Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

A. DEFINISI
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media sering diawali dengan
infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ket
elinga tengah melalui tubaeustachius (Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif, 2013).
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah stadium dari penyakit telinga tengah
dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah, mastoid dan membrane timpani
tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Istilah
kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan atau
lebih (Fung, K, 2004). OMSK adalah infeksi di telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus- menerus atau hilang timbul.
Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Efiaty, 2007)

B. ETIOLOGI
Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis,
tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba
Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak
dengan cleft palate dan down’s syndrom. Faktor host yang berkaitan dengan insiden
OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immune sistemik. Penyebab OMSK antara
lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi.Tetapi sudah hampir dipastikan
hal ini berhubungan dengan kesehatan secaraumum, diet, tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insidenOMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktorgenetik. Sistem
sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapibelum diketahui apakah
hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitismedia akut
dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apayang menyebabkan
satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadikronis.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidakbervariasi
pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kulturyang digunakan
adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram-negatif, flora tipe-usus,
dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran napas bagian atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafasatas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkanmenurunnya daya
tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal beradadalam telinga tengah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadapotitis
media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggidibanding yang
bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagianpenderita yang alergi terhadap
antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti
kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustacius
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edematetapi apakah
hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belumdiketahui. Pada telinga
yang inaktif berbagai metode telah digunakan untukmengevaluasi fungsi tuba eustachius
dan umumnya menyatakan bahwa tubatidak mungkin mengembalikan tekanan negatif
menjadi normal.

C. PATOFISIOLOGI
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan maligna atau tipe
tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif juga dikenal tipe
aktif dan tipe tenang (Arif Mansjoer, 2011). Pada OMSK benigna, peradangan terbatas
pada mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang
menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. (Arif Mansjoer,
2011). OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak marginal,
subtotal, atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya atau fatal (Arif
Mansjoer, 2011). Kolesteotoma yaitu suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel
(keratin). Deskuamasi terbentuk terus, lalu menumpuk. Sehingga kolesteotoma
bertambah besar.

D. PATHWAY : terlampir

E. TANDA DAN GEJALA


Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga atau gangguan pendengaran.
(Arif Mansjoer, 2011). Nyeri telinga atau tidak nyaman biasanya ringan dan seperti
merasakan adanya tekanan ditelinga. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi secara terus
menerus atau intermiten dan dapat terjadi pada salah satu atau pada kedua telinga
 Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air
dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas
kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar
mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga
tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekretbiasanya hilang
timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret yang sangat
bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk
degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom
yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.
 Gangguan pendengaran. Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanyadijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang
sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis.
Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa
rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian
tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat
tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang
didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi
perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat
(foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat
menggambarkan sisa fungsi kohlea.
 Otalgia ( nyeri telinga) Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat
hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK
seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
 Vertigo. Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhanvertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi
hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK
dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada
membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah.

F. PENATALAKSANAAN
Menurut Arief Mansjoer (2011), Terapinya sering lama dan harus berulang-ulang karena:

1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen 


2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal, 
3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid 
4. Gizi dan kebersihan yang kurang.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG

a. Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagaiberikut :


Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat
pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak
perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara
ditelinga tengah. Paparela, pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang
dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra
rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara
temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat
meluas kebagian apek kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan,
sedang, sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau
test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan
intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO Derajat ketulian dan
nilai ambang pendengaran

1. Normal : 10 dB sampai 26 dB 


2. Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB 
3. Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB 
4. Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB 
5. Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
6. Tuli total : lebih dari 90 dB.

Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi kohlea.
Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta
penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan
bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan
pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bias membantu :

1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB 
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif 30-50
dB apabila disertai perforasi. 
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih utuh
menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB. 
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan
hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian
pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur
dengan maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli
campur.

b. Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilaidiagnostiknya


terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi
biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi
leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama
pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa
digunakan adalah :

1. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dariarah


lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi
sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi
ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah.
Akantampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosusdan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis
semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang
sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibatkolesteatom.
4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan
dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak
tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan
hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus
lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit mastoid.

H. FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN


Data Subyektif :
Tanda-tanda dan gejala utama infeksi ekstrena dan media adalah neyeri serta hilangnya
pendengaran. Data harus disertai pernyataan mengenai mulai serangan, lamanya, tingakt
nyerinya. Rasa nyeri timbul karena adanya tekanan kepada kulit dinding saluran yang
sangat sensitif dan kepada membran timpani oleh cairan getah radang yang terbentuk
didalam telinga tengah. Saluran eksterna yang penuh dan cairan di telinga tengah
mengganggu lewatnya gelombang suara, hal ini menyebabkan pendengaran berkurang.
Penderita dengan infeksi telinga perlu ditanya apakah ia mengerti tentang cara
pencegahannya.
Data Obyektif :
Telinga eksterna dilihat apakah ada cairan yang keluar dan bila ada harus diterangkan.
Palpasi pada telinga luar menimbulkan nyeri pada otitis eksterna dan media. Pengkajian
dari saluran luar dan gedang telinga (membran timpani). Gendang telinga sangat penting
dalam pengkajian telinga, karena merupakan jendela untuk melihat proses penyakit pada
telinga tengah. Membran timpani yang normal memperlihatkan warna yang sangat jelas,
terlihat ke abu-abuan. Terletak pada membran atau terlihat batas-batasnya. Untuk
visulaisasi telinga luar dan gendang telinga harus digunakan otoskop. Bagian yang masuk
ke telinga disebut speculum (corong) dan dengan ini gendang telinga dapat terlihat, untuk
pengkajian yang lebih cermat perlu dipakai kaca pembesar. Otoskop dipakai oleh orang
yang terlatih, termasuk para perawat.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.
2. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah
atau kerusakan di syaraf pendengaran.
3. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri,
hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.

J. INTERVENSI
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
DX
NOC NIC
1 Tujuan :Gangguan  Dapatkan apa metode komunikasi yang
komunikasi berkurang / dinginkan dan catat pada rencana

hilang. perawatan metode yang digunakan oleh staf


dan klien
Kriteria hasil
 Kaji kemampuan untuk menerima pesan
 Klien akan memakai
secara verbal.
alat bantu dengar
 Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan
(jika sesuai).
pendengaran dan pemahaman.
 Menerima pesan
melalui metoda
pilihan (misal :
komunikasi tulisan,
bahasa lambang,
berbicara dengan
jelas pada telinga
yang baik.

2 Tujuan :Persepsi / sensoris  Ajarkan klien untuk menggunakan dan


baik. merawat alat pendengaran secara tepat.
Kriteria hasil.  Instruksikan klien untuk menggunakan
 Klien akan teknik-teknik yang aman sehingga dapat
mengalami
peningkatan mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
persepsi/sensoris  Observasi tanda-tanda awal kehilangan
pendengaran samapi pendengaran yang lanjut.
pada tingkat  Instruksikan klien untuk menghabiskan
fungsional. seluruh dosis antibiotik yang diresepkan
(baik itu antibiotik sistemik maupun
lokal).
3 Tujuan :Rasa cemas klien  Jujur kepada klien ketika mendiskusikan
akan berkurang/hilang. mengenai kemungkinan kemajuan dari
Kriteria hasil : fungsi pendengarannya untuk
 Klien mampu mempertahankan harapan klien dalam
mengungkapkan berkomunikasi.
ketakutan/kekuatiranny  Berikan informasi mengenai kelompok
a. yang juga pernah mengalami gangguan
 Respon klien tampak seperti yang dialami klien untuk
tersenyum.  memberikan dukungan kepada klien.
 Berikan informasi mengenai sumber-
sumber dan alat-lat yang tersedia yang
dapat membantu klien.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Efiaty. 2007. Buku Ajar Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif. 2013. Asuhan Keperawatan anak. Jakarta: EGC

Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006. Patofisiologi konsep klinis dan proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
NYERI

A. KONSEP DASAR

1. PENGERTIAN
 Nyeri adalah suatu keadaan yang memengaruhi seseorang yang keberadaannya
diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya (Mc. Coffery, 1979)
 Nyeri merupakan suatu mekanismeproduksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
dirusak, dan menyebablkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa
rangsangan (Arthur C. Curton,1983).
 Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat
subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau
tingkatannya, hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi
nyeri yang dialaminya (Aziz Alimul,2006)

2. TEORI NYERI
Tedapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, di antaranya (Barbara
C.Long, 1989):
 Teori Pemisahan (Specificity Theory). Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke
medulla spinalis (spinal cord) melalui karnu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior,
kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan
berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.

 Teori Pola (Pattren Theory). Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke
medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons
yang merangsan ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi
menimbulkan response dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi di
pengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel T.
 Teori Pengendali Gebang (Gate Control Theory). Menurut teori ini, nyeri tergantung dari
kerja serat saraf besar dan kecil yang keduanya berada di dalam akar ganglion doralis.
Rangsangan pada serat besar akan meninggalkan aktivitas subtansia gelatinosa yang
mengakibatkan tutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan
menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat
langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan kedalam
medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinta mempengaruhi aktivitas sel T.
Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansi gelatinosa dan
membuka pintu mekanisme,sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan
menghantarkan rangsangan nyeri.
 Teori transmisi dan inhibisi. Adanya stimulus pada niciceptor  melalui transmisi impuls-
implus saraf, sehingga implus nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik.
Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi efektif oleh implus-implus pada serabut-serabut
besar yang memblok implus-implus pada serabut lamban dan endogen opiate system
supresif

3. KLASIFIKASI NYERI

a. Nyeri berdasarkan sifatnya :


1)  Incidental pain
Yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
2)  Steady pain
Yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama.
3)  Paroxymal pain
Yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali.Nyeri tersebut menetap ±
10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

b.   Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan :


1)  Nyeri akut
Nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir dalam enam, bulan, sumber
dan daerah nyeri diketahui dengan jelas.Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka,
seperti luka operasi, atau pun pada suatu penyakit arteriosderosis pada arteri koroner.
2)  Nyeri kronis
Nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan
berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri
timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali dan
begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus
menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walau pun telah diberika
pengobatan, misalnya nyeri karena neoplasma.

C. Nyeri berdasarkan berat ringannya :


1)  Nyeri Ringan
Nyeri dengan intensitas rendah. Pada nyeri ini, seseorang bias menjalankan aktivitasnya
seperti biasa. (tidak mengganggu aktivitas).
2)  Nyeri Sedang
Nyeri  dengan intensitas sedang \ menimbulkan reaksi (fisiologis maupun psikologis)
3)  Nyeri Berat
Nyeri dengan inyensitas yang tinggi. Pada nyeri ini, seseorang sudah dapatmelakukan
aktivitas karena nyeri tersebut sudah tidak dapat dikendalikan oleh orang yang
mengalaminya. Penggunaan obat analgesic dapat membantu pada nyeri ini.
 
4. ETIOLOGI
1. Mekanis
a. Trauma jaringan tubuh Kerusakan jaringan, iritasi langsung pada reseptor nyeri,
peradangan
b. Perubahan dalam jaringan misal:oedem Pemekaan pada reseptor nyeri bradikinin
merangsang reseptor nyeri
c. Sumbatan pada saluran tubuh distensi lumen saluran
d. Kejang otot Rangsangan pada reseptor nyeri
e. Tumor penekanan pada reseptor nyeri iritasi pada ujung – ujung saraf
2. Thermis
a. Panas/dingin yang berlebihan missal :luka bakar Kerusakan jaringan merangsang
thermo sensitive reseptor nyeri
3. Kimia
a. Iskemia jaringan mis: blok pada arteri coronary Rangsangan pada reseptor karena
tertumpunya asam laktat/bradikinin dijaringan
b. Kejang otot Sekunder dari rangsangan mekanis menyebabkan iskemia jaringan

5. PATOFISIOLOGI
Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang
dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit
atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada
visera, persendian dinding arteri, hati dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan
respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi
seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan macam asam yang dilepas apabila terdapat
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa
termal, listrik atau mekanis.
Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan ke serabut C.
serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada
dorsal horn. Dorsal horn, terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling bertautan.
Diantara lapisan dua dan tiga berbentuk substansia gelatinosa yang merupakan saluran utama
impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan
bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT)
atau jalur spinothalamus tract (SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri.
Dari proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalur
non-opiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur
spinal desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan medulla ke tanduk dorsal dari
sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif. Serotonin
merupakan neurotransmitter dalam impuls supresif. System supresif lebih mengaktifkan
stimulasi nociceptor yagn ditransmisikan oleh serabut A. Jalur non-opiate merupakan jalur
desendens yang tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui
mekanismenya. (Barbara C Long. 1989)
6. TANDA DAN GEJALA
 Gangguam tidur
 Posisi menghindari nyeri
 Gerakan meng hindari nyeri
 Raut wajah kesakitan (menangis,merintih)
 Perubahan nafsu makan
 Tekanan darah meningkat
  Nadi meningkat
 Pernafasan meningkat
 .Depresi,frustasi

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.   Pemeriksaan USG untuk data penunjang apa bila ada nyeri tekan di abdomen
b.   Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ  dalam yang abnormal
c.    Pemeriksaan LAB sebagai data penunjang pemefriksaan lainnya
d.   Ct Scan (cidera kepala) untuk mengetahui adanya pembuluh darah yang pecah di otak

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyer, misalnya keridakpercayaan,
kesalahpahaman, ketakutan, dan kelelahan
2. Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan tekhnik – tekhnik berikut ini
 Teknik latihan pengalihan : a. Menonton televisi
b. Berbincang – bincang dengan orang lain
c. Mendegarkan music
 Teknik relaksasi
Menganjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan mengisi paru – paru dengan udara,
menghembuskannya secara perlahan, melemaskan otot – otot tangan, kaki, perut, dan
punggung, serta mengulangi hal yang sama sambil terus berkonsentrasi hingga didapat
rasa nyaman, tenang dan rileks.
 Stimulasi kulit
- Menggosok dengan halus pada daerah nyeri
- Menggosok punggung
- Menggompres dengan air hangat atau dingin
- Memijat dengan air mengalir

3. Pemberian obat analgesic


Merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri karena obat ini memblok
transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal
terhadap nyeri. Walaupun analgesic dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawat
dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesic dalam penanganan nyeri
karena informasi obat yang tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami
ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam menggunakan analgetik narkotik,
dan pemberian obat yang kurang dari yang diresepkan.
Ada 3 jenis analgetik, yakni :
a.       Non Narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
b.      Analgesik narkotik atau opiate
c.      Obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik

4. Pemberian stimulator listrik


Yaitu dengan memblok atau mengubah stimulus nyeri dengan stimulus yang dirasakan.
Bentuk stimulator metode stimulus listrik meliputi :
Transcutaneus electrical stimulator (TENS), digunakan untuk ,engendalikan stimulus
manual daerah nyeri tertentu dengan menempatkan beberapa electrode diluar.
 Percutaneus implanted spinal cord epidural stimulator merupakan alat stimulator
sumsum tulang belakang dan epidural yang diimplan dibawah kulit dengantransistor
timah penerima yang dimasukkan kedalam kulit pada daerah epidural dan columna
vertebrae.
 Stimulator columna vertebrae, sebuah stimulator dengan stimulus alat
penerimatransistor dicangkok melalui kantung kulit intraclavicula atau abdomen, yaitu
electrode ditanam melalui pembedahan pada dorsum sumsum tulang belakan.

PATHWAY

Etiologi

Panas atau Iskemia jaringan Trauma sel, Kejang otot Perubahan


dingin yang infeksi dalam jaringan
berlebihan misalnya oedem
Blok pada arteri Kerusakan sel
Kerusakan coronary
Pemekaan pada
jaringan
Pelepasan mediator reseptor nyeri
nyeri (Histamin, bradikinin
Merangsang bradikinin,
thermo sensitive prostaglandin,
reseptor serotonin, ion
kalium,dll)

Merangsang nosiseptor

Dihantarkan
serabut tipe A
Serabut tipe c

Medulla spinalis

Hipotalamus, thalamus dan sistem limbik

Otak
(kortrks somasensorik)

Persepsi nyeri

Nyeri
Nyeri pada
Nafsu makan ekstrimitas
Intoleransi Gangguan rasa nyaman
menurun
aktivitas
Gangguan
Nafsu makan mobilitas
Deficit Ansietas Intoleransi Gangguan rasa
menurun fisk
perawatan aktivitas nyaman
diri

Intake berkurang Stress Risiko


Deficit Pengabaian berlebihan ketidakberdayaan
perawatan diri
diri Gangguan
Risiko pola tidur
berpakaian
keetidakseimbangan
nutrisi kurang dari Deficit
Ketidakefektifan
perawatan
kebutuhan pemeliharaan
diri
kesehatan
mandi
kurus Risiko
keterlambatan
pertumbuhan
dan
perkembangan Risiko harga
diri rendah
situasional
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

a. Identitas
Mendapatkan data identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, alamat, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan

 Keluhan utama : Keluhan yang paling dirasakan pasien untuk mencari bantuan
 Riwayat kesehatan sekarang: Apa yang dirasakan sekarang
 Riwayat penyakit dahulu
 Apakah kemungkinan pasien belum pernah sakit seperti ini atau sudah pernah
 Riwayat kesehatan keluarga
 Meliputi penyakit yang turun temurun atau penyakit tidak menular
 Riwayat nyeri : keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas, dan
waktu serangan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara ‘PQRST’ :
a)      P (Pemicu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Hal ini berkaitan erat dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi kemampuan
seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan tahanan
terhadap nyeri adalah alkohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan atau gasukan, pengalihan
perhatian, kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang dapat
menurunkan tahanan terhadap nyeri adalah kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri
yang tak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.
b)      Q (Quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.
Contoh sensasi yang tajam adalah jarum suntik, luka potong kecil atau laserasi, dan lain-
lain. Sensasi tumpul, seperti ngilu, linu, dan lain-lain. Anjurkan pasien menggunakan
bahasa yang dia ketahui ; nyeri kepala : ada yang membentur.
c)      R (Region), daerah perjalanan nyeri.
Untuk mengetahui lokasi nyeri, perawat meminta utnuk menunjukkan semua daerah yang
dirasa tidak nyaman. Untuk melokalisasi nyeri dengan baik dengan lebih spesifik,
perawat kemudian meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri.
Hal ini sulit dilakukan apabila nyeri bersifat difusi (nyeri menyebar kesegala arah),
meliputi beberapa tempat atau melibatkan segmen terbesar tubuh.
d)     S (Severity) adalah keparahan atau intensitas nyeri.
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah. Namun makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari
waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
e)      T (Time) adalah waktu atau lama serangan atau frekuensi nyeri.
Perawat mengajukan pertanyaan utnuk menentukan awitan, durasi dan rangsangan nyeri.
Kapan nyeri mulai dirasakan? Sudah berapa lama nyeri yang dirasakan? Apakah nyeri
yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kembali
kambuh?
 Macam skala nyeri
1)      Skala Numerik Nyeri
Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah di validasi . Berat ringannya rasa sakit atau
nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala
numerik, dari 0 hingga 10, di bawah ini , dikenal juga sebagai Visual Analog Scale
(VAS), Nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10) ,
suatu nyeri yang sangat hebat.

Keterangan :
0      : tidak nyeri
1-3   : nyeri ringan
4-6   : nyeri sedang
7-9   : sangat nyeri, tetapi masih bias dikontrol
10    : sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol
2)      Visual Analog Scale
Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus , tanpa angka. Bisa bebas
mengekspresikan nyeri ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan,
dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang.
Visual Analog Scale (VAS)

Tidak ada _____________________________________________ Sangat


rasa nyeri _ Nyeri

3. Skala Wajah
Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda , menampilkan wajah bahagia
hingga wajah sedih, juga digunakan untuk "mengekspresikan" rasa nyeri. Skala ini dapat
dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun.

c. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual meliputi bernapas, makan, minum, eleminasi,
gerak dan aktivitas, istirahat tidur, kebersihan diri, pengaturan suhu, rasa aman dan
nyaman, sosialisasi dan komunikasi, prestasi dan produktivitas, pengetahuan, rekreasi
dan ibadah.

d. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum
 Keadaan umum meliputi: kesan umum, kesadaran, postur tubuh, warna kulit,
turgor kulit, dan kebersihan diri.
 Gejala Kardinal
Gejala cardinal meliputi: suhu, nadi, tekanan darah, dan respirasi.
 Keadaan Fisik
Keadaan fisik meliputi pemeriksaan dari kepala sampai ekstremitas bawah.
1) Inspeksi : kaji kulit, warna membran mukosa, penampilan umum, keadekuatan
sirkulasi sitemik, pola pernapasan, gerakan dinding dada.
2) Palpasi : daerah nyeri tekan, meraba benjolan atau aksila dan jaringan payudara,
sirkulasi perifer, adanya nadi perifer, temperatur kulit, warna, dan pengisian kapiler.
3) Perkusi : mengetahui cairan abnormal, udara di paru-paru, atau kerja diafragma.
4) Auskultasi : bunyi yang tidak normal, bunyi murmur, serta bunyi gesekan, atau suara
napas tambahan.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d trauma sel
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake kurang
3. Gangguan  pola tidur b.d gangguan rasa nyaman nyeri
4. Ansietas b.d ancaman peningkatan nyeri
5. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri pada ekstrimitas
6. Intoleransi aktivitas b.d nyeri pada tubuh
7. Defisit perawatan diri b.d gangguan mobilitas fisik
8. Risiko ketidakberdayaan b.d intoleransi aktivitas
9. Harga diri rendah b.d defisit perawatan diri

3. Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d trauma sel
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,masalah   nyeri
teratasi dengan kriteria hasil :
a. Adanya penurunan intensitas nyeri
b. Ketidaknayaman akibat nyeri berkurang
c.tidak menunjukan tanda-tanda fisik dan perilaku dalam nyeri

No. Intervensi Rasional


1. Kaji nyeri dan skala pasien Mengetahui daerah  nyeri,kualitas,kapan
nyeri dirasakan,faktor    pencetus,berat
ringannya nyeri yang dirasakan.

Beri posisi nyaman pada pasien Meningkatkan relaksasi pada pasien

3. Ajarkan tekhnik relaksasi kepada pasien Membantu mengurangi rasa nyeri pasien

4. Kolaborasi dengan dokter pemberian Mengurangi rasa nyeri pasien


obat analgetik

5. Observasi TTV Mengetahui keadaan umum pasien

2. Intoleransi Aktifitas b.d nyeri pada tubuh


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,masalah dapat teratasi
dengan KH sebagai berikut:
a. Pasien dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri
b. Pasien tanda – tanda vital normal

No. Intervensi Rasional


1. Monitor keterbatasan aktivitas dan Merencanakan intervensi dengan tepat
kelemahan saat aktivitas.

2. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas Pasien dapat memilih dan merencanakannya
sendiri. sendiri

3. Catat tanda vital sebelum dan sesudah Mengkaji sejauh mana perbedaan
aktivitas. peningkatan selama aktivitas

4. Kolaborasi dengan dokter dan Meningkatkan kerjasama tim dan perawatan


fisioterapi dalam latihan aktivitas. holistik
3. Gangguan pola tidur b.d gangguan rasa nyaman nyeri
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,kebutuhan tidur
tercukupi dengan KH sebagai berikut :
a. Kebutuhan tidur tercukupi
b.Pasien tampak segar
c.Tidak sering terbangun pada saat tidur

No. Intervensi Rasional


1. Kaji pola tidur pasien Untuk mengetahui kebutuhan tidur pasien

2. Ciptakan lingkungan nyaman dan Dengan lingkungan yang nyaman akan


tenang meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur
pasien

3. Batasi pengunjung Agar pasien tidur lebih nyaman dan


nyenyak

4. Monitor kebutuhan tidur pasien setiap Mengetahui perkembangan pola tidur pasien
hari dan jam

5. Kolaborasikan dengan dokter Agar pasien dapat tidur dengan nyenyak


pemberian obat tidur

DAFTAR PUSTAKA
Alimul Hidayat, A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep Dan AplikasiKebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: Salemba Medika
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Mubarak, Wahid Iqbal. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC
Nanda International. 2011. Nursing Diagnoses: Definition & classification 2012-

 2014, Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai