1. SRI DAYANTI
2. SYAHWANDI
3. YANI EKASARI
4. DEPIANA SITORUS
5. DAYANG SUBARSIH
6. RATMI HAYATI
7. NUR AZIZAH
8. ARDIAN
9. NOFI ILMAYANTI
Penulis
i
DAFTAR ISI
Daftar Pustaka…………………………………………………………….. 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Menurut Melnyk & Fineout-Overholt (2011) Evidence-Based Practice in
Nursing adalah penggunaan bukti ekternal, bukti internal (clinical expertise), sert
a manfaat dan keinginan pasien untuk mendukung pengambilan keputusan di pela
yanan kesehatan.
Keperawatan berbasis bukti adalah pendekatan untuk membuat keputusan
yang berkualitas dan memberikan asuhan keperawatan berdasarkan pada keahlian
klinis pribadi dalam kombinasi dengan penelitian terbaru yang relevan yang
tersedia pada topik tersebut. Pendekatan ini berbasis bukti sebagai dasar.
Aerotitis atau barotrauma merupakan suatu gangguan telinga yang terjad
i akibat perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu tubuh ber
gerak ke atau dari lingkungan tekanan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan tu
ba gagal untuk membuka. Apabila perubahan tekanan melebihi 90 cmHg, maka ot
ot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjad
inya tekanan negatif di rongga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh dara
h kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehi
ngga cairan ditelinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah.
B. Etiologi
Aerotitis paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini tertutama karen
a rumitnya fungsi tuba eustachius. Tuba eustachius secara normal selalu tertutup n
amun dapat terbuka pada gerakan menelan,mengunyah, menguap, dan dengan ma
nuver Valsava. Dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga da
lam telinga tengah dan dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Peningkatan tekan
an ini menyebabkan pembuluh darah kecil pada mukosa telinga akan berdilatasi d
an pecah dan menyebkan hemotimpanum dan kadang dapat menyebabkan ruptur
membran timpani. Aerotitis terjadi akibat perbedaan tekanan barometrik, baik saat
menyelam atau saat terbang.
2
C. Patofisiologi
Pilek, rinitis alergika serta berbagai reaksi individual, semuanya merupa
kan predisposisi terhadap disfungsi tuba eustachius. Aerotitis dengan ruptur timpa
ni dapat terjadi setelah menyelam atau melakukan perjalanan dengan pesawat terb
ang.
Saluran telinga luar, teling tengah, telinga dalam dapat dianggap sebagai
kompartmen tersendiri, ketiganya dipisahkan satu dengan yang lain oleh membran
timpani dan membran tingkap bundar dan tinggkap oval.
Telinga tengah merupakan suatu rongga tulang dengan hanya satu pengh
ubung ke dunia luar, yaitu melalui tuba eustachius. Tuba ini biasanya selalu tertut
up dan hanya akan membuka pada waktu menelan, menguap, dan valsava manuve
r. Valsava manuver dilakukan dengan menutup mulut dan hidung, lalu meniup de
ngan kuat. Dengan demikian tekanan di dalam pharynx akan meningkat sehingga
3
muara dapat terbuka. Ujung tuba di bagian telinga tengah akan selalu terbuka, kar
ena terdiri dari massa yang keras/ tulang. Sebaliknya ujung tuba dibagian pharynx
akan selalu tertutup karena terdiri dari jaringan lunak, yaitu mukosa pharynx yang
sewaktu-waktu akan terbuka disaat menelan. Perbedaaan anatomi antara kedua uj
ung tuba ini mengakibatkan udara lebih mudah mengalir keluar daripada masuk k
e dalam cavum timpani. Hal inilah yang menyebabkan kejadian aerotitis lebih ban
yak alami pada saat menurun dari pada saat naik tergantung pada besarnya perbed
aan tekanan, maka dapat terjadi hanya rasa sakit (karena teregangnya membran ti
mpani) atau sampai pecahnya membran timpani.
D. Manifestasi Klinis
Keluhan pasien dapat berupa kurang pendengaran, rasa nyeri dalam telin
ga, auofoni, perasaan ada air dalam telinga dan kadang-kadang tinitus dan vertigo.
Gejala klinis barotrauma telinga:
1. Gejala descent barotrauma:
- Nyeri (bervariasi) pada telinga yang terpapar
- Kadang ada bercak darah di hidung dan nasofaring
- Rasa tersumbat dalam telinga / tuli konduktif
2. Gejala ascent barotrauma :
- Rasa tertekan atau nyeri dalam telinga
- Vertigo
- Tinnitus / tuli ringan
- Barotrauma telinga dalam sebagai komplikasi
4
Grade 5 : perdarahan meatus eksternus + ruptur membrane timpani.
E. Diagnosis
Anamnesis yang teliti sanagat membantu penegakan diagnosis. Jika dari
anamnesis ada riwayat nyeri telinga atau pusing, yang terjadi setelah penerbangan
atau penyelaman, adanya barotrauma harus dicurigai. Diagnosis dapat dikonfirma
si melalui pemeriksaan telinga, dan juga tes pendengaran dan keseimbangan.
Diagnosa dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga nampak sedikit m
enonjol keluar atau mengalami retraksi. Pada kondisi yang berat bias terdapat dar
ah dibelakang gendang telinga, kadang-kadang gendang telinga mengalami perfor
asi. Dapat disertai gangguan pendengaran konduktif ringan.
Perlu ditekankan bahwa tinnitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorin
eural adalah gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tida
k jarang menyebabkan kerusakan telinga dalam. Kerusakan telinga dalam merupa
kan masalah yang serius dan mungkin memerlukan pembedahan untuk mencegah
kehilangan pendengaran yang menetap. Semua orang yang mengeluh kehilangan
pendengaran dengan barotrauma harus menjalani uji pendengaran dengan rangkai
an penala untuk memastikan bahwa pendengaran bersifat konduktif dan bukannya
sensoneural.
F. Tatalaksana
5
Untuk mengurangi rasa nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga, p
ertama yang perlu dilakukan adalah berusaha membuka tuba eustachius dan meng
urangi tekanan dengan mengunyah permen karet atau menguap, atau menghirup u
dara, kemudian menghembuskan secara perlahan lahan sambil menutup lubang hi
dung dengan tangan dan menutup mulut.
Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membra
n nasalis dapat mengkerut dengan semprotan nosinefrin dan dapat diusahakan me
nginflasi tuba eustachius dengan preparat politzer, khususnya dilakukan pada ana
k- anak berusia 3-4 tahun. Kemudian diberikan dekongestan, antihistamin atau ko
mbinasi keduanya selama 1-2 minggu atau sampai gejala hilang, antibiotik tidak d
iindikasikan kecuali bila terjadi perforasi didalam air yang kotor. Preparat politzer
terdiri dari tindakan menelan air dengan bibit tertutup sementara ditiupkan udara k
edalam salah satu nares dengan kantong politzer atau apparatus senturi, nares yan
g ditutup. Kemudian anak dikejutkan dengan meletusnya balon ditelinganya, bila t
uba eustachius berhasil inflasi, sejumlah cairan akan terevakuasi dari telinga tenga
h dan sering terdapat gelembung-gelembung udara pada cairan.
G. Pencegahan
Usaha preventif terhadap barotruma dapat dilakukan dengan selalu meng
unyah permen karet atau melakukan perasat valsava, terutama sewaktu pesawat te
rbang mulai turun untuk mendarat. Khusus pada bayi disarankan agar menunda pe
nerbangan bila disertai pilek. Bila memungkinkan maka bayi sesaat sebelum mend
arat harus tetap disusui atau harus tetap menghisap air botol, agar tuba eustachius t
etap terbuka.
Nasal dekongestan atau anti histamin bisa digunakan sebelum terpapar p
erubahan tekanan yang besar. Usahakan untuk menghindari perubahan tekanan ya
ng besar selama mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas atau serangan a
lergi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari aerotitis, antara lain tulikonduksi, ruptura
tauperforasi membrane timpani, dan infeksitelingaakut.2
6
7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan ada kritik dan saran yang dapat mem
bangun sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.
C.
8
DAFTAR PUSTAKA
http://kampus-kedokteran.blogspot.co.id/2011/10/barotrauma.html
Guyton dan Hall, 2007, Buku Ajar Fisologi Kedokteran edisi 11. ECG, Jakarta
9
CONTOH JURNAL
Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 Tersedia onli
ne di https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care ISSN 2527-8487 (online) ISSN 208
9-4503 (cetak) Cara mengutip: Martinus, Ishak., Hadisaputro, Suharyo & Munasi
k. (2020).
ABSTRACT
Inability to equate middle ear space pressure with the surrounding environment c
an cause tissue damage or barotrauma. Factors influencing the incidence of middl
e ear barotrauma in traditional divers are colds, smoking, frequency of diving and
length of diving. The purpose of explaining the factors related to the occurrence of
barotrauma in the middle ear of traditional breath-resistant divers. The analytic ob
servational research design with cross sectional approach is supported by in-depth
interviews, by conducting interviews using questionnaires and otoscopy examinati
ons of respondents to determine the events of middle ear barotrauma. The study p
opulation was traditional divers, totaling 78 respondents. The dependent variable i
s the occurrence of barotrauma in the middle ear of traditional divers, the indepen
dent variable with colds, smoking habits, frequency of diving and length of diving,
data analysis using bivariate and multivariate. Results as many as 32 people (41.0
%) of 78 respondents experienced middle ear barotrauma. Bivariate analysis show
ed a correlation between the frequency of diving with the events of the middle ear
barotrauama p = 0.012. Logistic regression test showed the significance value of t
he frequency of diving ≥ 4 days / week (p = 0.0106; PR = 5.310; 95% CI = 1.619-
17.413). Conclusion of factors related to the incidence of middle ear barotrauma i
n traditional divers is the frequency of diving hari 4 days / week, with a probabilit
y of 38.13%. Keywords: Barotraumas; frequency of dives; traditional divers.
ABSTRAK
Perubahan tekanan udara dalam rongga udara fisiologis tubuh dengan teka
nan disekitarnya, dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh yang di sebut baro
trauma, dapat terjadi pada bagian tubuh yang berongga, antara lain paru-paru, sinu
s-sinus paranasalis, dan telinga (R Riyadi S, 2016). Barotrauma paling sering terja
di pada telinga tengah, hal ini terutama karena rumitnya fungsi tuba eustachius (A
dams GL, et al. 1997).
Menurut Lynch JH, Bove AA. (2009) barotrauma telinga tengah terjadi pada 30%
penyelam pemula dan 10% pada penyelam berpengalaman. Penelitian Goplen et a
l. (2009) di Statens dykkerskole (Norwegian State Diving School) menemukan 17
dari 47 penyelam atau 36% penyelam mengalami barotrauma telinga tengah. Dep
kes RI (2008) menyatakan bahwa di Kepulauan Seribu, Pulau Panggang dan Pula
u Pramuka Indonesia, tahun 1994-1996 sebanyak 41,37% penyelam mengalami b
arotrauma telinga. Prasetyo dkk. (2011) menyatakan angka kejadian barotrauma p
ada penyelam tradisional di Banyuwangi sebanyak 32,4% dari 74 orang penyelam
dan yang menderita barotruma telinga tengah sebanyak 83,3%. Berdasarkan
hasil penelitian Jellyta (2014), menyatakan dari 60 responden penyelam tradisiona
l, terdapat penyelam tahan napas 33,3%, dan pernah menderita gejala awal penyak
it penyelaman yaitu pusing/sakit kepala (21,2%), perdarahan hidung dan telinga (7
5%). Di Balaesang Tanjung penyelaman dilakukan hampir setiap hari tanpa meng
gunakan peralatan selam, pada kedalaman < 10 meter, dalam melakukan penyela
man sebagian besar peselam melakukan kegiatan di dasar laut 1 - 2 jam. Semakin
lama penyelam di bawah permukaan air artinya semakin lama terpapar dengan tek
anan dan semakin sering untuk menyamakan tekanan (ekualisasi), maka semakin
besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tekanan. Frekuensi atau sering
nya penyelam melakukan aktivitas penyelaman dalam satu minggu lebih dari 4 ha
ri, sehingga kemungkinan risiko terjadinya keluhan akibat penyelaman semakin b
esar. Penyelam tahan nafas akan lebih banyak 130 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Keseh
atan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137
frekuensi menyelam karena penyelaman tersebut tidak mampu bertahan lama di k
edalaman, sehingga harus naik turun ke permukaan untuk mendapatkan suplai uda
ra (Tuti Ekawati, 2005).
Menurut G Adam, et al. (1997) dan Carl Edmonds, et al. (2012) menyatakan bahw
a semakin sering seorang penyelam menyelam akan lebih sering terjadi trauma tek
anan berulang pada telinga tengah dan dalam, menyebabkan penciutan tuba eustac
hius dan organ keseimbangan pada telinga dalam, mengalami pembengkakan jarin
gan dan penyumbatan pada tuba eusthacius, yang dapat menyebabkan kegagalan e
kualisasi. Semua Penyelam di lokasi penelitian belum pernah mendapatkan penyul
uhan tentang kesehatan penyelaman, sehingga penyelam kurang mengetahui tenta
ng bagaimana cara menyelam yang sehat, dan lebih dari 55% penyelam menyatak
an merokok dan juga mengkonsumsi alkohol sebelum melakukan penyelaman.
Pendapatan penyelam per bulan masih banyak yang di bawah Rp. 500.00
0,- hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga untuk mendapatkan pengh
asilan yang lebih penyelam kadang mengabaikan kondisi kesehatannya dalam mel
akukan kegiatan penyelaman. Sakit pilek dan kebiasaan merokok dalam kesehatan
penyelaman pada dasarnya dapat menghambat proses ekualisasi dimana sakit pile
k menimbulkan reaksi inflamasi yang mengakibatkan hipersekresi dan penumpuk
an lendir membuat ekualisasi menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
METODE PENELITIAN
Desain peneletian observasional analitik, dengan studi cross-sectional ditu
njang dengan penelitian kualitatif, melalui indepth interview. Populasi penelitian a
dalah semua penyelam tradisional tahan nafas di Kecamatan Balaesang Tanjung K
abupaten 131 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137
Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, yang berjumlah 78 penyelam.
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan analisis univariat, bivariat d
engan menggunakan uji Chi-Square dan analisis multivariat regresi logistik ganda
dengan metode enter. Tingkat signifikansi ditetapkan pada 0,05.
Penelitian ini telah ditinjau dan disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK) Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit dr. Karia
di Semarang.
Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian terbukti, artinya secara statisti
k ada hubungan frekuensi penyelaman dengan kejadian barotrauma telinga tengah
pada penyelam tradisional , dan lama menyelam dengan nilai p-value = 0,107 (p <
0,25) 133 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 me
rupakan variabel kandidat untuk dilanjutkan dalam analisis multivariat (Tabel 3).
Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda dengan metode enter pa
da tingkat kemaknaan 95% menunjukkan frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu s
ecara statistik, berpengaruh dan merupakan faktor risiko kejadian barotrauma telin
ga tengah pada penyelam tradisional di Balaesang Tanjung dengan p = 0,006; PR
= 0,442, 95% CI = 1,619–17,413 (Tabel 4). Tabel 4.
Faktor risiko sakit pilek atau kebiasaan merokok dalam kesehatan penyelaman pa
da dasarnya dapat menghambat proses ekualisasi dimana sakit pilek menimbulkan
reaksi inflamasi yang mengakibatkan hipersekresi dan penumpukan lendir membu
at ekualisasi menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan hal ini dikarenak
an sakit pilek merupakan salah satu faktor predisposisi terhadap disfungsi tuba eus
tachius (Soepardie EA, 2000), sedangkan kebiasaan merokok dapat menyebabkan
iritasi selaput lendir pada saluran pernafasan. Paparan asap rokok menyebabkan in
flamasi mukosa pada telinga tengah dan tuba eustachius. Fungsi tuba eustachi
us yang terganggu akan menyebabkan gangguan ventilasi telinga tengah (kegagala
n ekualisasi). Penyebab gangguan fungsi tuba eustachius bermacam-macam, salah
satunya adalah kebiasaan merokok (Hussain TA,2010).
Pada penelitian ini faktor risiko kebiasaan merokok tidak terbukti sebagai faktor y
ang berpengaruh terhadap kejadian barotrauma telinga tengah. Harianingrum A, d
kk (2017) dalam penelitiannya menunjukkan insidensi gangguan fungsi tuba eusta
chius pada perokok sebesar 74,7%.
Variabel lama menyelam pada penenlitian ini tidak terbukti secara statistik
sebagai faktor yang 135 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, h
al 127-137 berpengaruh terhadap kejadian barotrauma telinga tengah penyelam tra
disional, kemungkinan dikarenakan paparan tekanan lingkungan pada penyelam ti
dak lama karena penyelam tahan nafas biasanya waktu menyelamnya tidak lama,
hanya beberapa menit saja (Depkes, 2008).
Penyelam tahan nafas akan lebih banyak frekuensi menyelam karena peny
elaman tersebut tidak mampu bertahan lama di kedalaman, sehingga harus naik tu
run ke permukaan untuk mendapatkan suplai udara (Tuti Ekawati, 2005).
Menurut G Adam, et al. (1997) dan Carl Edmonds, et al. (2012) menyatak
an bahwa semakin sering seorang penyelam menyelam akan lebih sering terjadi tr
auma tekanan berulang pada telinga tengah dan dalam, tuba eustachius akan tertek
an, menyebabkan penciutan tuba eustachius dan organ keseimbangan pada telinga
dalam, mengalami pembengkakan jaringan dan penyumbatan pada tuba eusthacius.
Jika tuba eusthacius tersumbat maka tekanan di dalam telinga tengah berbeda den
gan tekanan di luar gendang telinga, menyebabkan terjadi perforasi gendang teling
a bahkan telinga mungkin akan terlihat berdarah (Depkes RI, 2002). Hasil indepth
interview dengan informan penyelam, mengatakan bahwa : Kami menyelam hamp
ir setiap hari, untuk memenuhi kebutuhan hidup 136 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kes
ehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 keluarga. Kami menyelam dalam satu hari
bisa 2 sampai 4 kali, untuk melihat jaring tersangkut di karang atau sudah ada ika
n yang masuk dalam jaring tidak tergantung dari jenis hasil tangkapan…
KESIMPULAN
REFERENSI
Adams G, Boies L, Higler P. Boies. (1997). Buku Ajar Penyakit THT. Jak
arta: EGC Bentz BG, Hughes CA. (2012) Barotrauma :American Hearing Researc
h Foundation. Northwestern University. USA http://american-hearing.org/disorder
s/barotrauma/ Bofe J. (2014).
Pengaruh Derajat Merokok Terhadap Fungsi Tuba Eustachius Pada Perokok Aktif.
Jurnal Kedokteran Diponegoro Hussain TA. (2010).
Penyakit Akibat Kerja karena Pajanan Hiperbarik dan Penyakit lain Akiba
t Penyelaman. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Kerja dan Olah Raga
Kemenkes RI. (2013).
Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. 2 ed. Surabaya: Lakesla Ramos CC,
dkk. (2005).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi
ke empat, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sugianto. (2014).
TELAAH JURNAL
PENDAHULUAN
128 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137
barotrauma telinga tengah penyelam tradisional tahan nafas. Desain peneli
tian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional di tunjang indepth i
nterview, dengan melakukan wawancara mengunakan kuiseioner dan pemeriksaan
otoskopi terhadap responden untuk mengetahui kejadian barotrauma telinga tenga
h. Populasi studi adalah penyelam tradisional, berjumlah 78 reponden. Variabel de
penden kejadian barotrauma telinga tengah penyelam tradisional, variabel indepen
den sakit pilek, kebiasaan merokok, frekuensi penyelaman dan lama menyelam, a
nalisis data menggunakan bivariat dan multivariat.
Metode :
Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian barotrauma telinga tengah
pada penyelam tradisional tahan nafas di Balaesang Tanjung. Sedangkan variabel
independen adalah sakit pilek, kebiasaan merokok, frekuensi penyelaman dan
lama menyelam. Alat yang digunakan pada penelitian yaitu otoskop, stopwatch
untuk mengukur waktu, ponsel untuk merekam wawancara dan dokumentasi, tali
pengukur dan kuisioner.
Hasil Penelitian :
Pertimbangan Etik :
Dalam penelitian ini tidak terdapat etika yang di anut atau yang di gunakan dalam
penelitian yang seharusnya ada dalam sebuah penelitian.
Kesimpulan Penelitian :