Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA) merupakan suatu penyakit

dimana berhentinya suplai darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan

hilangnya fungsi otak (Smeltzer & Suzane, 2001). Hal ini dapat terjadi karena

pecahnya pembuluh darah atau terhalanginya asupan darah ke otak oleh

gumpalan. Terhambatnya penyediaan oksigen dan nutrisi ke otak

menimbulkan masalah kesehatan yang serius karena dapat menimbulkan

kecatatan fisik mental bahkan kematian (WHO, 2010).

Stroke adalah masalah neurologik primer di Amerika Serikat dan di

dunia. Stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian dengan laju

mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesar 62% untuk

stroke selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke

yang mempunyai kecacatan, 40% memerlukan bantuan dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari (Smeltzer, 2002).

Indonesia memiliki prevalensi stroke yang tinggi dibandingkan negara-

negara di Asia. Prevalensi / kejadian stroke cenderung meningkat, SKRT

1995 : 2 per-1000 penduduk. Riset Kesehatan Dasar 2007 : 8.3 per-1000

penduduk. Riset Kesehatan Dasar 2013 : 12.1 per-1000 penduduk. Stroke

adalah penyebab dan kematian no.1 di Indonesia. Riskesdas 2007 : 15.4%

kemat ian disebabkan karena stroke. Kematian terutama terjadi pada fase

1
2

awal stroke (AHA and Stroke Statistics Writing Group. Circulation

2013;127:e6-e245 Riset Kesehatan Dasar 2013, Kementrian Kesehatan RI).

Sulit menelan merupakan suatu gejala atau keluhan yang diakibatkan

adanya kelainan di dalam saluran pencernaan yang paling atas, yakni

orofaring dan esophagus. Pada kasus Stroke keluhan ini akan bermanifestasi

bila terdapat gangguan gerakan-gerakan pada otot menelan dan gangguan

transportasi makanan dari mulut ke lambung. Beberapa keluhan lain yang

dapat menyertai keluhan sulit menelan adalah nyeri waktu menelan, rasa

terbakar di leher hingga dada, rasa mual dan muntah, muntah darah

(hematemesis), berak berdarah ( melena ) batuk dan berat badan berkurang

( Kartika, 2009 ).

Pada kasus stroke pemberian nutrisi enteral merupakan pilihan

berikutnya. Menurut Simadibrata 2004, beberapa penelitian melaporkan

peranan nutrisi enteral sebagai nutrisi pokok atau suplemen dalam

memperbaiki status nutrisi pasien yang dirawat. Pemberian secara enteral

akan mempertahankan fungsi pencernaan dan penyerapan saluran makanan.

Hasil penelitian pada tahun 2002 menunjukkan 50% pasien rawat inap

mengalami malnutrisi dengan derajat bervariasi dan sebanyak 25-30%

penderita mengalami malnutrisi yang semakin berat selama dalam perawatan

(Fatimah, 2002). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 76 pasien

dengan stroke didapati hasil 52,6% dari pasien menunjukkan disfagia dan

26,3% diidentifikasi dengan status gizi buruk (Crary, 2004).


3

Status nutrisi pada pasien stroke dapat memburuk ketika dirawat di

rumah sakit, prevalensi status dapat mencapai 22% sampai 26%. Status gizi

buruk pada pasien stroke yang masuk ke rumah sakit dilaporkan mencapai

50%. Status gizi ini akan membaik jika di atasi dengan baik. Penilaian status

gizi pada pasien stroke dapat dinilai dari lemak, otot, serta ukuran seperti

biokimia serum (Crary, 2004). Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada

pasien stroke disarankan akan dipasang NGT, tetapi pemberian makan

melalui NGT belum tentu menjamin akan terpenuhi status gizinya, karena hal

ini dipengaruhi oleh jenis makanan dan keadaan pencernaan pasien, serta

pengaruh suhu makanan terhadap lamanya penyarapan.

Hasil pencatatan penderita stroke di RS Moh Ridwan Meuraksa sebanyak

55 orang pada tahun 2015, peneliti mendapatkan data bahwa jumlah pasien

yang mengalami kesulitan saat menelan dan pasien terpasang NGT (Naso

Gastric Tube) adalah sebanyak 30 orang. Namun data tentang pengaruh

pemberian suhu makanan enteral melalui NGT terhadap penyerapan makanan

pada pasien stroke belum pernah diteliti selama ini.

B. Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merumuskan

permasalahan penelitian yaitu pentingnya makanan enteral untuk pasien

stroke yang mengalami penurunan fungsi neurologi, agar nutrisi tetap

terpenuhi, sehingga perlu pemberian makanan enteral yang tepat termasuk

suhu makanan yang akan diberikan melalui selang NGT, dan lamanya

penyerapan juga di pengaruhi oleh suhu makanan enteral.


4

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh suhu makanan enteral melalui NGT

terhadap penyerapan makanan pada pasien stroke.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan enteral dengan

suhu hangat melalui NGT dengan lamanya penyerapan makanan

pada pasien stroke.

b. Untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan enteral dengan

suhu biasa melalui NGT dengan lamanya penyerapan makanan pada

pasien stroke.

c. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian makanan enteral

dengan suhu hangat dan suhu dingin melalui NGT dengan lamanya

penyerapan makanan pada pasien stroke.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Aplikasi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang bersifat informatif

tentang pengaruh suhu makanan enteral melalui NGT terhadap

penyerapan makanan pada pasien stroke.

2. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi untuk menambah

pengetahuan tentang pemberian suhu nutrisi enteral pada pasien

stroke.
5

b. Hasil penelitian ini berguna bagi mahasiswa dalam memahami

konsep dan pentingnya pemberian nutrisi pada pasien stroke.

3. Manfaat Metodologi

Untuk meningkatkan pelayanan dan penatalaksanaan dalam

pemberian makanan enteral pada pasien stroke.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. TEORI DAN KONSEP

1. STROKE

a. Definisi

Stroke adalah suatu episode akut dari disfungsi neurologis

yang diduga disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, yang

berlangsung ≥ 24jam atau sampai meninggal, tetapi tanpa bukti

yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco, dkk, 2013).

Iskemik adalah kurangnya aliran darah ke otak sehingga

mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak

(Sjahrir,2003;Caplan,2009). Sedangkan hemoragik adalah keluarnya

darah ke jaringan otak dan ke ektravaskular di dalam kranium

(Caplan, 2009).

b. Etiologi

1) Perdarahan intraserebral

Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama

karena hipertensi memgakibatkan darah masuk ke dalam

jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak

dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi

cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena

herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena

6
7

hipertensi sering di jumpai di daerah putamen, thalamus, pons,

dan serebelum.

2) Perdarahan Subarakhnoid

Dapat terjadi karena trauma atau hipertensi, penyebab

tersering adalah kebocoran anurisma pada area sirkulus

Willisi dan Malvormasi arteri – vena kongenetal. Gejala-gejala

pada umumnya mendadak, peningkatan intracranial (TIK),

perubahan tingkat kesadaran, sakit kepala (mungkin hebat),

vertigo, kacau mental, stupor sampai koma, gangguan

ocular, hemiparesis atau hemiplegic, mual muntah, iritasi

meningeal (kekakuan nukhal, kernig’s, Brudzinski’s positif,

Fotofobia, penglihatan ganda, peka rangsang, kegelisahan,

peningkatan suhu tubuh)

3) Perdarahan Serebral

Faktor risiko stroke, ada beberapa faktor penyebab stroke yaitu :

a) Hipertensi, merupakan faktor risiko utama.

b) Penyakit kardiovaskular - embolismeserebral berasal dari

jantung.

c) Kolesterol tinggi dan konsumsi alcohol.

d) Obesitas atau kegemukan.

e) Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark

serebral.

f) Diabetes mellitus terkait dengan aterogenesis terakselerasi.


8

g) Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok,

dan kadar estrogen tinggi), dan penyalahgunaan obat

(muttaqin, 2008).

c. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana

yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya

sirkulasi kolateral.

Pada stroke akut gejala klinis meliputi :

1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis)

yang timbul secara mendadak.

2) Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan

3) Penurunan kesadaran (konfusi, delirium,letargi,stupor,koma)

4) Afasia (kesulitan dalam bicara)

5) Disatria (bicara cadel atau pelo)

6) Gangguan penglihatan, diplopia

7) Ataksia (ketidakmampuan mengkoordinasi gerakan otot)

8) Vertigo, mual, muntah, dan nyeri kepala

9) Disfagia (kesulitan menelan )

(Tarwoto, 2007).

d. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area

tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada factor-faktor seperti

lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi


9

kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang

tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau

makin cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan

dan spasme vascular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena

gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai factor

penyebab infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak

arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat

aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.

Thrombus dapat dipecah dari dinding pembuluh darah terbawa

sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan

iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang

bersangkutan dan edema dan kogestri disekitar area. Area edema ini

menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu

sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau

kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema

klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis

biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan massif. Oklusi

pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema

dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan

meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau

ensefalitis atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah

yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisme pembuluh darah.


10

Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisme pecah

atau rupture.

Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik

dan hipartensi pembuluh darah.perdarahan intrasirebral yang

sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian

dibandingkan keseluruhan penyakit cerebrovascular karena

perdarahan yang luas terjadi destruksi masa otak ,peningkatan

tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat mengakibatkan

herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak ,henisfer

otak,dan perdarahan sibatang otak sekunder atau ekstensi

perdarahan ke bataang otak.Perembesan darah ke ventrikel otak

terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus

kaudatus,thalamus dan pons.

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang enuksia

serebral.perubahan yang oleh enuksia serebral dapat reversible untuk

waktu 4 sampai 6 menit. Perubahan irreversible jika anoksia lebih

dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena

gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.

Selain kerusakan parenkin otak,akibat volume perdarahan yang

relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan

intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan

drainase otak. Elemen - eleman vasoaktif darah yang keluar dan


11

kaskade iskemik akibat menurunya tekanan perfusi,menyebabkan

saraf di area yg terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.

Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume

darah lebih dari 60cc maka resiko kematian sebesar 93% pada

perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan logar. Sedangkan

jika terjadi perdarahan seregral dengan volume antara 30 sampai

60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%,namun

volume darah 5cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal.

e. Komplikasi

1) Hipoksia serebral

Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi

oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada

ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.

2) Penurunan aliran darah serebral dan luasnya area cedera

Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah,

curah jantung, dan itegritas pembuluh darah serebral. Hidrasi

adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas

darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau

hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan

pada aliran darah serebral dan potensi luasnya area cedera.

3) Embolisme serebral

Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark

miokard. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan


12

selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat

mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan

penghentikan thrombus lokal. Selain itu disritmia dapat

menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki. (Suddarth,

2001).

f. Pemeriksaan diagnostik

1) Angiografi serebral

Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik,

adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan.

2) CT scan

Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi

hematoma, adanya jaringan otak yang infark dan posisinya

secara pasti.

3) Lumbal pungsi

Tekanan yang menngkat dan di sertai bercak darah pada

cairan lumbal menunjukan adanya hemoragi pada

subaraknoid atau perdarahan pada intracranial.

4) MRI (Magnetic Imaging Resonance)

Menentukan posisi dan luas terjadinya perdarahan otak. Hasil

pemeriksaan biasanya di dapatkan area yang mengalami lesi

dan infark akibat dari hemoragik.

5) EEG
13

Melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang

infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak

6) Sinar tengkorak

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah

yang berlawanan dari masa yang meluas (Batticaca,2008).

g. Penatalaksanaan medis

1) Pada fase akut :

a) Pertahankan jalan napas,pemberian oksigen, penggunaan

ventilator.

b) Monitor peningkatan tekanan intracranial.

c) Monitor fungsi pernapasan : analisa gas darah.

d) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG

e) Evaluasi status cairan dan elektrolit.

f) Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan,

dan cegah resiko injuri.

g) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi

lambung dan pemberian makanan.

h) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.

i) Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran,

keadaan pupil, fungsi sensorik dan motorik, nervus

kranial, dan reflek.

2) Pada Fase rehabilitasi

a) Pertahankan nutrisi yang adekuat.


14

b) Program management bladder dan bowel.

c) Mempertahankan keseimbangan tubuh dengan rentang gerak

sendi (ROM).

d) Pertahankan integritas kulit.

e) Pertahankan komunikasi yang efektif.

f) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

3) Pembedahan

Di lakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari 3cm

atau volume lebih dari 50 ml untuk dekompresi atau

pemasangan pintasan ventrikulo peritoneal bila ada

hidrosefalus obstruktif akut.

4) Terapi obat-obatan

Terapi pengobatan tergantung dari jenis stroke :

a) Antihipertensi : captropil, antagonis kalsium

b) Diuretik : manitol 20%, furosemide

c) Antikonvulsan : fenitolin. (Tarwoto, 2007)

2. NUTRISI

a. Definisi

Nutrisi adalah zat-zat gizi dan zat lain yang berhubungan dengan

kesehatan dan penyakit, termasuk keseluruh proses dalam tubuh

manusia untuk menerima makanan atau bahan-bahan dari lingkungan

hidupnya dan menggunakan bahan-bahan tersebut untuk aktivitas


15

penting dalam tubuhnya serta mengeluarkan sisanya. Nutrisi dapat

dikatakan sebagai ilmu tentang makanan, zat-zat gizi dan zat lain yang

terkandung, aksi reaksi dan keseimbangan yang berhubungan dengan

kesehatan dan penyakit. ( Wartonah, 2006 )

Menurut Soenarjo (2000), Nutrisi merupakan kebutuhan utama

pasien kritis dan nutrisi enteral lebih baik dari parenteral karena lebih

mudah, murah, aman, fisiologis dan penggunaan nutrien oleh tubuh

lebih efisien. Nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia

menggunakan makanan untuk membentuk energi, mempertahankan

kesehatan, pertumbuhan dan untuk berlangsungnya fungsi normal

setiap organ dan jaringan tubuh (Rock CL, 2004).

Nutrisi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan

yang dikonsumsi secara normal melalui proses degesti, absorbsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang

tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan (Supariasa, 2001).

Nutrisi merupakan proses pemasukan dan pengolahan zat

makanan oleh tubuh yang bertujuan menghasilkan energi dan

digunakan dalam aktivitas tubuh.( Alimul Hidayat, 2006 )

Gizi (Nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan

makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti,

absorbsi,transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran

zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan


16

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari  organ-

organ serta menghasilkan energi. (Supariasa, 2001)

Nutrien merupakan elemen penting untuk proses dan fungsi tubuh,

enam kategori zat makanan adalah air, karbohidrat, protein, lemak,

vitamin dan mineral. (Potter, 2005).

b. Fungsi Nutrisi Bagi Tubuh.

Berdasarkan pengertian nutrisi itu sendiri, zat ini memang menjadi

asupan utama bagi tubuh seseorang dalam melakukan berbagai

kegiatan sebagai pembentukan energi penting. Fungsi nutrisi itu

sendiri juga beragam seperti sebagai proses pengambilan zat-zat

makanan yang penting, sebagai subtansi organik yang dibutuhkan

organisme untuk bergerak normal. Namun nutrisi sangat berbeda dari

makanan yang kita makan tiap harinya, nutrisi adalah apa yang

terkandung dalam makanan tersebut. Nutrisi juga berperan aktif

sebagai asupan makanan yang sehat bagi tubuh, tubuh setidaknya

mengkonsumsi beberapa jenis makanan setiap harinya. Tidak lantas

kita menyepelekan nutrisi, sebab tidak semua makanan memiliki

nutrisi. (Artikel kesehatan Nutrisi, 2000).

c. Nutrisi Pasien Stroke

Pemberian makanan pada penderita stroke disesuaikan dengan

keadaan penderita, antara lain apakah kesadaran penderita menurun

atau tidak, dan ada tidaknya gangguan fungsi menelan. Pada pasien

stroke iskemik biasanya kesadaran tidak menurun dan tidak ada


17

gangguan fungsi menelan. Sedangkan pada stroke hemoragik

kesadaran sering kali menurun sampai terjadi koma dan ditemukan

disfagia (gangguan menelan). Selain itu, pasien stroke juga mngalami

gangguan mengunyah, dan saluran cerna lain seperti tukak stres.

Sekitar 30 - 40% pasien mengalami disfagia, dan sekitar 18%

mengalami tukau stres pada penderita stroke iskemik, dan sekitar 48%

pada penderita stroke hemoragik.

Untuk mencegah penurunan status gizi dan mencapai gizi yang

optimal, diperlukan penatalaksanaan asupan gizi yang tepat pada

penderita stroke. Jalur pemberian zat gizi dapat melalui mulut (per

oral), enteral (melalui sonde), melalui pipa (NGT) maupun parenteral

(dengan selang infus) berdasarkan kondisi penderita. Namun,

terkadang penyulit yang timbul pada pemberian nutrisi melalui infus

(parenteral) berkepanjangan menimbulkan komplikasi phlebitis

(radang pembuluh vena) sehingga juga menghambat kegiatan

fisioterapi penderita. Kesulitan menelan pada penderita, terutama yang

berbentuk cairan, perlu latihan menelan dengan bantuan gel atau

guarcol. Guarcol ini tidak berbau dan tidak memiliki rasa, rendah

kalori dan tinggi akan gum yang dapat digunakan untuk mengentalkan

cairan, makanan dan minuman.

1) Tahapan pemberian makanan dan minuman

a) Pada tahap akut (24-48 jam)   


18

Bila kesadaran penderita menurun atau tidak sadar,

diberikan makanan parenteral (makanan intravena) melalui

selang infung, dan dilanjutkan dengan makanan lewat pipa

(NGT). Pemberian makanan perlu hati-hati untuk memonitor

kebutuhan gizi dan cairan yang diperlukan. Kelebihan cairan

dan peningkatan gula darah di dalam darah dapat

menyebabkan edema serebri. Energi yang diberikan sesuai

kebutuhan basal tubuh, protein diberikan sampai dengan 1,5 g/

kg berat badan/ hari, dan lemak sampai 2,5 g/ kg berat bedan/

hari dan dekstrosa maksimal 7 g/ kg berat badan/ hari. Para

peneliti memberi rekomendasi agar kadar gula darah

dipertahankan pada level 150-200 mg % pad afase akut stroke.

b) Pada tahap pemulihan

(1) Bila pasien sadar dan tidak disfagia, dapat diberikan

makanan melalui mulut (oral) secara bertahap seperti

makanan lunak, saring hingga berupa bentuk makanan

yang biasa dengan porsi kecil dan sering.

(2) Bila terjadi disfagia, jalur pemberian makanan diberikan

bertahap mulai parenteral, kemudian ¼ bagian mulut (per

oral) dan ¾ bagian melalui pipa (NGT), selanjutnya ½

bagian per oral (semi padat dan semi cair melalui NGT)

dan diet lengkap (makanan dan minuman oral).


19

(3) Bila penderita mengalami tukak stres akibat asam

lambung dan gastrin meningkat, diberikan makanan secara

bertahap juga dimulai dengan makanan enteral (bila tidak

ada perdarahan diberikan melalui selang infus (parenteral)

sampai perdarahan berhenti.

2) Jenis diet

Pemberian jenis makanan sebaiknya disesuian dengan faktor-

faktor risiko yang ada pada penderita. Pada prinsipnya, diet yang

diberikan adalah diet seimbang dengan modifikasi yang

disesuaikan dengan penyakit penyerta lain yang dialami penderita.

Misalnya, penderita stroke dengan hipertensi, sebaiknya diberikan

menu diet seimbang dengan jumlah garam yang dibatasi.

Seseorang dengan penyakit Diabetes mellitus, asupan gula dalam

diet harus dibatasi.

Bagi penderita stroke dengan peninggian asam urat, maka diet

yang dianjurkan untuk membatasi asupan purin. Pengaturan diet

merupakan hal yang penting, karena merupakan salah satu

upaya  untuk mencegah stroke berulang. Oleh karena itu, keluarga

terdekat perlu sekali mengetahui jenis yang tepat untuk perawatan

penderita di rumah dengan menanyakan pada dokter/ahli gizi

sebelum pasien kembali dari rumah sakit.

3) Kebutuhan gizi
20

Prinsip pemberian makanan harus memenuhi kebutuhan optimal

cairan, kalori, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Biasanya porsi

makan yang diberikan kecil dan sering (kurang lebih 6 kali sehari).

Kebutuhan gizi perlu memperhatikan asupan zat-zat gizi sebagai

berikut (Wahyuningrum dan Ardinal, Instalasi Gizi RSCM,

Jakarta, 2002) :

a) Energi

Diberikan berdasarkan umur, berat badan(BB), tinggi badan

(TB), jenis kelamin dan aktivitas, atau sekitar 25-45 kkal

BB/hari. Pada fase akut (< 48 jam) diberikan sekitar 1.100 –

1.500 kkal/kg BB/hari. Setelah fase akut, pemberian makanan

disesuaikan dengan keadaan pasien dan penyakit penyerta

yang ada, misalnya diet rendah garam (untuk penderit

ahipertensi), rendah kolesterol dan lemak (penderita dengan

kolesterol tinggi), rendah gula (penderita diabetes mellitus),

atau rendah purin (penderita dengan asam urat tinggi).

b) Karbohidrat

Diberikan sekitar 60 – 65% dari total energi yang

dibutuhkan. Bagi penderita Diabetes mellitus, sebaiknya tidak

diberikan gula murni dan membatasi pemberian karbohidrat

kompleks.

c) Protein
21

Diberikan sesuai kebutuhan, sekitar 0,8 – 1 g/kg BB/hari.

Sedangkan penderita dengan gizi kurang diberikan lebih

banyak yaitu sekitar 1,2 – 1,5 g/kg BB/hari. Untuk penderita

dengan penyakit penyerta seperti gagal ginjal kronik, dibatasi

hanya 0,6 g/kg BB/hari.

d) Lemak

Asupan lemak sebaiknya diberikan sekitar 20-25 % dari

total energi. Sebaiknya diberikan lemak tidak jenuh ganda.

Hindari makanan mengandung banyak lemak terutam lemak

jenuh, tinggi kolesterol, dan asam lemak trans (trans fatty

acid), yang banyak terdapat pada margarin, daging berlemak,

makanan gorengan, dan juga makanan kemasan

seperti chips. Kolesterol sebaiknya dibatasi sekitar 30% dari

total lemak. Pilih lemak yang tidak jenuh dalam memasak

terutama yang banyak mengandung vitamin E seperti minyak

zaitun. Menurut beberapa penelitian, pemberian asam lemak

omega-3 (dari minyak ikan) bermanfaat untuk mencegah atero

sklerosis dan mengencerkan darah. Oleh karena itu, konsumsi

ikan laut yang banyak mengandung omega-3 dianjurkan.

e) Vitamin

Terutama vitamin C, vitamin B2  (riboflavin), vitamin B6,

vitamin B12, asam folat, dan vitamin E. Untuk penderita yang

mendapat obat anti koagulan (warfarin) pemberian bahan


22

makanan sumber vitamin K harus dibatasi karena vitamin K

merupakan antagonis dari obat antikoagulan tersebut. Batasi

sumber makanan yang mengandung vitamin K seperti

kembang kol, brokoli.

f) Mineral

Diberikan cukup mineral terutama kalium, seng, kalsium,

magnesium. Batasi asupan natrium, penggunaan garam dapur

sekitar 5 g/hari atau 2 gram natrium (1 – 1,5 sendok teh).

Pengggunaan garam dalam memasak sebaiknya diganti dengan

bumbu-bumbu lain untuk meningkatkan cita rasa seperti

bawang putih. Hati-hati pada penderita hipertensi, bila

menggunakan obat anti hipertensi/diuresis dapat terjadi

hipoatremi (kekurangan natrium di dalam darah).

g) Serat

Konsumsi serat dari sayur-sayuran dan buah-buahan, serta

biji-bijian (sereal, roti bergandum) bermanfaat dalam

menurunkan kolesterol darah, mencegah sembelit serta

melancarkan buang air besar.

h) Cairan

Sebaiknya minum air puti 6-8 gelas/hari. Minuman

sebaiknya diberikan setelah makan, agar porsi makan dapat

dihabiskan sesuai dengan takaran yang diberikan. Pemberian

cairan pada penderita dengan disfagia sebaiknya hati-hati


23

karena beresiko masuk ke saluran pernafasan. Sebaiknya

cairan dikentalkan dengan gel atau guarcol.

i) Antioksidan

Pemberian antioksidan seperti flavonoid dilaporkan

memberi banyak manfaat, contohnya banyak terdapat pada teh,

sayur-sayuran dan buah-buahan seperti apel, anggur.

d. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Nutrisi

Kebutuhan nutrisi tidak berada dalam kondisi yang menetap. Ada

kalanya kebutuhan nutrisi seseorang meningkat. Begitu pula

kebalikannya, kebutuhan nutrisi seseorang menurun. Ada beberapa

faktor yang mempengaruhi kebutuhan seseorang terhadap nutrisi.

Pada bagian ini dikemukakan dua kategori faktor yaitu faktor yang

meningkatkan kebutuhan nutrisi dan faktor yang menurunkan nutrisi.

Faktor yang meningkatkan kebutuhan nutrisi antara lain:

1) Pertumbuhan yang cepat, seperti bayi, anak-anak, remaja dan ibu

hamil.

2) Selama perbaikan jaringan atau pemulihan kesehatan karena

proses suatu penyakit.

3) Peningkatan suhu tubuh. Setiap kenaikan suhu 1o F, maka

kebutuhan kalori meningkat 7%.

4) Aktivitas yang meningkat.

5) Stres, sebagian orang akan makan sebagai kompensasi karena

mengalami stres.
24

6) Terjadi infeksi.

Faktor yang menurunkan kebutuhan nutrisi antara lain :

1) Penurunan laju pertumbuhan, misalnya lansia.

2) Penurunan Basal Metabolisme Rate (BMR).

3) Hipotermi.

4) Jenis kelamin. Umumnya kebutuhan nutrisi pada wanita lebih

rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini karena pada wanita BMR

nya lebih rendah dibanding BMR laki-laki.

5) Gaya hidup pasif.

6) Bedrest, karena suatu penyakit atau proses pemulihan

( Pustaka Musbir, 2012)

e. Cara Pemberian Makanan

Ada 3 cara pemberian nutrisi, yaitu :

1) Melalui oral ( mulut ).

2) Parenteral.

3) Enteral

f. Makanan Cair ( Enteral )

1) Pengertian

Nutrisi enteral adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang

tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral,

formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric

tube), nasogastric tube (NGT), atau jejunum dapat secara manual

maupun dengan bantuan pompa mesin (Setiati,2000).


25

Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi

cair hingga kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang

mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan mencernakan

makanan yang di sebabkan menurunnya tingkat kesadaran, suhu

tinggi, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran gerna, serta

pra dan pasca bedah. Makanan dapat diberikan secara oral atau

parenteral ( Ahli Gizi, 2013 ).

Tabel 2.1 Bahan makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan untuk penderita
stroke
Bahan makanan yang boleh dimakan Bahan makanan yang tidak boleh dimakan
Sumber Karbohidrat Sumber Karbohidrat
Beras, kentang, ubi, singkong, terigu, Produk olahan yang dibuat dengan garam
hunkwe, sagu, roti dapur, soda/baking powder, kue yang manis
Sumber Protein Sumber Protein
Sumber protei rendah lemak seperti Ikan, Daging sapid an ayam berlemak, jerohan,
ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu, otak, hati, ikan banyak duri, susu penuh keju,
dankacang-kacangan es krim, dan produk olahan protein hewani
yang diawetkan seperti daging asam, ham,
bacon, dendeng, kornet
Sayuran
Sayuran berserat sedang dimasak, seperti
bayam, kangkung, kacang panjang, labu
siam, tomat, tauge, wortel
Sumber Lemak Sumber Lemak
Sumber lemak dalam jumlah terbatas Minyak kelapa dan minyak kelapa sawit,
yaitu bentuk makanan yang mudah margarin dan mentega biasa, santan kental,
dicerna. Makanan terutama diolah krim dan produk gorengan.
dengan cara dipanggang, dikukus,
disetup, direbus, dan dibakar

2) Indikasi Pemberian Makanan Cair ( Enteral )

Pemberian makanan cair (enteral) diberikan pada pasien yang

sama sekali tidak bisa makan, makanan yang masuk tidak

adekuat, pasien dengan sulit menelan, pasien dengan luka bakar


26

yang luas. Pada pasien dengan keadaan trauma berat, luka bakar

dan status katabolisme, maka pemberian makanan cair (enteral)

sebaiknya sesegera mungkin dalam 24 jam.

3) Kontra indikasi pemberian makanan cair ( enteral )

Kontra indikasi pemberian makanan cair ( enteral ) adalah

keadaan dimana saluran cerna tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya, kelainan anatomi saluran cerna, iskemia saluran cerna,

dan peritonitis berat. Pada pasien dengan pembedahan, pemberian

makanan cair ( enteral ) harus dikonfirmasikan dengan tanda

munculnya flatus.

Pada prinsipnya, pemberian formula enteral dimulai dengan

dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai

dosis maksimum dalam waktu seminggu. Makanan cair (enteral)

yang telah disediakan sebaiknya dihabiskan dalam waktu

maksimal 4 jam, waktu selebihnya akan membahayakan karena

kemungkinan makanan tersebut telah terkontaminasi bakteri.

4) Route pemberian makanan cair (enteral)

a) Nasogastrik : pemberian melalui nasogastrik memerlukan

fungsi gaster yang baik, motilitas dan pengosongan gaster yang

normal.

b) Transpilorik : pemberian transpilorik efektif jika ada atoni

gaster.
27

c) Perkutaneus : bila bantuan nutrisi secara enteral dibutuhkan >

4 bulan. Jejunostomi diberikan bila ada GER, gastroparesis,

pankreatitis.( Artikel kesehatan tentang nutrisi, 2011 ).

5) Suhu Pemberian Makanan Cair ( Enteral )

Temperatur susu pun mempengaruhi banyaknya residu

lambung, seperti penelitian yang dilakukan Gonzales et al (dalam

Smith,2011), bahwa menghangatkan susu sesuai suhu tubuh dapat

meningkatkan toleransi minum pada bayi prematur dibandingkan

dengan memberikan susu pada temperatur ruangan. Menurut

batas baku mutu SNI, 2009 ; Suhu makanan cair yang baik

diberikan pada suhu terendah 350c,sedangkan suhu tertinggi 400c.

3. PEMASANGAN NGT

a. Definisi

Nasogastric Tubes (NGT) sering digunakan untuk menghisap isi

lambung, juga digunakan untuk memasukan obat-obatan dan

makananan. NGT ini digunakan hanya dalam waktu yang singkat.

(Mentheny & Titler, 2001)

b. Tujuan Pemasangan NGT

1) Memasukan makanan cair atau obat-obatan cair.

2) Mengeluarkan cairan/isi lambung dan gas yang terdapat di

dalam lambung.

3) Mengirigasi karena perdarahan atau keracunan dalam lambung.


28

4) Mencegah atau mengurangi vomiting setelah pembedahan atau

trauma.

5) Mengambil specimen pada lambung untuk pemeriksaan

diagnostic.

c. Indikasi dan Kotraindikasi Pemasangan NGT

Indikasi :

1) Pasien dengan distensi abdomen karena gas,darah dan cairan

2) Keracunan makanan minuman

3) Pasien yang membutuhkan nutrisi enteral melalui NGT

4) Pasien yang memerlukan NGT untuk diagnosa atau analisa isi

lambung.

Kontraindikasi :

NGT tidak dianjurkan atau digunakan dengan berlebihan kepada

beberapa pasien predisposisi yang bisa mengakibatkan bahaya

sewaktu memasang NGT,seperti:

1) Klien dengan sustained head trauma, maxillofacial injury, atau

anterior fossa skull fracture. Memasukan NGT begitu saja melalui

hidung maka potensial akan melewati criboform plate, ini akan

menimbulkan penetrasi intracranial.

2) Klien dengan riwayat esophageal stricture, esophageal varices,

alkali ingestion juga beresiko untuk esophageal penetration.


29

3) Klien dengan Koma juga potensial vomiting dan aspirasi sewaktu

memasukan NGT, pada tindakan ini diperlukan tindakan proteksi

seperti airway dipasang terlebih dahulu sebelum NGT .

4) Klien dengan gastric bypass surgery yang mana pasien ini

mempunyai kantong lambung yang kecil untuk membatasi asupan

makanan. Konstruksi bypass adalah dari kantong lambung yang

kecil ke duodenum dan bagian usus kecil yang menyebabkan

malabsorpsi (mengurangi kemampuan untuk menyerap kalori dan

nutrisi.

d. Komplikasi Yang Disebabkan Oleh NGT

1) Komplikasi mekanis

a) Sondenya tersumbat.

b) Dislokasi dari sonde, misalnya karena ketidaksempurnaan

melekatkatnya sonde dengan plester di sayap hidung.

2) Komplikasi pulmonal : misalnya aspirasi.

a) Kecepatan aliran nutrisi enteral tidak boleh terlalau tinggi.

b) Letak sonde mulai hidung sampai ke lambung harus sempurna.

Untuk mengontrol letak sonde tepat di lambung, perawat harus

menggunakan stetoskop guna auskultasi lambung sambil

menyemprot udara melalui sonde.

3) Komplikasi yang disebabkan oleh tidak sempurnanya kedudukan

sonde :
30

a) Sebelum sonde dimasukkan, harus diukur dahulu secara

individual (pada setiap pasien) panjangnya sonde yang

diperlukan, dari permukaan lubang hidung sampai keujung

distal sternum.

b) Sonde harus diberi tanda setinggi permukaan lubang hidung.

c) Sonde harus diletakkan dengan sempurna di sayap hidung

dengan plester yang baik tanpa menimbulkan rasa sakit.

d) Perawat dan pasien harus setiap kali mengontrol letaknya tanda

di sonde, apakah masih tetap tidak berubah (tergeser).

4) Komplikasi yang disebabkan oleh zat nutrisi antara lain :

a) Komplikasi yang terjadi di usus

(1) Diare

(2) Perut terasa penuh

(3) Rasa mual, terutama pada masa permulaan pemberian

nutrisi enteral

b) Komplikasi metabolik hiperglikemia

Perencanaan keperawatanya dari komplikasi yang terjadi di usus.

Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan secara bertahap.

e. Tahap pemberian nutrisi dengan mempergunakan selang NGT.

1) Kemungkinan I

Hari-1 : kecepatan aliran 20 ml/jam = 480 ml/hari

Hari-2 : kecepatan aliran 40 ml/jam = 960 ml/hari

Hari-3 : kecepatan aliran 60 ml/jam = 1440 ml/hari


31

Hari-4 : kecepatan aliran 80 ml/jam = 1920 ml/hari

Hari -5 : kecepatan aliran 100 ml/jam=2400ml/hari=2400

kcal/hari

Nutrisi enteral konsep 24 jam : kecepatan aliran nutrisi

enteral tetap 100 ml/jam = 2400ml/hari = 2400 kcal/hari.

Kekurangan kebutuhan cairan dalam tubuh pada hari pertama

sampai dengan hari keempat harus ditambahkan dalam bentuk air,

teh atau dengan sistem infus (parenteral).

2) KemungkinanII

Hari 6: kecepatan aliran 120 ml/jam (selama 20 jam/hari)

Hari 7: kecepatan aliran 140 ml/jam (selama 17 jam/hari)

Hari 8: kecepatan aliran 160 ml/jam (selama 15 jam/hari)

Hari 9: kecepatan aliran 180 ml/jam (selama 13 jam/hari)

Hari 10: kecepatan aliran 200 ml/jam (selama 12 jam/hari)

Nutrisi enteral konsep 12 jam : Kecepatan aliran nutrisi

enteral tetap 200 ml/jam = 2400ml/hari = 2400 kcal/hari. Maksud

konsep 12 jam ini agar pasien hanya terikat oleh pemberian

nutrisi enteral selama 12 jam sehari. Misalnya,hanya antara jam

19 sampai jam 7 pagi sambil tidur. Apabila timbul rasa mual atau

diare, pada waktu tahap pembangunan dianjurkan supaya

kecepatan aliran nutrisi enteral diturunkan 40 ml/jam.


32

3) Ukuran Selang NGT

a) Digunakan berbagai ukuran selang, and pemilihan ukuran yang

sesuai tergantung pada tujuan penggunaan dan perkiraan lama

penggunaan selang

b) Selang berdiameter kecil ( 8 Fr sampai 12 Fr ), lunak, fleksible,

sering digunakan untuk pasien yang membutuhkan enteral

feeding untuk kurang dari 6 minggu

c) NGT berdiameter besar, kurang flexible, lebih kaku, digunakan

untuk pemberian obat, dekompresi/pengurangan tekanan udara

di lambung, dan untuk feeding jangka pendek ( biasanya

kurang dari 1 minggu ).

d) Keuntungan NGT ukuran kecil dengan ukuran besar meliputi:

kurang menimbulkan trauma pada mukosa nasal baik selama

pemasangan maupun NGT insitu, dan toleransi klien lebih

e) Penggunaan NGT ukuran kecil sebagai tindakan propilaksis

untuk pencegahan gastro-oesofageal reflux dan micro-

aspiration isi lambung, ke dalam jalan napas bagian bawah

meskipun masih kontroversial sebagaimana yang lain

menunjukkan tak ada hubungan antara ukuran NGT dan

komplikasi-komplikasi ini.

f) Displacement dapat terjadi ukuran besar maupun kecil, namun

ukuran kecil lebih mudah dislokasi, sering ke dalam jalan


33

napas dan tanpa tanda-tanda dapat terlihat dari luar, dan mudah

terjadi kemacetan dan melilit.

g) Insertion of the NGT adalah suatu procedure yang kompleks,

and membutuhkan skill and keahlian sebaimana kesalahan-

kesalahan penempatan dapat berakibat pada komplikasi-

komplikasi .

h) Selama awal pemasangan NGT, misplacement dapat meliputi

respiratory tract , brain, oesophagus, peritoneum, stomach

(duodenal tube) and intestine (gastric tube) .

i) Upward displacement meningkatkan resiko pada pulmonary

aspiration, sedangkan downward displacement meningkatkan

resiko feeding intolerance jika formula atau obat-obatan

diberikan melalui tubing itu.

f. Standar Operasional Prosedur Pemasangan NGT

1) Persiapan Alat :

a) Selang NGT  sesuai ukuran          h) 1 buah kom isi air

b) Jelly / pelumas               i)   Perlak dan handuk

c) Tongue spatel                 j)  Senter dan Stetoskop

d) Sarung tangan                k) Klem

e) Spuit ukuran 50 cc      

f) Bengkok, plester dan gunting                   

g) Makanan cair sesuai kebutuhan pasien


34

2) Cara Kerja

a) Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan tujuannya

b) Dekatkan alat-alat ke klien

c) Cuci tangan

d) Atur posisi klien pada posisi high fowler

e) Pasang perlak dan handuk pada dada klien

f) Cek kondisi lubang hidung klien,perhatikan adanya sumbatan

g) Kenakan sarung tangan

h) Ukur panjang tube yang akan dimasukan dengan

menggunakan metode:

(1) Metode tradisional

Ukur jarak dari puncak lubang hidung ke daun telinga dan

ke prosessus xipoideus di sternum

(2) Metode Hanson

Mula-mula tandai 50 cm pada tube,kemudian lakukan

pengukuran dengan metode tradisional. Selang yang akan

dimasukan pertengahan antara 50 cm dengan tanda

tradisional.

i) Beri tanda pada panjang selang yang sudah diukur dengan

plester

j) Olesi jelly pada NGT sepanjang 10-20 cm.

k) Informasikan kepada klien bahwa selang akan dimasukkan

dan instrusikan klien untuk mengatur posisi kepala ekstensi.


35

Lalu masukan selang melalui lubang hidung yang telah

ditentukan.

l) Bila selang sudah melewati nasofaring, instrusikan klien

untuk menekuk leher dan menelan.

m) Jika sudah selesai memasang NGT,periksa letak selang

dengan cara:

(1) Pasang spuit, yang telah ditarik pendorongnya pada

angka 10-20 ml udara pada ujung NGT. Letakkan

stetoskop pada daerah gaster, kemudian suntikan spuit

tersebut, jika pada auskultasi terdengar suara hentakan

udara, berarti selang NGT masuk ke dalam lambung.

(2) Aspirasi pelan-pelan untuk mendapatkan isi lambung

dengan menggunakan spuit.

(3) Masukan ujung bagian luar selang NGT ke dalam

mangkok yang berisi air. Jika ada gelembung air, berarti

masuk ke dalam lambung.

n) Fiksasi selang NGT dengan plester dan hindari penekanan

pada hidung

o) Tutup ujung luar NGT, bila tidak ada penutup dapat di klem

p) Evaluasi klien setelah terpasang NGT.

q) Rapihkan alat-alat dan Cuci Tangan

r) Dokumentasikan hasil tindakan ini pada catatan perawatan.

3) Hal - hal yang perlu diperhatikan :


36

a) Mempartahankan kenyamanan klien.

b) Mengkaji adanya inflamasi dan ekskoriasi pada lubang

hidung dan mukosa.

c) Mengganti plester yang digunakan untuk menempelkan slang

setiap hari untuk mengurangi iritasi.

d) Melakukan perawatan mulut untuk meminimalkan dehidrasi.

e) Mengubah posisi klien secara teratur yang membantu

penutupan saluran sekresi lambung dan mempercepat

pengosongan isi lambung untuk menghindari distensi.

f) Mendokumentasikan prosedur.

4) Evaluasi

a) Pasien tidak terjadi batuk.

b) Ujung NGT bila dimasukan pada air tidak timbul gelembung

udara.

c)  Cairan yang keluar berwarna agak kehijau-hijauan jernih.

d) Masukan udara  10cc lewat NGT, bersamaan memasukan

udara didengarkan suara dalam lambung dengan stestokop

maka akan terdengar udara.

e) Bila kesadaran pasien menurun (tidak kooperatif), bisa

dirangsang dengan memberi minum 1 sendok, saat ada tanda

menelan maka NGT dimasukan.


37

g. Standar Operasinal Prosedur Memberikan Makan melalui NGT

1) Pengertian

Pemberian nutrisi / obat melalui pipa penduga atau

lambung merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada

pasien yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara

oral atau tidak mampu menelan dengan cara memberi makan

melalui pipa lambung atau pipa penduga.

2) Tujuan

Adapun tujuan kita dalam pemberian nutrisi melalui pipa

penduga antara lain:

a) Dekompressi yaitu membuang dan substansi gas dari

saluran gastrointestinal, mencegah atau menghilangkan

distensi abdomen.

b) Memberi makan yaitu memasukkan suplemen nutrisi cair

atau makanan kedalam lambung untuk klien yang tidak

dapat menelan cairan.

c) Kompressi yaitu memberi tekanan internal dengan cara

mengembangkan balon untuk mencegah perdarahan internal

pada esofagus.

d) Bilas lambung yaitu irigasi lambung akibat pendarahan

aktif, keracunan, atau dilatasi lambung.

3) Persiapan Alat :

a) Air matang dan Makanan cair / Obat.


38

b) Spuit 50 cc dan Bengkok.

c) Tissue dan Sarung tangan

d) Perlak/pengalas

4) Cara Kerja

a) Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada

b) Mencuci tangan

c) Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

d) Memberikan salam dan menyapa nama pasien

e) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien

f) Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien

g) Menjaga privacy

h) Mengatur posisi pasien dalam posisi semi fowler/fowler

i) Memakai sarung tangan

j) Memasang pengalas di atas dada

k) Memastikan letak NGT dengan cara aspirasi isi lambung

l) Memasukkan air matang, membuka klem, tinggikan 30 cm,

sebelum habis klem kembali

m) Memasukkan makanan cair, membuka klem, meninggikan

30cm, klem kembali sebelum habis

n) Memasukkan air matang, membuka klem, tinggikan 30 cm,

sebelum air habis klem kembali

o) Menutup ujung NGT dengan spuit/klem

p) Membersihkan sisa makanan pada pasien


39

q) Merapikan pasien

r) Melakukan evaluasi tindakan

s) Berpamitan dengan klien

t) Membereskan alat-alat dan mencuci tangan

u) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan.

4. PENYERAPAN MAKANAN

a. Definisi

Absorpsi (penyerapan makanan) adalah proses pemisahan bahan

dari suatu campuran gas dengan cara pengikatan bahan tersebut pada

permukaan absorben cair yang diikuti dengan pelarutan. Kelarutan

gas yang akan diserap dapat disebabkan hanya oleh gaya-gaya fisik

(pada absorpsi fisik) atau selain gaya tersebut juga oleh ikatan kimia

(pada absorpsi kimia). Komponen gas yang dapat mengadakan

ikatan kimia akan dilarutkan lebih dahulu dan juga dengan kecepatan

yang lebih tinggi. Absorpsi merupakan  salah satu operasi pemisahan

dalam industri kimia dimana campuran gas dikontakkan dengan

suatu cairan penyerap yang sesuai, sehingga satu atau lebih

komponen dalam campuran gas larut dalam cairan penyerap. (

Almatsier, Sunita, 2013)

Penyerapan makanan adalah proses pemindahan hasil dari produk

pencernaan melewati sel epitel intenstinal hingga mencapai sirkulasi

limfatik atau darah. Hanya sedikit senyawa dalam makanan dan


40

minuman (air, gula sederhana, beberapa vitamin dan mineral) yang

dapat diabsorsi tanpa melelui proses pencernaan. Bagian yang

melibat dalam sistem pencernaan adalah otot yang berfungsi untuk

gerakan peristaktik, saraf berfungsi untuk merangsang aliran darah

dan kontraksi otot, serta kelenjar pensekresi berfungsi dalam

endokrin dan esokrin. ( Pustaka adter, 2012)

Sistem yang berperan dalam pemenuhan nutrisi adalah sistem

pencernaan yang terdiri atas saluran pencernaan dan organ asesoris.

Saluran pencernaan dimulai dari mulut sampai anus. Sedangkan

organ asesoris terdiri atas hati, kantong empedu dan pankreas. Ketiga

organ ini membantu terlaksananya sistem pencernaan makanan

secara kimiawi. Lamanya waktu penyerapan sekitar 7 - 8 jam, proses

penyerapan yang baik di malam hari sekitar jam 20.00 – 04.00 wib.

(Hachmadi, 2011)

b. Proses Pencernaan Makanan.

Proses pencernaan makanan terjadi melalui 2 cara

yaitu pencernaan mekanik dan pencernaan kimiawi. Pencernaan

mekanik adalah proses pencernaan yang dilakukan secara fisik

dengan cara menghancurkan makanan menjadi ukuran yang lebih

kecil, contoh dari pencernaan mekanik adalah saat kita mengunyah

makanan di mulut dengan bantuan gigi. Selanjutnya setelah makanan

tadi kita kunyah, maka akan bercampur dengan air ludah.

Pencampuran makanan dengan zat-zat kimia yang terkandung dalam


41

air ludah inilah yang disebut sebagai pencernaan kimiawi. Selain air

ludah, zat kimia lain yang berperan dalam pencernaan kimiawi

adalah asam lambung, cairan empedu, dan getah pankreas.

Gambar 2.1 Anatomi saluran cerna (almatsier; 2009)

1) Mulut

Di dalam rongga mulut terdapat beberapa alat lain seperti gigi,

lidah, dan kelenjar ludah.

a) Gigi, berfungsi sebagai alat pencernaan mekanik seperti untuk

memotong, mengoyak, dan memecah makanan menjadi begian

yang lebih kecil sehingga mempermudah kerja enzim.

Berdasarkan fungsi dan bentuknya gigi dibedakan menjadi tiga

jenis yaitu seri, taring, dan geraham.

b) Lidah, merupakan jaringan otot yang memiliki pangkal pada

bagian belakang dasar mulut. Lidah berfungsi untuk menahan

makanan saat dikunyah dan juga mendorong makanan dari

rongga mulut untuk masuk ke kerongkongan.


42

c) Kelenjar ludah, sesuai namanya kelenjar ludah berfungsi untuk

mengeluarkan air ludah. Di dalam air liur, terdapat enzim

bernama amilase (ptialin). Enzim ptialin berfungsi untuk

mengubah amilum (zat tepung) menjadi maltosa (gula).

2) Kerongkongan (esophagus)

Kerongkongan adalah saluran pencernaan yang

menghubungkan rongga mulut dengan lambung. Di dalam

kerongkongan terjadi gerakan peristaltik. Gerakan peristaltik

adalah gerakan kerongkongan mendorong makanan agar masuk

ke dalam lambung.

3) Lambung

Gambar 2.2 Anatomi Lambung

Lambung manusia terletak dibawah sekat rongga badan

(diafragma) sebelah kiri. Lambung terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a) Kardiak, adalah penghubung kerongkongan dengan lambung.

b) Fundus, merupakan bagian tengah lambung yang bentuknya

agak besar.

c) Pilorus, adalah penghubung lambung dengan usus halus.


43

Lambung tersusun dari tiga lapisan otot, yaitu lapisan otot

membujur di bagian paling luar, lapisan melingkar di bagian

tengah, dan lapisan menyorong di bagian dalam. Di bagian

dinding lambung terdapat sel-sel yang dapat mengeluarkan

getah lambung. Getah lambung terdiri dari asam lambung

(HCl), enzim pepsin, enzim renin, serta air dan cairan lendir

(mukus).

4) Usus Halus

Usus halus pada manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu usus

dua belas jari (duodenum), usus halus tengah (jejenum), dan usus

halus bagian akhir (ileum). Pada usus halus, terjadi proses

penyerapan sari-sari makanan yang selanjutnya diedarkan

keseluruh tubuh melalui pembuluh darah. Proses pencernaan

kimiawi pada usus halus dilakukan oleh zat-zat kimia yang

dihasilkan dari getah usus, getah pankreas, dan kelenjar empedu.

5) Usus Besar.

Gambar 2.3 Anatomi Usus Besar

Usus besar merupakan bagian terakhir dari sistem pencernaan

pada manusia. Memiliki panjang kurang lebih satu meter dan


44

terdiri atas dua bagian, yaitu usus tebal (colon) dan poros usus

(rektum). Sisa-sisa makanan yang sudah diserap sari-sarinya oleh

usus halus akan terdorong masuk ke dalam usus besar. Di dalam

usus besar, air dan garam mineral yang masih terdapat dalam sisa-

sisa makanan ini akan diserap kembali oleh dinding colon.

Setelah itu, sisa-sisa makanan akan ditampung di dalam rektum

untuk dibusukkan oleh bakteri pembusuk yang disebut

dengan Escherichia coli. Zat-zat sisa makanan yang sudah

menjadi feses (tinja) ini akan dikeluarkan dari tubuh melalui anus.

6) Anus (Rectum)

Saat kimus melalui usus besar dan menuju ke rektum, air

dikeluarkan dari kimus sehingga terdapat sisa yang semi-padat.

Otot – otot rektum menahan sisa makanan ini hingga saatnya

untuk dikeluarkan dari tubuh. Pada saat itu, otot rektum

mengendor dan sisa makanan keluar melalui sfingter terakhir,

yaitu terbukanya anus.

c. Proses Penyerapan (Absorpsi).

Absorpsi zat – zat gizi terutama terjadi pada permukaan usus

halus. Usus halus yang panjangnya kurang lebih enam meter dan

diameter kurang lebih 2,5 cm, mempunyai luas permukaan 200 m2.

Usus halus berbentuk lipatan – lipatan. Tiap lipatan memiliki ribuan

jonjot – jonjot yang dinamakan vili. Sebuah vili terdiri atas ratusan

sel yang masing – masing mempunyai bulu yang sangat halus,


45

dinamakan mikrovili. Di dalam celah – celah antar vili terdapat

kripta – kripta berupa kelenjar yang mengeluarkan getah – getah

usus ke dalam saluran usus halus. 

Vili secara terus – menerus dalam keadaan bergerak. Tiap vilus

dilapisi oleh lapisan otot yang sangat tipis. Tiap molekul zat gizi

yang ukurannya cukup kecil untuk diserap, terjadi di dalam mikrovili

dan diserap ke dalam sel. Pada tiap vili terdapat pembuluh –

pembuluh darah dan pembuluh – pembuluh limfe yang berasal dari

sistem peredaran darah dan sistem limfe, yang merupakan sistem

transportasi zat – zat gizi. Saluran cerna bekerja secara selektif.

Bahan yang dibutuhkan tubuh dipecah dalam bentuk yang dapat

diserap dan diangkut ke seluruh tubuh, dan bahan yang tidak

digunakan dikeluarkan dari tubuh.  

Absorpsi merupakan proses yang sangat kompleks dan

menggunakan empat cara : pasif, fasilitatif, aktif, dan fagositotis.

Absorpsi pasif trejadi bila zat gizi diabsorpsi tanpa menggunakan

alat angkut atau energi. Absorpsi fasilitatif menggunakan alat angkut

protein untuk memindahkan zat gizi dari saluran cerna ke sel yang

mengabsorpsi. Absorpsi aktif menggunakan alat angkut protein dan

energi.

d. Pengaturan pencernaan dan absorpsi

Proses pencernaan dan absorpsi berlangsung dengan cara sangat

terkoordinasi. Struktur saluran cerna dan cara kerjanya


46

memungkinkan pemecahan makanan menjadi unit – unit sangat

halus dan pengantaran produknya ke seluruh tubuh.

1) Hormon – hormon saluran cerna dan sistem saraf.

Ada dua sistem yang mengatur sistem pencernaan dan

penyerapan, yaitu sistem hormon dan sistem saraf. Isi saluran

cerna merangsang atau menghambat sekresi pencernaan dengan

memberi pesan yang disampaikan hormon dan sistem saraf dari

satu bagian cerna ke bagian lain. Pengaturannya dilakukan

melalui mekanisme umpan balik. 

2) Pengaturan pH lambung

Pemeliharan pH lambung antara 1,5 – 1,7 dilakukn oleh

hormon gastrin yang dikeluarkan oleh sel – sel dinding

lambung. Masuknya makanan ke dalam lambung merangsang

sel – sel pada dinding lambung untuk mengeluarkan gastrin.

Gastrin merangsang sel – sel kelenjar lambung lain untuk

mengeluarkan cairan hidroklorida. Bila pH mencapai 1,5 asam

klorida menghentikan pengeluaran gastrin, sehingga produksi

hidroklorida ikut terhenti, dan lambung tidak menjadi terlalu

asam. Pengaturan lain adalah reseptor saraf di dalam dinding

lambung. Reseptor ini bereaksi terhadap kehadiran makanan

dengan cara merangsang kelenjar lambung untuk mengeluarkan

cairannya dan otot untuk melakukan kontraksi. Pada saat

lambung mengosongkan diri, reseptor tidak lagi terangsang,


47

pengeluaran cairan lambung diperlambat  dan kontraksi

lambung diperlambat.  

3) Pengaturan pembukaan sfingter pylorus

Pengaturan pembukaan dan penutupan sfingter pilorus

dilakukan sebagai berikut : bila sfingter pilorus relaksasi, kimus

yang bersifat asam masuk dari lambung ke usus halus.

Keasaman yang ditimbulkan berakibat pada penutupan sfingter

dengan rapat. Masuknya bikarbonat dari pankreas yang

menjadikan medium di sekitar sfingter menjadi basa, membuat

otot sfingter kembali relaksasi.

Saluran pencernaan sangat peka terhadap kondisi

lingkungan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor – faktor

gaya hidup, seperti tidur, istirahat, aktivitas fisik, dan keadaan

emosional. Tidur dan istirahat dapat menjadi salah satu cara

untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan – jaringan, serta

pengeluaran sisa – sisa yang dapat mengganggu fungsi saluran

cerna. Aktivitas fisik berpengaruh pada kekencangan otot

saluaran cerna, sedangkan keadaan mental berpengaruh pada

aktivitas hormon dan urat saraf yang mempengaruhi pencernaan

dan absorpsi. Pada saat makan, dibiasakan makan dengan tenang

dan rileks untuk mrmbantu proses pencernaan supaya tetap

mampu menghsilkan hormon – hormon secara maksimal dan

proses mencerna berjalan dengan lancar.


48

Faktor lain yang juga mempengaruhi pencernaan dan

absorpsi adalah jenis makanan yang dikonsumsi. Makanan yang

dikonsumsi harus seimbang, beragam, dan berkecukupan.

Dengan pengaturan pola hidup yang baik, resiko terkena

gangguan sistem pencernaan akan semakin rendah.

B. PENELITIAN TERKAIT

Adapun penelitian yang terkait pada penelitian yang penulis ambil yaitu

“Gambaran Waktu Tunggu, Suhu, dan Total Bakteri Makanan Cair di RSUP

Dr. Kariadi Semarang ”. (Itaq,dkk 2014) Peneliti menggunakan metode

deskriptif observasional dengan sample penelitian adalah makanan cair sesaat

setelah matang di Instansi Gizi dan sesaat sebelum disajikan di ruangan. Total

bakteri di analisis dengan metode platecount.

Hasil dari penelitian tersebut adalah waktu tunggu makanan cair

sesaat setelah matang sampai dengan sesaat sebelum disajikan pada siang hari

yaitu 3 jam, sedangkan pada sore hari 2 jam 7 menit. Hasil analisis total

bakteri yang terdapat pada makanan cair kurang dari 1x10 koloni/gram.

Penurunan suhu yang paling tinggi yaitu 400C dan yang paling rendah 350C

(batas baku mutu SNI 2009)


49

C. KERANGKA TEORI

Skema 2.1
Kerangka Teori

PEMBERIAN NUTRISI
ENTERAL (NGT) : PENYERAPAN
STROKE
MAKANAN
1) SUHU BIASA
2) SUHU HANGAT

Sumber : Potter,Perry, Fundamental Keperawatan, 2005, Alimul H,A. Aziz,


Kebutuhan Dasar Manusia, 2006, Almatsier, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, 2009
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep penelitian

Kerangka konsep adalah suatu model konseptual yang membahas saling

ketergantungan antar variabel yang di anggap perlu untuk melengkapi

dinamika situasi atau hal yang sedang atau yang akan di teliti.

(Sekaran,2006).

Penyusunan kerangka konsep akan membantu kita untuk membuat

hipotesis, menguji hubungan tertentu dan membantu peneliti dalam

menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang hanya dapat di amati atau

diukur melalui konstruk atau variable ( Nursalam, 2003 ).

Kerangka konsep penelitian ini digambarkan dengan skema sebagai berikut :

Skema 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Suhu Nutrisi Enteral Penyerapan Makanan pada


melalui NGT pasien Stroke

50
51

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau dalil

sementara yang kebenarannya akan diteliti tersebut. (Notoatmodjo,2005)

Hipotesis Alternatif (Ha) :

1. Ada pengaruh antara pemberian nutrisi enteral dengan suhu hangat

melalui NGT dengan lamanya penyerapan makanan pada pasien stroke.

2. Ada pengaruh antara pemberian nutrisi enteral dengan suhu biasa melalui

NGT dengan lamanya penyerapan makanan pada pasien stroke.

3. Ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral dengan suhu hangat

dan suhu dingin melalui NGT dengan lamanya penyerapan makanan

pada pasien stroke.

C. Definisi operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana

cara menentukan variabel, sehingga definisi operasional ini dapat membantu

penelitian lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Setiadi, 2007).

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang di amati, sehingga memungkinkan peneliti

untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu

objek atau fenomena (Hidayat, 2007).


52

Tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Variable Dependent
Penyerapan proses Lembar Cairan 1= Tidak Nomina
ada residu l
Makanan pemindahan Observasi Residu
2= Ada
hasil dari
residu
produk
pencernaan
yang
melewati sel
epitel
intenstinal
hingga
mencapai
sirkulasi
limfatik atau
darah.
Variabel Independent
Suhu Nutrisi Satuan Termomete Observas 1= Suhu Interval
Enteral ukuran yang r suhu air i Biasa (360c
- 36,50c)
Melalui menunjukkan 2= Suhu
NGT tingkat Hangat
(370c–370c)
derajat
makanan saat
akan
diberikan
pada pasien.
BAB IV

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Metode penelitian digunakan dalam proses penelitian agar dapat

mengungkapkan maksud - maksud penelitian. Pemilihan metode yang tepat

akan membantu dan menentukan keberhasilan suatu penelitian, karena hal itu

akan memperjelas langkah-langkah serta arah dan tujuan dari penelitian.

Metode yang dapat dipergunakan untuk berhasilnya suatu penelitian adalah

metode yang mempunyai kesesuaian dengan masalah penelitian, hal tersebut

karena pada dasarnya metode merupakan cara yang digunakan untuk

memecahkan suatu penelitian. Sesuai dengan permasalahan yang diteliti,

yaitu mengenai pengaruh suhu nutrisi enteral melalui ngt terhadap

penyerapan makanan pada pasien stroke di RS Moh Ridwan Meuraksa, maka

metode yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksperimen.

Menurut Sugiyono (2011:73) terdapat beberapa bentuk desain

eksperimen, yaitu: (1) pre-experimental (nondesign), yang meliputi one-shot

case studi, one group pretestposttest, intec-group comparison; (2) true-

experimental, meliputi posttest only control design, pretest-control group

design; (3) factorial experimental; dan (4) Quasi experimental, meliputi time

series design dan nonequivalent control group design.

Metode eksperimen yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk

dalam pre eksperimental atau dengan kata lain metode eksperimennya disebut

one – group eksperimen dengan bentuk one – shot case study.

53
54

Skema 4.1 Pola Desain One – Shot Case Study

x o
( Sumber Prof.Dr.Sugiyono, 2013 : 112 )

Keterangan : x adalah treatment atau perlakuan

O adalah observasi sesudah treatment

Hasil penelitian diolah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif

yang dilakukan ketika menghitung penelitian yang bersifat kuantitatif dari

pengaruh suhu nutrisi enteral melalui NGT tersebut, dan akan dideskripsikan

dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk menyimpulkan hasil

penelitian.

B. POPULASI DAN SAMPLE

1. Populasi

Menurut Hastono,dkk, 2011 Populasi adalah keseluruhan dari unit

didalam pengamatan yang akan kita lakukan. Populasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pasien stroke yang di rawat RS Moh Ridwan

Meuraksa sebanyak 55 orang, sedangkan pasien stroke yang

menggunakan NGT adalah 30 orang.

2. Sample

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmojo,2010). Sample adalah bagian dari populasi


55

terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui

sampling (Nursalam,2003). Sampling adalah suatu cara yang ditempuh

dengan pengambilan sample benar-benar sesuai dengan keseluruhan

objek penelitian (Nursalam.2008). Sugiyono (2008) menyatakan bahwa

untuk penelitian eksperimen jumlah sample bisa sekitar 10 sampai 30

responden.

Sampel dari penelitian ini adalah pasien stroke yang menggunakan

NGT di RS MOH Ridwan Meuraksa sebanyak 30 orang.

3. Tehnik Pengambilan Sampel

Tehnik pengambilan sampel yang peneliti gunakan adalah tehnik

sampling purposive yaitu tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu. Tehnik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan

sample dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak

diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan dengan berdasarkan

tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel

yang ditetapkan (Sugiyono,2008).

Tehnik sampling purposive memiliki 2 kriteria, yaitu inklusi dan

eklusi. Inklusi adalah kriteria yang diambil untuk penelitian ini, yaitu :

pasien stroke dan terpasang NGT, sedangkan eklusi yaitu pasien stroke

dan tidak terpasang NGT.


56

C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Pengambilan data akan dilakukan di RS Moh Ridwan Meuraksa. Waktu

penelitian yaitu setelah proposal di setujui, penelitian di RS Moh Ridwan

Meuraksa.

D. ETIKA PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada institusi STIKIM. Setelah disetujui, peneliti mengajukan permohonan

ijin penelitian kepada Karumkit RS Moh Ridwan Meuraksa dan pihak – pihak

terkait untuk mendapatkan persetujuan.

Etika penelitian merupakan suatu pedoman etika yang berlaku untuk

setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti dan pihak

yang diteliti serta masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian

tersebut (Notoatmodjo,2010).

Dalam penelitian ini, peneliti memperhatikan prinsip-prinsip dasar etika

penelitian yang meliputi Autonomy, Beneficience, Anonymity, dan justice

(Polit & Back, 2008).

1. Autonomy

Prinsip autonomy adalah peneliti memberikan kebebasan bagi klien

menentukan keputusan sendiri apakah bersedia ikut dalam penelitian atau

tidak tanpa adanya paksaan atau pengaruh dari peneliti. Tahapan–tahapan

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah peneliti mendatangkan calon

responden, selanjutnya memberikan penjelasan dengan seksama kepada


57

calon responden. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian

ini serta menyampaikan penelitian ini tidak membahayakan atau

merugikan responden (terlampir pada bagian lampiran). Peneliti

menanyakan kesediaan calon responden untuk ikut dalam penelitian ini.

Peneliti menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada responden dengan

prinsip peneliti akan menghormati dan menghargai apapun yang telah

diputuskan oleh responden. Setelah respon den setuju dan

menandatangani lembar informed consent (surat persetujuan responden)

yang telah terlampir dalam lampiran.

2. Beneficience

Prinsip ini adalah bahwa penelitian yang dilakukan haruslah

mempunyai manfaat bagi responden maupun bagi peneliti. Sebelum

pengisian lembar cek list dilakukan peneliti memberikan penjelasan

tentang manfaat penelitian bagi responden. Pada tahap ini peneliti

menyampaikan bahwa keuntungan dari penelitian ini adalah sebagai

suatu upaya bagi peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian

mengenai pengaruh suhu enteral melalui NGT terhadap penyerapan

makanan pada pasien stroke di RS Moh Ridwan Meuraksa.

3. Anonymity

Dalam penelitian ini, peneliti tidak mencantumkan nama responden

dan hanya menuliskan kode atau inisial nama responden pada lembar cek

list. Peneliti juga menjamin kerahasiaan semua informasi hasil penelitian

yang telah dikumpulkan dari responden. Peneliti menyampaikan pada


58

responden bahwa data yang di dapatkan akan di jaga kerahasiaannya

dimana semua data ini akan dimusnakan ketika datanya sudah selesai

diambil dan di analisa.

4. Justice (Tanpa Nama)

Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden

penelitian. Responden dipilih berdasarkan criteria inklusi yang telah

ditetapkan dalam penelitian ini. Saat pemilihan responden, peneliti tidak

memberikan perlakuan yang berbeda antara satu responden dengan

responden yang lainnya. Peneliti memahami bahwa responden yang

masuk kedalam criteria inklusi mempunyai hak yang sama untuk di

ikutsertakan dalam penelitian ini. Begitu juga dengan pemberian reward/

penghargaan kepada seluruh responden atas bantuan dan kerjasama

dalam penelitian ini.

E. ALAT PENGUMPULAN DATA

Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini berupa lembar observasi untuk mengukur penyerapan makanan

enteral melalui NGT dengan menggunakan thermometer yang berstandar SNI

untuk mengukur suhu makanan enteral.

F. VALIDASI DAN RELIABILITAS INSTRUMEN

Untuk mendapatkan data yang valid dalam mengukur variabel

penelitian menggunakan Instumen variabel suhu maka instrumennya adalah


59

thermometer yang berstandar SNI, instrumen tersebut mudah didapat dan

telah teruji validitas dan reliabititasnya, kecuali yang rusak atau palsu bila

digunakan untuk mengukur harus diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih

dahulu (Sugiyono, 2013).

G. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang di peroleh

secara langsung dari sumbernya yang dilakukan oleh peneliti saat melakukan

tindakan pemberian makanan cair melalui NGT, tehnik pengumpulan data

dengan cara observasi.

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama yaitu melakukan penyusunan proposal yaitu konsultasi

tentang judul, BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV kepada pembimbing

dan di akhiri dengan uji proposal dan skripsi.

2. Peneliti meminta surat izin pada bagian Akademik Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM) Jakarta Selatan, untuk

mendapatkan surat izin penelitian pada RS Moh Ridwan Meuraksa.

3. Peneliti meminta izin kepada Karumkit beserta staff yang terkait di RS

Moh Ridwan Meuraksa.

4. Peneliti memberikan penjelasan singkat tentang maksud dan tujuan

penelitian kepada responden. Bila responden setuju untuk berpartisipasi

dalam kegiatan peneliti selanjutnya memberikan lembar persetujuan

penelitian.
60

5. Peneliti memeriksa kembali kelengkapan data dan pengisiian data setelah

pengambilan data.

6. Pengelolahan data setelah data terkumpul untuk selanjutnya peneliti

melakukan analisa data.

Skema 4.2 : Alur Penelitian

Alur Penelitian

Rekam Medis Pasien Yang


dirawat di Ruang Kencana

Pengumpulan Data

Pasien stroke yang


menggunakan NGT

Penghitungan Data

H. PENGOLAHAN DATA

Menurut sugiyono (2013) Pengolahan data dimulai pada saat

pengumpulan data telah selesai, kemudian daftar lembar observasi yang telah

diisi dikumpulkan dan dilakukan prosedur analis data meliputi:


61

A. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan.Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007).Hasil

lembar observasi dari lapangan harus dilakukan penyuntingan (editing)

terlebih dahulu. Secara umum editing adalah kegiatan untuk pengecekan

dan perbaikan isian formulir atau kuesioner.

B. Coding

Coding data dengan merubah data berbentuk huruf menjadi

berbentuk angka atau bilangan dengan cara pemberian kode pada data

untuk meringkas data dengan tujuan mempermudah analisis dan

mempercepat proses memasukkan data. Pada penelitian ini peneliti

memberikan kode pada setiap item untuk mempermudah dalam

pengolahan data yang menggunakan perangkat lunak computer yaitu

Statistical Product and Solution Service (SPSS 15).

C. Entri data

Data entri adalah data kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan kedalam master tabel atau data base computer dengan

menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS),

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan

membuat tabel kontigensi. Pada penelitian ini peneliti memasukkan setiap

data ke dalam data set yaitu variable view dan data view sebelum data

tersebut di olah.
62

D. Cleaning

Apabila semua data lembar observasi selesai dimasukkan, perlu

dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian

dilakukan pembetulan atau koreksi.

E. Tabulating

Kegiatan tabulating meliputi memasukan data-data hasil penelitian

ke dalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan.

I. ANALISA DATA

Tujuan melakukan analisis data adalah untuk memperoleh gambaran

dari hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian dan

membuktikan hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dirumuskan

(Notoatmodjo, 2012).

a. Analisis Univariat

Analisa univariat pada umumnya hanya menghasilkan distribusi dan

prosentase dari setiap variabel yang bertujuan untuk mengetahui besar

kecilnya proporsi setiap jawaban (Notoamodjo, 2012). Analisa data

secara univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik masing–

masing variabel independen yaitu suhu nutrisi enteral melalui NGT dan

variabel dependen yaitu penyerapan makanan pada pasien stroke.

Mengingat data yang diperoleh adalah kategori maka hasil analisa

tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


63

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk menguji

pengaruh antara dua variabel yang diduga mempunyai hubungan atau

kolerasi. Analisis bivariat yang digunakan adalah uji t-test one sample.

Uji t-test one sample digunakan untuk menguji pengaruh dua variabel

dimana masing-masing terdiri dari beberapa golongan atau kategori.

Sedangkan Analisa bivariat untuk analisis perbedaan yang digunakan

adalah uji one way anova dengan SPSS dalam penelitian ini. Dimana

hasil akhirnya adalah uji beda dengan one way anova dengan tujuan

untuk menganalisis perbedaan antara dua kelompok yang dependen yaitu

pengaruh suhu biasa dan pengaruh suhu hangat nutrisi makanan melalui

NGT.

Uji signifikan dilakukan dengan menggunakan batas kemaknaan α

0,05 dan Confidence Interval ( tingkat kepercayaan ) 95 % dengan

ketentuan :

1) Bila sig < α (0,05) berarti Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada

pengaruh yang signifikan.

2) Bila sig >α (0,05) berarti Ho diterima dan Ha ditolak artinya tidak

ada pengaruh yang signifikan.


64

J. JADWAL KEGIATAN

Tabel 4.2
Jadwal Kegiatan
KEGIA
TAN April mei Juni juli agustus september november desember

NO   1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Judul                                                                

2 Bab I                                                                

3 Bab II                                                                

4 Bab III                                                                

5 Bab IV                                                                

6 Bab V                                                                

7 Bab VI                                                                

Bab
8 VII                                                                
BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Analisa Univariat

Analisa data secara univariat dilakukan untuk menggambarkan

karakteristik masing – masing variabel independen yaitu suhu nutrisi enteral

melalui NGT dan variabel dependen yaitu penyerapan makanan pada pasien

stroke. Mengingat data yang diperoleh adalah numeric maka hasil analisa

tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. ( Sugiono, 2008)

1. Deskripsi Usia.

Distribusi Usia responden dibagi berdasarkan nilai umur rata- rata

menjadi 2 kategori yaitu di bawah 60 tahun dan di atas 60 tahun.

Distribusi responden berdasarkan usia dapat dilihat pada diagram 5.1 di

bawah ini

Diagram 5.1
Distribusi berdasarkan usia

33% < 60 tahun


> 60 tahun

67%

65
66

Berdasarkan hasil diagram 5.1 distribusi menurut usia dapat dilihat

bahwa responden yang berusia > 60 tahun memiliki persentase yang

lebih besar yaitu sebesar 67 %, sedangkan responden yang berusia < 60

tahun memiliki persentase 33 %. Dari tabel tersebut berarti sebagian

besar responden usianya > 60 tahun.

2. Deskripsi Jenis Kelamin.

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin yang terdiri dari

laki–laki dan perempuan dapat dilihat pada diagram 5.2 di bawah ini.

Diagram 5.2
Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin

laki-laki
40% Perempuan

60%

Hasil dari diagram 5.2 distribusi menurut jenis kelamin bahwa dari

30 orang responden pada pasien stroke yang dirawat di RS Moh

Ridwan Meuraksa, yang berjenis kelamin laki – laki dengan persentase

60% dan yang berjenis kelamin perempuan dengan persentase 40%.

Dari tabel tersebut berarti sebagian besar responden yang lebih banyak

menderita stroke yang berjenis kelamin laki-laki.


67

3. Deskripsi Penyakit Penyerta

Distribusi responden berdasarkan penyakit penyerta yang terdiri dari

penyakit DM, HT, Anemia, Melena, Asma dapat dilihat pada tabel 5.2

di bawah ini.

Diagram 5.3
Distribusi Berdasarkan Penyakit Penyerta

20% 17%
DM
Hipertensi
Anemia
Melena
Dispepsia
23% 30%

10%

Berdasarkan hasil distribusi tabel 5.3 bahwa dari 30 orang responden

memiliki penyakit penyerta yaitu ; penyakit penyerta DM sebanyak

16,7 %, Penyakit Penyerta hipertensi sebanyak 30 %, penyakit penyerta

anemia sebanyak 10 %, penyakit penyerta melena sebanyak 23,3 %,

penyakit penyerta dyspepsia sebanyak 20 %. Dari tabel tersebut berarti

penyakit penyerta yang paling tinggi pada penderita stroke saat di rawat

adalah hipertensi.

4. Distribusi Suhu Makanan

Distribusi responden berdasarkan suhu makanan yaitu suhu dingin

dan suhu hangat. Distribusi suhu biasa dapat dilihat pada diagram 5.4,

sedangkan distribusi suhu hangat dapat dilihat pada diagram 5.5.


68

Digram 5.4
Distribusi Berdasarkan Suhu Biasa

33% Ada residu


Tidak ada residu

67%

Pada diagram 5.4 distribusi berdasarkan suhu biasa bahwa dari

pemberian makanan enteral dengan suhu biasa sisa makanan yang ada

residu sebanyak 67 %, sedangkan sisa makanan yang tidak ada residu

sebanyak 33 %.

Diagram 5.5
Distribusi Berdasarkan Suhu Hangat

20%

Ada residu
Tidak ada residu

80%

Pada diagram 5.5 distribusi berdasarkan suhu hangat adalah pada

saat pemberian makanan enteral dengan suhu hangat sisa makanan yang

ada residu sebanyak 20 %, sedangkan sisa makanan yang tidak ada

residu sebanyak 80 %.
69

5. Distribusi Penyerapan Makanan

Diagram 5.6
Distribusi Penyerapan Makanan

Ada Residu
43% Tidak ada Residu

57%

Dapat dilihat dari diagram 5.6 distribusi penyerapan makanan bahwa

dari 30 responden memiliki penyerapan makanan yang berbeda pada

penyerapan makanan yang ada residu sebanyak 43,3 %, sedangkan

penyerapan makanan yang tidak ada residu sebanyak 56,7 %.

6. Distribusi Waktu Pemberian Makan

Diagram 5.7
Distribusi Waktu Pemberian Makanan

33% 33% Pagi ( 7 jam )


Siang ( 8 jam )
Malam ( 10 jam )

33%
70

Dapat dilihat dari diagram 5.7 distribusi waktu pemberian makanan

bahwa dari 30 responden di berikan makanan pada waktu yang sama.

Saat makan pagi sebanyak 34 %, waktu makan siang sebanyak 33 %,

dan waktu makan malam sebanyak 33 %.

B. Analisa Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk melihat perbedaan secara langsung

antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariate

yang digunakan adalah One sample t-test dan One way anova.

1. Analisa Pengaruh Suhu Biasa dengan Penyerapan Makanan

Tabel 5.1
Distribusi Pengaruh Suhu Biasa dengan Penyerapan Makanan

N Mean Sig

Suhu Biasa 30 1,57 0,000

Penyerapan 30 1,33

Berdasarkan Tabel 5.1 diatas di dapatkan data bahwa nilai sig pada

uji t-test 0,000 yang artinya Ada pengaruh antara suhu biasa dengan

penyerapan makanan, karena nilai Sig < 0,005 maka Ho ditolak.

2. Analisa Pengaruh Suhu Hangat dengan Penyerapan Makanan

Tabel 5.2
Distribusi Pengaruh Suhu Hangat dengan Penyerapan Makanan

N Mean Sig

Suhu Hangat 30 1,57 0,001


71

Penyerapan 30 1,80

Berdasarkan tabel 5.2 diatas di dapatkan data bahwa nilai sig pada

uji t-test 0,001 yang artinya Ada pengaruh antara suhu hangat dengan

penyerapan makanan, karena nilai Sig < 0,005 maka Ho ditolak.

3. Analisa Pengaruh Suhu Makanan dengan Penyerapan Makanan


Tabel 5.3
Distribusi Pengaruh Suhu Makanan dengan Penyerapan Makanan

One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval
Sig. (2- Mean of the Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
suhu makanan 16.155 29 .000 1.500 1.31 1.69
penyerapan
17.026 29 .000 1.567 1.38 1.75
makanan
Berdasarkan tabel 5.3 diatas di dapatkan hasil bahwa nilai sig pada

uji t-test 0,000 yang artinya ada pengaruh suhu makanan enteral

terhadap penyerapan makanan, karena nilai sig < 0,005 maka Ho

ditolak.

4. Analisa Perbedaan Pengaruh Suhu dengan Penyerapan Makanan

Tabel 5.4
Distribusi Perbedaan Pengaruh Suhu dengan Penyerapan Makanan
72

ANOVA

suhu makanan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between
2.749 1 2.749 16.200 .000
Groups
Within Groups 4.751 28 .170
Total 7.500 29

Dapat dilihat tabel 5.3 diatas hasil dari One way anova dengan

menggunakan SPSS di dapatkan nilai sig 0,000 < 0,005 maka Ho di

tolak dan Ha di terima, yang artinya ada perbedaan antara suhu biasa

dan suhu hangat terhadap penyerapan makanan.


73
BAB VI

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN

1. Hasil Analisa Univariat

a. Usia responden

Hasil penelitian diperoleh data responden yang berusia lebih

dari 60 tahun memiliki persentase yang lebih besar yaitu sebesar

67 %, dibandingkan dengan responden yang berusia kurang dari 60

tahun hanya sebesar 33%. Jadi dapat di simpulkan bahwa penderita

stroke di RS Moh Ridwan Meuraksa yang di rawat lebih banyak

usia di atas 60 tahun. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan

oleh Yayasan Stroke Indonesia, masalah stroke semakin penting

dan mendesak kerena kini jumlah penderita stroke di Indonesia

terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Jumlah yang

disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia diatas

60 tahun. Stroke merupakan penyebab kecacatan serius menetap

no.1 diseluruh dunia. ( Kompas, 2008 ).

b. Jenis kelamin responden

Hasil penelitian diperoleh data dari 30 orang responden pada

pasien stroke yang dirawat di RS Moh Ridwan Meuraksa, yang

berjenis kelamin laki – laki sebanyak 60% dan yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 40%. Dari tabel tersebut berarti

sebagian besar responden yang lebih banyak menderita stroke yang

74
75

berjenis kelamin laki-laki. Menurut penelitian World Health

Organization ( WHO, 2004 ) mengatakan bahwa penderita stroke

juga lebih sering diderita oleh laki – laki di bandingkan perempuan.

Sebab factor resiko stroke pada laki-laki bisa disebabkan oleh gaya

hidup, kebiasaan merokok, alcohol dan kurang olah raga. Semua

factor yang menentukan timbulnya manifestasi stroke dikenal

sebagai factor resiko stroke, yaitu orang - orang yang mempunyai

kecenderungan untuk menderita stroke. ( Bustan, 2007 )

c. Penyakit penyerta

Hasil penelitian diperoleh data dari 30 orang responden

memiliki penyakit penyerta yaitu ; Penyakit DM sebanyak 16,7%,

Hipertensi sebanyak 30%, Anemia sebanyak 10%, Melena 23,3%,

Dyspepsia sebanyak 20%. Dari tabel tersebut berarti penyakit

penyerta yang paling tinggi adalah hipertensi. Menurut National

Institute of Neurological Disease and Stroke ( NINDS, 1990)

menyebutkan salah satu factor-faktor resiko yang selama ini

diidentifikasi sebagai penyakit penyerta yang dapat menyebabkan

stroke adalah Hipertensi dan Diabetes Mellitus ( DM ).

d. Suhu makanan

Hasil penelitian diperoleh data dari 30 responden dalam

pemberian suhu makanan masing-masing responden di berikan

makanan dengan suhu hangat dan suhu dingin. Dari hasil

pemberian makanan enteral dengan suhu hangat lebih baik karena


76

tidak ada residu, sedangkan pemberian makanan pada suhu dingin

terdapat residu sehingga dapat berpengaruh dengan proses

penyerapan makanan. Menurut penelitian pemberian makanan

cair/enteral dengan suhu hangat lebih baik, di mana terjadi

vasodilatasi pada usus sehingga makanan akan mudah di serap oleh

usus. ( Almatsier, Sunita. 2009 )

e. Penyerapan makanan

Hasil penelitian diperoleh data dari 30 responden memiliki

penyerapan makanan yang berbeda yaitu ada residu dengan

persentase 43,3 %, sedangkan tidak ada residu dengan persentase

56,7 %. Penyerapan makanan sangat baik bila saat pemberian

makanan suhu makanan tersebut dalam keadaan masih hangat

dengan suhu 370c – 37,50c, dan penyerapan makanan terjadi selama

7 - 8 jam. ( Artikel kesehatan, 2000)

f. Waktu pemberian makan

Hasil penelitian diperoleh data dari 30 responden di berikan

makanan pada waktu pagi hari, siang hari, dan malam hari masing-

masing memiliki persentasi yang sama 33,3 %. Dengan pemberian

makanan enteral di harapkan pasien stroke bisa terpenuhi

kebutuhan gizi dan nutrisi nya, agar pasien tidak kekurangan

asupan nutrisi saat di rawat RS.


77

2. Hasil Analisa Bivariat

Berdasarkan analisis bivariat didapatkan hasil sebagai berikut :

a. Pengaruh Suhu Biasa dengan Penyerapan Makanan

Berdasarkan analisa tabel 5.1 di dapatkan data bahwa nilai sig

uji t-test 0,000 yang artinya Ada pengaruh antara suhu biasa

dengan penyerapan makanan, karena nilai Sig < 0,005 maka Ho

ditolak.

b. Pengaruh Suhu Hangat dengan Penyerapan Makanan

Berdasarkan analisa tabel 5.2 di dapatkan data bahwa nilai sig

uji t-test 0,001 yang artinya ada pengaruh antara suhu hangat

dengan penyerapan makanan, karena nilai Sig < 0,005 maka Ho

ditolak.

c. Pengaruh suhu makanan dengan penyerapan makanan

Berdasarkan analisa suhu makanan , yaitu suhu biasa dan suhu

hangat, dapat disimpulkan bahwa pemberian makanan dengan suhu

hangat lebih baik di bandingkan dengan suhu biasa terhadap

penyerapan makanan. Dari data tabel 5.3 didapatkan hasil sig

0,000 < 0,005 maka Ho ditolak, yang artinya ada pengaruh suhu

makanan enteral terhadap penyerapan makanan.

d. Perbedaan Pengaruh Suhu Makanan dengan Penyerapan

Makanan

Hasil penelitian didapatkan data bahwa pemberian makanan

dengan suhu biasa dari 15 orang (50 %) didapatkan hanya 13


78

orang (43,3%) dengan penyerapan makanan yang terdapat ada

residu, sedangkan pada pemberian makanan dengan suhu hangat

dari 15 orang (50 %) didapatkan 17 orang (56,7%) dengan

penyerapan makanan yang tidak ada residu. Dari data tersebut

dapat disimpulkan dengan sig 0,403 > 1,699 ( tabel T 1,699 ), maka

Ho ditolak yang artinya ada perbedaan pengaruh suhu biasa dan

suhu dingin terhadap penyerapan makanan pada pasien stroke.

B. KETERBATASAN PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode one simple t-test dimana

variabel independen dan dependend diukur secara bersamaan dalam

satu hasil pengukuran. Pembahasan ini memicu pada tujuan penelitian

yaitu untuk mengetahui apakah ada pengaruhi pemberian makanan

enteral dengan suhu biasa dan suhu hangat terhadap penyerapan

makanan pada pasien stroke di RS Moh Ridwan Meuraksa.

2. Keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya penelitian

Masih banyak faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pasien

stroke sebagai variabel bebas pada penelitian ini. Namun karena

keterbatasan kemampuan peneliti dalam hal waktu, tenaga dan biaya,

maka variabel bebas yang digunakan hanya berdasarkan usia, jenis

kelamin, penyakit penyerta, suhu makanan, penyerapan makanan, dan


79

waktu pemberian makanan. Dalam pengumpulan data peneliti

mengalami kesulitan karena peneliti melakukan pengumpulan data

sendiri dengan dibantu oleh perawat di masing-masing ruangan

sehingga kualitas data yang dikumpulkan masih kurang sempurna dari

yang diharapkan.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

lembar observasi pemberian makanan enteral dengan suhu biasa dan

suhu hangat yang disusun oleh peneliti sendiri.


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan:

1. Distribusi penyakit stroke di RS Moh Ridwan Meuraksa periode 2015

berdasarkan jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki dengan jumlah

persentasi 60%, sedangkan berdasarkan usia lebih banyak yang

menderita stroke pada usia lebih dari 60 tahun dengan persentase 67 %.

2. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh makanan

enteral melalui NGT terhadap penyerapan makanan pada pasien stroke,

dengan hasil sig 0,000 < 0,005 yang artinya Ho ditolak.

3. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian makanan

melalui NGT lebih baik diberikan pada suhu hangat (370c) karena saat

mempengaruhi pada penyerapan makanan.

B. SARAN

1. Untuk pemberian makanan enteral melalui NGT sebaiknya diberikan

pada suhu hangat (370c), dan sebelum pemberian NGT sebaiknya di cek

terlebih dahulu jumlah residu (ada/tidak) untuk mengetahui penyerapan

makanan pada pasien.

2. Bagi peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini agar dilakukan

penelitian lebih lanjut lagi dengan mencari factor-factor lain yang dapat

mempengaruhi penyerapan makanan.

80
DAFTAR PUSTAKA

Alimul H, A. Aziz, Kebutuhan Dasar Manusia, 2006, Jakarta : salemba medika

Potter, Perry, Fundamental Keperawatan, 2005, Jakarta : EGC

Tarwoto, Wartonah, Kebutuhan Dasar Manusia, 2006, Jakarta : selemba medika

http://hidayat2.wordpress.com/2009/03/24/konsep-nturisi/,20 September 2011

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtptunimus-gdl-srisulastr-5283-2-
bab2.pdf, 20 September 2011

Elis J.R, Nowlis E.A. 1985. Nursing a Human Needs Approach. Third Edition.
Houghton Mefflin Company. Boston.
NANDA, 2002, Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications.
North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnoses :
Definition & Classification 2001-2002. Philadelphia.
https://id.scribd.com/doc/55410617//nutrisi.html/, 12 Oktober 2010
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

V. Wiratna Sujarweni, 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan, Yogyakarta:


Gava Media.

Anderson, Clifford R. 2001. Petunjuk Modern Kepada Kesehatan. Bandung :


Indonesia Publishing House.

Prof. Dr. Soekijdo Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


PT Rineka Cipta.

Prof. Dr. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan


Kombinasi, Bandung : Alfabeta.

https://www.ahligizi.info/diet-makanan-cair/ , 11 Juni 2013

81

Anda mungkin juga menyukai