SISTEM MUSKULOSKELETAL
B 15A
OLEH : KELOMPOK 5
Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul ”Manajemen Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Sistem Muskuloskeletal” ini disusun untuk memenuhi
tugas mahasiswa dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat di Stikes Wira Medika
Bali.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini dimasa mendatang.
Semoga asuhan keperawatan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan
sebagai bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan
pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
B. Etiologi
Menurut Peter Vi (2004), faktor penyebab keluhan muskuloskeletal antara lain:
1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja dimana
aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas mengangkat,
mendorong, menarik, menahan beban yang berat. Perawat melakukan aktivitas
yang dikategorikan membutuhkan tenaga yang besar, seperti mengangkat dan
memindahkan pasien serta merapikan tempat tidur (bed making). Mengangkat dan
memindahkan pasien dilakukan 5-20 pasien untuk setiap tugas bergilir yang
khusus. Saat bed making membungkuk dan mengharuskan untuk melakukan
peregangan saat memasang sprai ke tempat tidur (Sardewi, 2006).
2. Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Seperti
mencangkul, membelah kayu, angkat-angkat dan sebagainya. Perawat memiliki
aktivitas yang dilakukan berulang-ulangs seperti mengangkat dan memindahkan
pasien, melakukan bed making dan aktivitas kerja lainnya yang dilakukan setiap
hari secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relative lama.
3. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian -
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk dan sebagainya. Perawat adalah tenaga
medis yang 24 jam berada didekat pasien, kebutuhan dasar pasien harus
diperhatikan oleh seorang perawat. Tingginya aktivitas yang dilakukan perawat,
sehingga perawat tidak memperhatikan posisi tubuh yang baik saat melakukan
tindakan.
Selain itu terdapat faktor penyebab sekunder dari keluhan muskuloskeletal, yaitu:
1. Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak secara berulang-ulang
dapat menyebabkan nyeri yang menetap.
2. Getaran
Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah.
Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam
laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
3. Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan
kekuatan pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak
disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Perbedaan besar suhu yang besar antara
lingkungan dan suhu tubuh akan mengakibatkan sebagian energi yang ada didalam
tubuh akan diigunakan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan. Apabila hal ini
tidak diimbangi dengan asupan energi yang cukup, suplai energi di otot akan
menurun, terhambati proses metabolisme karbohidrat dan terjadinya penimbunan
asan laktat yang dapat menyebabkan nyeri otot.
3. Patofisiologi
Sindrom Kompartemen merupakan suatu kondisi kecacatan yang dapat
mengancam jiwa. Sindrom Kompartemen disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
operasi, balutan yang terlalu ketat, kecelakaan lain seperti luka bakar, luka tusuk,
luka tembak dan kejatuhan benda keras. Pada sindrom kompartemen terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal
yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler,
dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan
penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam
ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan
tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi
darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam
kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat dan
mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena
meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus,
yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Pada sindrom kompartemen tanda gejala yang biasanya muncul Pain (nyeri)
Pallor (pucat), Pulselesness ( berkurang atau hilangnya denyut nadi)Parestesia
(rasa kesemutan), Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan
dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain : Nekrosis
pada saraf dan otot dalam kompartemen, kontraktur volkam, merupakan
kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom
kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan
tangan karena adanya trauma pada lengan bawah,trauma vascular, gagal ginjal
akut, sepsis, actue respiratory distress syndrome (ARDS)
TRAUMA/EXCERCISE
4. Komplikasi
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001)sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan
penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
- Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
- Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawa.
- Trauma vascular
- Gagal ginjal akut
- Sepsis
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
5. Manifestasi klinis
Pada kompartemen sindrom, didapatkan tanda dan gejala yang dikenal dengan 7P,
yaitu:
a. Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir selalu ada. Biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang berat, dalam, terus-menerus, dan tidak
terlokalisir, serta kadang digambarakan lebih parah dari cedera yang ada.
Nyeri ini diperparah dengan meregangkan otot di dalam kompartemen dan
dapat tidak hilang dengan analgesik bahkan morfin. Penggunaan analgesia
kuat yang tidak beralasan dapat menyebabkan masking pada iskemia
kompartemenal.
b. Paresthesia (kesemutan) biasanya terjadi ketika diawal terjadinya
kompartemen sindrom karena penekanan pada saraf dan pembuluh darah di
dalam kompartemen.
c. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen
sindrom.
d. Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada pasien,
hal ini disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome jarang melebihi
tekanan arteri.
e. Pallor (pucat) dikarenakan terjadinya penurunan perfusi ke dalam daerah
kompartemen.
f. Puffiness atau kulit yang tegang, bengkak, dan terlihat mengkilat
g. Poikilotermia (kulit terasa dingin)
6. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis dibuat dengan melihat tanda dan gejala sindrom
kompartemen dan pengukuran tekanan secara langsung. Gejala terpenting pada
pasien yang sadar dan koheren adalah nyeri yang proporsinya tidak sesuai dengan
beratnya trauma. Nyeri pada regangan pasif juga merupakan gejala yang
mengarah pada compartment syndrome. Paresthesi berkenaan dengan saraf yang
melintang pada kompartemen yang bermasalah merupakan tanda lanjutan dari
compartment syndrome. Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas yang tegang dan
keras. Pallor dan pulselessness adalah tanda yang jarang jika tidak disertai cedera
vaskuler. Paralysis dan kelemahan motorik adalah tanda yang amat lanjut yang
mengarah pada compartment syndrome.
Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau jika data
objektif diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur. Cara ini paling
berguna jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien
politrauma, dan pasien dengan cedera kepala.
Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam membantu
menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan
pada pasien dengan penurunan kesadaran, pasien yang tidak kooperatif, seperti
anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple
trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer.
Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
injeksi atau wick kateter. Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain :
a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi
1) Teknik ini adalah kriteria diagnostik standar yang seharusnya menjadi
prioritas utama jika diagnosis masih dipertanyakan.
2) Alat yang dibutuhkan : spuitt 20 cc, three way tap, tabung intra vena,
normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur tekanan
darah. Pertama, atur spuit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai
saline sampai mengisi setengah tabung , tutup three way tap tahan
normal saline dalam tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak
sampai menginfiltrasi otot. Masukkan jarum 18 kedalam otot yang
diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka
three way tap. Ketiga, Dorong plunger dan tekanan akan meningkat
secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan kompartemen
tinggi, tekanan air raksa akan naik.
b. Wick kateter
1) Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot. Selanjutnya, tarik
jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik. Setelah itu,
balut wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi
system dengan normal saline yang mengandung heparine dan ukur
tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang
patensi kateter dengan tangan menekan pada otot. Hilangkan semua
tekanan external pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan
kompartemen, jika tekanan mencapai 30 mmHg, maka indikasi
dilakukan fasciotomi.
2) Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah
8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang
dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolik), tidak perlu
khawatir tentang sindroma kompartemen. sindroma kompartemen
dapat timbul jika tekanan dalam kompartemen lebih dari 10 mmHg.
8. Penanganan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju
bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi.
a. Terapi medikal/ non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
1) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan
aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi.
2) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
3) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
4) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
5) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol
dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema
seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan
mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
9. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mmHg maka tungkai cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi
jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.
Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan
lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan
resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat
berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu
segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit ( tanpa regangan )
atau dilakukan pencangkokan kulit.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :
a. Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
b. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma,
pasien dengan masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ),
dengan tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan
memiliki tekanan jaringan yang normal.
Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan
akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen
sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi
sindrom kompartemen. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam
terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom
kompartemen, pengukuran dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan
secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom
kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk mencegah
terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat
memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang
berpotensi mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur
selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi
kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.
Kompartemen sindrom dengan operasi fasciotomi
10. Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
b. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tanga, jari dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah
c. Trauma vascular
d. Gagal ginjal akut
e. Sepsis
f. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)
11. Perawatan Luka Post Fasciotomi
a. Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari
b. Kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,
c. Jika jaringan post op fasciotomi sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan),
atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan sendirinya.
NO DX TUJUAN INTERVENSI
3.1 Kesimpulan
Sistem muskuloskeletasl merupakan yang memberikan dukungan bagi
tubuh yang bertanggung jawab terhadap pergerakan yang terdiri dari otot
(muskulo) dan tulang tulang yang membentuk rangka (skelet) .
Musculoskeletal disorders (MSDs) adalah serangkaian gangguan yang
dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf, persendian yang menimbulkan
rasa nyeri dan ketidaknyamanan akibat dari aktifitas yang berulang-ulang
(repetitive) dalam jangka waktu yang lama. Faktor penyebab keluhan
muskuloskeletal antara lain peregangan otot yang berlebihan (over exertion),
aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah. Penyebab lain yang
berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal apabila dalam
melakukan tugas perawat di hadapkan pada beberapa factor risiko dalam
waktu yang bersamaan, yaitu umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
kesegaran jasmani, kekuatan fisik, ukuran tubuh.
Gangguan muskuloskeletal ditandai dengan adanya gejala sebagai
berikut yaitu : nyeri, bengkak, kemerah-merahan, panas, mati rasa retak atau
patah pada tulang dan sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan daya
koordinasi tangan, susah untuk digerakkan. Jenis-jenis keluhan
muskuloskeletal antara lain sakit leher, nyeri punggung, carpal tunnel
syndrome, thoracic outlet syndrome, tennis elbow, low back pain
3.2 Saran
Adapun saran yang penulis dapat berikan bagi pembaca, khususnya
mahasiswa keperawatan diharapkan mampu mengetahui, dan memahami
mengenai laporan pendahuluan pada sistem muskuloskeletal yang meliputi
konsep dasar sistem musculoskeletal dan konsep asuhan keperawatan pada
sistem muskuloskeletal serta dapat diaplikasikan pada praktik lapangan.
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Kompartemen merupakan suatu area di dalam tubuh dimana otot, syaraf, dan pembuluh darah
dibungkus oleh jaringan seperti tulang dan fasia (jaringan pembungkus organ). Kompartemen
sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah
ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali
terjadinya kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian jaringan. Dalam makalah ini dibahas
mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis , serta konsep asuhan keperawatan gawat
darurat untuk kompartemen sindrom.
B. Saran
Diharapkan pembaca dapat mebahami isi makalah ini dan dapat mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada pasien dengen kompartemen sindrom.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.2019. Kompartemen Sindrom.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sindroma_kompartemen. Diakses tanggal 13 April 2019
Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Diakses tanggal 13 April 2019.
Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at
http://www.emedicine.com. Diakses tanggal 13 April 2019.
Sadiah, Fitriah. 2019. Keperawatan Gawat Darurat Kompartemen Sidrom.
https://www.academia.edu/5699031/Kompartemen_fix. Diakses tanggal 18 April 2019
Asdie, Ahmad H. Harrison's. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4, Edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC.
Dambro. 2001. Griffith's 5 – Minutes Clinical Consult. USA: Lippincott Williams and
Wilkins.
Hidayat, Alimul Aziz. 2002. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika
Kalu DN, Masaro EJ. 2001. The Biology Of Aging, With Particular Reference To The
Musculoskeletal System.Clin Geriatri Med.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction Jogja
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika