Anda di halaman 1dari 37

KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH
III
OTITIS MEDIA
SUPURATIF
KRONIK

Dosen Pengampu :
Ibu Novia Heriani, Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Nanda 1914201110040
Norkhalisa 1914201110042
Nur Khairina Zulfah 1914201110046
Nurul Hilaliyah 1914201110049
Rafi Maulana 1914201110051
Siti Ulpah 1914201110062
Winarti Eka Sari 1914201110065
Zukhairiah 1914201110067

SEMESTER/KELAS : 5/B
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dalam penyusunan makalah ini
dapat diselesaikan. Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mengalami berbagai
kendala dan kesulitan, namun berkat Rahmat Allah SWT yang disertai kesabaran,
ketekunan, dan usaha serta bantuan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas
baik fasilitas tenaga dan pikiran sehingga makalah yang berjudul “Laporan
Pendahuluan Otitis Media Supuratif Kronik” dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat konstruktif diharapkan,
demi terciptanya tujuan yang ingin dicapai. Atas bantuan dan kritikan serta saran
dari semua pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

1.1 Latar belakang...........................................................................................4

1.2 Rumusan masalah......................................................................................5

1.3 Tujuan........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga..................................................................6

2.2 Definisi......................................................................................................8

2.3 Etiologi......................................................................................................9

2.4 Patofisiologi.............................................................................................10

2.5 Patway.....................................................................................................12

2.6 Tanda dan Gejala.....................................................................................12

2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................13

2.8 Pemeriksaan Diagnostik..........................................................................14

2.9 Komplikasi..............................................................................................17

2.10 Diagnosa Keperawatan............................................................................18

BAB III PENUTUP...............................................................................................24

3.1 Kesimpulan..............................................................................................24

3.2 Saran........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyebab
gangguan pendengaran yang umum ditemukan di negara berkembang. OMSK
merupakan penyakit dengan prevalensi yang tinggi dan jika tidak ditangani
dengan baik dapat mengarah ke berbagai komplikasi yang mengakibatkan
penurunan kualitas hidup hingga kematian. Insiden OMSK di berbagai daerah
di Indonesia masih cukup tinggi. Dapat diperkirakan terdapat 6,6 juta
penderita OMSK dari 220 juta penduduk Indonesia.
OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang
timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. OMSK
dapat terjadi akibat kelanjutan dari Otitis Media Akut dengan perforasi
membran timpani yang telah berlangsung lebih dari dua bulan.
Faktor predisposisi kronisitas otitis media antara lain adalah disfungsi tuba
auditoria kronik, perforasi membran timpani yang menetap, bakteri yang
resisten terhadap antibiotika serta faktor konstitusi seperti alergi dan
penurunan daya tahan tubuh (Mauson dalam Utami, 2010). Bakteri
penginvasi sekunder yang selalu ditemukan dalam sekret supurasi telinga
kronik yaitu Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Proteus
vulgaris serta bakteri anaerob lainnya yang paling sering ditemukan adalah
dari spesies Bacteroides.
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa distribusi penyakit OMSK
banyak terjadi pada anak-anak, sementara sebagian lainnya pada usia
produktif, lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, pada seseorang
yang memiliki riwayat penyakit infeksi/ kronis/ alergi, tinggal di lingkungan
yang minim akses ke pelayanan kesehatan dan tinggal di lingkungan yang
kumuh serta padat penghuni.

1
1.2 Rumusan masalah
1. Anatomi dan Fisiologi telinga
2. Pengertian otitis media supuratif kronik
3. Penyebab dari otitis media supuratif kronik
4. Fisiologi otitis media supuratif kronik
5. Pathway otitis media supuratif kronik
6. Tanda dan gejala otitis media supuratif kronik
7. Penatalaksanaan otitis media supuratif kronik
8. Pemeriksaan diagnostik yang bisa di lakukan pada pasien otitis media
supuratif kronik
9. Komplikasi dari otitis media supuratif kronik
10. Diagnosa yang didapatkan pada pasien otitis media supuratif kronik
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi telinga
2. Mengetahui pengertian otitis media supuratif kronik
3. Memahami penyebab dari otitis media supuratif kronik
4. Memahami patofisiologi otitis media supuratif kronik
5. Memahami pathway otitis media supuratif kronik
6. Memahami tanda dan gejala otitis media supuratif kronik
7. Memahami penatalaksanaan otitis media supuratif kronik
8. Mengetahui pemeriksaan diagnostik yang bisa di lakukan pada pasien
otitis media supuratif kronik
9. Mengetahui komplikasi dari otitis media supuratif kronik
10. Mengetahui diagnosa yang ada pada pasien otitis media supuratif kronik

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga
Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara
kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa listrik dan
diteruskan ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Telinga
merupakan organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga manusia
menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak di mana bunyi
tersebut akan dianalisa dan diintrepetasikan. Telinga dibagi menjadi tiga
yaitu, Telinga Bagian Luar, Telinga Bagian Tengah, dan Telinga Bagian
Dalam (Hafil AF et al., : 2017).
1. Telinga Bagian Luar
Bagian luar dari telinga punya fungsi sebagai corong mirip megafon
untuk mengalirkan getaran udara ke gendang telinga. Selain itu, juga
mempunyai fungsi sebagai lokalisasi suara. Semua isyarat diintegrasikan
oleh otak untuk menentukan lokasi sumber suara. Telinga luar terdiri dari
dua bagian yaitu:
a. Daun Telinga ( pinna ) : mengumpulkan gelombang suara untuk di
teruskan ke saluran telinga luar yang selanjutnya ke gendang
telinga.
b. Liang Telinga ( Meatus Audutorius Eksternus) : Saluran ini tidak
beraturan dan dilapisi oleh kulit yang mengandung kelenjar khusus,
glandula seruminosa yang menghasilkan serumen.
2. Telinga Bagian Tengah
Bagian telinga ini dipisahkan dari saluran telinga  luar oleh gendang
telinga. Fungsi telinga tengah adalah untuk mentransfer getaran gendang
telinga ke cairan telinga bagian dalam. Pemindahan getaran suara ini
melalui rantai tulang-tulang kecil yang dapat bergerak, yang disebut
ossicles. Bagian telinga tengah terdiri dari:
a. Gendang telinga : Gendang telinga atau membran timpani, adalah
membran di ujung saluran pendengaran dan menandai awal telinga

3
tengah yang berbentuk kerucut pipih. Bagian gendang telinga sangat
sensitif terhadap tekanan dari gelombang suara membuat gendang
telinga bergetar. Untuk melindungi gendang telinga, saluran
pendengaran sedikit melengkung sehingga serangga tidak mudah
masuk. Seluruh membran timpani terdiri dari tiga lapisan. Lapisan
terluar kulit kontinu dengan lapisan luar. Lapisan dalam selaput
lendir kontinu dengan lapisan rongga timpani telinga tengah.Di
antara lapisan-lapisan ini adalah lapisan jaringan fibrosa yang terdiri
dari serat melingkar dan radial yang memberikan membran
kekakuan dan ketegangan. Membran disuplai oleh pembuluh darah
dan serabut saraf sensorik yang membuatnya sangat sensitif terhadap
rasa sakit.
b. Ossicles : Ossicles adalah tulang-tulang yang menyusun telinga
tengah yang menghubungkan membran timpani dengan telinga
bagian dalam, ada tiga tulang yaitu malleus (palu), incus (landasan),
dan stapes (sanggurdi).Gelombang suara yang masuk akan
menyebabkan getaran pada gendang telinga. Selanjutnya dari getaran
akan dilanjutkan ke ossicles yang akan memperkuat suara tersebut,
dan mentransmisikan suara dari membran timpani ke telinga bagian
dalam.
c. Tuba eustachius : Tuba eustachius punya fungsi untuk membantu
ventilasi telinga tengah dan menjaga tekanan udara yang sama di
kedua sisi membran timpani. Tuba akan tertutup saat istirahat dan
terbuka saat kita menelan sehingga telinga kita tidak mengalami
tekanan yang berlebihan.  Bagian telinga ini dilapisi dengan lendir,
seperti bagian dalam hidung dan tenggorokan.
3. Telinga Bagian Dalam
Telinga bagian dalam adalah bagian terakhir dari telinga,
memungkinkan kita untuk menerjemahkan gelombang suara menjadi
informasi yang dapat dikenali. Telinga bagian dalam terdiri dari
(Hafil AF et al., : 2017):

4
a. Koklea : Di koklea, gelombang suara diubah menjadi impuls listrik
yang dikirim ke otak. Otak kemudian menerjemahkan impuls ke
dalam suara yang kita ketahui dan pahami.
b. Vestibular : Bagian penting lain dari telinga bagian dalam yang
mengatur keseimbangan. Ini terdiri dari utricle dan saccule yaitu sel
rambut yang menjaga keseimbangan posisi kepala terhadap gaya
gravitasi. Mereka juga disebut reseptor gravitasi. Gangguan pada
vestibular atau infeksi pada telinga bagian dalam dapat
menyebabkan vertigo.
c. Semikular :saluran setengah lingkaran yang terdiri dari tiga saluran
berbeda yaitu, kanalis semisirkularis horizontal, kanalis
semisirkularis vertikal atas, dan kanalis semisirkularis vertikal
belakang.Di mana pada masing-masing kanalis terdapat ampula.
Ampula punya fungsi mengatur keseimbangan dinamis, yang
menentukan kesadaran posisi kepala saat terjadi gerakan memutar
atau rotasi.

2.2 Definisi
Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan infeksi kronis pada
telinga tengah yang prosesnya sudah lebih dari 2 bulan, yang ditandai dengan
adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus
menerus atau hilang timbul dari liang telinga. OMSK dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri. Otitis supuratif kronis (OMSK) didefinisikan sebagai
infeksi kronis pada telinga tengah yang prosesnya sudah lebih dari 2
bulan (Soepardi et al., 2007).
Otitis media supuratif kronis (OMSK) ditandai dengan adanya
perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus
menerus atau hilang timbul dari liang telinga (Ahmed et al., 2016).
OMSK dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. Bakteri penyebab OMSK
dapat bersifat aerob (misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
S.aureus, Streptoc occus pyogenes, Proteus mirabilis, spesies Klebsiella)

5
atau anaerob (misalnya Bacteroides, Peptostreptococcus,
Proprionibacterium. (Maya Rizky Amelia : 2020)
Otitis media supuratif kronik adalah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah
terus menerus atau hilang timbul. Sekret encer atau kental, bening atau berupa
nanah. Otitis media supuratif kronis merupakan komplikasi dari otitis media
akut yang disertai perforasi membran timpani lebih dari 2 bulan dan
keluarnya sekret yang apabila tidak ditangani dengan tepat akan membuat
progresivitas penyakit semakin bertambah. (Mai Rista Nila Sari, Mukhlis
Imanto : 2020)

2.3 Etiologi
Penyebab paling umum dari Otitis Media Supuratif akut adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Moraxella
catarrhalis. Namun Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus
merupakan bakteri aerob yang paling sering ditemukan pada pasien OMSK,
diikuti dengan Proteus vulgaris dan Klebsiella pneumoniae. (Yusi,2016)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gejala klinis dan terjadinya
komplikasi Otitis media supuratif kronis (OMSK) tergantung dengan
tipe bakteri penyebabnya. Proliferasi bakteri di telinga tengah
menyebabkan proses inflamasi kronis dan kelembaban yang tinggi.
Pola infeksi bakteri di telinga tengah adalah proses translokasi
bakteri dari liang telinga dan nasofaring. Bakteri pada kasus OMSK dapat
bersifat aerob (Pseudomonas aeruginosa,Escherichia coli, S.aureus,
Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella species) maupun
bersifat anaerob(Bacteriocides, Peptostreptococcus, Propionibacterium).
Bakteri-bakteri tersebut umumnya jarang ditemukan pada bagian kanalis
eksterna tetapi apabila terjadi trauma, inflammasi, laserasi atau kelembaban
yang tinggi menyebabkan bakteri-bakteri tersebut berproliferasi (Maya
Rizky : 2020)

6
Perforasi yang bersifat kronik dapat meningkatkan jumlah bakteri yang
masuk ke dalam telinga tengah. P.aeruginosa merupakan bakteri yang paling
berperan dalam kejadian OMSK karena menyebabkan kerusakan yang dalam
dan progresif pada telinga tengah dan mastoid. Racun serta enzim yang
dihasilkan oleh P.aeruginosa dapat merusak jaringan, mengganggu sistem
pertahanan tubuh dan menonaktifkan kerja dari antibiotik. P.aeruginosa dapat
berkembang biak dengan baik pada lingkungan dalam telinga dan sulit untuk
dibasmi karena dapat menghindar dari mekanisme pertahanan inangnya
dengan cara membungkus dirinya menggunakan lapisan epitel yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan penurunan sirkulasi darah yang
mengalir menuju daerah tersebut. S.aureus dan P.mirabilis juga ditemukan
pada hasil isolasi bakteri yang dilakukan di negara Malawi oleh Chirwa et al,
keduanya merupakan bakteri yang umum ditemui pada kasus OMSK. Gejala
klinis pasien OMSK yang disebabkan P.mirabilis berupa discharge yang
keluar terus-menerus, perforasi sentral dan otalgia . Discharge berulang dan
kurang pendengaran yang persisten adalah gejala klinis yang ditimbulkan
oleh S.aureus (Maya Rizky : 2020).

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan
dengan tuba eutakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik atau faktor
anatomik. Tuba eustakhius memiliki tiga fungsi penting yang berhubungan
dengan kavum timpani:Fungsi ventilasi, proteksi dan drainase (clearance).
Penyebab endogen misalnya gangguan silianpada tuba, deformitas pada
palatum, atau gangguan otot-otot pembuka tuba. Penyebab eksogen
misalnya infeksi atau alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara tuba.
Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequele atau
komplikasi otitis media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Dapat juga
terjadi akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa gromet)
pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal
untuk menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau

7
paparan alergen dari lingkungan, sehingga menyebabkan otorea yang
persisten (Yusi Farida, dkk. :2016)
Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok
dapat menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea
terus-menerus atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani
menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah
iskemi, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang
bila disertai tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat
mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang
menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan
dunia luar, sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara
luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan
infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan
kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman
gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini disebabkan
oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan
jaringan,serta pembentukan jaringan parut (Yusi Farida, dkk. :2016)
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa
sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau
mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung
lama menyebabkan mukosa mengalami proses pembentukan jaringan
granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran
timpani, sehingga menghalangi drainase,menyebabkan penyakit menjadi
persisten. Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses
penutupan dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga
tengah, kemudian terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi telinga
tengah dan antrum mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita
sekunder, yang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman
pathogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma ini mampu menghancurkan
tulang di sekitarnya termasuk rangkaian tulang pendengaran oleh reaksi
erosi dari ensim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan oleh proses

8
kolesteatom dalam jaringan ikat subepitel. Pada proses penutupan membran
timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa
unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada
periode infeksi aktif (Yusi Farida, dkk. :2016)

2.5 Patway

2.6 Tanda dan Gejala


Gejala klinis nya ditandai dengan adanya lelehan telinga (otorrhea) yang
berulang atau terus-menerus selama 2-6 minggu melalui perforasi membran
timpani. Adapun gejala klinis lainnya yang bisa ditemukan antara lain
penebalan granular mukosa pada telinga tengah, polip mukosa, otalgia (nyeri

9
telinga), penurunan pendengaran dan juga ditemukan cholesteatoma didalam
telinga tengah (Lubis, Sofia Tamara:2018)
Gejala klinis pada OMSK tipe benigna bisa berupa discharge mukoid yang
tidak terlalu berbau busuk yang terlihat berasal dari rongga timpani dan
orifisium tuba eustachius yang mukoid ada setelah dilakukan pengobatan 1-2
kali bau busuk akan berkurang.Gangguan pendengaran konduktif selalu
didapatkan oleh pasien dengan derajat ketulian tergantung pada beratnya
kerusakan tulang pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik akut pada
awal penyakit. (Lubis, Sofia Tamara:2018)
Gejala klinis pada OMSK tipe malignan ditandai dengan adanya perforasi
marginal atau perforasi atik. Tanda ini biasanya adalah tanda awal dari
OMSK tipe bahaya, sedangkan pada kasus yang sudah lanjut biasanya dapat
ditemukan fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan
granulasi akan terlihat pada telinga tengah,cholesteatoma pada telinga tengah,
sekret yang berbentuk nanah dan berbau khas (aroma cholesteatoma), sekret
yang sangat bau dan berwarna kuning abu-abu, kotor purulen atau terlihat
bayangan cholesteatoma pada foto rontgen mastoid. Cholesteatoma
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman dan yang paling sering
adalah Proteus dan Pseudomonas. Adanya tuli konduktif pada OMSK tipe
malignan disebabkan adanya terbentuknya cholesteatoma bersamaan dengan
hilangnya alat penghantar udara. (Lubis, Sofia Tamara:2018)

2.7 Penatalaksanaan
Menurut Arief Mansjoer (2011), Terapinya sering lama dan harus
berulang-ulang karena:
1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen
2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus
paranasal,
3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga
mastoid
4. Gizi dan kebersihan yang kurang.

10
Pada OMSK ini, dilakukan irigasi aural dengan larutan NaCl 0,9%. Irigasi
aural adalah suatu proses pembersihan telinga dari kotoran telinga, benda
asing, cairan telinga dengan menggunakan cairan irigasi berupa NaCl 0,9%,
H2O2, asam asetat. Juga dilakukan aural toilet dengan menggunakan suction
dan cotton bud. Aural toilet merupakan proses penting dalam pengobatan
OMSK. Kanalis auditoris eksterna dan jaringan lateral telinga tengah yang
terinfeksi sering ditutupi dengan eksudat berlendir atau jaringan epitel.
Tujuan dilakukan aural toilet adalah untuk membersihkan telinga tengah
sehingga obat topikal dapat menembus jaringan. Perkembangan aural toilet
terkini dengan menggunakan mikroskop. Pasien diberikan terapi oral berupa
antibiotik amoksiklav 3 x 625 mg selama lima hari.
Terapi antibiotik sistemik diperlukan pada pasien OMSK untuk mencapai
jaringan yang terinfeksi. juga diberikan antibiotik topikal berupa
ciprofloxacintetes telinga sehari dua kali sebanyak dua tetes. Diketahui
bahwa, tetes antibiotic topikal kombinasi dengan aural toilet merupakan
terapi utama untuk OMSK dan menunjukkan lebih efektif dalam uji coba
terkontrol secara acak. Tatalaksana kasus ini sesuai dengan tatalaksana
OMSK terbaru dimana kombinasi antibiotik topikal dan sistemik merupakan
pilihan pertama dalam tatalaksana OMSK.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli
konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya
ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga tengah.
Paparela, pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang
dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui
membrane fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang
hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas
pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea.

11
Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang,
sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan
(audiometri atau test berbisik). (Widya Arttini & Yussy Afriani Dewi :
2020)
Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata rata
kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap
skala ISO Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran rata kehilangan
intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO.
Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran yaitu (Widya Arttini &
Yussy Afriani Dewi : 2020):
a. Normal : 10 dB samapai 26 dB
b. Tuli Ringan : 27 dB samapai 40 dB
c. Tuli Sedang : 41 dB sampai 55 dB
d. Tuli Sedang Berat : 56 dB sampai 70 dB
e. Tuli Berat : 71 dB sampai 90 dB
f. Tuli Total : lebih dari 90dB
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan
fungsi kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada
hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan
tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan
manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan
pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut biasa
membantu (Widya Arttini & Yussy Afriani Dewi : 2020) :
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih
dari 15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli
konduktif 30-50dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran
yang masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli
bagaimanapun keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan

12
kohlea parah. Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus
dimulai oleh penilaian pendengaran dengan menggunakan garpu
tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking adalah
dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan
audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid
yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit
dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang,
terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Proyeksi
radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah (Widya Arttini & Yussy
Afriani Dewi : 2020) :
a. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi
mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk
pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen.
Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat
membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral.
b. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga
tengah. Akan tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik
sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai
struktur-struktur.
c. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid
petrosusdan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius
interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini
menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat
menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.
Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga
dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan
atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena
kolesteatom, ada atau tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus

13
terlihat fistula pada kanalis semisirkularis horizontal. Keputusan untuk
melakukan operasi jarang berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada
keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior
menunjukan adanya penyakit mastoid (Widya Arttini & Yussy Afriani
Dewi :2020)
3. Pemeriksaan Garpu Tala
Pemeriksaan/Uji Pendengaran dengan menggunakan garpu tala
merupakan uji yang sifatnya kualitatif. Garputala sendiri terdiri dari 1
set (5 buah) dengan frekuensi dimulai dari 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz,
1024 Hz, dan 2048 Hz. Pada umumnya dipakai 3 macam garpu tala
yaitu 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz.  Uji Batas atas dan Batas bawah
Tujuan : menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar
penderita melewati hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas
ambang normal.
Prosedur : Semua garpu tala (dimulai dari frekuensi terendah sampai
frekuensi tertinggi ataupun sebaliknya) dibunyikan satu persatu dengan
cara memegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan
dengan lunak (dipetik dengan ujung jari/kuku), kemudian didengarkan
dahulu oleh si pemeriksa sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai
intensitas bunyi terendah bagi orang normal/ nilai ambang normal, lalu
diperdengarkan kepada penderita dengan meletakkan garpu tala di
dekat Meatus Akustikus Eksternus (MAE) pada jaran 1-2 cm dalam
posisi tegak dan 2 kaki pada garis yang menghubungkan MAE kanan
dan kiri.
Interpretasi :
 Normal : mendengar garpu tala pada semua frekuensi
 Tuli Konduksi : batas bawah naik (frekuensi rendah tidak
terdengar)
 Tuli sensoris neural : batas atas turun (frekuensi tinggi tidak
terdengar)

14
Kesalahan yang dapat terjadi : garpu tala dibunyikan terlalu keras
sehingga tidak dapat mendeteksi pada frekuensi mana penderita tidak
dapat mendengar.

4. Pemeriksaan Swabach
Tujuan : tujuan pemeriksaaan ini adalah membandingkan hantaran
tulang pasien dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Prosedur :
 Garpu tala (frekuensi 512 Hz) digetarkan , lalu tangkainya
diletakkan pada pada planum mastoid pemeriksa, bila pemeriksa
sudah tidak mendengar bunyi sesegera mungkin garpu tala
dipindahkan ke planum mastoid penderita yang diperiksa.
Apabila penderita masih dapat mendengar bunyi maka disebut
dengan Schwabah memanjang, namun bila penderita tidak
mendengar bunyi garpu tala akan terdapat dua kemungkinan
yaitu schwabach memendek atau normal.
 Untuk membedakan hal tersebut maka uji dilakukan dengan
dibalik, yaitu garpu tala diletakkan pada planum mastoid
penderita dahulu baru ke pemeriksa dengan prosedur yang sama.
Apabila pemeriksa tidak dapat mendengar berarti sama-sama
normal, namun bila pemeriksa masih dapat mendengar bunyi
maka disebut Schwabach memendek.
Interpretasi :

 Normal : Schwabach Normal


 Tuli Konduksi : Schwabach Memanjang
 Tuli Sensoris Neural : Schwabach Memendek
Keselahan yang mungkin terjadi : Gapu tala tidk diletakkan dengan
benar, kakinya tersentuh hingga bunyi menghilang. Kemungkinan lain
adalah pemberian isyarat oleh penderita terlambat.

15
5. Pemeriksaan Tes Rinne
Tujuan : tujuan pemeriksaan adalah membandingkan hantaran melalui
udara dan hantaran tulang pada satu telinga penderita.
Prosedur :
 Garpu tala (frekuensi 512 Hz)digetarkan, lalu diletakkan pada
planum mastoid (posterior dari MAE) penderita dengan demikian
getaran melalui tulang akan sampai ke telinga dalam. Apabila
pasien sudah tidak mendengar lagi bunyi dari garpu tala yang
digetarkan tersebut, maka garpu tala dipindahkan ke depan liang
telinga (MAE), kira-kira 2,5 cm jaraknya dari liang telinga.
Apabila penderita masih dapat mendengar bunyi dari garpu tala di
depan MAE, hal ini disebut Rinne Positif, dan sebaliknya bila
penderita tidak mendengar bunyi di depan MAE disebut Rinne
Negatif.
 Garpu tala (frekuensi 512 Hz) dibunyikan kemudian diletakkan
pada planum mastoid, kemudian segera dipindahkan ke depan
MAE, penderita ditanya mana yang lebih keras. Apabila
dikatakan lebih keras di depan MAE disebut Rinne Positif, bila
lebih keras dibelakang disebut Rinne Negatif.

16
Interpretasi :

 Normal : Rinne Positif


 Tuli Konduksi : Rinne Negatif
 Tuli Sensoris neural : Rinne Positif
Pada pasien yang pendengarannya masih baik, maka hantaran melalui
udara lebih baik dari hantaran melalui tulang. Kadang dapat terjadi
False Rinne (pseudo positif atau pseudo negatif), dapat terjadi bila
stimulus bunyi dtangkap oleh telinga yang tidak diperiksa (yang
satunya lagi) hal ini dimungkinkan terjadi apabila telinga yang tidak
diperiksa tersebut memiliki pendengaran yang jauh lebih baik
daripada telinga yang diperiksa.

Kesalahan yang dapat terjadi :

 Garpu tala tidak diletakkan dengan baik pada planum mastoid


atau miring, terkena rambut, jaringan lemak tebal sehingga
penderita tidak mendengar atau getaran garpu tala terhenti/
terganggu karena kaki garpu tala tersentuh aurikulum.
 Penderita terlambat memberikan isyarat waktu garpu tala sudah
tidak didengarkan lagi, sehingga waktu dipindahkan ke depan
MAE getaran garpu tala sudah berhenti

2.9 Komplikasi
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya komplikasi pada OMSK.
Sangat penting sekali untuk mengetahui anatomi dimana terjadinya infeksi,
rute penyebaran dan karakteristik dari penyakit itu sendiri. Patogenesis
primer terjadinya komplikasi adalah interaksi antara mikroorganisme
penyebab dengan host. Host akan berespon dengan membentuk edema
jaringan dan jaringan granulasi. Saat infeksi di telinga tengah dan mastoid

17
tidak teratasi, edema mukosa terus berlangsung, eksudat meningkat, serta
terjadi proliferasi kelenjer mukus. Edema mukosa di tempat yang sempit
antara mesotimpanum dengan epitimpanum dan di dalam aditus antara
epitimpanum dengan antrum mastoid menghambat jalur aerasi normal dan
mengurangi oksigenasi dan vaskularisasi. Pada saat yang sama hambatan
tersebut juga berlaku untuk antibiotik dan anti inflamasi untuk mencapai
sumber infeksi. Lingkungan seperti ini menjadi lingkungan yang kondusif
untuk pertumbuhan organisme anaerob dan proses destruksi tulang. (Sari,
Jenny Tri Yuspita,. dkk : 2018)
Variasi anatomi juga penting dalam perkembangan komplikasi. Tuba
eustachius tidak hanya berperan penting dalam patogenesis penyakit namun
juga berpengaruh terhadap komplikasi. Edema mukosa tuba merusak fungsi
tuba dan menghambat resolusi infeksi. Faktor-faktor lain seperti integritas
tulang di atas nervus fasialis atau dura mempengaruhi akses infeksi ke
struktur nervus dan ruang intrakranial. Keberadaan kolesteatom sering
berkaitan dengan destruksi tulang yang mengekspos dura atau nervus
fasialis. (Sari, Jenny Tri Yuspita,. dkk : 2018)
Komplikasi pada OMSK berhubungan erat dengan kombinasi dari
destruksi tulang, jaringan granulasi dan kolesteatom. Bakteri dapat
mencapai struktur yang terlibat terutama melalui jalur langsung dari mastoid
atau melalui vena dari mastoid ke struktur di sekitarnya. Jalur langsung
dapat terbentuk akibat osteitis karena kolesteatom, tindakan bedah mastoid
sebelumnya, fraktur tulang temporal, atau dehisen kongenital Komplikasi
pada otitis media supuratif kronik terbagi dua yaitu komplikasi
intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi intratemporal
meliputi mastoiditis, petrositis, labirintitis, paresis nervus fasialis dan fistula
labirin. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau jaringan granulasi
ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus otik,
meningitis dan abses subdural. (Sari, Jenny Tri Yuspita,. dkk : 2018)
Saat terjadi komplikasi, gejala biasanya berkembang dengan cepat.
Demam menandakan terjadinya proses infeksi intrakranial atau selulitis

18
ekstrakranial. Edema dan kemerahan di belakang telinga menandakan
terjadinya mastoiditis yang berhubungan dengan abses subperiosteal. Nyeri
retroorbita berhubungan dengan petrositis. Vertigo dan nistagmus
mengindikasikan terjadinya labirintitis atau fistula labirin. Paresis nervus
fasialis perifer biasanya ipsilateral dengan telinga yang terinfeksi yang
disebabkan oleh OMSK dengan kolesteatom. Papil edema terjadi akibat
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala dan letargi biasanya
juga menyertai komplikasi intrakranial. Meningismus berkaitan dengan
meningitis dan kejang biasanya diakibatkan oleh abses otak. Pemeriksaan
penunjang perlu dilakukan pada pasien OMSK yang dicurigai mengalami
komplikasi. (Sari, Jenny Tri Yuspita,. dkk : 2018)
2.10 Konsep Asuhan Keperawatan

1. Fokus Pengkajian :
a. Data Subyektif :
Tanda-tanda dan gejala utama infeksi ekstrena dan media adalah
neyeri serta hilangnya pendengaran. Data harus disertai
pernyataan mengenai mulai serangan, lamanya, tingakt nyerinya.
Rasa nyeri timbul karena adanya tekanan kepada kulit dinding
saluran yang sangat sensitif dan kepada membran timpani oleh
cairan getah radang yang terbentuk didalam telinga tengah.
Saluran eksterna yang penuh dan cairan di telinga tengah
mengganggu lewatnya gelombang suara, hal ini menyebabkan
pendengaran berkurang. Penderita dengan infeksi telinga perlu
ditanya apakah ia mengerti tentang cara pencegahannya
b. Data Objektif
Telinga eksterna dilihat apakah ada cairan yang keluar dan bila
ada harus diterangkan. Palpasi pada telinga luar menimbulkan
nyeri pada otitis eksterna dan media. Pengkajian dari saluran luar
dan gedang telinga (membran timpani). Gendang telinga sangat
penting dalam pengkajian telinga, karena merupakan jendela

19
untuk melihat proses penyakit pada telinga tengah. Membran
timpani yang normal memperlihatkan warna yang sangat jelas,
terlihat ke abu-abuan. Terletak pada membran atau terlihat batas-
batasnya. Untuk visulaisasi telinga luar dan gendang telinga harus
digunakan otoskop. Bagian yang masuk ke telinga disebut
speculum (corong) dan dengan ini gendang telinga dapat terlihat,
untuk pengkajian yang lebih cermat perlu dipakai kaca pembesar.
Otoskop dipakai oleh orang yang terlatih, termasuk para perawat.
2.11 Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
Hari, tanggal : Senin, 19 Oktober 2021
Waktu : 09.30 WITA
Tempat : R.Poli THT RS Islam
Metode : Wawancara dan pemeriksaan fisik
Sumber : Pasien dan Keluarga
1. Identitas
c. Klien
Nama : Tn. R
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Jl. S.Parman Banjarmasin Tengah
Pekerjaan : Guru
Tanggal masuk : 19 Oktober 2021
No RM : 01.70.24.24
Diagnosa medis : Otitis Media Supuratif Kronik

d. Penanggung Jawab
Nama : Ny. S

20
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Hubungan dengan pasien : Istri

II. Riwayat Kesehatan


A. Kesehatan Pasien
1. Alasan Masuk Rumah Sakit
2 minggu sebelum masuk RS, pasien mengeluhkan pusing
berputar dan benjolan di telinga sebelah kanan semakin
membesar. Pasien juga mengeluhkan dari telinga kirinya
keluar cairan berwarna kuning dan kemerahan. Sebelumnya,
pasien sempat mengeluhkan meriang dan badan panas. Pasien
mengatakan minum obat merk bodrex sebagai obat antinyeri.
Pasien mengatakan sekali makan bisa menghabiskan 9 tablet
bodrex untuk meredakan sakit kepalanya selama 6 hari
sebelum masuk RS. Pasien kemudian dibawa ke RS. Islam
pada tanggal 04 Oktober 2021. Setelah dirawat selama 4 hari,
pasien kemudian dirujuk ke RS. Ulin untuk dilakukan
tindakan keperawatan dan medis selanjutnya.
2. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sakit kepala sebelah berputar, terjadi
penurunan pendengaran. Cairan yang keluar dari telinga,
Demam, Tidak bersemangat, Penurunan nafsu makan, Batuk,
Pilek, Gelisah, penurunan pola tidur dan muntah-muntah.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengeluhkan sakit kepala seperti ditusuk-tusuk, nyeri
dirasakan apabila efek obat analgetik habis, nyeri di area
kepala bagian kiri menjalar ke leher hingga kepala depan
bagian kiri, skala nyeri VAS 7 dari 0-10. Keluarga pasien
mengatakan terdapat benjolan di atas telinga sebelah kanan.
Pasien mengatakan tidak ada nyeri tekan di daerah benjolan.

21
Sekarang benjolan sudah sebesar 5x1 cm, tidak nyeri tekan,
ada massa lunak berbatas tegas. Pasien mengeluhkan fungsi
pendengaran berkurang, telinga sebelah kiri tidak bisa
mendengarkan suara karena gendang telinga yang pecah,
tetapi telinga sebelah kanan masih bisa mendengarkan dengan
normal.
4. Riwayat Kesehatan Lalu
Keluarga pasien mengatakan sejak usia 1 tahun, gendang
telinga pasien pecah dikarenakan sewaktu pasien masih kecil,
telinga pasien dikorek-korek menggunakan kapas lidi oleh
ibunya. Namun ibu pasien mengorek-orek teinga pasien
terlalu dalam, sehingga mengakibatkan gendang telinga
pasien pecah. Awalnya hanya keluar cairan dari telinga
pasien, setelah diberikan obat tetes telinga yang dijual bebas
di apotek, nanah mulai mengering dan sembuh. Di telinga
sebelah kanan pasien juga mulai muncul benjolan kecil.
Seiring berjalannya waktu, benjolan di telinga pasien ikut
membesar. Sebelum masuk RS, keluarga pasien mengatakan
pasien sempat berobat ke beberapa pengobatan alternatif,
diantaranya minum minuman jamu dan herbal. Pasien
mengatakan setelah minum beberapa jamu dan herbal,
penyakit pasien tetap belum sembuh.
5. Riwayat Kesehaan Keluarga
Keluarga pasien mengatakan pasien mempunyai riwayat
penyakit kanker dan hipertensi. Saat mengandung pasien, ibu
pasien menderita kanker payudara. Selama kehamilan, ibu
pasien menjalani terapi pengobatan untuk kanker. Ayah
pasien juga menderita hipertensi. Tidak ada riwayat penyakit
menular, DM dan asma.
III. Pola Kebiasaan Pasien
A. Aspek Fisik-Biologis

22
1. Pola Nutrisi
Sebelum sakit Pasien makan 3x sehari dengan menu nasi, lauk
dan sayur. Tidak ada alergi makanan. Sedangkan pola minum
pasien sehari 6 gelas air putih dan setiap hari selalu
mengkonsumsi kopi 3 gelas. Selama sakit Pasien
mendapatkan 3x porsi diet nasi dari RS. Pasien mengatakan
tidak menghabiskan satu porsi diet dari RS setiap kali makan.
Pasien minum sekitar 1 liter perhari. Pasien mengatakan
selama di RS pasien hanya minum teh dan air putih.
2. Pola Eliminasi Sebelum sakit
Pasien mengatakan pasien BAB 1 kali sehari setiap pagi,
sedangkan BAK 4-5 kali sehari. Tidak ada keluhan berkemih.
Selama sakit Pasien BAK 6 kali sehari, tidak ada keluhan.
Pasien mengatakan BAB sekali satu hari dengan konsistensi
lembek, tidak ada keluhan saat BAB.
3. Pola Aktivitas Sebelum sakit Pasien melakukan kegiatan
sehari-hari secara mandiri. Pasien sering keluar malam untuk
bermain dan nongkrong bersama teman-teman. Selama sakit
Pasien melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Untuk
berpakaian pasien memerlukan bantuan dikarenakan tangan
kanan pasien terpasang infus
4. Pola istirahat dan tidur Sebelum sakit Pasien tidur ± 6 jam
sehari. Pasien mengatakan tidak pernah tidur siang. Pasien
mulai tidur pada pukul 01.00 – 07.00 WIB. Selama sakit
Keluarga pasien mengatakan pasien kurang tidur karena
merasakan sakit yang mengakibatkan pasien tidak bisa tidur
dengan nyenyak. Pasien mulai bisa tidur pada pukul 20.00-
24.00 WIB.
5. Pola Kebersihan Diri
a. Kebersihan kulit
Pasien mandi 1 kali sehari.

23
b. Rambut
Rambut bersih dan berwarna hitam.
c. Telinga
Telinga simetris, keluar cairan dari telinga kiri berwarna
kekuningan. Lubang telinga kiri pasien ditutup kassa
untuk menyumbat keluarnya cairan.
d. Mulut
Gigi pasien terlihat kurang bersih. Pasien mengatakan
jarang gosok gigi
B. Aspek Mental – Intelektual – Sosial - Spiritual
1. Konsep diri
a. Identitas diri
Pasien adalah seorang guru MAN dan mempunyai istri
b. Gambaran diri
Pasien terbuka dengan orang yang baru dikenal.
c. Peran diri
Pasien sebagai seorang buruh (pekerja lepas).
d. Ideal diri Pasien berharap penyakitnya segera sembuh dan tidak
merasakan nyeri lagi.
2. Intelektual
Pasien mengetahui penyebab dari gangguan pendengaran yang
dialaminya dikarenakan oleh gendang telinganya yang pecah.
3. Hubungan interpersonal
Keluarga pasien mengatakan hubungan dengan keluarga dan sekitar
baik-baik saja.
4. Mekanisme Koping
Keluarga pasien menerima dengan ikhlas dan berharap pasien diberi
kesembuhan oleh Allah SWT.
5. Support Sistem
Keluarga sangat mendukung untuk kesembuhan pasien.
6. Aspek Mental/ Emosional

24
Pasien tidak nampak gelisah dan tegang saat perawat datang. Pasien
kooperatif saat dilakukan tindakan keperawatan.
7. Aspek Spiritual
Agama pasien adalah Islam. Keluarga pasien menyatakan setiap hari
pasien selalu melaksanakan ibadah.
IV. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : Sedang
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tanda-Tanda Vital :
a. Tekanan Darah : 150/90 mmhg
b. Suhu : 37,40C
c. Nadi : 95 x/menit
d. Respirasi : 23 x/menit
3. Status Gizi
Berat Badan : 48 kg b. Tinggi Badan : 163 cm c. IMT : 48/(1,63)2
kg/m2 = 18,46 kg/m2 (Normal)
B. Pemeriksaan Head toe to
1. Kepala
Tampak tidak ada benjolan atau pembengkakan, bentuk bulat,
rambut tampak berwarna hitam, pertumbuhan rambut lebat subur
dan merata. Terlihat bersih dan tidak terlihat adanya luka.
2. Mata
Mata isokor/besarnya sama, tidak ada nyeri tekan, kedua mata
simetris, sklera tidak ikterus, reaksi pupil terhadap cahaya isokor,
tidak ada benjolan, tidak ada menggunakan alat bantu penglihatan
dan fungsi penglihatan baik.
3. Telinga
Bentuk telinga simetris, terlihat cairan berwarna kekuningan keluar
dari telinga sebelah kiri, Telinga tampak ada kotoran, lubang telinga
ditutup dengan kassa untuk menyumbat cairan yang keluar. Terjadi
gangguan fungsi pendengaran di telinga sebelah kiri. Dilakukan tes

25
detik jam tangan, terjadi gangguan fungsi pendengaran di telinga
sebelah kiri, fungsi pendengaran telinga sebelah kanan masih
normal. Terlihat benjolan di belakang telinga kanan bagian atas
berdiameter 5x1 cm, tidak ada nyeri tekan, teraba massa lunak
berbatas tegas. Pasien terlihat melindungi telinganya. Membran
timpani menonjol, membran timpani berwarna kuning/biru.
Kejernihan keruh. Dan reflek cahaya negatif
4. Hidung
Tampak tidak ada abses/nanah pada batang hidung, tidak ada pus,
tidak terasa nyeri pada saat ditekan. Tampak tidak ada reaksi alergi
pada batang hidung, tidak ada sinusitis/peradangan, tidak ada polip,
tampak tidak ada perdarahan pada hidung. Tidak terlihat
pernapasan cuping hidung, hidung berfungsi dengan baik dan
pasien mengatakan tidak ada keluhan pada hidung.
5. Leher
Tidak ada pembesaran yang terjadi pada kelenjar tiroid dan getah
bening, tidak terlihat benjolan, tidak ada nyeri tekan di bagian leher
dan tidak ada kelainan pada leher pasien. Pasien mengatakan Tidak
ada gangguan menelan.
6. Dada
a. Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terlihat penggunaan otot
aksesoris
b. Palpasi Tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi, tidak ada
retraksi dinding dada
c. Perkusi Suara lapang paru sonor
d. Auskultasi Suara pernafasan vesikuler dan tidak ada suara
napas tambahan.
7. Abdomen
a. Inspeksi Bentuk simetris, warna coklat merata, tidak ada lesi,
tidak ada jejas, tidak terlihat benjolan
b. Palpasi Tidak teraba benjolan, tidak ada nyeri tekan

26
c. Perkusi Timpani
d. Auskultasi bising usus 12x/menit, irama reguler
8. Genetalia
Pasien tidak merasakan nyeri saat berkemih, pasien tampak tidak
ada menggunakan kateter dan tidak ada kelainan yang ditemui.
9. Ekstremitas
a. Ekstremitas atas
Terpasang IVFD NaCl 20 tpm di tangan sebelah kanan sejak
tanggal 10 Oktober 2014 dengan kondisi balutan terlihat
bersih, tidak terlihat rembesan darah dan cairan. Terlihat tatto
di sepanjang tangan kanan dan kiri.
b. Ekstremitas bawah Tidak terdapat lesi maupun oedem.

2.12 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada pasien Otitis Media yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis : proses
peradangan
2. Gangguan sensori persepsi : pendengaran berhubungan
dengan perubahan sensori persepsi pendengaran
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
4. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan
dengan suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit
terasa hangat
5. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

27
PERENCANAAN
No Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Nyeri Akut Setelah 1. Observasi 1. Indikator
berhubungan dilakukan tanda-tanda kehidupan
dengan agen asuhan vital : TD,N, pasien
cedera keperawatan R, S 2. Mengidentifikas
biologis : selama 3x24 2. Lakukan i karakteristik
proses jam diharapkan pengkajian nyeri secara
peradangan pasien tidak nyeri komprehensif :
merasakan nyeri 3. Observasi lokasi,
dengan kriteria reaksi non frekuensi,
hasil : verbal dari durasi, kualitas
 Pasien nyeri dan faktor
melaporkan 4. Atur posisi presipitasi
nyeri pasien 3. Mengidentifikas
berkurang senyaman i skala nyeri
 Tanda- mungkin menggunakan
tanda vital 5. Ajarkan teknik ekspresi wajah
normal manajemen 4. Posisi yang
 Skala nyeri nyeri non nyaman dapat
berkurang farmakologik : mengurangi
menjadi 4 teknik nyeri
dari 0-10 distraksi 5. Mengurangi

 Pasien relasasi, nafas nyeri secara non

terlihat dalam Kelola farmakologik

rileks pemberian 6. Analgetik dapat

 Pasien analgetik mengurangi

mengerti Ketorolac 30 nyeri secara

mengenai mg/12 jam per farmakologik

manajemen

28
nyeri non IV
farmakologi
2. Gangguan Setelah 1. Observasi 1. Indikator
sensori dilakukan kemampuan keabnormalan
persepsi: asuhan pendengaran pendengaran
pendengaran keperawatan 2. Observasi 2. Mengidentifikasi
berhubungan selama 3x24 cairan keluar keluarnya
dengan jam diharapkan dari telinga cairan : warna,
perubahan pasien tidak 3. Lakukan tes dan bau
sensori terjadi pendengaran : 3. Mengidentifikasi
persepsi gangguan suara bisik, bagian telinga
pendengaran pendengaran detik jam yang mengalami
dengan kriteria tangan atau keabnormalan
hasil: garpu tala 4. Membunuh
 Kemampuan 4. Kelola kuman dan
pendengaran pemberian bakteri penyebab
baik antibiotik infeksi
 Tidak ada Ceftriaxon 1 5. Membantu
cairan keluar g/12 jam per mengurangi
dari telinga IV serumen yang
Kolaborasi keluar dari
pemberian obat telinga
tetes telinga
3. Gangguan Setelah 2.13 Observasi 1. Mengidentifikasi
pola tidur dilakukan jumlah jam jumlah jam tidur
berhubungan asuhan tidur pasien pasien
dengan nyeri keperawatan 2.14 Observasi 2. Mengidentifikasi
selama 3x24 kebiasaan kebiasaan
jam diharapkan sebelum tidur sebelum tidur :
pola tidur pasien pasien membaca,
kembali normal 2.15 Ciptakan mendengarkan

29
dengan kriteria lingkungan music
hasil : yang nyaman 3. Pencahayaan dan
 Terjadi sebelum tidur kebisingan dapat
peningkatan 2.16 Fasilitasi mengganggu
tidur : untuk tidur pasien
jumlah dan mempertahank 4. Memberi
kualitas an aktivitas kemudahan
 Menyatakan sebelum tidur dalam mengantar
tubuh lebih 2.17 Kelola tidur pasien
fresh setelah pemberian 5. Nyeri yang
tidur analgetik berkurang atau
 Mata tidak ketorolac 30 bahkan hilang
terlihat sayu mg/ 12 jam per dapat
IV memudahkan
2.18 Kolaboras pasien untuk
i pemberian tidur
obat tidur 6. Membantu
pasien tidur
secara
farmakologik
4. Hipertermia Setelah 1. Identifikasi 1. Menanyakan
berhubungan dilakukan penyebab penyebab
dengan tindakan hipertermia. terjadinya
dibuktikan keperawatan 2. Monitor suhu hipertermia
dengan suhu selama 3 x 24 tubuh. 2. Melakukan
tubuh diatas jam diharapkan 3. Monitor kadar pengukuran
nilai normal, termoregulasi elektrolit. suhu tubuh
kulit merah, membaik 4. Monitor dengan
kulit terasa dengan kriteria haluaran urine. thermometer
hangat proses hasil: 5. Monitor 3. Melakukan
penyakit  Suhu tubuh komplikasi pengecekan

30
membaik akibat laboratorium
 Suhu kulit hipertermia. darah
membaik 4. Melakukan
 Kadar pengecekan
glukosa keluarnya urine
darah 5. Melakukan
Membaik pengkajian
 Pengisian adanya
kapiler pengaruh/kompl
Membaik ikasi dari

 Ventilasi hipertermia.

membaik
 Tekanan
darah
membaik
5. Resiko infeksi Setelah 2. Periksa lokasi 1. Melakukan
dibuktikan dilakukan insisi adanya pengkajian
dengan efek Tindakan kemerahan, tanda tanda
prosedur keperawatan bengkak atau inflamasi
invasif. selama 3 x 24 tanda-tanda 2. Melakukan
jam diharapkan dehisen atau pengkajian
tingkat eviserasi. untuk
infeksi menurun 3. Identifikasi mengetahui
dengan kriteria karakteristik karakteristik
hasil: drainase. drainase
 Demam 4. Monitor proses 3. Melakukan
menurun penyembuhan pemantauan
 Kemerahan area insisi. terhadap proses
menurun 5. Monitor tanda penyembuhan
 Nyeri dan gejala luka di area
menurun insisi

31
 Bengkak infeksi. 4. Melakukan
menurun pengkajian
adanya tanda
dan gejala
infeksi

32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa otitis media
supuratif kronik merupakan infeksi kronis pada telinga tengah yang prosesnya
sudah lebih dari 2 bulan, yang ditandai dengan adanya perforasi pada
membran timpani dan keluarnya cairan secara terus menerus atau hilang
timbul dari liang telinga. Dimana penatalaksanaan OSMK ini seperti tindakan
irigasi aural dan terapi antibiotik.
3.2 Saran
Diharapkan bagi masyarakat khususnya sebagai tenaga kesehatan dapat
memahami otitis media supuratif kronik dan dapat menjaga kebersihan
telinga agar terhindar dari penyakit tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA
Hafil AF et al., (2017). Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala, dan Leher, Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Maya Rizky. Identifikasi Mikroorganisme Penyebab Otitis Media Supuratif
Kronik Dan Kepekaannya Terhadap Antibiotik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada. Volume9, Nomor1, Juni 2020, pp;579-584p-ISSN: 2354-6093dan e-
ISSN: 2654-4563 DOI:10.35816/jiskh.v10i2.351
Sari, Jenny Tri Yuspita., Yan Edward & Rossy Rosalinda. (2018). Otitis Media
Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan Paresis
Nervus Fasialis Perifer. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 7 No. 4.
Widya Artini & Yussy Afriani Dewi,. (2020) Sistem Indra T.H.T.K.L dan Mata.
Singapore: ELSEVIER.
Yusi Farida, dkk. (2016). Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK). J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1

34

Anda mungkin juga menyukai