Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

EVIDENCE BASED NURSING DALAM


PENATALAKSANAAN TERKAIT MASALAH
KESEHATAN MATRA LAUT : BAROTRAUMA

Disusun oleh kelompok 6 :

1. SRI DAYANTI
2. SYAHWANDI
3. YANI EKASARI
4. DEPIANA SITORUS
5. DAYANG SUBARSIH
6. RATMI HAYATI
7. NUR AZIZAH
8. ARDIAN
9. NOFI ILMAYANTI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
TANJUNGPINANG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah yang berjudul “evidence based nursing dalam
penatalaksanaan terkait masalah kesehatan matra laut :
Barotrauma“ ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Kesehatan Matra Laut.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penyusun


makalah menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih
kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan
bantuan dan dorongan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-sebaiknya. Akan tetapi,
makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Akhir kata Penulis berhara semoga makalah ini dapat


memberikan manfaat dan inspirasi trehada pembaca

Tarempa, 05 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………. i


Daftar Isi ………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi…………………………………………………………….. 2
B. Etiologi……………………………………………………………. 2
C. Patofisiologi………………………………………………………. 3
D. Manifestasi Klinis………………………………………………… 4
E. Diagnosis………………………………………………………….. 5
F. Tatalaksana ……………………………………………………….. 6
G. Pencegahan…………………………………………………………. 6
H. Komplikasi…………………………………………………………. 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan…………………………………………………………. 8
B. Saran……………………………………………………………….. 8

Daftar Pustaka…………………………………………………………….. 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sekuelenya yang terjadi akibat


perbedaan antara tekanan udara (tekan barometrik) di dalam rongga udara fisiolog
is dalam tubuh dengan tekanan di sekitarnya. Barotrauma paling sering terjadi pad
a penerbangan dan penyelaman dengan scuba,
Tubuh manusia mengandung gas dan udara dalam jumlah yang signifikan.
Beberapa diantaranya larut dalam cairan tubuh. Udara sebagai gas bebas juga terd
apat di dalam saluran pencernaan, telinga tengah, dan rongga sinus, yang volumen
ya akan bertambah dengan bertambahnya ketinggian.
Ekspansi gas yang terperangkap di dalam sinus bisa menyebabkan sakit ke
pala, ekspansi gas yang terperangkap dalam telinga tengah bisa menyebabkan nye
ri telinga, dan perasaan kembung atau penuh pada perut jika ekspansi terjadi pada
gas di saluran pencernaan. Ekspansi gas yang terperangkap dalam usus halus bisa
menyebabkan nyeri yang cukup hebat hingga terkadang bisa menyebabkan tidak s
adarkan diri. Pada ketinggian 8000 kaki gas-gas yang terperangkap dalam rongga
tubuh volumenya bertambah 20% dari volume saat di darat. Semakin cepat kecepa
tan pendakian maka semakin besar risiko mengalami ketidaknyamanan atau nyeri.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Menurut Melnyk & Fineout-Overholt (2011) Evidence-Based Practice in 
Nursing adalah penggunaan bukti ekternal, bukti internal (clinical expertise), sert
a manfaat dan keinginan pasien untuk mendukung pengambilan keputusan di pela
yanan kesehatan.
Keperawatan berbasis bukti adalah pendekatan untuk membuat keputusan
yang berkualitas dan memberikan asuhan keperawatan berdasarkan pada keahlian
klinis pribadi dalam kombinasi dengan penelitian terbaru yang relevan yang
tersedia pada topik tersebut. Pendekatan ini berbasis bukti sebagai dasar.
Aerotitis atau barotrauma merupakan suatu gangguan telinga yang terjad
i akibat perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu tubuh ber
gerak ke atau dari lingkungan tekanan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan tu
ba gagal untuk membuka. Apabila perubahan tekanan melebihi 90 cmHg, maka ot
ot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjad
inya tekanan negatif di rongga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh dara
h kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehi
ngga cairan ditelinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah.

B. Etiologi
Aerotitis paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini tertutama karen
a rumitnya fungsi tuba eustachius. Tuba eustachius secara normal selalu tertutup n
amun dapat terbuka pada gerakan menelan,mengunyah, menguap, dan dengan ma
nuver Valsava. Dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga da
lam telinga tengah dan dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Peningkatan tekan
an ini menyebabkan pembuluh darah kecil pada mukosa telinga akan berdilatasi d
an pecah dan menyebkan hemotimpanum dan kadang dapat menyebabkan ruptur
membran timpani. Aerotitis terjadi akibat perbedaan tekanan barometrik, baik saat
menyelam atau saat terbang.

2
C. Patofisiologi
Pilek, rinitis alergika serta berbagai reaksi individual, semuanya merupa
kan predisposisi terhadap disfungsi tuba eustachius. Aerotitis dengan ruptur timpa
ni dapat terjadi setelah menyelam atau melakukan perjalanan dengan pesawat terb
ang.
Saluran telinga luar, teling tengah, telinga dalam dapat dianggap sebagai
kompartmen tersendiri, ketiganya dipisahkan satu dengan yang lain oleh membran
timpani dan membran tingkap bundar dan tinggkap oval.

Gambar 1. Perjalanan Penyakit Aerotitis3

Telinga tengah merupakan suatu rongga tulang dengan hanya satu pengh
ubung ke dunia luar, yaitu melalui tuba eustachius. Tuba ini biasanya selalu tertut
up dan hanya akan membuka pada waktu menelan, menguap, dan valsava manuve
r. Valsava manuver dilakukan dengan menutup mulut dan hidung, lalu meniup de
ngan kuat. Dengan demikian tekanan di dalam pharynx akan meningkat sehingga

3
muara dapat terbuka. Ujung tuba di bagian telinga tengah akan selalu terbuka, kar
ena terdiri dari massa yang keras/ tulang. Sebaliknya ujung tuba dibagian pharynx
akan selalu tertutup karena terdiri dari jaringan lunak, yaitu mukosa pharynx yang
sewaktu-waktu akan terbuka disaat menelan. Perbedaaan anatomi antara kedua uj
ung tuba ini mengakibatkan udara lebih mudah mengalir keluar daripada masuk k
e dalam cavum timpani. Hal inilah yang menyebabkan kejadian aerotitis lebih ban
yak alami pada saat menurun dari pada saat naik tergantung pada besarnya perbed
aan tekanan, maka dapat terjadi hanya rasa sakit (karena teregangnya membran ti
mpani) atau sampai pecahnya membran timpani.

D. Manifestasi Klinis
Keluhan pasien dapat berupa kurang pendengaran, rasa nyeri dalam telin
ga, auofoni, perasaan ada air dalam telinga dan kadang-kadang tinitus dan vertigo.
Gejala klinis barotrauma telinga:
1. Gejala descent barotrauma:
- Nyeri (bervariasi) pada telinga yang terpapar
- Kadang ada bercak darah di hidung dan nasofaring
- Rasa tersumbat dalam telinga / tuli konduktif
2. Gejala ascent barotrauma :
- Rasa tertekan atau nyeri dalam telinga
- Vertigo
- Tinnitus / tuli ringan
- Barotrauma telinga dalam sebagai komplikasi

Berdasarkan manifestasi klinisnya, kerusakan membran timpani akibat a


erotitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Grade 0 : bergejala tanpa tanda kelainan
 Grade 1 : injeksi membran timpani
 Grade 2 : injeksi, perdarahan ringan pada membran timpani
 Grade 3 : perdarahan berat membran timpani
 Grade 4 : peradangan telinga tengah (membran timpani menonjol dan agak ke
biruan

4
 Grade 5 : perdarahan meatus eksternus + ruptur membrane timpani.

Gambar 7. Aerotitis pada telinga.

E. Diagnosis
Anamnesis yang teliti sanagat membantu penegakan diagnosis. Jika dari
anamnesis ada riwayat nyeri telinga atau pusing, yang terjadi setelah penerbangan
atau penyelaman, adanya barotrauma harus dicurigai. Diagnosis dapat dikonfirma
si melalui pemeriksaan telinga, dan juga tes pendengaran dan keseimbangan.
Diagnosa dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga nampak sedikit m
enonjol keluar atau mengalami retraksi. Pada kondisi yang berat bias terdapat dar
ah dibelakang gendang telinga, kadang-kadang gendang telinga mengalami perfor
asi. Dapat disertai gangguan pendengaran konduktif ringan.
Perlu ditekankan bahwa tinnitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorin
eural adalah gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tida
k jarang menyebabkan kerusakan telinga dalam. Kerusakan telinga dalam merupa
kan masalah yang serius dan mungkin memerlukan pembedahan untuk mencegah
kehilangan pendengaran yang menetap. Semua orang yang mengeluh kehilangan
pendengaran dengan barotrauma harus menjalani uji pendengaran dengan rangkai
an penala untuk memastikan bahwa pendengaran bersifat konduktif dan bukannya
sensoneural.

F. Tatalaksana

5
Untuk mengurangi rasa nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga, p
ertama yang perlu dilakukan adalah berusaha membuka tuba eustachius dan meng
urangi tekanan dengan mengunyah permen karet atau menguap, atau menghirup u
dara, kemudian menghembuskan secara perlahan lahan sambil menutup lubang hi
dung dengan tangan dan menutup mulut.
Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membra
n nasalis dapat mengkerut dengan semprotan nosinefrin dan dapat diusahakan me
nginflasi tuba eustachius dengan preparat politzer, khususnya dilakukan pada ana
k- anak berusia 3-4 tahun. Kemudian diberikan dekongestan, antihistamin atau ko
mbinasi keduanya selama 1-2 minggu atau sampai gejala hilang, antibiotik tidak d
iindikasikan kecuali bila terjadi perforasi didalam air yang kotor. Preparat politzer
terdiri dari tindakan menelan air dengan bibit tertutup sementara ditiupkan udara k
edalam salah satu nares dengan kantong politzer atau apparatus senturi, nares yan
g ditutup. Kemudian anak dikejutkan dengan meletusnya balon ditelinganya, bila t
uba eustachius berhasil inflasi, sejumlah cairan akan terevakuasi dari telinga tenga
h dan sering terdapat gelembung-gelembung udara pada cairan.

G. Pencegahan
Usaha preventif terhadap barotruma dapat dilakukan dengan selalu meng
unyah permen karet atau melakukan perasat valsava, terutama sewaktu pesawat te
rbang mulai turun untuk mendarat. Khusus pada bayi disarankan agar menunda pe
nerbangan bila disertai pilek. Bila memungkinkan maka bayi sesaat sebelum mend
arat harus tetap disusui atau harus tetap menghisap air botol, agar tuba eustachius t
etap terbuka.
Nasal dekongestan atau anti histamin bisa digunakan sebelum terpapar p
erubahan tekanan yang besar. Usahakan untuk menghindari perubahan tekanan ya
ng besar selama mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas atau serangan a
lergi.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari aerotitis, antara lain tulikonduksi, ruptura
tauperforasi membrane timpani, dan infeksitelingaakut.2

6
7
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sekuelenya yang terjadi akibat


perbedaan antara tekanan udara (tekan barometrik) di dalam rongga udara fisiolog
is dalam tubuh dengan tekanan di sekitarnya. Barotrauma paling sering terjadi pad
a penerbangan dan penyelaman dengan scuba,
Tubuh manusia mengandung gas dan udara dalam jumlah yang signifikan.
Beberapa diantaranya larut dalam cairan tubuh. Udara sebagai gas bebas juga terd
apat di dalam saluran pencernaan, telinga tengah, dan rongga sinus, yang volumen
ya akan bertambah dengan bertambahnya ketinggian.

Berikut adalah beberapa tips untuk mengurangi risiko terjadinya barotrau


ma:
 Jangan melakukan penerbangan jika menderita batuk pilek atau gangguan p
ada saluran pernafasan atas
 Hindari mengkonsumsi makanan yang menghasilkan gas
 Hindar makan terlalu cepat atau makan terlalu banyak karena kemungkinan
menelan udara lebih banyak
 Jangan melakukan penerbangan dalam 24 jam setelah pengobatan atau pena
mbalan gigi
 Hindari minum dalam jumlah banyak minuman bersoda atau bergas.

B. SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan ada kritik dan saran yang dapat mem
bangun sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

C.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://kampus-kedokteran.blogspot.co.id/2011/10/barotrauma.html
Guyton dan Hall, 2007, Buku Ajar Fisologi Kedokteran edisi 11. ECG, Jakarta

Kaplan J, 2003, Barotrauma. Medscape (serial online) available from : http://emed


icine.medscape.com/article/768618-overview

Budianto, A. Dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Forensik Fakultas Ke


dokteran Universitas Indonesia, Jakarta

9
CONTOH JURNAL

Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 Tersedia onli
ne di https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care ISSN 2527-8487 (online) ISSN 208
9-4503 (cetak) Cara mengutip: Martinus, Ishak., Hadisaputro, Suharyo & Munasi
k. (2020).

Hubungan Frekuensi Penyelaman, Lama Menyelam, Pilek, dan Merokok Terhada


p Kejadian Barotraumas Telinga Tengah Penyelam Tradisional. Care:Jurnal Ilmia
h Ilmu Kesehatan, 8(1), 127- Retrieved from https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/c
are/article/view/1175

HUBUNGAN FREKUENSI PENYELAMAN, LAMA MENYELAM, PILEK, D


AN MEROKOK, TERHADAP KEJADIAN BAROTRAUMA TELINGA TENG
AH PENYELAM TRADISIONAL

Ishak Martinus1) , Suharyo Hadisaputro2), Munasik3) 1),2) Magister Epidemiolo


gi Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 3) Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang E-mail: ishakmartinus@yah
oo.co.id

ABSTRACT

Inability to equate middle ear space pressure with the surrounding environment c
an cause tissue damage or barotrauma. Factors influencing the incidence of middl
e ear barotrauma in traditional divers are colds, smoking, frequency of diving and
length of diving. The purpose of explaining the factors related to the occurrence of
barotrauma in the middle ear of traditional breath-resistant divers. The analytic ob
servational research design with cross sectional approach is supported by in-depth
interviews, by conducting interviews using questionnaires and otoscopy examinati
ons of respondents to determine the events of middle ear barotrauma. The study p
opulation was traditional divers, totaling 78 respondents. The dependent variable i
s the occurrence of barotrauma in the middle ear of traditional divers, the indepen
dent variable with colds, smoking habits, frequency of diving and length of diving,
data analysis using bivariate and multivariate. Results as many as 32 people (41.0
%) of 78 respondents experienced middle ear barotrauma. Bivariate analysis show
ed a correlation between the frequency of diving with the events of the middle ear
barotrauama p = 0.012. Logistic regression test showed the significance value of t
he frequency of diving ≥ 4 days / week (p = 0.0106; PR = 5.310; 95% CI = 1.619-
17.413). Conclusion of factors related to the incidence of middle ear barotrauma i
n traditional divers is the frequency of diving hari 4 days / week, with a probabilit
y of 38.13%. Keywords: Barotraumas; frequency of dives; traditional divers.

ABSTRAK

Ketidakampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah dengan lingku


ngan sekitar dapat menimbulkan kerusakan jaringan atau barotrauma. Faktor yang
mempengaruhi kejadian barotrauma telinga tengah pada penyelam tradisional yait
u pilek, merokok, frekuensi penyelaman dan lama menyelam. Tujuan menjelaskan
faktor yang berhubngan kejadian 128 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8,
No.1, 2020, hal 127-137

barotrauma telinga tengah penyelam tradisional tahan nafas. Desain peneli


tian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional di tunjang indepth i
nterview, dengan melakukan wawancara mengunakan kuiseioner dan pemeriksaan
otoskopi terhadap responden untuk mengetahui kejadian barotrauma telinga tenga
h. Populasi studi adalah penyelam tradisional, berjumlah 78 reponden. Variabel de
penden kejadian barotrauma telinga tengah penyelam tradisional, variabel indepen
den sakit pilek, kebiasaan merokok, frekuensi penyelaman dan lama menyelam, a
nalisis data menggunakan bivariat dan multivariat.

Hasil sebanyak 32 orang (41,0%) dari 78 responden mengalami barotraum


a telinga tengah. Analisis bivariat ada hubungan frekuensi penyelaman dengan kej
adian barotrauama telinga tengah nilai p =0,012. Uji regresi logistik menunjukkan
nilai signifikansi frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu (p = 0,0106; PR = 5,310;
95% CI = 1,619–17,413). Kesimpulan faktor yang berhubungan kejadian barotrau
ma telinga tengah pada penyelam tradisional adalah frekuensi penyelaman ≥ 4 har
i/minggu, dengan probabilitas 38,13%.

Kata Kunci : Barotrauma; frekuensi penyelaman; penyelam tradisional.


PENDAHULUAN

Penyelaman merupakan kegiatan yang dilakukan di dalam air atau penyela


man basah, dan penyelaman kering atau di dalam ruang udara bertekanan tinggi
(R Riyadi S, 2016). Penyelaman merupakan suatu kegiatan mencari nafkah pada li
ngkungan kerja penyelaman (Ruslan RDC, 2005) yang memiliki banyak faktor ris
iko yang mempengaruhi kondisi fisik penyelam bahkan mempunyai risiko tinggi t
erhadap kejadian kesakitan, kelumpuhan/ kecacatan, sampai dengan kematian (Ke
menkes RI, 2012). Risiko yang dimaksud tidak hanya akibat penyelaman, tetapi ju
ga dipengaruhi oleh lingkungan bawah air, teknik penyelaman dan peralatan yang
digunakan serta kondisi fisik dan mental penyelam, juga karena perbedaan tekana
n (Jelita Bofe, 2014).

Penyelam tradisional adalah orang yang melakukan kegiatan penyelaman


dengan teknik tahan nafas dan dengan menggunakan suplai udara dari permukaan
laut yang dialirkan melalui kompresor udara (Surface Supplied Breathing Apparat
us (Kemenkes RI, 2013).

Permasalahan kesehatan penyelam tradisional umumnya dengan permasal


ahan lingkungan hiperbarik yaitu lingkungan bertekanan tinggi lebih dari 1 atmosf
ir. Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki di bawah air setara dengan perubah
an tekanan pada ketinggian 18.000 kaki diatas bumi. Dengan demikian, perubahan
tekanan lingkungan terjadi lebih cepat pada saat menyelam. Perubahan tekanan rel
atif terbesar dalam menyelam terjadi pada kedalaman 10 meter pertama (PKHI, 20
00).

Dengan demikian cedera paling banyak terjadi pada kedalaman dangkal ya


itu 4,3-17,4 kaki (1,3–5,3 meter), pada kedalaman tersebut dapat menyebabkan 12
9 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 pecahnya
membran timpani (Benz BG, et al. 2012).

Perubahan tekanan udara dalam rongga udara fisiologis tubuh dengan teka
nan disekitarnya, dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh yang di sebut baro
trauma, dapat terjadi pada bagian tubuh yang berongga, antara lain paru-paru, sinu
s-sinus paranasalis, dan telinga (R Riyadi S, 2016). Barotrauma paling sering terja
di pada telinga tengah, hal ini terutama karena rumitnya fungsi tuba eustachius (A
dams GL, et al. 1997).

Barotrauma telinga tengah adalah masalah kesehatan yang umum pada pe


nyelam, namun demikian, dapat dicegah jika penyelam mau menaati peraturan ya
ng berlaku (Fyntanaki O, et al. 2013). Penyelam tradisional umumnya kurang me
mperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, s
ehingga berpotensi terkena barotrauma telinga tengah (Kemenkes RI, 2003).

Menurut Lynch JH, Bove AA. (2009) barotrauma telinga tengah terjadi pada 30%
penyelam pemula dan 10% pada penyelam berpengalaman. Penelitian Goplen et a
l. (2009) di Statens dykkerskole (Norwegian State Diving School) menemukan 17
dari 47 penyelam atau 36% penyelam mengalami barotrauma telinga tengah. Dep
kes RI (2008) menyatakan bahwa di Kepulauan Seribu, Pulau Panggang dan Pula
u Pramuka Indonesia, tahun 1994-1996 sebanyak 41,37% penyelam mengalami b
arotrauma telinga. Prasetyo dkk. (2011) menyatakan angka kejadian barotrauma p
ada penyelam tradisional di Banyuwangi sebanyak 32,4% dari 74 orang penyelam
dan yang menderita barotruma telinga tengah sebanyak 83,3%. Berdasarkan
hasil penelitian Jellyta (2014), menyatakan dari 60 responden penyelam tradisiona
l, terdapat penyelam tahan napas 33,3%, dan pernah menderita gejala awal penyak
it penyelaman yaitu pusing/sakit kepala (21,2%), perdarahan hidung dan telinga (7
5%). Di Balaesang Tanjung penyelaman dilakukan hampir setiap hari tanpa meng
gunakan peralatan selam, pada kedalaman < 10 meter, dalam melakukan penyela
man sebagian besar peselam melakukan kegiatan di dasar laut 1 - 2 jam. Semakin
lama penyelam di bawah permukaan air artinya semakin lama terpapar dengan tek
anan dan semakin sering untuk menyamakan tekanan (ekualisasi), maka semakin
besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tekanan. Frekuensi atau sering
nya penyelam melakukan aktivitas penyelaman dalam satu minggu lebih dari 4 ha
ri, sehingga kemungkinan risiko terjadinya keluhan akibat penyelaman semakin b
esar. Penyelam tahan nafas akan lebih banyak 130 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Keseh
atan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137
frekuensi menyelam karena penyelaman tersebut tidak mampu bertahan lama di k
edalaman, sehingga harus naik turun ke permukaan untuk mendapatkan suplai uda
ra (Tuti Ekawati, 2005).

Menurut G Adam, et al. (1997) dan Carl Edmonds, et al. (2012) menyatakan bahw
a semakin sering seorang penyelam menyelam akan lebih sering terjadi trauma tek
anan berulang pada telinga tengah dan dalam, menyebabkan penciutan tuba eustac
hius dan organ keseimbangan pada telinga dalam, mengalami pembengkakan jarin
gan dan penyumbatan pada tuba eusthacius, yang dapat menyebabkan kegagalan e
kualisasi. Semua Penyelam di lokasi penelitian belum pernah mendapatkan penyul
uhan tentang kesehatan penyelaman, sehingga penyelam kurang mengetahui tenta
ng bagaimana cara menyelam yang sehat, dan lebih dari 55% penyelam menyatak
an merokok dan juga mengkonsumsi alkohol sebelum melakukan penyelaman.

Pendapatan penyelam per bulan masih banyak yang di bawah Rp. 500.00
0,- hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga untuk mendapatkan pengh
asilan yang lebih penyelam kadang mengabaikan kondisi kesehatannya dalam mel
akukan kegiatan penyelaman. Sakit pilek dan kebiasaan merokok dalam kesehatan
penyelaman pada dasarnya dapat menghambat proses ekualisasi dimana sakit pile
k menimbulkan reaksi inflamasi yang mengakibatkan hipersekresi dan penumpuk
an lendir membuat ekualisasi menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan.

Ekualisasi adalah ketidakampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah den


gan lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan kerusakan jaringan atau barotra
uma. Barotrauma telinga dapat terjadi apabila penyelam tidak melakukan ekualisa
si tekanan telinga tengah secara benar (Benz BG, et al. 2012). Mengingat besarnya
masalah yang ada pada penyelam tradisional di Balaesang Tanjung, maka perlu di
lakukan penelitian barotrauma telinga tengah pada penyelam tradisional. Tujuan p
enelitian adalah menjelaskan faktor yang mempengaruhi kejadian barotrauma teli
nga tengah penyelam tradisional tahan nafas.

METODE PENELITIAN
Desain peneletian observasional analitik, dengan studi cross-sectional ditu
njang dengan penelitian kualitatif, melalui indepth interview. Populasi penelitian a
dalah semua penyelam tradisional tahan nafas di Kecamatan Balaesang Tanjung K
abupaten 131 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137
Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, yang berjumlah 78 penyelam.

Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling, sampel penelitian adala


h semua penyelam tradisional tahan nafas yang memenuhi kriteria inklusi dan ekl
usi. Adapun kriteria inklusi yaitu penyelam masih aktif, lebih diutamakan pada pe
nyelam pemula, penyelam dengan usia minimal 16 tahun, dan bersedia menjadi re
sponden sedangkan kriteria eklusinya penyelam yang mempunyai riwayat sakit tel
inga.

Kejadian barotrauma telinga tengah didiagnosa dengan pemeriksaan otoskopi teru


tama untuk melihat gendang telinga (Soepardie EA, 2000). Variabel dependen pad
a penelitian ini adalah kejadian barotrauma telinga tengah pada penyelam tradisio
nal tahan nafas di Balaesang Tanjung, sedangkan variabel independen sakit pilek,
kebiasaan merokok, frekuensi penyelaman, dan lama menyelam. Pengumpulan dat
a primer dari wawancara mendalam terhadap responden, dan pemeriksaan fisik tel
inga oleh dokter puskesmas di damping dokter dari RSUD Undata Palu. Data seku
nder diperoleh dari hasil pencatatan atau pelaporan Puskesmas Malei, dan Kantor
Kecamatan Balaesang Tanjung, dan dilanjutkan indepth interview pada responden
yang didiagnosis barotrauma telinga tengah. Alat yang digunakan pada penelitian
ini yaitu otoskop, stopwatch untuk mengukur waktu, HP untuk merekam wawanca
ra dan dokumentasi, tali pengukur, dan kuisioner.

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan analisis univariat, bivariat d
engan menggunakan uji Chi-Square dan analisis multivariat regresi logistik ganda
dengan metode enter. Tingkat signifikansi ditetapkan pada 0,05.

Penelitian ini telah ditinjau dan disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK) Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit dr. Karia
di Semarang.

Ethical clearance nomor 618/EC/FK-RSDK/XI/ 2018.


HASIL

Tabel 1. Distribusi Kejadian Barotrauma Telinga Tengah pada Penyelam Tradison


al Kejadian barotrauma telinga tengah f (%) Telinga Kanan Kiri f (%) f (%) Ya 32
41.0 20 25,6 19 24,4 Tidak 46 59.0 58 79,9 59 75,6 Jumlah 78 100.0 78 100.0 78
100.0 132 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 Pe
meriksaan fisik telinga penyelam tradisional dengan menggunakan otoskopi, diper
oleh hasil sebanyak 32 responden (41,0%) mengalami barotrauma telinga tengah.
Sebanyak 20 penyelam tradisional (25,6%) mengalami barotrauma telinga tengah
pada telinga kanan, dan sebanyak 19 (24,4%) penyelam tradisional mengalami bar
otrauma telinga tengah pada telinga kiri (Tabel 1).

Gambar 1. Derajat Barotrauma Telinga Tengah pada Penyelam Tradisonal Gamba


r 1 menunjukkan berdasarkan kelainan gendang telinga pada penyelam tradisional
dengan kategori derajat 0 atau hanya keluhan sakit telinga ada 46 orang (59,0%),
derajat I atau perdarahan kecil pada gendang telinga ada 5 orang (6,4%), derajat II
atau perdarahan sedang pada gendang telinga ada 6 penyelam (7,7%), derajat III a
tau perdarahan luas pada gendang telinga ada 4 penyelam (5,1%), derajat IV atau
gendang telinga bombans tampak biru gelap karena adanya perdarahan ada 3 peny
elam (3,8%), dan derajat V atau terjadi perforasi gendang telinga ada 14 penyelam
(17,9%). Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa lama menyelam, sakit pilek, kebi
asaan merokok dengan nilai p > 0,05, sehingga hipotesis penelitian tidak terbukti,
dan disimpulkan tidak ada pengaruh dari ketiga faktor tersebut dengan kejadian ba
rotrauma telinga tengah, sedangkan untuk frekuensi penyelaman diperoleh nilai p-
value = 0,012 (p < 0,05) dengan tingkat kemaknaan ∝ = 0,05.

Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian terbukti, artinya secara statisti
k ada hubungan frekuensi penyelaman dengan kejadian barotrauma telinga tengah
pada penyelam tradisional , dan lama menyelam dengan nilai p-value = 0,107 (p <
0,25) 133 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 me
rupakan variabel kandidat untuk dilanjutkan dalam analisis multivariat (Tabel 3).

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Variabel Independen Barotrauma Telinga Tengah


P value PR 95% CI Ya Tidak Lama Menyelam ≥ 7 Menit 12 30,8 27 69,2 0,107 0,
422 0.167–1,065 < 7 Menit 20 51,3 19 48,7 Frekuensi Penyelaman ≥ 4 hari/mingg
u 27 51,9 25 48,1 0,012* 4,536 1.485–13,857 < 4 hari/minggu 5 19,2 21 80,8 Saki
t Influenza Ya 13 50,0 13 50,0 0,371 1,737 0.669–4,508 Tidak 19 36,5 33 63,5 Ke
biasaan Merokok Ya 20 36,4 35 63,6 0,297 0,524 0.196–1,403 Tidak 12 52,2 11 4
7,8 Keterangan : * nilai p < 0,05 hasil signifikan Tabel 3. Hasil Analisis Bivariat d
engan p value <0,25 Variabel p value PR 95% CI Lama Menyelam ≥ 7 Menit 0,10
7 0,442 0,167-1,065 Frekuensi Penyelaman ≥ 4 hari/minggu 0,012 3,920 1,405–1
0,936

Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda dengan metode enter pa
da tingkat kemaknaan 95% menunjukkan frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu s
ecara statistik, berpengaruh dan merupakan faktor risiko kejadian barotrauma telin
ga tengah pada penyelam tradisional di Balaesang Tanjung dengan p = 0,006; PR
= 0,442, 95% CI = 1,619–17,413 (Tabel 4). Tabel 4.

Hasil Analisis Multivariat Bermakna secara Statistik Variabel B p value PR 95%


CI Frekuensi Penyelaman ≥ 4 hari/minggu 1.366 0,006 5,310 1,619–17,413 Const
ant - 2.154 PEMBAHASAN Penyelam tradisional yang mengalami barotrauma tel
inga tengah sebanyak 32 orang (41,0%) dan 20 orang (25,6%) mengalami pada tel
inga kanan, 19 orang (24,4%) mengalami pada telinga kiri dengan kelainan genda
ng telinga terbanyak pada derajat V atau terjadi perforasi 134 Care: Jurnal Ilmiah I
lmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 gendang telinga sebanyak 14 oran
g (17,9%).

Faktor risiko sakit pilek atau kebiasaan merokok dalam kesehatan penyelaman pa
da dasarnya dapat menghambat proses ekualisasi dimana sakit pilek menimbulkan
reaksi inflamasi yang mengakibatkan hipersekresi dan penumpukan lendir membu
at ekualisasi menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan hal ini dikarenak
an sakit pilek merupakan salah satu faktor predisposisi terhadap disfungsi tuba eus
tachius (Soepardie EA, 2000), sedangkan kebiasaan merokok dapat menyebabkan
iritasi selaput lendir pada saluran pernafasan. Paparan asap rokok menyebabkan in
flamasi mukosa pada telinga tengah dan tuba eustachius. Fungsi tuba eustachi
us yang terganggu akan menyebabkan gangguan ventilasi telinga tengah (kegagala
n ekualisasi). Penyebab gangguan fungsi tuba eustachius bermacam-macam, salah
satunya adalah kebiasaan merokok (Hussain TA,2010).
Pada penelitian ini faktor risiko kebiasaan merokok tidak terbukti sebagai faktor y
ang berpengaruh terhadap kejadian barotrauma telinga tengah. Harianingrum A, d
kk (2017) dalam penelitiannya menunjukkan insidensi gangguan fungsi tuba eusta
chius pada perokok sebesar 74,7%.

Hasil indepth interview dengan informan penyelam, mengatakan bahwa:


….Kami menyelam untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, walau dalam kon
disi sakit kami tetap menyelam, apalagi kalo cuma sakit pilek atau batuk… ….Mi
num alkohol dan merokok untuk menghilangkan rasa dingin saat menyelam dan s
ambil menunggu jaring terisi ikan, kami mengkonsumsi cap tikus dan merokok…
Lama menyelam tidak terbukti menjadi faktor risiko yang berpengaruh terhadap k
ejadian barotrauma telinga tengah, saat dilakukan analisi multivariat menunjukkan
hasil yang tidak bermakna secara statistik p=0,133 (p>0.05). Berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Navisah SF, dkk. (2016), yang membuktikan bahw
a lama menyelam memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian barotrau
ma telinga tengah. Semakin lama penyelam di bawah permukaan air artinya sema
kin lama terpapar dengan tekanan dan semakin sering untuk menyamakan tekanan
(ekualisasi), maka semakin besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tek
anan tersebut. Jika gagal melakukan ekualisasi akan berisiko mengalami barotrau
ma telinga (PKHI, 2000).

Variabel lama menyelam pada penenlitian ini tidak terbukti secara statistik
sebagai faktor yang 135 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, h
al 127-137 berpengaruh terhadap kejadian barotrauma telinga tengah penyelam tra
disional, kemungkinan dikarenakan paparan tekanan lingkungan pada penyelam ti
dak lama karena penyelam tahan nafas biasanya waktu menyelamnya tidak lama,
hanya beberapa menit saja (Depkes, 2008).

Frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu terbukti menjadi faktor risiko baro


trauma telinga tengah penyelam tradisional, setelah di analisis multivariat hasil be
rmakna secara statistik dengan nilai p < 0,006, PR=5,310 (95% CI=1,619–17,413)
memberikan arti bahwa frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu memiliki risiko te
rjadi barotrauma telinga tengah sebesar 5,310 kali lebih besar dibanding dengan p
enyelam tradisional yang melakukan aktivitas penyelaman < 4 hari/minggu. Penel
itian ini sejalan dengan penelitian Cecil C Ramos. et al. (2005) yang menunjukkan
bahwa frekuensi penyelaman sering atau berulang - ulang ada hubungan yang sign
ifikan terhadap kejadian barotrauma jaringan membrane timpani.

Begitu juga penelitian oleh Tuti Ekawati (2005)menyatakan ada hubungan


yang bermakna antara faktor risiko atau seringnya penyelaman dengan kejadian b
arotrauma membrane timpani pada penyelam tradisional dengan nilai p = 0,011 (p
<0,05) dan Sugianto (2014) menyatakan bahwa frekuensi penyelaman ada hubung
an dengan kejadian barotrauma telinga membrane timpani.

Penyelam tahan nafas akan lebih banyak frekuensi menyelam karena peny
elaman tersebut tidak mampu bertahan lama di kedalaman, sehingga harus naik tu
run ke permukaan untuk mendapatkan suplai udara (Tuti Ekawati, 2005).

Menurut G Adam, et al. (1997) dan Carl Edmonds, et al. (2012) menyatak
an bahwa semakin sering seorang penyelam menyelam akan lebih sering terjadi tr
auma tekanan berulang pada telinga tengah dan dalam, tuba eustachius akan tertek
an, menyebabkan penciutan tuba eustachius dan organ keseimbangan pada telinga
dalam, mengalami pembengkakan jaringan dan penyumbatan pada tuba eusthacius.
Jika tuba eusthacius tersumbat maka tekanan di dalam telinga tengah berbeda den
gan tekanan di luar gendang telinga, menyebabkan terjadi perforasi gendang teling
a bahkan telinga mungkin akan terlihat berdarah (Depkes RI, 2002). Hasil indepth
interview dengan informan penyelam, mengatakan bahwa : Kami menyelam hamp
ir setiap hari, untuk memenuhi kebutuhan hidup 136 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kes
ehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137 keluarga. Kami menyelam dalam satu hari
bisa 2 sampai 4 kali, untuk melihat jaring tersangkut di karang atau sudah ada ika
n yang masuk dalam jaring tidak tergantung dari jenis hasil tangkapan…

KESIMPULAN

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Barotrauma telinga tengah ada


lah frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu, dengan probabilitas terhadap kejadian
Barotrauma telinga tengah pada penyelam tradisional sebesar 38,13%.
SARAN

Perlu peningkatan pengetahuan penyelam tradisional melalui penyuluhan


atau penyebarluasan informasi tentang faktor risiko barotrauma telinga tengah dan
pelatihan teknik penyelaman yang benar dan aman, bekerjasama dengan instansi a
tau organisasi dibidang penyelaman. Direkomendasikan bagi peneliti selanjutnya
agar dapat melakukan penelitian lanjutan dengan mengkaji kembali faktor sakit pi
lek, kebiasaan merokok terhadap kejadian barotrauma telinga tengah pada penyela
m tradisional.

REFERENSI

Adams G, Boies L, Higler P. Boies. (1997). Buku Ajar Penyakit THT. Jak
arta: EGC Bentz BG, Hughes CA. (2012) Barotrauma :American Hearing Researc
h Foundation. Northwestern University. USA http://american-hearing.org/disorder
s/barotrauma/ Bofe J. (2014).

Implementasi Kebijakan Kesehatan Peselam Di Kecamatan Balaesang Tan


jung Kabupaten Donggala, Tesis, Pasca Sarjana Program Studi Magister Administ
rasi Publik: Universitas Tadulako Palu Depkes RI. (2008).
Petunjuk Tehnis Upaya Kesehatan Penyelaman Dan Hiperbarik Bagi Petu
gas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota Dan Puskesmas. Jakarta: Direktorat Jend
ral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI. (2012).

Pedoman Upaya Kesehatan Kerja Bagi Nelayan Penyelam Tradisional: Pa


nduan bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Edmonds C, Mc K
enzei B, Thomas R, Pennefather J. (2013). Diving Medicine for SCUBA Divers 5
th Edition 2013. Published by Carl Edmonds Ocean Royale, 11/69-74 North Steyn
e Manly, NSW, 2095 Australia ISBN : 978-0-646-57276-0.2012. Ekawati T. (200
5).

Analisis Faktor Risiko Barotrauma Membran Timpani pada Penyelam Tra


disional di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Tesis, Pasca Sarjana Prog
ram Studi Magister Kesehatan Lingkungan: Universitas Diponegoro Goplen FK, d
kk. (2010).

Vestibular Effects of Diving –a 6-year Prospective Study. Occupational M


edicine. Harianingrum A, Naftali Z, Marliyawati D. (2018).

Pengaruh Derajat Merokok Terhadap Fungsi Tuba Eustachius Pada Perokok Aktif.
Jurnal Kedokteran Diponegoro Hussain TA. (2010).

Effect of active smoking on the tympanometry findings in adult men. J Fa


c Med 137 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127 -137 B
aghdad Kemenkes RI. (2012).

Penyakit Akibat Kerja karena Pajanan Hiperbarik dan Penyakit lain Akiba
t Penyelaman. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Kerja dan Olah Raga
Kemenkes RI. (2013).

Profil Kesehatan Nelayan. Jakarta: Direktorat Kesehatan Kerja Lynch JH,


Bove AA. (2009). Diving Medicine : A review of current evidence : Clinical Revi
ew. JABFM Navisah SF, dkk. (2016).

Faktor Resiko Barotrauma Telinga pada Nelayan Penyelam di Dusun Wat


u Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA.
Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI). (2000).
Pengantar Ilmu Kesehatan Penyelaman. Jakarta Prasetyo AT, Soemantri J
B, Lukmantya. (2012).

Pengaruh Kedalaman dan Lama Menyelam Terhadap Ambang -Dengar Pe


nyelam Tradisional dengan Barotrauma Telinga. ORLI R Riyadi S. (2016).

Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. 2 ed. Surabaya: Lakesla Ramos CC,
dkk. (2005).

Clinical and Tympanometric Findings in Repeated Recreational Scuba Div


ing.Travel Medicine and Infectious Disease Ruslan RDC, dkk. (2015).

Analisis Gangguan Pendengaran pada Penyelam di Danau Tondano Desa


Watumea Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara 2014. Jur
nal e -Biomedik (eBM) Soepardie EA, dkk. (2000).

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi
ke empat, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sugianto. (2014).

Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap Barotrauma Membran Timp


ani pada Penyelam Tradisional di Kabupaten Banyuwangi. Tesis, Pasca Sarjana Pr
ogram Studi Magister Epidemiologi: Universitas Diponegoro

TELAAH JURNAL

PENDAHULUAN

Abstrak (Abstrak dari jurnal)

Ketidakampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah dengan lingku


ngan sekitar dapat menimbulkan kerusakan jaringan atau barotrauma. Faktor yang
mempengaruhi kejadian barotrauma telinga tengah pada penyelam tradisional yait
u pilek, merokok, frekuensi penyelaman dan lama menyelam. Tujuan menjelaskan
faktor yang berhubngan kejadia

128 Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1, 2020, hal 127-137
barotrauma telinga tengah penyelam tradisional tahan nafas. Desain peneli
tian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional di tunjang indepth i
nterview, dengan melakukan wawancara mengunakan kuiseioner dan pemeriksaan
otoskopi terhadap responden untuk mengetahui kejadian barotrauma telinga tenga
h. Populasi studi adalah penyelam tradisional, berjumlah 78 reponden. Variabel de
penden kejadian barotrauma telinga tengah penyelam tradisional, variabel indepen
den sakit pilek, kebiasaan merokok, frekuensi penyelaman dan lama menyelam, a
nalisis data menggunakan bivariat dan multivariat.

Hasil sebanyak 32 orang (41,0%) dari 78 responden mengalami barotraum


a telinga tengah. Analisis bivariat ada hubungan frekuensi penyelaman dengan kej
adian barotrauama telinga tengah nilai p =0,012. Uji regresi logistik menunjukkan
nilai signifikansi frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu (p = 0,0106; PR = 5,310;
95% CI = 1,619–17,413). Kesimpulan faktor yang berhubungan kejadian barotrau
ma telinga tengah pada penyelam tradisional adalah frekuensi penyelaman ≥ 4 har
i/minggu, dengan probabilitas 38,13%.

Tujuan Penelitian ini Adalah

Metode :

Dengan menggunakan analitik dengan studi cross-sectional di tunjang dengan


penelitian kualitatif, melalui indepth interview. Populasi penelitian adalah semua
penyelam tahan nafas di kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi Tengah yang berjumlah 78 Penyelam. Tehknik pengambilan
sample menggunakan total sampling yang berumur 16 tahun.

Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian barotrauma telinga tengah
pada penyelam tradisional tahan nafas di Balaesang Tanjung. Sedangkan variabel
independen adalah sakit pilek, kebiasaan merokok, frekuensi penyelaman dan
lama menyelam. Alat yang digunakan pada penelitian yaitu otoskop, stopwatch
untuk mengukur waktu, ponsel untuk merekam wawancara dan dokumentasi, tali
pengukur dan kuisioner.

Hasil Penelitian :

Berdasarkan hasil penelitian Jellyta (2014), menyatakan dari 60 responden penyel


am tradisional, terdapat penyelam tahan napas 33,3%, dan pernah menderita gejal
a awal penyakit penyelaman yaitu pusing/sakit kepala (21,2%), perdarahan hidung
dan telinga (7,5%). Di Balaesang Tanjung penyelaman dilakukan hampir setiap ha
ri tanpa menggunakan peralatan selam, pada kedalaman < 10 meter, dalam melak
ukan penyelaman sebagian besar peselam melakukan kegiatan di dasar laut 1 - 2 j
am. Semakin lama penyelam di bawah permukaan air artinya semakin lama terpap
ar dengan tekanan dan semakin sering untuk menyamakan tekanan (ekualisasi), m
aka semakin besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tekanan. Frekuen
si atau seringnya penyelam melakukan aktivitas penyelaman dalam satu minggu le
bih dari 4 hari, sehingga kemungkinan risiko terjadinya keluhan akibat penyelama
n semakin besar. Penyelam tahan nafas akan lebih banyak 130 Care.

Pertimbangan Etik :
Dalam penelitian ini tidak terdapat etika yang di anut atau yang di gunakan dalam
penelitian yang seharusnya ada dalam sebuah penelitian.

Kesimpulan Penelitian :

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Barotrauma telinga tengah ada


lah frekuensi penyelaman ≥ 4 hari/minggu, dengan probabilitas terhadap kejadian
Barotrauma telinga tengah pada penyelam tradisional sebesar 38,13%.

Anda mungkin juga menyukai