Anda di halaman 1dari 72

BUKU AJAR

ILMU KESEHATAN THT-KL

Editor Utama
dr. Decky Gunawan, M.Kes., AIFO.

Editor
dr. Fari Ananda Daud, Sp.THT-KL., M.Kes.

Pembuat Desain Sampul


dr. Jefferson Nicklaus

i
Kata Sambutan

Puji syukur kepada Tuhan, dengan terselesaikannya buku ajar ini. Buku ajar ini
disusun untuk memperlengkapi mahasiswa kepaniteraan saat melaksanakan kegiatan
belajar mengajar di Rumah Sakit Pendidikan Utama dan Rumah Sakit Afiliasi atau Rumah
Sakit Jejaring. Buku ajar yang disusun ini direncanakan akan terus diperbaharui
menanggapi perkembangan ilmu kedokteran yang juga terjadi secara terus menerus.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para penulis dan editor utama serta
editor lainnya yang berkontribusi dalam penyusunan buku ajar ini, yang telah bekerja keras
dan meluangkan banyak waktu dalam Menyusun buku ajar ini.
Saya berharap buku ini dapat memberi manfaat yang optimal bagi semua
mahasiswa kepaniteraan dan juga bermanfaat bagi mahasiswa sarjana kedokteran di pre
klinik, sehingga dapat belajar dengan baik, dan menjadi dokter-dokter yang memiliki
kompetensi dan mampu melayani masyarakat dengan keprimaan, dengan penuh tanggung
jawab, dan penuh kasih kepada sesama.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Kristen Maranatha

Dr. Diana Krisanti Jasaputra, dr., M. Kes.

ii
Daftar Isi

Editor ....................................................................................................................... i
Kata Sambutan ........................................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
Otitis Media ........................................................................................................... 1
Otitis Media Supuratif Akut ............................................................................ 4
Otitis Media Supuratif Kronis ......................................................................... 7
Otitis Media Serosa ....................................................................................... 10
Pertanyaan ...................................................................................................... 12
Rhinosinusitis ...................................................................................................... 14
Rhinitis Vasomotor ........................................................................................ 14
Rhinitis Alergi ............................................................................................... 20
Rhinitis Medikamentosa ................................................................................ 31
Sinusitis ......................................................................................................... 32
Pertanyaan ..................................................................................................... 36
Vertigo ................................................................................................................. 37
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) ............................................ 37
Meniere’s Disease .......................................................................................... 44
Pertanyaan ..................................................................................................... 47
Tonsilitis, Faringitis, Laringitis ......................................................................... 48
Tonsilitis ........................................................................................................ 48
Faringitis ........................................................................................................ 53
Laringitis ........................................................................................................ 56
Tonsilofaringitis Difteri ................................................................................. 62
Pertanyaan ..................................................................................................... 66

iii
OTITIS MEDIA
M.Indra Sapta, Oeij Anindita Adika,
Fanny Rahardja, Stella Tinia Hasianna

DEFINISI
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa dan periosteum
telinga tengah, tuba Eusthacius, antrum mastoid dan sel sel mastoid.

KLASIFIKASI

Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif
akut (otitis media akut=OMA) dan otitis media supuratif kronik (OMSK). Begitu pula
otitis media non supuratif/serosa terbagi menjadi yang akut (barotrauma) dan kronis (glue
ear).

OTITIS MEDIA AKUT


ETIOLOGI
Otitis media sering didahului dengan infeksi saluran nafas. Otitis media akut terjadi
apabila patogen dari nasofaring masuk ke dalam telinga tengah dan berproliferasi.
Penyebab dapat virus maupun bakteri. 25 % tidak ditemukan mikrooorganismenya 25 %
virus, seperti Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, rhinovirus, enterovirus.
Bakteri penyebab yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae kemudian
Haemophillus influenza dan Moraxella cattarhalis dan MRSA yang kasusnya mulai
meningkat.

1
PATOGENESIS
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologik, terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh drainage dengan cilia bergerak ke arah nasopharynx. OMSA terjadi karena
faktor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba auditiva merupakan faktor penyebab
utama otitis media. Karena fungsi tuba terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi
peradangan.
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi, oleh Shambaugh dibagi atas
6 stadium, yang akan memberikan gejala klinis yang khas.
a. Stadium hiperemis
• Otalgia, biasanya masih ringan sehingga pada tanda otalgia tidak ditemukan.
• Rasa penuh dalam telinga, sebagai akibat oklusi tuba, juga hanya ditemukan pada
anak dewasa dan anak yang lebih besar. Gejala demam ringan. Fungsi pendengaran
biasanya masih normal.
• Pada otoskopi : terlihat injeksi pembuluh darah sekitar manubruim mallei, tepi pars
tensa dan pars flasida.
b. Stadium eksudasi
• Otalgia dan demam dikeluhkan lebih jelas. Pada bayi otalgia akan menyebabkan
bayi jadi rewel, menangis dan kurang tidur. Pendengaran terganggu, berupa
ketulian konduktif. Pada bayi dapat ditemukan muntah, kejang, meningismus.
Nyeri tekan mastoid (daerah belakang telinga). Pada otoskopi akan terlihat
membran timpani bombans dan hiperemis.
• X-ray mastoid, selula mastoid kabur/gambaran pneumatisasi berkurang.
c. Stadium supurasi
• Pada stadium supurasi, otore diawali dengan keluarnya cairan serosanguinolen,
akibat perforasi membran timpani, beberapa waktu kemudian sekret menjadi
mukopurulen.
• Tanda yang khas disini adalah sekret yang mengandung mukus (berupa cairan
kental seperti lem), yang sekaligus menjadi tanda telah terjadi perforasi membran
timpani, karena mukus adalah produk dari sel goblet dari mukosa telinga tengah.
• Dengan terjadinya perforasi, otalgia akan berkurang, demam menurun bahkan bisa
menjadi suhu normal, pendengaran makin berkurang, tetapi keadaan umum pasien
menjadi lebih baik. Pada otoskopi, setelah cairan di liang telinga dibersihkan,
mungkin akan terlihat perforasi pada pars tensa.
d. Stadium koalesen / mastoiditis

2
• Keluhan otalgia muncul kembali, biasanya nocturnal. Demam juga sedikit
meningkat, nyeri tekan mastoid bahkan mungkin tanda-tanda abses dapat
ditemukan.
• Otore biasanya sudah berlangsung > 2 minggu, dapat dalam jumlah sedikit sampai
yang profuse.
• Pada otoskopi: meatus akustikus eksternus tampak menjadi sempit oleh karena
dinding post-sup mengalami penurunan akibat penebalan, tanda ini disebut
“sagging”.
e. Stadium komplikasi
• Disebut stadium komplikasi karena proses infeksi yang semula hanya terjadi di
mukosa telinga tengah telah meluas ke struktur sekitarnya. Tergantung ke struktur
anatomi yang mengalami infeksi, akan memberikan gejala masing-masing.
• Abses subperiosteum retro-aurikuler, terjadi bila proses infeksi menyebar ke
tulang mastoid retroaurikuler, dengan pembentukan abses yang dapat menembus
tulang, periost, otot, fasia dan kulit.
• Canalis fasialis berjalan dekat ke cavum timpani, sehingga parese/paralysis
n.fasialis akan terjadi bila proses infeksi meluas ke canalis fasialis.
• Labirintitis, terjadi bila proses perluasan infeksi berlangsung kearah medial.
Gejala labirintitis kochlea akan berupa tuli sensori-neural, sedang bila yang terlibat
labirin vestibuler, akan menyebabkan keluhan vertigo.
• Abses perisinus/ekstradural, Thrombophlebitis sinus sigmoideus, Abses otak,
Meningitis, dan Petrositis, adalah nama-nama komplikasi lain yang mungkin
terjadi, tergantung arah perluasan infeksi yang terjadi.
f. Stadium resolusi.
• Bila terjadi penyembuhan (efek terapi atau proses alami) maka otore akan
berkurang sampai tidak ada, pendengaran membaik sampai normal.
• Pada otoskopi mungkin masih ada perforasi membran timpani dengan ukuran kecil
atau sudah menutup. OMA dapat berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap
dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat
menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila sekreet menetap di kavum
timpani tanpa terjadinya perforasi.

GEJALA KLINIK
Gejala klinik OMA tergantung pada stadium penyakit serta usia pasien. Pada bayi
dan anak kecil gejala khas OMA ialah demam tinggi dapat sampai 39,50C (Stadium
supurasi), gelisah, tidak bisa tidur, tiba tiba anak menjerit waktu tidur, kejang kejang, dan
anak sering memegang telinga yang sakit.

3
Pada usia anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di
dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk dan pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar.

OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT


STADIUM
A. Stadium Oklusi Tuba Eustachius : Adanya gambaran retraksi membran timpani
akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorpsi
udara. Membran timpani terlihat suram dengan refleks cahaya menghilang. Efusi
mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan
otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
B. Stadium Hiperemis : Tampak pembuluh darah melebar di membran timpani sehingga
membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sepasienet yang terbentuk mungkin
masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar dilihat.
C. Stadium Supurasi : Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani yang
menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah telinga luar. Pasien
tampak sangat sakit, dan demam, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Bila tidak
dilakukan insisi (miringotomi) pada stadium ini, kemungkinan besar membran timpani
akan ruptur dan keluar nanah ke liang telinga luar. Dan bila ruptur, maka lubang tempat
ruptur (perforasi) kadang tidak menutup kembali terutama pada anak usia lebih dari 12
tahun atau dewasa.
D. Stadium Perforasi : Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian
antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran
timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
E. Stadium Resolusi : Bila terjadi penyembuhan (efek terapi atau proses alami) maka
otore akan berkurang sampai tidak ada, pendengaran membaik sampai normal. Pada
otoskopi mungkin amsih ada perforasi membran timpani dengan ukuran kecil atau
sudah menutup.

PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT


A. Terapi medikamentosa
Bergantung pada stadium penyakitnya :
1. Stadium hiperemis : antibiotik, tetes hidung dan analgetik.
Pilihan Antibiotik yang dianjurkan :
Golongan Penicillin :
• Amoxicillin 40-90 mg/kgBB/hari atau Ampicillin 50-100 mg/kgBB/hari bagi 4
dosis.

4
• Co-amoxiclav 40 mg/kgBB terbagi dalam 3 dosis.
• Cephalosporin generasi 2 : cefuroxime 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
p c.
Golongan Macrolide :
• Erythromycin 20-40 mg / kgBB /hari dibagi 2 dosis selama 7 hari.
• Azithromycin sehari sekali : 10 mg/ kgBB /hari single dose selama 4 hari.
• Clarithromycin 15 mg/ kgBB /hari dibagi 2 dosis sehari selama 5-10 hr.
Golongan Sulfonamid
• Cotrimoxazole: (kombinasi trimethroprim 80 mg dan sulfamethoxazole 400 mg
tablet) untuk dewasa 2x2 tablet,( 2x1 tablet forte) ; anak (trimethroprim 40 mg dan
sulfamethoxazole 200 mg) suspensi 2x5 ml/ 2x 1 tablet.
2. Stadium eksudasi : antibiotik + miringotomi.
3. Stadium supurasi : antibiotik + miringotomi.
4. Stadium koalesen/mastoiditis : terapi antibiotik dilanjutkan sampai 3 minggu.
5. Stadium komplikasi.
6. Stadium resolusi.

B. Terapi bedah
Pada stadium eksudasi atau supurasi yang belum perforasi, dapat dilakukan
tindakan miringotomi. Dibuat sayatan kecil dengan pisau khusus pada kuadran antero-
inferior untuk mengeluarkan cairan yang ada di dalam cavitas tympani. Dengan
miringotomi ini, biasanya ada perbaikan gejala: demam dan otalgia berkurang, namun

5
gejala otore akan muncul. Hal ini perlu diantisipasi dengan menginformasikan lebih dahulu
kepada pasien dan keluarganya.
Pada stadium mastoiditis/komplikasi, dapat dilakukan operasi mastoidektomi
simpleks, yaitu membuka mastoid dari arah belakang telinga untuk drainage cairan dan
produk radang lainnya keluar. Daerah operasi tidak mencapai ke cavitas tympani.
Indikasi miringotomi : febris tinggi, kejang, membrana tympanica bombans.

KOMPLIKASI
Perluasan infeksi ke struktur sekitar telinga tengah akan menyebabkan gangguan yang
dikategorikan sebagai komplikasi OMSA.
1. Mastoiditis akut.
2. Paresis / paralisis N.fasialis.
3. Labirintitis akut.
4. Meningitis.
5. Abses otak.
6. Ketulian.
7. Pada bayi, kejadian OMSA dapat memberi pengaruh pada proses bicara anak berupa
keterlambatan kemampuan berbicara, karena anak akan belajar berbicara menirukan
apa yang didengarnya sehari-hari.
Kejadian komplikasi bergantung keadaan pasien (status gizi).

PREVENTIF/EDUKASI
• Proses masuknya mikroba ke dalam cavum timpani, erat hubungannya dengan kondisi
tuba, keutuhan membran timpani, dan kejadian ISPA. Karena itu untuk pencegahan
OMSA, pasien dianjurkan untuk secepatnya berobat bila terserang ISPA, telinga yang
membran timpaninya dalam kondisi berlubang, harus menghindari masuknya cairan
ke liang telinga, karena akan berlanjut masuk ke cavum timpani.
• Hindarkan pemberian ASI /PASI saat bayi berbaring.
• Aspek medikolegal : karena Radang telinga dapat mempengaruhi pendengaran,
bahkan ada kemungkinan berkomplikasi serius yang mengancam jiwa, maka
penanganan Otitis media harus juga memperhatikan aspek medikolegal. Pemberian
informasi kepada pasien / keluarga, dan kesediaan dokter dalam memberi waktu
kepada pasien / keluarga untuk bertanya mengenai penyakitnya akan sangat
membantu mencegah terjadinya hal-hal medikolegal.

6
OTITIS MEDIA SUPURATIVA KRONIS (OMSK)
DEFINISI
Otitis Media Supurativa Kronis (OMSK) merupakan kelanjutan dari Otitis Media Supurativa Akut,
bercirikan sepasienet persisten dari telinga tengah yang berhubungan dengan perforasi membrane
timpani. Pada pemeriksaan dengan otoskopi, ruang telinga tengah terlihat merah, terinflamasi,
dengan keluarnya sekret yang purulen. Etiologi pada OMSK sama dengan penyebab OMSA.

Gambar. (a) Kondisi normal ruang telinga tengah dengan ruang telinga tengah bersih dan
kosong. (b) Pada OMSK, ruang telinga tengah eritematous dan berisi cairan.

Gambar 2. Pemeriksaan otoskopi telinga . (a) Telinga sehat, terlihat membrane timpani,
tanpa adanya sekret. (b) Pada OMSK, terlihat perforasi membrane timpani dan sekret
purulenta.

7
Etiologi OMSK yang didapatkan pada isolasi mikroorganisme.

PERJALANAN PENYAKIT
Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif
kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan,
disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa factor yang menyebabkan OMA menjadi
OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman
yang tinggi, daya tahan tubuh pasien yang buruk atau higienitas yang rendah.

PATOGENESIS
OMSK berasal dari OMSA yang tidak tuntas dan terjadi berulang, melibatkan
interaksi antara kondisi lingkungan, jenis bakteri, imunitas host, dan faktor risiko genetik.
Infeksi bakteri menyebabkan pembentukan biofilm, yang resisten terhadap antibiotik. Hal
ini menyulitkan eradikasi kuman dan menyebabkan infeksi rekuren atau kronis. Lapisan
biofilm ini juga melekat kuat ke jaringan yang rusak, misalnya tulang-tulang pendengaran,
mukosa telinga tengah, atau implant THT seperti selang timpanostomi. Infeksi bakteri
memicu respon inflamasi, dengan sitokin utama yang terlibat pada infeksi kronis adalah
IL-8.

8
LETAK PERFORASI
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan jenis OMSK. Pada
perforasi sentral terdapat perforasi di pars tensa tetapi di seluruh tepi perforasi masih
terdapat membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung
berhubungan dengan annulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang
terletak di pars flaksida.

a.Perforasi sentral, b. perforasi marginal, c.perforasi atik

JENIS JENIS OMSK


OMSK dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
1. Tipe aman / benigna
Peradangan hanya pada bagian mukosa saja dan tidak mengenai tulang. Perforasi
terletak di sentral. Umumnya perforasi tipe aman jarang menyebabkan komplikasi
yang berbahaya. Pada tipe aman tidak terjadi terdapat kolesteatoma.
2. Tipe bahaya / maligna / tulang
Pada tipe ini terjadi peradangan yang mengenai tulang. Perforasinya mengenai bagian
marginal atau atik. Kadang kadang sering terdapat juga kolesteatoma pada OMSK
dengan perforasi subtotal.

Diagnosis
Untuk diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama
pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen mastoid serta
kultur dan uji resistensi kuman dari telinga juga dilakukan.

9
OTITIS MEDIA SEROSA
ETIOLOGI
Gangguan fungsi tuba eustachii akibat OMSA, alergi, ISPA, maupun trauma.

PATOGENESIS
Otitis Media Serosa terjadi pada OMSA yang telah mengalami resolusi. Penyakit
ini didahului adanya gangguan fungsi tuba eustachii akibat infeksi sekunder, alergi, ISPA,
maupun trauma. Gangguan fungsi tuba ini menyebabkan terbentuknya tekanan negatif di
dalam ruang telinga tengah akibat absorpsi oksigen oleh permukaan mukosa ruang telinga
tengah. Tekanan negatif ini memicu transudasi cairan serosa ke dalam ruang telinga
tengah. Adanya cairan ini memicu munculnya keluhan berupa nyeri dan rasa penuh di
telinga, serta gangguan pendengaran.

GEJALA DAN PENGOBATAN


Gejala yang menonjol pada otitis media serosa adalah pendengaran yang
berkurang. Selain itu pasien sering merasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri
terdengar lebih keras atau berbeda pada telinga yang sakit. Kadang kadang terasa seperti
ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit nyeri
dalam telinga dapat terjadi pada awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbulnya
tekanan negatif pada telinga tengah. Tinitus dan vertigo kadang kadang ada dalam bentuk
yang ringan.
Pengobatan dapat secara medikamentosa dan pembedahan. Bila tidak terdapat
tanda tanda infeksi dapat diberikan vasokonstriktor local / tetes hidung seperti
antihistamin. Setelah satu atau dua minggu bila gejala masih menetap dapat dilakukan
miringotomi dan bila masih belum sembuh dapat dilakukan miringotomi dan pemasangan
pipa ventilasi.

MASTOIDITIS
DEFINISI
Mastoiditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada otitis media akut.
Mastoiditis merupakan inflamasi pada os temporalis terutaa cellulae mastoid, Lapisan
epitel pada mastoid air cell berhubungan dengan kavitas auris media. Usia anak yang lebih
rentan terhadap infeksi telinga tengah, akan meningkatkan resiko terjadinya mastoiditis
akut. Penyebab tersering adalah infeksi S.pneumoniae. patogen lainnya adalah beta
hemolitik streptokokus,S aureus, S. pyogenes, H, influenzae.

KLASIFIKASI
Mastoiditis dapat dibagi menjadi 3 kelompok :

10
• Mastoiditis insipien : infeksi pada sel mastoid yang tidak berhubungan dengan kavitas
telinga tengah.
• Mastoiditis koalesen akut : inflamasi pada lapisan epitel disertai erosi hingga septum
tulang pada sel-sel mastoid. Erosi dapat berlanjut menjadi pembentukan abses dan
menyebar ke daerah sekitarnya.
• Mastoiditis subakut : infeksi persisten telinga tengah atau infeksi rekuren otitis mediia
akut yang mendapatkan pemberian antibiotik yang tidak adekuat sehingga
menyebabkan erosi septum tulang

GEJALA KLINIK
• Anak < 2 tahun : gelisah, letargi, demam, ear pulling, nyeri telinga.
• Dewasa : demam, nyeri kepala, nyeri hebat telinga.
• PF : postauricular erythema, telinga hangat, fluktuasi dengan protrusi aurikula.
• Otoskopi : bulging dinding posterosuperior dari kanalis auditorius eksternus, bulging
(pus) di belakang membrana timpani atau terjadi ruptur membrana timpani.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Lab : LED, CRP dan lekositosis shift to the left.
• Radiologi : CT scan untuk mencari kerusakan septum sel tulang mastoid, perluasan
infeksi.
o Mastoiditis : hilangnya septum sel-sel mastoid.
o Korteks mastodi yang ireguler.
o Penebalan periosteum, subperiosteal abses.

PENATALAKSANAAN
• Tergantung beratnya infeksi : miringotomi, timpanostomi, mastoidektomi.
• Antibiotik, tergantung dari mikroba penyebab.

KOMPLIKASI
Bergantung pada proses terjadinya mastoiditis, infeksi oportunistik dapat
menyebabkan :
• Abses subperioseteal.
• Parese nervus fasialis akibat kompresi.
• Labirinitis, karena penyebabrna infeksi dari kavitas telinga tengah.
• Petrositis, Ooteomielitis.
• Bezold abscess (abses pada sternocleidomastoideus).

11
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.depkes.go.id/article/view/18030500002/telinga-sehat-investasi-masa-
depan.html
2. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2014
3. Adams G.L., Boies R.L., Hilger P.H.: Boies Fundamentals of Otolaryngology, 6th Ed.
W.B. Saunders Company, Philadelphia PA, 1989
4. Ballenger J,J,: Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 13th Ed., Illinois Lea
and Febiger, 1993.
5. Goodman & Gilman’s .2008 Penicillin, cephalosporin and lactam antibiotic . Manual
of Pharmacology and Therapeutics
6. Scott-Brown, Walter Graham : Scott-Brown’s Otolaryngology, 5th Ed. Butterworths &
Co, 1988.
7. Adams, GL; Boies, LR; Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; 2012.
8. Mittal R, Lisi C V, Gerring R, Mittal J, Mathee K, Narasimhan G, et al. Current
concepts in the pathogenesis and treatment of chronic suppurative otitis media. J Med
Microbiol. 2015;64:1103-16.
9. Higgins TS. Otitis Media with Effusion. 2018. Available a
https://emedicine.medscape.com/article/858990-overview

PERTANYAAN OTITIS MEDIA


1. Mikroba yang paling sering menjadi penyebab OMA pada balita adalah :
a. Mycoplasma pneumoniae
b. Neisseria meningitidis
c. Pseudomonas aeruginosa
d. Streptococcus pneumoniae
e. Streptococcus pyogenes

2. Gejala klinik yang dapat dijumpai pada OMA stadium perforasi adalah :
a. Otore
b. Bulging
c. Nyeri tekan mastoid
d. Pendengaran normal
e. Rasa penuh pada telinga

3. Tanda-tanda yang harus diwaspadai kemungkinan terjadinya OMSK tipe maligna


adalah
a. Terdapat tuli konduktif
b. Tidak terdapat kolesteatoma

12
c. Peradangan mengenai mukosa
d. Adanya bulging pada membran timpani
e. Perforasi membrana timpani terjadi di daerah atik

4. Stadium pada OMA adalah stadium:


a. Supuratif – hiperemis- perforasi- koalesen -resolusi
b. Hiperemis- supuratif – perforasi – resolusi – koalesen- komplikasi
c. Perforasi – supurasi – hiperemis - resolusi – komplikasi -
d. Hiperemis – perforasi – supuratif – resolusi – komplikasi
e. Hiperemis – supurasi – perforasi - koalesens- komplikasi – resolusi

5. Yang termasuk komplikasi otitis media serosa akut, kecuali:


a. Mastoiditis akut.
b. Paresis / paralisis N.fasialis.
c. Meniere’s syndrome.
d. Meningitis.
e. Abses otak.

KUNCI JAWABAN : D, A, E, E, C

13
RHINOSINUSITIS
Pramusinto Adhy, Penny Setyawati Martioso,
Djaja Rusmana, Jeanny E. LAdi

RHINITIS VASOMOTOR
DEFINISI
Rhinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan
adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila
terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-
alergi.

PREVALENSI
Sebanyak 30-60% dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun
demikian insidensi pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3-4. Secara
umum prevalensi rhinitis vasomotor bervariasi antara 7-21%.

KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologi, rhinitis dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori utama
yaitu :
● Rhinitis alergi
● Rhinitis infeksi
● Rhinitis non-alergi, non-infeksi (rhinitis vasomotor)

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Rhinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf
otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter
resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan
parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rhinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem
saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan
kerja saraf simpatis, yang menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan
kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptida ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin,
polipeptida intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol

14
diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan
rinore. Pelepasan peptida-peptida ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated)
seperti pada rhinitis alergi. Alergen terhadap antibodi spesifik, seperti yang dijumpai pada
rhinitis alergi, tidak dijumpai pada rhinitis vasomotor. Keadaan ini merupakan refleks
hipersensitivitas mukosa hidung yang non-spesifik.
Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal
sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi
parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular disertai udema dan peningkatan sekresi kelenjar. Serangan dapat
muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu. Contoh beberapa agen atau kondisi yang
mempengaruhi kondisi tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum,
aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan
psikis), penyakit-penyakit endokrin, dan obat-obatan seperti anti hipertensi dan kontrasepsi
oral
Patofisiologi ini dapat memandu penatalaksanaan rhinitis vasomotor, yaitu :
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptida vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan

GAMBARAN KLINIS
Gejala rhinitis vasomotor mirip rhinitis alergi. Gejala berupa : hidung tersumbat,
rinore, dan bersin hidung tersumbat dapat bergantian dari kiri ke kanan dan sebaliknya,
terutama sewaktu perubahan posisi.
Gejala penderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor kadang – kadang sulit
dibedakan karena gejala – gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin.
Biasanya penderita rinitis alergika lebih merasakan gatal dan bersin berulang seperti “
staccato“. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis vasomotor. Reaksi bisa
disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi disamping itu, obstruksi hidung,
rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain.
Hidung mungkin sensitif terhadap pengaruh hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis
vasomotor mungkin berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tapi rhinitis
vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin
berhubungan dengan keseimbangan hormon.
Penderita dengan anamnesis rinitis vasomotor bisa menggambarkan sensitivitas
yang tidak biasa terhadap kelembaban udara. Biasanya rinitis non alergika ini disertai
dengan gejala – gejala obstruksi saluran pernafasan hidung dan rinorea yang hebat.
Biasanya tidak terdapat variasi musim, tetapi gejalanya dapat menyerupai rinitis alergika

15
sepanjang tahun. Tetapi karena mungkin terdapat remisi dan eksaserbasi, maka ia dapat
pula menyerupai rinitis alergika musiman. Hal ini terjadi bila pasien sensitif pada
perubahan suhu yang menyertai perubahan musim. Biasanya penderita rinitis vasomotor
tidak mempunyai riwayat alergi pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena
iritatifnya dimulai di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.
Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin dan
tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rhinitis alergi
dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post
nasal drip). Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor dibedakan dalam dua
golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers).
Pemeriksaan fisik : edema konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila
diuji dengan adrenalin edema konka tidak berkurang.
Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis
dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboraturium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis
alergi. Test kulit (skintest) biasanya negatif, demikian pula test RAST (phadebas
radioallergosobent test), serta kadar IgE total dalam batas normal. Kadang-kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit.
Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

DIAGNOSIS BANDING
1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis medikamentosa
3. Rhinitis akut

PENATALAKSANAAN
1. Dekongestan lokal dan atau simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat. Obat berefek vasokontriksi dapat menghilangkan simptom rhinitis

16
vasomotor secara dramatis Pengguanan obat ini yang berkelanjutan dapat
menimbulkan rebound swelling yang merugikan. Contohnya : Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine (oral) serta Afrin, Neosynephrine, Phenylaphrine dan
Oxymetazoline (semprot hidung).
2. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
3. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.
Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau
Beclomethasone.
4. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya.
Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray).
5. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :
- Kauterisasi konkha yang hipertropi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat
pekat(Chemical cautery) maupun secara elektrik (Electric cautery).
- Diatermi submukosa konkha inferior (submucosal diathermy of the inferior
turbinate).
- Bedah beku konkha inferior (Cryosurgery).
- Reseksi konkha parsial atau total (Partial or total turbinate resection).
- Turbinektomi dengan laser (Laser turbinectomy).
- Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan pemotongan
pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit
dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan
berbagai macam komplikasi.

FARMAKOLOGI
A. Dekongestan Hidung Dan Sistemik
Dekongestan hidung (amin sipatomimetik merangsang reseptor adrenergik alfa,
sehingga menghasilkan konstriksi vaskular (vasokontriksi) dari kapiler di dalam mukosa
hidung. Hasilnya adalah penciutan membran mukosa hidung dan pengurangan sekresi
cairan (hidung berair). Contoh dekongestan hidung : Oxymetazoline, xylometazoline,
naphazoline
Dekongestan sistemik (agonis adrenergik-alfa) tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, cairan/sirup. Contoh dekongestan sistemik adalah
• Efedrin
• Fenilpropanolamin
• Fenilefin
• Pseudoefedrin

17
Keuntungan kongesti sistemik yaitu dapat menghilangkan kongesti hidung untuk
waktu yang lebih lama daripada dekongesti hidung; tetapi, sekarang ada dekongestan
hidung yang waktu kerjanya panjang. Dekongestan yang diberikan secara topikal pada
hidung biasanya bekerja dengan cepat dan lebih sedikit menyebabkan efek samping
daripada dekongestan sistemik.. Bila diberikan sebagai aerosol, obat-obat ini memiliki
mula kerja yang cepat dan menunjukkan sedikit saja efek sistemik.
Efek samping dekongestan sistemik dan reaksi yang merugikan: seperti pada setiap
obat adrenergik-alfa, tekanan darah dan kadar glukosa darah dapat meningkat pada
penggunaan dekongestan. Kontraindikasi penggunaan obat-obat ini :
• Tekanan darah tinggi.
• Penyakit jantung.
• Hipertiroid.
• Diabetes melitus.

B. Kortikosteroid Lokal
Kortikosteroid lokal diberikan umumnya diberikan dalam bentuk spray. Efek obat
ini baru terasa setelah 2-3 hari pemakaian dan efek maksimal dicapai setelah pemakaian
selama 2 minggu. Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas
dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif
terhadap bersin, gatal pada hidung, hidung berair, dan kongesti hidung Efeknya akan
terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Obat-obat ini diabsorpsi minimal ke dalam peredaran darah dan efek samping
kortikosteroid intranasal berupa gangguan lokal pada hidung dan sekitarnya. Absorpsi obat
ke sirkulasi sistemik dapat dihindari dengan cara meminta kepada pasien untuk tidak
menarik napas dalam saat pemberian obat intranasal
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena
efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang
efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang.
Steroid topikal hidung dianjurkan diberikan sekali sehari pada waktu pagi hari.
Obat ini diberikan pada kasus dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol. Efek dari
kortikosteroid lokal pada rinitis adalah menurunkan permeabilitas kapiler, menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah, mengurangi udem dan inflamasi, menurunkan jumlah
eosinofilm basofil, netrofil dan mastosit serta mengurangi produksi mukus. Contoh
obatnya:
- Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.

18
- Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.
Efek samping utama yang mungkin ada pada penggunaan kortikosteroid inhalasi
adalah :
- Faringitis
- Peningkatan risiko terkena infeksi saluran nafas
- Iritasi nasal.
- Perdarahan hidung.
- Kandidiasis (jarang).

C. Antihistamin
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai
aktivitas anti alergi. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua.
Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua
yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta
bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat
generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi, gangguan pereforma
dan efek antikolinergik. alat yang tepat sasaran diperlukan untuk mencapai targetnya yaitu
pada mukosa hidung.
Antihistamin generasi pertama seperti diphenhidramine dan chlorpheniramine,
biasanya tidak terlalu diajurkan karena efek sampingnya, sedangkan antihistamin-H1
generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek
antikolinergik atau kardiotoksisitas. Contoh obat yang sering digunakan:
- Cetirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
> 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
- Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
- Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari.

KOMPLIKASI
1. Rhinosinusitis.
2. Anosmia.

19
PROGNOSIS
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.

RHINITIS ALERGI
DEFINISI
Rinitis alergi (RA) adalah suatu peradangan mukosa hidung non infektif sebagai
akibat reaksi hipersensitif tipe I, yang diperantarai IgE, terhadap alergen yang ditandai
dengan gejala-gejala yang karakteristik seperti bersin episodik, rinore encer non purulen,
obstruksi nasi dan sering disertai rasa gatal disekitar hidung, mata dan palatum.
Reaksi mukosa hidung akan menimbulkan gejala obstruksi aliran udara, sekresi,
bersin, dan rasa gatal. Bila tidak terdapat deformitas tulang hidung maka sumbatan hidung
disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan sekret yang kental. Penelitian epidemiologik
memperlihatkan bahwa penyakit alergi dapat diobservasi mulai dari waktu lahir sampai
kematian.

PREVALENSI
Prevalensi rinitis alergi akhir-akhir ini terus meningkat yang tidak hanya dijumpai
pada anak-anak, namun juga dijumpai pada dewasa muda. Puncak insidensi rinitis alergik
terjadi pada usia dewasa muda. Insidensi rinitis alergi sama pada pasien pria dan wanita.
Studi epidemiologik memperlihatkan bahwa rinitis alergi dan asma sering dijumpai secara
bersamaan. Rinitis alergi sering berhubungan dengan asma bronkhiale dan merupakan
faktor risiko untuk berkembangan penyakit asma bonkhiale.

KLASIFIKASI
Sebelumnya rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan perlangsungannya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal allergic rhinitis, hay fever, polinosis)
Rinitis alergi musiman ditemukan hanya di negara yang mempunyai 4 musim.
Merupakan suatu rinokonjungtivitis dengan gejala klinis seperti bersin-bersin,
obstruksi nasi, sekresi encer, rasa gatal pada hidung dan mata, lakrimasi dan
peradangan konjungtiva, yang timbul secara periodik sesuai dengan musim yang
kejadian serta berat ringannya tergantung konsentrasi alergennya di udara.
2. Rinitis alergi perennial (perennial allergic rhinitis)
Banyak ditemui di negara-negara tropis. Ditandai dengan adanya dua atau tiga dari
gejala berikut : bersin-bersin (lebih dari lima kali setiap serangan), sekret encer dan
obstruksi nasi yang dirasakan berlangsung sepanjang tahun dengan gejala obstruksi
yang lebih menonjol. Alergen tersering adalah debu rumah, tungau debu rumah,
serpihan kulit binatang, dan jamur yang banyak menempel pada debu rumah, karpet,
kasur kapuk, gantungan pakaian, dll.

20
Klasifikasi terbaru menurut Aria WHO Collaboration 2008, rinitis alergi tidak lagi
dibagi menjadi rinitis alergi perenial dan musiman, tetapi dibagi menjadi 4 kategori
berdasarkan beratnya gejala dan kualitas hidup penderita, yaitu :
1. Rinitis alergi intermiten ringan (mild-intermittent)
Gejalanya kurang dari 4 hari perminggu atau kurang dari 4 minggu.
Penderita dapat tidur normal, aktivitas harian, olah raga dan waktu luang normal,
pekerjaan/sekolah normal dan tidak ada gejala penyulit.
2. Rinitis alergi intermiten moderat sampai berat (moderate/severe intermittent)
Gejalanya kurang dari 4 hari perminggu atau kurang dari 4 minggu.
Tidur tidak normal, aktivitas harian, olah raga dan waktu luang terganggu,
pekerjaan/sekolah terganggu dan terdapat gejala penyulit.
3. Rinitis alergi persisten ringan (mild persistent)
Gejalanya lebih dari 4 hari perminggu atau lebih dari 4 minggu.
Penderita dapat tidur normal, aktivitas harian, olah raga dan waktu luang normal,
pekerjaan/sekolah normal dan tidak ada gejala penyulit.
4. Rinitis alergi persisten moderat sampai berat (moderate/severe persistent)
Gejalanya lebih dari 4 hari perminggu atau lebih dari 4 minggu.
Tidur tidak normal, aktivitas harian, olah raga dan waktu luang terganggu,
pekerjaan/sekolah terganggu dan terdapat gejala penyulit.

FAKTOR RISIKO
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk
tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.

PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergik dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah
pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk
detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non
spesifik.
Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan (alergen
ingestan), sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok anak
menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.
Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :
1. Alergen, Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala
rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen

21
hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi
dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.
2. Polutan, Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi
dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas
buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis
oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin, Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika
pada penderita tertentu.
Rinitis Alergika (RA) adalah salah satu bentuk klinis hipersensitivitas tipe I
(Coombs dan Gell). Antigen atau alergen pada mukosa akan ditangkap oleh Antigen
Presenting Cell, diproses dan disajikan kepada sel-sel limfosit Th 2. Sel-sel limfosit Th2
mengeluarkan sitokin yang mempengaruhi sel-sel B untuk menghasilkan IgE spesifik. IgE
melekat pada mastosit, sehingga terjadi sensitisasi. Bila terjadi kontak ulangan dengan
alergen yang sama, alergen tersebut akan berikatan dengan IgE (cross linked),
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan terjadi degranulasi. Degranulasi mastosit
akan melepaskan berbagai mediator seperti histamin, prostagladin sehingga timbul gejala-
gejala klinik.
Respon alergi terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Fase cepat kira-kira
berangsung dalam waktu 1 jam. Fase lambat mulai dalam 3 sampai 6 jam, dan mencapai
puncak pada 6 sampai 8 jam, dan berkurang dalam 12 sampai 24 jam. Gejala fase cepat
umumnya berupa bersin, pruritus dan rhinorrhea yang jernih, gejala fase lambat biasanya
berupa hidung tersumbat. Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan
alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2)
banyak terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase
lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan oleh
sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh basofil.
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ
lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk melindungi
saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan dibersihkan oleh
sistem mukosilia.
Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamin
bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks
yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin
menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal.
Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen.
Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang berfungsi
protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada daerah

22
mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa hidung. Newly
formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya histamin, misalnya
leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF. Efek mediator ini
menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular sehingga
menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage), meningkatnya sekresi kelenjar
sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoe).
Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman,
dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Beberapa teori mekanisme terjadinya
eosinofilia antara lain teori meningkatnya kemotaksis, ekspresi molekul adhesi atau
bertambah lamanya hidup eosinofil dalam jaringan.

23
GAMBARAN KLINIS
Gejala rinitis alergi terjadi sebagai respon terhadap alergen ingestan, injektan atau
kontaktan tapi tersering sebagai respon terhadap alergen inhalan. Pada anamnesis
didapatkan gejala yang khas, seperti bersin-bersin lebih dari lima kali setiap serangan, rasa
gatal di hidung, rinore encer, obstruksi nasi, post nasal drip, rasa gatal dan berair pada
mata, rasa gatal pada faring dan palatum. Obstruksi nasi dapat diikuti dengan sakit kepala,
telinga pekak, gangguan tidur dan bernafas lewat mulut yang menyebabkan rasa kering
pada faring dan lidah dipagi hari serta berkurangnya nafsu makan sebagai akibat
berkurangnya fungsi penghidu. Pasien yang alergi terhadap alergen inhalan memberikan
gejala bersin yang lebih dominan, sedangkan yang alergi terhadap obat dan makanan lebih
menunjukkan gejala obstruksi nasi, namun tentu saja tidak selalu sama pada setiap pasien.
Penyakit ini mudah mengalami kekambuhan dan dapat menyebabkan menurunnya
kualitas hidup, baik fisik, sosial maupun emosional. Gangguan tersering yang dirasakan
adalah masalah tidur, gejala nasal dan non nasal, terbatasnya aktivitas dan masalah emosi.
Akibat tidur yang terganggu, penderita sering merasa letih dan lesu disiang hari, sulit
berkonsentrasi dan sakit kepala, harus selalu membawa tissue dan membersihkan
hidungnya sehingga terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang akhirnya akan
menyebabkan rasa frustasi, lekas marah, bahkan rendah diri dan depresi.
Pemeriksaan Fisik
1. Allergic salute : gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal.
2. Wajah:
a. Allergic shiners: dark circles di sekitar mata, berhubungan dengan vasodilatasi
atau obstruksi hidung.

24
b. Nasal crease: lipatan horizontal / horizontal crease melalui setengah bagian bawah
hidung akibat kebiasaan menggosok hidung ke atas dengan tangan
c. Mulut: sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
3. Faring: dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance) dan dinding lateral faring menebal. Lidah tampak gambaran peta /
geographic tongue.
4. Rinoskopi anterior:
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), sekret encer,
tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis / penyakit granulomatous, adanya deviasi atau perforasi
septum.
c. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau
pembesaran konka inferior yang berupa edema atau hipertropik. Dengan
dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan
edema konka menyusut.
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda dermatitis atopi.

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Gambaran histopatologi biopsi nasal pada kasus rhinitis alergi akan menunjukkan
peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan eksudasi cairan plasma dan edema. Tampak pula akumulasi sel-sel radang
berupa sel mast, eosinofil, dan basofil di dalam epitel dan akumulasi eosinofil pada lamina
propria.
Pada kasus yang berat, akan tampak peningkatan jumlah neutrofil, peningkatan
vaskularisasi, kolagen interstisial, mukus kelenjar, serta penebalan membran basal epitel
retikuler.
Beberapa jenis sel inflamasi diketahui terlibat dalam patogenesis rhinitis alergi.
Setelah rangsangan tertentu atau spesifik, mediator inflamasi yang dihasilkan dari sel
biasanya ditemukan di daerah nasal seperti sel mast, antigen-presenting sel dan sel epitel
dan sel-sel basofil, eosinofil, limfosit , trombosit dan neutrofil.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hitung Eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, pemeriksaan IgE total
seringkali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan laboratorium yang lebih bermakna
adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atai ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sornent Assay Test).

25
Pemeriksaan sitologi hidung tidak dapat digunakan untuk memastikan diagnosis
namun ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan adanya kemungkinan
alergen inhalan.
Alergen penyebab dapat dicari dengan uji cukit kulit (Skin Prick Test), uji intra
cutan atau intra dermal yang tunggal atau berseri (Skin End Point Titration). Selain untuk
mengetahui penyebab alergi, SET juga dipakai untuk menunjukkan derajad alergi dan
untuk menentukan dosis inisial desensitisasi.
Untuk alergi makan, dapat dilakukan Intracutaneus Provocative Dilutional Food
Test (IPDFT) namun sebagai baku emas dapat dilakukan diet eliminasi dan uji provokasi
(Challenge Test).
Pemeriksaan hitung eosinofil mukosa hidung merupakan pemeriksaan
penunjang rhinitis allergica yang cukup spesifik, dapat dikerjakan di sarana kesehatan.
Pengambilan sampel sekret kerokan mukosa hidung dilakukan di area bagian medial konka
inferior dengan menggunakan ringhaak yang diputar 2-3 kali, kemudian dibuat sediaan
apus dan dipulas dengan pewarnaan Hansen atau Papanicolaou. Interpretasi hitung
eosinofil mukosa hidung dilakukan secara mikroskopik pada 10 lapang pandang besar
(LPB) dengan perbesaran 1000 kali. Interpretasi hasil hitung eosinolfil menurut Hansen
dilaporkan untuk per 10 LPB (/10 LPB), sedangkan interpretasi dengan pewarnaan
Papanicolaou adalah rerata hasil penghitungan pada 10 LPB dan dilaporkan per LPB
(/LPB).

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Uji laboratorium yang
penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan
pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas
pada bidang penelitian.
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik yang
terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic
salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face, namun demikian
tidak satu pun yang patognomonik.
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau
fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau
tumor. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat kebiruan
dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang dalam serangan.
Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau hipertrofi adenoid.
Diagnosis rinitis alergi didasari pada riwayat penyakit sekarang, adanya tes alergi pada

26
kulit positif terhadap alergen hirup dan adaya peningkatan kadar IgE yang spesifik
terhadap alergen hirup.

DIAGNOSIS BANDING
Rinitis alergika harus dibedakan dengan :
1. Rinitis vasomotorik.
2. Rinitis akut.
3. Rinitis medikamentosa.

PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,
farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian
terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi.
Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang
berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan
penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan
atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan.
Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan
pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas
penyakit.
Penatalaksanaan rhinitis alergi adalah sebagai berikut : Avoidance (menghindari
allergen penyebab). Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan allergen
penyebab dan merupakan kunci keberhasilan pengobatan alergi.
Namun upaya menghindari allergen penyebab ini sering kali sulit dilakukan oleh
karena menyangkut kebiasaan, gaya hidup dan perilaku sehari-hari penderita maupun
keluarganya sehingga perlu diberikan pengertian kepada penderita dan keluarganya agar
berseda merubah perilaku dan kebiasaan yang dapat menyebabkan sakit.

Medikamentosa
Menurut cara pemberiannya dibagi atas lokal dan sistemik.
A. Lokal
1. Antihistamin lokal seperti azelastine dan levocabastine saat ini dipakai untuk
mengatasi gejala akut dan sebagai profilaksis karena tidak dijumpai adanya efek
samping sistemik. Antihistamin-H1 lokal juga bekerja dengan memblok reseptor
H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal
bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau
mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada

27
sebagian pasien. Contoh obatnya: Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak
adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
2. Simpatomimetik / dekongestan lokal : Oxymetazoline, xylometazoline, naphazoline
3. Kortikosteroid lokal diberikan untuk mengurangi efek samping dan meningkatkan
efek anti alergi, umumnya diberikan dalam bentuk spray. Steroid topikal hidung
dianjurkan diberikan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini menurunkan
permeabilitas kapiler, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, mengurangi
udem dan inflamasi, menurunkan jumlah eosinofilm basofil, netrofil dan mastosit
serta mengurangi produksi mukus. Pasien dengan rhinitis kronik, perbaikan terlihat
setalah penggunaan kortikosteroid inhalasi selama 1-2 minggu.

B. Sistemik
1. Antihistamin
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai
aktivitas anti alergi.
2. Simpatomimetik
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang berefek vasokonstriksi pada mukosa dan mengurangi gejala
kongesti hidung.
Phenylephrine adalah contoh obat kongesti nasal yang tergolong alfa-adrenergik
agonis kerja singkat.. Contoh obat golongan alfa-adrenergik agonis kerja lama yang
juga dapat digunakan adalah oxymetazoline. Pemberian dekongesta dengan cara
pemberian aerosol akan memberikan efek yang cepat, dan sedikit efek samping. Obat-
obat dekongestan intranasal sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3 hari karena risiko
rebond kongesti nasal (rhinitis medicamentosa). Oleh karenanya, obat-obat
dekongestan intra nasal tidak digunkan untuk rhinitis alergika. Pemberian dekongestan
oral memberikan efek yang lebih panjang dibandingkan pemberian intra nasal, namun
membrikan efek samping yang lebih banyak.
Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek
samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor,
insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi
glaukoma atau tirotoksikosis.
3. Kortikosteroid
Mekanisme kerjanya yang terpenting adalah efek anti inflamasi dan imunosupresi
melalui reseptor kompleks spesifik yang akhirnya akan menghambat pembentukan
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien.
Preparat kortikosteroid sistemik (kortison, hidrokortison, prednisone,
metilprednisolon, triamcinolon, dexamatasone dan betametasone) umumnya diberikan

28
pada kasus rhinitis alergi yang berat dan diberikan untuk jangka waktu pendek
mengingat efek samping yang ditimbulkannya.
4. Stabilisator Mastosit
Obat ini mencegah degranulasi mastosit dengan cara mencehag influks calsium ke
dalam sel atau peningkatan kadar C.AMP. Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
- Sodium kromoglikat : diberikan secara inhalasi, tidak toksik, relative aman
- Beta adrenergic : diberikan dalam dosis kecil, menyebabkan peningkatan kadar
C.AMP dalam sel sehingga tidak timbul degranulasi
- Ketotifen : mencegah degranulasi mastosit, dipakai untu pencegahan dan efek
sampingnya sama dengan antihistamin
5. Antagonis reseptor Leukotrien
Leukotrien atau Cysteninyl Leukotrienes (LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4) adalah
mediator proinflamasi yang dilepas oleh sel-sel inflamasi termasuk sel mastosit dan
eosinofil pada peristiwa degranulasi sel inflamasi. Efek leukotrien ini meningkatkan
permeabilitas vaskuler, meningkatkan sekresi mucus dari kelenjar dan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Obat Zafirlukast adalah agen antagonis reseptor leukotrien yang diberikan per oral,
yang pada penelitian ternyata dapat mengontrol sisa keluhan trias alergi pada
pengobatan rinitis alergi yang berat setelah pengobatan standar selama 1 bulan tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Contoh obatnya: Zafirlukast yang diberikan pada
anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

C. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik (alergen) sering disebut pula desensitisasi atau hiposensitisasi
merupakan konsep intervensi untuk meningkatkan system imun yang pada rinitis alergi.
Pengobatan ini mampu menurunkan gejala pada sekitar 80% kasus, bahkan
menyembuhkan pada sekitar 15% kasus rinitis alergi kronis.
Perubahan imunologis yang terjadi pada imunoterapi adalah : terjadi peningkatan
Ig G, menurunkan kadar Ig E, meningkatkan kadar sekresi Ig A mukosa hidung,
menurunkan reaktifitas dan sensitisasi basofil terhadap allergen dan menurunkan reaksi
fase lambat.
Kendala pengobatan ini selain menbutuhkan biaya yang cukup besar juga
membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 2-3 tahun. Untuk mencapai dosis optimal
dibutuhkan 13 kali kunjungan sekali seminggu, dilanjutkan 2 minggu sekali sebanyak 6-
10 kunjungan, selanjtnya 3 minggu sekali, 1 bulan sekali, 2 bulan sekali dan seterusnya
hingga 6 bulan sekali.
Manfaat imunoterapi ini umumnya pasien tidak perlu lagi mengkonsumsi obat-obat
antialergi terus menerus setiap hari dan jumlahnyapun menjadi sangat berkurang.

29
OBAT-OBAT LAIN
Cromolyn intranasal mungkin berguna untuk rhinitis alergi, tertutama bila belum
terpapar oleh allergen. Terapi cromolyn efektif jika diberikan sedikitnya 1-2 minggu.
Sediaan ipratropium intranasal dapat digunakan untuk mengatasi rhinorrhea yang
berhubungan dengan rhinitis alergika atau common clod, namun tidak dapat mengurangi
bersin dan sumbatan pada hidung

KOMPLIKASI
Otitis media, lebih sering didapatkan pada anak-anak. Edema mukosa nasal dan
secret dapat menyebabkan obstruksi tuba eustachius sehingga terjadi otitis media, dengan
gejala penurunan pendengaran, otalgia, demam dan keterlambatan bicara pada anak. Pada
otoskopi akan tampak retraksi membran timpani dan berkurangnya gerakan m. timpani
pada pneumo-otoskopi. Pada pemeriksaan audiometri didapatkan penurunan pendengaran
jenis konduktif.
Bila penderita terus menerus terpajan alergen, kongesti hidung mungkin persisten
yang dapat mengakibatkan gangguan drenase sinus akibat obstruksi ostium sinus sehingga
terjadi akumulasi sekret di rongga sinus yang potensial mengalami infeksi bakteri sehingga
timbul sinusitis akut maupun kronis, yang gejala-gejalanya dapat berupa obstruksi hidung,
sekret purulen, nyeri pada gigi molar atas, nyeri di daerah sinus dan fasial, post nasal drips,
sefalgia, halitosis, resisten terhadap pengobatan asma. Pemeriksaan rinoskopi anterior
akan menemukan adanya sekret purulen yang mengalir di bawah konka superior dan konka
media. Foto polos sinus paranasalis dapat memberikan gambaran mengenai sinus maksila
dan frontal, namun kurang dapat mengevaluasi ethmoid air cells. CT-scan sinus paranasal
jauh lebih jelas menggambarkan anatomi sinus.
Polip nasi dapat pula terjadi sebagai komplikasi rinitis alergi akibat inflamasi
mukosa, terutama disekitar meatus medius, yang berprolaps ke rongga hidung dan
membentuk kantong yang bertangkai. Mekanisme dan hubungannya dengan rinitis alergi
belum dapat dibuktikan secara pasti.
Mouth breathing kronis akibat obstruksi hidung dapat menyebabkan abnormalitas
kranio-fasial, dengan gambaran khas wajah tirus dan arkus palatal tinggi (facies allergic).
Di AS, 74-80% penderita asma juga menderita rinitis alergi dan 28-50% penderita
rinitis alergi menderita asma. Hal ini tidak mengherankan sebab mekanisme alergi serta
allergen yang menimbulkan gejala pada keduanya serupa. Demikian pula dengan mediator
dan respon seluler terhadap pajanan alergen memiliki pola yang serupa. Rinitis alergi dapat
menjadi faktor resiko bagi asma demikian pula sebaliknya.

PROGNOSIS
● Rinitis alergi dapat ditangani dengan baik dengan menghindari pencetus dan
pengobatan yang teratur

30
● Prognosisnya tergantung diterapi atau tidaknya rinitis alergi tersebut

RHINITIS MEDIKAMENTOSA
DEFINISI
Rinitis medikamentosa, juga dikenal sebagai rhinitis rebound atau rhinitis
kimiawi, adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hidung tersumbat tanpa rinorrhea atau
bersin. Penyebabnya dikarenakan oleh penggunaan obat vasokonstriksi topikal seperti obat
tetes hidung atau obat semprot hidung selama lebih dari 4-6 hari untuk meredakan
peradangan pada mukosa hidung.

PATOFISIOLOGI
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan,
sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari
golongan simptomatik. Karena dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal.
Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan
terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga
menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan.
Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan
lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH
hidung ber berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek
balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya.
Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan.
Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel – sel mukoid,
sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang Berlebihan.

Manifestasi Klinis
Gejala terbatas pada hidung dan terdiri dari kongesti hidung kronis tanpa rinore
signifikan atau bersin dan keluhan lain berupa:
- Gejala tidak berubah berdasarkan musim atau saat pasien di dalam ruangan atau di luar
ruangan.
- Tidak ada alergen tertentu yang teridentifikasi.
- Pasien dengan rinitis medikamentosa sering mendengkur, sleep apnea, dan sering
bernapas dengan mulut sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan dan mulut kering.
KOMPLIKASI
- Perporasi septum hidung.
- Hiperplasia yang menetap.
- Rhinitis atrofi.
- Sinusitis.

31
SINUSITIS
DEFINISI
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya
ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti
oleh infeksi bakteri.

PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucailiary cleannce) di dalam Komplek Osteomeatal (KOM). Mukus
juge mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pemafasan. Organ-organ
yang membentuk KOM letak-nya berdekatian dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat biergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul
dalam sinus merupakan media baik ntuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mucosa makin
membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
perubahan rnukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.

GEJALA
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip/ dnp).
Dapal disertai gejala sistemik seperti de.mam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di
daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri
juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri
di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi
atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan
di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila
kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal dip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga
sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit

32
kepala kronik, posf nasa/ drip, baluk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-
bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Transiluminasi
Hanya sinus frontal dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Penurunan
transiluminasi dapat memberikan pemeriksa kesan yang salah apakah sinus terisi oleh pus
atau hypoptasia dari sinus frontal atau penyusutan dari sinus maksila. Transiluminasi sudah
banyak diteliti. Jika dibandingkan dengan foto rontgen transiluminasi memilki sensitivitas
yang lebih rendah namun cukup spesifik. Transiluminasi baik dilakukan di kamar yang
gelap dengan cahaya yang terang. Namun sekali lagi dibutuhkan pengalaman dalam
menginterpretasikannya, tetapi cara ini dapat dilakukan dengan peralatan sederhana dan
mudah dilakukan.

B. Radiologis
Gambaran radiologis foto polos pada foto sinus dapat berupa :
1. Penebalan mukosa.
2. Perselubungan opak mengobliterasi sinus maksilaris.
3. Air fluid level.
Posisi Foto adalah sebagai berikut:
a) Posisi Waters untuk menilai sinus maksilaris.
b) Posisi Caldwell untuk menilai sinus frontalis dan etmoidalis.
c) Posisi Lateral untuk menilai sinus frontalis dan etmoidalis.

TERAPI
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah
komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik, Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilln seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi betalaktamasd, maka dapat diberikan
amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2.
Pada sinusitis anti-biotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram
dan anaerob.

33
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl
atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat
sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. lrigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.
lmunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS)
merupakan operasi terkini untuk slnusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini
telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil
yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. lndikasinya berupa:
sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista
atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis
jamur.

KOMPLIKASI
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang
dapat timbul ialah edema pal- pebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
Kelainan intrakranial Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,
abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis
kronis, berupa:
Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat limbul
fistula oroantral atrau
Fistula pada pipi. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum
sinusitisnya disembuhkan.
Beberapa tindakan tambahan dapat membantu : istirahat yang cukup, hidrasi yang
cukup, analgetik jika dibutuhkan, kompres air hangat pada wajah, mandi air hangat, dan
tidur dengan kepala diganjal bantal.

34
Pencegahan tambahan seperti pengobatan alergi dan infeksi saluran pernafasan atas
yang disebakan virus dan menghindari faktor lingkungan yang merugikan seperti alergen,
merokok, polusi, dan barotrauma.
Pasien diharapkan menghubungi dokter jika gejala memburuk (seperti sakit kepala
dan demam yang tinggi) atau gejala tidak berkurang dalam 3 sampai 5 hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic
Rhinitis. 2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari
2011.
3. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
4. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck
Surgery: Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
5. Allergic Rhinitis and its impact on Asthma 2010, Full Online version - Published
in the Journal of Allergiy and Clinical Immunology
6. Whalen, K. Finkel, R. Panavelil, T.A. Lippincott Ilustrated Reviews.
Pharmacology. 6th edition, Mein, K. Drugs for Disorder of the Respiratory
System
7. Hamilton RG. Detrick B, Schmitz JL, Hamilton RG (eds.), Immunological
Methods in the Diagnostic Allergy Clinical and Research Laboratory. 2016.
https://doi.org/10.1128/9781555818722.ch82
8. Saeed MH, Zangana KO. Influence of Vitamin D and IgE Levels on Recurrent
wheezy Chest in Children under Two Years of Age; A Hospital Based Case
Control Study. Journal of Kurdistan Board of Medical Specialties; 2018, Vol.4
(2): 108-12.
9. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke- 6.
Jakarta: EGC. 1997.
10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative).
11. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
12. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Wheatley LM, Togias A, Rhinitis allergy. 2015. N Engl J Med.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4324099/

35
PERTANYAAN RHINOSINUSITIS

1. Pemeriksaan fisik yang khas untuk rhinitis alergi akan didapatkan :


A. Mukosa edema, konka berwarna pucat
B. Mukosa normal, konka berwarna pucat
C. Mukosa edema, konka berwarna merah gelap
D. Mukosa edema, secret banyak dan konka normal
E. Mukosa normal, konka berwarna merah tua

2. Terapi pada pasien dengan keluhan sering bersin, encer, banyak terutama jika terkena
debu, tidak terpaengaruh posisi, hidung dan mata gatal tapi tidak menganggu aktivitas
adalah :
A. Kortikosteroid topikal
B. Kortikosteroid per oral
C. Na kromoglikat
D. Antihistamin oral
E. Antihitamin + kortikosteroid topical

3. Apa Etiologi Reaksi Inflamasi pada Rhinitis Vasomotor ?


A. Histamin akibat crosslink IgE pada reaksi Hipersensitivitas Tipe 1.
B. Kelainan neurovaskuler mukosa nasi akibat akivasi saraf simpatis.
C. Kelainan neurovaskuler mukosa nasi akibat akivasi sy. Parasimpatis.
D. Pelepasan sitokin proinflamasi, mediator inflamasi, dan invasi PMN.
E. Pelepasan peptide vasoaktif oleh sel mast dan aktivasi parasimpatis.

4. Apa Pemeriksaan Laboratorium Skrining yang dapat anda usulkan untuk penderita
Rhinitis allergica ?
A. Kadar IgE Total
B. Hitung Jenis Leukosit
C. Hitung Eosinofil Absolut
D. Hitung Jenis Leukosit dan Kadar IgE Total
E. Kadar IgE Total dan Hitung Eosinofil Absolut

5. Apa Faktor Predisposisi Rhinosinusitis e.c. Dentogen ?


A. Caries dentis/Pulpitis Incicivus dan Pre-Molar 1.
B. Caries dentis/Pulpitis Pre-Molar 1 dan Pre-Molar 2.
C. Caries dentis/Pulpitis Pre-Molar 2 dan Molar 1.
D. Caries dentis/Pulpitis Incicivus, Pre-Molar 1 dan Pre-Molar 2.
E. Caries dentis/Pulpitis Incicivus, Pre-Molar 1 dan 2, Molar 1

KUNCI JAWABAN : A, D, E, E, E

36
BENIGN PAROXYSMAL
POSITIONAL VERTIGO (BPPV)
Hiro Salomo Mangape, Sugiarto Puradisastra,
Stella Tinia Hasianna, Teresa Lucretia

DEFINISI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan
dengan sensasi gerakan abnormal seperi pusing, berputar dan vertigo secara tiba-tiba
dicetuskan oleh perubahan posisi kepala atau badan terhadap gaya gravitasi. BBP
merupakan bentuk paling umum dari vertigo.
BPPV diketahu sebagai gangguan yang paling umum terjadi dari sistem vestibular
telinga bagian dalam yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan. BPPV bersifat
jinak,yang berarti tidak mengancam jiwa penderita.

EPIDEMIOLOGI
BPPV terjadi pada 64 dari 100.000 orang di dunia. BPPV lebih sering terjadi pada
wanita usia dewasa (diatas 50 tahun). Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan
dengan laki-laki yaitu dengan perbandingan 2.2:1.5.

ETIOPATOGENESIS
Penyebab BPPV adalah adanya partikel (yang dalam keadaan normal tidak ada) di
dalam canalais semisirkular (paling sering CSS posterior) dari organ vestibular. Ada dua
teori tentang letak partikel ini.
A. Teori canalolithiasis.
Partikel yang berasal dari otolith dan debris lainnya berada dalam saluran
semisirkular sedemikian jumlahnya, sehingga membentuk gumpalan yang
menyumbat lumen kanalis semisirkularis, dengan demikian memisahkan cairan
endolif dikedua sisi lokasi penyumbatan. Karena partikel dan debris tersebut lebih
berat dari cairan endolimf, maka sumbatan selalu akan berada di posisi kanalis
semisirkularis yang terbawah mengikuti hukum gravitasi.
Setiap kali ada perubahan posisi kepala, maka material sumbatan akan bergerak
kearah posisi terbawah, menyebabkan terjadinya aliran endolimf. Adanya aliran
endolimf inilah yang menyebabkan perubahan posisi cupula yang didalamnya
tertanam cilia dari sel-sel sensoris saraf vestibuler. Perubahan posisi cilia
menyebabkan perubahan listrik potensial didalam sel2 sensoris, selanjutnya akan
mengirim rangsang ke pusat keseimbangan di SSP, dan terjadilah gejala vertigo dan
nystagmus.
B. Teori cupulolithiasis.

37
Partikel yang masuk ke kanalis semisirkularis mencapai cupula dan menempel
dipermukaan cupula. Kondisi ini mempengaruhi posisi cupula saat ada perubahan posisi
kepala. Selanjutnya akan terjadi perubahan potensial listrik, dst, seperti pada uraian
canalolithiasis diatas.
Kedua teori di atas dapat menjelaskan gejala klinis yang ada, khususnya gejala
“fatigue” yaitu gejala vertigo akan berkurang bila proses perubahan posisi kepala diulang-
ulang dalam jangka waktu yang pendek. Akibat adanya pengulangan, partikel akan
tersebar dan tidak lagi berbentuk sumbatan yang sesuai dengan penampang kanalis
semisirkularis, sehingga aliran endolimf akan terus berkurang sampai tidak ada lagi aliran.
BPPV umumnya terjadi tiba-tiba, saat pasien mengubah posisi. Sebagian kasus didahului
oleh trauma kepala, infeksi di bagian telinga, migraine dan DM.

GEJALA KLINIS
A. Vertigo berlangsung singkat hanya dalam hitungan detik.
B. Vertigo timbul akibat perubahan posisi kepala.
C. Intensitas vertigo umumnya berat.
D. Gejala “fatigue” bila dilakukan berulang-ulang.
E. Nystagmus umumnya hanya searah.
F. Tidak ditemukan gejala gangguan nervi cranialis lainnya.

PEMERIKSAAN KHUSUS BPPV


A. Pemeriksaan Dix-Hallpike

Pasien duduk diatas meja pemeriksaan dengan posisi sedemikian sehingga saat
dibaringkan, kepala leher dapat menjadi hyperextensi 300 karena ujung meja hanya
sampai ke bahu pasien.

Dalam posisi duduk, kepala dimiringkan 300 ke kanan, lalu dengan cepat pasien
dibaringkan sambil pemeriksa menahan kepala pasien pada hyperextensi 300.
Posisi ini dipertahankan selama 30 detik dan diitanyakan pada pasien apakah ada
perasaan vertigo dan diamati adanya nystagmus.

Setelah 30 detik, pasien didudukkan kembali.

Prosedur yang sama diulangi 10-15 detik berikutnya dengan posisi kepala lurus ke
depan, dan sekali lagi dengan posisi kepala miring 300 ke kiri. Dari Pengamatan
Dix-Hallpike ini dapat ditetapkan adanya BPPV pada posisi tertentu.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. Gejala klinis yang khas.
B. Tes posisi Dix-Hallpike.
C. Bila diperlukan tes2 lainya untuk menyingkirkan causa vertigo sentral dan perifer
lainnya (MRI, CT Scan, Audiometri).

38
PENATALAKSANAAN
A. Manuver Epley (Particle repositioning maneuver)
Berdasarkan pemeriksaan Dix_Hallpike maka, misalnya bila BPPV timbul saat
perubahan posisi kepala ke arah kanan, maka Manuver Epley akan dimulai dengan posisi
kepala miring ke kanan. Demikian pula bila BPPV timbul pada perubahan posisi ke kiri,
Epley dimulai pada posisi ke kiri.

Gambar Manuver Epley (1)

Gambar Manuver Epley (2)

B. Terapi Medikamentosa
Pada BPPV, bila diagnosis sudah tepat dan dilakukan Manuver Epley, tidak
diperlukan lagi pemberian obat2 vestibulo suppressant. Apabila diperlukan, maka
beberapa obat-obatan yang dapat dipakai adalah:
1. Vestibular Suppressan
Pengobatan dicadangkan untuk pengendalian jangka pendek vertigo aktif yaitu
pada beberapa hari pertama neuritis vestibuler akut, atau serangan akut Meniere disease.

39
Obat ini dapat juga digunakan untuk mengurangi nistagmus akibat ketidak seimbangan
vestibular atau untuk mengurangi motion sickness.
Vestibular suppressan terbagi dalam 3 golongan yaitu: antikolinergik, antihistamin
dan benzodiazepine.

Obat Dosis Efek samping Kelas


Farmakologis dan
Perhatian
Meclizine 25-50 mg q 4-6h Sedasi Antihistamin
(Antivert, Bonine) antikolinergik hati-
hati pada
pembesaran prostat
Lorazepam 0.5 mg BID Sedasi ringan Ketergantungan
(Ativan) benzodiazepin
Clonazepam 0.5 mg BID Sedasi ringan Ketergantungan
(Klonopin) benzodiazepin , t1/2
memanjang
Dimenhydrinate 50 mg q 4-6h Sedasi Antihistamin,
(Dramamine) antikolinergik
Diazepam(Valium) 2 bid PO Sedasi Ketergantungan
5 mg IV (1 dose) benzodiazepin
Hati hati pada
glaukoma. Complex
timing.
Amitriptyline 10-50 hs Sedasi, Antikolinergik
(Elavil) Pada overdosis trisiklik
aritmia jantung antidepressan,
antihistamin
Transderm-Scop Q3d Mulut kering, Mata Antikolinergik
(Hyoscine) kering, Retensi urin

2. Antikolinergik
Antikolinergik bekerja secara sentral, terutama mempengaruhi reseptor
muskarinik, contohnya adalah scopolamine. Antagonis kolinergik lain adalah meclizine,
hyoscine. Obat antikolinergik yang tidak dapat menembus sawar darah otak, tidak efektif
mengontrol motion sickness. Antikolinergik murni tidak efektif bila diberikan setelah
gejala vertigo muncul.

40
Meclizine adalah antagonist reseptor H1. Efek meclizine adalah antikolinergik,
depresan SSP, dan anestetik lokal. Efek antiemetik dan antivertigo tidak sepenuhnya
dimengerti, tetapi sebagian karena efek antikolinergik sentral.
Efek samping antikolinergik adalah mulut kering, dilatasi pupil dan
mengantuk.Skopolamin tidak mempunyai efek antihistamin sentral (penyebab ngantuk
dan penambahan berat badan).
Penggunaan antagonis kolinergik dapat menimbulkan adiksi dan reaksi putus obat. Gejala
overdosis mirip psikosis.

3. Antihistamin
Antihistamin dapat mencegah motion sickness dan mengurangi beratnya gejala
meskipun antihistamin diminum setelah timbulnya gejala. Semua antihistamin yang
digunakan untuk mengendalikan vertigo mempunyai aktivitas antikolinergik. Antihistamin
yang sering digunakan untuk terapi vertigo adalah betahistin.
Betahistin bekerja melalui 2 mekanisme:
- Agonis lemah reseptor H1 pd pembuluh darah telinga: vasodilatasi, dan peningkatan
permiabilitas sehingga produksi endolimfe berkurang, reabsorbsi meningkat)
mengakibatkan hydrops endolimfatik berkurang.
- Antagonis kuat reseptor H3 ( melalui 2 metabolit: aminoetilpiridin, dan
hidroksietilpiridin): meningkatkan pelepasan histamin, asetilkolin, norepinefrin, serotonin
dan GABA.
Histamin yang meningkat akan merangsang reseptor, sehingga terjadi vasodilatasi
kuat arteri stria vascularis dan posterior semicircular canal ampulla. Serotonin yang
meningkat di batang otak akan menghambat nucleus vestibularis, sehingga mengurangi
input sensoris dari reseptor vestibular.
Efek samping: ringan, self limiting, seperti sakit kepala, iritasi GIT, nyeri
epigastrium. Kontra Indikasi: Feokromasitoma; Asma bronchiale; Ulkus peptikum

4. Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan GABA modulator yang bekerja secara sentral menekan
respon vestibuler. Ikatan benzodiazepine dengan reseptor GABA-A, merangsang
pembukaan kanal klorida menyebabkan eksitasi menurun. Absorbsi oral benzodiazepin
lengkap dan dosis kecil sudah terlihat efeknya.
Lorazepam dan klonazepam efektif dalam mensupresi vestibuler, tapi
permasalahannya adalah adiksi dengan dosis 0,5 mg b.i.d atau lebih kecil. D.O.A.
lorazepam dan klonazepam berbeda, lorazepam lebih singkat sehingga lebih disukai.
Diazepam 2 mg juga mempunyai efektivitas yang sama. Efek samping lainnya adalah
gangguan memori, meningkatnya risiko terjatuh, dan kemungkinan menurunnya
kompensasi vestibuler.

41
Obat Dosis Duration of action Dosis rendah untuk vertigo
efektif (doa) kronis
terendah
Lorazepam 0,5 12-18 jam 0,5 mg 2x / hari
Klonazepam 0,5 30 jam 0,5 mg 2x / hari
Diazepam 2 mg Beberapa, sampai 24 2 mg 2x / hari
jam
Alprazolam 0,25 mg 8 jam (6-12-15) Tidak direkomendasikan
Klordiazepoksid 7,5 mg 10 – 30 jam Tidak direkomendasikan

KOMPLIKASI
Meskipun penderita BPPV merasa tidak nyaman, namun BPPV sendiri jarang
menyebabkan komplikasi. Pusing dari BPPV membuat perasaan bergoyang, yang
menyebabkan risiko jatuh yang lebih besar terutama pada usia lanjut.

PROGNOSIS
Prognosis BPPV adalah baik. Angka rekurensi relative rendah. Untuk mencegah
kekambuhan, pasien dianjurkan tidur dengan kepala lebih tinggi (bantal disusun berlapis)
atau dengan posisi tempat tidur setengah duduk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
ed. V FK-UI Jakarta
2. Adam. GL Boies : Fundamental of Otolaryngology. A textbook of Ear Nose and
Throat Diseases. 6th ed 1989
3. Ballenger JJ :Diseases of the Nose Throat, Ear, Head and Neck, 1sth ed. 1996
4. Ballantyne J, Groves J.eds Scott Brown’s Diseases of the Ear Nose and Throat 6th ed.
1991
5. Marill AK. Central Vertigo. Background, Pathophysiology, Epidemiology 2017.
https://emedicine.medscape.com/article/794789-overview (accessed November 6,
2017).
6. Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers. (2007). Retrieved November 11
2017 from https://medical-dictionary.thefreedictionary.com/vertigo
7. Hain, TC. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Northwestern University
Medical School & Vestibular Disorder Association. 2009.
8. Hain, TC. Drug Treatment of Vertigo. Dizziness and balance .com.2020.
https://www.dizziness-and-alance.com/treatment/drug/drugrx.html
9. Handbook of Clinical Neurology, 2016.
https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/betahistine.

42
10. Walker MF & Daroff RB. Dizziness and Vertigo. Harrrison’s Principles of Internal
Medicine. 18th ed. 2012. P. 181.
11. Mihic SJ & Harris RA. Hypnotics and Sedatives. Goodman & Gillman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th ed. Brunton LL: editor. Mc GrawHill.
P 461

43
MENIERE’S DISEASE
Hiro Salomo Mangape, Sugiarto Puradisastra,
Stella Tinia Hasianna, Teresa Lucretia

DEFINISI
Meniere’s disease adalah kelainan telinga dalam yang disebut juga idiopathic
endolymphatic hydrops. Hidrops endolimfatik adalah suatu kondisi peningkatan tekanan
hidrolik di sistem endolimfatik telinga dalam. Akumulasi tekanan yang berlebihan di
endolimfa dapat menyebabkan: (1) hilangnya pendengaran yang berfluktuasi, (2)
occasional episodic vertigo (rasa berputar ringan sampai berat), (3) tinnitus (4) aural
fullness (misalnya rasa penuh,tertekan, tidak nyaman di dalam telinga).
Meniere’s disease merupakan penyakit idiopatik, sedangkan Ménière syndrome
adalah kumpulan gejala yang dapat muncul secara sekunder akibat gangguan produksi atau
resorpsi endolimfe pada kelainan endokrin, trauma, gangguan elektrolit, disfungsi
autoimun, obat-obatan tertentu, infeksi parasit, maupun hiperlipidemia.

EPIDEMIOLOGI
Meniere’s disease dapat terjadi di semua usia namun lebih rentan pada usia tua.
Insidensi Meniere’s disease adalah kelompok usia 40 hingga 60 tahun. Proporsi antara
wanita lebih besar dibandingkan laki-laki yaitu dengan rasio 1.8:1.

FAKTOR RESIKO
• Kelebihan cairan pada bagian dalam telinga.
• Autoimun.
• Riwayat Meniere’s disease pada keluarga.
• Infeksi virus, seperti meningitis.
• Cedera pada kepala.
• Migrain.
• Reaksi alergi.

ETIOLOGI
Secara primer, penyebabnya belum diketahui. Secara sekunder, Meniere’s
syndrome dapat terjadi akibat kelainan yang meningkatkan tekanan endolimfatik misalnya
gangguan metabolik dan hormonal,trauma, dan infeksi. Penyakit autoimune seperti lupus
dan rheumatoid arthritis, atau penyakit alergi yang dipicu oleh makanan, juga dapat
menyebabkan respon inflamasi di dalam labirin.

44
PATOFISIOLOGI
Mekanisme pasti pada penyakit ini belum diketahui. Pada Meniere’s disease terjadi
akumulasi endolimfe berlebihan. Tekanan endolimfatik yang berlebihan ini selanjutnya
dapat mengakibatkan robekan pada membran pemisah endolimfe dan perilimfe sehingga
terjadi percampuran cairan dan gangguan proses depolarisasi saraf. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya perubahan kecepatan hantaran saraf vestibular dan gangguan
keseimbangan akut. Tekanan yang tinggi ini juga dapat mengakibatkan gangguan mekanik
pada sistem auditori dan otolitik, mengakibatkan gejala beripa gangguan pendengaran,
tinnitus, maupun gejala vestibular nonrotasional.

GEJALA KLINIK
• Vertigo.
• Jatuh tanpa penurunan kesadaran.
• Gangguan pendengaran sensorineural.
• Tinnitus.
• Mual-muntah.
• Nistagmus.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk menegakkan diagnosis ini,
pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding.

PENATALAKSANAAN
Non farmakologis
• Diet rendah garam (1,5 gr/hari)
• Hindari makanan pencetus : kafein, alkohol, coklat, tembakau, makanan tinggi
kolesterol dan trigliserida
• Olahraga, namun hindari aktivitas yang dapat membahayakan jika timbul serangan.

Farmakologis
• Obat antimual: Prometazin
• Vestibulosupresan : meclizine [Antivert], droperidol [Inapsine], prochlorperazine
[Compazine], diazepam [Valium], lorazepam [Ativan], alprazolam [Xanax]
• Diuretika atau obat dengan efek diuresis, untuk menurunkan tekanan di telinga dalam:
hydrochlorothiazide and triamterene [Dyazide], hydrochlorothiazide [Aquazide],
acetazolamide [Diamox], methazolamide [Neptazane]. Loop diuretika berpotensi
ototoksik dan harus sangat berhati-hati dalam penggunaannya.
• Steroid : berefek antiinflamasi dan dapat meringankan gejala.

45
• Aminoglikosida : untuk penyakit Meniere stadium akhir yang sulit diatasi, berupa
injeksi transtimpanik.
• Agonis histamin, misalnya betahistin (Serc).

Rujukan ke Spesialis THT-KL


• Terapi bedah jika terapi medikamentosa gagal :
o Terdiri dari prosedur bedah destruktif dan nondestruktif.
o Endolymphatic Sac Decompression or Shunt.
o Vestibular Nerve Section.
o Labyrinthectomy.

KOMPLIKASI
• Trauma muskuloskeketal atau serebral akibat terjatuh.
• Kecemasan, stress psikis.
• Disabilitas.
• Gangguan keseimbangan, ketulian, dan tinitus menetap.

PROGNOSIS
Prognosis sangat bervariasi, umumnya cenderung stabil dengan berjalannya waktu
dan seringkali mencapai remisi spontan (50% setelah 2 tahun dan 70% setelah 8 tahun).
Walaupun demikian, masih cukup tinggi angka ganguan keseimbangan dan gangguan
pendengaran yang sifatnya menetap, yang terus memerlukan pengobatan. 10-15% kasus
memerlukan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
ed. V FK-UI Jakarta
2. Adam. GL Boies : Fundamental of Otolaryngology. A textbook of Ear Nose and
Throat Diseases. 6th ed 1989
3. Ballenger JJ :Diseases of the Nose Throat, Ear, Head and Neck, 1sth ed. 1996
4. Marill AK. Central Vertigo. Background, Pathophysiology, Epidemiology 2017.
https://emedicine.medscape.com/article/794789-overview (accessed November 6,
2017).
5. Li JC.Meniere Disease (Idiopathic Endolymphatic Hydrops). Background, Anatomy,
Pathophysiology 2017. https://emedicine.medscape.com/article/1159069-overview
(accessed November 6, 2017).
6. Hain, TC. Drug Treatment of Vertigo. Dizziness and balance .com.2020.
https://www.dizziness-and-alance.com/treatment/drug/drugrx.html
7. Handbook of Clinical Neurology, 2016.
https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/betahistine.

46
8. Walker MF & Daroff RB. Dizziness and Vertigo. Harrrison’s Principles of Internal
Medicine. 18th ed. 2012. P. 181.
9. Meniere’s Disease. Mayo Clinic. https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/menieres-disease/diagn

PERTANYAAN VERTIGO

1. Pembentuk Apparatus Vestibularis adalah:


A. Membrana Tympani
B. Sakulus dan Utrikulus
C. Otolit
D. Nervus Vestibularis
E. Labirin Osseus
2. Penyebab paling sering dari Vertigo Perifer adalah:
A. Multiple Sclerosis
B. Perdarahan
C. Trauma
D. BPPV
E. Infeksi
3. Berikut ini merupakan gejala klinik dari Vertigo Perifer, KECUALI
A. Nystagmus horizontal
B. Timbul akibat perubahan posisi kepala
C. Gejala mual muntah berat
D. Gejala berlangsung singkat
E. Disertai dengan kelemahan badan
4. Terapi medikamentosa di bawah ini dapat dipakai untuk mengobati BPPV bila
diperlukan, KECUALI
A. Hydroclorotiazide
B. Meclizine
C. Amitryptiline
D. Diazepam
E. Lorazepam
5. Berikut ini merupakan gejala klinik dari penyakit Meniere, KECUALI
A. Menyebabkan hilangnya pendengaran yang berfluktuasi
B. Terdapat rasa berputar ringan sampai berat
C. Timbul akibat perubahan posisi kepala
D. Terdapat tinnitus
E. Terdapat rasa penuh di dalam telinga
KUNCI JAWABAN : B, D, E, A, C

47
TONSILITIS, FARINGITIS, LARINGITIS
Fari Ananda Daud, Oeij Anindita Adhika,
Johan Lucianus, Larissa

TONSILITIS
DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual
(tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil).

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun dan anak
remaja berusia 15 hingga 25 tahun.

FAKTOR RISIKO
a. Faktor usia, terutama pada anak.
b. Penurunan daya tahan tubuh.
c. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
d. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

KLASIFIKASI
1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis Bakterial: Merupakan infeksi bakteri akut orofaring yang sering
ditemukan dan dapat menyerang semua umur. Etiologi terseringnya yaitu bakteri
golongan streptococcus B dan A hemolyticus, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pyogenes yang merupakan penyebab infeksi pada 50% kasus
tonsilofaringitis. Haemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Masa
inkubasi 2-4 hari.
Tonsilitis Viral: Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering.
2. Tonsilitis Membranosa
Tonsilitis difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
Tonsilitis Septik : disebabkan oleh Streptococcus hemoliticus.
Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa): disebabkan oleh bakteri
spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang
kurang dan defisiensi vitamin C.

48
Penyakit Keganasan : sebagai bagian dari Limfoma Maligna / adanya Karsinoma
Tonsil
3. Tonsilitis Kronis : karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.

MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan. Gejala lainnya tergantung
penyebab tonsilitis.
Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorokan, kemudian
berubah menjadi rasa nyeri di tenggorokan dan nyeri saat menelan. Rasa nyeri semakin
lama semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat
menyebar sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia)
tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX).
Keluhan lainnya berupa demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan
kejang pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu makan berkurang
sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya
penuh terisi makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice/hot potato voice. Mulut
berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang
hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorokan.
Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/ mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis).
Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala yang timbul
adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorokan, badan
lemah, gusi mudah berdarah, dan hipersalivasi.
Pemeriksaan Fisik
Tonsilitis akut pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang udem (ukuran membesar),
hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel,
lakuna, atau pseudomembran. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk
membran semu (pseudomembran) yang menutupi ruang antara kedua tonsil sehingga
tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem
dan hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula
terlihat membesar dan ada nyeri tekan.

49
Tonsillitis akut

Tonsilitis kronik pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak tonsil membesar


dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar, dan kriptus berisi detritus. Tanda
klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan.
Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan
pembesaran kelenjar limfe submandibular.
Tonsilitis difteri pada pemeriksaan ditemukan tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang
melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
• T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.
• T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula.
• T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau batas medial
tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
• T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
• T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih.

50
Gradasi Pembesaran Tonsil

PENATALAKSANAAN
Non farmakologi
a. Istirahat cukup
b. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang mengiritasi
c. Menjaga kebersihan mulut
d. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik

Farmakologi
• Tonsilitis viral: istirahat, minum cukup, analgetika, antivirus diberikan bila gejala
berat. Antivirus metisoprinol (isoprenosine)diberikan pada infeksi virus dengan dosis
60- 100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
• Tonsilitis bakteri: terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group A, diberikan
antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
Amoksisilin 50 mg/ kgBB dosis dibagi 3 kali/ hari selama 10 hari dan pada dewasa
3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga
diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan perbaikan klinis yang dapat
menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5
mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali
pemberian selama 3 hari.

51
• Tonsilitis kronik: Diberikan obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang
mengandung desinfektan. Dilakukan tonsilektomi bila ada indikasi.
Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004, indikasi
tonsilektomi, yaitu:
a. Indikasi Absolut:
1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar.
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.
b. Indikasi Relatif:
1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis.
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik laktamase resisten.

KONSELING DAN EDUKASI


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup tinggi.
2. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
3. Berhenti merokok.
4. Selalu menjaga kebersihan mulut.
5. Mencuci tangan secara teratur.
6. Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi.

KOMPLIKASI
Lokal
• Edema hebat pada hipofaring dan laring yang dapat menyebabkan obstruksi saluran
napas (jarang).
• Abses peritonsillar.
• Selulitis pada jaringan lunak leher.
• Abses parafaringeal
• Supurasi pada KGB leher
• Penyebaran infeksi ke mediastinum melalui ruang retrofaring dan parafaring.
Sistemik
• Sepsis

52
• Glomerulonefritis
• Rheumatic fever

KRITERIA RUJUKAN
Segera rujuk jika terjadi:
• Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
glomerulonephritis, demam rematik akut.
• Adanya indikasi tonsilektomi.
• Pasien dengan tonsilitis difteri.

PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya bonam jika pengobatan adekuat dan kebersihan mulut baik.

FARINGITIS
DEFINISI
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-
60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.

EPIDEMIOLOGI
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena
faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada
saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini viral faringitis
merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah

FAKTOR RISIKO
• Paparan udara yang dingin.
• Menurunnya daya tahan tubuh.
• Konsumsi makanan yang kurang gizi.
• Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung, inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring.

KLASIFIKASI
1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV),
virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada adenovirus
juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
b. Faringitis Bakterial

53
Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
1. Demam.
2. Anterior Cervical lymphadenopathy.
3. Eksudat tonsil.
4. Tidak adanya batuk.
Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1.
Skor 0-1 maka pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi
streptococcus group A, skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkinan 40%
terinfeksi streptococcus group A, skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50%
terinfeksi streptococcus group A.
c. Faringitis Fungal disebabkan oleh candida.
d. Faringitis Gonorea: hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital
2. Faringitis Kronik
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
b. Faringitis Kronik Atrofi: sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.
3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Tuberkulosis : merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru.
b. Faringitis Luetika.

MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika menelan dan batuk. Gejala dan
tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang menginfeksi.
Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia,
demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Pemeriksaan Fisik
• Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada
coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
• Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher
anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

54
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan darah lengkap.
• Apabila dicurigai etiologinya jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
• Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.
• Kultur dan tes sensitivitas antibiotik dari apus tenggorok.

PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
• Istirahat cukup
• Minum air putih yang cukup
• Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik untuk
menjaga kebersihan mulut.
Farmakologi
• Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus metisoprinol (isoprenosine) dengan
dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5
tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.
• Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group
A, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal bila
pasien tidak alergi penisilin, atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama
10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari.
• Pada faringitis fungal diberikan Nystatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari.
• Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
• Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa
deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3 hari.

KONSELING DAN EDUKASI


Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
• Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
• Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
• Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
• Selalu menjaga kebersihan mulut
• Mencuci tangan secara teratur.

KRITERIA RUJUKAN
• Faringitis luetika.

55
• Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses retrofaringeal, septikemia,
meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.

KOMPLIKASI
• Sinusitis
• Otitis media
• Epiglotitis
• Abses peritonsilar
• Abses retrofaringeal.
• Septikemia
• Meningitis
• Glomerulonefritis
• Demam rematik akut

PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini bergantung pada jenis dan
komplikasinya.

Faringitis

LARINGITIS
DEFINISI
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari penggunaan suara yang berlebihan,
pajanan terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada pita suara. Refluks gastroesofageal,
bronkitis, dan pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis.
Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan biasanya
disertai inflamasi pada trakea dan bronkus dan disebut sebagai penyakit croup. Penyakit
ini seringkali disebabkan oleh virus, yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus influenza

56
A dan B, RSV, dan virus campak. Selain itu, M. pneumonia juga dapat menyebabkan
croup.

KLASIFIKASI
1. Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring, dapat disebabkan oleh virus dan bakteri.
Keluhan berlangsung < 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus.
Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamellacatarrhalis, Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcuspneumoniae.

2. Laringitis Kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang, dan juga dapat
diakibatkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum berat, polip hidung, bronchitis kronik,
merokok, pajanan terhadap iritan yang bersifat konstan, dan konsumsi alkohol
berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu nyeri tenggorokan yang tidak signifikan,
suara serak, dan terdapat edema pada laring. Mungkin juga disebabkan
penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa bicara keras.

3. Laringitis Kronik Spesifik


• Laringitis tuberkulosa :disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati, biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap
(membutuhkan pengobatan yang lebih lama), karena struktur mukosa laring sangat
lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru.
• Laringitits luetika: jarang ditemukan, tergolong lues stadium tersier yaitu
pembentukan guma yang dapat terjadi pada laring

FAKTOR RISIKO
• Penggunaan suara yang berlebihan.
• Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minum-minuman alkohol.
• Adanya refluks gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia.
• Rhinitis alergi.
• Perubahan suhu yang tiba-tiba.
• Malnutrisi.
• Keadaan menurunnya sistem imun atau daya tahan tubuh.

57
GEJALA KLINIS
Pasien datang dengan keluhan suara serak atau hilang suara (afonia). Gejala lainnya
(croup), antara lain:
• Gejala lokal seperti suara parau, seperti suara yang kasar atau suara yang susah
keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa/normal bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). Hal ini terjadi karena gangguan getaran
serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan.
• Sesak nafas dan stridor.
• Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.
• Gejala radang umum seperti demam, malaise.
• Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental.
• Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38°C.
• Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak semakin bertambah berat.
• Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
tenggorokan terasa sakit namun membaik pada suhu yang lebih hangat. Nyeri
tenggorokan dan batuk memburuk kembali menjelang siang. Batuk ini dapat juga
dipicu oleh udara dingin atau minuman dingin.
Pemeriksaan dengan laringoskopi indirek khusus untuk pasien dewasa untuk
melihat daerah laring dan sekitarnya. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring
yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara. Biasanya
terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal.
Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah,
stridor, air hunger, sesak semakin bertambah berat dengan retraksi suprasternal dan
epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa
anak. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita
suara.

PEMERIKSAAN PENUNJANG (BILA DIPERLUKAN)


• Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
• Foto thorax AP.
• Pemeriksaan laboratorium darah lengkap.
• Kultur eksudat pada kasus laringitis yang lebih berat.

58
• Biopsi, yang biasanya dilakukan pada pasien laringitis kronik dengan riwayat
merokok atau ketergantungan alkohol atau pada daerah yang dicurigai menyerupai
tumor.

DIAGNOSIS BANDING
• Benda asing pada laring.
• Faringitis.
• Bronkiolitis.
• Bronkitis.
• Pneumonia.
• Tumor pada laring.

PENATALAKSANAAN
Non farmakologi
• Istirahat yang cukup, terutama pada laringitis akibat virus. Istirahat ini juga
meliputi pengistirahatan pita suara.
• Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk.
• Menghindari udara kering.
• Minum cairan yang banyak.
• Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
• Bila diperlukan rehabilitasi suara (voice therapy).
• Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau
trakeostomi.
Farmakologi
• Pengobatan simptomatik dapat diberikan dengan parasetamol atau ibuprofen
sebagai antipiretik jika pasien demam.
• Bila ada gejala nyeri tenggorokan dapat diberikan analgetik dan bila hidung
tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA),
efedrin, pseudoefedrin.
• Jika penyebab ditemukan streptokokus grup A melalui kultur diberikan antibiotik
penicillin
• Proton Pump Inhibitor pada laringitis dengan penyebab GERD (Laringofaringeal
refluks).
• Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat.
• Laringitis tuberkulosa, sesuai dengan penyakit TBC diberikan obat
antituberkulosa.
• Laringitis Luetika diberikan obat sesuai penyakit leutika, penisilin dengan dosis
tinggi.

59
KONSELING DAN EDUKASI
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
• Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
• Menghentikan merokok.
• Mengistirahatkan pasien berbicara dan bersuara atau tidak bersuara berlebihan.
• Menghindari makanan yang mengiritasi seperti makanan pedas dan minum es.

KRITERIA RUJUKAN
Indikasi masuk rumah sakit apabila:
• Usia penderita dibawah 3 tahun.
• Terdapat tanda sumbatan jalan nafas.
• Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted.
• Curiga adanya tumor laring.
• Perawatan di rumah kurang memadai.

Laringitis Akut (kiri) dan Laringitis Kronis (kanan)

KOMPLIKASI
a. Pneumonia.
b. Bronkhitis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bailey BJ. Head and Neck Surgey–Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincott–Raven Pub; 2014

60
2. Lee K.J. 1995. Essential Otolarygology Head and Neck Surgery. 6th ed. Connecticut ;
Appleton & Lange.
3. Lucente, F. Sobol, S. 1993. Essential of Otolaryngology. New York ; Raven Press.
4. Nurbaiti. I, Arrayad. E. 1997 Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung &
Tenggorokan. Jakarta ; FKUI.
5. Strome, M. Kelly, J. 1992. Manual of Otolaryngology. 2nd ed. London; Little Brown
& Co.
6. Cumming C.W. 2015. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 6th ed. Vol. 3.
Philadelphia; Saunders Elsevier
7. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

61
TONSILOFARINGITIS DIFTERI
Fari Ananda Daud, Oeij Anindita Adhika
Johan Lucianus, Larissa

DEFINISI
Suatu infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphteriae, yang ditandai oleh terbentuknya eksudat yang
berbentuk membaran pada tempat infeksi dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang
ditimbulkan oleh eksotoksin.

ETIOLOGI
Penyebeb difteri adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri
batang gram positif berbentuk seperti gada, susunan seperti huruf kanji (V, L), bersifat
aerob, tidak membentuk spora, membentuk granula dan dapat menghasilkan eksotoksin.

EPIDEMIOLOGI
Selama tahun 2017, KLB Difteri terjadi di 170 kabupaten/kota di 30 provinsi,
dengan jumlah sebanyak 954 kasus dengan 44 kematian. Kriteria KLB Difteri adalah
ditemukannya minimal satu kasus Difteri dalam wilayah tertentu.
KLB dinyatakan berakhir jika tidak ditemukan lagi kasus baru selama 2 kali masa
inkubasi terpanjang (ditambah masa penularan Difteri) sejak laporan kasus terakhir,
sehingga status KLB dapat dicabut setelah 4 minggu oleh pemerintah daerah.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Penularan bakteri C. Diphtheriae adalah melalui kontak langsung melalui batuk,
bersin dan berbicara, atau kontak tidak langsung melalui debu, buku, baju benda-benda
lainnya yang terkontaminasi. Setelah bakteri C. Diphtheriae masuk secara inhalasi
kemudian menginfeksi dan berkembang biak pada permukaan mukosa saluran pernapasan
atas. Basil ini kemudian akan menghasilkan eksotoksin. Toksin yang terbentuk akan
diabsorpsi melewati membran sel mukosa, menimbulkan peradangan dan destruksi sel
epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis ini akan terbentuk fibrin, kemudian
diinfiltrasi oleh leukosit sehingga akan membentuk patchy exudate yang pada permulaan
masih dapat terkelupas.
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi oleh basil ini akan semakin
meningkat yang menyebabkan nekrosis akan meluas dan dalam dan akan membentuk
fibrous exudate (membran palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel,
lekosit dan eritrosit, berwarna keabuan sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas,
apabila terpaksa lepas akan menimbulkan perdarahan.

62
Membran palsu ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring dan pada keadaan berat
dapat meluas hingga trakea dan kadang ke bronkus, kemudian diikuti edema jaringan dan
dapat menimbulkan obstruksi saluran nafas.
Eksotokskin yang terbentuk akan masuk ke sirkulasi sistemik dan menyebar ke
seluruh tubuh sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ perifer
seperti jantung, ginjal, hati dan jaringan saraf perifer

MANIFESTASI KLINIS
- Lokasi infeksi primer: faring, laring, nasal dan kulit (jarang).
- Sering terjadi pada anak-anak
- Onset penyakit terjadi lebih lambat dari pada tonsilitis bakterialis, namun gejala
klinisnya lebih berat, meskipun demam yang terjadi lebih ringan.
- Gejala klinis umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris hingga
febris, nyeri tenggorok, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah.
- Pemeriksan fisik ditemukan adanya tonsil membesar tertutup membran keabuan di
tonsil, dinding faring posterior dan palatum molle serta berwarna hiperemis. Bila
membran tersebut diangkat biasanya menimbulkan perdarahan. Terjadi pula
pembesaran KGB jugulodigastrik bilateral (bull neck). Membran akan meluas ke faring
dan laring dan secara cepat menimbulkan suara serak dan sumbatan jalan nafas atas.
- Gejala lanjut akibat toksin difteri adalah kematian oleh karena kardiotoksik dan
neurotoksik yang mengakibatkan miokarditis, disritmia, dan gagal jantung

DIAGNOSIS BANDING
• Streptococcal tonsillitis
• Mononukleosis infeksiosa
• Laringitis difteri

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran
semu. Pewarnaan bakteri difteri harus segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
dengan menggunakan pewarnaan Albert.
Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri batang Gram positif, pleomorfik,
berbentuk seperti gada dengan susunan seperti palisade atau seperti huruf kanji V atau L
Sedangkan isolasi biakan bakteri difteri pada media, antara lain menggunakan Media
Loeffler Agar, agar tellurite, agar darah, gula-gula, tellurite cair dan Blood Tellurite Agar.

63
Corynebacterium diphtheriae dengan pewarnaan Albert

PENATALAKSANAAN
Bila dicurigai tonsilofaringitis difteri:
• Rawat inap di ruang isolasi.
• Monitoring fungsi jantung dan respirasi.
• Bila pseudomembran luas, konsul THT untuk kemungkinan trakeostomi atau intubasi
• Pemberian kortikosteroid, namun tidak mengurangi risiko miokarditis dan
polineuropati.
• Pemberian segera antitoksin difteri sangat penting untuk mengurangi perluasan
penyakit dan risiko komplikasi miokarditis dan neuropati serta risiko kematian.
Pemberian harus segera dilakukan karena antitoksin (Diphtheria Antitoxin/ DAT) tidak
dapat menetralkan toksin yang sudah diikat sel. Protokol pemberian antitoksin sudah
termasuk test untuk menyingkirkan reaksi hipersensitif tipe cepat. Bila terdapat
hipersensitivitas, dilakukan desensitasi.
a) Dilakukan tes sensitivitas, dan bila perlu desensitasi.
b) Seluruh dosis DAT (IV atau IM) diberikan dalam dosis tunggal (kecuali untuk
desensitasi).
c) Rekomendasi Dosis DAT:

Jenis difteri Dosis DAT (unit)


Difteri faring atau laring sampai 2 hari 20.000 – 40.000
Difteri Nasofaring 40.000 – 60.000
Difteri luas, ≥ 3 hari atau pembengkakan leher difus 80.000 – 100.000
Hanya lesi kulit (kasus jarang dengan indikasi terapi) 20.000- 40.000

D. Dosis anak = dosis dewasa


E. Pemberian DAT ulangan setelah dosis inisial tidak direkomendasikan dan
meningkatkan risiko efek samping.

• Terapi Anti mikroba: tujuannya untuk mencegah penularan pada orang lain.
Antibiotik untuk difteri respirasi:

64
- Penisilin G prokain dosis 600.000 U ( untuk anak 12.500 – 25.000 U/Kg BB) IM
tiap 12 jam sampai pasien dapat menelan, dilanjutkan Penisillin V oral 125- 250 mg
4x sehari selama 14 hari, atau
- Eritromisin dosis 500 mg IV tiap 6 jam (anak: 40-50 mg/Kg BB IV dalam 2-4 dosis
sampai pasien dapat menelan, dilanjutkan 4x 500 mg oral selama 14 hari.
Penelitian di Vietnam, pada penggunaan penisilin penurunan demam lebih cepat dan
resistensi lebih rendah. Antibiotik alternatif terhadap penisilin dan eritromisin adalah
rifampisin dan klindamisin.
• Kultur dilakukan setelah 2 minggu. Bila kuman masih positif, diberikan tambahan
terapi selama 10 hari dan kultur ulangan.
• Difteri kulit diberi terapi antibiotik yang sama dengan difteri respirasi, bila strain
toksigenik, diberi antitoksin.
• Pasien yang telah diberi antitoksin harus diukur kadarnya setelah 6 bulan. Setelah
sembuh harus diberi vaksin Difteri.

KOMPLIKASI
- Miokarditis.
- Paralisis palatum molle, diafragma, otot-otot pergerakan bola mata, otot faring, otot
laring.
- Albuminuria.

PENCEGAHAN
Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap dengan jadwal
pemberian sesuai usia.
Imunisasi dasar :
Bayi usia 2, 3, dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan
Imunisasi lanjutan :
a. Anak usia 18 bulan diberikan DPT-HB-Hib 1 kali.
b. Anak SD kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
c. Anak SD kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada BIAS.
d. Wanita Usia Subut (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.

PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA KONTAK


• Siapapun yang kontak erat dengan kasus dalam 7 hari terkahir dianggap berisiko
tertular.
• Kontak erat penderita meliputi : anggota keluarga serumah, teman, kerabat, pengasuh
yang teratur mengunjungi rumah, kontak cium/seksual, teman sekolah, teman les,
teman sekerja, petugas kesehatan.

65
• Semua kontak erat harus diperiksa adanya gejala Difteri serta diawasi setiap hari
selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak dengan kasus
• Profilaksis : Erytromisin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7
hari.
• Bila kontak yang positif (karier) dan setelah diberikan profilaksis 7 hari kemudian
diperiksa laboratorium ternyata masih positif, maka pemberian profilaksis dilanjutkan
selama 7 hari, jika masih positif dilakukan tes resistensi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bailey BJ. Head and Neck Surgey–Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincott–Raven Pub; 2014
2. Lee K.J. 1995. Essential Otolarygology Head and Neck Surgery. 6th ed. Connecticut ;
Appleton & Lange.
3. Lucente, F. Sobol, S. 1993. Essential of Otolaryngology. New York ; Raven Press.
4. Nurbaiti. I, Arrayad. E. 1997 Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung &
Tenggorokan. Jakarta ; FKUI.
5. Strome, M. Kelly, J. 1992. Manual of Otolaryngology. 2nd ed. London; Little Brown
& Co.
6. Cumming C.W. 2015. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 6th ed. Vol. 3.
Philadelphia; Saunders Elsevier
7. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
8. Bishat WR & Murphy JR, 2012. Diphtheria and Other Infections Caused by
Corynebacteria and Related Species. In Harrisons Principles of Internal Medicine.
(Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson & Loscalzo: editors). 18th edition. New York:
McGraw Hill. p. 1190-91.
9. Diphtheria Antitoxin (DAT) Treatment and Adverse Effects – CDC .
10. Tortora GJ, Funke BR, Case CL., Microbiology an introduction, 6 th ed. California.
Addison Wesley Longman, 1998
11. Brooks GF, Butel JS, Morse SA, , Jawetz, melnick, & Adelberg medical microbiology
. 23 th ed. Boston. McGraw Hill. 2004
12. Kementrian Kesehatan RI. 2017. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri.

PERTANYAAN TONSILITIS, FARINGITIS, LARINGITIS

1. Yang termasuk centor criteria faringitis bakterialis, kecuali:


a. Demam.
b. Eksudat mukopurulen.
c. Anterior Cervical lymphadenopathy.
d. Eksudat tonsil.
e. Tidak adanya batuk.

66
2. Yang termasuk faktor risiko tonsilitis, kecuali:
a. Faktor usia, terutama pada anak.
b. Penurunan daya tahan tubuh.
c. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
d. Sering berteriak (overuse vocal)
e. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

3. Yang termasuk gejala laringitis, kecuali:


a. Gejala lokal seperti suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
b. Sesak nafas dan stridor.
c. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.
d. Gejala radang umum seperti demam, malaise.
e. Nyeri telinga.

4. Yang benar tentang penyebeb difteri kecuali:


a. Bakteri batang gram positif berbentuk seperti gada,
b. Susunan seperti huruf kanji (V, L)
c. Bersifat aerob
d. Membentuk spora
e. Menghasilkan eksotoksin.

5. Yang benar tentang pencegahan dan tatalaksana kontak penyakit Difteri:


a. Imunisasi pada bayi diberikan dengan interval 2 bulan
b. Wanita Usia Subur diberikan vaksin DPT
c. Semua kontak erat tidak perlu diawasi asal tidak bergejala
d. Profilaksis kontak erat dengan eritromisin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian selama 7 hari.
e. Anak SD tidak perlu diberikan vaksin.

KUNCI JAWABAN : B, D, E, D, D

67
68

Anda mungkin juga menyukai