Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN STUDI KASUS MENDALAM

STASE PENYAKIT DALAM DAN KRITIS

ASUHAN GIZI PADA PASIEN LAPAROSCOPIC APPENDECTOMY DI


BANGSAL PICU RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

DISUSUN OLEH :

RAUDHATUL HUNAINI

P07131522018

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DIETISIEN

JURUSAN GIZI

2022
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN STUDI KASUS MENDALAM PADA PASIEN


LAPAROSCOPIC APPENDECTOMY DI BANGSAL DAHLIA 3
RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Telah disetujui pada tanggal………………

Mengetahui, Menyetujui,
Ka. Instalasi Gizi Instruktur Klinik

Ririn Yuliati, S.SiT, M.Si Mawar Lestari, S.Gz


NIP. NIP.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya penyusunan laporan Asuhan Gizi Klinik dengan judul:
Studi Kasus Mendalam Pada Pasien Laparoscopic Appendectomy Di Bangsal
PICU 3 RSUP. dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dapat terselesaikan.

Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Praktek


Kerja Lapangan Asuhan Gizi Klinik. Penulisan laporan ini dapat terselesaikan
oleh bantuan banyak pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Instalasi Gizi RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro, Ibu Ririn Yuliati, S.SiT,
M.Si
2. Pembimbing Praktik Asuhan Gizi Klinik RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro, Ibu
Mawar Lestari, S.Gz
3. Pembimbing Praktik Kerja Lapangan RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro, Ibu
Dian Eka Sari, S.Gz
4. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan, serta
5. Teman-teman yang telah memberikan semangat dan motivasi

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari


sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun
untuk kesempurnaan penulisan laporan studi kasus di waktu akan datang.
Dengan segala kekurangan di dalamnya, semoga laporan ini dapat dijadikan
bahan pembelajaran dan perbaikan dalam melakukan studi selanjutnya.

Klaten, 29 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Tujuan...................................................................................................................5
1. Tujuan Umum....................................................................................................5
2. Tujuan Khusus...................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................7
A. Appendectomy......................................................................................................7
B. Appendisitis..........................................................................................................8
C. Penatalaksanaan Gizi Pada Pasien Laparoscopic Appendectomy H2...........11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendisitis atau radang usus buntu adalah suatu inflamasi akut pada
apendiks vermiformis (umbai cacing/usus buntu) yang sering dihubungkan
dengan obstruksi dan dapat terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh infeksi
bakteri. Penyakit ini dapat ditemukan di semua umur dan jenis kelamin (Bintang
A.A, 2021). Apendisitis paling sering terjadi pada anak yang lebih tua, dengan
insiden puncak antara usia 12 sampai 18 tahun. Pada anak di bawah usia 5 tahun,
kondisi ini jarang terjadi, dengan kasus kurang dari 5%, dan pada anak di bawah
usia 3 tahun lebih jarang terjadi, dengan kasus kurang dari 1%. Risiko apendisitis
seumur hidup diperkirakan sebesar 8,7% untuk anak laki-laki dan 6,7% untuk
anak perempuan. Di Amerika Serikat, lebih dari 70.000 kasus apendisitis
ditemukan pada anak-anak setiap tahunnya, oleh karena itu dikatakan sebagai
kondisi bedah akut yang paling umum terjadi (Patmasari et al., 2022).
Insidensi apendisitis di Asia pada tahun 2004 menurut World Health
Organization (WHO) adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Hasil survey
angka insidensi apendisitis yaitu terdapat 11 kasus pada setiap 1000 orang di
Amerika pada usia tersering 10 – 30 tahun dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan 1,4 : 1. Menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006, angka
kejadian apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antar kasus
kegawat daruratan abdomen dan menduduki urutan keempat dari seluruh penyakit
abdomen terbanyak setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis dengan jumlah
pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Amalina et al., 2018).
Pada umumnya, apendisitis terjadi akibat adanya sumbatan yang kemudian
diikuti oleh infeksi. Sumbatan pada apendisitis terjadi akibat adanya hiperplasia
jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan.Diagnosis
appendisitis akut harus ditegakkan dengan akurat dalam waktu secepat mungkin,
sehingga appendisitis dapat diobati dengan mudah. Sebaliknya, jika menunda
diagnosis dan pengobatan dapat menyebabkan perforasi gangren dan peritonitis
difus. Tatalaksana terhadap apendisitis ini adalah apendektomi (Pratama, 2022).

4
Appendektomi merupakan pengobatan melalui prosedur tindakan operasi
hanya untuk penyakit appendiksitis atau pengangkatan usus buntu yang terinfeksi.
Appendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi
lebih lanjut (komplikasi) seperti peritonitis atau abses (Fatkan et al., 2018).
Komplikasi setelah operasi apendiktomi antara lain perdarahan, perlengketan
organ dalam, dan infeksi pada daerah operasi. Apendiktomi termasuk dalam
kategori operasi bersih kontaminasi, kemungkinan timbulnya infeksi pada operasi
ini adalah 5 - 15% (R. Putri, 2013).
Berdasarkan hal ini, rekomendasi perilaku diet sesuai dengan penyakit
penyerta pasien sangat penting dilakukan dalam mengatasi dan mencegah
komplikasi lebih lanjut pada pasien Laparoscopic Appendectomy.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan pelaksanaan gizi dan penatalaksanaan diet pada
pasien Laparoscopic Appendectomy H2 di Bangsal PICU RSUP. dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menginterpretasi data subjektif dan objektif pada pasien
dengan penyakit Laparoscopic Appendectomy H2.
b. Mampu mengidentifikasi masalah gizi dan menganalisis tingkat
resiko gizi pada pasien dengan penyakit Laparoscopic
Appendectomy H2.
c. Mampu menentukan diagnosa gizi pada pasien dengan penyakit
Laparoscopic Appendectomy H2.
d. Mampu melakukan intervensi gizi (rencana dan implementasi
asuhan gizi) pada pasien dengan penyakit Laparoscopic
Appendectomy H2.
e. Mampu memonitoring dan mengevaluasi rekomendasi diet yang
telah diberikan serta melakukan evaluasi hasil pemeriksaan
antropometri, fisik, klinis, dan laboratorium pada pasien dengan
penyakit Laparoscopic Appendectomy H2.

5
f. Mampu mengedukasi dietetik persomal pada pasien dengan penyakit
Laparoscopic Appendectomy H2.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Appendectomy
1. Pengertian Appendectomy
Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan
apendiks. Apendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur
tindakan operasi hanya untuk penyakit apendisitis atau
penyingkiran/pengangkatan usus buntu yang terinfeksi. Apendiktomi
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi lebih
lanjut seperti peritonitis atau abses (Kosanke, 2019).

2. Tipe-Tipe Appendectomy
Terdapat 2 jenis apendiktomi yaitu (Kosanke, 2019):
a. Operasi usus buntu terbuka. Apendektomi terbuka dilakukan dengan
membuat irisan pada bagian kanan bawah perut sepanjang 2-4 inci.
Usus buntu diangkat melalui irisan ini kemudian irisan ditutup
kembali. Apendektomi terbuka harus dilakukan jika usus buntu
pasien sudah pecah dan infeksinya menyebar. Apendektomi terbuka
juga merupakan metode yang harus dipilih bagi pasien yang pernah
mengalami pembedahan di bagian perut.
b. Operasi usus buntu laparoskopi. Apendektomi laparoskopi dilakukan
dengan membuat 1-3 irisan kecil di bagian kanan bawah abdomen.
Setelah irisan abdomen dibuat, dimasukan sebuah alat laparoskop ke
dalam irisian tersebut untuk mengangkat apendiks. Laparoskop
merupakan alat berbentuk tabung tipis panjang yang terdiri dari
kamera dan alat bedah. Pada saat dilakukan apendektomi
laparoskopi, dokter akan memutuskan apakah dibutuhkan
apendektomi terbuka atau tidak.

7
3. Teknik Operasi Laparoscopic Appendectomy
Laparaskopi apendiktomi merupakan tindakan bedah invasive
minimal yang paling banyak digunakan pada kasus appendicitis akut.
Tindakan apendiktomi dengan menggukanan laparaskopi dapat
mengurangi ketidaknyamanan pasien jika menggunakan metode open
apendiktomi dan pasien dapat menjalankan aktifitas paska operasi
dengan lebih efektif. Laparaskopi apendiktomi tidak perlu lagi
membedah rongga perut pasien. Metode ini cukup dengan memasukan
laparaskop pada pipa kecil (yang disebut trokar) yang dipasang melalui
umbilicus dan dipantau melalui layar monitor. Selanjutnya dua trokar
akan melakukan tindakan pemotongan apendiks. Tindakan dimulai
dengan observasi untuk mengkonfirmasi bahwa pasien terkena
apendisitis akut tanpa komplikasi. Pemisahan apendiks dengan jaringan
mesoapendiks apabila terjadi adhesi. Kemudian apendiks dipasangkan
dipotong dan dikeluarkan dengan menggunakan forsep bipolar yang
dimasukan melalui trokar. Hasilnya pasien akan mendapatkan luka
operasi yang minimal dan waktu pemulihan serta waktu perawatan di
rumah sakit akan menjadi lebih singkat (Farizal et al., 2016).

B. Appendisitis
1. Pengertian Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis
dengan mula gejala akut yang ditandai adanya nyeri pada kuadran
abdomen kanan bagian bawah, nyeri lepas alih, spasme otot diatasnya
dan hiperestesia kulit yang apabila sudah kronik maka akan ditandai
adanya penebalan fibrotic dinding organ apendiks vermiformis tersebut
(Sukmahayati, 2016).

8
2. Klasifikasi Appendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu (Farizal et al., 2016) :
a. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering muncul dengan gejala yang khas, didasari
oleh radang mendadak pada apendiks yang disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah
nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual,
muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke titik Mc. Burney. Nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
b. Apendisitis Kronik
Diagnostik apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu.
Radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik,
dengan kritea fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total di adanya sel inflamasi kronik

3. Etiologi Appendisitis
Obstruksi atau penyumbatan pada lumen apendiks menyebabkan radang
apendiks. Lendir kembali dalam lumen apendiks menyebabkan bakteri
yang biasanya hidup di dalam apendiks bertambah banyak. Akibatnya
apendiks membengkak dan menjadi terinfeksi. Sumber penyumbatan
meliputi (S. Putri, 2019):
a. Fecalith (Massa feses yang keras)
b. Benda asing (Biji-bijian)
c. Tumor apendiks
d. Pelekukan/terpuntirnya apendiks
e. Hiperplasia dari folikel limfoid
Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi
mukosa apendiks oleh parasit Entamoeba histolytica.

9
4. Manifesti Klinis
Gejala-gejala apendisitis biasanya mudah di diagnosis, yang paling
umum adalah nyeri perut. Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang
khas, yang terdiri dari (S. Putri, 2019):
a. Nyeri
Penderita apendisitis umumnya akan mengeluhkan nyeri pada perut
kuadran kanan bawah. Gejala yang pertama kali dirasakan pasien
adalah berupa nyeri tumpul, nyeri di daerah epigastrium atau di
periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu nyeri
akan terasa lebih tajam dan berlokasi ke kuadran kanan bawah
abdomen. Nyeri semakin buruk ketika bergerak, batuk atau bersin.
Biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada pinggang, serta
mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan dan menghindari
nyeri yang semakin parah.
b. Mual dan Muntah
Mual dan muntah sering terjadi beberapa jam setelah muncul nyeri.
c. Anoreksia
Mual dan muntah yang muncul berakibat pada penurunan nafsu
makan sehingga dapat menyebabkan anoreksia.
d. Demam
Demam dengan derajat ringan (37,6 -38,5°C) juga sering terjadi
pada apendisitis. Jika suhu tubuh diatas 38,6°C menandakan terjadi
perforasi.
e. Sembelit atau diare
Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum
terminal atau caecum.

5. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga beruma masa yang terdiri atas kumpulan

10
apendiks, sekum dan letak usus halus. Komplikasi usus buntu juga dapat
meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usu, abses abdomen/pelvis
dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Sukmahayati, 2016).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif (Sukmahayati, 2016) :
a. Konservatif
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotic untuk
kuman gram negative dan positif serta kuman anerob
b. Operatif
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
apendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa
antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan
cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan
oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau
spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut
kanan bawah di atas daerah apendiks. Alternatif lain operasi
pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Jika
sudah ada indikasi komplikasi pada jaringan apendiks maupun di
sekitar apendiks, dilakukan tindakan laparatomi.

C. Penatalaksanaan Gizi Pada Pasien Laparoscopic Appendectomy H2


1. Skrining Gizi Strong Kids
Strong kids adalah instrument yang valid, reliabel, mudah digunakan
dan cepat dengan median waktu penyelesaian hanya 3 menit. Selain itu,
instrument ini juga dapat digunakan oleh perawat dalam praktek sehari-
hari. Strong kids telah divalidadsi pada populasi anak berbagai negara
seperti Belgia, Belanda dan Inggris. Anak-Anak bisa diklasifikasikan
sebagai risiko rendah memiliki 5% kemungkinan intervensi gizi selama

11
dirawat di rumah sakit. Metode skrining ini meliputi 4 parameter yaitu
Subjective Global Assessment (SGA); penyakit dengan risiko tinggi,
asupan gizi dan kehilangannya, kehilangan berat badan atau peningkatan
berat badan yang kurang. Strong kids digunakan untuntuk menilai risiko
malnutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit. Alat ini terdiri atas 4
penilaian dengan skor 1-2 point untuk setiap item dan maksimal skor
adalah 5. Metode ini kemudian membagi anak-anak yang dirawat di
rumah sakit kedalam 3 kelompok risiko yang ditentukan dari kombinasi
riwayat penurunan berat badan, kesan klinis dan pertanyaan mengenai
status gizi.

Gambar 1. Form Skrining Strong Kids

12
2. Terapi Gizi Pada Pasien Laparoscopic Appendectomy H2
a. Penentuan Status Gizi Menggunakan Standar Antropometri
Anak
Standar Antropometri Anak digunakan untuk menilai atau
menentukan status gizi anak. Penilaian status gizi anak dilakukan
dengan membandingkan hasil pengukuran berat badan dan
panjang/tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak.
Klasifikasi penilaian status gizi berdasarkan Indeks Antropometri
sesuai dengan kategori status gizi pada WHO Child Growth
Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO Reference 2007
untuk anak 5-18 tahun. Salah satu standar antropometri anak yang
dapat digunakan adalah IMT/U. Indeks IMT/U digunakan untuk
menentukan kategori gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, berisiko gizi
lebih, gizi lebih dan obesitas (Kementrian Kesehatan RI, 2020).
Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Gizi buruk (severely <-3 SD
Indeks Massa
thinness)
Tubuh Menurut
Gizi kurang (thinness) -3 SD sd <-2 SD
Umur (IMT/U)
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Anak usia 5 – 18
Gizi lebih (overweight) +1 SD sd +2 SD
tahun
Obesitas (obese) >+2 SD
Sumber: PMK no. 2 Tahun 2020

b. Intervensi (Diet Energi Tinggi Protein Tinggi)


Menurut Almatsier (2004) menjelaskan bahwa tujuan diet energi
tinggi protein tinggi adalah memenuhi kebutuhan energi dan protein
yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan
jaringan tubuh serta menambah berat badan hingga mencapai berat
badan normal. Syarat-syarat diet energi tinggi protein tinggi adalah:
1. Energi tinggi, yaitu 40 – 45 kkal/kg BB
2. Protein tinggi, yaitu 2,0 – 2,5 g/kg BB

13
3. Lemak cukup, yaitu 10 – 25% dari kebutuhan energi total
4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total
5. Vitamin dan mineral cukup, sesuai kebutuhan normal
6. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna

c. Penilaian Konsumsi dan Asupan Makanan


1) Metode Food Recall 24 Jam
a. Pengertian food recall 24 jam
Prinsip dari metode food recall 24 jam, dilakukan dengan
mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi
pada periode 24 jam yang lalu. Survei konsumsi gizi individu
lebih disarankan menggunakan recall 24 jam konsumsi gizi
dikarenakan dari sisi kepraktisan dan kevalidan data masih
dapat diperoleh dengan baik selama yang melakukan terlatih.
Metode ini cukup akurat, cepat pelaksanaannya, murah,
mudah, dan tidak memerlukan peralatan yang mahal dan
rumit. (Supariasa, 2002).
b. Tahapan melakukan food recall 24 jam
Recall konsumsi gizi memiliki unit analisis terkecil selama
24 jam atau sehari. Jangka waktu minimal yang dibutuhkan
untuk recall 24 jam konsumsi gizi adalah satu hari (dalam
kondisi variasi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak
beragam) dan maksimal 7 hari. Namun paling ideal
dilakukan dalam satu minggu atau 7 hari.Pengulangan recall
dapat dilakukan untuk meningkatkan ketepatan data zat gizi
yang diperoleh. Pengulangan dapat dilakukan pada musim
berbeda, missal recall 24 jam konsumsi pangan yang pertama
selama 7 hari dilakukan saat musim kemarau, pengulangan
recall 24 jam 6 konsumsi pangan (recall 24 jam konsumsi
pangan tahap kedua) dilakukan selama 7 hari pada musim
penghujan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: Gramedia

Amalina, A., Suchitra, A., & Saputra, D. (2018). Hubungan Jumlah Leukosit Pre
Operasi dengan Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendektomi pada
Pasien Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 7(4), 491. https://doi.org/10.25077/jka.v7i4.907

Bintang A.A, S. E. (2021). Karakteristik Apendisitis Pada Pasien Di Rumah Sakit


Umum Haji Mendan Pada Januari 2017- Desember 2019. Jurnal Ilmiah
Kohesi, 5(3), 284–292.

Farizal, I., Prasetyo, S., & Lestari, E. (2016). Perbandingan Pemakaian


Ceftriaxone Terhadap Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Apendisitis Akut
Non Komplikata Yang Dilakukan Laparatomi Dan Laparaskopi
Apendiktomi. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 5(4), 1007–1012.

Fatkan, M., Yusuf, A., & Herisanti, W. (2018). Pengaruh Kombinasi Mobilisasi
Dini dan Relaksasi Spiritual terhadap Tingkat Nyeri Klien Post Operasi
Apendektomi. Jurnal Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, 1(1), 117–
124.

Kementrian Kesehatan RI. (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak (Issue
3, pp. 1–78).

Kosanke, R. M. (2019). Appendiktomi.

Patmasari, L., Herizal, H., & Muhammad, S. (2022). Karakteristik Penderita


Apendisitis yang Dioperasi di Divisi Bedah Anak RSUP Dr. M. Djamil
Padang Periode 2019-2020. Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia, 2(4), 286–
293. https://doi.org/10.25077/jikesi.v2i4.496
Pratama, Y. (2022). Aspek Klinis dan Tatalaksana Apendisitis Akut Pada Anak.
Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 5(2), 6–37.

Putri, R. (2013). Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Operasi


Apendiktomi di RSUD DR. Moewardi. 2(30), 1–17.

Putri, S. (2019). Karya ilmiah akhir asuhan keperawatan pasien Appendiksitis.


116. http://scholar.unand.ac.id

Sukmahayati, S. (2016). Angka Kejadian Apendisitis di RSUD dr. Adjidarmo


Kabupaten Lebak pada Tahun 2016. Program Studi Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Negeri, 26–33.

15

Anda mungkin juga menyukai