lesi
patologis lebih baik dibanding udara. Mayoritas ahli radiologi juga lebih
terbiasa menggunakan barium dibandingkan udara. Namun, penggunaan
barium lebih sering menimbulkan peritonitis septik dan gangguan elektrolit
jika terjadi perforasi usus halus. Angka keberhasilan barium enema sebagai
terapi sekitar 40 – 90% tergantung banyak faktor yang berkaitan dengan
pasien, operator, ataupun institusi. Keunggulan utama reduksi intususepsi
menggunakan udara adalah paparan radiasi rendah dan risiko peritonitis
rendah jika terjadi perforasi. Selain itu, penggunaan udara membuat
tindakan reduksi lebih cepat, aman,dan murah dibandingkan menggunakan
barium. Reduksi dengan udara lebih berhasil dengan komplikasi tidak
signifikan,tetapi tidak disarankan pada kasus intususepsi usus halus atau

15
kasus prolaps karena angka keberhasilannya rendah (Al-Mubarak et al.,
2018).
2. Operatif
Langkah awal sebelum melakukan teknik pembedahan adalah
memperbaiki keadaan umum dikerjakan sebelum melakukan tindakan
pembedahan. Pasien baru boleh dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi
jaringan telah baik. Pasang sonde lambung (NGT) untuk tujuan dekompresi
dan mencegah aspirasi. Rehidrasi cairan elektrolit dan atasi asidosis bila ada.
Berikan antibiotika profilaksis dan obat sedativa, relaksan otot, dan atau
analgetika bila diperlukan (Shekherdimian et al., 2009).
Reposisi manual dapat dilakukan dengan cara milking yaitu gerakan
seperti memerah susu. Reseksi usus dilakukan bila telah terjadi perforasi atau
ganggren pada, kemudian dilakukan anastomosis. Tindakan selama operasi
tergantung kepada temuan keadaan usus, reposisi manual dengan cara
“milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung pada
keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk tindakan ini
dilakukan secara transversal (melintang), pada anak-anak dibawah umur 2
tahun dianjurkan insisi transversal supraumbilikal oleh karena letaknya relatif
lebih tinggi. Ada juga yang menganjurkan insisi transversal infraumbilikal
dengan alasan lebih mudah untuk eksplorasi usus, mereduksi intusussepsi dan
tindakan appendektomi bila dibutuhkan. Tidak ada batasan yang tegas kapan
kita harus berhenti mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus dilakukan
apabila: pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila
viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab
invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomosis ”end to end”,
apabila hal ini memungkinkan tetapi bila tidak mungkin maka dilakukan
“exteriorisasi” atau enterostomi (Aydin et al., 2016).

16
Gambar 8. Milking procedure

2.9. Prognosis dan Komplikasi

Dengan diagnosis dini, resusitasi cairan dan terapi yang tepat, maka
angka kematian akibat intususepsi pada anak-anak kurang dari 1%. Namun,
jika tidak ditangani, kondisi ini berakibat fatal dalam 2-5 hari. Tingkat
rekurensi invaginasi setelah reduksi non-operatif biasanya kurang dari 10%.
Relaps biasanya terjadi dalam waktu 72 jam pasca serangan pertama dan
paling lama 36 bulan kemudian. Tingkat kejadian berulang pada terapi enema
udara sebesar 4% dan barium enema sebesar 10% (Chahine A, 2018).

Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi


lain yang dapat terjadi adalah dehidrasi, aspirasi dari emesis yang terjadi,
iskemia dan nekrosis usus yang dapat menyebabkan perforasi dan sepsis.
Nekrosis yang signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang
berhubungan dengan short bowel syndrome. Selain itu, infeksi, hernia dan
adhesi yang menyebabkan obstruksi intestinal, sepsis akibat peritonitis
(merupakan komplikasi mayor karena keterlambatan/missed diagnosis) (Xie
et al., 2018).

17
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Invaginasi ialah suatu keadaan dimana segmen proksimal dari usus
masuk ke dalam segmen distal usus berikutnya dengan membawa serta
mesenterium yang berhubungan. Invaginasi atau intususepsi merupakan
salah satu penyebab terbanyak obstruksi usus pada bayi dan anak kecil.
Penyebab invaginasi sebagian besar tidak diketahui.
Invaginasi paling sering mengenai daerah ileosaekal dan jarang terjadi
pada orang dewasa dibandingkan anak-anak. Lokasi terjadinya invaginasi
dapat pada entero-enterika, kolo-kolika, ileokolika, ileosekal. Invaginasi
dapat menyebabkan obstruksi usus sehingga jika tidak ditangani dengan
segera dan tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut berupa perforasi
sehingga terjadi peritonitis.
Tatalaksana dari invaginasi dapat berupa reduksi dengan barium
enema. Selain itu, dapat juga dilakukan prosedur operasi yang merupakan
pilihan utama atau jika terapi dengan barium enema gagal.
3.2. Saran
a. Penegakan diagnosis secara dini pada invaginasi sangat penting, karena
berhubungan dengan keparahan iskemia ataupun perforasi yang
mungkin akan terjadi.
b. Hendaknya klinisi dapat membaca hasil radiologis pada pasien dengan
invaginasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mubarak L, Alghmadi E, Alharbi S, Almasoud H, Al-Ali N, Mujurdy S, et


al. 2018. Air enema versus barium enema in intussusception: An overview. Int J
Community Med Public Health 5(5):1679-83.
Aydin N, Roth A, Misra S. 2016. Surgical versus conservative management of
adult intussusception: Case series and review. Internat J Surg Case Report; 20:142-6.
Bai YZ, Chen H, Wang WL. 2009. A special type of postoperative
intussusception: ileoileal intussusception after surgical reduction of ileocolic
intussusception in infants and children. J Pediatr Surg. 44(4):755-8.
Bines J, Ivanoff B. Acute intussusception in infants and children. Geneva,
Switzerland: World Health Organization; 2002.
Bowker B, Rascati S. Intussusception. Journal of the American Academy of
Physician Assistants. 2018;31(1):48-49.
Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR,Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB. 2010. Intussusception in Schwartz Principles of Surgery. 9th ed. McGraw-Hill
Companies, Chapter 39
Caruso AM, Pane A, Scanu A, Muscas A, Garau R, Caddeo F, et al. 2017.
Intussusception in children: Not only surgical treatment. J Pediatr Neonatal
Individualized Med 6(1):1-6.
Chahine A. 2018. Intussusception.
https://emedicine.medscape.com/article/930708-overview diakses 7 Desember 2019.
Hryhorczuk AL, Strouse PJ. 2009. Validation of US as a first-line diagnostic
test for assessment of pediatric ileocolic intussusception. Pediatr Radiol 39(10):1075-
9.
Ignacio RC, Fallat ME. 2010. Intussusception. In: Holcomb GW, Murphy JP,
editors. Ashcraft’s pediatric surgery. 5th ed. Philadephia: Saunders Elsevier.
Jenke A, Klaaen-Mielke R, Zilbauer M, Heininger U, Trampisch H, Wirth S.
Intussusception: Incidence and Treatment—Insights From the Nationwide German
Surveillance. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2011;52(4):446-
451.

19
Jiang W, Tang W, Geng Q, Xu X. Postoperative intussusception in infants and
children: a report of seven cases. Journal of Biomedical Research. 2012;26(1):66-68.
Marsicovetere P, Ivatury S, White B, Holubar S. Intestinal Intussusception:
Etiology, Diagnosis, and Treatment. Clinics in Colon and Rectal Surgery.
2016;30(01):030-039.
Mensah Y, Addy-Glover H, Twum M. 2011. Ultrasound guided hydrostatic
reduction of intussusception in children at Korle Bu teaching hospital: an initial
experience. Ghana Med J: 45(3): 128-131
Morrison J, Lucas N, Gravel J. 2009. Role of abdominal radiography in the
diagnosis of intussusception when interpreted by pediatric emergency physicians. J
Pediatr 155(4):556
Santoso MIJ, Yosodiharjo A, Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala
klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi
yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan.
2011.
Shekherdimian S, Lee SL, Sydorak RM, Applebaum H. 2009. Contrast enema
for pediatric intussusception: is reflux into the terminal ileum necessary for complete
reduction?.J Pediatr Surg 44(1):247-9; discussion 249-50.
Tareen F, Mc Laughlin D, Cianci F, Hoare SM, Sweeney B, Mortell A, et al.
2016. Abdominal radiography is not necessary in children with intussusception.
Pediatr Surg Int 32 (1):89-92.
Weihmiller SN, Buonomo C, Bachur R. 2011. Risk stratification of children
being evaluated for intussusception. Pediatrics 127(2):e296-303
Xie X, Wu Y, Wang Q, Zhao Y, Xiang B. 2018. Risk factors for recurrence of
intussusception in pediatric patients: A retrospective study. J Pediatr Surg 53
(11):2307-2311

20

Anda mungkin juga menyukai