Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH KELOMPOK II

I PUTU ADITYA WARDANA (183222916)

KADEK AYU DWI CESIARINI (183222917)

NI LUH PUTU EVA BUDIANTINI (183222918)

LUH PUTU RATIH ARTASARI (183222919)

MADE SURYA MAHARDIKA (183222920)

NI NENGAH JUNIARTI (183222921)

NI KADEK RAI WIDIASTUTI (183222922)

NI KADEK SINTHA YULIANA SARI (183222923)

NI KADEK YOPI ANITA (183222924)

NI KETUT ARI PRATIWI (183222925)

NI KETUT NANIK ASTARI (183222926)

NI KETUT VERA PARASYANTI (183222927)

STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI

PROGRAM ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul ”Laporan Pendahuluan
Sistem Muskuloskeletal” ini disusun untuk memenuhi tugas mahasiswa dari mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat di Stikes Wira Medika PPNI Bali.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini dimasa mendatang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan
untuk menambah pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan pembaca.

Denpasar, April 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................ 2
BAB II Pembahasan
2.1 Konsep Dasar Sistem Muskuloskeletal ................................................ 3
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Sistem Muskuloskeletal .............. 18
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 28
3.2 Saran ..................................................................................................... 28
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat, sehingga peralatan sudah
menjadi kebutuhan pokok pada lapangan pekerjaan, artinya peralatan dan teknologi
merupakan salah satu penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas untuk berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu,akan terjadi dampak
negatifnya bila kita kurang waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin
akan timbul (Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI, 2010).
Hal ini tentunya dapat di cegah dengan adanya antisipasi berbagai risiko, antara
lain kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja, penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat menyebkan kecacataan
dan kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak dengan cara
penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Pendekatan ini
dikenal sebagai pendekatan ergonomi (Pusat Kesehatan Kerja Departemen
Kesehatan RI, 2010).
Sikap kerja merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kenyamanan
kerja. Sikap kerja yang tidak sesuai dapat menyebabkan keluhan fisik seperti rasa
nyeri pada otot dan pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas.Dimana keluhan tersebut sering digambarkan sebagai rasa kesemutan,
rasa terbakar, mati rasa, kekakuan, gangguan tidur dan rasa lemah (Humantech,
1995).Gangguan muskuloskeletal yang muncul dapat merupakan akibat dari
pekerjaan yang dilakukan dan dipengaruhi oleh faktor - faktor resiko yang terbagi
dalam empat kelompok yaitu beban, postur, frekuensi dan durasi pekerjaan
(Bridger,2003).
Gangguan muskuloskeletal dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja itu
sendiri dan bagi pengusaha. Bila kesehatan pekerja terganggu maka pekerja
menjadi tidak produktif sehingga tidak dapat bekerja dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi perusahaan akan mengalami kerugian
dikarenakan hilangnya waktu kerja dan menurunnya produktifitas serta kualitas dari
karyawan, sehingga proses kerja akan terhambat dan tidak maksimal, selain

1
itu harus mengeluarkan biaya kompensasi pengobatan dan kerugian lainnya yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan timbulnya gangguan
muskuloskeletal (CTD).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana konsep dasar sistem musculoskeletal
1.2.2 Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada sistem muskuloskeletal
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar sistem musculoskeletal
1.3.2 Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada sistem muskuloskeletal
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat teoritis dari penyusunan makalah ini agar mahasiswa memperoleh
pengetahuan tambahan dan dapat mengembangkan wawasan mengenai laporan
pendahuluan pada sistem muskuloskeletal.
1.4.2 Manfaat praktis dari penyusunan makalah ini agar para pembaca mengetahui
bagaimana cara untuk menyusun sebuah makalah mengenai laporan
pendahuluan pada sistem muskuloskeletal.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Gangguan Sistem Muskuloskeletal


A. Pengertian
Sistem musculoskeletal adalah sistem yang memberi dukungan tubuh dan
memungkinkan pergerakan bagi otot klien dengan gangguan sistem muskuloskeletal
(Suratun: 2008). Sistem musculoskeletal merupakan sistem tubuh yang teridiri dari otot
(muskulo) dan tulang tulang yang membentuk rangka (skelet) (Histologi Dasar
Anthony;2011). Sistem musculoskeletal juga dapat diartikan sebagai sistem penunjang
bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan ( anatomi dan fisiologi untuk
pemula. EGC;2004). Dapat disimpulkan sistem muskuloskeletasl merupakan yang
memberikan dukungan bagi tubuh yang bertanggung jawab terhadap pergerakan yang
terdiri dari otot (muskulo) dan tulang tulang yang membentuk rangka (skelet).
Keluhan muskuloskeletal atau gangguan otot rangka merupakan kerusakan
pada otot, saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis.
Kerusakan pada otot dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi.
Sedangkan kerusakan pada tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau
terpelintir (Merulalia, 2010).
Musculoskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang
disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus
dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan
pada sendi, ligamen dan tendon (Rizka, 2012).
Berdasarkan pada definisi yang telah diungkapkan dari beberapa sumber, dapat
disimpulkan bahwa musculoskeletal disorders (MSDs) adalah serangkaian gangguan
yang dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf, persendian yang menimbulkan rasa
nyeri dan ketidaknyamanan akibat dari aktifitas yang berulang-ulang (repetitive)
dalam jangka waktu yang lama.

3
B. Etiologi
Menurut Peter Vi (2004), faktor penyebab keluhan muskuloskeletal antara lain:
1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja
dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik, menahan beban yang berat. Perawat
melakukan aktivitas yang dikategorikan membutuhkan tenaga yang besar,
seperti mengangkat dan memindahkan pasien serta merapikan tempat tidur
(bed making).Mengangkat dan memindahkan pasien dilakukan 5-20 pasien
untuk setiap tugas bergilir yang khusus. Saat bed making membungkuk dan
mengharuskan untuk melakukan peregangan saat memasang sprai ke tempat tidur
(Sardewi, 2006).
2. Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus.
Seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkat dan sebagainya.
Perawat memiliki aktivitas yang dilakukan berulang-ulangs seperti mengangkat
dan memindahkan pasien, melakukan bed making dan aktivitas kerja lainnya
yang dilakukan setiap hari secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relative
lama.
3. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan
sebagainya. Perawat adalah tenaga medis yang 24 jam berada di dekat pasien,
kebutuhan dasar pasien harus diperhatikan oleh seorang perawat. Tingginya
aktivitas yang dilakukan perawat, sehingga perawat tidak memperhatikan posisi
tubuh yang baik saat melakukan tindakan.
Selain itu terdapat factor penyebab sekunder dari keluhan muskuloskeletal
yaitu:
1. Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak secara berulang-
ulang dapat menyebabkan nyeri yang menetap.

4
2. Getaran
Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
3. Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan
dan kekuatan pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak
disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Perbedaan besar suhu yang besar antara
lingkungan dan suhu tubuh akan mengakibatkan sebagian energi yang ada di
dalam tubuh akan diigunakan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan.
Apabila hal ini tidak diimbangi dengan asupan energi yang cukup, suplai energi di
otot akan menurun, terhambati proses metabolisme karbohidrat dan
terjadinya penimbunan asan laktat yang dapat menyebabkan nyeri otot.

Penyebab lain yang berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal apabila


dalam melakukan tugas perawat di hadapkan pada beberapa factor risiko dalam
waktu yang bersamaan, yaitu:
1. Umur
Keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu pada usia 25-65
tahun. Keluhan biasanya akan mulai dirasakan pada usia 35 tahun dan akan semakin
meningkat semakin bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena pada usia setengah
baya, kekuatan dan ketahanan otot akan meningkat (dryastiti, 2013).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi ingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi
karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria.
Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan lebih menonjol
pada wanita dibandingkan pria (3:1) sehingga daya tahan otot wanita untuk
bekerja lebih rendah dibandingkan pria.
3. Kebiasaan merokok
Semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok, semakin tinggi pula
keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok dapat menurunkan kapasitas
paru-paru sehingga kemampuan untuk mengkosumsi oksigen menurun. Apabila

5
perawat denga kebiasaan merokok melakukan aktivitas kerja dengan beban kerja
yang tinggi, maka akan sangat mudak mengalami kelelahan otot.
4. Kesegaran jasmani
Keluahan otot jarang terjadi pada perawat yang memiliki waktu istirahat yang
cukup, tetapi perawat memiliki system kerja shift malam yang memungkinkan
tidak mendapat waktu istirahat yang cukup. Tingkat kesegaran tubuh yang
rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot.
5. Kekuatan fisik
Secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai
kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Apabila dengan
kekuatan otot yang sama, perawat diberikan beban kerja yang tinggi,
maka cenderung perawat yang memiliki kekuatan yang lebih rendah akan
mengalami cidera otot.
6. Ukuran tubuh
Keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih
disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima
beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan.
C. Tanda dan Gejala
Gangguan muskuloskeletal ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut yaitu :
nyeri, bengkak, kemerah-merahan, panas, mati rasa retak atau patah pada tulang dan
sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan daya koordinasi tangan, susah untuk
digerakkan. Gangguan muskuloskeletal diatas dapat menurunkan produktivitas kerja,
kehilangan waktu kerja, menimbulkan ketidakmampuan secara temporer atau cacat
tetap. Untuk memperoleh gambaran tentang gejala gangguan muskuloskeletal bisa
menggunakan Nordic Body Map (NBM) dengan cara melihat tingkat keluhan sakit dan
tidak sakit. Dengan melihat dan menganalisa peta tubuh (NBM) sehingga dapat
diestimasi tingkat dan jenis keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh para pekerja.
Gejala keluhan muskuloskeletal dapat menyerang secara cepat maupun lambat
(berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada tiga tahap terjadinya gangguan
muskuloskeletal yang dapat diidentifikasi yaitu:

6
1. Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada kinerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat;
2. Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah
bekerja. Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya
performa kerja;
3. Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika
bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan
pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
D. Jenis-Jenis Gangguan Muskuloskeletal
Adanya gangguan muskuloskeletal yang diakibatkan oleh cidera pada saat bekerja
yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan cara bekerja. Sehingga menyebabkan
kerusakan pada otot, syaraf, tendon, persendian.Sedangkan arti gangguan
musculoskeletal sendiri adalah penyakit yang menimbulkan rasa nyeri berkepanjangan.
Gangguan musculoskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan dapat terjadi bilamana
ada ketidak cocokan antara kebutuhan fisik kerja dan kemampuan fisik tubuh manusia.
Jenis-jenis keluhan Keluhan muskuloskeletal antara lain:
a. Sakit Leher : Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang
mengenai leher, peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau kaku
leher.
b. Nyeri Punggung : Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk
gejala nyeri punggung yang spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis, ataupun
spasme otot.
c. Carpal Tunnel Syndrome : Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan
pergelangan tangan yang diakibatkan iritasi dan nervus medianus. Keadaan ini
disebabkan oleh aktivitas berulang yang menyebabkan penekanan pada nervus
medianus.
d. Thoracic Outlet Syndrome : Merupakan keadaan yang mempengaruhi bahu,
lengan, dan tangan yang ditandai dengan nyeri, kelemahan, dan mati rasa pada
daerah tersebut. Terjadi jika lima saraf utama dan dua arteri yang
meninggalkan leher tertekan. Thoracic outlet syndrome disebabkan oleh
gerakan berulang dengan lengan diatas atau maju kedepan.

7
e. Tennis Elbow : Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon ekstensor,
tendon yang berasal dari siku lengan bawah dan berjalan keluar ke pergelangan
tangan. Tennis elbow disebabkan oleh gerakan berulang dan tekanan pada tendon
ekstensor.
f. Low Back Pain : Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada daerah
lumbal yaitu L4 dan L5. Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan posisi tubuh
membungkuk ke depan maka akan terjadi penekanan pada discus.Hal ini
berhubungan dengan posisi duduk yang janggal, kursi yang tidak ergonomis,
dan peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan antopometri pekerja.

8
E. Pathway

9
F. Penilaian Awal Trauma Muskuloskeletal
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan
tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh
karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal
dengan Initial assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
a. Fase Pra-Rumah Sakit
1) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai
diangkut dari tempat kejadian.
3) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu
kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
b. Fase Rumah Sakit
1) Perencanaan sebelum penderita tib
2) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang
mudah dijangkau
3) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat
yang mudah dijangkau
4) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan.
5) Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu,

10
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan
lebih dahulu.
3. Primary survey (ABCDE)
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi
trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat
deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan
dan tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter

11
3) Evaluasi
c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
4. Resusitasi

12
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
c. Evaluasi resusitasi cairan
1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3, tabel 3
dan tabel 4 )
2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi
tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1) Respon cepat
a) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
b) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
c) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
d) Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
2) Respon Sementara
a) Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
b) Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
c) Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
3) Tanpa respon
a) Konsultasikan pada ahli bedah
b) Perlu tindakan operatif sangat segera
c) Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard
d) Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
5. Secondary survey
G. Trauma Muskuloskeletal Yang Mengancam Jiwa
1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a. Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur sakroiliaka,
dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic ring akan merobek
pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek system, arteri iliakainterna
(trauma komprresi anterior-posterior). Pada tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur

13
pelvis yang tersering adalah tekanan yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung
menyebabkan hemipelvis rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan
mengurangi regangan system vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan
menyebabkan pubis mendesak ke arah sistem urogenital bawah,sehingga
menyebabkan trauma uretra atau buli-buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi. Tanda klinis
yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada
daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda trauma pelvicring yang tidak
stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvix (terutama daerah perineum,
rectum atau bokong), high riding prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di
meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari
pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya
adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai (
biasanya rotasi eksternal ) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila
penderita sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan
klinis.
c. Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian
perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian perdarahan dilakukan
dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik
sederhana dapat dilakukan untuk stabilisasi pelvissebelum penderita dirujuk. Traksi
kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama.
Prosedur ini dapat ditambah denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang
berfungsi sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG.
Cara-cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka
dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk
menghentikan perdarahan.
2. Perdarahan Besar Arterial
a. Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul
yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri.

14
Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan
di dalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya
pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan
pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat,
dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma
yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskuler.
c. Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan
yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana mungkin akan
menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular ditempat perdarahan
pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya terletak
disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang
berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan
diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang yang lain baru dikerjakan jika
penderita telah teresusitasi dan hemodinamik normal.
3. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )
a. Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika
tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibatcrush
injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Keadaan ini
disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila
diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat menyebabkan hipovodemi,
asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC (Disseminated intravascular
coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal dari
gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah dengan
pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isis tubulus dan aliran

15
urine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebas dari
mioglobinuria.
H. Trauma Yang Mengancam Muskuloskeletal
1. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a. Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar.
Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka
mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.
b. Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas yang
menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakaan luas otot
serta kontaminasi. Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini
berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi bedah harus
dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan
rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan luka
terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi bedah dan pembersihan luka.
c. Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau tidaknya
gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan imobilisasi. Penderita
segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik sedapat mungkinstabil.
Profilaksis tetanus segera diberikan.
2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatik
a. Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang menyertai
trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus ekstremitas.Trauma
vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler
lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus
menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba.
b. Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan segera
terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa oksigen.Operasi
revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah padaekstermitas

16
distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi
segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Iskemia menimbulkan nyeri hebat
dan konsisten. Amputasi traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka
yang menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan
intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf
dankerusakan otot mungkin memerlukan amputasi.Penderita dengan trauma multipel
yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawatdarurat bukan kandidat untuk
reimplantasi. Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonic dan
dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL )
dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi
pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita.
3. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi
a. Trauma
Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan
hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian. Kembalinya fungsi
hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara cepat.
b. Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan trauma
musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis yang progresif
harus dicatat. Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan deformitas dari
musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita. Setiap
saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan sensorik perlu diperiksa secara
sistematik.
c. Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan
konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan
ekstremitas dipasang bidai.
4. Trauma Ekstremitas Yang Lain
a. Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika laserasi
meluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk membersihkan luka dan
memeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak. Kontusio umumnya dikenal

17
karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan
lokal dan nyeri tekan. Kontusio diobati dengan kistirahat dan pemakaian
kompresdingin pada fase awal.
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi anatomi normal tetapi
terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam muskuloskeletal, walaupun
dapat menurunkan fungsi musculoskeletal. Biasanya ditemukan adanya gaya
abnormal terhadap sebagian contoh tekanan terhadap bagian anterior yang
mendorong kebelakang, tekanan terhadap bagian lateral tungkai yang menimbulkan
regangan valgus pada lutut atau dengan lengan ekstensi sehingga menimbulkan
trauma hiperfleksi siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan gerakan
abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan gerakan abnormal ditempat
fraktur kadang-kadang dilakukan untuk memastikn diagnosis,tetapi hal ini dapat
menambah sangat nyeri kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan,nyeri tekan dan
deformitas biasanya cukup untuk membuat diagnosis fraktur. Mempertimbangkan
status hemodinamik pasien, foto rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah tulang
yang fraktur,untuk menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Sistem Muskuloskeletal
A. Pengkajian
1. Pengkajian pada pasien trauma sistem muskuluskeletal meliputi nama, umur,
pekerjaan dan jenis kelamin.
2. Keluhan Utama :Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal biasa
mengeluhkan nyeri, nyeri yang sering dirasakan adalah nyeri tajam dan keluhan
semakin parah jika ada pergerakan. Meskipun demikian keluhan nyeri pada tulang
biasanya tumpul dan dalam yang juga mengakibatkan gangguan pergerakan.
3. Riwayat Penyakit :
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal mengidentifikasikan rasa
nyeri, kejang atau kekakuan yang dirasakan pada saat mengalami trauma

18
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien atau penderita mengidentifikasikan atau menjelaskan awal terjadinya trauma
sistem muskuloskeletal.
c. Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien atau penderita menjelaskan ada anggota keluarga yang pernah mengalami
kejadian yang sama seperti dirinya atau tidak.
4. Pemeriksaan Fisik :
Seluruh pakaian penderita harus dibuka agar dapat dilakukan pemeriksaan yang
baik. Pemeriksaan penderita cedera ekskremitas mempunyai 3 tujuan : menemukan
masalah mengancam jiwa (primary survey), menemukan masalah yang
mengancam ekstremitas (secondary survey), dan pemerikasaan tulang secara
sistematis untuk menghindari luputnya trauma muskuloskeletal yang lain (re-
evaluasi berlanjut). Pemeriksaan fisik pada trauma sistem muskuluskletal
merupakan pengumpulan data tentang kondisi system dan kemampuan fungsional
diperoleh melalui inspeksi, palpasi dan pengukuran sebagai berikut :
a. Skeletal
1) Catat penyimpangan dari structur normal menjadi defrmitas tulang, perbedaan
panjang, bentuk, amputasi
2) Identifikasi pergerakan abnormal dan krepitasi
b. Sendi
1) Identifikasi bengkak yang dapat menunjukkan adanya inflamasi atau effuse
2) Catat deformiotas yang berhubungan dengan kontraktur atau dislokasi
3) Evaluasi stabilitas yang mungkin berubah
4) Gambarkan rom baik aktif maupun pasif
c. Otot
1) Inspeksi ukuran dan contour otot
2) Kaji koordinasi gerakan
3) Palpasi tonus otot
4) Kaji kekuatan otot baik dengan evaluasi sepintas dengan jabat tangan atau dengan
mengukur skala criteria yaitu 0 untuk tidak ada kontraksi sampai 5 = normal rom
dapat melawan penuh gaya gravitasi

19
5) Ukur lingkar untuk mencatat peningkatan pembengkakan atau perdarahan atau
pengecilan karena atropi.
6) identifikasi klonus yang abnormal
d. Neurovaskuler
1) Kaji ststus sirkulasi pada extremitas dengan mencatat warna kulit, suhu, nadi
perifer, capillary refill, nyeri
2) Kaji status neurology
3) Tes reflek
4) Catat penyebaan rambut dan keadaan kuku
e. Kulit
1) inspeksi truma injury (luka, memar)
2) kaji kondisi kronis (dermatitis, stasis ulcer)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (Rhematoid Arthritis)
2. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kekakuan sendi.
3. Resikojatuh

20
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No NANDA: Nursing Diagnosis Nursing Outcomes Classification Nursing Interventions Classification


2015-2017 (NOC) (NIC)
1 Nyeri akut berhubungan dengan NOC  Manajemen Nyeri
agen biologis (Rhematoid Tingkat Nyeri Aktivitas Keperawatan:
Arthritis) Kriteria Hasil : 1. Observasi reaksi nonverbal dari
a. Nyeri yang dilaporkan ringan ketidaknyamanan.
b. Panjangnya episode nyeri ringan 2. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
c. Ekspresi nyeri wajah ringan termasuk lokasi, karakterisitik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.
3. Ajarkan teknik non farmakologis : tekni relaksasi
napas dalam, distraksi, kompres hangat.
4. Berikan informasi mengenai nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri dirasakan.
 2210. Pemberian Analgesik halaman 247
Aktivitas Keperawatan:
1. Cek kebenaran pengobatan meliputi obat, dosis,
dan frekuensi obat analgesic yg diresepkan.
2. Cek adanya riwayat alergi obat

21
3. Pilih analgesic atau kombinasi analgesic yang
sesuai ketika lebih dari satu diberikan.
4. Pilih rute pemberian analgesic (Intravena,
Intramuskular atau per Oral)
2. Hambatan mobilitas fisik b.d NOC  Terapi latihan keseimbangan
kekakuan sendi. Pergerakan sendi Aktivitas Keperawatan:
Kriteria Hasil : 1. Tentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi
a. Punggung tidak ada deviasi dari kisaran normal. dalam kegiatan-kegiatan yang membutuhkan
b. Bahu (kanan) tidak ada deviasi dari kisaran normal. keseimbangan.
c. Bahu (kiri) tidak ada deviasi dari kisaran normal. 2. Kolaborasi dengan terapis fisik, okupasional dan
d. Lutut (kanan) tidak ada deviasi dari kisaran normal. terapis rekerasi dalam mengembangkan dan
e. Lutut (kiri) tidak ada deviasi dari kisaran normal. melaksanakan program latihan yang sesuai.
3. Evaluasi fungsi sensorik (misalnya penglihatan,
pendengaran dan propriosepsi)
4. Berikan kesempatan untuk mendiskusikan faktor-
faktor yang mempengaruhi ketakutan akan jatuh.
5. Sediakan lingkungan yang aman untuk latihan.
6. Instruksikan pasien mengenai pentingnya terapi
latihan dalam menjaga dan meningkatkan
keseimbangan.

22
7. Dorong program latihan dengan intensitas rendah
dengan memberikan kesempatan untuk berbagi
perasaan.
8. Instruksikan pasien untuk melakukan latihan
keseimbangan, seperti berdiri dengan satu kaki,
membungkuk ke depan, peregangan dan resistensi
yang sesuai.
9. Bantu dengan program penguatan pergelangan
kaki dan berjalan.Berikan informasi mengenai
alternatif terapi seperti yoga dan Tai Chi.
10. Sesuaikan lingkungan untuk memfasilitasi
konsentrasi.
11. Sediakan alat-alat bantu (misalnya, tongkat,
walker, bantal atau bantalan) untuk mendukung
pasien dalam melakukan latihan.
12. Bantu pasien untuk merumuskan tujuan-tujuan
yang realistis dan terukur.
13. Perkuat atau berikan instruksi bagaimana
memposisikan tubuh dan bagaimana melakukan
gerakan-gerakan untuk mempertahankan atau

23
meningkatkan keseimbangan selama latihan atau
aktivitas sehari-hari.
14. Bantu pasien untuk berpartisipasi dalam latihan
peregangan sambil berbaring, duduk atau berdiri.
15. Bantu pasien untuk pindah ke posisi duduk,
menstabilkan tubuh dengan tangan diletakkan di
sisi atas tempat tidur/kursi, dan mengayun tubuh di
atas lengan yang menyokong.
16. Bantu untuk berdiri (atau duduk) dan mengayun
tubuh dari sisi ke sisi untuk menstimulasi
mekanisme keseimbangan.’
17. Dorong pasien untuk mempertahankan dasar
dukungan yang luas, jika diperlukan.
18. Bantu pasien berlatih berdiri dengan mata tertutup
untuk jangka pendek secara berkala untuk
menstimulasi propriosepi.
19. Monitor respon pasien pada latihan keseimbangan.
20. Lakukan pengkajian rumah untuk mengidentifikasi
adanya bahaya lingkungan dan perilaku, jika
(latihan) dilakukan.

24
21. Sediakan sumber daya untuk program
keseimbangan, latihan, atau program edukasi
(pencegahan) jatuh.
22. Rujuk pada terapi fisik dan atau okupasional untuk
latihan habituasi vestibular.
3 Resiko terjadinyajatuh NOC  Pencegahan Jatuh
Faktor resiko : kejadian jatuh halaman 119 Aktivitas Keperawatan:
a. Usia diatas 65 tahun. Kriteria Hasil : 1. Identifikasi kekurangan baik kognitif atau fisik
b. Fisiologis : Artritis a. Jatuh saat berdiri tidak ada. dari pasien yang mungkin meningkatkan potensi
b. Jatuh saat berjalan tidak ada. jatuh pada lingkungan tertentu
c. Jatuh saat duduk tidak ada. 2. Identifikasi perilaku dan faktor yang
d. Jatuh saat ke kamar mandi tidak ada. mempengaruhi risiko jatuh.
3. Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang
mungkin meningkatkan potensi jatuh (misalnya
lantai licin dan tangga terbuka).
4. Monitor gaya berjalan (terutama kecepatan),
keseimbangan dan tingkat kelelahan dengan
ambulasi.
5. Tanyakan pasien mengenai persepsi keseimangan
dengan tepat.

25
6. Ajarkan pasien untuk beradaptasi terhadap
modifikasi gaya berjalan yang disarankan
7. Bantu ambulasi individu yang memiliki ketidak
seimbangan
8. Instrukasikan pasien untuk memanggil bantuan
terkait pergerakan dengan tepat

26
D. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang meliputi tindakan- tindakan yang direncanakan oleh perawat yang diberikan
pada klien. Pelaksanaan tindakan pada klien dengan gangguan sistem integumen
diperlukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, perluasan area yang terjadi
ulkus. Untuk keberhasilan tindakan maka diperlukan partisipasi dari klien dan
kelurga (Aziz, H. 2002).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses keperawatan yang menyangkut pengumpulan data
subyetif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelaksanaan
keperawatan sudah tercapai atau belum, masalah apa yang perlu dipecahkan atau
dikaji, direncanakan atau dinilai kembali. Evaluasi bertujuan memberikan umpan
balik terhadap rencana keperawatan yang disusun. Penilaian dilakukan oleh
perawat, klien dan juga teman sejawat. Penilaian ini memberikan kemungkinan
yaitu masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi, dan
muncul masalah baru. Ini bermanfaat untuk mengadakan perubahan, perbaikan
rencana keperawatan sehingga tindakan keperawatan dapat dimodifikasi (Nursalam,
2003).

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem muskuloskeletasl merupakan yang memberikan dukungan bagi tubuh
yang bertanggung jawab terhadap pergerakan yang terdiri dari otot (muskulo) dan
tulang tulang yang membentuk rangka (skelet) . Musculoskeletal disorders (MSDs)
adalah serangkaian gangguan yang dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf,
persendian yang menimbulkan rasa nyeri dan ketidaknyamanan akibat dari
aktifitas yang berulang-ulang (repetitive) dalam jangka waktu yang lama. Faktor
penyebab keluhan muskuloskeletal antara lain peregangan otot yang berlebihan
(over exertion), aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah. Penyebab lain
yang berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal apabila dalam
melakukan tugas perawat di hadapkan pada beberapa factor risiko dalam waktu
yang bersamaan, yaitu umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran
jasmani, kekuatan fisik, ukuran tubuh.
Gangguan muskuloskeletal ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut yaitu :
nyeri, bengkak, kemerah-merahan, panas, mati rasa retak atau patah pada tulang
dan sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan daya koordinasi tangan, susah
untuk digerakkan. Jenis-jenis keluhan muskuloskeletal antara lain sakit leher, nyeri
punggung, carpal tunnel syndrome, thoracic outlet syndrome, tennis elbow, low
back pain
3.2 Saran
Adapun saran yang penulis dapat berikan bagi pembaca, khususnya mahasiswa
keperawatan diharapkan mampu mengetahui, dan memahami mengenai laporan
pendahuluan pada sistem muskuloskeletal yang meliputi konsep dasar sistem
musculoskeletal dan konsep asuhan keperawatan pada sistem muskuloskeletal serta
dapat diaplikasikan pada praktik lapangan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Asdie, Ahmad H. Harrison's. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4,


Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC.
Dambro. 2001. Griffith's 5 – Minutes Clinical Consult. USA: Lippincott Williams and
Wilkins.
Hidayat, Alimul Aziz. 2002. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika

Kalu DN, Masaro EJ. 2001. The Biology Of Aging, With Particular Reference To The
Musculoskeletal System.Clin Geriatri Med.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction Jogja

Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika

29

Anda mungkin juga menyukai