Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III
Dosen Pembimbing:
Ns. Diana Irawati, M.Kep., Sp.Kep. KMB
Disusun Oleh:
Kelompok 4
( Transfer 3B)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I KONSEP ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERSYARAFAN
A. Anatomi dan Fisiologi Otak
BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian Stroke
B. Etiologi Stroke
C. Manifestasi Klinik Stroke
D. Patofisiologi Stroke
E. Pemeriksaan Penunjang Stroke
F. Penatalaksanaan Stroke
Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system
saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari
cerebrum cerebellum, brainstem, dan limbic system (Derrickson &Tortora,
2013). Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun
neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan
adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak
mengambil alih fungsi dari bagianbagian yang rusak. Otak belajar
kemampuan baru, dan ini merupakan mekanisme paling penting dalam
pemulihan stroke ( Feign, 2006). Secara garis besar, sistem saraf dibagi
menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat
(SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar
SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah
menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh
lainnya (Noback dkk, 2005).
B. Etiologi Stroke
Stroke dapat berupa stroke iskemik (87%) dan stroke perdarahan (13%).
a. Stroke hemorage
Meliputi perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, dan
hematoma subdural. Perdarahan intraserebral ini terjadi karena pecahnya
pembulu darah sehingga mengakibatkan hematoma pada daerah parenkim
otak. Perdarahan subarchnoid terjadi bila darah memasuki area arachnoid
(tempat cairan serebrospinal) baik karena trauma, pecahnya aneuresmia
intracranial, maupun pecahnya arterivenosa yang cacat. Sebaliknya, stroke
iskemik terjadi bila pembuluh darah pecah dalam parenkim otak,
menyebabkan pembentukan hematoma. Jenis perdarahan ini sangat sering
dikaitkan dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dan jarang
antitrombolitik. Hematoma subdural menjelaskan terkumpulnya darah
dibawah area dura (melapisi otak) dan sering disebabkan oleh trauma.
Stroke hemorage lebih letal dua kali sampai enam kali daripada stroke
iskemik (Fagans and Hess, 2014).
b. Stroke iskemik
Terjadi akibat penyumbatan (trombotik atau embolik) pembuluh darah
arteri otak. Penyumbatan pembuluh drah dapat mengganggu aliran darah
ke bagian tertentu otak, sehingga terjadi deficit neurologis yang
disebabkan oleh hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh bagian otak
tersebut (Winkler, 2009).
Thrombus arteri dapat disebabkan oleh satu atau lebih penyebab, antara
lain abnormalitas dinding pembuluh darah (penyakit degeneratif, inflamasi
atau trauma) yang tersusun dari endotel menyebabkan aktivasi platelet dan
terjadi pelekatan pelekatan platelet membentuk bekuan fibrin. Bekuan
fibrin ini akan menghambat bahkan membuntu jalur darah sehingga dapat
menyebabkan infark jaringan yang berkembang menjadi stroke iskemik.
Emboli bisa timbul baik dari intra atau ekstrakranial (termasuk arkus
aorta), atau seperti pada 20% kasus stroke iskemik berasal dari jantung.
Emboli kardiogenik terjadi jika pasien memiliki fibrilasi atrium (denyut
jantung tidak teratur), kelainan katup jantung atau kondisi lain dari jantung
yang dapat menyebabkan gumpalan (Fagan dan Hess, 2014; Ginsberg,
2008; Rohkamm, 2004).
F. Patofisiologi Stroke
Aliran darah di setiap otak terhambat karena trombus atau embolus, maka
terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otot, kekurangan oksigen pada
awalnya mungkin akibat iskemia imun (karena henti jantung atau
hipotensi) hipoxia karena proses kesukaran bernafas suatu sumbatan pada
arteri koroner dapat mengakibatkan suatu area infark (kematian jaringan).
Perdarahan intraksional biasanya disebabkan oleh ruptura arteri cerebri
ekstravasasi darah terjadi di daerah otak atau subarachnoid, sehingga
jaringan yang terletak di dekatnya akan tertekan. Darah ini sangat
mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteri
di sekitar pendarahan, spasme ini dapat menyebaar ke seluruh hemisfer
otak, bekuan darah yang semua lunak akhirnya akan larut dan mengecil,
otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan
mengalami nekrosis. Infark regional kortikal, sub kortikal ataupun infark
regional di batang otak terjadi karena daerah perdarahan suatu arteri tidak/
kurang mendapat aliran darah. Aliran/ suplai darah tidak disampaikan ke
daerah tersebut oleh karena arteri yang bersangkutan tersumbat atau pecah.
Sebagai akibat keadaan tersebut bias terjadinya anoksia atau hypoksia.
Bila aliran darah ke otak berkurang sampai 24-30 ml/100 gr jaringan akan
terjadi ischemia untuk jangka waktu yang lama dan bila otak hanya
mendapat suplai darah kurang dari 16 ml/100 gr jaringan otak, maka akan
terjadi infark jaringan otak yang permanen
H. Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksaan medik pasien stroke menurut Muttaqin (2008), adalah:
a. Menurunkan kerusakan iskemik serebral dengan mempertahankan
saluran napas yaitu : oksigenisasi, penghisapan lendir, bila perlu
lakukan trakeostomi serta dengan vasodilator untuk meningkatkan
aliran darah serebral seperti asam nikotinat tolazin dan jenis
lainnya
b. Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue
plasminogen)
c. Pemberian obat-obatan seperti digoksin pada aritmia jantung atau
alfa beta, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan
hipertensi.
d. Pemberian Steroid guna menurunkan permeabilitas kapiler.
e. Pemberian Osmotis Diuretika seperti manitol, lasix atau
furosemide untuk menurunkan edema serebral.
f. Pemberian Anti koagulan untuk mencegah memberatnya trombosis
dan embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler.
I. Komplikasi Stroke
Menurut Junaidi 2011 beberapa komplikasi stroke diantaranya: Dekubitus:
tidur yang terlalu lama dapat mengakibatkan luka/lecet pada bagian tubuh
yang menjkasuadi tumpuan saat berbaring, seperti : pinggul, pantat, sendi
kaki, dan tumit. Luka (dekubitus) ini bila dibiarkan akan terkena infeksi.
Untuk mencegah itu, pasien di anjurkan untuk berpindah dan digerakkan
secara teratur tidak peduli parah sakitnya pasien. Bekuan darah: bekuan
darah dapat terjadi pada kaki yang lumpuh, penumpukan cairan dan
pembengkakan, embolisme paru-paru. Pneumonia: terjadi biasanya pasien
tidak dapat batuk atau menelan dengan baik sehingga menyebabkan caira
terkumpul di paru-paru selanjutnya terinfeksi. Untuk mengatasi ini dokter
akan memberikan antibiotika. Kekakuan otot dan sendi: terbaring lama
akan menimbulkan kekakuan pada otot dan atau sendi, untuk itulah
fisioterapi dilakukan sehingga kekakuan otot tidak terjadi atau minimal
dikurangi. Stress/depresi: terjadi karena anda merasa tidak berdaya dan
ketakutan dimasa depan. Pembengkakan otak, infeksi: saluran kemih,paru
(pneumonia aspirasi). Kardiovaskuler: gagal jantung, serangan jantung,
emboli paru, gangguan proses berpikir dan ingatan: pikun (dimensia).
J. Pencegahan Stroke
Menurut Sylvia (2012), pencegahan stroke terbagi menjadi primer dan
sekunder. Pencegahan primer adalah mencegah dan mengatasi faktor-
faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko
paling relevan dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah
memiliki dampak yang besar terhadap resiko stroke. Akhir ini perhatian
ditujukan kepada pentingnya hipertensi sistolik (ISH) yang dianggap
sebagai faktor utama resiko stroke. Dibuktikan bahwa terapi aktif pada
ISH bemakna menurunkan resiko stroke terutama pada usia lanjut.
Meningkatnya kadar gula darah dalam waktu berkepanjangan sangat erat
dengan disfungsi sel endotel yang pada waktunya akan memicu
terbentuknya 11 aterosklerosis, maka penatalaksanaan diabetes yang baik
merupakan faktor penting dalam pencegahan stroke secara primer (Sylvia,
2012). Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke yaitu
strategi kesehatan masyarakat atau populasi, strategi populasi didasarkan
pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi
perilaku berisiko pada seluruh populasi. Kedua, strategi risiko tinggi,
strategi resiko tinggi mengerahkakan upaya untuk orang-orang dengan
faktor resiko tinggi. Pencegahan sekunder mengacu pada strategi untuk
mencegah kekambuhan stroke. Pendekatan uatma adalah mengendalikan
hipertensi, dan memakai obat antiagregat antitrombosit. Berbagai
penelitian sperti the Europian Stroke Prevention Study of antiplatelet
antiaggregant drugs terhadap obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa jelas
memperlihatkan efektivitas obat anti agregasi trombosit dalam mencegah
kambuhnya stroke. Aggrenox adalah satu – satunya kombinasi aspirin dan
dipiridamol yang telah terbukti efektif untuk mencegah stroke sekunder
(Sylvia, 2012).
BAB III
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit , riwayat
pennyakit psikososial.
1. Identitas klien
Melipti nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan,agama, suku bangsa, tanggal dan MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan kleien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggita gerak sebalah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi,dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Data riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Serangan stroke berlangsuung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas ataupun sedang beristirahat.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah,bahkan kejang
sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain.
b. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat steooke sebelumnya,
diabetes melitus, penyakit jantung,anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan anti kougulan,
aspirin, vasodilatator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
c. Riwayat penyakit
Biasanya ada riwayat yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
4. Riwayat psikososial dan spiritual
Peranan pasien dalam , status emosi meningkat, interaksi meningkat,
interaksi sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan,
hubungan dengan tetangga tidak harmonis, status dalam pekerjaan.
Dan apakah klien rajin dalam melakukan ibadah sehari-hari.
5. Aktivitas sehari-hari
a) Nutrisi
Klien makan sehari-hari apakah sering makan makanan yang
mengandung lemak, makanan apa yang ssering dikonsumsi oleh
pasien, misalnya : masakan yang mengandung garam, santan,
goreng-gorengan, suka makan hati, limpa, usus, bagaimana
nafsu makan klien.
b) Minum
Apakah ada ketergantungan mengkonsumsi obat, narkoba,
minum yang mengandung alkohol.
c) Eliminasi
Pada pasien stroke hemoragik biasanya didapatkan pola
eliminasi BAB yaitu konstipasi karena adanya gangguan dalam
mobilisasi, bagaimana eliminasi BAK apakah ada kesulitan,
warna, bau, berapa jumlahnya, karena pada klien stroke mungkn
mengalami inkotinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural.
6. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau
riwayat operasi.
b. Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus
optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata
(nervus III), gangguan dalam memotar bola mata (nervus IV)
dan gangguan dalam menggerakkan bola mata kelateral (nervus
VI).
c. Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karena terganggu pada
nervus olfaktorius (nervus I).
d. Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus
vagus, adanya kesulitan dalam menelan.
e. Dada
Inspeksi : Bentuk simetris
Palpasi : Tidak adanya massa dan benjolan.
Perkusi : Nyeri tidak ada bunyi jantung lup-dup.
Auskultasi : Nafas cepat dan dalam, adanya ronchi suara
jantung I dan II mur-mur atau gallop.
f. Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, pembesaran tidak ada.
Auskultasi : Bisisng usus agak lemah.
Perkusi : Nyeri tekan tidak ada, nyeri perut tidak ada
g. Ekstremitas
Pada pasien dengan stroke hemoragik biasnya ditemukan
hemiplegi paralisa atau hemiparase, mengalami kelemahan otot
dan perlu juga dilkukan pengukuran kekuatan otot, normal : 5
Pengukuran kekuatan otot menurut (Arif mutaqqin,2008)
Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada
sendi.
Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan
grafitasi.
Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat
melawan tekanan pemeriksaan.
Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi
kekuatanya berkurang.
Nilai 5 : bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan
kekuatan penuh.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan.dengan terputusnya
aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah
serebral, edema serebral
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuskuler, kelemahan, parestesia, flaksid/ paralysis hipotonik,
paralysis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral,neuromuskuler,kehilangan tonus/kontrol otot fasia/oral
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori,trauma neurologis.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler,penurunan kekuatan,koordinasi otot
C. Intervensi Keperawatan
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
BAB V
Background :
The quality of inpatient care for stroke patients is a matter of national
importance. More than 700,000 people in the United States experience a stroke
every year, and as many as 30% are permanently disabled. In 2005 the projected
direct and indirect costs of stroke in the United States were $56.8 billion
(American Heart Association, 2005). Interventions aimed at improving
assessment and outcome of acute stroke could positively affect physical,
psychological, and financial healthcare measures. To standardize and optimize
stroke patient care, some hospitals have established inpatient stroke units. These
geographically defined units are staffed by physicians, nurses, and rehabilitation
personnel skilled in the care of stroke patients. A comprehensive approach to
patient care is created when staff members working within a stroke unit
consistently and routinely use a validated and standardized tool for neurologic
assessment in combination with recognized treatment and management guidelines
(Criddle, Bonnono, & Fischer, 2003). Routine use of such a tool can improve
medical documentation and internal communication between healthcare
providers. Additionally, use of a standardized tool for initial neurological
assessment and the periodic monitoring of neurological status provides a
measure by which to analyze the delivery and quality of care (Spilker &
Kongable, 2000). This article addresses the value of using a standardized
neurological assessment tool in the care of stroke patients and the integration of
such a tool into the practice of registered nurses staffing a stroke/neurovascular
unit.
Kualitas pelayanan rawat inap pada pasien stroke merupakan masalah kepentingan
nasional. Lebih dari 700.000 orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap
tahun, dan sebanyak 30% menjadi cacat permanen. Pada tahun 2005, biaya
langsung dan tidak langsung yang diproyeksikan dari stroke di Amerika Serikat
adalah $56,8 miliar (American Heart Association, 2005). Intervensi yang
ditujukan untuk meningkatkan penilaian dan hasil dari stroke akut bisa secara
positif mempengaruhi tindakan kesehatan fisik, psikologis, dan keuangan. Untuk
standarisasi dan optimalisasi pelayanan pasien stroke, beberapa rumah sakit telah
membentuk unit rawat inap stroke. Unit-unit yang ditentukan secara geografis ini
dikelola oleh dokter, perawat, dan personel rehabilitasi yang terampil dalam
perawatan pasien stroke. Pendekatan komprehensif untuk perawatan pasien dibuat
ketika anggota staf yang bekerja dalam unit stroke secara konsisten dan rutin
menggunakan alat yang divalidasi dan standar untuk penilaian neurologis dalam
kombinasi dengan garis panduan pengobatan dan manajemen yang diakui
(Criddle, Bonnono, & Fischer, 2003). Penggunaan rutin alat tersebut dapat
meningkatkan dokumentasi medis dan komunikasi internal antara penyedia
layanan kesehatan. Selain itu, penggunaan alat standar untuk penilaian neurologis
awal dan pemantauan berkala status neurologis memberikan ukuran yang
digunakan untuk menganalisis pengiriman dan kualitas perawatan (Spilker &
Kongable, 2000). Artikel ini membahas nilai penggunaan alat penilaian
neurologis standar dalam perawatan pasien stroke dan integrasi alat tersebut ke
dalam praktik perawat terdaftar yang mengatur unit stroke/neurovaskular.
Objectives :
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh penggunaan alat penilaian neurologis
standar National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) dalam perawatan
pasien stroke dan integrasi alat tersebut ke dalam praktik perawat terdaftar yang
mengatur unit stroke/neurovaskular.
Method:
Penelitian ini menggunakan survei dengan item yang berkaitan dengan pendapat
dan keyakinan tentang penggunaan NIHSS, berdasarkan umpan balik lisan dan
informasi dari literatur yang diterbitkan (Tabel 1-3). Intervensi dapat dirumuskan
untuk mengatasi kekhawatiran yang diungkapkan oleh survei. Setelah pelaksanaan
intervensi, survei akan didistribusikan kembali untuk mengungkapkan perubahan
pendapat dan keyakinan. Survei ini didistribusikan pada Januari 2004. Para
peserta dalam survei termasuk perawat staf unit stroke/neurovaskular, tidak
termasuk perawat surveyor.
Results:
Populasi sampel awal termasuk 46 RN, dan 34 RN menyelesaikan survei tindak
lanjut. Survei awal menunjukkan perawat merasa bahwa NIHSS terlalu memakan
waktu dan tidak konsisten antar pengguna. Perawat tidak merasa kompeten atau
nyaman dalam menggunakan skala dan mereka mengalami kesulitan menemukan
formulir NIHSS dan buku sumber untuk membantu dalam melakukan skala.
Setelah pelaksanaan intervensi, persentase perawat yang memiliki pengalaman
dengan skala meningkat (dari 57% menjadi 97%), seperti halnya usia persentase
yang tahu di mana menemukan bahan NIHSS (dari 51% berbanding 100%; Tabel
1).
Setelah intervensi, persentase perawat yang lebih besar merasa NIHSS membuat
perbedaan dalam perawatan pasien mereka (97% dibandingkan dengan 91%), dan
dengan penggunaan berulang, perawat percaya bahwa mereka mampu melakukan
skala lebih cepat. Jumlah perawat yang tidak tahu cara menggunakan skala
menurun dari 50% menjadi 9% (Tabel 2).
Sebagian besar staf perawat merasa nyaman menggunakan NIHSS setelah
intervensi (85% berbanding 30%) dan lebih banyak perawat merasa itu adalah alat
yang berguna untuk mengkomunikasikan status neurologis pasien (94%
berbanding 50%). Keandalan antar penilai masih menjadi perhatian anggota staf
keperawatan (Tabel 3). Pekerjaan berlanjut untuk mendidik anggota staf tentang
item NIHSS yang lebih ambigu melalui diskusi individual selama putaran pukulan
dan di samping tempat tidur.
Data dasar tahun 2003 untuk penyelesaian NIHSS dikumpulkan oleh perawat
yang mengoordinasikan stroke putaran. Sebagian besar intervensi diselesaikan
selama kuartal keempat tahun 2004. Secara keseluruhan, penggunaan NIHSS oleh
RNS meningkat dari 12% menjadi 69% setelah pelaksanaan intervensi (Gbr. 2).
Tujuan memiliki tingkat penyelesaian NIHSS sebesar 80% pada akhir tahun 2004
tidak tercapai, tetapi beberapa intervensi sedang berlangsung, dan tingkat
penyelesaian diperkirakan akan terus meningkat.
Conclusions:
Meskipun tujuan untuk tingkat penyelesaian NIHSS tidak terpenuhi, kami yakin
proyek ini berhasil. NIHSS telah berhasil diintegrasikan ke dalam praktik
keperawatan standar dalam penilaian pasien stroke akut di unit
stroke/neurovaskular. Para perawat merasa diberdayakan sepanjang proyek,
karena saran dan komentar mereka diminta dan digunakan untuk merumuskan
intervensi. Banyak staf perawat dan rekan dokter mereka mencatat bahwa
keterampilan penilaian neurologis mereka untuk semua pasien telah meningkat.
Pengakuan dan validasi keterampilan penilaian keperawatan ini semakin
memperkuat penggunaan alat penilaian NIHSS. Kami menyimpulkan bahwa
metode berbasis survei untuk mengidentifikasi hambatan yang dirasakan perawat,
dikombinasikan dengan intervensi yang ditargetkan, adalah strategi yang sukses
untuk implementasi NIHSS. Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit di lantai
lain karena diagnosis medis atau bedah primer lainnya tidak dinilai menggunakan
NIHSS. Faktor ini menurunkan tingkat penyelesaian NIHSS untuk pasien stroke
di seluruh rumah sakit. Ada diskusi yang sedang berlangsung dengan departemen
penerimaan untuk mengatasi masalah ini; kami telah menekankan perlunya
menerima semua pasien stroke dan TIA ke unit stroke/neurovaskular. Ketika
pasien stroke atau TIA berada di lantai lain, perawat yang merawat pasien
diberikan pendidikan in-service dan diinstruksikan tentang penggunaan NIHSS
oleh SSP selama putaran stroke.