Oleh :
Febiola Marindra
NIM.2208438062
Pembimbing:
dr. Harianto, Sp.THT-KL, Subsp. Onk (K)
Otitis media akut (OMA) adalah inflamasi yang terjadi dalam waktu
kurang dari 3 minggu pada telinga tengah yang dapat disertai dengan gejala lokal
dan sistemik. Otitis media akut dapat disebabkan karena adanya gangguan fungsi
tuba Eustachius akibat perubahan tekanan tiba-tiba, alergi, infeksi dan sumbatan
pada telinga.1
Penelitian di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa prevalensi
OMA sebesar 17-20% pada usia di bawah 2 tahun. Prevalensi OMA di berbagai
negara bervariasi yang berkisar 2,3-20%. Diperkirakan 70% anak akan
mengalami satu atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun. Otitis
media terutama terjadi pada anak baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun dan
setelah itu insidensi mulai berkurang.2 Di Indonesia belum ada data mengenai
angka kejadian OMA, namun dilaporkan bahwa prevalensi gangguan
pendengaran di Indonesia secara keseluruhan sebesar 2,6%.3
Gejala klinik OMA yang timbul bergantung pada stadium dan usia
pasien. Pasien dapat mengeluhkan adanya rasa nyeri di dalam telinga, demam,
gangguan pendengaran dan rasa penuh di telinga. Pada pemeriksaan fisik
dengan menggunakan otoskop dapat dilihat adanya membran timpani
yang menggembung, perubahan warna menjadi kemerahan atau agak kuning
dan suram, serta cairan di liang telinga.1 Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis OMA yakni otoskopi pneumatik,
timpanometri dan timpanosintesis.4
Pengobatan OMA sesuai dengan stadium yang diderita pasien.
Pengobatan dini dan adekuat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi.
Komplikasi yang dapat diderita pasien yakni abses sub-periosteal bahkan
meningitis dan abses otak. Bila tidak diterapi secara adekuat, otitis media akut
juga dapat berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga
luar terdiri atas daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus akustikus eksternus)
hingga membran timpani. Telinga tengah atau kavum timpani adalah
ruangan yang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi
oleh membran mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran atau
ossicula auditus (malleus, incus dan stapes) yang berfungsi meneruskan getaran
membran timpani ke perilimfe telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah
sempit yang miring dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan
bidang membran timpani. Di depan, ruangan ini berhubungan dengan nasofaring
melalui tuba auditif dan di belakang dengan antrum mastoideum.5
2
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding
posterior, dinding lateral dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis
tulang yang disebut tegmen timpani. Lempeng ini memisahkan kavum timpani
dari meningen dan lobus temporal otak. Lantai dibentuk oleh lempeng tipis
tulang yang mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini
memisahkan kavum timpani dari bulbus superior vena jugularis interna. Dinding
anterior dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani
dari karotis interna. Dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak
beraturan, yaitu aditus ad atrum. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral
telinga tengah. Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani.6
Membran timpani merupakan struktur yang membatasi telinga luar
dan telinga tengah. Peradangan pada telinga tengah dapat dilihat melalui
membran timpani. Permukaan membran timpani berbentuk konkaf ke lateral.
Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil yaitu umbo yang terbentuk oleh
ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop, bagian cekung
ini menghasilkan “kerucut cahaya” yang memancar ke anterior dan inferior
dari umbo.1,5 Membran timpani adalah membran fibrosa tipis yang berwarna
kelabu, berkilap seperti mutiara, mempunyai garis tengah ± 9 mm dengan luas ±
85mm3. Membran timpani mempunya dua permukaan yakni pars flaccida dan
pars tensa. Sekeliling membran timpani menebal dan bercelah membentuk suatu
parit pada tulang. Parit tersebut disebut sulcus timpanicus yang terbentuk tidak
sempurna di bagian superior yang membentuk lekukan dan berfungsi untuk
memfiksir membran timpani.1,7,8
3
Gambar 2. Membran Timpani
2.3 EPIDEMIOLOGI
2.4 ETIOLOGI
4
Bakteri yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus
hemoliticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus, Haemophilus influenza,
Escherichia colli, Streptococcus anhemoliticus, Proteus vulgaris dan
Pseudomonas aurugenosa.1 Virus yang sering sebagai penyebab OMA adalah
respiratory syncytial virus. Selain itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe
1,2 dan 3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus dan
coronavirus. Citomegalovirus dan herpes simpleks juga dapat menyebabkan
OMA namun jarang terjadi.10,11
Otitis media akut (OMA) dapat terjadi karena imunitas yang
terganggu, adanya sumbatan tuba Eustachius. Saat fungsi tuba terganggu, maka
fungsi proteksi yang mencegah invasi kuman ke telinga tidak dapat berfungsi
sehingga kuman masuk ke telinga dan terjadi peradangan. Infeksi saluran napas
dapat menjadi pencetus terjadinya OMA terutama pada anak-anak yang
memiliki struktur anatomi tuba yang pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.1
Faktor risiko lainnya penyebab OMA yakni paparan asap rokok atau bahan iritan
dan alergen, pada anak-anak kurang mendapat ASI, posisi tubuh terlentang
saat makan, penggunaan empeng, riwayat keluarga dengan OMA berulang,
kelainan kraniofasial, defisiensi imun dan refluks gastroesogafus.1,4
2.5 PATOGENESIS
5
dengan terjadinya penyakit telinga tengah seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit
hidung dan/atau sinus dan kelainan sistem imun.1,12,13
2.6 STADIUM
1. Stadium Oklusi
Stadium oklusi ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani
akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah dan akibat absorpsi
udara. Pada stadium ini membran timpani bisa tampak normal atau berwarna
keruh pucat dan efusi sulit untuk dideteksi.
2. Stadium Hiperemis
Stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi ditandai dengan
gambaran berupa pelebaran pembuluh darah di sebagian atau seluruh membran
timpani serta tampak edema. Pada stadium ini sekret yang bersifat eksudat telah
terbentuk, namun masih sulit dilihat.
6
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai dengan tampilan membran timpani
yang menonjol (bulging), hal ini diakibatkan karena adanya edema yang hebat
pada telinga tengah disertai hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya
purulen di kavum timpani. Iskemia dapat terjadi akibat tekanan nanah di kavum
timpani yang menyebabkan penekanan pada kapiler-kapiler, timbulnya
tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa serta submukosa yang
terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Pada
stadium ini, pasien akan mengeluhkan sangat sakit, nadi dan suhu meningkat
serta nyeri di telinga bertambah hebat.
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai dengan adanya nanah yang keluar dari
telinga tengah ke liang telinga akibat terjadi ruptur membran timpani. Hal ini
bisa diakibatkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman
yang tinggi. Gejala klinis yang tampak pada anak yakni tenang, suhu badan turun
dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium Resolusi
Stadium resolusi ditandai dengan tampilan membran timpani
yang berangsur normal, perforasi membran timpani kembali menutup dan
sekret purulen tidak ada lagi. Daya tahan tubuh sangat mempengaruhi resolusi.
OMA dapat berubah menjadi OMSK jika perforasi menetap dengan sekret yang
keluar
Gambar 4. (a) Membran timpani normal, (b) Stadium oklusi, (c) Stadium
hiperemis12
7
Gambar 4. (a) Stadium Supurasi (b) Stadium perforasi, (c) Stadium resolusi12
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis OMA dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang dikeluhkan pasien akan sesuai
dengan stadium otitis yang dialami. Diagnosis pada OMA harus memenuhi 3 hal
berikut yaitu penyakit muncul secara mendadak (akut), ditemukannya tanda efusi
di telinga tengah dan adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah.4
Efusi dapat dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut
yaitu menggembungnya gendang telinga, terbatas/tidak adanya gerakan
gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga dan cairan
yang keluar dari telinga. Gejala peradangan telinga tengah dapat dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut yaitu kemerahan pada gendang
telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.4
Gejala klinik yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan
usia pasien. Pada anak – anak yang sudah dapat bicara keluhan utama adalah rasa
nyeri di dalam telinga, demam dan adanya riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada remaja atau orang dewasa keluhan dapat berupa nyeri, gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi
gejala khas adalah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,5°C (pada stadium
supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan sering memegang telinga yang sakit.1
8
Keluhan OMA dapat diklasifikasikan menjadi non-severe dan severe.
OMA non-severe didefenisikan adanya keluhan otalgia yang ringan dengan
durasi di bawah 48 jam atau temperatur <39oC. Sedangkan OMA severe
didefensisikan adanya keluhan otalgia sedang hingga berat, otalgia >48 jam atau
temperatur tubuh >39oC.13
Pada pemeriksaan fisik menggunakan otoskop dapat dilihat adanya
gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga
menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Semua temuan pemeriksaan tersebut tergantung pada stadium penyakit yang
dialami pasien saat itu.1,14
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis yakni otoskopi pneumatik, timpanometri dan timpanosintesis.
Otoskopi pneumatik dapat menilai gerakan gendang telinga. Timpanometri
dapat mengkonfirmasi temuan pada otoskop pneumatik. Timpanometri dapat
memeriksa secara objektif mobilitas membran timpani, rantai tulang
pendengaran, adanya cairan di telinga tengah, mengukur tekanan telinga tengah
dan dapat menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan
volume liang telinga luar. Timpanosintesis yang diikuti dengan aspirasi dan
kultur cairan telinga tengah merupakan standar emas untuk menunjukkan adanya
cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik.4,15
2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan OMA adalah mengurangi gejala dan
rekurensi. Pengobatan diberikan berdasarkan stadium penyakit. Pengobatan pada
stadium oklusi bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius, sehingga
tekanan negatif pada telinga tengah hilang. Pengobatan berupa diberikan obat
tetes hidung Efedrin HCl 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak usia kurang
dari 12 tahun, atau Efedrin HCl 1% dalam larutan fisiologik untuk anak usia lebih
9
dari 12 tahun dan orang dewasa. Sumber infeksi harus diberikan antibiotik jika
penyebabnya kuman, bukan oleh virus atau alergi.2
Pengobatan pada stadium hiperemis atau presupurasi yaitu antibiotik,
obat tetes hidung dan analgetik. Antibiotik yang dianjurkan adalah dari
golongan penisilin atau ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular
agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi
mastoiditis yang terselubung. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal 7
hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin maka diberikan eritromisin. Pada
anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4
dosis, Amoksisilin 40 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari. Gangguan pendengaran dapat terjadi sebagai gejala sisa dan
kekambuhan.2
10
Jika pada stadium perforasi terlihat banyak sekret yang keluar dan
kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi), pengobatan yang
diberikan berupa obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang
adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam
waktu 7- 10 hari.2
2.9 KOMPLIKASI
2.10 PROGNOSIS
2. RHINITIS ALERGI
2.1 DEFINISI
Menurut Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2008,
rinitis alergi merupakan suatu kelainan simptomatik pada hidung yang timbul
akibat paparan alergen melalui reaksi inflamasi yang diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE), dengan gejala seperti pilek encer, bersin-bersin, hidung
tersumbat, gatal pada hidung, mata dan telinga maupun palatum.22
11
2.2 ETIOLOGI
Etiologi daripada rinitis alergi dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: genetik, jenis kelamin, dan
ketidakseimbangan hormon (misal pada kehamilan). Sedangkan untuk faktor
eksternal, termasuk perubahan suhu dan kelembaban udara, gaya hidup berkaitan
dengan akumulasi alergen seperti merokok dan polusi.22
2.3 PATOGENESIS
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.22
12
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
2
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.22
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).22
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
13
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).22
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi.22
2.4 DIAGNOSIS
2.4.1.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis.
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin.23
14
Gejala lain yaitu keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis
alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala klinis lainnya dapat berupa „popping of
the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.23
15
Gambar 7. Allergic shiner 15
Rinitis alergi juga menimbulkan kebiasaan anak menggosok-gosok
hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai
allergic salute.14
16
Gambar 9. facies adenoid 15
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema, serta 12asqdinding
lateral faring menebal, yang disebut Cobblestone appearance. Serta tampak
gambaran lidah seperti gambar peta, yang disebut Geographic tongue.14
17
Pada pemeriksaan laboratorium hitung eosinofil dalam darah tepi dapat
normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis
alergika juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RATS (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.22
Alergen dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point titration/SET), SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini dilakukan adalah
Intracutaneus provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas hilang dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena
itu pada challenge test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.22
Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji
tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel). Uji gores
sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.16
● Uji kulit intradermal, sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit
tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm
gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan
18
reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan
konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji
intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit. Uji
ini membawa risiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan
tenaga medis yang berkompeten melalui pelatihan spesialis.
● Uji tusuk (Skin prick test), dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak. Tempat uji kulit adalah daerah volar lengan bawah
dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku dan pergelangan
tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan
pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke
atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan
menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk.
Metode lain adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch/ patch
test yang kemudian diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk
menunjukkan yang memicu dermatitis kontak alergi. Jika ada alergi antibodi
dalam sistem anda, kulit anda akan menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih
mirip gigitan nyamuk. Reaksi ini berarti pasien alergi terhadap zat tersebut.16
19
2.6 PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
Terapi yang paling ideal non-medikamentosa adalah dengan menghindari
kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.18 terapi lainnya
yaitu dengan nasal irrigation (cuci hidung). Pada penelitian oleh Hermelingmeier
et al, cuci hidung dengan menggunakan larutan salin pada pasien rinitis alergi
menghasilkan perbaikan dari gejala, kualitas hidup dan waktu transport
mukosiliar.19
b. Medikamentosa
● Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.12
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical
adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer
dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif).1
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
20
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian medadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.4
Tabel 2. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi4
● Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.
Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
21
menyebabkan rinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu
lama.1,18
Dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30
mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam.
Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan
iritabilitas.1,18
● Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.18
● Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon cepat dan
lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.20
22
● Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.20
● Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.20
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah:12
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Rinosinusitis.
2.8 PROGNOSIS
Gejala rinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus
(terutama pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, sistem imun menjadi
kurang sensitif terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang
menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu
23
yang lama. Beberapa kasus rinitis alergi yang parah membutuhkan imunoterapi
atau tindakan operatif pada jaringan di dalam hidung atau sinus.20
BAB III
LAPORAN KASUS
Status Pasien
ANAMNESA
Keluhan Utama :
Telinga kanan terasa penuh seperti ada air tergenang sejak 3 hari SMRS
24
Pasien juga mengeluhkan penuunan fungsi pendengaran pada telinga kanan.
Pasien mengeluhkan demam, batuk, dan pilek, sekret hidung berwarna putih encer
dan tidak berbau sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat Rhinitis
Alergi sejak 4 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat yang
semakin memberat sejak 1 minggu yang lalu. Hidung tersumbat sudah dirasakan
pasien sejak 4 tahun yang lalu. Keluhan hidung tersumbat dirasakan hilang
timbul, keluhan semakin berat saat pagi hari, dan saat cuaca dingin. Keluhan juga
disertai dengan hidung berair dan rasa gatal pada hidung. Cairan hidung berwarna
bening, encer, banyak, dan tidak berbau. Selain itu pasien juga sering bersin,
setiap bersin dapat mencapai 5 kali. Ibu Pasien mengatakan satu minggu kambuh
sekitar 3-4 hari. Keluhan hidung tersumbat sampai membuat pasien sulit tidur
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mengeluhkan keluar
cairan dari mata, perdarahan hidung, nyeri pada sekitar wajah, batuk, nyeri
tenggorok, nyeri kepala . Setahun yang lalu pasien sudah pernah berobat di salah
satu klinik di pekanbaru, dan diberikan obat flu biasa, keluhan sedikit berkurang
namun segera muncul kembali sehingga pasien kembali berobat ke RSUD Petala
Bumi.
Keluar cairan dari telinga (-), bunyi berdenging (-), gatal pada telinga (-),
pusing berputar (-), mual (-), muntah (-). Tidak ada keluhan pada telinga kiri.
25
Pasien seorang pelajar kelas 4 SD.
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 100/79 mmHg
Frekuensi Nadi : 79 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu Tubuh : 36,6 oC
BB : 40 kg
TB : 150 cm
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : Normochepal
Mata :
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Toraks :
Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler di seluruh lapang paru
Abdomen : Supel, bising usus (+), frekuensi 8 kali per menit
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik
26
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Liang Telinga Lapang / sempit Lapang Lapang
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret/Serumen Bau Tidak berbau Tidak berbau
Warna Kekuningan Kekuningan
Jumlah Minimal Minimal
Membran Timpani
Utuh Warna Putih mutiara Putih mutiara
Refleks Cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Bulging Ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Air fluid level Ada Tidak ada
Perforasi Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis - -
Kuadran - -
Pinggir - -
Warna mukosa telinga - -
tengah
Gambar
27
Mastoid Tanda radang/abses Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tes Garpu Tala Rinne Negatif Positif
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Hidung Luar Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise + +
28
Radang - -
Cavum Nasi Lapang /Cukup Lapang Lapang
Lapang/Sempit
Sekret Lokasi - -
Jenis - -
Jumlah - -
Bau - -
Konkha Inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Konkha Media Ukuran Normal Normal
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Septum Cukup lurus / deviasi Cukup lurus Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
29
Pengaruh - -
vasokonstriktor
Gambar
30
Jenis - -
Orofaring / Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum Mole + Simetris/ Tidak Simetris Simetris
Arkus Faring Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Bercak/ Eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding Faring Warna Merah muda
Permukaan Licin
Post Nasal Drip TIdak ada
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara kripti Tidak ada Tidak ada
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan dengan Tidak ada Tidak ada
pilar
Peritonsil Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Gigi Karies / Radiks Tidak ada Tidak ada
31
Kesan Dalam batas Dalam batas
normal normal
Lidah Deviasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Normal Normal
Tumor Tidak ada Tidak ada
Gambar
32
Massa -
Subglotis / Sekret ada / tidak -
Trakhea
Massa -
Sinus Piriformis Massa -
Sekret -
Valekule Sekret ( jenisnya ) -
Massa -
33
RESUME (DASAR DIAGNOSIS)
Anamnesis :
Keluhan Utama :
Telinga kanan terasa penuh seperti ada air tergenang sejak 3 hari SMRS
Pemeriksaan Fisik
Telinga Dekstra Sinistra
Daun Telinga Dalam batas normal Dalam batas normal
Liang Telinga Lapang Lapang
Sekret/Serumen Jumlah minimal, warna Jumlah minimal, warna
kekuningan kekuningan
Membran Timpani refleks cahaya (+)
memendek, arah jam 5,
Air fluid level (+) bulging
34
(+)
Gambar
35
Diagnosis : Otitis Media Akut Stadium Supuratif Auricula Dextra + Rhinitis
Alergi
Diagnosis Banding:
Rhinitis Vasomotor
Terapi :
● Amoxicillin 250 mg 3 kali sehari peroral
● Metil prednisolon 4 mg 1 kali sehari peroral
● Paracetamol 400 mg 3 kali sehari peroral
● Cetirizine 5 mg 1 kali sehari peroral
● Ambroxol 15 mg 3 kali sehari per oral
Non medikamentosa:
Prognosis :
Quo ad vitam : Bonam.
Quo ad sanam : Bonam
Edukasi:
Menjelaskan penyakit dan terapi yang diberikan
Menjaga kebersihan telinga
Jangan membersihkan telingan dengan mengorek telinga secara berlebihan
Mencegah telinga masuk air, tidak berenang dulu untuk beberapa waktu
36
Tidak mengonsumsi minuman dingin untuk sementara waktu
Antibiotik harus diminum sampai habis
Edukasi mengenai cara mencuci hidung.
Hindari penyebab Alergi
37
BAB IV
PEMBAHASAN
38
Penatalaksanaan pada pasien stadium supuratif ini, yaitu diberikan
pengobatan medikamentosa berupa pemberian antibiotik amoksisilin, antihistamin
rhinofed, dekongestan nasal iliadin, antiinflamasi metil prednisolon dan analgetik
paracetamol. Amoksisilin adalah antibiotik semisintetik dengan spektrum aktivitas
antibakteri luas yang mempunyai efek bakterisidal terhadap berbagai macam
bakteri gram positif dan gram negatif. Pemberian amoksisilin bertujuan untuk
menghilangkan bakteri sebagai penyebab dari infeksi telingah tengah.
Amoksisilin merupakan obat pilihan pertama pada kasus OMA. Pemakaian
antibiotik harus teratur agar tidak menimbulkan resisten terhadap antibiotik
tersebut.19
Antinflamasi seperti metil prednisolon mempunyai efek kerja dalam
mengurangi peradangan yang terjadi di dalam tubuh. Pemberian analgetik yaitu
paracetamol dapat mengurangi sakit yang berhubungan dengan otitis media akut,
selain itu paracetamol dapat menurunkan demam yang dikeluhkan pasien.
Pemberian ambroxol selain untuk mengencerkan dahak , juga dijugakan untuk
mengencerkan cairan yang ada didalam membran timpani1,20
Pasien ini juga diberikan citirizine yang merupakan antihistamin generasi
kedua, bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).22
Menurut guideline ARIA yang dibuktikan melalui berbagai studi klinis. citirizine
memiliki bukti kuat serta menjadi rekomendasi untuk digunakan pada intermittent
allergic rhinitis dan persistent allergic rhinitis (PER).21
39
BAB V
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Nashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar lmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok kepala dan leher. Edisi 7. 2017;
hal.264-267.
2. Sembiring, Meta Aubina, Jerry Tobing, and Puji Pinta O. Sinurat.
"HUBUNGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS DENGAN
ANGKA KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT (OMA)." JKM 13.2 (2020):
69-72. https://ejurnal.methodist.ac.id/index.php/jkm/article/view/1325/1065
3. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan RI. 2013;5.
4. Burrows HL, Blackwood RA, Cooke JM, Harrison RV, Harmes KM,
Passamani PP, etc. Otitis media gudiline team. UMHS Guidelines Oversight
Team. 2013;1-12. https://www.aafp.org/afp/2013/1001/p435
5. Snell RS. Kepala dan leher. Dalam: Sinambela A, Ong HO, Mandera LI,
Haniyarti S, editor. Anatomi klinis berdasarkan regio. Edisi 9. Jakarta: EGC;
2012. hal; 570-6.
6. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem; alih bahasa, Brahm U.
Pendit; editor bahasa Indonesia, Herman OO, Alvert AM, Dian R. Edisi 8.
Jakarta:EGC.2014; p.215-8.
7. Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. Buku ajar anatomi sobotta. Edisi 1.
Singapura: Elsevier;2018. p.186-7.
8. Drake RL, Vogi W, Mitchel AW. Gray‟s Basic Anatomy. Elsevier:
Churchill Livingstone. Kanada; 2012:482-91.
9. Mahardika IW, Sudipta IM, Sutanegara SW. Karakteristik pasien otitis
media akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar periode Januari
– Desember 2014. E-jurnal medika. 2019;8(1): 51-5.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/50213/29885
41
10. Triswanti, Nia, Fatah Satya Wibawa, and Galang Aprianda Rulianta Adha.
"Karakteristik Pasien Otitis Media Akut." Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada 10.1 (2021): 7-11.
https://akper-sandikarsa.e-journal.id/JIKSH/article/view/492
11. Van Dyke, Melissa K., et al. "Etiology of acute otitis media in children less
than 5 years of age: a pooled analysis of 10 similarly designed observational
studies." The Pediatric infectious disease journal 36.3 (2017): 274.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5312727/
12. Bhutta, Mahmood F. "Epidemiology and pathogenesis of otitis media:
construction of a phenotype landscape." Audiology and Neurotology 19.3
(2014): 210-223. https://www.karger.com/Article/Abstract/358549
13. Ilmyasri, Siti Amalya. "Diagnosis and Management of Acute Otitis Media."
Jurnal Penelitian Perawat Profesional 2.4 (2020): 473-482.
https://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/view/20
3
14. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan ketrampilan klinis bagi
dokter di fasilitas kesehatan primer. Edisi 1. Jakarta; 2017. p. 127.
http://repository.unika.ac.id/id/eprint/15846
15. Thomas JP, Berner R, Zahnert T, Dazert S. Acute otitis media: a structured
approach. Dtsch Arztebl Int. 2014; 111(9): 151–60.
https://europepmc.org/articles/3965963
16. Indu Priya, K. Risk Factor Analysis, Clinical and Microbiological Profile of
Children with Symptomatic Otitis Media in a Tertiary Care Centre. Diss.
Stanley Medical College, Chennai, 2013.
http://repository-tnmgrmu.ac.in/6904/
17. Public Health England. Otitis media (acute): antimicrobial prescribing.
NICE guideline. 2018;1-24.
18. Lahdji, Aisyah, and Astin Primasari. "Buku Ajar Sistem Telinga, Hidung
dan Tenggorokkan." (2017). http://repository.unimus.ac.id/292
42
19. Public Health England. Otitis media (acute): antimicrobial prescribing.
NICE guideline. 2018;1-24.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0263931918301546
20. Ciprandi G, Torretta S, Marseglia GL, Licari A, Chiappini E, Benazzo M,
etc. Allergy and otitis media in clinical practice. Curr Allergy Asthma Rep.
2020;20(33):1-9.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11882-020-00930-8
21. Brożek JL, Bousquet J, Agache I, Agarwal A, Bachert C, Bosnic-Anticevich
S, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines 2016
revision. J Allergy Clin Immunol. 2017;140(4):950-958. Available from
doi:10.1016/j.jaci.2017.03.050
22. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.
Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017: 106-110.
Available from https://lib.ui.ac.id/detail?id=20417489
23. Katotomichelakis M, Iliou T, Karvelis I, Giotakis E, Danielides G, Erkotidou
E, et al. Symptomatology Patterns in Children with Allergic Rhinitis. Med Sci
Monit. 2017;23:4939-4946. Available from doi:10.12659/MSM.903136
43