OLEH :
KELOMPOK V
Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini merupakan
salah satu tugas dari Keperawatan dewasa sistem Muskuloskeletal, Integumen,
Persepsi sensori dan Persarafan.
Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai
bantuan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga
semangat, buku-buku dan beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bisa
terwujud. Oleh karena itu, melalui media ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan
jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan
yang kami miliki. Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran
dan kritik yang dapat memotivasi saya agar dapat lebih baik lagi dimasa yang
akan datang.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian OMA & OMK ?
2. Apa etiologi OMA & OMK?
3. Anatomi OMA & OMK?
4. Apa saja manifestasi klinis OMA & OMK?
5. Apa saja klasifikasi OMA & OMK ?
6. Bagaimana pathway OMA & OMK?
7. Bagaimana patofisiologi OMA & OMK?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik OMA & OMK?
9. Bagaimana penatalaksanaan / terapi OMA & OMK?
10. Bagaimana prognosis OMA & OMK?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian OMA & OMK.
2. Untuk mengetahui etiologi OMA & OMK.
3. Untuk mengetahui anatomi OMA & OMK..
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis OMA & OMK.
5. Untuk mengetahui klasifikasi OMA & OMK.
6. Untuk mengetahui pathway OMA & OMK.
7. Untuk mengetahui patofisiologi OMA & OMK.
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik OMA & OMK.
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan / terapi OMA & OMK).
10. Untuk mengetahui OMA & OMK.
1.4. Manfaat
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
suatu pembelajaran bagi mahasiswa yang nantinya ilmu tersebut dapat
dipahami dan diaplikasikan dalam praktik keperawatan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
negatif dan jika menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila
tuba eustakius mengalami obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi
sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila
membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan
selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat
juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi
dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan dewasa, yang
mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks sekresi nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran
nafas yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi
dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang
sering menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis, Menurut Siegel RM and
Bien JP (2004) dalam IKA Unair .
5
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
1. Batas luar : membran timpani
2. Batas depan : tuba Eustachius
3. Batas bawah : vena jugularis
4. Batas belakang: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
5. Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
6. Batas dalam : kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis
fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setangah
lingkaran dan vesitubuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.
Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa
skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling
berhubungan secara tidak lengkap membentuk lingkaran yang tidak lengkap.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya.
Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s
membrane) sedangkan
6
dasar skala media adalah membran basalis. Pada skala media terdapat bagian
yang berbentuk lidah yangdisebut membran tektoria, dan pada membran basal
melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan
kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.
7
b. Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat.
c. Sukar dibedakan dengan otitis media serosa virus.
2. Stadium hiperemis
a. Pembuluh darah tampak lebar dan edema pada membran
timpani.
b. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat
yang serosa sehingga sukar terlihat.
3. Stadium supurasi
a. Membran timpani menonjol ke arah luar.
b. Sel epitel superfisila hancur.
c. Terbentuk eksudat purulen di kavum timpani.
d. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta
nyeri di telinga tambah hebat.
4. Stadium perforasi
a. Membran timpani ruptur.
b. Keluar nanah dari telinga tengah.
c. Pasien lebih tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
a. Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan
normal kembali.
b. Bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
mengering.
c. Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah
dan daya tahan tubuh baik.
8
5. KLASIFIKASI OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
Otitis Media
Supuratif Akut/Otitis
Media Akut
Otitis Media
Supuratif
Otitis Media
Supuratif Kronik
Otitis Media
Adhesiva
Otitis Media
Otitis Media Spesifik
Otitis Media Serosa
Akut
1. Berdasarkan Gejala
1.1 Otitis Media Supuratif :
1.1.1 Otitis Media Supuratif Akut/Otitis Media Akut
Proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara
cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang
disertai dengan gejala lokal dan sistemik.(Munilson, Jacky. Et
al.)
1.1.2 Otitis Media Supuratif Kronik
Infeksi kronik telinga tengah disertai perforasi membran
timpani dan keluarnya sekret yang apabila tidak ditangani
dengan tepat akan membuat progresivitas penyakit semakin
bertambah.
1.2 Otitis Media Adhesiva: Keadaan terjadinya jaringan fibrosis di telinga
tengah sebagai akibat proses peradangan yang berlangsung lama.
1.3 Otitis Media Non Supuratif / Serosa
1.3.1 Otitis Media Serosa Akut
Keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba
yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
1.3.2 Otitis Media Serosa Kronik
Pada keadaan kronis sekret terbentuk secara bertahap tanpa
rasa nyeri dengan gejala – gejala pada telinga yang berlangsung
lama. Terjad sebagai gejala sisa dari otitis media akut yang
9
tidak sembuh sempurna.
10
2. Berdasarkan Perubahan Mukosa
2.1 Stadium Oklusi
Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani
akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang
tampak normal atau berwarna suram.
2.2 Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang meleba disebagian atau
seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai
edema.
2.3 Stadium Supurasi
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya
sel epitel superfisial, dan telah terbentuknya eksudat yang purulen di
kavum timpani sehingga menyebabkan penonjolan (bulging) membran
timpani ke arah liang telinga luar merupakan tanda yang dapat
ditemukan pada stadium supuratif ini. Pada keadaan ini pasien tampak
sangat sakit, terjadi peningkatan suhu dan nadi, serta adanya nyeri
telinga yang dirasakan bertambah berat.
11
2.4 Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah yang
berada di dalam kavum timpani mengalir ke liang telinga luar. Pasien
tampak lebih tenang dari sebelumnya dan terjadi penurunan suhu.
12
13
Etiologi:
1. Streptococus pneumoni
2. Haemophylus influenza
Faktor resiko: Higiene buruk Faktor presipitasi: ISPA
3. Moraxella katharralis
MK: Kurang
Pengetahuan
14
OMA Bakteri anaerob
Otolitis
12
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
Berikut pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan:
A. Otoskopi
Adalah pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop
terutama untuk melihat gendang telinga. Pada otoskopi didapatkan
hasil adanya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna
gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta
cairan di liang telinga
B. Otoskop Pneumatic
Merupakan alat pemeriksaan bagi melihat mobilitas membran
timpani pasien terhadap tekanan yang diberikan. Membrane timpani
normal akan bergerak apabila diberitekanan. Membrane timpani yang
tidak bergerak dapat disebabkan oleh akumulasi cairan didalam telinga
tengah, perforasi atau timpanosklerosis. Pemeriksaan ini meningkatkan
sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa
C. Timpanometri
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan
timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif
mobilitas membran timpani dan rantai tulang pendengaran.
Timpanometri merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di
telinga tengah.Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga
tengah dan dengan mudah menilai patensi tabung miringotomi dengan
mengukur peningkatan volume liang telinga luar.Timpanometri punya
sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan telinga
tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien. Pemeriksaan dilakukan
hanya dengan menempelkan sumbat ke liang telinga selama beberapa
detik, dan alat akan secara otomatis mendeteksi keadaan telinga bagian
tengah.
13
D. Timpanosintesis
Timpanosintesis diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga
tengah, bermanfaat pada pasien yang gagal diterapi dengan berbagai
antibiotika, atau pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal untuk
mendapatkan sekret dengan tujuan pemeriksaan dan untuk
menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk
mengidentifikasi patogen yang spesifik.
E. Uji Rinne
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang dan hantaran
udara telinga pasien.
Langkah:
Tangkai penala digetarkan lalu ditempelkan pada prosesus mastoid
(hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terderngar. Penala kemudian
dipindahkan ke depan telinga sekitar 2,5 cm. Bila masih terdengar
disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-)
F. Uji Webber
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dengan telinga kanan.
Langkah:
Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah
kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri
atau
14
dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu
telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat
dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut
Weber tidak ada lateralisasi
G. Uji Swabach
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang orang
yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Langkah:
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala
segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan
pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih
dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien
dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan
Schwabach sama dengan pemeriksa.
15
Untuk terapi awal, diberikan penisilin IM agar konsentrasinya
adekuat dalam darah.
A. Ampisilin 4 x 50-100 mg/KgBB
B. Amoksisilin 4 x 40 mg/KgBB/hari
C. Eritromisin 4 x 40 mg/KgBB/hari
1.3 Stadium Supurasi. Pasien harus dirujuk untuk dilakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik
juga diperlukan agar nyeri dapat berkurang.
1.4 Stadium Perforasi. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-
5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu.
1.5 Stadium Resolusi. Biasanya akan tampak sekret keluar. Pada
keadaan ini dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun
bila masih keluar sekret diduga telah terjadi mastoiditis. Pada
stadium ini, harus di follow up selama 1 sampai 3 bulan untuk
memastikan tidak terjadi otitis media serosa.
13. Tindakan
2.1 Timpanosintesis
Tindakan dengan cara mengambil cairan dari telinga tengah
dengan menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko
dari prosedur ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi
tulang- tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi
nervus fasialis atau korda timpani. Timpanosintesis merupakan
prosedur yang invasif, dapat menimbulkan nyeri, dan berpotensi
menimbulkan bahaya sebagai penatalaksanaan rutin.
2.2 Miringotomi
Tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari
telinga tengah. Pada miringotomi dilakukan pembedahan kecil di
kuadran posterior-inferior membran timpani. Untuk tindakan ini
diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga yang sesuai, dan
pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril. Indikasi
untuk miringotomi adalah terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia
16
berat, gagal dengan terapi antibiotik, pasien imunokompromis, neonatus,
dan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif.
2. Etiologi
Brunner & Suddart (2002) menjelaskan otitis media akut disebabkan
karena masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang
normalnya steril. Paling sering terjadi bila terjadi disfungsi tuba eustachii
seperti obstruksi yang diakibatkaan oleh infeksi saluran pernapasan atas,
inflamasi jaringan di sekitarnya (misalnya: sinusitis, hipertrofi adenoid),
17
atau reaksi alergi (misalnya: rinitis alergika). Bakteri yang umum
ditemukan sebagai organisme penyebab adalah Streptoccocus
pneumoniae, Hemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.
3. Patofisiologi
Bakteri masuk melalui tuba eusthacii akibat kontaminasi sekresi dari
nasofaring. Bakteri juga bisa masuk telinga tengah bila ada perforasi
membrana timpani.
4. Manifestasi Klinis
Brunner & Suddart (2002) menyebutkan manifestasi klinis pasien dengan
otitis media kronik adalah sebagai berikut:
a. Otorea intermitten atau persisten yang berbau busuk
18
b. Evaluasi otoskopik membrana timpani memperlihatkan adanya
perforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai massa putih di
belakang membrana timpani atau keluar ke kanalis eksternus melalui
luang perforasi.
c. Hasil audiometri pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan
kehilangan pendengaran konduktif atau campuran
Sedangkan menurut Williams & Wilkins (2011), manifestasi klinis pada
otitis media kronis antara lain:
a. Penebalan dan penebalan jaringan parut pada membran timpani
b. Penurunan atau kehilangan mobilitas membran timpani
c. Kolesteatoma
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan kultur dan sensitivitas terhadap eksudat menunjukkan
organisme penyebab
2) Hitung darah lengkap menunjukkan leukositosis
b. Pencitraan
Pemeriksaan ronsen menunujukkan keterlibatan mastoid.
c. Timpanometri
Mendeteksi kehilangan pendengaran dan mengevaluasi penyakit telinga
tengah
d. Audiometri
Menunjukkan derajat kehilangan pendengaran
e. Otoskopi pneumatik
Dapat menunjukkan penurunan mobilitas membran timpani
6. Penatalaksanaan
a. Terapi obat
Pasien mendapatkan obat anti-inflamasi berupa deksametason dengan
dosis 0,6mg/kg/hari selama 4 hari. Pemberian kortikosteroid ini sesuai
dengan beberapa literatur yang menjelaskan bahwa tujuan pemberian
19
obat ini untuk mencegah kecacatan seperti paresis fasialis dan ketulian.
Jang et al.17 melaporkan pemberian steroid (prednison) pada kasus
labirintitis memberikan respons yang cukup baik. Pemberian
kortikosteroid pada kasus meningitis diduga dapat mengurangi edema
otak, hipertensi intrakranial dan inflamasi meningen. Pada kasus ini
diberikan antibiotik topikal karena masih terdapatnya cairan yang
keluar dari telinga tengah setelah pemasangan pipa ventilasi. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pemberian antibiotik dan
kortikosteroid bersamaan secara topikal lebih efektif dan aman untuk
membantu drainase dan mengurangi sekresi telinga tengah setelah
pemasangan pipa ventilasi dibandingkan hanya dengan 9 antibiotik
topikal saja. Pemberian antibiotik dan kortikosteroid topikal dengan
dosis 2x3-5 tetes/hari selama 7 hari.
f. Pembedahan
Berbagai prosedur pembedahan dapat dilakukan bila dengan
penanganan obat tidak efektif. Yang paling sering adalah
timpanoplasti- rekonstruksi bedah membran timpani dan osikulus.
Tujuan timpanoplasti adalah mengembalikan fungsi telinga tengah,
menutup lubang perforasi telinga tengah, mencegah infeksi berulang,
dan memperbaiki pendengaran. Ada 5 tipe timpanoplasti, yaitu tipe I
(miringoplasti) dirancang untuk menutup luka perforasi pada membran
timpani. Sedangkan tipe II-V meliputi perbaikan yang lebih intensif
struktur telinga tengah. Struktur dan derajat keterlibatannya bisa
berbeda, namun bagian semua prosedur timpanoplasti meliputi
pengembalian kontinuitas mekanisme konduksi suara.
7. Komplikasi
Infeksi kronik telinga tengah tidak hanya mengakibatkan kerusakan
membrana timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus dan hampir
selalu melibatkan mastoid.
Menurut Williams & Wilkins (2011), komplikasi otitis media kronik
antara lain:
20
a. Mastoiditis
b. Meningitis
Meningitis adalah penyakit radang selaput otak (meningen).
Penyebab meningitis antara lain adalah adanya rhinorhea, otorhea
pada basis kranial yang memungkinkan kontaknya cairan
cerebrospinal dengan lingkungan luar. Angka kejadian meningitis
di dunia adalah 1-3 orang per 100.000 orang. Terdapat 11 pasien
penderita meningitis dari 4160 kasus otitis media supuratif kronik.
c. Kolesteatoma
d. Abses, septikemia
e. Limfadenopati, leukositosis
f. Kehilangan pendengaran permanen dan timpanosklerosis
g. Vertigo
8. Prognosis
OMK tipe benigna
Prognosis dengan pengobatan lokal, otorea dapat mengering. Tetapi
sisa perforasi sentral yang berkepanjangan memudahkan infeski dari
nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna khususnya terbawa oleh
air, sehingga penutupan membrane timpani disarankan.
OMK tipe maligna
Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi
meningitis, abes otak, paralisis fasialis atau labirinitis supuratif yang
semuanya fatal. Sehingga OMSK tipe maligna harus diobati secara
aktif sampai proses erosi tulang berhenti.
(George L, Adams, 1997)
21
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Otitis Media Akut (OMA)
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Identitas klien : Identits klien ( nama, umur, jenis kelamin,
suku/bangsa, agama, status marietal, pekerjaan, pendidikan, alamat,
tanggal MRS, diagnose medis ). Otitis media akut lebih sering
menyerang bayi dan anak-anak daripada dewasa sekitar umur 3-6 tahun.
Status ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya otitis media akut (OMA) ditinjau dari pola
makan, kebersihan dan perawatan. Gaya hidup lingkungan yang tak
sehat. Alamat berhubungan dengan epidemiologi (tempat, waktu dan
orang).
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri pada gendang
telinga, demam, mual dan muntah serta mengeluarkan cairan
berwarna kuning dari dalam telinga.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien mengalami adanya gangguan pendengaran.
22
c. Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan pasien pernah mengalami ISPA.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya adanya keluarga ( keturunan sebelumnya) yang menderita
otitis media akut
3. Pola-Pola Fungsi Kesehatan Gordon
1) Pola persepsi terhadap Kesehatan
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang
juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan
kesehatan.
Kemungkinan lingkungan pasien kurang hygiene dan banyak
asap maupun polusi.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk
mengetahui status nutrisi pasien.
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan
selama MRS pasien dengan otitis media akut akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari rasa nyeri yang berlebihan.
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
4) Pola aktivitas dan latihan
Pasien mengalami perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan
dengan gangguan pendengaran.
Kekuatan otot : biasanya pasien tidak ada masalah dengan
kekuatan ototnya karena yang terganggu adalah pendengarannya.
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pada telinga akan berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan istitahat . Selain itu akibat perubahan kondisi
23
lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan
rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik
dan lain sebagainya.
6) Pola Neurosensori
Pola ini yang ditanyakan adalah keadaan mental, cara berbicara
normal atau tidak, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
memahami, keadekuatan alat sensori, seperti penglihatan
pendengaran, pengecapan, penghidu, persepsi nyeri, tingkat ansietas,
kemampuan fungsional kognitif.
7) Peran hubungan
Klien akan mengalami kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
8) Pola Persepsi dan konsep diri
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
9) Seksualitas
Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap, mengalami keterbatasan gerak, serta merasa
nyeri. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak dan lama perkawinan.
10) Pola mekanisme koping
Masalah timbul jika pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah kesehatannya, termasuk dalam memutuskan untuk menjalani
pengobatan yang intensif.
Pola koping yang umum, perhatian utama tentang perawatan di
rumah sakit atau penyakit (finansial, perawatan diri), hal yang
dilakukan saat ada masalah, toleransi stress, sistem pendukung,
kemampuan yang dirasakan untuk mengendalikan dan menangani
situasi, penggunaan obat-obatan dalam menangani stress, dan keadaan
emosi sehari-hari. Masalah timbul jika pasien tidak efektif dalam
24
mengatasi kesehatannya, termasuk dalam memutuskan untuk
menjalani pengobatan yang intensif.
11) Nilai kepercayaan/ spiritual
Keluarga pasien menganjurkan pasien untuk berdoa sesuai dengan
keyakinan dan memberikan motivasi agar cepat sembuh.
4. Pemeriksaan Fisik Otitis Media Akut
a. Kepala : kesemitiras muka, warna dan distibusi rambut serta kondisi
kulit kepala. Wajah tampak pucat.
b. Mata : Amati mata conjunctiva adakah anemis, sklera adakah icterus.
Reflek mata dan pupil terhadap cahaya, isokor, miosis atau midriasis.
Pada keadaan diare yang lebih lanjut atau syok hipovolumia reflek
pupil (-)
c. Hidung : dapat membedakan bau wangi,busuk.
d. Telinga : bisa mendengarkan suara dengan baik, adanya cairan
berwarna kuning dari dalam telinga, adanya pembengkakan pada
telinga dan telinga terasa gatal.
e. Paru
1) Inspeksi : bentuk simetris. Kaji frekuensi, irama dan tingkat
kedalaman pernafasan, adakah penumpukan sekresi. dipsnea (-),
retraksi dada (-), takipnea (+)
2) Palpasi : kaji adanya massa, nyeri tekan , kesemitrisan.
3) Perkusi : Sonor
4) Auskultasi : dengan menggunakan stetoskop kaji suara nafas
vesikuler, intensitas, nada dan durasi. Adakah ronchi, wheezing
untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta seperti broncho
pnemonia atau infeksi lainnya.
f. Jantung
1) Inspeksi : iktus kordis tak terlihat
2) Palpasi : iktus kordis biasanya teraba serta adanya pelebaran vena,
nadi meningkat.
25
3) Perkusi : batas normal (batas kiri umumnya tidak lebih dari 4-7 dan
10 cm ke arah kiri dari garis midsternal pada ruang interkostalis ke
4,5 dan 8.
4) Auskultasi : disritmia jantung.
g. Abdomen
1) Inspeksi : Kontur permukaan kulit menurun, retraksi dan
kesemitrisan abdomen. Ada konstipasi atau diare.
2) Auskultasi : Bising usus
3) Perkusi : mendengar adanya gas, cairan atau massa, hepar dan lien
tidak membesar suara tymphani.
4) Palpasi : adakah nyeri tekan, superfisial pemuluh darah.
h. Ekstremitas
1) Inspeksi : aktivitas pasien baik
2) Palpasi : tidak ada massa dan tidak ada nyeri tekan
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen pecedera fisiologis (inflamasi)
2. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan pendengaran
3. Resiko infeksi b/d tindakan invasif
4. Resiko cidera b/d gangguan pendengaran/ vertigo
5. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
6. Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan
26
C. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan pada pasien dengan penyakit Otitis Media Akut (OMA) mengacu pada SLKI (Standar Luaran Keperawatan
Indonesia) menurut (PPNI, 2019) dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) menurut (PPNI, 2018) yaitu:
27
(Tekanan darah sistole (90 -120 2. Kontrol lingkungan yang 2. Mencegah nyeri bertambah
mmHg, tekanan darah diastole memperberat rasa nyeri (mis.
(60 Suhu ruangan, pencahayaan,
– 80 mmHg) kebisingan)
Edukasi Edukasi
1. Ajarkan teknik nonfarmakologis 1. Mengurangi nyeri pasien
untuk mengurangi rasa nyeri
(akupresure)
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, 1. Mengurangi nyeri dengan terapi
jika perlu farmakologis
2 Gangguan Luaran Utama: Persepsi Sensori Intervensi Utama: Minimalisasi Intervensi Utama: Minimalisasi
persepsi Setelah dilakukan tindakan Rangsangan Rangsangan
sensori keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi Observasi
berhubungan diharapkan persepsi sensori membaik 1. Periksa status mental, status 1. Mengetahui penilaian orientasi,
dengan dengan kriteria hasil: sensori dan tingkat kenyamanan tingkat nyeri dan keluhan fisik
gangguan 1. Verbalisasi mendengar bisikan (misalnya nyeri) lainnya.
pendengaran menurun (1-5)
28
2. Perilaku halusinasi menurun Terapeutik Terapeutik
(1-5) 1. Diskusikan tingkat toleransi 1. Mengetahui bahwa beban sensori
3. Melamun menurun terhadap beban sensori (misalnya yang besar seperti kebisingan dapat
4. Respon sesuai stimulus bising) memperburuk kondisi telinga yang
membaik sakit
2. Batasi stimulus lingkungan 2. Meminimalisasi rangsangan dapat
(misalnya suara, kebisingan) dilakukan dengan pemakaian
penutup telinga
Edukasi Edukasi
1. Ajarkan cara meminimalisasi 1. Memberikan pengetahuan tentang
stimulus (misalnya mengurangi penggunaan alat penutup telinga
kebisingan, membatasi untuk mengurangi rangsangan yang
kunjungan) berlebih
3. Risiko infeksi Luaran Utama: Tingkat Infeksi Intervensi Utama : pencegahan Intervensi Utama : pencegahan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan Infeksi Infeksi
dengan keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi Observasi
tindakan diharapkan tingkat infeksi menurun 1. Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Mengetahui gejala infeksi
invasif dengan kriteria hasil: local dan sistemik
1. Demam menurun
29
2. Kemerahan menurun Terapeutik Terapeutik
3. Nyeri menurun 1. Batasi jumlah pengunjung 1. Memberikan lingkungan yang
4. Bengkak menurun tenang dan nyaman
5. Kadar sel darah putih 2. Berikan perawatan luka 2. Mencegah infeksi
membaik 3. Cuci tangan sebelum dan 3. Mencegah infeksi dari luar
6. Kadar sel darah merah sesudah kontak dengan pasien
membaik dan lingkungan pasien
4. Pertahankan teknik aseptic 4. Menjaga kebersihan lingkungan
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 1. Meningkatkan pengetahuan pasien
tentang tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan 2. Menjaga kebersihan tangan
3. Anjurkan meningkatkan asupan 3. Memenuhi kebutuhan nutrisi
nutrisi sesuai anjuran RS atau
ahli
gizi
4. Resiko cedera Luaran Utama: Tingkat Cedera Intervensi Utama: Pencegahan Intervensi Utama: Pencegahan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan Cedera Cedera
dengan keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi Observasi
gangguan diharapkan tingkat cedera 1. Identifikasi area lingkungan 1. Mengidentifikasi area lingkungan
30
pendengaran menurun dengan kriteria hasil: yang berpotensi menyebabkan yang berpotensi menyebabkan
atau vertigo 1. Toleransi aktivitas cedera cedera
meningkat Terapeutik Terapeutik
2. Toleransi makanan 1. Sediakan pencahayaan yang 1. Agar dapat menunjukkan arah
meningkat memadai dalam melakukan aktivitas
3. Ekspresi wajah kesakitan 2. Pastikan barang-barang pribadi 2. Mempermudah pasien dalam
menurun mudah dijangkau menjangkau barang yang
4. Gangguan mobilitas diinginkan
menurun 3. Pertahankan posisi tempat tidur 3. Mengurangi risiko cedera saat
di posisi terendah saat posisi tidur
digunakan 4. Membantu pasien saat mobilitas
4. Diskusikan mengenai alat bantu
mobilitas yang sesuai (mis.
Tongkat atau alat bantu jalan) Edukasi
Edukasi 1. Untuk meminimalkan risiko cedera
1. Anjurkan berganti posisi secara akibat tubuh yang belum siap
perlahan dan duduk selama untuk
beberapa menit sebelum berdiri berdiri
31
5. Defisit Luaran Utama: Tingkat Intervensi Utama: Edukasi Intervensi Utama: Edukasi
pengetahuan pengetahuan Kesehatan Kesehatan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
dengan keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi kesiapan dan 1. Mengetahui tingkat kesiapan dan
kurang tingkat pengetahuan meningkat kemampuan menerima informasi pengetahuan pasien dan keluarga
terpapar dengan kriteria hasil: Terapeutik Terapeutik
informasi 1. Perilaku sesuai anjuran meningkat 1. Sediakan materi dan media 1. Mempermudah pemahaman
2. Kemampuan menjelaskan pendidikan kesehatan keluarga dan pasien
pengetahuan tentang suatu topik 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan 2. Mengatur waktu pemberian
meningkat sesuai kesepakatan pendidikan kesehatan
3. Perilaku sesuai dengan 3. Berikan kesempatan untuk 3. Mengetahui tingkat pemahaman
pengetahuan meningkat bertanya keluarga dan pasien
4. Persepsi yang keliru terhadap Edukasi Edukasi
masalah menurun 1. Jelaskan faktor risiko yang dapat 1. Meningkatkan tingkat pengetahuan
5. Perilaku membaik mempengaruhi kesehatan keluarga dan pasien
32
6. Ansietas Luaran Utama: Tingkat Intervensi Utama: Reduksi Intervensi Utama: Reduksi Ansietas
berhubungan Ansietas Ansietas
dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi : Observasi :
tindakan keperawatan selama 3 x 2 jam 1. Identifikasi saat tingkat ansietas 1. Mengetahui faktor yang
pembedahan diharapkan tingkat ansietas berubah (mis. Kondisi, waktu, mempengaruhi ansietas
menurun dengan kriteria hasil: stresor) 2. Mengetahui tingkat ansietas yang
1. Verbalisasi kebingungan 2. Monitor tanda-tanda ansietas dialami pasien
menurun Terapeutik : Terapeutik :
2. Verbalisasi khawatir 1. Ciptakan suasana terapeutik 1. Memberikan suasana yang
akibat kondisi yang untuk menumbuhkan nyaman dan aman
dihadapi menurun kepercayaan 2. Meminimalkan rasa cemas pasien
3. Perilaku gelisah menurun 2. Temani pasien untuk
4. Konsentrasi membaik mengurangi kecemasan 3. Dukungan dari bebarapa orang
5. Frekuensi nadi membaik (60 3. Dengarkan dengan penuh akan sangat membantu pasien
– 100 x/menit) perhatian
6. Pola napas membaik (16 – Edukasi : Edukasi :
20 x/menit) 1. Anjurkan keluarga untuk tetap 1. Peran serta keluarga sangat
7. Tekanan darah membaik bersama pasien membantu dalam menentukan
8. (Tekanan darah sistole (90 koping
33
-120 mmHg, tekanan 2. Anjurkan mengungkapkan 2. Dengan mengungkapkan perasaan
darah diastole (60 – 80 perasaan dan persepsi diharapkan dapat mengurangi
mmHg) rasacemasnya.
3. Latih kegiatan pengalihan 3. Meminimalkan rasa cemas pasien
untuk mengurangi ketegangan 4. Menurunkan stimulasi yang
4. Latih teknik relaksasi berlebihan dapat mengurangi
kecemasan
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian obat Menurunkan resiko terjadinya ansietas
antiansietas, jika perlu berlebih
34
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Perawat melaksanakan atau
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam
tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan
mencatat tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut
(Kozier et al., 2010).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan,
dalam konteks ini aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah
ketika klien dan professional kesehatan menentukan kemajuan kemajuan klien
menuju pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang
ditarik dari evaluasi menentukan apakah evaluasi keperawatan harus diakhiri,
dilanjutkan, atau dirubah (Kozier et al., 2010).
Format yang dapat digunakan untuk evaluasi keperawatan menurut
(Nursalam, 2008) yaitu format SOAP yang terdiri dari :
a. Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien. Pada pasien dengan
nyeri akut diharapkan pasien tidak mengeluh nyeri atau nyeri berkurang
b. Objektive, yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga. Pada
pasien dengan retensi urin indikator evaluasi menurut Moorhead et al.
(2013)
c. Analisys, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasaya ditulis dala
bentuk masalah keperawatan). Ketika menentukan apakah tujuan telah
tercapai, perawat dapat menarik satu dari tiga kemungkinan simpulan :
1) Tujuan tercapai; yaitu, respons klien sama dengan hasil yang diharapkan
2) Tujuan tercapai sebagian; yaitu hasil yang diharapkan hanya sebagian
yang berhasil dicapai (4 indikator evaluasi tercapai)
3) Tujuan tidak tercapai
d. Planning, yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan analog.
35
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
akut dan kronik paling sering terjadi pada bayi dan anak. Kelainan ini
menyebabkan eksudasi serosa (jika disebabkan oleh virus), tetapi dapat
menjadi supuratif jika terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab otitis media
akut disebabkan oleh masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah
yang normalnya steril. Gejala dapat bervariasi menurut beratnya infeksi, bisa
sangat ringan dan sementara atau sangat berat.
3.2. Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah sumber bacaan bagi mahasiswa
keperawatan khusus pada mata kuliah keperawatan medikal bedah.
36
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. Dan Joann C. Hackley. 2000. Buku Saku utuk Brunner dan
Suddart. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih Bahasa:
Waluyo Agung, Yasmin Asih, Juli, Kuncara, I Made Karyasa Jakarta:
EGC
Brunner and Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Djafaar ZA, Helmi, Restuti RD. 2012. Kelainan telinga tengah. Dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher FKUI.
Jakarta
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu.
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-. 6.
Jakarta
Robbins & Cotrans. Buku Saku Dasar Patologi penyakit. Cetakan 1. Jakarta:
EGC.
37
Williams, L & Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit.
Ahli Bahasa Paramita. Jakarta: PT, Indeks
38