Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 3


BLOK SISTEM MATA & THT

DISUSUN OLEH:

Nama : Yuni Asmilawati


NIM : 019.06.0094
Kelas :B
Kelompok : 10
Modul : Mata & THT
Dosen : dr. Baiq Novaria Rusmaningrum, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2021/2022

1|Page
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 3 yang berjudul “Telinga Anakku Sakit” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 3 yang berjudul “Telinga Anakku Sakit” meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Novaria Rusmaningrum, S.Ked. sebagai dosen fasilitator kelompok
SGD 10 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 22 Oktober 2021


Hormat Saya

Penyusun

2|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................... 2

BAB I ............................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 4

1.1 Skenario LBM 2 ..................................................................................................................... 4

1.2 Deskripsi Masalah .................................................................................................................. 4

BAB II .............................................................................................................................................10

PEMBAHASAN ..............................................................................................................................10

2.1 Pembahasan Sesuai Diskusi SGD ..........................................................................................10

BAB III ........................................................................................................................................39

PENUTUP ...................................................................................................................................39

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................40

3|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM 3


“TELINGA ANAKKU NYERI”

Sesi I
An. D usia 12 tahun dibawah orang tua ke praktek dokter umum dengan
keluhan utama telinga kanan terasa nyeri. Keluhan sudah dialami sejak 5 hari
yang lalu, keluhan nyeri dirasakan semakin hari makin memberat. Keluhan
disertai batuk, pilek dan demam sejak 7 hari yang lalu, keluhan lain berupa telinga
berdenging (-), gangguan pendengaran (-), keluar cairan (-), dan pusing disangkal.
Tiga tahun yang lalu pasien pernah memiliki riwayat keluar cairan yang hilang
timbul disertai dengan nyeri telinga kiri dan sembuh sendiri. Pasien juga memiliki
kebiasaan sering mengorek kuping.
Sesi II
Hasil pemeriksaan otoskopi AD: membran timpani tampak hiperemis dan
bulging seperti pada gambar, AS: membran timpani intak. Rinoskopi anterior
terdapat: discharge seromukous, konka edema dan hiperemis. Pemeriksaan
Faring: mukosa hiperemis. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memberikan
penanganan dan edukasi terhadap pasien.

4|Page
1.2 Deskripsi Masalah
Berdasarkan skenario diatas kelompok kami mengajukan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan keluhan terasa nyeri pada telinga, demam, batuk
pilek, dengan riwayat keluar cairan 3 tahun lalu dan kebiasaan mengorek
telinga?
2. Apakah ada hubungan antara faktor usia dengan keluhan pada pasien?
3. Pemeriksaan fisik awal yang akan dilakukan pada pasien?
4. Tatalaksana awal skenario?
5. Edukasi apa yang dapat diberikan pada pasien?
6. DD dari skenario?
Apa yang menyebabkan keluhan terasa nyeri pada telinga, demam,
batuk pilek, dengan riwayat keluar cairan 3 tahun lalu dan kebiasaan
mengorek telinga?
Berdasarkan keluhan adanya batuk dan pilek pada pasien,
hal ini dapat diduga berkaitan dengan terjadi infeksi saluran
pernapasan khususnya pernapasan atas menyebabkan kerusakahan
mukosilia pada epitel nasofaing yang menyebar ke telinga tengah
lewat Tuba Eustachius. Saat bakteri masuk melalui Tuba
Eustachius, makan akan menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran tersebut.
Akibatnya, sel-sel mukosilia, sel-sel goblet, dan kelenjar mucus
mengalami kerusakan.Kerusakan dari mekanisme pertahanan
telinga tengah ini lah yang kemudian menyebabkan sistem drainase
pada telinga tengah terganggu, dan meyebabkan peningkatan
tekanan udara di dalamnya akibat produksi secret terus menerus,
kemudian menyebabkan infeksi. Sebagai hasilnya terbentuklah
nanah (pus) dalam telinga tengah. Selain itu, pembengkakan
jaringan sekitar Tuba Eustachius menyebabkan lendir yang
dihasilkan sel-sel telinga tengah berkumpul di belakang membran
timpani (Mahardika, 2019).

5|Page
Terdapat hubungan mengorek kuping dengan keluhan yang
dialami oleh pasien. Hal ini dapat diakibatkan karena cara
membersihkan telinga yang salah. Misalnya, membersihkan telinga
menggunakan cotton bud. Kebiasaan tersebut malah dapat
mendorong kotoran masuk ke dalam telinga. Akibatnya kotoran
lebih sulit dibersikan dan menumpuk. Semakin lama kotoran akan
mengeras dan inilah yang disebut serumen prop (Soepardi, 2017).
Serumen ini merupakan hasil produksi kelenjar sebasea,
kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu.
Dalam keadaan normal serumen terdapat pada sepertiga luar liang
telinga karena kelenjar tersebut hanya ditemukan di daerah ini.
Konsistensinya lunak, tetapi kadang-kadang kering. Dipengaruhi
oleh faktor keturunan, iklim, usia dan keadaan lingkungan. Jika
serumen sudah mengeras, menjadi serumen prop dan terdorong ke
dalam sampai ke membran timpani bisa menyebabkan rusaknya
epitel liang telinga, sehingga hal ini dapat menekan saraf-saraf
yang terdapat ditempat tersebut, maka akan timbul rasa nyeri
(Soepardi, 2017).
Apakah ada hubungan antara faktor usia dengan keluhan pada
pasien?
Umur juga memegang peranan dalam maturitas tuba
eustachius, sehingga menyebabkan perpindahan mikroorganisme
penyebab infeksi pada nasofaring ke dalam telinga tengah. Tuba
Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi,
drenase sekret dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring
ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan
udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar.
adanya fungsi ventilasi tuba ini dapat dibuktikan dengan
melakukan perasat Valsalva dan perasat Toynbee (Mahardika,
2019).

6|Page
Tuba Eustachius terdiri atas tulang-tulang rawan pada dua
pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang.
Pada anak, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba orang dewasa. Pada tuba orang dewasa 37,5
mm dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm. Perbedaan
tuba eustachius pada anak dan dewasa inilah yang menyebabkan
bakteri dari nasofaring dapat lebih mudah masuk ke telinga pada
anak-anak karena tuba eustachius lebih pendek (Soepardi, 2017).

Gambar: Perbedaan anatomi tuba Eustachius pada


anak-anak dan orang dewasa
Pemeriksaan fisik awal yang akan dilakukan pada pasien?
1. Tes Penala (pemeriksaan pendengaran)
a. Tes Rinne: ialah tes untuk membandingkan hantaran
melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga
yang diperiksa.
b. Tes Weber: ialah tes pendengaran untuk
membandingkan hantaran tulang telinga yang sakit
dengan telinga yang sehat.
c. Tes Schwabach: ialah membandingkan hantaran tulang
orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal.

7|Page
2. Pemeriksaan Fisik telinga luar
a. Inspeksi
- Nilai bentuk daun telinga
- Kulit daun telinga
- Melihat tanda-tanda peradangan, massa, sikatrik
- Tanda-tanda adanya cairan yang keluar/tidak
b. Palpasi
- Nyeri tekan tragus: +/-
- Nyeri tekan auricular: +/-
- Nyeri tekan dan ketok mastoid: +/-
- Pembesaran kelenjar getah bening: +/-
c. Perkusi
- Nyeri ketok mastoid: +/-
d. Auskultasi
- Dilakukan pada pasien dengan keluhan tinnitus
3. Pemeriksaan Fisik telinga dalam
- Pemeriksaan otoskop
 Pemeriksaan liang telinga: melihat ada/tidak
serumen, furunkel, benda asing, laserasi,
cairan, jaringan granulasi ataupun tanda
peradangan.
 Pemeriksaan membran timpani: dilihat
apakah tampak normal, yaitu berwarna putih
keabu-abuan, bening dan mengkilat seperti
mutiara. Periksa pula ada tidaknya perforasi,
darah, pus, perubahan warna membran
timpani, bulging.
Tatalaksana awal skenario?
Penatalaksanaan awal pada pasien infeksi telinga pada
skenario yaitu dengan memberikan analgesik dan pengawasan,
sekitar 80% anak-anak dengan otitis media akut sembuh dengan

8|Page
sendirinya dalam 2-14 hari. Paracetamol adalah penghilang rasa
sakit garis pertama, ibuprofen dapat mengurangi inflamasi dan
sakit yang berhubungan dengan otitis media akut, tetapi pemberian
ibuprofen sebaiknya tidak pada anak-anak yang memiliki tanda
dehidrasi dan asma (Mahardika, 2019).
Edukasi apa yang dapat diberikan pada pasien?
1. Hentikan kebiasaan sering mengorek kuping.
2. Perlu diberitahukan kepada pasien untuk menjaga higiene dan
kebersihan telinga, hidung dan tenggorokan, karena seperti
diketahui bahwa pasien pernah mengalami riwayat keluhan serupa.
3. Membiasakan mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh
hidung atau saat mengorek telinga dengan tangan.
4. Perlu diberitahukan usahakan tidak boleh kemasukan air ke dalam
telinga yang sakit.
DD dari skenario?
Berdasarkan kasus pada skenario kelompok kami mengajukan 2
diagnosis banding yakni:
1. Otitis (Eksterna dan Media)
2. Mastoiditis

9|Page
BAB II

PEMBAHASAN

DATA TUTORIAL

Hari/tanggal : Senin, 18 Oktober 2021


Tutor : dr. Novaria Rusmaningrum, S.Ked.
Ketua : Putu Pani Damayanthi
Sekretaris : Karina Putri Nurbayani

2.1 Pembahasan Sesuai Diskusi SGD


I. ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI MATA
1. Anatomi dan Histologi

Secara anatomi, telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga


luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi dalam
mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi ke struktur-
struktur telinga tengah. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna atau

10 | P a g e
aurikel) dan liang telinga sampai membran timpani. Di dalam telinga
tengah terdapat tiga bagian tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan
stapes. Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis
semisirkularis (Sobotta, 2016)
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga
sampai membran timpani.
 Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastis dan kulit.
Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang
rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan
duapertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang
yang panjangnya kira – kira 2,5cm – 3 cm (Rita, 2017)

Gambar: Anatomi Telinga Luar


 Anatomi liang telinga merupakan bagian tulang yang
sangat unik karena merupakan satu-satunya tempat
dalam tubuh dimana kulit langsung terletak di atas
tulang tanpa adanya jaringan subkutan. Dengan
demikian daerah ini akan sangat peka terhadap rasa
nyeri karena tidak terdapat ruang untuk ekspansi.

11 | P a g e
Ada tiga mekanisme pertahanan dari liang
telinga dan permukaan lateral membran timpani
yaitu tragus dan antitragus, kulit dengan lapisan
serumen dari isthmus. Salah satu cara perlindungan
yang diberikan telinga luar adalah adanya
pembentukan serumen atau kotoran telinga
(Soepardi, 2017)
Serumen juga berfungsi dalam melapisi
telinga bagian luar dan mempertahankan pH asam
(4-5). Keasaman serumen menghambat
pertumbuhan bakteri atau jamur. Dan juga memiliki
sifat sepert lilin yang berfungsi untuk melindungi
epitel dari maserasi atau kerusakan kulit. Jumlah
serumen yang dihasilkan sangat bervariasi antar
individu. Sedangkan kekurangan serumen dan
perubahan pH dapat menciptakan lingkungan yang
ideal untuk invasi bakteri. Serumen pada dasarnya
dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi
epitel kulit yang bergerak dari arah membran
timpani menuju ke arah luar serta dibantu oleh
gerakan rahang saat mengunyah. Serumen tidak
memiliki efek anti bakteri atau anti jamur tetapi
serumen memiliki efek proteksi, mengikat kotoran
dan menyebarkan aroma yang tidak disenangi
serangga sehingga serangga enggan masuk ke liang
telinga (Soepardi, 2017)
 Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila
dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik
terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian

12 | P a g e
bawah pars tensa (membran propria) (Patrick &
Robert, 2012).
b. Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan:


 Batas luar: Membran timpani
 Batas depan: Tuba Eustachius
 Batas bawah: Vena jugularis (bulbus jugularis)
 Batas belakang: Aditus ad antrum, canalis fasialis pars
vertikalis
 Batas atas: Tegmen timpani (meningen/otak)
 Batas dalam: Berturut-turut dari atas ke bawah canalis
semisirkularis horizontal, canalis fasialis, tingkap
lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window) dan promontorium (Sherwood, 2016)
c. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang
berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri
dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa
skala timpani dengan skala vestibuli (Soepardi, 2017).

13 | P a g e
Canalis semisirkularis saling berhubungan secara
tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak
lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala
vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli
dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perillimfa
berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk
pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membran vestibuli (Reissnerr’s membrane) sedangkan
dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran
ini terletak organ cort (Patrick & Robert, 2012).
2. Fisiologi
Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi
bunyi daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan
melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian luar membran timpani dan tingkap
lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke telinga dalam (koklea) yang menggerakkan tingkap
lonjong sehingga perilimfa pada skla vestibular bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga

14 | P a g e
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran
(39-40) di lobus frontalis (Guyton& Hall, 2016)

15 | P a g e
II. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1. Otitis
a. Otitis Eksterna
- Definisi
Otitis eksterna adalah inflamasi liang terlinga akut
maupun kronis, yang melibatkan daun telinga(pinna)
dan membran timpani atau meatus auditorius eksterna
((Soepardi, 2017)
- Etiologi
Penyebab otitis eksterna adalah infeksi (bakteri,
virus, jamur), alergi dan penyakit kulit. Bakteri utama
penyebab otitis eksterna adalah P.aeriginosa (38%),
S.epidermidis (9%), S.aureus (8%), jamur (2-10%) seperti
jamur Aspergillus fumigatus, Candida albicans dan virus
(herpes simpleks, herpes zoster). Pada 30% kasus,
ditemukan lebih dari 1 mikroorganisme (Tanto, 2016).
Faktor utama yang mempermudah inflamasi liang
telinga adalah perubahan Ph. Pada umumnya pH pada
telinga biasanya normal atau asam, apabila pH menjadi
basa maka proteksi terhadap infeksi menurun. Penyebab
lainnya adalah perubahan suhu, pada keadaan udara yang
hangat dan lembab, bakteri dan jamur semakin mudah
tumbuh. Inflamasi juga dapat terjadi karena radang pada
telinga luar akibat trauma ringan saat mengorek telinga
seperti penggunaan kapas wol (cotton bud) secara
berlebihan untuk membersihkan saluran telinga (Soepardi,
2017).
Selain itu, setiap kondisi yang dapat menyebabkan
penurunan daya tahan tubuh, seperti yang disebabkan oleh
Human Immunodeficiency virus/ Aquired Immunodeficiency
Syndrome (HIV/AIDS), aplasia akibat kemoterapi, anemia

16 | P a g e
refrakter, leukimia kronik, limfoma splenektomi, neoplasia
dan transplantasi ginjal, dapat menjadi faktor predisposisi
penderita otitis eksterna yang dapat berlanjut menjadi otitis
eksterna maligna (Soepardi, 2017).
- Manifestasi Klinis
 Otalgia (70%)
 Pruritis (60%)
 Otorea
 Telinga terasa penuh (22%)
 Penurunan pendengaran (32%)
 Nyeri tekan tragus, nyeri tarik aurikula
 Otoskop: Eritema dan edema liang telinga, ragi
jamur (Aspergillus- putih dengan bintik hitam,
Candida- putih). (Tanto, 2016)
- Klasifikasi
1. Otitis Eksterna Akut
Terdapat 2 kemungkinan otitis eksterna akut
yaitu otitis eksterna sirkumskripta dan otitis
eksterna difus:
a. Otitis eksterna sirkumskripta (Furunkel-
bisul)
Oleh karena kulit di sepertiga luar
liang telinga mengandung adneksa kulit,
seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar serumenosa, maka tempat ini dapat
terjadi infeksi pada pilosebaseus, sehingga
membentuk furunkel (Soepardi, 2017).
Bakteri penyebab biasanya
Staphylococcus aureus atau Staphylococcus
albus.

17 | P a g e
Gejala yang timbul adalah rasa nyeri
yang hebat, tidak sesuai dengan besar bisul.
Hal ini disebabkan karena kulit liang telinga
tidak mengandung jaringan longgar di
bawahnya, sehingga rasa nyeri timbul pada
penekanan perikondrium. Rasa nyeri dapat
juga timbul spontan pada waktu membuka
mulut (sendi temporomandibula). Selain itu,
terdapat juga gangguan pendengaran, bila
furunkel besar dan menyumbat liang telinga
(Soepardi, 2017).
b. Otitis eksterna difus
Biasanya mengenai kulit liang telinga
2/3 dalam. Tampak kulit liang telinga
hiperemis dan edema yang tidak jelas
batasnya (Soepardi, 2017).
Bakteri penyebab biasanya golongan
Pseudomonas. Bakteri lain yang dapat
sebagai penyebab adalah Staphylococcus
albus, Escherichia coli dan sebagainya.
Otitis eksterna difus dapat juga terjadi
sekunder pada otitis media supuratif kronis
(Soepardi, 2017).
Gejalanya adalah nyeri tragus, liang
telinga sangat sempit, kadang kelenjar getah
regional membesar dan nyeri tekan, terdapat
sekret yang berbau. Sekret ini tidak
mengandung lendir (musin) seperti sekret
yang ke luar dari cavum timpani pada otitis
media (Soepardi, 2017).

18 | P a g e
2. Otomikosis
Infeksi jamur di liang telinga dipermudah
oleh kelembabn yang tinggi di daerah tersebut.
Penyebab tersering adalah Pityrosporum,
Aespargillus. Kadang-kadang ditemukan juga
Candida albicans atau jamur lainnya. Pityrosporum
menyebabkan terbentuknya sisik yang menyerupai
ketombe dan merupakan predisposisi otitis eksterna
bakterialis (Marlinda, 2019).
Gejala biasanya berupa rasa gatal dan rasa
penuh di liang telinga, tetapi sering pula tanpa
keluhan (Marlinda, 2019).
3. Otitis Eksterna Maligna
Otitis eksterna maligna adalah infeksi difus
di liang telinga luar dan struktur lain di sekitarnya.
Biasanya terjadi pada orang tua dengan penyakit
diabetes melitus. Pada penderita diabetes, pH
serumennya lebih tinggi dibandingkan pH serumen
non diabetes. Kondisi ini menyebabkan penderita
diabetes lebih mudah terjadi otitis eksterna.
Akibatnya adanya faktor Immunocompromize dan
mikroangiopati, otitis eksterna berlanjut menjadi
otitis eksterna maligna (Soepardi, 2017).
Pada otitis eksterna maligna peradangan
meluas secara progresif ke lapisan subkutis, tulang
rawan dan ke tulang di sekitarnya, sehingga timbul
kondritis, osteitis dan osteomielitis yang
menghancurkan tulang temporal (Soepardi, 2017).
Gejala otitis eksterna maligna adalah rasa
gatal di liang telinga yang dengan cepat diikuti oleh
nyeri, sekret yang banyak serta pembengkakan liang

19 | P a g e
telinga. Kemudian rasa nyeri tersebut akan semakin
hebat, liang telinga tertutup oleh jaringan granulasi
yang cepat tumbuhnya. Saraf fasial dapat terkena,
sehingga menimbulkan paresis atau paralisis fasial
(Soepardi, 2017).
b. Otitis Media
Otitis media adalah peradangan sebagaian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan
sel-sel mastoid (Tanto, 2016)
Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media.
Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif,
otitis media non supuratif dan jenis lainnya.

Gambar: Skema Pembagian Otitis Media


1. Otitis Media Supuratif
a. Otitis Media Akut (OMA)
- Definisi
Otitis media akut (OMA) merupakan
inflamasi telinga tengah, tuba Eustachius, antrum
mastoid atau sel-sel mastoid yang terjadi < 6
minggu (Mahardika, 2019).

20 | P a g e
- Etiologi
Otitis media akut (OMA) terjadi karena
faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba
Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari
otitis media. Karena fungsi tuba Eustachius
terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman
masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi
peradangan (Mahardika, 2019).
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya
OMA adalah infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA). Pada anak, makin sering terserang ISPA,
makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada
bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba
Eustachius pendek, lebar dan letaknya agak
horizontal (Mahardika, 2019).
Kuman penyebab utama pada OMA adalah
bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus,
Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu,
kadang-kadang ditemukan juga Haemophilus
influenzae, Escherichia colli, Streptococcus
anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas
aurugenosa. Haemophilus influenzae sering
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun
(Tanto, 2016)
- Manifestasi
Gejala klinik OMA bergantung pada
stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak-anak
yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah
rasa nyeri di dalam telinga, keluhan di samping

21 | P a g e
suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya (Mahardika, 2019).
Pada anak yang lebih besar atau pada orang
dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas
OMA adalah suhu tubuh tinggi sampai 39,5ᴼC
(pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang
telinga yang sakit (Soepardi, 2017).
b. Otitis Media Sufuratif Kronik
- Definisi
Otitis media supuratif kronik adalah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus menerus atau hilang timbul.
Sekret munkin encer atau kental, bening atau
berupa nanah (pus) (IDI, 2017).
- Etiologi
OMSK adalah kondisi kronis dari akibat
perforasi membran timpani. OMSK umumnya
diawali otitis media akut (OMA) apabila
prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses
infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media
supuratif subakut (IDI, 2017).
Sumber mikroorganisme di telinga tengah adalah
dari nasofaring (pada gangguan tuba Eustachius)
maupun migrasi langsung dari canal auditorik
eksterna melalui lubang membran timpani
(Tanto, 2016).

22 | P a g e
Mikroorgnisme tersering penyebab OMSK:
 Staphylococcus aureus
 Pseudomonas aeruginosa (tersering pada
OMSK dengan kolesteatoma)
 Proteus sp
 Klebsiela pneumoniae
- Manifestasi Klinis
 Membran timpani perforasi
 Otorea purulen: persisten (27%),
intermiten (73%)
 Penurunan pendengaran sedang hingga
berat (konduktif, sensorineural, atau
keduanya).
 Otalgia, demam, gangguan
keseimbangan, sakit kepala, bengkak di
daerah retroaurikula, parese N. facialis
adalah tanda terjadinya komplikasi
(Tanto, 2016)
2. Otitis Media Non Sufuratif
a. Otitis Media Serosa Akut
- Definisi
Otitis media serosa akut adalah keadaan
terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-
tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
(Soepardi, 2017).
- Etiologi
Otitis media serosa akut ini dapat
disebabkan antara lain:
1. Sumbatan tuba, pada keadaan ini terbentuk
cairan di telinga tengah disebabkan oleh

23 | P a g e
tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti
pada barotrauma.
2. Virus, terbentuknya cairan di telinga tengah
yang berhubungan dengan infeksi virus pada
jalan napas atas.
3. Alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah
yang berhubungan dengan keadaan alergi
pada jalan napas atas.
4. Idiopatik
- Manifestasi Klinis
Gejala yang menonjol pada otitis media
serosa akut biasanya pendengaran berkurang.
Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa
tersumbat pada telinga atau suara sendiri
terdengar lebih nyaring atau berbeda. Kadang-
kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak
dalam telinga pada saat posisi kepala berubah.
Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila
penyebab timbulnya sekret adalah virus atau
alergi. Tinitus, vertigo atau pusing kadang-
kadang ada dalam bentuk yang ringan (Soepardi,
2017).
b. Otitis Media Serosa Kronik
- Definisi
Batasan antara kondisi otitis media serosa
akut dengan otitis media kronik hanya pada cara
terbentuknya sekret. Pada otitis media serosa
akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga
tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga,
sedangkan pada keadaan kronik sekret terbentuk
secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-

24 | P a g e
gejala pada telinga yang berlangsung lama
(Soepardi, 2017).
- Etiologi
Otitis media serosa kronik lebih sering
terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media
serosa akut lebih sering terjadi pada orang
dewasa. Sekret pada otitis media serosa kronik
dapat terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media
akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna.
Penyebab lain diperkirakan adanya hubungan
dengan infeksi virus, keadaan alergi atau
gangguan mekanis pada tuba (Soepardi, 2017).
- Manifestasi Klinis
Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik
lebih menonjol, oleh karena adanya sekret kental
atau glue ear. Pada otoskopi terlihat membran
timpani utuh, retraksi, suram, kuning kemerahan
atau keabu-abuan (Soepardi, 2017).
2. Mastoiditis
- Definisi
Mastoiditis merupakan proses inflamasi pada sel udara
mastoid akibat komplikasi dari otitis media. Inflamasi pada
telinga tengah yang persisten menyebar ke sel udara
mastoid, sehingga timbul eksudasi purulen (periosteitis)
atau kerusakan septum antarsel udara (osteitis) karena
tekanan yang tinggi (Tanto, 2016)
- Etiologi
Penyebab terbesar otitis media supurative chronis
yang berkembang menjadi mastoiditis adalah infeksi
bakteri dari meatus auditoris eksternal, kadang berasal dari
nasofaring melalui tuba eustachius saat infeksi saluran

25 | P a g e
pernafasan atas. Beberapa organisme penyebab dari
mastoiditis:
 Streptococcus pneumonia (mengalami penurunan 76%
sejak ditemukan vaksin PCV).
 Staphylococcus aureus,
 Pseudomonas aeruginosa
 Streptococcus pyogenes
 Haemophylus influenza
 Lainnya: Mycobakterium sp, infeksi jamur, Moraxella
catarrhalis.
(Tanto, 2016)
- Manifestasi Klinis
 Nyeri , inflamasi, dan eritema pada prosesus mastoid
(80%)
 Protrusi aurikula ke lateral dan inferior
 Nyeri telinga (67%)
 Demam (76%), letargi (96%)
 Otorea (50%)
 Membran timpani perforasi, efusi, atau menonjol
(bulging) (80% pada kasus anak)
 Penurunan pendengaran akibat penyempitan canal
auditorik eksternal (71%) (Tanto, 2016).
III. PENENTUAN DIAGNOSIS KERJA
Nyeri Batuk Demam Gangguan Keluar Telinga Gejala Khas Gambaran
telinga ,pilek pendengar cairan berdenging
an
Otitis Eksterna + - - + - - Furunkel
Sirkumskripta (bisul)
Terjadi pada
1/3 liang
telinga luar

26 | P a g e
Otitis Eksterna + - - + - - Hiperemis
Difus dan edema
tidak jelas
batasnya,
Terjadi pada
2/3 dalam
liang telinga
Oklusi + + + -/+ - - Retraksi
membran
OMA timpani

Hiperemis + + + -/+ - - Hiperemis


dan edema,
pembuluh
darah
melebar,
sekret
bersifat
eksudat
Supurasi + + + -/+ - - Bulging

Perforasi + + + -/+ + - Ruptur


membran
timpani dan
keluar nanah

Resolusi -/+ + -/+ -/+ +/- - Masa


perbaikan,
sekret
berkurang

27 | P a g e
dan kering
+ + + + Perforasi
OMSK membran
timpani,
timbul
jaringan
granulasi,
sikatrik atau
stenosis
Otitis Media + - - + + + Sekret
Serosa Akut terbentuk
secara tiba-
tiba.
Gejala paling
menonjol
biasanya
pendengaran
berkurang,
Diplacusis
binauralis
Otitis Media - - - + + + Glue ear
Serosa Kronik (sekret
kental)

Mastoiditis + - + + + - bulging,
eritem pada
prosesus
mastoid
Berdasarkan penjelasan diatas dari definisi, etiologi, serta
manifestasi klinis dari masing-masing diagnosis banding yang diajukan
serta berdasarkan penjelasan tabel diatas, saya menegakkan diagnosis
kerja pada skenario adalah Otitis Media Akut stadium supurasi. Jika

28 | P a g e
dibandingkan dengan diagnosis lain, hordeolum memiliki manifestasi
klinis yang cocok dengan skenario.
IV. EPIDEMIOLOGI
Hampir 85% anak memiliki episode otitis media akut paling sedikit
satu kali dalam 3 tahun pertama kehidupan dan 50% anak mengalami 2
episode atau lebih. Anak yang menderita otitis media pada tahun pertama,
mempunyai kenaikan risiko otitis media kronis ataupun otitis media
berulang. Insiden penyakit akan cenderung menurun setelah usia 6 tahun.
Di Amerika Serikat, hampir semua anak pada usia 2 tahun akan
mengalami otitis media, dan kira-kira 17 persen anak usia 6 bulan telah
mengalami 3 episode atau lebih. Pada negara berkembang komplikasi
yang sering ditemukan adalah gangguan pendengaran, untuk itu
pemberian vaksinasi pneumokokus penting untuk mencegah otitis media
dan komplikasinya (Mahardika, 2019).
V. FAKTOR RISIKO
1. Usia 6-18 bulan, berkaitan dengan anatomis (tuba pendek, lebar,
lebih horizontal) dan imunologi yang imatur.
2. Infeksi saluran pernapasan atas berulang.
3. Trauma akibat mengorek telinga.
4. Riwayat alergi
5. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring terlentang.
6. Paparan asap rokok
7. Labiopalatoskosis (Tanto, 2016).

29 | P a g e
VI. PATOFISIOLOGI

Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh


infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi
kongesti dan edema pada mukosa saluran pernapasan atas, termasuk
nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,
sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi bakteri atau virus dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui
tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius
untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika
terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses
inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini
merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan
efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu,

30 | P a g e
mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah,
kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator
inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius.
Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga mengganggu pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri
(Mahardika, 2019)

STADIUM OMA
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi
dapat dibagi atas 5 stadium:
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Tanda adanya okulusi tuba Eustachius adalah gambaran
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di
dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara. Kadang-kadang
membran timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau
berwarna keruh pucat. Stadium ini tampak sukar dibedakan
dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau
alergi (Soerpardi, 2017).
2. Stadium Hiperemis (stadium pre-supurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang
melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani
tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk
mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar
terlihat (Soerpardi, 2017).
3. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan
hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat
yang purulen di cavum timpani, menyebabkan membran
timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar. Pada
keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu

31 | P a g e
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat
(Soerpardi, 2017).
4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambat pemberian
antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi, makan dapat terjadi
ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari liang
telinga tengah ke liang telingah luar (Soerpardi, 2017).
5. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran
timpani perlahan-lahan akan kembali normal. Bila sudah terjadi
perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering.
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka
resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan (Soerpardi,
2017).
VII. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fisik
a. Tes Penala (pemeriksaan pendengaran)
- Tes Rinne: ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui
udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa.
- Tes Weber: ialah tes pendengaran untuk membandingkan
hantaran tulang telinga yang sakit dengan telinga yang sehat.
- Tes Schwabach: ialah membandingkan hantaran tulang orang
yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal
(Patrick & Robert, 2012).
b. Pemeriksaan Fisik Telinga Luar
- Inspeksi
a. Bentuk daun telinga: (ukuran, kelainan bentuk)
normal/abnormal
b. Kulit daun telinga: normal/hematom
c. Kelainan kongenital: +/-
d. Meatus akustikus eksternus: terbuka/tertutup

32 | P a g e
e. Tanda-tanda peradangan, masaa sikatrik: +/-
f. Cairan yang keluar: +/- (warna, konsistensi, bau)
g. Fistel dan abses retroauricula
(Patrick & Robert, 2012).
- Palpasi
Palpasi dilakukan dengan meraba seluruh kartilago
aurikula. Perlu dinilai kemungkinan fluktuasi, nyeri tekan
dan peningkatan suhu.
a. Melakukan penekanan pada area tragus (nyeri tekan
tragus +/-) untuk dapat menilai kemungkinan otitis
eksterna dan penyakit kelenjar getah bening.
b. Nyeri tekan aurikular: +/-
c. Palpasi pelan diatas os mastoid dibelakang telinga
untuk memeriksa adanya nyeri atau pembengkakan
(Patrick & Robert, 2012).
- Perkusi
Perkusi dilakukan pada os mastoideus, nilai terdapat nyeri
ketok atau tidak.
- Auskultasi
Auskultasi di lakukan di depan MAE pada pasien-pasien
dengan keluhan tinitus, nilai apakah terdengar suara tinitus
atau tidak (Patrick & Robert, 2012).
c. Pemeriksaan Fisik Telinga Dalam
Pemeriksaan Otoskop
a. Pemeriksaan liang telinga: melihat ada/tidak serumen,
furunkel, benda asing, laserasi, cairan, jaringan granulasi
ataupun tanda peradangan.
b. Pemeriksaan membran timpani: dilihat apakah tampak
normal, dilihat apakah tampak normal, yaitu berwarna
putih keabu-abuan, bening dan mengkilat seperti mutiara,
juga tampak reflek cahaya (cone of light). Periksa pula ada

33 | P a g e
tidaknya perforasi, darah, pus, perubahan warna membran
timpani, lihat ada tidaknya kelainan membran timpani
seperti retraksi (membran tertarik ke dalam sehingga
tulang malleolus terlihat menonjol), atau terdorong ke
depan (bulging) karena adanya cairan (Patrick & Robert,
2012).
d. Pemeriksaan Fisik Hidung
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan dengan
rinoskopi anterior.
e. Pemeriksaan Fisik Faring
Pemeriksaan dilakukan dengan menekan bagian tengah lidah
dengan memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut
lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan
dinding belakang faring serta kelenjar limfanya, uvulam arkus
faring serta gerakannya (Patrick & Robert, 2012).
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Kultur: kultur sekret dilakukan di fasilitas tingkat lanjut bila
OMA berulang.
b. Pemeriksaan audiometri nada murni dianjurkan bila fasilitas tersedia.
VIII. TATALAKSANA FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI & KIE
Farmakologi Non Farmakologi
Tatalaksana OMA tergantung pada stadium penyakitnya:
1. Stadium Oklusi
Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk
membuka kembali tuba Eustachius, sehingga tekanan
negatif di telinga hilang. Untuk ini diberikan obat tetes hidung.
HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak < 12 tahun)
atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang
berumur di > 12 tahun dan pada orang dewasa (Soepardi,
2017).

34 | P a g e
Selain itu, sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan
apabila penyakit adalah bakteri, bukan oleh virus atau alergi
(Soepardi, 2017).
2. Stadium Hiperemis
Terapi pada stadium hiperemis adalah antibiotika, obat tetes
hidung dan analgetika. Antibiotik yang dianjurkan adalah
golongan penisilin atau ampisilin. Terapi awal diberikan
penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang
adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai sisa dan
kekambuhan. Pemberian antibiotik dianjurkan minimal selama
7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan
eritromisin (Soepardi, 2017).
3. Stadium Supurasi
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotik, idealnya
harus disertai dengan miringitomi, bila membran timpani masih
utuh. Dengan miringitomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang
dan ruptur dapat dihindari (Soepardi, 2017).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan
kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi).
Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telingan H₂O₂ 3%
selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat. Biasanya sekret
akan menghilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam
waktu 7-10 hari (Soepardi, 2017).
5. Stadium Resolusi
Pada stadium resolusi, makan membran timpani berangsur
normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran
timpani menutup.
Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir
di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani.

35 | P a g e
Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema
mukosa telinga tengah. Pada keadaan ini demikian antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah
pengobatam sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah
terjadi mastoiditis (Soepardi, 2017).

(IDI, 2017)
PEMBEDAHAN
o Miringotomi
Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa
membran timpani, agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah
ke liang telinga luar (Soepardi, 2017).

Gambar: Miringotomi

36 | P a g e
Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang
dilakukan dengan syarat tindakan ini harus dilakukan dengan a-
vue (dilihat langsung), anak harus tenang dan dapat dikuasai,
(sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik). Lokasi
miringotomi adalah di kuadran posterior-inferior. Untuk
tindakan ini haruslah memakai lampu kepala yang mempunyai
sinar cukup terang, memakai corong telinga sesuai dengan besar
liang telinga, dan pisau khusus (miringotomi) yang digunakan
berukuran kecil dan steril (Soepardi, 2017).
KIE
1. Hentikan kebiasaan sering mengorek kuping dengan cotton bud
atau alat lainnya selama OMA
2. Perlu diberitahukan kepada pasien untuk menjaga higiene dan
kebersihan telinga, hidung dan tenggorokan, karena seperti
diketahui bahwa pasien pernah mengalami riwayat keluhan serupa.
3. Pasien harus menjaga liang telinga agar dalam kondisi kering dan
tidak lembab.
4. Membiasakan mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh
hidung atau saat mengorek telinga dengan tangan.
5. Perlu diberitahukan usahakan tidak boleh kemasukan air ke dalam
telinga yang sakit (Mahardika, 2019).
IX. KOMPLIKASI & PROGNOSIS
Komplikasi
- Otitis media supuratif kronik (OMSK)
- Mastoiditis akut
- Komplikasi intra-temporal: Labirinitis, paresis nervus fasialis,
petrositis, hidrosefalus otak.
- Komplikasi ekstra-temporal/intrakranial: Abses subperiosteal,
abses epidura, abses perisinus, abses subdura, abses otak,
meningitis, trombosis sinus lateral, sereberitis (Mahardika,
2019).

37 | P a g e
Prognosis
Prognosis yang dapat kami duga untuk kasus otitis media akut
stadium supurasi adalah dubia ed bonam jika diatasi juga dengan
tatalaksana farmakologi dan non farmakologi yang tepat (IDI, 2017).
- Ad vitam : Bonam
- Ad functionam : Bonam
- Ad sanationam : Bonam

38 | P a g e
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa scenario


LBM 3 yang berjudul “Telinga Anakku Nyeri” mengalami penyakit Otitis
Media Akut Stadium Supurasi. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diberikan
pada skenario. Dari diagnosis ini tentunya diharapkan mampu
memberikan tatalaksana yang sesuai dengan terapi farmakologi dan non
farmakologi setelah mengetahui dengan pasti penyebab terjadinya OMA.
Penanganan OMA dilakukan dengan pengenalan sedini mungkin.
Tatalaksana awal yang dilakukan adalah evaluasi faktor risiko OMA.
Terapi diberikan untuk mengatasi keluhan dan mengobati gangguan OMA
serta mencegah terjadinya rekuren. Sebelum dilakukan terapi perlu
diketahui kepekaaan dan reaksi alergi pasien terhadap terapi yang akan
diberikan. Selain itu, prognosis yang dapat kami duga untuk kasus dalam
skenario adalah dubia ad bonam.

39 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Nagel, Patrick., Gurkov Robert. 2012. Dasar-Dasar Ilmu THT.2th ed.


Jakarta: EGC

Sherwood L. 2016. Introduction to Human Physiology. 9th ed. Canada:


Nelson education.

Hall. John, et all. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology
12th. Jakarta: Elvesier

Tanto, Christ, dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 5 Jilid II.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Soepardi, E., Iskandar, N., Bashiruddin, J., et al. 2017. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT Kepala dan Leher.7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.[ebook].

Marlinda, Lita. 2019. Otomikosis Auris Dextra pada Perempuan


Perenang. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Mahardika, Pradyana. 2019. Karakteristik Pasien Otitis Media Akut di


Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Bagian THT, Universiats Udhayana.

40 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai