Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI KESEHATAN DAN KESELAMATAN


KERJA “EFEK KELUHAN ERGONOMIS”

DOSEN PENGAMPU:
Siti Rabbani Karimuna, S.KM., M.P.H

DISUSUN OLEH :
EPIDEMIOLOGI 2021
KELOMPOK 6

INDAH NURWIA NINGRUM J1A121147


NASYWA RASYIFA J1A121167
NI’MAHTU SALEHA J1A121168
WA ODE NUR AISYAH J1A121089

PROGRAM STUDI KESEHATAN


MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Epidemiologi Kesehatan dan Keselamatan Kerja sesuai dengan jangka waktu yang
telah ditentukan. Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas
yang diberikan oleh Ibu Siti Rabbani Karimuna, S.KM., M.P.H.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini kami akui masih
banyak kekurangan karena kurangnya pengalaman yang kami miliki. Oleh kerena
itu, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat mengharapkan perbaikan, kritik,
dan saran yang bersifat membangun.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
memenuhi harapan bagi berbagai pihak.

Kendari, 12 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................

i DAFTAR ISI ..........................................................................................................

ii BAB I PENDAHULUAN

.......................................................................................1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3

D. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................4

A. Keluhan Muskuloskeletas Disorders ............................................................ 4

B. Low Back Pain ........................................................................................... 23

BAB III PENUTUP ..............................................................................................29

A. Kesimpulan ................................................................................................ 29

B. Saran........................................................................................................... 29

DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................30
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar
dapat mempertahankan kehidupanya. Untuk itu manusia dituntut agar berusaha
atau bekerja. Dalam bekerja hampir sebagian besar menghabiskan waktunya
ditempat kerja. Lingkungan tempat kerja merupakan salah satu tempat yang
mempunyai risiko terhadap kesehatan orang-orang yang bekerja di lingkungan
tersebut. Risiko-risiko tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit pada
pekerjanya yang lebih dikenal dengan istilah Penyakit Akibat Kerja (PAK)
(Tunang, et al., 2022)
Salah satunya adalah bahaya ergonomi dengan gangguan sistem gerak
tubuh (Musculoskeletal Disorders) yang menjadi penyumbang tertinggi angka
morbiditas penyakit yang berhubungan dengan tempat kerja dan juga salah satu
gangguan rasa sakit yang sering dialami oleh seseorang yaitu low back pain
(pinggang “kecetit”). Low back pain (pinggang “kecetit”) atau nyeri punggung
bawah merupakan rasa nyeri pada bawah batas kosta dan di atas lipatan gluteal
inferior yang disertai dengan nyeri kaki atau tanpa nyeri kaki (Laksana, et al.,
2019).
Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah gangguan dan atau terjadinya
kerusakan pada sistem otot dan rangka tubuh manusia yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan beban aktivitas terhadap kemampuan otot dan rangka yang
secara signifikan langsung maupun tidak langsung mengurangi produktifitas
bekerja. Muskuloskeletal akibat kerja disebabkan oleh postur tubuh yang
dipaksakan dan pengulangan gerakan yang berlebihan. Jika gerakan terjadi
terus-menerus dalam durasi yang lama, maka dapat mengakibatkan tegangan
pada otot menurunnya sirkulasi pada sendi, serta kompresi pada susunan saraf
dan juga pembuluh darah di sekitarnya yang berakhir pada munculnya keluhan
MSDs (Tunang, et al., 2022).
Menurut WHO, MSDs berada diurutan kedua terbanyak akibat kerja.
Musculoskeletal Disorders merupakan salah satu gangguan kesehatan yang

1
2

dapat diakibatkan dari alat yang digunakan selama bekerja. Angka prevalensi
kejadian Musculoskeletal Disorders di dunia menurut data dari Labour Force
Survey (LFS) menunjukkan bahwa MSDs pada pekerja sangat tinggi yaitu
sejumlah 1.144.000 kasus dengan distribusi kasus yang menyerang punggung
sebesar 493.000 kasus, anggota tubuh bagian atas atau leher 426.000 kasus, dan
anggota tubuh bagian bawah 224.000 kasus. Hasil penelitian abledu dkk pada
tahun 2017 di Amerika adalah terdapat sekitar enam juta kasus MSDs pertahun
atau rata-rata 300 – 400 kasus per- 100.000 orang pekerja (Cheisario, et al.,
2022).
Sedangkan di Indonesia yang mempunyai masyarakat pekerja meningkat
secara terus menerus, prevalensi penyakit musculoskeletal berdasarkan
diagnosa tenaga kesehatan 11,9 % dan berdasar diagnosis atau gejala sebesar
24,7%. Sebanyak 11 provinsi mempunyai prevalensi penyakit sendi di atas
persentase nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua (Cheisario, et al., 2022).
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan keluhan atau gangguan
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan hingga terasa
sangat sakit pada bagian muskuloskeletal yang meliputi bagian sendi, syaraf,
otot maupun tulang belakang akibat pekerjaannya yang tidak alamiah. Jika otot
mengalami gangguan, maka aktivitas sehari-hari seperti melakukan pekerjaan
dapat terganggu karena kekuatan otot merupakan salah satu bagian terpenting
dari organ tubuh manusia agar tubuh dapat bergerak. Timbulnya rasa sakit pada
otot ini dapat berakibat pada menurunnya produktivitas kerja seseorang.
Sedangkan kekuatan otot sendiri akan ditentukan oleh banyaknya serat-serat
yang berkerut secara aktif di dalam tubuh manusia dalam kurun waktu tertentu
(Tjahayuningtyas, 2019).
3

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi keluhan Musculosketal Disorders?
2. Apa yang yang dimaksut dengan Low Back Pain?
3. Bagaimana pencegahan kejadian Musculosketal Disorders dan Low Back
Pain?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keluhan mengenai Musculosketal Disorders.
2. Untuk mengetahui apa itu Low Back Pain.
3. Untuk mengetahui pencegahan kejadian Musculosketal Disorders dan Low
Back Pain.

D. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi banyak
pihak dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan mengenai kejadian penyakit
akibat kerja (PAK) seperti Musculosketal Disorders dan Low Back Pain bagi
para pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keluhan Muskuloskeletas Disorders


1. Keluhan Muskuloskeletas Disorders
Musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan otot rangka
merupakan kerusakan pada otot, saraf, tendon, ligament, persendian,
kartilago, dan discus invertebralis. Kerusakan pada otot dapat berupa
ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi. Sedangkan kerusakan pada
tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau terpelintir (Aspian,
2017). MSDs terjadi dengan dua cara:
a. Kelelahan dan keletihan terus menerus yang disebabkan oleh frekuensi
atau periode waktu yang lama dari usaha otot, dihubungkan dengan
pengulangan atau usaha yang terus menerus dari bagian tubuh yang sama
meliputi posisi tubuh yang statis,
b. Kerusakan tiba-tiba yang disebabkan oleh aktivitas yang sangat
kuat/berat atau pergerakan yang tak terduga.
Frekuensi yang lebih sering terjadi MSDs adalah pada area tangan,
bahu, dan punggung. Aktivitas yang menjadi penyebab terjadinya MSDs
yaitu penanganan bahan dengan punggung yang membungkuk atau
memutar, membawa ke tempat yang jauh (aktivitas mendorong dan
menarik), posisi kerja yang statik dengan punggung membungkuk atau terus
menerus dan duduk atau berdiri tiba-tiba, mengemudikan kendaraan dalam
waktu yang lama (getaran seluruh tubuh), pengulangan atau gerakan tiba-
tiba meliputi memegang dengan atau tanpa kekuatan besar (Aspian, 2017).
Gejala Musculoskeletal disorders (MSDS) dapat menyerang secara
cepat maupun lambat (berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada 3
tahap terjadinya MSDs yang dapat diidentifikasi yaitu:
a. Tahap pertama: Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja
tapi gejala ini biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu
malam). Tidak berpengaruh pada performance kerja. Efek ini dapat
pulih setelah
istirahat.

4
5

b. Tahap kedua: Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam
setelah bekerja. Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan
performance kerja.
c. Tahap ketiga: Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi
ketika bergerak secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk
melakukan pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja
(Aspian,
2017).
Adapun Jenis-jenis keluhan Muskulosketal Disorders (MSDs) antara lain:
a. Sakit Leher
Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang
mengenai leher, peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring
atau kaku leher. Pengguna komputer yang terkena sakit ini adalah
pengguna yang menggunakan gerakan berulang pada kepala seperti
menggambar dan mengarsip, serta pengguna dengan postur yang kaku;
b. Nyeri Punggung
Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk gejala
nyeri punggung yang spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis, ataupun
spasme otot. Nyeri punggung juga dapat disebabkan oleh tegangan otot
dan postur yang buruk saat menggunakan computer.
c. Carpal Tunnel Syndrome
Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan
pergelangan tangan yang diakibatkan iritasi dan nervus medianus.
Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas berulang yang menyebabkan
penekanan pada nervus medianus. Keadaan berulang ini antara lain
seperti mengetik, arthritis, fraktur pergelangan tangan yang
penyembuhannya tidak normal, atau kegiatan apa saja yang
menyebabkan penekanan pada nervus medianus.
d. De Quervains Tenosynovitis
Penyakit ini mengenai pergelangan tangan, ibu jari, dan terkadang
lengan bawah, disebabkan oleh inflamasi tenosinovium dan dua tendon
yang berasa di ibu jari pergelangan tangan. Aktivitas berulang seperti
6

mendorong space bardengan ibu jari, menggenggam, menjepit, dan


memeras dapat menyebabkan inflamasi pada tenosinovium. Gejala yang
timbul antara lain rasa sakit pada sisi ibu jari lengan bawah yang dapat
menyebar ke atas dan ke bawah
e. Thoracic Outlet Syndrome
Merupakan keadaan yang mempengaruhi bahu, lengan, dan tangan
yang ditandai dengan nyeri, kelemahan, dan mati rasa pada daerah
tersebut. Terjadi jika lima saraf utama dan dua arteri yang meninggalkan
leher tertekan. Thoracic Syndrome disebabkan oleh outlet gerakan
berulang dengan lengan diatas atau maju ke depan. Pengguna komputer
berisiko terkena sindrom ini karena adanya gerakan dalam menggunakan
keyboard dan mouse.
f. Tennis Elbow
Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon ekstensor,
tendon yang berasal dari siku lengan bawah dan berjalan keluar ke
pergelangan tangan. Tennis elbow disebabkan oleh gerakan berulang dan
tekanan pada tendon ekstensor.
g. Low Back Pain
Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada daerah lumbal.
Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan posisi tubuh membungkuk ke
depan maka akan terjadi penekanan pada discus Hal ini berhubungan
dengan posisi duduk yang janggal, kursi yang tidak ergonomis, dan
peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan antopometri pekerja (Aspian,
2017).
4. Pengertian Keluhan Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot
skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan
sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan
dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan
pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang
biasanya di istilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs)
atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot
7

dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Keluhan sementara (reversible),


yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun
demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan
dihentikan, dan 2) Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang
bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa
sakit pada otot masih terus berlanjut (Aspian, 2017).
Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industri telah banyak
dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering
dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu,
lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot hagian bawah. Di
antara keluhan otot skeletal tersebut, yang banyak dialami oleh pekerja
adalah otot bagian pinggang (low back pain LBP). Laporan dari the Bureau
of Labour Statistics (LBS) Departemen Tenaga Kerja Amerika serikat yang
dipublikasikan pada tahun 1982 menunjukkan bahwa hampir 20% dari
semua kasus sakit akibat kerja dan 25% biaya kompensasi yang dikeluarkan
sehubungan dengan adanya keluhan/sakit pinggang. Besamya biaya
kompensasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti belum
diketahui (Aspian, 2017).
Namun demikian, hasil estimasi yang dipublikasikan oleh NIOSH
menunjukkan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah
mencapai 13 milyar US dolar setiap tahun. Biaya tersebut merupakan yang
terbesar bila dibandingkan dengan biaya kompensasi untuk keluhan/sakit
akibat kerja lainnya. Sementara itu National Safety Council melaporkan
bahwa sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi adalah
sakit punggang, yaitu 22% dari 1.700.000 kasus. Keluhan otot skeletal
pada umumnya terjadi karena konstraksi otot yang berlebihan akibat
pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang
panjang, Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila
kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum.
Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot
berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya
tenaga yang
8

diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat


terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Aspian, 2017).
5. Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan Muskuloskeletal
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan
otot skeletal (Aspian, 2017):
a. Peregangan Otot yang Berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya
sering dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut
pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong.
menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan
ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui
kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka
dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
b. Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus
menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-
angkut dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat
beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk
relaksasi.
c. Sikap Kerja Tidak Alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan
posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala
terangkat, dsb. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi
tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal.
Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan
tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasan pekerja.
9

Di Indonesia, sikap kerja tidak alamiah ini lebih banyak disebabkan


oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan
ukuran tubuh pekerja. Sebagai negara berkembang, sampai saat ini
Indonesia masih tergantung pada perkembangan teknologi negara-negara
maju, khususnya dalam pengadaan peralatan industri. Mengingat bahwa
dimensi peralatan tersebut di desain tidak berdasarkan ukuran tubuh
orang Indonesia, maka pada saat pekerja Indonesia harus mengoperasikan
peralatan tersebut, terjadilah sikap kerja tidak alamiah. Sebagai contoh,
pengoperasian mesin- mesin produksi di suatu pabrik yang diimpor dari
Amerika dan Eropa akan menjadi masalah bagi sebagian besar pekerja
kita. Hal tersebut disebabkan karena negara pengekspor di dalam
mendesain mesin-mesin tersebut hanya didasarkan pada antropometri dari
populasi pekerja negara yang bersangkutan, yang pada kenyataannya
ukuran tubuhnya lebih besar dari pekerja kita. Sudah dapat dipastikan,
bahwa kondisi tersebut akan menyebabkan sikap paksa pada waktu
pekerja mengoperasikan mesin. Apabila hal ini terjadi dalam kurun
waktu yang lama, maka akan terjadi akumulasi keluhan yang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya cedera otot
d. Faktor Penyebab
1) Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot
tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan
alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri
otot yang menetap
2) Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak
lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa
nyeri otot.
3) Mikroklimat
10

Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,


kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi
lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan
otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu
lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan
sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh
untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah
kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri otot.
e. Penyebab Kombinasi
Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat
apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa
faktor risiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja harus
melakukan aktivitas angkat-angkut di bawah tekanan panas matahari
seperti yang dilakukan oleh para pekerja bangunan. Di samping kelima
faktor penyebab terjadinya keluhan otot tersebut di atas, beberapa ahli
menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga
dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skelatal.
1) Umur
Umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja,
yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35
tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya,
kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya
keluhan otot meningkat. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang
difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki menunjukkan bahwa
11

kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun,
selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya
umur.
Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun
sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko
terjadinya keluhan otot akan meningkat. Umur mempunyai hubungan
yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk otot leher dan
bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur
merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot.
2) Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli
tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal,
namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan
bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot.
Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita
memang lebih rendah daripada pria. Kekuatan otot wanita hanya
sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot
pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
3) Kebiasaan Merokok
Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan
merokok terhadap risiko keluhan otot juga masih diperdebatkan
dengan para ahli. Namun demikian, beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat
hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin
lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan otot yang dirasakan. Sebuah penelitian menemukan
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan
otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan
pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi
kesegaran tubuh seseorang Kebiasaan merokok akan dapat
menurunkan kapasitas paru- paru, sehingga kemampuan untuk
mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya tingkat
kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang
12

bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan


tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam
darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan
asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
4) Kesegaran Jasmani
Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada
seseorang yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup
waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya
melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang
besar, di sisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat,
hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot. Tingkat keluhan
otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tubuh. Laporan
NIOSH yang menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang
rendah, maka risiko terjadinya keluhan adalah 7,1%, tingkat kesegaran
tubuh sedang adalah 3,2% dan tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah
0,8 %. Hal ini juga diperkuat dengan laporan hasil penelitian terhadap
para penerbang menunjukkan bahwa kelompok penerbang dengan
tingkat kesegaran tubuh yang tinggi mempunyai risiko yang sangat
kecil terhadap risiko cedera otot.
f. Kekuatan Fisik.
Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara
kekuatan fisik dengan risiko keluhan otot skeletal juga masih
diperdebatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal. Peningkatan
keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang
menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja
yang kekuatan ototnya rendah, risiko terjadinya keluhan tiga kali lipat
dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu, Pekerja yang sudah
mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti
pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.
13

Secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang


mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus melakukan
pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas yang mempunyai
kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko cedera otot. Namun
untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pengerahan tenaga,
maka faktor kekuatan fisik kurang relevan terhadap risiko keluhan otot
skeletal.
g. Ukuran Tubuh (Antropometri)
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan
massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
keluhan otot skeletal. Wanita yang gemuk mempunyai risiko dua kali
lipat dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat bahwa bagi pasien
yang gemuk (obesitas dengan masa tubuh >29) mempunyai risiko 2,5
lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (masa tubuh <20),
khususnya untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh
yang tinggi umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi
tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher,
bahu dan pergelangan tangan.
Apabila dicermati, keluhan otot skeletal yang terkait dengan ukuran
tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di
dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan
lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai
bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap
beban tekan dan rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai
risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal
6. Mengukur dan Mengenali Sumber Penyebab Keluhan Muskuloskeletal
Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan
evaluasi ergonomi untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan
risiko keluhan otot skeletal. Pengukuran terhadap tekanan fisik ini cukup
sulit karena melibatkan berbagai faktor subjektif seperti kinerja, motivasi,
harapan
14

dan toleransi kelelahan. Alat ukur ergonomik yang dapat digunakan mulai
dari yang sederhana seperti checklist hingga sistem komputer, seperti uraian
berikut ini (Aspian, 2017).
a. Checklist
Checklist merupakan alat ukur ergonomik yang paling sederhana
dan mudah, oleh karena itu pada umumnya menjadi pilihan pertama
untuk melakukan pengukuran yang masih bersifat umum. Checklist
terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan untuk mengidentifikasi
sumber keluhan penyakit. Untuk mengetahui sumber keluhan otot, pada
umumnya daftar pertanyaan yang diajukan dikelompokkan menjadi dua,
yaitu pertanyuan yang bersifat umum dan khusus. Pertanyaan umum
biasanya mengarah pada pengumpulan data tentang tingkat beban kerja,
tingkat kesulitan pekerjaan, kondisi lingkungan kerja, waktu dan sikap
kerja. Sedangkan pertanyaan khusus diarahkan untuk memperoleh data
yang lebih spesifik seperti berat beban, jarak angkat, jenis pekerjaan dan
frekuensi kerja Checklist merupakan alat ukur ergonomik yang sangat
mudah untuk digunakan, tetapi hasilnya kurang teliti. Oleh karena itu
checklist lebih cocok untuk studi pendahuluan dan identifikasi masalah.
b. Model Biomekanik
Model biomekanik menerapkan konsep mekanika teknik pada
fungsi tubuh untuk mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan
beban kerja. Atas dasar teori keseimbangan pada sendi, dapat di analisis
besarnya peregangan otot akibat beban dan sikap kerja yang ada dan
selanjutnya dapat di evaluasi apakah peregangan yang terjadi melampaui
kekuatan maksimal otot untuk kontraksi.
Beberapa faktor penting yang harus dicermati apabila pengukuran
dilakukan dengan model biomekanik adalah sebagai berikut:
1) Sifat dasar mekanik (statik atau dinamik);
2) Dimensi model (dua atau tiga dimensi),
3) Ketepatan dalam mengambil asumsi, dan
4) Input yang diperlukan cukup kompleks.
15

Walaupun model biomekanik dapat dipakai untuk mengenali


sumber penyebab terjadinya keluhan otot skeletal, namun dalam
penerapannya, model biomekanik lebih banyak digunakan untuk
mendesain tingkat beban dan sikap kerja yang aman bagi pekerja.
c. Tabel Psikofisik
Psikofisik merupakan cabang ilmu psikologi yang digunakan untuk
menguji hubungan antara persepsi dari sensasi tubuh terhadap rangsangan
fisik. Melalui persepsi dari sensasi tubuh dapat diketahui kapasitas kerja
seseorang. Untuk metode tabel psikofisik ini, satu hal yang perlu diingat
bahwa hasil pengukuran sangat tergantung dari persepsi perorangan dan
sebagai konsekuensinya, kemungkinan besar terjadi perbedaan antara
persepsi yang satu dengan yang lainnya.
Tingkat kekuatan seseorang dalam menerima beban kerja dapat
diukur melalui perasaan subjektif, dalam arti persepsi seseorang terhadap
beban kerja dapat digunakan untuk mengukur efek kombinasi dari
tekanan fisik dan tekanan biomekanik akibat aktivitas kerja yang
dilakukan.
d. Model Fisik
Salah satu penyebab timbulnya keluhan otot adalah karena
kelelahan yang terjadi akibat beban kerja yang berlebihan. Oleh karena
itu, salah satu metode untuk mengetahui sumber keluhan otot dapat
dilakukan secara tidak langsung dengan mengukur tingkat beban kerja.
Tingkat beban kerja dapat diketahui melalui indikator denyut nadi,
konsumsi oksigen dan kapasitas paru-paru.
Melalui indikator tingkat beban kerja inilah dapat diketahui tingkat
risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Apabila beban kerja melebihi
kapasitas kerja, maka risiko terjadinya keluhan otot akan semakin besar
1) Pengukuran dengan Videotape
Analisis Videotape dilakukan dengan menggunakan video
camera. Melalui video camera dapat direkam setiap tahapan aktivitas
kerja, selanjutnya hasil rekaman ini digunakan sebagai dasar untuk
melakukan analisis terhadap sumber terjadinya keluhan otot.
16

Pengukuran dengan videotape ini sangat mudah dilakukan dan


hasilnya sangat mudah untuk dipahami. Namun bagaimanapun video
camera mempunyai keterbatasan jangkauan. Untuk dapat merekam
seluruh tahapan aktivitas kerja secara detail, diperlukan beberapa
video camera yang ditempatkan diberbagai sudut pandang. Oleh
karena itu memerlukan biaya yang cukup mahal.
2) Pengamatan Melalui Monitor
Alat monitor telah dikembangkan untuk mengukur berbagai
aspek dari aktivitas fisik yang meliputi posisi, kecepatan dan
percepatan gerakan. Sistem ini terdiri dari sensor mekanik yang
dipasang pada bagian-bagian tubuh pekerja yang akan di ukur.
Selanjutnya melalui monitor dapat dilihat secara langsung
karakteristik dari perubahan gerak yang terjadi yang dapat digunakan
untuk mengestimasi risiko keluhan otot yang akan terjadi serta
sekaligus dapat dianalisis solusi ergonomik yang tepat untuk
mencegah terjadinya keluhan tersebut.
3) Metode Analitik
Metode analitik ini direkomendasikan oleh NIOSH untuk
pekerjaan mengangkat. NIOSH memberikan cara sederhana untuk
mengestimasi kemungkinan terjadinya peregangan otot yang
berlebihan (overexertion) atas dasar karakteristik pekerjaan, yaitu
dengan menghitung Recommended Weight Limit (RWL) dan Lifting
Index (LI). RWL adalah berat beban yang masih aman untuk
dikerjakan oleh pekerja dalam waktu tertentu tanpa meningkatkan
risiko gangguan sakit pinggang (low back pain).
e. Nordic Body Map (NBM)
Melalui NBM dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami
keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit)
sampai sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh
(NBM), maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal
yang dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana namun kurang
teliti
17

karena mengandung subjektivitas yang tinggi. Untuk menekan bias yang


mungkin terjadi, maka sebaiknya pengukuran di lakukan sebelum dan
sesudah melakukan aktivitas kerja (pre and post test).
Dari uraian tentang berbagai metode untuk mengukur dan
mengenali sumber keluhan otot skeletal tersebut diatas, terlihat bahwa
masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Oleh karena
itu, sebelum memilih dan menetapkan metode yang akan digunakan,
hendaknya dikaji terlebih dahulu karakteristik dari aktivitas kerja yang
akan diukur, selanjutnya barulah ditetapkan metode yang cocok untuk
kondisi dan karakteristik aktivitas kerja yang ada.
7. Langkah-Langkah Mengatasi Keluhan Muskuloselektal
Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health
Administration (OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya
sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik (desain
stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi
kerja. Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengeleminir overexertion
dan mencegah adanya sikap kerja tidak alarmiah (Aspian, 2017).
a. Rekayasa teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alternatif sebagai berikut:
1) Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada.
Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan
pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang
ada.
2) Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru
yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan
prosedur penggunaan peralatan.
3) Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan
pekerja, sebagai contoh, memisahkan ruang mesin yang bergetar
dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dsb.
4) Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi risiko
sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.
18

b. Rekayasa manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai
berikut.
1) Pendidikan dan pelatihan: Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja
menjadi lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga
diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam
melakukan upaya- upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat
kerja.
2) Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang: Pengaturan
waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan
dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,
sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber
bahaya.
3) Pengawasan yang intensif: Melalui pengawasan yang intensif dapat
dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kumungkinan
terjadinya risiko sakit akibat kerja.
8. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders
a. Faktor Pekerjaan
Faktor risiko pekerjaan adalah karakteristik pekerjaan yang dapat
meningkatkan risiko cedera pada sistem otot rangka. Faktor risiko
ergonomic adalah sifat/karakteristik pekerja atau lingkungan kerja yang
dapat meningkatkan kemungkinan pekerja menderita gejala MSDs. Ada
beberapa faktor yang terbukti berkontribusi menyebabkan MSDs yaitu
pekerjaan yang dilakukan dengan postur tubuh saat bekerja, beban,
gerakan repetitive/frekuensi, durasi, dan genggaman (Aspian, 2017).
1) Postur Kerja
Postur tubuh adalah posisi relatif dari bagian tubuh tertentu.
Postur didefinisikan sebagai orientasi rata-rata bagian tubuh dengan
memperhatikan satu sama lain antara bagian tubuh yang lain. Postur
dan pergerakan memegang peranan penting dalam ergonomi. Posisi
tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal
saat
19

melakukan pekerjaan dapat menyebabkan stress mekanik lokal pada


otot, ligamen, dan persendian. Hal ini mengakibatkan cedera pada
leher, tulang belakang, bahu, pergelangan tangan, dan lain-lain.
Namun di lain hal, meskipun postur terlihat nyaman dalam bekerja,
dapat berisiko juga jika mereka bekerja dalam jangka waktu yang
lama. Pekerjaan yang dikerjakan dengan duduk dan berdiri, seperti
pada pekerja kantoran dapat mengakibatkan masalah pada punggung,
leher dan bahu serta terjadi penumpukan darah di kaki jika
kehilangan kontrol yang tepat.
2) Beban atau Tenaga (Force)
Beban dapat diartikan sebagai muatan (berat) dan kekuatan
pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan dalam newton atau
pounds, atau dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari kapasitas
kekuatan individu. Pekerja yang melakukan aktivitas mengangkat
barang yang berat memiliki kesempatan 8 kali lebih besar untuk
mengalami low back pain dibandingkan pekerja yang bekerja statis.
Penelitian lain membuktikan bahwa hernia diskus lebih sering terjadi
pada pekerja yang mengangkat barang berat dengan postur
membungkuk dan berputar.
3) Durasi (Du ration)
Durasi adalah lamanya pajanan dari faktor risiko. Durasi
selama bekerja akan berpengaruh terhadap tingkat kelelahan.
Kelelahan akan menurunkan kinerja, kenyamanan dan konsentrasi
sehingga dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Durasi manual
handling yang lebih besar dari 45 menit dalam 1 jam kerja adalah
buruk dan melebihi kapasitas fisik pekerja. Selain itu, ada durasi
manual handling yang berisiko adalah pula yang menyebut 10 detik.
Aktivitas yang berisiko adalah 1 menit jika ada satu atau lebih
bagian tubuh yang statis. Durasi berkaitan dengan keadaan fisik
tubuh pekerja. Pekerjaan fisik yang berat akan mempengaruhi kerja
otot, kardiovaskular, system pernapasan dan lainnya. Jika
pekerjaan berlangsung dalam waktu
20

yang lama tanpa istirahat, kemampuan tubuh akan menurun dan


dapat menyebabkan kesakitan pada anggota tubuh. Durasi atau
lamanya waktu bekerja dibagi menjadi durasi singkat yaitu
kurang dari 1 jam/hari, durasi sedang yaitu antara 1-2 jam/hari dan
durasi lama yaitu lebih dari 2 jam/hari.
4) Pekerjaan Berulang (Frequency)
Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang
dilakukan dalam suatu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan
dilakukan secara berulang, maka dapat disebut sebagai repetitive.
Gerakan repetitif dalam pekerjaan, dapat dikarakteristikan baik
sebagai kecepatan pergerakan tubuh, atau dapat di perluas sebagai
gerakan yang dilakukan secara berulang tanpa adanya variasi
gerakan.
Aktivitas berulang dan pergerakan yang cepat serta membawa
beban yang berat dapat menstimulasikan saraf reseptor mengalami
sakit. Frekuensi terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan
beberapa kali terjadi repetitive motion dalam melakukan suatu
pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat
beban kerja terus menerus tanpa memperolah kesempatan untuk
relaksasi. Posisi tangan dan pergelangan tangan berisiko apabila
dilakukan gerakan berulang/frekuensi sebanyak 30 kali dalm semenit
dan sebanyak 2 kali per menit untuk anggota tubuh seperti bahu,
leher, punggung dan kaki.
5) Genggaman
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak.
Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka
jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung
dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat
menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. Memegang diusahakan
dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya beberapa jari
yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari tersebut
harus dihindarkan.
21

b. Faktor Individu
1) Umur
Umur berhubungan dengan keluhan pada otot. Pada umumnya
keluhan musculoskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu
antara
25-65 tahun. Keluhan pertama biasa dirasakan pada usia 35 tahun
dan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Jadi
semakin tua umurnya semakin besar risiko terjadinya gangguan
MSDs.
2) Masa Kerja
Masa kerja merupakan faktor risiko dari suatu pekerja yang
terkait dengan lama bekerja. Dapat berupa masa kerja dalam suatu
perusahaan dan masa kerja dalam suatu unit produksi. Masa kerja
merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi seorang pekerja
untuk meningkatkan risiko terjadinya musculoskeletal disorders,
terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja
yang tinggi.
3) Jenis Kelamin
Secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah
dibanding pria. Kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari
kekuatan otot pria sehingga daya tahan otot pria lebih tinggi
dibandingkan otot wanita. Perbandingan keluhan otot antara pria dan
wanita adalah 1:3.
4) Kebiasaan merokok
Setiap rokok/cerutu mengandung lebih dari 4.000 jenis bahan
kimia, dimana 400 dari bahan-bahan tersebut dapat meracuni dan 40
dari bahan tersebut dapat menyebabkan kanker. Zat berbahaya
didalam rokok diantaranya adalah nikotin Efek nikotin menyebabkan
perangsangan terhadap hormon kathekolamin (adrenalin) yang
bersifat memacu jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan
kesempatan istirahat dan tekanan darah akan semakin meninggi,
berakibat timbulnya hipertensi.
22

Selain itu juga terdapat zat karbot mono oksida, i, DDT,


cadmium, formaldehyd, arsenic, hydrogen cyanidhe, naphthalene,
polonium-210 dan vinyl chloride serta zat berbahaya lainnya (Aspian,
2017).
c. Faktor Lingkungan
1) Getaran
Getaran ini terjadi ketika spesifik bagian dari tubuh atau
seluruh tubuh kontak dengan benda yang bergetar seperti
menggunakan power handtool dan pengoperasian forklift saat
mengangkat beban. Getaran juga dapat menyebabkan kontraksi otot
meningkat yang menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
sehingga terjadi peningkatan timbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri.
2) Suhu
Pajanan pada udara dingin, aliran udara, peralatan sirkulasi
udara dan alat-alat pendingin dapat mengurangi keterampilan tangan
dan merusak daya sentuh. penggunaan otot yang berlebihan untuk
memegang alat kerja dapat menurunkan resiko ergonomi. Beda suhu
lingkungan dengan suhu tubuh mengakibatkan sebagian energi di
dalam tubuh dihabiskan untuk mengadaptasikan suhu tubuh terhadap
lingkungan. Apabila tidak disertai pasokan energi yang cukup akan
terjadi kekurangan suplai energi ke otot.
3) Pencahayaan
Pencahayaan akan mempengaruhi ketelitian dan performa
kerja. Bekerja dalam kondisi cahaya yang buruk, akan membuat
tubuh beradaptasi untuk mendekati cahaya. Jika hal tersebut terjadi
dalam waktu yang lama meningkatkan tekanan pada otot bagian atas
tubuh. Pencahayaan yang inadekuat dapat merusak salah satu fungsi
organ tubuh. Hal ini berkaitan dengan tingkat pekerjaan yang
membutuhkan tingkat ketilitian yang tinggi atau tidak. Bila
pencahayaan yang inadekuat pada ruangan kerja akan menyebabkan
postur leher lebih
23

condong kedepan (fleksi) begitupun dengn postur tubuh, postur


seperti ini dapat menambah risiko MSDs (Aspian, 2017).
d. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yaitu kepuasan kerja, stress mental, organisasi
kerja (shift kerja, waktu istirahat, dll). Organisasi kerja didefinisikan
sebagai distribusi dari tugas kerja tiap waktu dan diantara para pekerja,
durasi dari tugas kerja dan durasi serta distribusi dari periode istirahat.
Durasi kerja dan periode istirahat memiliki pengaruh pada kelelahan
jaringan dan pemulihan. Studi khusus pada pengaruh organisasi kerja
pada gangguan leher telah dilakukan. Ditemukan bahwa kerja yang
melebihi empat jam per hari berhubungan dengan gejala pada leher
(Aspian, 2017).

B. Low Back Pain


1. Definisi Low Back Pain
Nyeri punggung bawah adalah rasa sakit atau nyeri pada bagian tulang
belakang antara tulang rusuk sampai tulang ekor dan dapat menjalar ke
daerah lain seperti pada daerah punggung bagian atas atau pangkal paha
serta rasa sakit atau nyeri tersebut bisa disebabkan karena aktivitas tubuh
yang kurang baik (Dinata, 2021).
Nyeri punggung bawah (Low Back Pain) adalah rasa nyeri yang
dirasakan pada punggung bagian bawah yang sumbernya adalah tulang
belakang daerah spinal (Punggung bawah) otot, saraf, atau struktur lainnya
di sekitar daerah tersebut. Nyeri punggung bawah merupakan masalah yang
sangat sering dijumpai pada populasi orang dewasa (Prastuti, Sintia and
Ningsih, 2020).
Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah merupakan nyeri
yang dirasakan pada daerah punggung bawah di daerah diskus invertebralis
lumbal bawah L4-L5 dan L5-S, yang disertai nyeri menjalar hingga ke tumit
kaki. Menurut WHO (2013), low back pain merupakan masalah kesehatan
yang sering dijumpai di masyarakat. Sekitar 70-80% penduduk negara maju
mengalami low back pain dan 15- 45% sebagai penderita dan 1:20 dirawat
24

dengan serangan akut dengan rentang yang mengalami adalah usia 35-55
tahun. (Simanjuntak, Silitonga and Aryani, 2020).
LBP di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang nyata. LBP
merupakan penyakit nomor dua pada manusia setelah influenza. Data untuk
jumlah penderita LBP di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan penderita LBP di Indonesia bervariasi antara 7,6% sampai 37%
dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Berdasarkan data kesehatan di
Provinsi Pulau Jawa, menunjukkan bahwa tingkat keluhan nyeri punggung
bawah tertinggi dengan rata-rata 58,33% di provinsi jawa timur. Di jawa
tengah menjadi tingkat nyeri punggung bawah kedua dengan rata-rata 40%.
Sedangkan di jawa barat menjadi tingkat nyeri punggung bawah ketiga
dengan rata-rata 16%. Prevalensi nyeri punggung bawah adalah 8,4% pada
tahun 2014. Tercatat terjadi peningkatan Disability-Adjusted Life Years
(DALY) dari 20,6 juta pada tahun 1990 menjadi 30,9 juta pada tahun 2010
(Pratama, Asnifatima and Ginanjar, 2019).
2. Etiologi Low Back Pain
Menurut Harsono (2000), penyebab yang paling sering terjadi yang
dapat mengakibatkan Low Back Pain (LBP) adalah kekakuan dan spasme
otot punggung oleh karena aktivitas tubuh yang kurang baik serta tegangnya
postur tubuh. Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu
dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut,
ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang
belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis,
ketidaksamaan panjang tungkai) (Agustin et al., 2023).
Pasien biasanya mengeluh nyeri pungung akut maupun nyeri
punggung kronis dan kelemahan.Peninggian tungkai dalam keadaan lurus
yang mengakibatkan nyeri menunjukkan iritasi serabut saraf. Pemeriksaan
fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan
tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya
lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas
tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot
paraspinal akan relaksasi
25

dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang. Kadang-


kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan
stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah
bisa merupakan anifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap
stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri
punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga,
variable lingkungan dan situasi kerja (Agustin et al., 2023).
3. Posisi Duduk dengan Kejadian Low Back Pain
Duduk merupakan salah satu sikap tubuh menopang batang badan
bagian atas oleh pinggul dan sebagian paha yang terbatas pergerakannya
untuk mengubah posisinya lagi. Lamanya duduk dan sikap duduk
merupakan subtopik yang erat kaitannya dengan Nyeri Punggung Bawah
(Dinata, 2021).
Duduk dalam waktu yang lama tanpa ada istirahat bisa berdampak
pada struktur tulang belakang akibat proses biomekanika yang terjadi pada
tulang belakang. Pada saat duduk, tekanan pada diskus intervertebralis lebih
besar dua kali dibandingkan pada posisi berdiri. Hal ini dapat menyebabkan
kualitas hidup seseorang memburuk karena nyeri yang timbul jika dibiarkan.
Keluhan pada masing-masing orang bervariasi karena persepsi nyeri
seseorang berbeda akibat adaptasi neuromuskuler pada jaringan lunak tulang
belakang, dari nyeri ringan sampai nyeri berat yang membutuhkan intervensi
khusus (Hutasuhut, Lintong and Rumampuk, 2021).
Posisi duduk dengan kejadian low back pain yaitu Menurut Grandjean
dalam Kuswana (2014) berpendapat bahwa berkerja dengan posisi duduk
yang ergonomis mempunyai keuntungan antara lain pembebanan pada kaki
pemakaian energi dan keperluan sirkulasi darah dapat berkurang. Namun
demikian kerja dengan sikap duduk terlalu lama dapat menyebabkan otot
perut melembek dan tulang belakang akan melekung sehingga cepat lelah.
Posisi duduk dengan postur tubuh statis yaitu postur kerja fisik dalam posisi
yang sama dan pergerakan yang sangat minimal akan menimbulkan
peningkatan beban otot dan tendon, menyebabkan aliran darah pada otot
26

terhalang dan menimbulkan kelelahan, rasa kebas dan nyeri (Prastuti, Sintia
and Ningsih, 2020).
Posisi duduk yang lama dengan postur yang tidak nyaman dapat
menyebabkan gangguan muskuloskeletal sehingga mengubah posisi duduk
secara teratur ketika duduk yang lama disarankan untuk dapat mengurangi
risiko nyeri punggung bawah, rasa tidak nyaman pada daerah lumbar,
kelelahan otot punggung dan kelelahan mental fisik akibat kerja (Prastuti,
Sintia and Ningsih, 2020).
Nyeri punggung tersebut dapat terjadi pada berbagai situasi kerja,
tetapi risikonya lebih besar apabila duduk lama dalam posisi statis karena
akan menyebabkan kontraksi otot yang terus menerus serta penyempitan
pembuluh darah. Pada penyempitan pembuluh darah aliran darah terhambat
dan terjadi iskemia, jaringan kekurangan oksigen dan nutrisi, sedangkan
kontraksi otot yang lama akan menyebabkan penumpukan asam laktat;
kedua hal tersebut menyebabkan nyeri (Dinata, 2021).
Faktor resiko yang dapat mempengaruhi timbulnya Nyeri Punggung
Bawah antara lain umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), massa
kerja, dan kebiasaan merokok. Penyebab yang paling sering terjadi pada
Nyeri Punggung Bawah adalah duduk terlalu lama, sikap duduk yang salah,
postur tubuh yang tidak ideal, aktivitas yang berlebihan, serta trauma.
Pekerjaan yang berisiko menimbulkan LBP antara lain pekerjaan yang
memiliki jam kerja panjang dan mengharuskan karyawannya untuk duduk
dalam waktu yang lama pada posisi duduk tertentu (Dinata, 2021).
Lamanya seseorang berkerja dengan baik dalam waktu sehari pada
umumnya 6-10 jam. Dengan memperpanjang waktu kerja lebih dari
kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak disertai efisensi, efektivitas
dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan
kualitas dan hasil kerja serta berkerja dengan waktu yang berkepanjangan
timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan
penyakit, kecelakaan serta ketidakpuasan (Prastuti, Sintia and Ningsih,
2020).
27

Penelitian Pirade et al menyimpulkan bahwa bekerja dengan lama


duduk statis pada rentang waktu 1,5-5 jam berpeluang 2,35 kali lebih besar
dibanding hanya bekerja kurang dari 1,5 jam. Emami et al menyatakan
dalam penelitiannya bahwa perempuan yang duduk lama selama lebih dari 4
jam berpengaruh menimbulkan LBP. Penelitian Sumekar dan Natalia
menyatakan bahwa lama waktu duduk saat bekerja yang efektif adalah
kurang dari sama dengan 4 jam (Dinata, 2021).
Beberapa penelitian menunjukkan intensitas tertinggi gangguan
muskuloskeletal terkait posisi duduk terjadi pada pekerja dengan durasi
duduk yang lama. Mahasiswa dan aktivitas perkuliahan maupun
pembelajaran memungkinkan setiap individunya untuk duduk dalam waktu
yang lama, khususnya mahasiswa membutuhkan waktu duduk yang cukup
lama untuk duduk kuliah menggunakan laptop atau gadget lainnya. Namun,
sebagian besar mahasiswa masih belum memberi perhatian lebih terkait
menerapkan posisi duduk yang benar meskipun hal itu kedepannya dapat
berdampak pada kesehatan mahasiswa (Hutasuhut, Lintong and Rumampuk,
2021).
4. Cara Pencegahan dan Pengobatan Low Back Pain
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian nyeri punggung
bawah dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor individual (personal factor),
factor pekerja (work factor). Keseluruhan faktor ini harus dicegah untuk
meningkatkan kualitas kerja. Faktor individual yang berhubungan dengan
kejadian nyeri punggung bawah adalah usia, indeks masa tubuh, kebiasaan
merokok, kebiasaan olahraga serta masa kerja sedangkan pada faktor
pekerja adalah durasi dan postur kerja dimana dalam jangka waktu yang
lama dan dalam keadaan yang statis akan sangat membebani tulang
punggung bawah dan akan menimbulkan rasa pegal, lelah pada area
pinggang dan diperberat ketika pengemudi duduk dengan posisi yang tidak
ergonomis (Pratama, Asnifatima and Ginanjar, 2019).
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh
dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi.
Pasien
28

harus tetap ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal
selama
2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal
lebih besar yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal.
Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit
menekuk lututnya atau berbaring miring dengan lutu dan panggul ditekuk
dan tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap
dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-kadang pasien
perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif” dan fisioterapi. Traksi
pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban traksi. Traksi
memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi
bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah,
kompres lembab dan panas (Agustin et al., 2023).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan gangguan pada otot,
saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis.
Sedangkan Low Back Pain (LBP) merupakan salah satu bentuk MSDs yang
melibatkan rasa nyeri pada daerah punggung bagian bawah, khususnya di
daerah diskus invertebralis lumbal bawah L4-L5 dan L5-S. MSDs, termasuk
LBP, memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan individu dan
masyarakat secara keseluruhan.
Musculoskeletal Disorders mencakup berbagai kondisi yang dapat
berkembang baik secara bertahap maupun tiba-tiba, dengan gejala yang
bervariasi seperti ketegangan otot, inflamasi, degenerasi, dan rasa nyeri.
Sedangkan Low Back Pain sendiri mencakup rasa sakit atau nyeri yang
terlokalisasi pada bagian bawah tulang belakang, sering kali menjalar hingga
ke tumit kaki.
B. Saran
Saran dari kami, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang konkret.
Pertama, perlu ditekankan pentingnya ergonomi dalam lingkungan kerja,
dengan menggunakan peralatan dan perabot yang mendukung postur tubuh
yang baik. Pelatihan kesadaran postur juga sebaiknya diimplementasikan agar
individu dapat secara aktif memperhatikan dan memperbaiki postur tubuhnya
selama bekerja. Manajemen stres juga perlu menjadi fokus, mengingat stres
dapat memperburuk kondisi MSDs. Selain itu, rutin melakukan aktivitas fisik,
peregangan, dan latihan yang memperkuat otot dapat membantu mengurangi
risiko terjadinya low back pain. Keberhasilan pencegahan ini tidak hanya
bergantung pada individu, tetapi juga membutuhkan dukungan dari organisasi
untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan
muskuloskeletal.

29
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, N. et al. (2023) ‘Pencegahan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) di
Poskesdes Desa Bandung Kabupaten Mojokerto’, Jurnal Masyarakat
Madani Indonesia, 2(1), pp. 13–17. Available at:
https://doi.org/10.59025/js.v2i1.55.

Anggraika, P., Apriany, A. and Pujiana, D. (2019) ‘Hubungan Posisi Duduk


Dengan Kejadian Low Back Pain (LBP)’, Jurnal ’Aisyiyah Medika,
4(1), pp. 1–10.

Aspian, P., 2017. Ergonomi dan Faal kerja. Kendari: Universitas Halu Oleo.

Cheisario, H. A., & Wahyuningsih, A. S. (2022). Faktor – Faktor yang


Berhubungan dengan Terjadinya Keluhan Muskuloskeletal Disorder
pada Pekerja Di PT. X. Indonesian Journal of Public Health and
Nutrition, 329-338.

Dinata, A.A.H. (2021) ‘Hubungan Lama Duduk dengan Kejadian Nyeri Punggung
Bawah’, Jurnal Medika Hutama, 3(1), pp. 1718–1722. Available at:
http://jurnalmedikahutama.com.

Fahrezi, A. Al (2022) ‘Hubungan posisi duduk dengan kejadian low back pain ada
pandemi covid-19’, Jurnal Medika Hutama, 3(2), pp. 1846–1850.

Hutasuhut, R.O., Lintong, F. and Rumampuk, J.F. (2021) ‘Hubungan Lama Duduk
Terhadap Keluhan Nyeri Punggung Bawah’, Jurnal e-Biomedik, 9(2),
pp. 160–165. Available at: https://doi.org/10.35790/ebm.v9i2.31808.

Laksana, A. J., & Srisantyorini, T. (2019). Analisis Risiko Musculoskeletal


Disorders (MSDs) pada Operator Pengelasan (Welding) Bagian
Manufakturing di PT X Tahun 2019. urnal Kajian dan Pengembangan
Kesehatan Masyarakat, 64-73.

Prastuti, B., Sintia, I. and Ningsih, K.W. (2020) ‘Hubungan Lama Kerja dan Posisi
Duduk Terhadap Kejadian Low Back Pain Pada Penjahit di Kota
Pekanbaru’, Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema Kesehatan,

30
31

5(2), pp. 375–382. Available at: http://doi.org/10.22216/jen.v5i2.4431.

Pratama, S., Asnifatima, A. and Ginanjar, R. (2019) ‘Faktor- Faktor Yang


Berhubungan Terhadap Postur Kerja Bus Pusaka Di Terminal
Baranangsiang Kota Bogor Tahun 2018’, Jurnal Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat, 2(4), pp. 313–323. Available at: http://ejournal.uika-
bogor.ac.id/index.php/PROMOTOR/article/viewFile/2245/1422.

Simanjuntak, E.Y.B., Silitonga, E. and Aryani, N. (2020) ‘Latihan Fisik dalam


Upaya Pencegahan Low Back Pain (LBP)’, Jurnal Abdidas, 1(3), pp.
119–124. Available at: https://doi.org/10.31004/abdidas.v1i3.21.

Tjahayuningtyas, A. (2019). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELUHAN


MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PEKERJA
INFORMAL. The Indonesian Journal of Occupational Safety and
Health,
1-10.

Tunang, I. P., Utama, W. T., & Ismunandar, H. (2022). Gangguan


Muskuloskeletal Akibat Kerja: Epidemiologi, Faktor Risiko, Gejala
Klinis, Tatalaksana dan Pencegahan. Agromedicine, 109-115.

Anda mungkin juga menyukai