Disusun Oleh :
KIKI YULISTIANA
(113119021)
A. PENGERTIAN
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah peradangan pada tulang mastoid
dan mukosa telinga tengah yang berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan adanya
perforasi pada membrane tympani yang disertai keluarnya cairan secara terus-menerus
atau hilang timbul. (Rosalinda, 2018)
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal
yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum
diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media
akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan
kronis.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif,
flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
C. PATOFISIOLOGI
Disfungsi tuba Eustachius merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga
tengah /otitis media (Soepardi, 2006). Pada keadaan normal, muara tuba Eustachius
berada dalam keadaan tertutup dan akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini
berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara
luar (tekanan udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek,
penampang relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu
infeksi saluran nafas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah
sehingga lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa.
Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring
melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari
telinga tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan
pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit,
dan leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi
tersebut akan menambah permiabilitas pembuluh darah dan menambah pengeluaran
sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik
yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya
akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu
lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory epithelium
dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai
sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta pembuluh darah.
Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan kembali ke
bentuk lapisan epitel sederhana.Terjadinya OMSK disebabkan oleh keadaan mukosa
telinga tengah yang tidak normal atau tidak kembali normal setelah proses peradangan
akut telinga tengah, keadaan tuba Eustachius yang tertutup dan adanya penyakit telinga
pada waktu bayi (Aboet, 2007)
D. MANIFESTASI KLINIS
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga atau gangguan
pendengaran. (Arif Mansjoer, 2001 : 82). Nyeri telinga atau tidak nyaman biasanya
ringan dan seperti merasakan adanya tekanan ditelinga. Gejala-gejala tersebut dapat
terjadi secara terus menerus atau intermiten dan dapat terjadi pada salah satu atau pada
kedua telinga. (www.health central.com, 2004).
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh
perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekretbiasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium
inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning
abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat
keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur
mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan
mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya
jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanyadijumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak
dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai
tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran
menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung
dari besar dan letak perforasi membran timpani, serta keutuhan dan mobilitas sistem
pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli
konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang
didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya
terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis
supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran
tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea.
3. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda
yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus.
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses
otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder.
Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo
seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin
oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang
mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK
dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif
pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga
tengah.
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :
E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSTIK
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagaiberikut :
1. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi
dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran
suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita
OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin
ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan
penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal
terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea.
Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan
ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test berbisik).
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi kohlea.
Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta
penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,
dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan
pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu :
a. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
b. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif30-
50 dB apabila disertai perforasi.
c. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih
utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
d. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan
hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian
pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur
dengan maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli
campur.
2. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
nilaidiagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,
lebih kecil dengan pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya
atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan
kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :
a. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dariarah
lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan
posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran
radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus
lateral.
b. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah.
Akantampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
c. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosusdan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis
semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang
sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibatkolesteatom.
d. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT
scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau
tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan
hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus
lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit mastoid.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut Arief Mansjoer, dkk. 2001 halaman 82 - 83 : Terapinya sering lama dan harus
berulang-ulang karena :
1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen.
2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal,
3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid
4. Gizi dan kebersihan yang kurang.
Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan medikamentosa.
Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa
larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan
dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kartikosteroid.
Banyak ahli berpendapat bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini
mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab itu penulis menganjurkan
agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu
atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan
ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum tes resistensi
diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap
ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2
bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan
untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang
perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat,
serta memperbaiki pendengaran. Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret
tetap ada, atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih
dahulu, mungkin juga perlu melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan
tonsilektomi.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi,
bila terdapat OMSK tipe maligna, maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan
mastoidektomi dengan atau tanpa timpanopplasti. Terapi konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan
tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.
H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Keluhan utama : Keluar cairan dari telinga, Penurunan pendengaran, Sakit
tenggorokan, nyeri telan, demam dll
K. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pre Operasi
a. Nyeri Akut
Nic : Pain Management
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3) Gunakan tekhnik komunikasi terapeutik.
4) Kontrol lingkungan yang memperburuk nyeri.
5) Lakukan tindakan non farmakologi
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian farmakologi.
b. Cemas
Nic : Anxiety Reduction
1) Gunakan pendekatan yang menenangkan.
2) Temani pasien untuk memberikan rasa nyaman dan mengurangi rasa khawatir.
3) Identifikasi tingkat kecemasan.
4) Bantu pasien mengenali situasi yang membuatnya cemas.
5) Ajarkan terapi non farmakologi untuk mengurangi cemas.
2. Post Operasi
a. Nyeri akut
Nic : Pain Management
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3) Gunakan tekhnik komunikasi terapeutik.
4) Kontrol lingkungan yang memperburuk nyeri.
5) Lakukan tindakan non farmakologi
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian farmakologi.
b. Resiko infeksi
Nic : Infection control
1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2) Batasi pengunjung bila perlu
3) Instruksikan pada pengunjung maupun keluarga untuk mencuci tangan
sebelum masuk maupun keluar ruangan.
4) Monitor tanda-tanda infeksi
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi, E, et al, Ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta. 2006:
p. 64-77.
2. Christanto, A. et al. Pendekatan Molekuler (RISA) untuk Membedakan Spesies Bakteri
Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007
3. Nursiah, S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap Beberapa
Antibiotika di Bagian THT FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2003
4. Soetirto, I. et al. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam: Soepardi, E, et al, Ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
2006: p.10-22
5. Ballenger JJ. Penyakit Telinga Kronis. Dalam Buku Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed.13 Jilid Satu. Binarupa Aksara, Jakarta. 1994: p. 392-
412.
6. Aboet, A. Radang Telinga Tengah Menahun. Universitas Sumatera Utara: Medan.2007