Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


I. KONSEP DASAR MEDIS

A. Pengertian

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di

telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret

dari telinga tengah secara terus menerus atau hilang timbul. Sekret

mungkin encer atau kental, bening, atau berupa nanah. Biasanya disertai

gangguan pendengaran. (Lucente, Frank E. 2011).

Anatomi telinga
Sumber: https://hellosehat.com.
B. Etiologi.

Sebagian besar Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan

kelanjutan dari Otitis Media Akut (OMA) yang prosesnya sudah berjalan

lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi yang terlambat,

terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, dan daya tahan tubuh rendah.

Bila kurang dari 2 bulan disebut subakut. Sebagian kecil disebabkan oleh
perforasi membran timpani terjadi akibat trauma telinga tengah. Kuman

penyebab biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah

berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman

anaerob. (Lucente, Frank E. 2011).

Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus

(26%), Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis

(10,3%), gram positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%).

Biasanya pasien mendapat infeksi telinga ini setelah menderita saluran

napas atas misalnya influenza atau sakit tenggorokan. Melalui saluran

yang menghubungkan antara hidup dan telinga (tuba Auditorius), infeksi

di saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai

mengenai telinga.

C. Patofisiologi

OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan

maligna atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum

timpani secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. (Lucente,

Frank E. 2011).

Pada OMSK benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak

mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang menimbulkan

komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. (Lucente, Frank E.

2011)
OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak

marginal, subtotal, atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang

berbahaya atau fatal. (Lucente, Frank E. 2011).

Kolesteotoma yaitu suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi

epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus, lalu menumpuk. Sehingga

kolesteotoma bertambah besar.

D. Tanda Dan Gejala

Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga atau

gangguan pendengaran. (Lucente, Frank E. 2011).

Nyeri telinga atau tidak nyaman biasanya ringan dan seperti

merasakan adanya tekanan ditelinga. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi

secara terus menerus atau intermiten dan dapat terjadi pada salah satu atau

pada kedua telinga

1. Telinga berair (otorrhoe)

Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan

encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan

oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada

OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau

busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah

oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekretbiasanya

hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi

saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah

mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai


adanya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-

abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya.

Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap.

Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah

berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.

Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan

granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom

yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri

mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.

Biasanyadijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.

Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi

sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat

menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak

dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai

bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi

dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran

lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak

perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem

pengantaran suara ke telinga tengah.

Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat

karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga


kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang

pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.

Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan

berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat

(foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis

supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf

berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea.

3. Otalgia ( nyeri telinga)

Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada

merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat

karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya

ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya

durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan

abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya

otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang

komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau

trombosis sinus lateralis.

4. Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius

lainnya. Keluhanvertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya

fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo

yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak

atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan

labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran

infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.

Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula

merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat

berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga

timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanj ut menjadi meningitis.

Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo.

Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada

membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga

telinga tengah.

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :

a. Adanya Abses atau fistel retroaurikular

b. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum

timpani.

c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)

d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

E. Penatalaksanaan

Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat

dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau

maligna, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)

2. Mastoidektomi radikal
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi

4. Miringoplasti

5. Timpanoplasti

6. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty).

Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung pada luasnya infeksi atau

koleasteatom, sarana yang tersedia serta pengalaman operator.

Sesuai dengan luasnya infeksi atau luasnya kerusakan yang sudah terjadi, kadang-

kadang dilakukan kombinasi dari jenis operasi itu atau modifikasinya.

F. Pemeriksaan Diagnostik

Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik

sebagaiberikut :

1. Pemeriksaan Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati

tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural,

beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani

serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga

tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita

OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi

produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra

rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang

secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung

basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan


pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat,

dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau

test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-

rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan

terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen dengan skala ANSI 1969.

Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964 dan

ANSI 1969.

Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran

a. Normal : -10 dB sampai 26 dB

b. Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB

c. Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB

d. Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB

e. Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB

f. Tuli total : lebih dari 90 dB.

Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan

fungsi kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada

hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan

tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan

manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan

pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bias

membantu :

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga

kronis nilaidiagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat

otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya

mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan

pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau

yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan

kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan

adalah :

a. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi

mastoid dariarah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk

pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan

tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi

ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus

lateral.

b. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga

tengah. Akantampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik

sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai

struktur-struktur.

c. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid

petrosusdan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius

interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini

menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat

menunjukan adanya pembesaran akibatkolesteatom.


d. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal

sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.

Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan

tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang-tulang

pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis

semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi

jarang berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan

tertentu seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior

menunjukan adanya penyakit mastoid.

G. Komplikasi

1. Kerusakan yang permanen dari telinga dengan berkurangnya pandangan

atau ketulian.

2. Mastuiditis

3. Cholesteatoma

4. Abses apidural (peradangan disekitar otak)

5. Paralisis wajah

6. Labirin titis.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas

Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.


2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien

dengan otitis media kronis biasanya mengeluh nyeri pada telinga,

gangguan pendengaran, demam tinggi.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan

dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit

yang sama, riwayat penyakit keturunan.

e. Riwayat Psikososial

Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi

sosial.

3. Pola Fungsional Gordon

a. Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan

b. Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?

c. Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan

konsumsi obat- obatan tertentu?

d. Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?

e. Pola nutrisi – metabolic


pada pola ini kita mengkaji:

1) Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan

selama dirawat di rumah sakit?

2) Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?

3) Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh

rumah sakit?

4) Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?

5) Apakah klien mengalami mual dan muntah?

6) Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan

atau sebaliknya?

f. Pola eliminasi

pada pola ini kita mengkaji:

1) Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?

2) Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?

3) Kaji konsistensi BAB dan BAK klien

4) Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?

g. Pola aktivitas – latihan

pada pola ini kita mengkaji:

1) Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di

rumah sakit?

2) Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri

3) Kaji tingkat ketergantungan klien

4) Apakah klien mengeluh mudah lelah?


h. Pola istirahat – tidur

Pada pola ini kita mengkaji:

1. Apakah klien mengalami gangguang tidur?

2. Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?

3. Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?

i. Pola kognitif – persepsi

Pada pola ini kita mengkaji:

1) Kaji tingkat kesadaran klien

2) Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah

mengalami perubahan?

3) Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?

4) Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko terjadi injuri / trauma berhubungan dengan ketidakseimbangan

labirin : vertigo

b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

tentang penatalaksanaan OMA yang tepat

c. Cemas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan

d. Nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan mastoidektomi

e. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan post operasi mastoidektomi

3. Intervensi Keperawatan Dan Evaluasi

a. Resiko terjadi injuri / trauma berhubungan dengan ketidakseimbangan

labirin : vertigo
Tujuan : Pasien tidak mengalami injuri / trauma dengan :

1) Mengurangi / menghilangkan vertigo / pusing

2) Mengembalikan keseimbangan tubuh\

3) Mengurangi terjadinya trauma

Intervensi :

1) Kaji ketidakseimbangan tubuh pasien

2) Observasi tanda vital

3) Beri lingkungan yang aman dan nyaman

4) Anjurkan teknik relaksasi untuk mengurangi pusing

5) Penuhi kebutuhan pasien

6) Libatkan keluarga untuk menemani saat pasien bepergian

7) Kolaborasi pemberian analgetik

Evaluasi :

1) Pusing berkurang

2) Pasien tidak mengalami injuri

b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

tentang penatalaksanaan OMA yang tepat.

Tujuan : Pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan OMA

meningkat

Intervensi :

1) Berikan informasi berkenaan dengan kebutuhan pasien


2) Susun bersama hasil yang diharapkan dalam bentuk kecil dan

realistik untuk memberikan gambaran pada pasien tentang

keberhasilan

3) Beri upaya penguatan pada pasien

4) Gunakan bahasa yang mudah dipahami

5) Beri kesempatan pada pasien untuk bertanya

6) Dapatkan umpan balik selama diskusi dengan pasien

7) Pertahankan kontak mata selama diskusi dengan pasien

8) Berikan informasi langkah demi langkah dan lakukan demonstrasi

ulang bila mengajarkan prosedur

9) Beri pujian atau reinforcement positif pada klien

Evaluasi :

1) Pasien menyatakan pemahaman tentang pemberian informasi

2) Pasien mampu mendemonstrasikan prosedur dengan tepat.

c. Cemas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan

Tujuan : Kecemasan pasien berkurang / hilang

Intervensi :

1) Kaji tingkat kecemasan pasien dan keluarga tentang prosedur

tindakan pembedahan

2) Jelaskan pada pasien tentang apa yang harus dilakukan sebelum

dan sesudah tindakan pembedahan

3) Berikan reinforcement positif atas kemampuan pasien

4) Libatkan keluarga untuk memberikan semangat pada pasien


Evaluasi :

1) Pasien tidak cemas

2) Keluarga mau menemani pasien

d. Nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan mastoidektomi

Tujuan : Nyeri pasien berkurang

Intervensi :

1) Kaji tingkat nyeri pasien

2) Kaji faktor yang memperberat dan memperingan nyeri

3) Ajarkan teknik relaksasi untuk menghilangkan nyeri

4) Anjarkan pada pasien untuk banyak istirahat baring

5) Beri posisi yang nyaman

6) Kolaborasi pemberian analgetik

Evaluasi : Nyeri hilang

e. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan post operasi mastoidektomi

Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi

Intervensi :

1) Kaji kemungkinan terjadi infeksi / tanda-tanda infeksi

2) Observasi pasien

3) Lakukan perawatan ganti balutan dengan teknik steril setelah 24

jam dari operasi

4) Kaji keadaan daerah poerasi

5) Ganti tampon setiap hari


6) Pasang pembalut tekan bila dilakukan insisi mastoid

7) Bersihkan daerah operasi setelah 2 – 3 minggu

8) Anjurkan pasien untuk control

9) Kolaborasi pemberian antibiotic

Evaluasi :

1) Infeksi tidak terjadi

2) Luka operasi dalam kondisi baik


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lyinda Jual. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke- 10.
Alih Bahasa, Yasmin Asih. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
George L. Adams. 2007. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi
ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Lucente, Frank E. 2011. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Dialihbahasakan oleh
Hartanto, Huriawati. Jakarta: EGC.

Nagel Patrick dan Gurkov Robert. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC.
Reksoprodjo, S., Ramli, M., Kartono, D., et al (ed). 2010. Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah.Tangerang: Balai Penerbit FKUI.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,. & Alwi, I., et al (ed).2013. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing.

Wilkinson M. Judith dan Nancy R. Ahern. 2012. Diagnosis Keperawatan.Edisi


ke-9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai