Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN STROKE

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III

Dosen Pembimbing:
Ns. Diana Irawati, M.Kep., Sp.Kep. KMB

Disusun Oleh:
Kelompok 4
( Transfer 3B)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2020-2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I KONSEP ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERSYARAFAN
A. Anatomi dan Fisiologi Otak
BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian Stroke
B. Etiologi Stroke
C. Manifestasi Klinik Stroke
D. Patofisiologi Stroke
E. Pemeriksaan Penunjang Stroke
F. Penatalaksanaan Stroke

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian Keperawatan Pada Stroke
B. Diagnosa Keperawatan Pada Stroke
C. Intervensi Keperawatan Pada Stroke
BAB IV PEMBAHASAN SKENARIO KASUS
BAB V INTEGRASI HASIL PENELITIAN
A. Jurnal NIHSS
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERSYARAFAN

A. Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system
saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari
cerebrum cerebellum, brainstem, dan limbic system (Derrickson &Tortora,
2013). Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun
neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan
adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak
mengambil alih fungsi dari bagianbagian yang rusak. Otak belajar
kemampuan baru, dan ini merupakan mekanisme paling penting dalam
pemulihan stroke ( Feign, 2006). Secara garis besar, sistem saraf dibagi
menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat
(SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar
SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah
menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh
lainnya (Noback dkk, 2005).

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen


bagiannya adalah:
a. Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan
sulkus (celah) dan girus (Ganong, 2003). Cerebrum dibagi menjadi
beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus Frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat
fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan
berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer
kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung
pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis
(area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik
(area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan
sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif
(Purves dkk, 2004).
2) Lobus Temporalis Mencakup bagian korteks serebrum yang
berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior
dari fisura parieto-oksipitalis (White, 2008). Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dlm pembentukan dan
perkembangan emosi.
3) Lobus parietalis Lobus parietalis merupakan daerah pusat
kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik
primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White, 2008).
4) Lobus oksipitalis Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat
penglihatan dan area asosiasi penglihatan: menginterpretasi
dan memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus
dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf
lain & memori (White, 2008).
5) Lobus Limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur
emosi manusia, memori emosi dan bersama hipothalamus
menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas susunan
endokrin dan susunan otonom (White, 2008).
b. Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih
banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki
peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang
didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya
40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan
pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.
Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal
(Purves, 2004).
c. Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis
dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting
adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara
medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial.
B. Anatomi Peredaran Darah Otak
Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang
diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat
mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus
dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan
pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu
dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat
untuk sel (Wilson, et al., 2002).
a. Peredaran Darah Arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan
beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna
dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir
pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir
arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri
communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri
serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan
melalui arteri communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan
kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri
subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata,
sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari
aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen
magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua
arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris (Wilson, et al., 2002).
b. Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus
duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam
struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup
dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena
cortex superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior
yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama adalah
vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir
ke dalam sinus transversus. Vena-vena serebri profunda
memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Wilson, et al., 2002).
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian Stroke
Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang
disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada
siapa saja dan kapan saja. Stroke merupakan penyakit yang paling sering
menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara,
proses berfikir, daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai
akibat gangguan fungsi otak (Mutaqin, 2011).
Stroke adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam otak yang timbul secara mendadak dan akut dalam
beberapa detik atau secara tepat dalam beberapa jam yang berlangsung
lebih dari 24 jam dengan gejala atau tanda tanda sesuai daerah yang
terganggu (Irfan, 2012). Stroke atau serangan otak adalah suatu bentuk
kerusakan neurologis yang disebabkan oleh sumbatan atau interupsi
sirkulasi darah normal ke otak.Dua tipe stroke yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Stroke hemoragik lebih jauh dibagi menjadi hemoragik
intrasrebral dan hemoragik subaraknoid (Weaver & Terry, 2013).

B. Etiologi Stroke
Stroke dapat berupa stroke iskemik (87%) dan stroke perdarahan (13%).
a. Stroke hemorage
Meliputi perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, dan
hematoma subdural. Perdarahan intraserebral ini terjadi karena pecahnya
pembulu darah sehingga mengakibatkan hematoma pada daerah parenkim
otak. Perdarahan subarchnoid terjadi bila darah memasuki area arachnoid
(tempat cairan serebrospinal) baik karena trauma, pecahnya aneuresmia
intracranial, maupun pecahnya arterivenosa yang cacat. Sebaliknya, stroke
iskemik terjadi bila pembuluh darah pecah dalam parenkim otak,
menyebabkan pembentukan hematoma. Jenis perdarahan ini sangat sering
dikaitkan dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dan jarang
antitrombolitik. Hematoma subdural menjelaskan terkumpulnya darah
dibawah area dura (melapisi otak) dan sering disebabkan oleh trauma.
Stroke hemorage lebih letal dua kali sampai enam kali daripada stroke
iskemik (Fagans and Hess, 2014).
b. Stroke iskemik
Terjadi akibat penyumbatan (trombotik atau embolik) pembuluh darah
arteri otak. Penyumbatan pembuluh drah dapat mengganggu aliran darah
ke bagian tertentu otak, sehingga terjadi deficit neurologis yang
disebabkan oleh hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh bagian otak
tersebut (Winkler, 2009).
Thrombus arteri dapat disebabkan oleh satu atau lebih penyebab, antara
lain abnormalitas dinding pembuluh darah (penyakit degeneratif, inflamasi
atau trauma) yang tersusun dari endotel menyebabkan aktivasi platelet dan
terjadi pelekatan pelekatan platelet membentuk bekuan fibrin. Bekuan
fibrin ini akan menghambat bahkan membuntu jalur darah sehingga dapat
menyebabkan infark jaringan yang berkembang menjadi stroke iskemik.
Emboli bisa timbul baik dari intra atau ekstrakranial (termasuk arkus
aorta), atau seperti pada 20% kasus stroke iskemik berasal dari jantung.
Emboli kardiogenik terjadi jika pasien memiliki fibrilasi atrium (denyut
jantung tidak teratur), kelainan katup jantung atau kondisi lain dari jantung
yang dapat menyebabkan gumpalan (Fagan dan Hess, 2014; Ginsberg,
2008; Rohkamm, 2004).

C. Jenis Jenis Stroke


Berdasarkan data American Heart Association (AHA) pada tahun 2012
stroke dikalsifikasikan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik merupakan stroke yang paling sering terjadi yaitu
sebanyak 87% dan stroke hemoragik sebanyak 13%. Klasifikasi penyakit
stroke terdiri dari beberapa kategori, diantaranya: berdasarkan kelainan
patologis, secara garis besar stroke dibagi dalam dua tipe, yaitu: ischemic
stroke atau infark atau non-hemorrhagic stroke dimana stroke yang
disebabkan oleh gumpalan atau penyumbatan arteri yang menuju ke otak
yang sebelumnya mengalami proses aterosklerosis. Stroke iskemik terdiri
dari tiga macam, yaitu: stroke infark embolik, stroke infark trombotik dan
stroke hipoperfusi. Tipe kedua adalah hemorrhagic stroke yang disebabkan
karena adanya kerusakan dari pembuluh darah di otak. Pendarahan dapat
disebabkan oleh lamanya tekanan darah tinggi dan aneurisma otak. Ada
dua jenis stroke hemorage, yaitu stroke subarakhnoid dan stroke
intraserebral (Arifianto, 2014).

D. Tanda dan Gejala Stroke


Gejala yang paling umum dari stroke adalah munculnya secara mendadak
mati rasa pada wajah maupun setengah anggota badan atau merasa
kelemahan pada lengan atau kaki, paling sering pada satu sisi tubuh.
Gejala lain yang dapat terjadi ialahkebingungan, kesulitan berbicara atau
memahami pembicaraan, kesulitan melihat dengan satu atau kedua mata,
kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi, sakit
kepala parah tanpa diketahui penyebabnya, pingsan atau tidak sadarkan
diri. Efek dari stroke tergantung pada bagian dari otak yang terluka dan
seberapa parah itu dipengaruhi. Stroke yang sangat parah dapat
menyebabkan kematian mendadak (WHO, 2014). Gejala stroke tergantung
dari bagian otak yang rusak. Dalam beberapa kasus, seseorang bahkan
mungkin tidak menyadari bahwa ia telah mengalami stroke. Gejala
biasanya terjadi tiba-tiba dan tanpa tanda yang terlihat, atau dapat
membuat seseorang meninggal langsung pada hari pertama atau dua.
Gejala paling parah biasanya ketika stroke pertama terjadi, tetapi dapat
juga memburuk dalam waktu lambat. Sakit kepala dapat terjadi terutama
jika stroke disebabkan oleh pendarahan di otak. Sakit kepala seperti tiba-
tiba dan terasa berat, dapat terjadi ketika sedang berbaring , bangun dari
tidur dan saat mengubah posisi atau ketika membungkuk, ketegangan,
serta batuk (Ingale V.B, 2013).

E. Faktor Resiko Stroke


Faktor risiko stroke adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab atau yang
mendasari terjadinya stroke pada masing-masing individu. Berdasarkan
AHA guidelines tahun 2011, menerangkan bahwa faktor resiko stroke
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu : faktor resiko yang tidak dapat diubah
dan faktor resiko yang bisa diubah (Goldstein et al, 2011).
a. Faktor Risiko Dapat Diubah
1) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting untuk semua
tipe stroke. Peningkatan resiko stroke terjadi seiring dengan
peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai pasti
kolerasi antara peningkatan tekanan darah dengan resiko
stroke, diperkirakan resiko stroke meningkat 1,6 kali setiap
peningkatan 10 mmHg tekanan sistolik dan sekitar 50%
kejadian stroke dapat dicegah dengan pengendalian tekanan
darah. Apabila hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan
stroke akut dapat mengakibatkan edema otak, namun
berdasarkan penelitian Chamorro menunjukkan bahwa
perbaikan sempurna pada stroke 22 iskemik dipermudah oleh
adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edem otak
berkembang sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral
(PERDOSSI, 2011). Bila pasien telah memiliki riwayat
hipertensi maka dapat dilakukan pendekatan farmakologi
dengan agen anti hipertensi (Fahimfar, 2012).
2) Diabetes Mellitus
Orang dengan diabetes mellitus lebih rentan terhadap
arterosklerosis dan peningkatan prevalensi proaterogenik,
terutama hipertensi dan lipid darah yang abnormal.
Berdasarkan studi case control pada pasien stroke dan studi
epidemiologi prospektif telah menginformasikan bahwa
diabetes dapat meningkatkan risiko stroke iskemik dengan
resiko relative mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6 kali
lipat. Modifikasi faktor resiko dapat dilakukan dengan
pemberian statin, derivate fibrat, atau antiplatelet. Hal tersebut
secara tidak langsung dapat mengurangi faktor resiko
terjadinya stroke dengan penurunan hipertensi akibat stroke
(Goldstein et al, 2011).
3) Dislipidemia
Peningkatan kadar lipid pada tubuh merupakan bagian dari
beberapa faktor risiko terjadinya stroke iskemik. Kadar lipid
mempengaruhi terjadinya plak arterosklerosis sehingga dapat
menjadi faktor resiko terjadinya stroke iskemik (Furie et al.,
2011). Berdasarkan NCEP guideline diberikan terapi statin
untuk menurunkan kadar kolesterol tubuh, dan atau diberikan
terapi turunan fibrat (Mandal, 2013).
4) Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila
disertai dengan dislipidemia dan atau hipertensi, melalui proses
aterosklerosis. Obesitas dapat menyebabkan terjadinya stroke
lewat efek snoring atau mendengkur dan slee apnea, karena
terhentinya suplai oksigen secara mendadak di otak. Obesitas
juga membuat seseorang cenderung mempunyai tekanan darah
tinggi, meningkatkan resiko terjadinya penyakit diabetes, juga
meningkatkan produk sampingan metabolism yang berlebihan
yaitu oksidan/ radikal bebas. Hal tersebut karena umumnya
porsi makan orang gemuk akan lebih banyak (Junaidi, 2011).
Berdasarkan NCEP guideline diberikan terapi statin untuk
menurunkan kadar kolestrol tubuh dan atau diberikan turunan
fibrat (Mandal, 2013).
5) Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor resiko terjadinya stroke
dikarenakan merokok dapat meningkatkan tekanan darah, nadi,
kerja otot jantung, dan menurunkan kemampuan arterial.
Sehingga perokok aktif maupun perokok pasif beresiko
terjadinya arterosklerosis. Secara tidak langsung dapat menjadi
faktor resiko terjadinya stroke iskemik dengan pembentukan
arterosklerosis maupun stroke hemorage dengan peningkatan
tekanan darah. Tingkat kematian penyakit stroke karena
merokok di Amerika Serikat pertahunnya diperkirakan sekitar
21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk factor resiko ), dan
17.800 (seteah ada penyesuaian), ini menunjukkan bahwa
rokok memberikan konstribusi terjadinya stroke yang berakhir
dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein, 2011).
Pendekatan non-farmakologi yang dapat dilakukan yaitu
dengan mengurangi intensitas merokok bagi perokok aktif atau
menjauhi asap rokok bagi perokok pasif (National Stroke
Association, 2013).
6) Stress
Pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh faktor stress pada proses
arterosklerosis adalah melalui peningkatan pengeluaran
hormon kewaspadaan oleh tubuh. Stress jika tidak dikontrol
dengan baik akan menimbulkan kesan pada tubuh adanya
keadaan bahaya sehingga direspon oleh tubuh secra berlebihan
dengan mengeluarkan hormone-hormon yang membuat tubuh
waspada seperti kortisol, katekolamin, epinefrin, dan adrenalin.
Dengan dikeluarkannya adrenalin atau hormone kewaspadaan
lainnya secara berlebihan maka akan berefek pada peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung. Hal ini bila terlalu keras dan
sering dapat merusak dinding pembuluh darah dan
menyebablan terbentuknya plak (Junaedi, 2011).
7) Alkohol
Mengkonsumsi alkohol mempunyai sisi yang bertolak
belakang, yaitu efek menguntungkan dan merugikan. Apabila
mengkonsumsi sedikit alkohol secara merata setiap hari maka
akan mengurangi kejadian stroke dengan jalan meningkatkan
kadar HDL dalam darah. Akan tetapi, bila mengkonsumsi
alkohol berlebihan maka akan meningkatkan resiko stroke.
Alkohol oleh tubuh dipersepsi sebagai racun. Akibatnya bahan
lain yang masuk kedalam tubuh seperti karbohidrat dan lemak
yang bersikulasi dalam darah harus menunggu giliran sampai
proses pembuangan alkohol pada kadar normal selesai
dilakukan (Junaedi, 2011).
b. Faktor Risiko Tidak Dapat Diubah
1) Usia
Stroke meningkat seiring bertambahnya usia dipengaruhi oleh
perubahan alamiah dalam tubuh yang mempengaruhi jantuing,
pembuluh darah dan hormon. Pada sebuah penelitian
multivarian lainnya juga ditemukan korelasi peningkatan usia
dengan penyakit serebrovaskular yang independen dengan
iskemik dari pada dengan perdarahan (Gofir, 2009; Goldstein,
et al., 2006). Proses tersebut diawali dengan kondisi elastisitas
arteri akan berkurang sehingga pembuluh darah menyempit dan
menjadi kaku. Selain itu, pada usia lanjut sensitivitas pengatur
tekanan darah yaitu reflex baroreseptor mulai berkurang. Hal
ini mengakibatkan resiko hipertensi dan arterosklerosis
meningkat sehingga banyak ditemukan resiko stroke iskemik
meningkat dua kali lipat tiap dekade setelah umur 55 tahun
(Junaidi, 2011).
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktr resiko yng tidak
dapat diubah. penggunaan kontrasepsi oral dan kehamilan
dapat meningkatkan faktor resiko stroke pada perempuan
(Goldstein et al, 2011). Kejadian abnormalitas homeostasis
sebagi salah satu faktor pencetus stroke juga dipengaruhi oleh
defisiensi hormone esterogen. Hal ini menjadi salah satu faktor
yang melatar belakangi kejadian peningkatan kasus stroke pada
perempuan (Junaidi, 2011). Faktor meningkat pada pasien
perempuan saat masa transisi menopause. Pada masa transisi
tersebut banyak terjadi masalah kardiovaskuler yang
diakibatkan oleh penurunan konsentrasi esterogen endogen
sebanyak 60%. Penurunan kadar esterogen menyebabkan
penurunan katabolisme LDL dan HDL hepatic sehingga
menyebabkanresiko terjadinya arterosklerosis (Lisabeth dan
Bushnell, 2012).
3) Keturunan
Keluarga Orang yang hubungan darahnya dekat dengan yang
telah mengalami stroke memiliki risiko stroke yang lebih
tinggi. Pada sebuah studi kohort dinyatakan bahwa keluarga
yang memiliki riwayat stroke maka memiliki resiko 30% 25
terjadinya stroke kembali (Mandal, 2013). Pada wanita yang
memiliki orang tua dengan riwayat stroke, lebih
memungkinkan terkena stroke dibandingkan dengan pria
(Goldstein, 2011).

F. Patofisiologi Stroke
Aliran darah di setiap otak terhambat karena trombus atau embolus, maka
terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otot, kekurangan oksigen pada
awalnya mungkin akibat iskemia imun (karena henti jantung atau
hipotensi) hipoxia karena proses kesukaran bernafas suatu sumbatan pada
arteri koroner dapat mengakibatkan suatu area infark (kematian jaringan).
Perdarahan intraksional biasanya disebabkan oleh ruptura arteri cerebri
ekstravasasi darah terjadi di daerah otak atau subarachnoid, sehingga
jaringan yang terletak di dekatnya akan tertekan. Darah ini sangat
mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteri
di sekitar pendarahan, spasme ini dapat menyebaar ke seluruh hemisfer
otak, bekuan darah yang semua lunak akhirnya akan larut dan mengecil,
otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan
mengalami nekrosis. Infark regional kortikal, sub kortikal ataupun infark
regional di batang otak terjadi karena daerah perdarahan suatu arteri tidak/
kurang mendapat aliran darah. Aliran/ suplai darah tidak disampaikan ke
daerah tersebut oleh karena arteri yang bersangkutan tersumbat atau pecah.
Sebagai akibat keadaan tersebut bias terjadinya anoksia atau hypoksia.
Bila aliran darah ke otak berkurang sampai 24-30 ml/100 gr jaringan akan
terjadi ischemia untuk jangka waktu yang lama dan bila otak hanya
mendapat suplai darah kurang dari 16 ml/100 gr jaringan otak, maka akan
terjadi infark jaringan otak yang permanen

G. Pemeriksaan Penunjang Stroke


a. Perkembangan teknologi CT-scan dan MRI meningkatkan derajat
keakuratan diagnosis stroke iskemik akut. Dengan melakukan
kombinasi pemeriksaan CT-scan perfusi dan angiografi CT-scan dalam
24 jam awitan stroke, maka akan terjadi peningkatan derajat akurasi
dalam penentuan lokalisasi secara dini, lokalisasi vaskular, dan
diagnosis terhadap etiologi (Sylvia, 2012). MRI dan Ct-scan wajib
dilakukan pada pasien penderit stroke akut, MRI lebih unggul dari CT-
scan dalam mendeteksi iskemia akut. Bentuk penyempurnaan dalam
teknologi MRI adalah DWI (Diffusion Weighted Imaging) yang
didasarkan pada deteksi gerakan acak proton dalam molekul air. Pada
stroke, saat jaringan saraf mengalami iskemia, integritas membran sel
terganggu sehingga kebebasan molekul air bergerak menjadi terbatas.
Dengan penggunaan DWI kerusakan saraf dapat dideteksi berdasarkan
perubahan gerakan molekul, daerahdaerah yang mengalami infark
terlihat tanpak daerah putih terang (Sylvia, 2012).
b. Pemeriksaan rontgen thoraks merupakan standar prosedur karena dapat
mendeteksi perbesaran jantung dan infiltrat paru yang berkaitan
dengan gagal jantung kongestif (Sylvia, 2012).
c. Angiografi serebrum juga dapat dilakukan untuk memberikan
informasi penting dalam mendiagnosis penyebab dan lokasi stroke.
Secara spesifik, angiografi serebrum dapat mengungkapkan lokasi lesi
ulseratif, stenosis, displasia fibromuskular, fistula arteriovena,
vaskulitis, dan pembentuka trombus di pembuluh darah besar. Namun
kegunaan metode ini agak terbatas oleh penyulit yang dapat terjadi
pada hampir 12% pasien yang dicurigai mengidap stroke. Metode ini
memiliki risiko robeknya aorta atau arteri karotis dan embolisasi dari
pembuluh darah besar ke pembuluh intrakranium. Dengan demikian,
harus dipertimbangkan kemungkinan meluasnya stroke saat medium
kontras yang disuntikkan menggantikan aliran darah. Angiografi
biasanya dicadangkan untuk pasien dengan TIA di bagian anterior
sirkulus willisi, karena kelainan penyebab mungkin dapat diperbaiki
secara bedah. Namun, angiografi sebaiknya tidak dilakukan pada
pasien dengan gejala dan tanda lesi sirkulasi posterior, karena lesi-lesi
ini tidak dapat diakses secara bedah (Sylvia, 2012).
d. Pemeriksaan lain untuk menentukan faktor resiko, seperti pemeriksaan
darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis, dan bila
diperluka pemeriksaan gambaran darah. Komponen kimia darah,
elektrolit, gas, doppler, dan elektrokardiografi (Sylvia, 2012).
e. Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal, Tekanan meningkat dan cairan
yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
f. EEG : Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
g. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena

H. Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksaan medik pasien stroke menurut Muttaqin (2008), adalah:
a. Menurunkan kerusakan iskemik serebral dengan mempertahankan
saluran napas yaitu : oksigenisasi, penghisapan lendir, bila perlu
lakukan trakeostomi serta dengan vasodilator untuk meningkatkan
aliran darah serebral seperti asam nikotinat tolazin dan jenis
lainnya
b. Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue
plasminogen)
c. Pemberian obat-obatan seperti digoksin pada aritmia jantung atau
alfa beta, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan
hipertensi.
d. Pemberian Steroid guna menurunkan permeabilitas kapiler.
e. Pemberian Osmotis Diuretika seperti manitol, lasix atau
furosemide untuk menurunkan edema serebral.
f. Pemberian Anti koagulan untuk mencegah memberatnya trombosis
dan embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler.

I. Komplikasi Stroke
Menurut Junaidi 2011 beberapa komplikasi stroke diantaranya: Dekubitus:
tidur yang terlalu lama dapat mengakibatkan luka/lecet pada bagian tubuh
yang menjkasuadi tumpuan saat berbaring, seperti : pinggul, pantat, sendi
kaki, dan tumit. Luka (dekubitus) ini bila dibiarkan akan terkena infeksi.
Untuk mencegah itu, pasien di anjurkan untuk berpindah dan digerakkan
secara teratur tidak peduli parah sakitnya pasien. Bekuan darah: bekuan
darah dapat terjadi pada kaki yang lumpuh, penumpukan cairan dan
pembengkakan, embolisme paru-paru. Pneumonia: terjadi biasanya pasien
tidak dapat batuk atau menelan dengan baik sehingga menyebabkan caira
terkumpul di paru-paru selanjutnya terinfeksi. Untuk mengatasi ini dokter
akan memberikan antibiotika. Kekakuan otot dan sendi: terbaring lama
akan menimbulkan kekakuan pada otot dan atau sendi, untuk itulah
fisioterapi dilakukan sehingga kekakuan otot tidak terjadi atau minimal
dikurangi. Stress/depresi: terjadi karena anda merasa tidak berdaya dan
ketakutan dimasa depan. Pembengkakan otak, infeksi: saluran kemih,paru
(pneumonia aspirasi). Kardiovaskuler: gagal jantung, serangan jantung,
emboli paru, gangguan proses berpikir dan ingatan: pikun (dimensia).

J. Pencegahan Stroke
Menurut Sylvia (2012), pencegahan stroke terbagi menjadi primer dan
sekunder. Pencegahan primer adalah mencegah dan mengatasi faktor-
faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko
paling relevan dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah
memiliki dampak yang besar terhadap resiko stroke. Akhir ini perhatian
ditujukan kepada pentingnya hipertensi sistolik (ISH) yang dianggap
sebagai faktor utama resiko stroke. Dibuktikan bahwa terapi aktif pada
ISH bemakna menurunkan resiko stroke terutama pada usia lanjut.
Meningkatnya kadar gula darah dalam waktu berkepanjangan sangat erat
dengan disfungsi sel endotel yang pada waktunya akan memicu
terbentuknya 11 aterosklerosis, maka penatalaksanaan diabetes yang baik
merupakan faktor penting dalam pencegahan stroke secara primer (Sylvia,
2012). Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke yaitu
strategi kesehatan masyarakat atau populasi, strategi populasi didasarkan
pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi
perilaku berisiko pada seluruh populasi. Kedua, strategi risiko tinggi,
strategi resiko tinggi mengerahkakan upaya untuk orang-orang dengan
faktor resiko tinggi. Pencegahan sekunder mengacu pada strategi untuk
mencegah kekambuhan stroke. Pendekatan uatma adalah mengendalikan
hipertensi, dan memakai obat antiagregat antitrombosit. Berbagai
penelitian sperti the Europian Stroke Prevention Study of antiplatelet
antiaggregant drugs terhadap obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa jelas
memperlihatkan efektivitas obat anti agregasi trombosit dalam mencegah
kambuhnya stroke. Aggrenox adalah satu – satunya kombinasi aspirin dan
dipiridamol yang telah terbukti efektif untuk mencegah stroke sekunder
(Sylvia, 2012).
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN STROKE

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit , riwayat
pennyakit psikososial.
1. Identitas klien
Melipti nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan,agama, suku bangsa, tanggal dan MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan kleien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggita gerak sebalah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi,dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Data riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Serangan stroke berlangsuung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas ataupun sedang beristirahat.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah,bahkan kejang
sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain.
b. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat steooke sebelumnya,
diabetes melitus, penyakit jantung,anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan anti kougulan,
aspirin, vasodilatator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
c. Riwayat penyakit
Biasanya ada riwayat yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
4. Riwayat psikososial dan spiritual
Peranan pasien dalam , status emosi meningkat, interaksi meningkat,
interaksi sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan,
hubungan dengan tetangga tidak harmonis, status dalam pekerjaan.
Dan apakah klien rajin dalam melakukan ibadah sehari-hari.

5. Aktivitas sehari-hari
a) Nutrisi
Klien makan sehari-hari apakah sering makan makanan yang
mengandung lemak, makanan apa yang ssering dikonsumsi oleh
pasien, misalnya : masakan yang mengandung garam, santan,
goreng-gorengan, suka makan hati, limpa, usus, bagaimana
nafsu makan klien.
b) Minum
Apakah ada ketergantungan mengkonsumsi obat, narkoba,
minum yang mengandung alkohol.
c) Eliminasi
Pada pasien stroke hemoragik biasanya didapatkan pola
eliminasi BAB yaitu konstipasi karena adanya gangguan dalam
mobilisasi, bagaimana eliminasi BAK apakah ada kesulitan,
warna, bau, berapa jumlahnya, karena pada klien stroke mungkn
mengalami inkotinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural.
6. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau
riwayat operasi.
b. Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus
optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata
(nervus III), gangguan dalam memotar bola mata (nervus IV)
dan gangguan dalam menggerakkan bola mata kelateral (nervus
VI).
c. Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karena terganggu pada
nervus olfaktorius (nervus I).
d. Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus
vagus, adanya kesulitan dalam menelan.
e. Dada
Inspeksi : Bentuk simetris
Palpasi : Tidak adanya massa dan benjolan.
Perkusi : Nyeri tidak ada bunyi jantung lup-dup.
Auskultasi : Nafas cepat dan dalam, adanya ronchi suara
jantung I dan II mur-mur atau gallop.
f. Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, pembesaran tidak ada.
Auskultasi : Bisisng usus agak lemah.
Perkusi : Nyeri tekan tidak ada, nyeri perut tidak ada
g. Ekstremitas
Pada pasien dengan stroke hemoragik biasnya ditemukan
hemiplegi paralisa atau hemiparase, mengalami kelemahan otot
dan perlu juga dilkukan pengukuran kekuatan otot, normal : 5
Pengukuran kekuatan otot menurut (Arif mutaqqin,2008)
Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada
sendi.
Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan
grafitasi.
Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat
melawan tekanan pemeriksaan.
Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi
kekuatanya berkurang.
Nilai 5 : bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan
kekuatan penuh.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan.dengan terputusnya
aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah
serebral, edema serebral
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuskuler, kelemahan, parestesia, flaksid/ paralysis hipotonik,
paralysis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral,neuromuskuler,kehilangan tonus/kontrol otot fasia/oral
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori,trauma neurologis.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler,penurunan kekuatan,koordinasi otot

C. Intervensi Keperawatan
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS
BAB V

HASIL TELAAH JURNAL

Journal Reading Assignment


Judul Jurnal : Successful Implementation of the National Institutes of Health
Stroke Scale on a Stroke Neurovascular Unit (Keberhasilan Implementasi Skala
Stroke National Institutes of Health pada Stroke/Unit Neurovaskular)
Penulis Jurnal : Jenny Richardson, Diana Murray, C. Ken House, Ted Lowenkopf

Background :
The quality of inpatient care for stroke patients is a matter of national
importance. More than 700,000 people in the United States experience a stroke
every year, and as many as 30% are permanently disabled. In 2005 the projected
direct and indirect costs of stroke in the United States were $56.8 billion
(American Heart Association, 2005). Interventions aimed at improving
assessment and outcome of acute stroke could positively affect physical,
psychological, and financial healthcare measures. To standardize and optimize
stroke patient care, some hospitals have established inpatient stroke units. These
geographically defined units are staffed by physicians, nurses, and rehabilitation
personnel skilled in the care of stroke patients. A comprehensive approach to
patient care is created when staff members working within a stroke unit
consistently and routinely use a validated and standardized tool for neurologic
assessment in combination with recognized treatment and management guidelines
(Criddle, Bonnono, & Fischer, 2003). Routine use of such a tool can improve
medical documentation and internal communication between healthcare
providers. Additionally, use of a standardized tool for initial neurological
assessment and the periodic monitoring of neurological status provides a
measure by which to analyze the delivery and quality of care (Spilker &
Kongable, 2000). This article addresses the value of using a standardized
neurological assessment tool in the care of stroke patients and the integration of
such a tool into the practice of registered nurses staffing a stroke/neurovascular
unit.
Kualitas pelayanan rawat inap pada pasien stroke merupakan masalah kepentingan
nasional. Lebih dari 700.000 orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap
tahun, dan sebanyak 30% menjadi cacat permanen. Pada tahun 2005, biaya
langsung dan tidak langsung yang diproyeksikan dari stroke di Amerika Serikat
adalah $56,8 miliar (American Heart Association, 2005). Intervensi yang
ditujukan untuk meningkatkan penilaian dan hasil dari stroke akut bisa secara
positif mempengaruhi tindakan kesehatan fisik, psikologis, dan keuangan. Untuk
standarisasi dan optimalisasi pelayanan pasien stroke, beberapa rumah sakit telah
membentuk unit rawat inap stroke. Unit-unit yang ditentukan secara geografis ini
dikelola oleh dokter, perawat, dan personel rehabilitasi yang terampil dalam
perawatan pasien stroke. Pendekatan komprehensif untuk perawatan pasien dibuat
ketika anggota staf yang bekerja dalam unit stroke secara konsisten dan rutin
menggunakan alat yang divalidasi dan standar untuk penilaian neurologis dalam
kombinasi dengan garis panduan pengobatan dan manajemen yang diakui
(Criddle, Bonnono, & Fischer, 2003). Penggunaan rutin alat tersebut dapat
meningkatkan dokumentasi medis dan komunikasi internal antara penyedia
layanan kesehatan. Selain itu, penggunaan alat standar untuk penilaian neurologis
awal dan pemantauan berkala status neurologis memberikan ukuran yang
digunakan untuk menganalisis pengiriman dan kualitas perawatan (Spilker &
Kongable, 2000). Artikel ini membahas nilai penggunaan alat penilaian
neurologis standar dalam perawatan pasien stroke dan integrasi alat tersebut ke
dalam praktik perawat terdaftar yang mengatur unit stroke/neurovaskular.
Objectives :
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh penggunaan alat penilaian neurologis
standar National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) dalam perawatan
pasien stroke dan integrasi alat tersebut ke dalam praktik perawat terdaftar yang
mengatur unit stroke/neurovaskular.
Method:
Penelitian ini menggunakan survei dengan item yang berkaitan dengan pendapat
dan keyakinan tentang penggunaan NIHSS, berdasarkan umpan balik lisan dan
informasi dari literatur yang diterbitkan (Tabel 1-3). Intervensi dapat dirumuskan
untuk mengatasi kekhawatiran yang diungkapkan oleh survei. Setelah pelaksanaan
intervensi, survei akan didistribusikan kembali untuk mengungkapkan perubahan
pendapat dan keyakinan. Survei ini didistribusikan pada Januari 2004. Para
peserta dalam survei termasuk perawat staf unit stroke/neurovaskular, tidak
termasuk perawat surveyor.
Results:
Populasi sampel awal termasuk 46 RN, dan 34 RN menyelesaikan survei tindak
lanjut. Survei awal menunjukkan perawat merasa bahwa NIHSS terlalu memakan
waktu dan tidak konsisten antar pengguna. Perawat tidak merasa kompeten atau
nyaman dalam menggunakan skala dan mereka mengalami kesulitan menemukan
formulir NIHSS dan buku sumber untuk membantu dalam melakukan skala.
Setelah pelaksanaan intervensi, persentase perawat yang memiliki pengalaman
dengan skala meningkat (dari 57% menjadi 97%), seperti halnya usia persentase
yang tahu di mana menemukan bahan NIHSS (dari 51% berbanding 100%; Tabel
1).
Setelah intervensi, persentase perawat yang lebih besar merasa NIHSS membuat
perbedaan dalam perawatan pasien mereka (97% dibandingkan dengan 91%), dan
dengan penggunaan berulang, perawat percaya bahwa mereka mampu melakukan
skala lebih cepat. Jumlah perawat yang tidak tahu cara menggunakan skala
menurun dari 50% menjadi 9% (Tabel 2).
Sebagian besar staf perawat merasa nyaman menggunakan NIHSS setelah
intervensi (85% berbanding 30%) dan lebih banyak perawat merasa itu adalah alat
yang berguna untuk mengkomunikasikan status neurologis pasien (94%
berbanding 50%). Keandalan antar penilai masih menjadi perhatian anggota staf
keperawatan (Tabel 3). Pekerjaan berlanjut untuk mendidik anggota staf tentang
item NIHSS yang lebih ambigu melalui diskusi individual selama putaran pukulan
dan di samping tempat tidur.
Data dasar tahun 2003 untuk penyelesaian NIHSS dikumpulkan oleh perawat
yang mengoordinasikan stroke putaran. Sebagian besar intervensi diselesaikan
selama kuartal keempat tahun 2004. Secara keseluruhan, penggunaan NIHSS oleh
RNS meningkat dari 12% menjadi 69% setelah pelaksanaan intervensi (Gbr. 2).
Tujuan memiliki tingkat penyelesaian NIHSS sebesar 80% pada akhir tahun 2004
tidak tercapai, tetapi beberapa intervensi sedang berlangsung, dan tingkat
penyelesaian diperkirakan akan terus meningkat.

Conclusions:
Meskipun tujuan untuk tingkat penyelesaian NIHSS tidak terpenuhi, kami yakin
proyek ini berhasil. NIHSS telah berhasil diintegrasikan ke dalam praktik
keperawatan standar dalam penilaian pasien stroke akut di unit
stroke/neurovaskular. Para perawat merasa diberdayakan sepanjang proyek,
karena saran dan komentar mereka diminta dan digunakan untuk merumuskan
intervensi. Banyak staf perawat dan rekan dokter mereka mencatat bahwa
keterampilan penilaian neurologis mereka untuk semua pasien telah meningkat.
Pengakuan dan validasi keterampilan penilaian keperawatan ini semakin
memperkuat penggunaan alat penilaian NIHSS. Kami menyimpulkan bahwa
metode berbasis survei untuk mengidentifikasi hambatan yang dirasakan perawat,
dikombinasikan dengan intervensi yang ditargetkan, adalah strategi yang sukses
untuk implementasi NIHSS. Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit di lantai
lain karena diagnosis medis atau bedah primer lainnya tidak dinilai menggunakan
NIHSS. Faktor ini menurunkan tingkat penyelesaian NIHSS untuk pasien stroke
di seluruh rumah sakit. Ada diskusi yang sedang berlangsung dengan departemen
penerimaan untuk mengatasi masalah ini; kami telah menekankan perlunya
menerima semua pasien stroke dan TIA ke unit stroke/neurovaskular. Ketika
pasien stroke atau TIA berada di lantai lain, perawat yang merawat pasien
diberikan pendidikan in-service dan diinstruksikan tentang penggunaan NIHSS
oleh SSP selama putaran stroke.

My Opinion about this journal :


Menurut kami, jurnal ini sangat membantu untuk penerapan dan penilaian pada
pasien stroke, serta untuk melihat penilain dan evaluasi kerja perawat terkait
penerapan NIHSS pada pasien stroke.

Anda mungkin juga menyukai