Anda di halaman 1dari 8

DEHISENSI LUKA POST LAPAROTOMY

1.1 Pengertian
Dehisensi luka abdomen (post laparotomy) merupakan keadaan
terbukanya sebagian atau seluruh lapisan insisi abdomen (Towned et al.,
2007). Kondisi tersebut merupakan salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis, 2009).
Dehisensi berhubungan dengan kematian, meningkatkan lama hari rawat
dan kejadian herniasi insisional (Khan, Naqvi, Irshad & Chaudhary, 2004).
Dehisensi dilaporkan memiliki angka mortalitas tertinggi

hingga 44%

(Sorensen, 2009). Perawat medikal bedah seringkali berhadapan dengan


pasien postoperatif maka kesadaran mengenai faktor risiko dehisensi dan
metode pencegahan maupun manajemen dehisensi penting untuk diketahui.
1.2 Klasifikasi
Dehisensi dapat dibagi dalam dehisensi inkomplit atau parsial dan
dehisensi komplit. Dehisensi disebut inkomplit bila hanya meliputi jaringan
kulit atau jaringan dibawahnya dan terkadang mencapai jaringan fascia.
Dehisensi dikatakan komplit apabila peritoneum juga ikut terbuka.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi
dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang
tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12
hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia,
adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R, 2005).
1.3 Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya
dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.

b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,


gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi: Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara
klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka
operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi
dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan
temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan.
Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi
dini seringkali disebkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada
infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan
pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
(Webster et al, 2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009)
1.4 Faktor risiko
Dehisensi merupakan kegagalan mekanis pada proses penyembuhan luka.
Beberapa kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya dehisensi meliputi
anemia, hipoproteinemia, malnutrisi, obesitas, malignansi, penggunaan
steroid dan diabetes (Sorensen, 2009). Jenis kelamin laki-laki dan
meningkatnya usia juga berhubungan dengan mekanisme fisiologis proses
penyembuhan luka. Laki-laki memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami
dehisensi luka operasi dibandingkan wanita (Hanif et al 2008).
Selain itu, jenis operasi bedah yang dilakukan memiliki pengaruh
tertentu terhadap risiko terjadinya dehisensi seperti meningkatnya risiko pada
operasi kolon, penyakit peptic ulcer maupun operasi laparotomy emergensi
(Waqar et al., 2005). Obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko
infeksi dan kesulitan teknis dalam penutupan luka insisi (Meeks & Trenhaile,
2005). Pemberian steroid dosis sedang dalam jangka waktu lama menurunkan
kemampuan penyembuhan luka. Penderita diabetes memiliki risiko dehisensi
lebih tinggi dibandingkan dengan bukan penderita diabetes dikarenakan akan
lebih sedikit mensintesis kolagen dan terjadinya deposisi, menurunkan

kekuatan penyatuan luka dan gangguan fungsi leukosit maupun insulin


(Waldrop & Doughty, 2008).
Kondisi malnutrisi maupun terapi radiasi berhubungan dengan malignansi
meningkatkan risiko pemisahan 2 tepi luka. Radiasi menurunkan peredaran
darah di jaringan sehingga meningkatkan risiko terkontaminasinya luka atau
abses (Meeks & Trenhaile, 2005).
Faktor lokal yang juga perlu diperhatikan dalam risiko terjadinya
dehisensi luka operasi ialah gangguan pada fase awal post operasi (Sorensen,
2009). Peningkatan tekanan intra abdominal meningkatkan risiko pemisahan
2 tepi luka, hal tersebut menyebabkan komplikasi gastrointestinal seperti
mual, muntah, ileus atau obstruksi usus (Doughty, 2006).
1.5 Patofisiologi
Terdapat 4 hal faktor yang berperan terhadap terjadinya dehisensi yaitu :
a. Inokulasi bakteri
b. Virulensi bakteri
c. Lingkungan mikro
d. Daya tahan tubuh penderita
Selanjutnya kontaminasi bakteri dapat melalui udara ruang operasi,
peralatan operasi dan operator yang kontak dengan luka. Inokulasi bakteri
terbesar dipengaruhi pula oleh letak operasi, dalam hal ini organ
gastrointestinal berisiko tinggi tempat koloni bakteri.
Kemungkinan infeksi juga semakin besar bila virulensi suatu bakteri
pencemar semakin besar. Suatu bakteri yang jarang menginfeksi namun
memiliki virulensi yang berat seperti Clostridium perfringens hanya
memerlukan inokulasi bakteri yang sedikit hingga menyebabkan infeksi pada
luka operasi. Bacteroides sp memiliki virulensi yang rendah namun bila
tumbuh bersama bakteri lain yang mengkonsumsi oksigen maka akan
menimbulkan sinergi mikroba yang menyebabkan infeksi yang cukup bermak
na.
Lingkungan mikro menjadi faktor yang lebih memudahkan terjadinya
infeksi misalnya keadaan hematom dan adanya jaringan nekrotik.
Daya tahan tubuh penderita yang lemah bisa sebagai akibat dari kondisi
awal pasien (innate) atau akibat langsung dari penyakit dan tindakan operasi
(acquired) misalnya keadaan syok, hipoksia, hipoalbuminemia, hipotermia dan
lain-lain.

Pathway

Faktor lokal terpenting pada terjadinya dehisensi luka operasi adalah


hipoksia. Hipoksia terjadi akibat sel-sel jaringan kekurangan oksigen. Oksigen
yang kurang ini diakibatkan oleh suplai darah di luka operasi dan sekitarnya
yang menurun. Suplai darah yang menurun dapat disebabkan langsung oleh
kehilangan darah yang relative banyak dan operasi yang berlangsung lama.
Pada jaringan yang kurang baik vaskularisasinya akan terbentuk jaringan
nekrosis. Jaringan nekrosis ini merupakan kondisi yang sangat ideal bagi
tumbuhnya bakteri sehingga terjadi infeksi. Hematom yang terbentuk pasca
operasi merupakan suatu benda asing yang menjadi kondisi yang
mempermudah proliferasi bakteri dan terjadinya infeksi.
Operasi yang berlangsung lama menyebabkan tingginya rsiko kehilangan
darah yang cukup banyak dan mengakibatkan rendahnya kadar hemoglobin
pasca operasi. Operasi yang dilakukan dengan prosedur gawat darurat juga
meningkatkan risiko kehilangan darah. Bila medan operasi terkontaminasi
oleh bakteri maka dapat meyebabkan infeksi.
Fungsi fibroblas menurun bila penderita terganggu metabolism tubuhnya
sedang mengkonsumsi steroid, obesitas dan dalam terapi radiasi dan
kemoterapi. Turunnya fungsi fibroblas, sel endotel dan epitel menyebabkan
4

penurunan pelepasan mediator penyembuhan luka dan proses pembentukan


matriks ekstraseluler dan neovaskularisasi serta berakibat terjadinya dehisensi.
1.6 Tanda dan gejala
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari
luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang
terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri,
edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus
atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka
operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan,
nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
1.7 Komplikasi
Eviserasi dapat menyertai keadaan dehisensi komplit dan
merupakan komplikasi post op yang berbahaya dengan angka mortalitas 35%.
Dehisensi secara tunggal dapat pula menyebabkan kematian.
1.8 Pemeriksaan khusus dan penunjang
a. Cek laboratorium lengkap meliputi, darah rutin, kimia darah, elekrolit
b. Terapi
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan
non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas
keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang tidak stabil
dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita
berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau
pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Ismail, 2008). Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang
adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan
pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).

2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang
terbuka, (Sukumar, 2004). Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang
paling sering dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien
dengan keadaan stabil dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan teknik penjahitan (Sukumar, 2004). Pada luka yang sudah
terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih dahulu sebelum
penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu
dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan foto
thoraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada
luka (Spiloitis et al, 2009;Sjamsudidajat, 2005). Tindakan awal yang dilakuk
an adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan
memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya
dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 72 jam sejak di
agnosis dehisensi luka operasi ditegakkan. Tehnik yang sering digunakan
adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi
dengan cara satu lapisan sekaligus.
Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu
lapis. Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus
sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik
pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau
tabung plastik lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi
pada kulit (Ismail, 2008).
Selain rehecting,

banyak

teknik

yang

dilakukan

untuk

menutupdehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang


biasadilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang

berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan


bersifatdiserap oleh tubuh.
1.9 Penatalaksanaan Mandiri Keperawatan
Apabila dehisensi luka operasi telah aktual terjadi, perawat mulai
melakukan intervensi untuk memposisikan pasien di tempat tidur dengan
kepala tidak lebih tinggi dari 200 (Moz, 2006). Kondisi dehisensi akan
meningkatkan risiko eviserasi sehingga salah satu tujuan intervensi ialah
menurunkan tekanan intraabdominal, pasien dibiasakan menekuk lututnya
kedepan selama 5 menit setiap 1 jam sekali dan menghindari batuk.
Perawatan luka steril dilakukan dan bila terdapat eviserasi pada area
dehisensi tersebut, perawat tidak diperkenankan untuk mengembalikan organ
yang keluar tersbut secara paksa ke dalam abdomen. Selanjutnya perawat
harus memantau tanda-tanda vital pasien dan mengedukasi keluarga untuk
mendampingi terutama mengenai hal-hal yang perlu dilakukan saat pasien
memenuhi kebutuhan dasar.
2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan dehisensi luka operasi
diantaranya:
a. Kerusakan Integritas Kulit
b. Kerusakan Integritas Jaringan
c. Nyeri akut
d. Ketidakseimbangan Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
e. Intoleransi aktifitas
f. Gangguan mobilitas fisik
g. Nausea
h. Risiko Infeksi
2.1 ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
2.1.1 Pengkajian
a. Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, tanggal dan alasan MRS.
b. Keluhan utama Keluhan yang sering muncul pada pasien burst
abdomen adalah nyeri pada daerah sekitar luka operasi di perut akibat
membukanya luka bekas operasi atau akibat perut distended
dikarenakan adanya infeksi
c. Riwayat Penyakit sekarang Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat
ini dari awal gejala muncul dan penanganan yang telah dilakukan
hingga saat dilakukan pengkajian. Menguraikan jenis insisi bedah pada
klien.

d. Riwayat Penyakit dahulu Perlu dikaji apakah pasien mempunyai


riwayat penyakit yang berhubungan dengan burst abdomen. Seperti
anemia, DM, hipoproteinemia, defesiensi vitamin C, hipoalbumin, dan
lain-lain.
e. Riwayat penyakit keluarga Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang
memiliki gejala penyakit yang sama seperti pasien.
f. Pola Kebiasaan:

Anda mungkin juga menyukai