Anda di halaman 1dari 45

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

SISTEM MUSKULOSKELETAL

B 15A
OLEH : KELOMPOK 5

NI WAYAN SUMADEWI ESTY ADHININGSIH 223221311


KETUT ARNAMI 223221319
NI PUTU IKA LISYAWATI 223221349
I GEDE PALGUNA 223221361

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


STIKES WIRA MEDIKA BALI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul ”Manajemen Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Sistem Muskuloskeletal” ini disusun untuk memenuhi
tugas mahasiswa dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat di Stikes Wira Medika
Bali.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini dimasa mendatang.
Semoga asuhan keperawatan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan
sebagai bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan
pembaca.

Denpasar, Januari 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat, sehingga peralatan sudah menjadi
kebutuhan pokok pada lapangan pekerjaan, artinya peralatan dan teknologi merupakan
salah satu penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas untuk
berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu,akan terjadi dampak negatifnya bila kita kurang
waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin akan timbul (Pusat Kesehatan
Kerja Departemen Kesehatan RI, 2010).
Hal ini tentunya dapat di cegah dengan adanya antisipasi berbagai risiko, antara
lain kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja, penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat menyebkan kecacataan dan kematian.
Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja,
proses kerja dan lingkungan kerja. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomi
(Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI, 2010).
Sikap kerja merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kenyamanan kerja.
Sikap kerja yang tidak sesuai dapat menyebabkan keluhan fisik seperti rasa nyeri pada
otot dan pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas.Dimana
keluhan tersebut sering digambarkan sebagai rasa kesemutan, rasa terbakar, mati rasa,
kekakuan, gangguan tidur dan rasa lemah (Humantech, 1995). Gangguan
muskuloskeletal yang muncul dapat merupakan akibat dari pekerjaan yang dilakukan
dan dipengaruhi oleh faktor - faktor resiko yang terbagi dalam empat kelompok yaitu
beban, postur, frekuensi dan durasi pekerjaan (Bridger,2003).
Gangguan muskuloskeletal dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja itu
sendiri dan bagi pengusaha. Bila kesehatan pekerja terganggu maka pekerja
menjadi tidak produktif sehingga tidak dapat bekerja dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Bagi perusahaan akan mengalami kerugian dikarenakan
hilangnya waktu kerja dan menurunnya produktifitas serta kualitas dari karyawan,
sehingga proses kerja akan terhambat dan tidak maksimal, selain itu harus
mengeluarkan biaya kompensasi pengobatan dan kerugian lainnya yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan timbulnya gangguan muskuloskeletal (CTD).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana konsep dasar sistem musculoskeletal
1.2.2 Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada sistem musculoskeletal dan
compartemen sindrome

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar sistem musculoskeletal dan kompartemen
syndrome
1.3.2 Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada sistem musculoskeletal dan
compartemen syndrome

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat teoritis dari penyusunan makalah ini agar mahasiswa memperoleh
pengetahuan tambahan dan dapat mengembangkan wawasan mengenai laporan
pendahuluan pada sistem muskuloskeletal.
1.4.2 Manfaat praktis dari penyusunan makalah ini agar para pembaca mengetahui
bagaimana cara untuk menyusun sebuah makalah mengenai laporan pendahuluan
pada sistem muskuloskeletal.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Gangguan Sistem Muskuloskeletal dan Kompartemen syndrome


A. Pengertian sistem musculoskeletal
Sistem musculoskeletal adalah sistem yang memberi dukungan tubuh dan
memungkinkan pergerakan bagi otot klien dengan gangguan sistem muskuloskeletal
(Suratun: 2008). Sistem musculoskeletal merupakan sistem tubuh yang teridiri dari otot
(muskulo) dan tulang tulang yang membentuk rangka (skelet) (Histologi Dasar
Anthony;2011). Sistem musculoskeletal juga dapat diartikan sebagai sistem penunjang
bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan ( anatomi dan fisiologi untuk
pemula. EGC;2004). Dapat disimpulkan sistem muskuloskeletasl merupakan yang
memberikan dukungan bagi tubuh yang bertanggung jawab terhadap pergerakan yang
terdiri dari otot (muskulo) dan tulang tulang yang membentuk rangka (skelet).
Keluhan muskuloskeletal atau gangguan otot rangka merupakan kerusakan pada
otot, saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis. Kerusakan
pada otot dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi. Sedangkan
kerusakan pada tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau terpelintir
(Merulalia, 2010).
Musculoskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang
disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus
dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan
pada sendi, ligamen dan tendon (Rizka, 2012).
Berdasarkan pada definisi yang telah diungkapkan dari beberapa sumber, dapat
disimpulkan bahwa musculoskeletal disorders (MSDs) adalah serangkaian gangguan
yang dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf, persendian yang menimbulkan rasa
nyeri dan ketidaknyamanan akibat dari aktifitas yang berulang-ulang (repetitive)
dalam jangka waktu yang lama.

B. Etiologi
Menurut Peter Vi (2004), faktor penyebab keluhan muskuloskeletal antara lain:
1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja dimana
aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas mengangkat,
mendorong, menarik, menahan beban yang berat. Perawat melakukan aktivitas
yang dikategorikan membutuhkan tenaga yang besar, seperti mengangkat dan
memindahkan pasien serta merapikan tempat tidur (bed making). Mengangkat dan
memindahkan pasien dilakukan 5-20 pasien untuk setiap tugas bergilir yang
khusus. Saat bed making membungkuk dan mengharuskan untuk melakukan
peregangan saat memasang sprai ke tempat tidur (Sardewi, 2006).
2. Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Seperti
mencangkul, membelah kayu, angkat-angkat dan sebagainya. Perawat memiliki
aktivitas yang dilakukan berulang-ulangs seperti mengangkat dan memindahkan
pasien, melakukan bed making dan aktivitas kerja lainnya yang dilakukan setiap
hari secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relative lama.
3. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian -
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk dan sebagainya. Perawat adalah tenaga
medis yang 24 jam berada didekat pasien, kebutuhan dasar pasien harus
diperhatikan oleh seorang perawat. Tingginya aktivitas yang dilakukan perawat,
sehingga perawat tidak memperhatikan posisi tubuh yang baik saat melakukan
tindakan.
Selain itu terdapat faktor penyebab sekunder dari keluhan muskuloskeletal, yaitu:
1. Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak secara berulang-ulang
dapat menyebabkan nyeri yang menetap.
2. Getaran
Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah.
Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam
laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
3. Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan
kekuatan pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak
disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Perbedaan besar suhu yang besar antara
lingkungan dan suhu tubuh akan mengakibatkan sebagian energi yang ada didalam
tubuh akan diigunakan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan. Apabila hal ini
tidak diimbangi dengan asupan energi yang cukup, suplai energi di otot akan
menurun, terhambati proses metabolisme karbohidrat dan terjadinya penimbunan
asan laktat yang dapat menyebabkan nyeri otot.

Penyebab lain yang berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal apabila


dalam melakukan tugas perawat dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu
yang bersamaan, yaitu:
1. Umur
Keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu pada usia 25 - 65
tahun. Keluhan biasanya akan mulai dirasakan pada usia 35 tahun dan akan semakin
meningkat semakin bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena pada usia setengah
baya, kekuatan dan ketahanan otot akan meningkat (dryastiti, 2013).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi ingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena
secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria. Prevalensi
sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan lebih menonjol pada wanita
dibandingkan pria (3:1) sehingga daya tahan otot wanita untuk bekerja lebih
rendah dibandingkan pria.
3. Kebiasaan merokok
Semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok, semakin tinggi pula
keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok dapat menurunkan kapasitas paru -
paru sehingga kemampuan untuk mengkosumsi oksigen menurun. Apabila perawat
denga kebiasaan merokok melakukan aktivitas kerja dengan beban kerja yang tinggi,
maka akan sangat mudak mengalami kelelahan otot.
4. Kesegaran jasmani
Keluahan otot jarang terjadi pada perawat yang memiliki waktu istirahat yang cukup,
tetapi perawat memiliki sistem kerja shift malam yang memungkinkan tidak
mendapat waktu istirahat yang cukup. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan
mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot.
5. Kekuatan fisik
Secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai
kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Apabila dengan
kekuatan otot yang sama, perawat diberikan beban kerja yang tinggi, maka
cenderung perawat yang memiliki kekuatan yang lebih rendah akan mengalami
cidera otot.
6. Ukuran tubuh
Keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh
kondisi keseimbangan struktur rangka didalam menerima beban, baik beban berat
tubuh maupun beban tambahan.

C. Tanda dan Gejala


Gangguan muskuloskeletal ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut yaitu :
nyeri, bengkak, kemerah-merahan, panas, mati rasa retak atau patah pada tulang dan
sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan daya koordinasi tangan, susah untuk
digerakkan. Gangguan muskuloskeletal diatas dapat menurunkan produktivitas kerja,
kehilangan waktu kerja, menimbulkan ketidakmampuan secara temporer atau cacat
tetap. Untuk memperoleh gambaran tentang gejala gangguan muskuloskeletal bisa
menggunakan Nordic Body Map (NBM) dengan cara melihat tingkat keluhan sakit dan
tidak sakit. Dengan melihat dan menganalisa peta tubuh (NBM) sehingga dapat
diestimasi tingkat dan jenis keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh para pekerja.
Gejala keluhan muskuloskeletal dapat menyerang secara cepat maupun lambat
(berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada tiga tahap terjadinya gangguan
muskuloskeletal yang dapat diidentifikasi yaitu:
1. Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak
berpengaruh pada kinerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat;
2. Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah
bekerja. Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan
berkurangnya performa kerja;
3. Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika
bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk
melakukan pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
D. Jenis-Jenis Gangguan Muskuloskeletal
Adanya gangguan muskuloskeletal yang diakibatkan oleh cidera pada saat bekerja
yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan cara bekerja. Sehingga menyebabkan
kerusakan pada otot, syaraf, tendon, persendian. Sedangkan arti gangguan
musculoskeletal sendiri adalah penyakit yang menimbulkan rasa nyeri berkepanjangan.
Gangguan musculoskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan dapat terjadi bilamana
ada ketidak cocokan antara kebutuhan fisik kerja dan kemampuan fisik tubuh manusia.
Jenis-jenis keluhan Keluhan muskuloskeletal antara lain :
a. Sakit Leher
Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang mengenai leher,
peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau kaku leher.
b. Nyeri Punggung
Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk gejala nyeri punggung
yang spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis, ataupun spasme otot.
c. Carpal Tunnel Syndrome
Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan pergelangan tangan yang
diakibatkan iritasi dan nervus medianus. Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas
berulang yang menyebabkan penekanan pada nervus medianus.
d. Thoracic Outlet Syndrome
Merupakan keadaan yang mempengaruhi bahu, lengan, dan tangan yang ditandai
dengan nyeri, kelemahan, dan mati rasa pada daerah tersebut. Terjadi jika lima saraf
utama dan dua arteri yang meninggalkan leher tertekan. Thoracic outlet syndrome
disebabkan oleh gerakan berulang dengan lengan diatas atau maju kedepan.
e. Tennis Elbow
Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon ekstensor, tendon yang berasal
dari siku lengan bawah dan berjalan keluar ke pergelangan tangan. Tenis elbow
disebabkan oleh gerakan berulang dan tekanan pada tendon ekstensor.

f. Low Back Pain


Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada daerah lumbal yaitu L4 dan L5.
Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan posisi tubuh membungkuk kedepan maka akan
terjadi penekanan pada discus. Hal ini berhubungan dengan posisi duduk yang
janggal, kursi yang tidak ergonomis, dan peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan
antatomi pekerja.
E. Pathway
F. Penilaian Awal Trauma Muskuloskeletal
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat
dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting,
oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini
dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
a. Fase Pra-Rumah Sakit
1) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian.
3) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
b. Fase Rumah Sakit
1) Perencanaan sebelum penderita tib
2) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat
yang mudah dijangkau
3) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada
tempat yang mudah dijangkau
4) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila
sewaktu-waktu dibutuhkan.
5) Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah
sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma
akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan
prioritas penanganan lebih dahulu.
3. Primary survey (ABCDE)
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau
perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak,
pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel
darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada
wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas
Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-
tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.
4. Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa
dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3,
tabel 3 dan tabel 4 )
2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta
awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan
awal.
1) Respon cepat
a) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
b) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian
darah
c) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
d) Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
2) Respon Sementara
a) Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
b) Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
c) Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
3) Tanpa respon
a) Konsultasikan pada ahli bedah
b) Perlu tindakan operatif sangat segera
c) Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung
atau kontusio miokard
d) Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
5. Secondary survey
G. Trauma Muskuloskeletal Yang Mengancam Jiwa
1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a. Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur
sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic
ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek
system, arteri iliakainterna (trauma komprresi anterior-posterior). Pada
tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan
yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis
rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan system
vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis mendesak ke
arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan trauma uretra atau buli-
buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi.
Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom
yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda
trauma pelvicring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah
pelvix (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate
(prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya
instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan
manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan
ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai ( biasanya rotasi
eksternal ) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila penderita
sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan
klinis.
c. Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan
penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian
perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan
eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk
stabilisasi pelvissebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau
traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat
ditambah denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi
sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Cara-
cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka
dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk
menghentikan perdarahan.
2. Perdarahan Besar Arterial
a. Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul
yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek
arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau
perdarahan di dalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya
pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan
perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran
darah arteri. Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya
trauma vaskuler.
c. Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi
cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana
mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular
ditempat perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali
pembuluh darahnya terletak disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika
fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan
dipasang bidai serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan
penunjang yang lain baru dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan
hemodinamik normal.
3. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )
a. Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang
jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi
akibatcrush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis.
Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan
mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila
diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat menyebabkan
hipovodemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC
(Disseminated intravascular coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal
dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah
dengan pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isis
tubulus dan aliran urine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine
100ml/jam sampai bebas dari mioglobinuria.

H. Trauma Yang Mengancam Muskuloskeletal


1. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a. Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar.
Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka
mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.
b. Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas
yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakaan
luas otot serta kontaminasi. Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus
dianggap luka ini berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan
konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau
cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak.
Cara terbaik membuktikan luka terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi
bedah dan pembersihan luka.
c. Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau
tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan
imobilisasi. Penderita segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik
sedapat mungkinstabil. Profilaksis tetanus segera diberikan.
2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik
a. Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang
menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus
ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal
dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index
abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan
nadi tidak teraba.
b. Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan
segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa
oksigen.Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan
aliran darah padaekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan
vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan
memasang bidai. Iskemia menimbulkan nyeri hebat dan konsisten. Amputasi
traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan
kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah.
Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf
dankerusakan otot mungkin memerlukan amputasi.Penderita dengan trauma
multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawatdarurat bukan
kandidat untuk reimplantasi. Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan
isotonic dan dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan penisilin (100.000 unit
dalam 50 ml RL ) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini
dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama
penderita.
3. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi
a. Trauma
Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan
hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian. Kembalinya
fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara
cepat.
b. Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan
trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis yang
progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan
deformitas dari musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja
sama penderita. Setiap saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan
sensorik perlu diperiksa secara sistematik.
c. Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan
konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi
dan ekstremitas dipasang bidai.
4. Trauma Ekstremitas Yang Lain
a. Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika
laserasi meluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk
membersihkan luka dan memeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak.
Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi
menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Kontusio diobati
dengan kistirahat dan pemakaian kompresdingin pada fase awal.
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi anatomi
normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam
muskuloskeletal, walaupun dapat menurunkan fungsi musculoskeletal.
Biasanya ditemukan adanya gaya abnormal terhadap sebagian contoh
tekanan terhadap bagian anterior yang mendorong kebelakang, tekanan
terhadap bagian lateral tungkai yang menimbulkan regangan valgus pada
lutut atau dengan lengan ekstensi sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi
siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan
gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan
gerakan abnormal ditempat fraktur kadang-kadang dilakukan untuk
memastikn diagnosis,tetapi hal ini dapat menambah sangat nyeri
kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan,nyeri tekan dan deformitas
biasanya cukup untuk membuat diagnosis fraktur. Mempertimbangkan status
hemodinamik pasien, foto rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah
tulang yang fraktur,untuk menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.

I. Pengertian Kompartemen Syndrome


Kompartemen merupakan suatu area di dalam tubuh dimana otot, syaraf, dan
pembuluh darah dibungkus oleh jaringan seperti tulang dan fasia (jaringan
pembungkus organ). Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali terjadinya
kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian jaringan.
Menurut Salter, kompartemen sindrom adalah peningkatan tekanan dari suatu
edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan bawah
maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang secara
anatomis menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen
sehingga dapat menyebabkan kerusakkan jaringan intrakompartemen.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Kompartemen sindrom ditandai dengan nyeri yang
hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi
sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering disebabkan
oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
2. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
a. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
1) Penutupan defek fascia
2) Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
b. Peningkatan tekanan eksternal
1) Balutan yang terlalu ketat
2) Berbaring di atas lengan
3) Gips
c. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
1) Pendarahan atau Trauma vaskuler
2) Peningkatan permeabilitas kapiler
3) Penggunaan otot yang berlebihan
4) Luka bakar
5) Operasi
6) Gigitan ular
7) Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota
gerak bawah.
Menurut ( Petrus Aprianto, 2017)klasifikasi syndrome kompartemen dibagi
menjadi 2 yaitu sebagai berikut :
a. Sindrom Kompartemen Akut
Pasien merasakan nyeri yang tidak sesuai dengan cedera danpembengkakan atau
nyeri di daerah tersebut. Gejala lain termasuk nyeri hebat dengan gerakan pasif
otot dalam kompartemen, hilangnya gerakan sadar pada otot yang terlibat, dan
perubahan sensorik serta parestesia di daerah yang dipersarafi oleh saraf yang
terlibat.
b. Sindrom Kompartemen kronik
Pada sindrom kompartemen kronik, gejala mulai secara bertahap,
biasanya dengan peningkatan beban latihan atau latihan pada permukaan keras.
Rasa sakit digambarkan sebagai nyeri, terbakar, atau kram dan terjadi pada
gerakan berulang, paling sering berlari namun juga pada menari, bersepeda, dan
hiking. Rasa sakit biasanya terjadi pada sekitar waktu yang sama setiap kali
pasien berpartisipasi dalam kegiatan ini (misalnya, setelah 15 menit berlari) dan
bertambah atau tetap konstan jika aktivitas terus berlangsung. Rasa sakit
menghilang atau berkurang setelah beberapa menit istirahat.
Pada gejala yang berlanjut, sakit nyeri tumpul dapat menetap. Nyeri dapat
terlokalisir pada kompartemen tertentu, meskipun beberapa kompartemen sering
dapat terlibat. Rasa baal dan kesemutan dapat terjadi pada saraf yang terdapat di
dalam kompartemen yang terlibat. Sindrom kompartemen kronik dapat dilihat
pada sindrom berlebihan lainnya (misalnya, bersamaan dengan stres pada fraktur
tibia)

3. Patofisiologi
Sindrom Kompartemen merupakan suatu kondisi kecacatan yang dapat
mengancam jiwa. Sindrom Kompartemen disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
operasi, balutan yang terlalu ketat, kecelakaan lain seperti luka bakar, luka tusuk,
luka tembak dan kejatuhan benda keras. Pada sindrom kompartemen terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal
yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler,
dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan
penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam
ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan
tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi
darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam
kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat dan
mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena
meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus,
yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Pada sindrom kompartemen tanda gejala yang biasanya muncul Pain (nyeri)
Pallor (pucat), Pulselesness ( berkurang atau hilangnya denyut nadi)Parestesia
(rasa kesemutan), Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan
dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain : Nekrosis
pada saraf dan otot dalam kompartemen, kontraktur volkam, merupakan
kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom
kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan
tangan karena adanya trauma pada lengan bawah,trauma vascular, gagal ginjal
akut, sepsis, actue respiratory distress syndrome (ARDS)
TRAUMA/EXCERCISE

Lingkaran setan patofisiologi kompartemen sindrom

4. Komplikasi
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001)sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan
penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
- Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
- Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawa.
- Trauma vascular
- Gagal ginjal akut
- Sepsis
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
5. Manifestasi klinis
Pada kompartemen sindrom, didapatkan tanda dan gejala yang dikenal dengan 7P,
yaitu:
a. Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir selalu ada. Biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang berat, dalam, terus-menerus, dan tidak
terlokalisir, serta kadang digambarakan lebih parah dari cedera yang ada.
Nyeri ini diperparah dengan meregangkan otot di dalam kompartemen dan
dapat tidak hilang dengan analgesik bahkan morfin. Penggunaan analgesia
kuat yang tidak beralasan dapat menyebabkan masking pada iskemia
kompartemenal.
b. Paresthesia (kesemutan) biasanya terjadi ketika diawal terjadinya
kompartemen sindrom karena penekanan pada saraf dan pembuluh darah di
dalam kompartemen.
c. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen
sindrom.
d. Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada pasien,
hal ini disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome jarang melebihi
tekanan arteri.
e. Pallor (pucat) dikarenakan terjadinya penurunan perfusi ke dalam daerah
kompartemen.
f. Puffiness atau kulit yang tegang, bengkak, dan terlihat mengkilat
g. Poikilotermia (kulit terasa dingin)

6. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis dibuat dengan melihat tanda dan gejala sindrom
kompartemen dan pengukuran tekanan secara langsung. Gejala terpenting pada
pasien yang sadar dan koheren adalah nyeri yang proporsinya tidak sesuai dengan
beratnya trauma. Nyeri pada regangan pasif juga merupakan gejala yang
mengarah pada compartment syndrome. Paresthesi berkenaan dengan saraf yang
melintang pada kompartemen yang bermasalah merupakan tanda lanjutan dari
compartment syndrome. Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas yang tegang dan
keras. Pallor dan pulselessness adalah tanda yang jarang jika tidak disertai cedera
vaskuler. Paralysis dan kelemahan motorik adalah tanda yang amat lanjut yang
mengarah pada compartment syndrome.
Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau jika data
objektif diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur. Cara ini paling
berguna jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien
politrauma, dan pasien dengan cedera kepala.
Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam membantu
menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan
pada pasien dengan penurunan kesadaran, pasien yang tidak kooperatif, seperti
anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple
trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer.
Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
injeksi atau wick kateter. Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain :
a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi
1) Teknik ini adalah kriteria diagnostik standar yang seharusnya menjadi
prioritas utama jika diagnosis masih dipertanyakan.
2) Alat yang dibutuhkan : spuitt 20 cc, three way tap, tabung intra vena,
normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur tekanan
darah. Pertama, atur spuit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai
saline sampai mengisi setengah tabung , tutup three way tap tahan
normal saline dalam tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak
sampai menginfiltrasi otot. Masukkan jarum 18 kedalam otot yang
diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka
three way tap. Ketiga, Dorong plunger dan tekanan akan meningkat
secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan kompartemen
tinggi, tekanan air raksa akan naik.
b. Wick kateter
1) Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot. Selanjutnya, tarik
jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik. Setelah itu,
balut wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi
system dengan normal saline yang mengandung heparine dan ukur
tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang
patensi kateter dengan tangan menekan pada otot. Hilangkan semua
tekanan external pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan
kompartemen, jika tekanan mencapai 30 mmHg, maka indikasi
dilakukan fasciotomi.
2) Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah
8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang
dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolik), tidak perlu
khawatir tentang sindroma kompartemen. sindroma kompartemen
dapat timbul jika tekanan dalam kompartemen lebih dari 10 mmHg.

Pengukuran tekanan kompartemen


7. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
1) Comprehensive Metabolic Panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan keseimbangan
kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada semua proses fisik dan
kimia dalam tubuh yang menggunakan energi.
2) Complete Blood Cell Count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin,
Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet), Eritrosit
(Red Blood Cell / RBC), Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap
Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), Hitung Jenis Leukosit (Diff
Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell Distribution Width (RDW).
3) Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila
pasien diberi heparin
4) Cardiac marker test (tes penanda jantung)
5) Urinalisis and urine drug screen
6) Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat
7) Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
b. Imaging
1) Rontgen pada ekstrimitas yang terkena
2) USG, membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT)
3) MRI

8. Penanganan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju
bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi.
a. Terapi medikal/ non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
1) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan
aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi.
2) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
3) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
4) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
5) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol
dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema
seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan
mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.

9. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mmHg maka tungkai cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi
jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.
Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan
lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan
resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat
berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu
segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit ( tanpa regangan )
atau dilakukan pencangkokan kulit.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :
a. Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
b. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma,
pasien dengan masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ),
dengan tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan
memiliki tekanan jaringan yang normal.
Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan
akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen
sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi
sindrom kompartemen. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam
terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom
kompartemen, pengukuran dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan
secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom
kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk mencegah
terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat
memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang
berpotensi mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur
selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi
kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.
Kompartemen sindrom dengan operasi fasciotomi

10. Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
b. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tanga, jari dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah
c. Trauma vascular
d. Gagal ginjal akut
e. Sepsis
f. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)
11. Perawatan Luka Post Fasciotomi
a. Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari
b. Kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,
c. Jika jaringan post op fasciotomi sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan),
atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan sendirinya.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Sistem Muskuloskeletal dan Kompartemen


Syndrome
A. Pengkajian
1. Pengkajian pada pasien trauma sistem muskuluskeletal meliputi nama, umur,
pekerjaan dan jenis kelamin.
2. Keluhan Utama :Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal biasa
mengeluhkan nyeri, nyeri yang sering dirasakan adalah nyeri tajam dan
keluhan semakin parah jika ada pergerakan. Meskipun demikian keluhan nyeri
pada tulang biasanya tumpul dan dalam yang juga mengakibatkan gangguan
pergerakan.
3. Riwayat Penyakit :
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal mengidentifikasikan
rasa nyeri, kejang atau kekakuan yang dirasakan pada saat mengalami
trauma .
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien atau penderita mengidentifikasikan atau menjelaskan awal terjadinya
trauma sistem muskuloskeletal.
c. Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien atau penderita menjelaskan ada anggota keluarga yang pernah
mengalami kejadian yang sama seperti dirinya atau tidak.
4. Pemeriksaan Fisik :
Seluruh pakaian penderita harus dibuka agar dapat dilakukan pemeriksaan
yang baik. Pemeriksaan penderita cedera ekskremitas mempunyai 3 tujuan :
menemukan masalah mengancam jiwa (primary survey), menemukan masalah
yang mengancam ekstremitas (secondary survey), dan pemerikasaan tulang
secara sistematis untuk menghindari luputnya trauma muskuloskeletal yang
lain (re-evaluasi berlanjut). Pemeriksaan fisik pada trauma sistem
muskuluskletal merupakan pengumpulan data tentang kondisi system dan
kemampuan fungsional diperoleh melalui inspeksi, palpasi dan pengukuran
sebagai berikut :
a. Skeletal
1) Catat penyimpangan dari structur normal menjadi defrmitas tulang,
perbedaan panjang, bentuk, amputasi
2) Identifikasi pergerakan abnormal dan krepitasi
b. Sendi
1) Identifikasi bengkak yang dapat menunjukkan adanya inflamasi atau
effuse
2) Catat deformiotas yang berhubungan dengan kontraktur atau dislokasi
3) Evaluasi stabilitas yang mungkin berubah
4) Gambarkan rom baik aktif maupun pasif
c. Otot
1) Inspeksi ukuran dan contour otot
2) Kaji koordinasi gerakan
3) Palpasi tonus otot
4) Kaji kekuatan otot baik dengan evaluasi sepintas dengan jabat tangan
atau dengan mengukur skala criteria yaitu 0 untuk tidak ada kontraksi
sampai 5 = normal rom dapat melawan penuh gaya gravitasi
5) Ukur lingkar untuk mencatat peningkatan pembengkakan atau
perdarahan atau pengecilan karena atropi.
6) identifikasi klonus yang abnormal
d. Neurovaskuler
1) Kaji ststus sirkulasi pada extremitas dengan mencatat warna kulit, suhu,
nadi perifer, capillary refill, nyeri
2) Kaji status neurology
3) Tes reflek
4) Catat penyebaan rambut dan keadaan kuku
e. Kulit
1) inspeksi truma injury (luka, memar)
2) kaji kondisi kronis (dermatitis, stasis ulcer)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kekakuan sendi

3. Gangguan Integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanis (penekanan pada


tonjolan tulang)

4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculockeletal

5. Resiko perfusi perfifer tidak efektif berhubungan dengan trauma


C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DX TUJUAN INTERVENSI

1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238)


berhubungan dengan intervensi
agen pencedera fisik keperawatan selama 3 Observasi
x 24 jam, maka  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
tingkat nyeri nyeri
menurun, dengan  Identifikasi skala nyeri
kriteria hasil:  Idenfitikasi respon nyeri non verbal
1. Keluhan nyeri  Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
2. Meringis Terapeutik
menurun  Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS,
3. Sikap protektif hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
menurun aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
4. Gelisah terapi bermain)
menurun  Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
 Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2 Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi (I.05173)


Fisik berhubungan intervensi
dengan kekakuan keperawatan selama 3 Observasi
sendi x 24 jam, maka  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
mobilitas fisik  Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
meningkat, dengan  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
kriteria hasil:  Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
1. Pergerakan Terapeutik
ekstremitas  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis: pagar tempat tidur)
meningkat  Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
2. Kekuatan  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
otot pergerakan
meningkat Edukasi
3. Rentang  Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
gerak  Anjurkan melakukan mobilisasi dini
(ROM)  Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis: duduk di tempat
meningkat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)

3 Gangguan Integritas etelah dilakukan Perawatan Luka (I.14564)


jaringan berhubungan intervensi
Observasi
dengan faktor mekanis keperawatan selama 3
 Monitor karakteristik luka (mis: drainase, warna, ukuran , bau)
(penekanan pada x 24 jam, maka
 Monitor tanda-tanda infeksi
tonjolan tulang) integritas
Terapeutik
kulitmeningkat,
 Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
dengan kriteria hasil:
 Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
1. Kerusakan
 Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik, sesuai
jaringan
kebutuhan
kulit
 Bersihkan jaringan nekrotik
menurun
 Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahankan Teknik steril saat melakukan perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien
 Berikan diet dengan kalori 30 – 35 kkal/kgBB/hari dan protein 1,25 – 1,5
g/kgBB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis: vitamin A, vitamin C, Zinc,
asam amino), sesuai indikasi
 Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transcutaneous), jika perlu
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement (mis: enzimatik, biologis, mekanis,
autolitik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

4 Defisit perawatan diri Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri (I.11348)


berhubungan dengan intervensi
gangguan Observasi
keperawatan selama 3
 Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
musculockeletal x 24 jam, maka
 Monitor tingkat kemandirian
perawatan diri
 Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan
meningkat, dengan
makan
kriteria hasil:
Terapeutik
1. Kemampuan
 Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis: suasana hangat, rileks, privasi)
mandi
 Siapkan keperluan pribadi (mis: parfum sikat gigi, dan sabun mandi)
meningkat
 Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
2. Kemampuan
 Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
mengenakan
 Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan perawatan diri
pakaian
 Jadwalkan rutinitas perawatan diri
meningkat
Edukasi
3. Kemampuan
 Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan
makan
meningkat
4. Kemampuan
ke toilet
(BAB/BAK)
meningkat

5 Resiko perfusi perfifer Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi (I.02079)


tidak efektif intervensi
Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama 3
 Periksa sirkulasi perifer (mis: nadi perifer, edema, pengisian kapiler,
trauma x 24 jam, maka
warna, suhu, ankle-brachial index)
perfusi perifer
 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis: diabetes, perokok,
meningkat, dengan
orang tua, hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)
kriteria hasil:
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
1. Kekuatan
Terapeutik
nadi perifer
 Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di area keterbatasan
meningkat
2. Warna kulit perfusi
pucat  Hindaripengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan
menurun perfusi
3. Pengisian  Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang cidera
kapiler  Lakukan pencegahan infeksi
membaik  Lakukan perawatan kaki dan kuku
4. Akral  Lakukan hidrasi
membaik Edukasi
5. Turgor kulit  Anjurkan berhenti merokok
membaik  Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan
penurun kolesterol, jika perlu
 Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
 Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
 Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis: melembabkan kulit
kering pada kaki)
D. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang meliputi tindakan- tindakan yang direncanakan oleh
perawat yang diberikan pada klien. Pelaksanaan tindakan pada klien dengan
gangguan sistem integumen diperlukan untuk meminimalkan terjadinya
komplikasi, perluasan area yang terjadi ulkus. Untuk keberhasilan tindakan
maka diperlukan partisipasi dari klien dan kelurga (Aziz, H. 2002).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses keperawatan yang menyangkut pengumpulan data
subyetif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelaksanaan
keperawatan sudah tercapai atau belum, masalah apa yang perlu dipecahkan
atau dikaji, direncanakan atau dinilai kembali. Evaluasi bertujuan
memberikan umpan balik terhadap rencana keperawatan yang disusun.
Penilaian dilakukan oleh perawat, klien dan juga teman sejawat. Penilaian ini
memberikan kemungkinan yaitu masalah teratasi, masalah teratasi sebagian,
masalah belum teratasi, dan muncul masalah baru. Ini bermanfaat untuk
mengadakan perubahan, perbaikan rencana keperawatan sehingga tindakan
keperawatan dapat dimodifikasi (Nursalam, 2003).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem muskuloskeletasl merupakan yang memberikan dukungan bagi
tubuh yang bertanggung jawab terhadap pergerakan yang terdiri dari otot
(muskulo) dan tulang tulang yang membentuk rangka (skelet) .
Musculoskeletal disorders (MSDs) adalah serangkaian gangguan yang
dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf, persendian yang menimbulkan
rasa nyeri dan ketidaknyamanan akibat dari aktifitas yang berulang-ulang
(repetitive) dalam jangka waktu yang lama. Faktor penyebab keluhan
muskuloskeletal antara lain peregangan otot yang berlebihan (over exertion),
aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah. Penyebab lain yang
berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal apabila dalam
melakukan tugas perawat di hadapkan pada beberapa factor risiko dalam
waktu yang bersamaan, yaitu umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
kesegaran jasmani, kekuatan fisik, ukuran tubuh.
Gangguan muskuloskeletal ditandai dengan adanya gejala sebagai
berikut yaitu : nyeri, bengkak, kemerah-merahan, panas, mati rasa retak atau
patah pada tulang dan sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan daya
koordinasi tangan, susah untuk digerakkan. Jenis-jenis keluhan
muskuloskeletal antara lain sakit leher, nyeri punggung, carpal tunnel
syndrome, thoracic outlet syndrome, tennis elbow, low back pain

3.2 Saran
Adapun saran yang penulis dapat berikan bagi pembaca, khususnya
mahasiswa keperawatan diharapkan mampu mengetahui, dan memahami
mengenai laporan pendahuluan pada sistem muskuloskeletal yang meliputi
konsep dasar sistem musculoskeletal dan konsep asuhan keperawatan pada
sistem muskuloskeletal serta dapat diaplikasikan pada praktik lapangan.
BAB III PENUTUP

A. Simpulan

Kompartemen merupakan suatu area di dalam tubuh dimana otot, syaraf, dan pembuluh darah
dibungkus oleh jaringan seperti tulang dan fasia (jaringan pembungkus organ). Kompartemen
sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah
ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali
terjadinya kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian jaringan. Dalam makalah ini dibahas
mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis , serta konsep asuhan keperawatan gawat
darurat untuk kompartemen sindrom.

B. Saran
Diharapkan pembaca dapat mebahami isi makalah ini dan dapat mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada pasien dengen kompartemen sindrom.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.2019. Kompartemen Sindrom.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sindroma_kompartemen. Diakses tanggal 13 April 2019
Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Diakses tanggal 13 April 2019.
Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at
http://www.emedicine.com. Diakses tanggal 13 April 2019.
Sadiah, Fitriah. 2019. Keperawatan Gawat Darurat Kompartemen Sidrom.
https://www.academia.edu/5699031/Kompartemen_fix. Diakses tanggal 18 April 2019

Asdie, Ahmad H. Harrison's. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4, Edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC.
Dambro. 2001. Griffith's 5 – Minutes Clinical Consult. USA: Lippincott Williams and
Wilkins.
Hidayat, Alimul Aziz. 2002. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika

Kalu DN, Masaro EJ. 2001. The Biology Of Aging, With Particular Reference To The
Musculoskeletal System.Clin Geriatri Med.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction Jogja

Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai