Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

MUSKULOSKELETAL: FRAKTUR

Oleh :

Ni Kadek Yuli Rindi Antika (21089142044)

Ni Putu Yuli Astari (21089142060)

Ni Wayan Sirpa Yanti (21089142061)

Putu Widia Erning Praja (21089142072)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …............................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

A. LATAR BELAKANG MASALAH ....................................... ..........................1

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum ............................................................................................. 4


2. Tujuan Khusus ............................................................................................ 4

C. MANFAAT

1. Bagi Penulis ................................................................................................. 4


2. Bagi Pelayanan Rumah Sakit …………………………………………….. 4
3. Bagi Institusi Pendidikan ............................................................................. 5
4. Bagi Mahasiswa ........................................................................................... 5

D. KONSEP TEORI FRAKTUR

1. Definisi ........................................................................................................ 5
2. Etiologi ………………................................................................................ 6
3. Klasifikasi ………………………………………………………………… 7
4. Patofisiologi Fraktur ..................................................................................... 9
5. WOC.................................................. .......................................................... 10
6. Manifestasi Klinis ....................................................................................... 11
7. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 12
8. Komplikasi ................................................................................................... 12
9. Penatalaksanaan …………………………………………………………... 15

E. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan............................................................................ 16
2. Pemeriksaan Fisik ……. ........................................................................... 20
3. Pemeriksaan Sistem Muskuloskeletal …………………………………… 22
4. Diagnosa Keperawatan Yang Memungkinkan Muncul ............................ 23
5. Rencana Asuhan Keperawatan ................................................................. 25
6. Implementasi Keperawatan ...................................................................... 31
7. Evaluasi .................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA

ii
A. Latar Belakang Masalah

Sistem skelet merupakan susunan tulang (kerangka) yang merupakan salah

satu unsur sistem penegak dan penggerak. Tulang manusia dihubungkan dengan

yang lain melalui sambungan tulang atau persendian sehingga terbentuk kerangka

yang merupakan sistem lokomotif pasif, yang akan diatur oleh alat-alat lokomotif

aktif dari otot.

Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang lain dalam berbagai

bentuk untuk memperoleh fungsi sistem muskuloskeletal yang optimal. Jumlah

tulang ada 206 buah, yang terbagi dalam empat kategori ; tulang panjang

(misalnya femur, humerus dan klavikula), tulang pendek (misalnya tulang tarsia

dan karpia), tulang pipih ( misalnya tulang sternum dan skapula) dan tulang tidak

beraturan misalnya tulang panggul. Kehilangan fungsi utama dari tulang dapat

menyebabkan gangguan pada organ pada organ tubuh lain seperti risiko cedera

pada organ dalam bagian rongga toraks (jantung, paru dan sebagainya) atau

kehilangan fungsi penyangga dan gerak. Bentuk gangguan pada fungsi

muskuloskeletal yang paling sering adalah fraktur (Lukman & Ningsih, 2011)

Fraktur adalah setiap retak atau patah tulang yang disebabkan oleh trauma,

tenaga fisik, kekuatan, sudut, keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar tulang

yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak

lengkap. Gangguan kesehatan yang banyak dijumpai dan menjadi salah satu

masalah dipusat pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia salah satunya adalah

fraktur (Budhiartha, 2013).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6

juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan

lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik

memberikan kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan di dunia, yang

didalamnya termasuk Indonesia.

1
2

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Depkes RI (2013) di Indonesia terjadi kasus fraktur

yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalulintas dan

trauma benda tajam/tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami

fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalulintas,

yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%) dari 14.127 trauma benda

tajam/tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%) (Kemenkes RI,

2013).

Menurut data WHO 2018 dalam (Putri Hayu Nandani, 2020), hambatan

mobilitas akibat gangguan sistem muskuloskeletal telah diderita 151 juta jiwa di

dunia dengan 24 juta jiwa diantaranya berada di kawasan Asia Tenggara.

Prevalensi penyakit musculoskeletal di Indonesia mencapai 34,4 juta orang dengan

perbandingan penyakit sebesar 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita.

Prevalensi data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 menunjukkan,

sebanyak 11,5% penduduk Indonesia menderita gangguan sistem muskuloskeletal.

Prevalensi penyakit sendi di Jawa Timur juga cukup tinggi hingga mencapai

30,9% (Kalengkongan et al., 2020).

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh atau

salah satu, atau semua ekstermitas yang mandiri dan terarah (Komala Dewi, n.d.)

Atau penurunan kemampuan untuk berpindah ke satu tempat ke tempat yang lain

atau ke satu posisi ke posisi yang lain. Hambatan mobilitas fisik dapat di

pengaruhi oleh beberapa faktor Hambatan mobilitas fisik yang di akibatkan oleh

perubahan patologis pada sistem muskuloskeletal memberikan dampak pada fisik

maupun psikososial pada lansia. Dampak fisik dari sistem muskuloskeletal yang

paling jelas terlihat pada gangguan hambatan mobilitas fisik berupa penurunan

kepadatan tulang, persendian menjadi lunak, perubahan struktur otot. Dampak

psikososial dari hambatan mobilitas fisik yaitu respon emosional yang bervariasi
3

(frustasi dan penurunan harga diri, apatis, menarik diri, regresi, dan marah serta

agresif) (Raraswati et al., 2020).

Adapun yang dapat di lakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah

pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik adalah menejemen energi,

menejemen lingkungan, peningkatan latihan, terapi latihan Ambulasi, terapi

latihan pergerakan sendi, dan terapi latihan otot (NIC, 2015) Terapi latihan otot

adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya

menggunakan latihan-latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif, tujuan

dari terapi latihan adalah rehabilitasi untuk mengatasi gangguan fungsi dan gerak,

mencegah timbulnya komplikasi mengurangi nyeri dan odem (Putri Hayu

Nandani, 2020).

Selain itu manifestasi klinis dari fraktur adalah nyeri. Nyeri merupakan

perasaan yang tidak menyenangkan yang sering kali dialami oleh individu yang

didefinisikan dalam berbagai perspektif (Andarmoyo, 2013). Mengantisipasi nyeri

pada pasien fraktur dapat dilakukan secara farmakologis yaitu dengan

menggunakan obat-obatan dan nonfarmakologis. Salah satu pengobatan

nonfarmakologis yaitu dengan teknik distraksi (Firman, 2012).

Distraksi adalah memfokuskan perhatian klien pada sesuatu selain nyeri,

atau dapat diartikan lain bahwa distraksi adalah suatu tindakan pengalihan

perhatian klien ke hal-hal diluar nyeri. Dengan demikian diharapkan, klien tidak

terfokus pada nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan klien terhadap nyeri

bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Andarmoyo, 2013). Teknik

relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang

menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi

lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan

perlahan dan nyaman (Smeltzer et al., 2010)


4

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan penulis dapat

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menerapkan asuhan

keperawatan yang bermutu pada pasien fraktur.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai penulis setelah pelaksaan asuhan

keperawatan adalah :

a Mampu memahami konsep teori asuhan keperawatan pada pasien

fraktur

b Mampu melakukan pengkajian dalam memberikan asuhan keperawatan

pada pasien fraktur

c Mampu menerapkan diagnosa keperawatan pada pasien fraktur

d Mampu merencanakan asuhan keperawatan pada pasien fraktur

e Mampu mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan pada pasien

fraktur

f Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien

fraktur

g Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada

pasien fraktur

C. Manfaat

1. Bagi Penulis

Bagi penulis sendiri dapat memberikan pengetahuan, pengalaman dan

mengembangkan kemampuan peneliti dalam menyusun laporan

pendahuluan.

2. Pelayanan Rumah Sakit


5

Sebagai masukan bagi petugas kesehatan khususnya dalam mengambil

keputusan dibidang pelayanan kesehatan khususnya promosi kesehatan

mengenai Fraktur

3. Institusi Pendidikan

Hasil laporan pendahuluan ini dapat dipergunakan sebagai bahan

reverensi bagi penulisan selanjutnya.

4. Bagi Mahasiswa

Hasil laporan pendahuluan dapat menjadi referensi dan rujukan dalam

pembuatan ataupun pengaplikasian asuhan keperawatan keluarga dengan

pasien fraktur.

D. Konsep Teori Fraktur

1. Definisi

Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu

tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali

terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera

tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf

yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi

komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulangbaik karena trauma,

tekanan maupun kelainan patologis (Pelawi &Purba, 2019). Fraktur adalah

patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price,

2005).Patahan tersebut mungkin saja tidak lebih dari suatu retakan, biasanya

patahan tersebut lengkap dan fragmen tulangnya bergeser. Jika patahan

tulang tersebut tidak menembus kulit, hal ini disebut fraktur tertutup,

sedangkan jika patahan tersebut menembus kulit, maka disebut fraktur

terbuka(Pelawi & Purba, 2019).


6

2. Etiologi

Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan

suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.

Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan

hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa

memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang

dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi

pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio,

Jackson dan Keogh, 2014).

Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat

dibedakan menjadi:

a. Cedera traumatik

Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang

sehingga tulang patah secara spontan

2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh

dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur

sehingga menyebabkan fraktur klavikula

3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak

b. Fraktur patologik

Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor

mengakibatkan :

1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak

terkendali

2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi

akut atau dapat timbul salah satu proses yang progresif

3) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus

menerus
7

3. Klasifikasi

Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur

terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi

cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera

tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang

dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :

a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal

b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang

c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada

jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka

dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:

a. Fraktur tertutup

Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan

luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang

patah tidak berhubungan dengan bagian luar.

b. Fraktur terbuka

Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan

adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang

berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya

pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol

keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka

membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan

pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit

lainnya.
8

c. Fraktur kompleksitas

Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian

ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi

dislokasi

Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:

a. Fraktur transversal

Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak

lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen

tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat

semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya

dikontrol dengan bidai gips.

b. Fraktur kuminutif

Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang

terdiri dari dua fragmen tulang.

c. Fraktur oblik

Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat

sudut terhadap tulang.

d. Fraktur segmental

Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu

tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai

e. Fraktur impaksi

Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang

menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.

f. Fraktur spiral

Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini

menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat

sembuh dengan imobilisasi.


9

4. Patofisiologi

Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan

fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka

tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem,

seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkepingkeping. Saat

terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot

dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.

Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan

mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal

dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser

karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar.

Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk

sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau

berpindah.

Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum

dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering

terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan

lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),

hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah

periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan

menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi

vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan

leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan

tulang.
10

5. WOC

Trauma langsung Trauma tidak Kondisi patologis


langsung

Terputusnya Kontinuitas Tulang

FRAKTUR

Menembus Otot Terbuka Tertutup Imobilisasi


Dan Kulit

Nyeri Akut Bedrest


Luka

Spesme Otot
Pendarahan Penekanan pada
kulit
Deformitas
Gang. Integritas Kulit
Resiko infeksi

Hambatan Gangguan Mobilitas


Pemenuhan ADL Fisik
Secara Mandiri

Defisit Perawatan
Diri

6. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:

a. Deformitas
11

Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas

pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan

tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang

sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.

b. Pembengkakan

Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan

serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.

c. Memar

Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.

d. Spasme otot

Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk

mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.

e. Nyeri

Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi

fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-

masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur

dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang

bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.

f. Ketegangan

Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.

g. Kehilangan fungsi

Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau

karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.

Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.

h. Gerakan abnormal dan krepitasi

Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau

gesekan antar fragmen fraktur.

i. Perubahan neurovaskular
12

Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau

struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas

atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur

j. Syok

Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau

tersembunyi dapat menyebabkan syok.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:

a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.

b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan

fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan

vaskuler.

d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau

menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin

terjadi sebagai respon terhadap peradangan.

8. Komplikasi

Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis

cedera , usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan

penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,

kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara

lain

a. Cedera saraf

Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan

cedera dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat

pucat dan tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada

kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai.

parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.


13

b. Sindroma kompartemen

Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah

dilapisi oleh jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan

membesar jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi

sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan

tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler.

Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik

jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan

suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan

peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas.

Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran

kompartemen.gips yang ketat atau faktor-faktor internal seperti

perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan

menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena,

menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.

Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme

anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan

tekanan jaringan. Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus peningkatan

tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana

saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat

juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia) pada

otot.

c. Kontraktur Volkman

Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat

sindroma kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan

yang terus-menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan

diganti oleh jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf.


14

Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki

nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi.

d. Sindroma emboli lemak

Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada

pasien fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari

tulang panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.

Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:

a. Kaku sendi atau artritis

Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang ,

kekauan sendi dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur

sendi, pergerakan ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi

aktif harus dilakukan semampunya klien. Latihan gerak sendi

pasif untuk menurunkan resiko kekauan sendi.

b. Nekrosis avaskular

Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya

pada fraktur di proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi

karena gangguan sirkulasi lokal. Oleh karena itu, untuk

menghindari terjadinya nekrosis vaskular dilakukan

pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang setelah

terjadinya fraktur.

e. Malunion

Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam

kondisi yang tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang

tidak seimbang serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila

pasien menaruh beban pada tungkai yang sakit dan menyalahi

instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan digunakan

sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi fraktur.

e. Penyatuan terhambat
15

Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat

tapi tidak benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada

fragmen fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.

f. Non-union

Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6

bulan setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan

sepertinya tidak terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang

tidak cukup dan tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur.

g. Penyatuan fibrosa Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen

fraktur. Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan

meningkatkan resiko pasien terhadap jenis penyatuan fraktur.

h. Sindroma nyeri regional kompleks Sindroma nyeri regional kompleks

merupakan suatu sindroma disfungsi dan penggunaan yang salah yang

disertai nyeri dan pembengkakan tungkai yang sakit

9. Penatalaksanaan

Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke

posisi semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan

patah tulang.

- Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau

imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada

fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak.

- Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan

pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi.

- Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti

dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius

distal.
16

- Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus

selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang

apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips.

- Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan

fiksasi luar.

- Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan

pemasangan fiksator tulang secara operatif.

- Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi

interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal

Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang

dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).

E. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesis

1) Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa

yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,

golongan darah, nomer register, tanggal masuk rumah sakit,

diagnosis medis (Padila, 2012).

2) Keluhan utama

Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain

itu klien juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh

pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan menurut

Padila (2012) :

a) Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi

faktor presipitasi nyeri


17

b) Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk

c) Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda,

apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa

sakit terjadi.

d) Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi

kemampuan fungsinya.

e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari

3) Riwayat penyakit sekarang

4) Riwayat penyakit dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur

dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang

menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.

Selain itu, penyakit diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya

osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat

proses penyembuhan tulang (Padila, 2012).

5) Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti

diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan

dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Padila,

2012).

6) Riwayat psikososial
18

Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta

respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012).

7) Pola-pola

a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi

kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan

kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,

pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti

penggunaan obat steroid yang dapat menggangu metabolisme

kalsium, pengonsumsian alkohol yang bisa mengganggu

keseimbangannya dan apakah klien melaksanakan olahraga atau

tidak (Padila, 2012).

b) Pola nutrisi dan metabolisme

Malnutrisi termasuk obesitas, membran mukosa kering

karena pembatasan pemasukan atau periode post puasa

(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010). Pada

klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan

sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin untuk

membantu proses penyembuhan tulang dan pantau

keseimbangan cairan (Padila, 2012).

c) Pola eliminasi

Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya,

warna, bau, dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi

urine dapat disebabkan oleh posisi berkemih yang tidak

alamiah, pembesaran prostat dan adanya tanda infeksi saluran

kemih Kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.

d) Pola tidur dan istirahat


19

Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak sehingga

hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain

itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana

lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta

penggunaan obat tidur (Padila, 2012). Tidak dapat beristirahat,

peningkatan ketegangan, peka terhadap rangsang, stimulasi

simpatis.

e) Pola aktivitas

Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk

kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu

banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah

bentuk aktivitas (Padila, 2012). Pola hubungan dan peran Klien

akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena

klien harus menjalani rawat inap (Padila, 2012).

f) Persepsi dan konsep diri

Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan

kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan

aktivitas secara optimal dan pandangan dirinya yang salah

(Padila, 2012).

g) Pola sensori dan kognitif

Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada

bagian fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul

gangguan begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami

gangguan (Padila, 2012).

h) Pola reproduksi seksual

Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena

harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa


20

nyeri. Selain itu, klien juga perlu dikaji status perkawinannya

termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Padila, 2012).

i) Pola penanggulangan stress

Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor-faktor stress

multiple seperti masalah finansial, hubungan, gaya hidup

(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010).

b. Pemeriksaan fisik menurut Suratun dkk (2008)

1) Keadaan umum :

a) Pemeriksaan Local

Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur biasanya seperti

pemeriksaan fisik pada umumnya, tetapi pada saat pemeriksaan

fraktur dilakukan hal – hal sebagai berikut : Keadaan Lokal

Harus di perhitungkan keadaaan proksimal serta bagian distal

terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status

neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,

Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara

lain:

a. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun

buatan seperti bekas operasi).

b. Cape au lait spot (birth mark).

c. Fistulae.

d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau

hyperpigmentasi.

e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan

halhal yang tidak biasa (abnormal).

f. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas(deformitas)

2) Feel (palpasi)
21

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita

diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada

dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan

informasi dua arah,baik pemeriksa maupun klien. Yang

perlu dicatat adalah:

a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan

kelembaban kulit.Capillary refilltime Normal 3– 5 “

b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat

fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian

Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak

kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot:

tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan

yang terdapat di permukaan atau melekat pada

tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.

Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu

dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,

pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri

atau tidak, dan ukurannya.

3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian

diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat

apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan

lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan

sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan

ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0

(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini

menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau


22

tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan

pasif.

b) Pantau keseimbangan cairan

c) Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah

pada pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan

darah turun, konfusi, dan gelisah)

d) Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis

biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda vital

e) Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk tandai

nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis

f) Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas,

tingkah laku, dan tingkat kesadaran

g) Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung : observasi

perubahan frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit,

suhu tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya

h) Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan

merokok.

c. Pemeriksaan Sistem Muskuloskeletal

1. Pergerakan sendi Bebas Terbatas


2. Kekuatan otot
3. Kelainan Ekstremitas Ya Tidak
4. Kelainan tulang belakang Ya Tidak
Frankel ………………………………………………..
5. Fraktur Ya Tidak
- Jenis : ………………….
6. Traksi Ya Tidak
- Jenis : ………………….
- Beban : ………………….
- Lama Pemasangan : ………………….
7. Penggunaan spalk/gips Ya Tidak

8. Keluhan nyeri : Ya Tidak


23

P : ………………….
Q : ………………….
R : ………………….
S : ………………….
T : ………………….
9. Sirkulasi perifer : ………………….
10. Kompartemen Syndrome : Ya Tidak
:
11. Kulit : Ikterik Sianosis : Kemerahan : Hiperpigmen
12. Tugor : Baik Kurang Jelek
13. Luka operasi : Ada : Tidak
Tanggal Operasi : ………………….
Jenis Operasi : ………………….
Lokasi : ………………….
Keadaan : ………………….
Drain : Ada Tidak
: :
- Jumlah : ………………….
- Warna : ………………….
- Kondisi area sekitar insersi : ………………….
14. ROM : ………………….
15. POD : ………………….
16. Cardinal Sign : ………………….
17. Lain-lain :
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan

fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/

immobilisasi, stress, ansietas.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak

nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas,

penurunan kekuatan / tahanan.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan

status metabolic, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi


24

dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat

badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon

inflamasi tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/

kerusakan kulit, insisi pembedahan.

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan factor (kolaboratif): traksi

atau gibs pada ekstrimitas


25

3. Intervensi Keperawatan

Hari/ Waktu Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional


Tanggal (Tujuan Kriteria Hasil) (NIC)
1 Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, o Evaluasi keluhan nyeri, -Untuk mengetahui seberapa besar
tingkat nyeri yang dialami pasien
gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada lokasi, karakteristik dan
-memberikan posisi senyaman
jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress, ansietas. intensitas nyeri
mungkin agar kondisi pasien
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi o Memberikan posisi senyaman tidak bertambah buruk.
(NOC) : mungkin
-Teknik relaksasi nafas dalam
- Ansiety o Mengajarkan teknik relaksasi diberikan untuk membantu
- Fear level nafas dalam. dalam mengontrol nyeri pasien
- Sleep o Menjelaskan prosedur -Untuk menambah wawasan
Devipration sebelum tindakan. pasien maupun keluarga pasien
- Comfort, Readlines for Enchanced agar mengetahui tindakan yang
o Kolaborasi pemberian
diberikan seperti apa
Kriteria Hasil : analgesik.
- Mampu mengontrol kecemasan -Untuk mengurangi masalah
yang dialami pasien dan
- Status Lingkungan yang nyaman
diharapkan status kenyamanan
- Mengontrol nyeri pasien meningkat
- Kualitas tidur dan istirahat adekuat
- Status kenyamanan meningkat
26

2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / - Kaji tingkat mobilisasi. -Untuk menunjukkan tingkat
perubahan mobilitas pasien setiap
ketidak nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi - Membantu/intruksikan
harinya
pembatasan aktifitas, penurunan kekuatan / tahanan. klien untuk latihan gerak
-Untuk melatih otot pasien agar
Tujuan : Klien dapat melakukan gerak dan ambulasi. aktif pesif pada tidak kaku
(NOC) : ekstremitas yang sakit
-Untuk mempermudah saat
- Joint movement : active maupun yang tidak sakit. melakukan tindakan
- Mobility level - Mendekatkan alat-alat
-Untuk mempercepat proses
- Self care : ADLs yang dibutuhkan klien.
pemulihan dari kondisi pasien
- Transfer performance - Membantu memenuhi
-Ahli fisioterapi diperlukan
Kriteria Hasil : kebutuhan klien.
dalam penangan dengan masalah
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik - Kolaborasi dengan ahli gangguan mobilitas fisik,dimana
- Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas fisioterapi. penggunaan akat banntu sangat
diperlukan dalam memulihkan
- Memverbalisasikan kekuatan dalam
kondisi pasien
meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
- Memperagakan penggunaan alat bantu untuk
mobilisasi (walker)

3 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan - Kaji kulit untuk luka Untuk mengetahui luas jaringan kulit
27

tekanan, perubahan status metabolic, kerusakan terbuka. pada pasien

sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh - Melakukan masase. -Untuk merileksasikan otot atau sendi.

terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat - Ubah posisi dengan -Untuk melatih gerakan sendi atau otot
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik sering. agar tidak kaku

Tujuan : Gangguan intregritas kulit teratasi - Ganti balutan sesuai -Untuk meningkatkan
penyembuhan luka agar tidak infeksi
NOC : indikasi
- Tissue intergrity : skin and mocous
membranes
- Wound healing : primary and secondary
intention
Kriteria Hasil :
- Ketebalan dan tekstur jaringan normal
- Menunjukkan pemahaman dalam proses
perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang
Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

4 Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, - Pantau tanda-tanda vital - mengidentifikasi tanda-tanda
respon inflamasi tertekan, prosedur invasi dan jalur peradangan terutama bila suhu
- Lakukan perawatan luka
28

penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi pembedahan. dengan tehnik aseptik. tubuh meningkat.
Tujuan : infeksi tidak terjadi/ terkontrol - Lakukan perawatan - mengendalikan penyebaran
terhadap prosedur inpasif mikroorganisme pathogen.
Kriteria hasil :
seperti infuse, kateter, - untuk mengurangi resiko
- tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus
drainase luka, dll.. infeksi nosokomial
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
- Jika di temukan tanda - penurunan Hb dan peningkatan
- tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat
infeksi kolaborasi untuk jumlah leukosit dari normal bias
ditoleransi
pemeriksaan darah, terjadi akibat terjadinya proses
seperti Hb dan leukosit. infeksi
- antibiotic mencegah
- Kolaborasi untuk
perkembangan mikroorganisme
pemberian antibiotic.
pathogen.

5 Defisit perawatan diri berhubungan dengan factor - Tentukan Untuk mengetahui kemampuan
kemampuan saat ini klien dalam melakukan
(kolaboratif): traksi atau gibs pada ekstrimitas
dan hambatan untu perawatan diri
.
partisipasi dalam -Untuk mempertahankan
Tujuan : Gangguan pemenuhan kebutuhan (ADL) kemampuan perawatan diri pada
perawatan diri.
dapat teratasi. pasien
- Ikut sertakan klien
29

NOC : dalam rencana -Untuk memberikan dukungan


- Self Care : Activity of daily living (ADLs) perawatan pada kepada pasien sehingga pasien
mampu melakukan perawatan
tingkat kemampuan.
diri secara mandiri
Kriteria Hasil : - Dorong untuk
-Bertujuan agar pasien merasa
- Menunjukkan peningkatan perawatan diri perawatan diri.
tidak sendirian dalam memenuhi
dalam aktivitas kehidupan sehari – hari, - Bantu dalam kebutuhan sehari-harinya
makan, mandi/hygiene, berpakaian, toileting) melakukan
-Ahli fisioterapi atau okupasi
Kemampuan untuk mempertahankan perawatan diri pemenuhan
diperlukan dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-
defisi perawatan diri karena
hari.
dapat membantu dalam
Konsultasi dengan
mengatasi masalah yang dialami
ahli fisioterapi atau
pasien
okupasi.
30

4. Implementasi keperawatan

Implementasi di buat sesui dengan intervensi yang telah di buat


sesuai dengan diagnosa keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi di buat sesuai dengan melihat perkembangan pasien dan


menggunakan evaluasi sumatif ( SOAP ).
DAFTAR PUSTAKA

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialih bahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba
Emban Patria.

DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2014), Keperawatan Medikal bedah, Ed.
I, Yogyakarta: Rapha publishing

Istianah, Umi. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi.


Yogyakarta : Nuha Medik

Kalengkongan, D., Mandala, R., & Masala, I. (2020). Sistem Pakar Diagnosis
Gangguan Sistem Muskuloskeletal Menggunakan Metode Certainty Factor
Berbasis Android. Jurnal Ilmiah Realtech.
https://doi.org/10.52159/realtech.v16i2.137

LeMone, Priscilla. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Lukman dan Ningsih, Nurna. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika

Padila. 2012. Buku ajar: keperawatan medikal bedah. Yogyakarta : Nuha Medika

Pelawi, Awan, and Juni Sinarinta Purba. 2019. “Teknik Pemeriksaan Fraktur Wrist
47 Join Dengan Fraktur Sepertiga Medial Tertutup Instalasi.” Jurnal Radiologi
7 (1): 22–27.

Price, wilson. 2006. Patofisiologi vol 2 ; Konsep Klinis Proses-proses penyakit.


Jakarta : Buku kedokteran EGC

Putri Hayu Nandani, D. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Lansia Yang Mengalami
Gangguan Aktivitas Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik.
Repository.
Wiarto, G. (2017). Nyeri Tulang dan Sendi. Gosyen Publisihing

Anda mungkin juga menyukai