Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN

TUTORIAL LBM 3 “GAK KEDENGERAN!”


BLOK MATA & THT

Nama : Ni Ketut Ayu Rachma Nanda Sapitri


NIM : 020.06.0058
Kelompok : 7 (Tujuh)
Kelas :B
Tutor : dr. Muhammad Ashabul Kahfi Mathar, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan hasil Laporan Tutorial LBM 3 “Gak Kedengeran!” Blok Mata & THT.
Dalam penyusunan Laporan Tutorial LBM 1 ini, kami menyadari sepenuhnya
masih terdapat kekurangan di dalam penyusunannya. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, kami menyadari bahwa
tanpa adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah mungkin hasil
Laporan Tutorial LBM 2 ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan laporan dengan baik.
2. dr. Muhammad Ashabul Kafhi Mathar, S.Ked selaku fasilitator dalam SGD
kelompok 7, atas segala masukan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi
keterbatasan kami.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 19 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Skenario LBM ......................................................................................... 1
1.2 Deskripsi Masalah ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 4
2.1 Anatomi Telinga...................................................................................... 4
2.2 Histologi Telinga..................................................................................... 12
2.3 Fisiologi Pendengaran ............................................................................. 14
2.4 Ganguan Pendengaran.............................................................................
2.4.1 Tuli Konduksi..............................................................................
2.4.2 Tuli Sensorineural .......................................................................
2.4.3 Tuli Campuran ............................................................................
2.5 Pembahasan Diagnosis Diferensial (DD)................................................
2.5.1 Serumen Prop ..............................................................................
2.5.2 Otitis Eksterna .............................................................................
BAB III PENUTUP ..............................................................................................
3.1 Kesimpulan ............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM


LBM 3
GAK KEDENGERAN

Bella adalah seorang dokter muda yang sedang bertugas di poli THT RSP FK
UNIZAR. Suatu hari ia mendapatkan pasien seorang perempuan berusia 18 tahun
dibawa orang tuanya dengan keluhan penurunan pendengaran telinga kanan sejak
1 minggu yang lalu. Selain itu pasien merasakan telinga kanan terasa penuh dan
nyeri. Keluhan lain seperti demam, vertigo, tinnitus serta keluar cairan dari telinga
disangkal. Setiap hari pasien membersihkan telinganya sendiri dengan korek
kuping. Pasien memiliki riwayat berenang dua minggu yang lalu. Selanjutnya,
Bella melakukan pemeriksaan otoskopi dan pemeriksaan pendengaran
menggunakan garpu tala untuk mengetahui kelainan pada pasie, hasil pemeriksaan
otoskopi AD: massa kecoklatan (+), membrane timpani sulit dinilai. AS:
membrane timpani intak.

1.2 Deskripsi Masalah


Berdasarkan skenario LBM 3 yang berjudul “Gak Kedengeran!” menjelaskan
pasien mengeluhkan penurunan pendengaran pada telinga kanan sejak 1 minggu
yang lalu. Penurunan pendengaran dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada
organ telinga yang terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Gangguan dapat
berupa adanya sumbatan, infeksi maupun trauma. Telinga luar dan tengah
berperan dalam transmisi suara melalui udara yang kemudian diteruskan menuju
telinga dalam dan akan dikonversikan gelombang suara tersebut menjadi impuls
saraf, sehingga akan diolah di korteks pendengaran yang berada di lobus
temporalis.

1
Selain itu pasien merasa telinganya penuh dan nyeri. Hal ini dapat disebabkan
oleh adanya perbedaan tekanan antara tekanan di luar dan dalam telinga. Hal ini
dapat disebabkan oleh adanya sumbatan massa atau partikel yang berada di liang
telinga. Sehingga gelombang suara yang berasal dari luar tidak dapat masuk ke
dalam telinga dan sebaliknya pada akhirnya menyebabkan telinga pasien terasa
penuh. Nyeri dapat disebabkan oleh adanya aktivasi dari saraf yang menginervasi
telinga. Aktivasi disebabkan oleh karena sumbatan yang berada di liang teling,
yang semakin lama akan semakin menumpuk dan mengeras yang kemudia dapat
menekan berbagai organ atau struktur telinga salah satunya adalah saraf.
Berdasarkan anamnesis ditemukan adanya riwayat berenang dua minggu lalu.
Pada saat berenang, kemungkinan air dapat masuk ke dalam telinga. Yang di mana,
diketahui bahwa air menjadi salah satu media tempat perkembangan vektor seperti
larva nyamuk maupun cacing yang kemudian dapat menginfeksi manusia melalui
kulit. Hal ini mungkin dapat terjadi pada pasien, namun pada skenario dijelaskan
bahwa demam disangkal yang kemungkinan berarti tidak ditemukan adanya tanda
inflamasi sebagai bentuk infeksi.
Ditemukan pula adanya riwayat sering membersihkan telinga dengan korek
kuping. Hal ini menjadi salah satu kebiasaan yang tidak baik, fisiolgi pelepasan
serumen/kotoran telinga dapat terjadi pada saat mengunyah. Sehingga
serumen/kotoran telinga tidak harus secara rutin dibersihkan. Ditambah dengan
cara membersihkan telinga yang tidak benar, keadaan ini dapat menyebabkan
kotoran telinga semakin terdorong ke arah dalam.
Hasil pemeriksaan otoskopi AD ditemukan massa kecoklatan (+) dan
membrane timpani sulit dinilai, artinya kemungkinan ditemukan adanya
obstruksi.sumbatan pada liang telunga kanan yang ditandai massa kecoklatan yang
membuat membrane timpani tidak dapat diidentifikasi. Sedangkan hasil
pemeriksaan otoskopi AS ditemukan membrane timpani intak (utuh) yang tidak
menunjukkan adanya gangguan atau kelainan dan liang telinga juga tidak
ditemukan sumbatan yang artinya liang telinga kiri lapang.

2
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, riwayat berenang, membersihkan
telinga dengan korek kuping dan hasil pemeriksaan ditemukan massa kecoklatan
dapat berhubungan dengan keluhan pasien yang mengalami gangguan
pendengaran yang lebih mengarah pada gangguan transmisi gelombang suara yang
disebut dengan tuli konduksi. Kelompok kami mengajukan diagnosis banding
pada pasien berdasarkan gejala berupa tuli konduksi yaitu serumen prop dan otitis
eksterna.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi telinga


Telinga terdiri atas tiga bagian dasar, yaitu telinga bagian luar, telinga bagian
tengah dan telinga bagian dalam (Snell, RS., 2012).
1) Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari:
• Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.
• Liang telinga (meatus akustikus eksterna) berbentuk huruf S dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga
bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjang nya kira-kira 2 ½-
3cm.
Aurikula dan kanalis akustikus eksternus menerima perdarahan dari arteri
temporalis superfisialis dan cabang aurikularis posterior yang merupakan
cabang dari arteri karotis eksterna (Snell, RS., 2012).

4
Sedangkan aliran vena dari aurikula dan meatus yaitu melalui vena
temporalis superfisialis dan vena aurikularis posterior kemudian bersatu
membentuk vena retromandibular yang biasanya terpisah dan keduanya
bertemu di vena jugularis, pertemuan terakhir terdapat pada vena jugularis
eksterna namun demikian juga menuju ke sinus sigmoid melalui vena
emissarius mastoid (Snell, RS., 2012).
Persarafan sensoris ke aurikula dan canalis akustikus eksternus berasal dari
persarafan kranialis dan kutaneus dengan kontribusi dari cabang
aurikulotemporal N. Trigeminus (V), N. Fasialis (VII), dan N. Vagus (X)., dan
juga N. Aurikularis magna dari pleksus servikalis (C 2-3). Otot motorik
ekstrinsik telinga, yaitu pada bagian anterior, superior, dan posterior aurikula
dipersarafi N. Fasialis (VII) (Snell, RS., 2012).
Aliran limfatik kanalis akustikus eksternus merupakan saluran yang penting
pada penyebaran infeksi. Bagian anterior dan posterior terdapat aliran limph
dari kanalis akustikus eksternus menuju ke limfatik preaurikular didalam
kelenjar parotis dan kelenjar getah bening leher profunda bagian superior.
Bagian inferior kanalis akustikus eksternus aliran limphnya menuju ke
kelenjar getah bening infra aurikular dekat angulus mandibularis. Sedangkan
bagian posterior menuju ke kelenjar getah bening post aurikular dan kelenjar
getah bening leher profunda superior (Snell, RS., 2012).
2) Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan terdapat beberapa Batasan yaitu:
• Batas luar adalah membran timpani
• Batas depan adalah tuba eustachius
• Batas bawah adalah vena jugularis
• Batas belakang adalah aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
• Batas atas adalah tegmen timpani

5
• Batas dalam adalah berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar
dan promontorium.

Gambar 2. Anatomi membrane timpani


Membran timpani berbentuk bundar dan cekung. Bagian atas disebut pars
flaksida sedangkan bagian bawah pars tensa. Bayangan penonjolan bagian
bawah maleus pada membrane timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo
bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7
untuk membrane timpani kiri dan pukul 5 untuk membrane kanan (Snell, RS.,
2012).
Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus
(tulang landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut
membentuk rangkaian tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu
dengan membran timpani (Snell, RS., 2012).
Tuba auditiva eustachius adalah saluran penghubung antara ruang telinga
tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius, memungkinkan
keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah dengan udara luar
(Snell, RS., 2012).

6
3) Telinga Dalam

Gambar 3. Anatomi telinga dalam


Telinga dalam terdiri dari:
• Koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler
yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dan skala
vestibule (Snell, RS., 2012).
• Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibule sebelah atas,skala timpani disebelah bawah dan
skala media (duktuskoklearis ) diantaranya (Snell, RS., 2012).

2.2 Histologi Telinga


1) Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga (aurikula atau pinna), liang telinga
luar. Pinna terdiri atas lempengan tulang rawan elastic yang bentuknya tidak
beraturan, diliputi kulit tipis yang melekat erat pada tulang rawannya. Tu1ang
rawan ini kontinu dengan bagian tulang rawan liang telinga luar (diFiore,
2017).

7
Liang telinga luar merupakan saluran yang membentang dari daun telinga
ke dalam tulang temporal hingga permukaan luar membran timpani. Bagian
luarnya terdiri atas tulang rawan elastik, yang melanjutkan diri dengan tulang
rawan daun telinga. Tulang (temporal) menggantikan tulang rawan pada
duapertiga dalam dinding saluran (diFiore, 2017).
Liang telinga luar diliputi oleh kulit yang mengandung folikel rambut,
kelenjar sebasea, dan kelenjar serumen yang merupakan modifikasi kelenjar
keringat, yang menghasilkan materi yang mirip lilin (wax) yaitu serumen.
Rambut dan serumen yang lengket mencegah masuknya benda asing ke dalam
liang telinga (diFiore, 2017).

2) Telinga Tengah
Pada membran timpani yang menutup ujung bagian dalam liang telinga
luar. Permukaan luar membran timpani dilapisi epidermis tipis yang berasal
dari endoderm. Selapis tipis unsur mesoderm yang meliputi serat kolagen,
elastik, dan fibroblas, terletak diantara dua lapisan epitel membran timpani.
Cavum timpani dilapisi oleh epitel gepeng selapis, yang kontinu dengan
lapisan dalam membran timpani. Pada dua pertiga bagian dalam cavum
timpani yang semula berdinding tulang akan berubah menjadi tulang rawan
menjelang tuba auditori. Lapisan epitelnya berubah menjadi epitel bertingkat
silindris bersilia saat mendekati tuba auditori. Lamina propria di daerah
berdinding tulang melekat erat dan tidak mengandung kelenjar, namun lamina
propria di atas daerah tulang rawan mengandung banyak kelenjar mukosa yang
salurannya membuka ke lumen cavum timpani. Selain itu, ditemukan juga sel
goblet dan jaringan limfoid di dekat muara tuba ke faring (diFiore, 2017).
Terdapat tiga tulang pendengaran yang mengisi ruang ini, yang
membentang antara membrane timpani dengan membran pada tingkap oval.
Tulang-tulang pendengaran, maleus, inkus, dan stapes saling dihubungkan
melalui sendi sinovial berlapis epitel gepeng selapis. Maleus terhubung dengan

8
membran timpani, inkus terletak di antara maleus dan stapes yang melekat
pada tingkap oval (diFiore, 2017).

3) Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri atas labirin tulang, sebuah ruang atau saluran yang
berbentuk tidak teratur terletak dalam pars petrosum tulang temporal, dan
labirin membranosa, yang menggantung dalam labirin tulang. Labirin tulang
dilapisi endosteum dan terpisahkan dengan labirin membranosa oleh ruang
perilimfatik. Ruang ini terisi cairan jernih, yaitu perilimfe, tempat labirin
membranosa menggantung (diFiore, 2017).
Bagian tengah labirin tulang dikenal sebagai vesibulum. Terdapat tiga
kanal semisirkular, yaitu superior, posterior, dan lateral, yang saling terletak
tegak lurus (90 derajat) satu sama lain. Selain itu, di dalam kanal terdapat
duktus semisirkular yang menggantung sebagai lanjutan dari labirin
membranosa. Dinding lateralnya mempunyai tingkap oval (fenestra vestibuli),
yang ditutupi oleh sebuah membran tempat lempeng kaki stapes melekat, dan
tingkap bundar (fenestra koklea), yang hanya tertutup membran. Pada
vestibulum juga terdapat bagian-bagian khusus labirin membranosa (utrikulus
dan sakulus) (diFiore, 2017).
Koklea berbentuk seperti suatu spiral tulang berongga mirip cangkang
keong, yang mengitari pusatnya (suatu kolom tulang yang disebut modiolus)
sebanyak dua setengah putaran. Dari modiolus keluar lempengan tulang yang
berjalan spiral, yang disebut lamina spiralis tulang, tempat berjalannya
pembuluh darah dan ganglion spiralis, yang merupakan bagian koklear saraf
vestibulokoklearis. Pada labirin membranosa terdiri dari epitel yang berasal
dari ektoderm embrionik, yang memasuki tulang temporal yang masih dalam
perkembangan, dan membentuk dua kantung kecil yaitu sakulus dan utrikulus,
juga duktus semisirkular dan duktus koklear (diFiore, 2017).

9
Endolimfe yang mengalir di dalam labirin membranosa merupakan cairan
kental yang komposisi ionnya mirip cairan ekstrasel, yaitu miskin natrium,
tetapi kaya akan kalium. Lembaran tipis jaringan ikat berikatan dengan
endosteum labirin tulang menyeberangi perilimfe dan tersisip pada labirin
membranosa. Selain berperan mengikatkan labirin membranosa pada labirin
tulang, lembar jaringan ikat ini juga membawa pembuluh darah yang memberi
nutrisi bagi epitel labirin membranosa (diFiore, 2017).

2.3 Fisiologi Pendengaran


Telinga secara anatomis terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar,
tengah dan dalam. Telinga luar dan tengah berperan dalam transmisi suara melalui
udara menuju telinga bagian dalam yang terisi cairan. Pada telinga dalam ini,
terjadi amplifikasi energi suara. Di sana juga terdapat dua macam sistem sensoris
yaitu koklea yang mengkonversikan gelombang suara menjadi impuls saraf dan
vestibular apparatus yang berguna untuk keseimbangan (Sherwood, L., 2020).
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membrane timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrane timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di amplifikasi ini akan diteruskan ke
tulang stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala
vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membrane tektoria (Sherwood, L., 2020).
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi
sel rambut, sehingga melepaskan neurotransimitter ke dalam sinapsis yang akan

10
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis (Sherwood, L.,
2020).

2.4 Gangguan Pendengaran


Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Definisi lain
mengatakan bahwa, gangguan pendengaran merupakan penurunan persepsi
kekerasan suara dan atau disertai ketidakjelasan dalam berkata-kata (Martini, E.,
Probandari, A., & Pratiwi, D., 2021).

Derajat
Gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya dibagi menjadi:
• Gangguan pedengaran ringan (20-39 dB)
• Gangguan pendengaran sedang (40-69 dB)
• Gangguan pendengaran berat (70-89 dB)

Klasifikasi & Etiologi


1) Tuli Konduktif (conductive hearing loss) terjadi akibat apapun yang dapat
menyebabkan penurunan transmisi suara dari luar ke koklea yang
menyebabkan gangguan penghantaran/transmisi gelombang suara untuk
menggetarkan membran timpani. Gangguan pendengaran konduktif terdapat
masalah pada telinga luar atau tengah (Martini, E., Probandari, A., & Pratiwi,
D., 2021).
• Contoh kelainan pada telinga luar yang dapat menyebabkan terjadinya tuli
konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis
eksterna sirkumskripta, serta osteoma liang telinga.

11
• Contoh kelainan pada telinga tengah yang mampu menyebabkan
terjadinya tuli konduktif adalah tuba katar/sumbatan tuba eustachius,
otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, serta
dislokasi tulang-tulang pendengaran.
Gejala pada gangguan pendengaran konduktif dapat berupa:
• Riwayat keluarnya carian dari telinga
• Riwayat infeksi telinga sebelumnya
• Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak
dengan perubahan posisi kepala
• Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung)
• Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara
lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis
• Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai

2) Tuli Sensorineural (sensorineural hearing loss) dapat terjadi dari gangguan


transmisi sesudah koklea. Gangguan transmisi ini dapat terjadi karena
kerusakan hair cell dalam koklea atau kerusakan nervus cranial. Gangguan
pendengaran sensorineural terdapat masalah pada telinga bagian dalam dan
saraf pendengaran (Martini, E., Probandari, A., & Pratiwi, D., 2021).
Tuli sensorineural dapat dibagi menjadi:
• Tuli sensorineural koklea, biasanya terjadi karena adanya kecacatan
(aplasia), terjadi inflamasi akibat adanya bakteri (labirintitis).
• Tuli sensorineural retrokoklea, biasanya terjadi karena adanya tumor
jinak non kanker (neuroma akustik), adanya kanker pada sel plasma
(mieloma multiple) dan cedera otak.
Gejala pada gangguan pendengaran sensorineural yaitu:
• Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara
percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti
suasana yang tegang dibanding orang normal.

12
• Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan
dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
• Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian
obatobat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya. Pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput
gendang telinga tampak normal.

3) Tuli Campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli


sensorineural. Klasifikasi gangguan pendengaran menurut waktu kejadiannya
dapat dibagi pula menjadi dua jenis, yaitu (Martini, E., Probandari, A., &
Pratiwi, D., 2021):
• Gangguan pendengaran prelingual biasanya timbul sebelum terjadinya
proses perkembangan kemampuan berbahasa pada seseorang.
• Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah berkembangnya
kemampuan berbahasa pada seseorang. Biasanya terjadi setelah berusia 6
tahun. Gangguan pendengaran postlingual jauh lebih jarang terjadi bila
dibandingkan dengan gangguan pendengaran prelingual

Faktor Risiko
1) Usia, beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan umur dapat terjadi
pada telinga. Membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di
dalamnya gendang telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia.
Selain itu, tulang-tulang kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga
menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam di mana koklea
berada juga mulai mengalami kerusakan. Rusak atau hilangnya sel-sel rambut
ini lah yang menyebabkan seseorang sulit untuk mendengar suara. Penyebab
paling umum terjadinya gangguan pendengaran terkait umur adalah
presbikusis (Martini, E., Probandari, A., & Pratiwi, D., 2021).
2) Konsumsi obat ototoksik yang secara terus menerus dapat merubah struktur
anatomi pada telinga dalam, seperti terjadi degenerasi pada organ telinga

13
dalam seperti organ corti dan labirin vestibular. Contohnya adalah ototokitas
antibotika aminoglikosida dapat menyebabkan ketulian sensorial bilateral
dikarenakan kerusakan labirin vestibular maupun koklea (Martini, E.,
Probandari, A., & Pratiwi, D., 2021).

Patofisiologi
Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseoarang berpindah dari
satu lokasi ke lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar
dalam waktu relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian
depan dan belakang membran timpani. Akibatnya membran timpani tidak dapat
bergetar secara efisien, sehingga pendengaran akan terganggu. Telinga manusia
hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya 80 dB (batas aman)
dan dengan frekuensi suara sekitar bekisar antara 20-20.000 Hz. Dan batas
intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan suara itu
sudah timbul perasaan sakit pada alat pendengaran (Martini, E., Probandari, A., &
Pratiwi, D., 2021).
Kehilangan pendengaran konduktif terjadi akibat gangguan transmisi suara
di dalam serta melalui telinga luar dan telinga tengah. Transmisi suara dari telinga
dalam ke otak normal dikarenakan telinga dalam tidak terpengaruh pada
kehilangan pendengaran konduktif murni. Penyebab gangguan pendengaran
konduktif adalah terganggunya pergerakan gelombang pada getaran suara melalui
liang telinga, membrane timpani, tulang pendengaran. Meskipun kualitas suara
tetap jernih akan tetapi suara dipersepsikan lemah atau berasal dari tempat yang
jauh. Kebanyakan masalah kehilangan gangguan konduktif dapat dikoreksi
dengan penatalaksanaan bedah maupun medis (Martini, E., Probandari, A., &
Pratiwi, D., 2021).
Kehilangan pendengaran sensorineural terjadi karena trauma atau penyakit
pada organ Corti atau jaras saraf auditori pada telinga dalam yang menuju ke otak.
Transmisi dan penerimaan suara terganggu. Suara mengalami distorsi dan lemah.

14
Kehilangan pendengaran sensorineural biasanya bersifat permanen dan tidak
dapat dikoreksi dengan penatalaksanaan bedah maupun medis. Kehilangan
pendengaran sensorineural terjadi karena trauma atau penyakit pada organ corti
atau jaras saraf auditori pada telinga dalam yang menuju ke otak. Transmisi dan
penerimaan suara terganggu. Suara mengalami distorsi dan lemah. Kehilangan
pendengaran sensorineural biasanya bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi
dengan penatalaksanaan bedah maupun medis (Martini, E., Probandari, A., &
Pratiwi, D., 2021).

Pengukuran
1) Audiometri
Audiometri adalah teknik untuk mengidentifikasi dan menentukan
ambang pendengaran seseorang dengan mengukur sensitivitas
pendengarannya menggunakan alat yang disebut audiometer. Berdasarkan
ambang pendengaran, sensitivitas pendengaran pasien dapat diestimasi dengan
mengunakan sebuah audiogram. Sebuah audiogram adalah grafik taraf
intensitas ambang dan frekuensi.
2) Audiometer
Audiometer adalah peralatan elektronik untuk mengukur ambang
pendengaran yang biasa digunakan untuk mendiagnosis pendengaran
seseorang. Pada audiometer nada murni, kedua telinga akan diperiksa satu
persatu. Untuk memeriksa gangguan pendengaran konduksi kedua telinga akan
dipasang oleh headphone, sedangkan untuk memeriksa gangguan pendengaran
sensorineural kedua telinga akan dipasang oleh bone vibrator. Terdapat dua
macam audiometer yakni:
a) Audiometer nada murni adalah suatu alat uji pendengaran dengan yang
dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250
Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan taraf intensitas
dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui headphone

15
ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Telinga manusia normal
mampu mendengar suara dengan kisaran frekuensi 20-20.000 Hz.
Frekuensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami
percakapan sehari-hari.

Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964


(Acceptable Audiometric Hearing Levels) dan ANSI 1969 (Standard
Reference Threshold Sound-Pressure Levels for Audiometers) pada
frekuensi nada murni yaitu:
• Jika peningkatan ambang dengar antara 0-25 dB, disebut normal
• Jika peningkatan ambang dengar antara 26-40 dB, disebut tuli ringan
• Jika peningkatan ambang dengar antara 41-60 dB, disebut tuli sedang
• Jika peningkatan ambang dengar antara 61-90 dB, disebut tuli berat
• Jika peningkatan ambang dengar >90 dB, disebut tuli sangat berat
b) Audiometer tutur adalah alat uji pendengaran menggunakan kata-kata
terpilih yang telah dibakukan dan dikaliberasi, untuk mengukur beberapa
aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama
dengan audiometri nada murni, hanya disini alat uji pendengaran
menggunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada penderita.
Penderita diminta untuk menebak dan menirukan dengan jelas setiap kata
yang didengar.
Dari audiogram tutur dapat diketahui dua titik penting yaitu:
• Speech Reception Threshold (SRT) adalah batas minimum
penerimaan percakapan dan bertujuan untuk mengetahui
kemampuan pendengaran penderita dalam mengikuti percakapan
sehari-hari atau disebut validitas sosial. Titik SRT ini diperoleh bila
penderita telah dapat menirukan secara benar 50% dari kata-kata
yang disajikan.

16
• Speech Discrimination Score (SDS) untuk mengetahui kemampuan
pendengaran penderita dalam membedakan bermacam-macam kata
yang didengar. Normalnya adalah 90-100%. Audiometri tutur pada
prinsipnya pasien akan mendengar kata-kata dengan jelas artinya
pada taraf intensitas tertentu mulai terjadi gangguan sampai 50%
tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.

Interpretasi hasil pemeriksaan audiometer tutur untuk SRT yakni:


• Ringan masih bisa mendengar pada taraf intensitas 20-40 dB
• Sedang masih bisa mendengar pada taraf intensitas 40-60 dB
• Berat sudah tidak dapat mendengar pada taraf intensitas 60-80 dB
• Berat sekali tidak dapat mendengar pada taraf intensitas >80 dB
3) Tes Penala/Garpu Tala
Terdapat berbagai jenis perangkat garpu tala yang menghasilan nada-nada
yang berbeda dengan tingkat frekuensi yang berbeda pula (128 Hz, 256 Hz,
512 Hz, 1024 Hz, dan sebagainya).
a) Tes Rinne
Tujuan: membandingkan hantaran tulang (bone conduction) dan hantaran
udara (air conduction) pada telinga yang diperiksa dextra dan sinistra.
Dalam keadaan normal, hantaran suara melalui udara lebih baik daripada
hantaran suara melalui tulang.
Jika komponen sensorineural normal, sedangkan seluruh sistem
hantaran udara terganggu maka disebut tuli konduksi, pada hasil
pemeriksaan garpu tala didapatkan hasil hantaran tulang (bone conduction)
> hantaran udara (air conduction).
Sebaliknya pada tuli sensorineural, hasil pemeriksaan garpu tala
hantaran tulang (bone conduction) < hantaran udaran air conduction),
maka gangguan total diduga sebagai akibat kerusakan atau perubahan pada
mekanisme koklearis atau retrokoklearis.

17
Gambar 4. Tes Rinne pada pemeriksaan garpu tala
Cara pemeriksaan: Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak
pada tangan dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari
telinga yang akan diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah
mendengar dan sekaligus di instruksikan agar mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus
akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa.
Interpretasi:
• Bila penderita masih mendengar dikatakan Rinne (+). Rinne positif
berarti normal atau tuli sensorineural.
• Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-). Rinne negatif berarti tuli
konduktif.

b) Tes Weber
Tujuan: membandingkan hantaran tulang (bone conduction) pada telinga
dextra dan sinistra penderita.
Cara pemeriksaan: Tes ini menggunakan garpu tala frekuensi 512 Hz.
Garpu tala tersebut dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan tegak
lurus di garis median tubuh, biasanya di dahi (dapat pula di vertex, dagu,
atau pada gigi insisivus) dengan kedua kaki pada garis horizontal.
Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang mendengar lebih
keras. Mendengar bunyi, atau merasakan getarannya pada bagian tengah

18
adalah respon normal. Jika bunyi tersebut tidak terdengar di bagian tengah,
bunyi tersebut dikatakan mengalami lateralisasi. Bila penderita mendengar
lebih baik pada salah satu telinga, maka dikatakan Tes Weber lateralisasi
ke sisi telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana
bunyi terdengar lebih keras, disebut Tes Weber tidak ada lateralisasi.

Gambar 5. Tes Weber pada pemeriksaan garpu tala


Interpretasi:
• Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk
(mengalami gangguan), maka tuli konduktif perlu dicurigai pada
telinga tersebut.
• Jika nada terdengar pada telinga yang lebih baik (sehat), maka
dicurigai tuli sensorineural pada telinga yang terganggu.

c) Tes Schwabach
Tujuan: membandingkan hantaran tulang (bone conduction) dari
penderita dengan hantaran tulang (bone conduction) pemeriksa dengan
catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.
Cara pemeriksaan: Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh
secara lunak diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita.
Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu
sekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak

19
mendengar dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.
Ada dua kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan
schwabach memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila
pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala mula-
mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian bila
sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke planum
mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan. Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach
normal dan bila masih mendengar dikatakan schwabach memanjang.
Interpretasi:
• Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar
dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli sensorineural.
• Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar
dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
• Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak
mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti
telinga penderita normal juga.

20
2.5 Pembahasan Diagnosis Banding (DD)
Serumen Prop

Gambar 6. Serumen prop


Definisi
Serumen prop adalah akumulasi serumen yang berlebihan/abnormal
sehingga membentuk gumpalan yang akan menumpuk di liang telinga. Serumen
merupakan campuran dari material yang dihasilkan dari sekret kelenjar sebasea,
kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas (epitel deskuamasi) dan partikel
debu yang terdapat pada bagian kartilaginosa liang telinga (Prastowo, B., 2019).
Serumen terdiri dari glikopeptida, lipid, asam hialuronat, asam sialat, enzim
lisosom dan imunoglobulin. Serumen memberikan efek perlindungan terhadap
telinga dengan mempertahankan keseimbangan asam (pH 5,2–7,0) di auditori
kanal eksterna dan juga melumasi kanal serta memiliki sifat antibakteri dan
antijamur (Yogantoro, K., 2018).

Epidemiologi
Serumen prop terjadi pada sekitar 6% populasi, dengan penderita terbanyak
adalah populasi lanjut usia. Proses penuaan mengurangi jumlah dan aktivitas
kelenjar seruminosa, menghasilkan jenis serumen yang lebih kering. Peningkatan
jumlah rambut saluran telinga pada pria yang lebih tua juga merupakan faktor
dalam peningkatan insiden serumen pada populasi geriatri, terutama di kalangan
pria. Selain itu, populasi anak-anak juga merupakan populasi yang sering terkena
serumen prop. Pada anak-anak lebih disebabkan kurangnya perhatian orang tua
terhadap kebersihan telinga anaknya (Yogantoro, K., 2018).

21
Epidemiologi serumen prop di Indonesia paling banyak terdapat pada anak-
anak. Sumbatan serumen dapat mengakibatkan gangguan pendengaran sehingga
akan mengganggu proses penyerapan pelajaran bagi anak sekolah. Hasil survei
cepat yang dilakukan oleh Profesi Perhimpunan Ahli THT dan Departemen Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di beberapa sekolah di 6 kota
di Indonesia, ternyata prevalensi serumen prop pada anak sekolah cukup tinggi
yaitu antara 30-50% (Yogantoro, K., 2018).

Etiologi
Penyebabnya dapat karena kerusakan saat memproduksi atau kerusakan
pada saat pembersihan. adanya serumen pada telinga adalah suatu hal yang normal.
Serumen akan melindungi telinga dalam dari debris seperti bakteri dan debu.
Secara normal, serumen ini diproduksi dan dapat keluar teratur sehingga tidak
menimbulkan sumbatan (Prastowo, B., 2019).
Produksi serumen yang berlebihan maka akan membuat semakin sulit
dikeluarkan terutama serumennya mengeras (membatu). Ditambah dengan
kebiasaan menggunakan cotton bud atau benda sejenisnya, yang menyebabkan
serumen semakin ke dalam telinga. Akhirnya inilah yang menyebabkan adanya
sumbatan (Prastowo, B., 2019).
Akumulasi serumen dapat juga disebabkan obstruksi kanalis akustikus
eksternus. Saluran yang berbelit-belit dan isthmus yang sempit dapat memblok
migrasi alami stratum korneum dan bagian medial kanalis akustikus eksternus.
Pada lansia migrasi cenderung menurun dan aurikula, kadang dapat menyebabkan
oklusi parsial pada meatus eksternus dan mencegah eliminasi normal serumen.
Stenosis kanalis akustikus eksternus setelah trauma, infeksi kronis, atau
pembedahan mungkin akan menghalangi eliminasi serumen (Prastowo, B., 2019).

22
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan serumen prop adalah:
• Dermatitis kronik liang telinga luar
• Liang telinga sempit
• Produksi serumen banyak dan kering
• Adanya benda asing di liang telinga
• Kebiasaan mengorek telinga

Patofisiologi
Sumbatan yang terjadi pada pasien dengan efek serumen menunjukkan
adanya lapisan keratin berlebihan yang menyerupai stratum korneum kulit kanalis
profunda. Pemisahan keratosit abnormal mungkin karena aktivitas steroid sulfat
rendah pada statum korneum kanalis profunda, yang dicurigai sebagai penyebab
terjadinya akumulasi serumen. Steroid sulfatase yang memicu terjadinya
pemisahan keratisid dengan cara deaktivasi kolesterol sulfat yang mengikat
bersama sel-sel dalam stratum korneum. Level steroid sulfatase di bagian osseus
kanalis akustikus eksternus menunjukkan lebih tinggi daripada level dibagian
kartilagnosa. Kekurangan steroid sulfat mungkin mencegah pemisahan keratinosit
normal pada stratum korneum bagian osseus dan menyebabkan akumulasi lapisan
keratinosit (Yogantoro, K., 2018).

Manifestasi Klinis
Penderita serumen prop dapat mengeluhkan gejala (Prastowo, B., 2019):
• Keluhan pendengaran yang berkurang disertai rasa penuh pada telinga.
• Impaksi/gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga menyebabkan
rasa penuh dengan penurunan pendengaran (tuli konduktif).
• Terutama bila telinga masuk air (sewaktu mandi atau berenang), serumen
mengembang sehingga menimbulkan rasa tertekan dan gangguan
pendengaran semakin dirasakan sangat mengganggu.

23
• Adanya vertigo atau tinitus. Rasa nyeri timbul apabila serumen keras
membatu dan menekan dinding liang telinga.

Pemeriksaan Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan (Prastowo, B., 2019):
• Pemeriksaan otoskopi: dapat terlihat adanya obstruksi liang telinga oleh
material berwarna kuning kecoklatan atau kehitaman. Konsistensi dari
serumen dapat bervariasi.
• Pemeriksaan penala/garpu tala: dapat ditemukan tuli konduktif akibat
sumbatan serumen.
Sedangkan pada pemeriksaan penunjang tidak ada pemeriksaan penunjang yang
khas. Namun dapat dilakukan pemeriksaan audiometri atau audiometer.

Tatalaksana
Mengeluarkan serumen dapat dilakukan dengan irigasi atau dengan alat-alat
(Yolazenia, Y., Asmawati, A., & Ulfa, L., 2022).
• Serumen yang lembek, maka dibersihkan dengan mempergunakan kapas
yang dililitkan pada peilit kapas.

Gambar 7. Penggunaan aplikator yang dililitkan dengan kapas


• Serumen yang keras, dikeluarkan dengan pengait atau kuret, sedangkan
apabila dengan cara in sukar dikeluarkan, dapat diberikan tetes karbongliserin
10% dulu selam 3 hari untuk melunakkannya.

24
Gambar 8. Metode kuretase untuk mengambil serumen
• Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong ke dalam liang telinga sehingga
dikuatirkan menimbulkan trauma pada membran timpani sewaktu
mengeluarkannya, dapat dikeluarkan dengan mengalirkan (irigasi) air hangat
yang suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh. Perlu diperhatikan sebelum
melakukan irigasi telinga, riwayat tentang adanya perforasi membran
timpani, oleh karena pada keadaan demikian irigasi telinga tidak
diperbolehkan (Yolazenia, Y., Asmawati, A., & Ulfa, L., 2022).

Gambar 9. Teknik irigasi telinga

25
• Pengmabilan serumen menggunakan suction. Bila terdapat keluhan tinitus,
serumen yang sangat keras dan pasien yang tidak kooperatif merupakan
kontraindikasi dari suction.

Gambar 10. Pengambilan serumen menggunakan suction

Komplikasi
Trauma pada liang telinga dan atau membran timpani yang dapat terjadi saat proses
pengeluaran serumen (kebiasaan mengorek telinga).

Prognosis
Secara umum prognosis serumen prop adalah dubia ad bonam. Serumen prop
maupun komplikasinya, umumnya tidak menyebabkan mortalitas. Walau
demikian, terdapat kemungkinan terjadinya gangguan pendengaran permanen
akibat komplikasi infeksi dari serumen prop yang tidak diobati (Yolazenia, Y.,
Asmawati, A., & Ulfa, L., 2022).

KIE
Yang perlu diperhatikan adalah:
• Menghindari membersihkan telinga dengan korek kuping secara berlebihan
baik dengan cotton bud atau lainnya
• Menghindari memasukkan air atau benda apapun ke dalam telinga

26
Otitis Eksterna
Definisi
Otitis eksterna (OE) adalah peradangan pada telinga bagian luar (meatus
acusticus eksternus (MAE), aurikula, atau keduanya baik akut maupun kronis.
Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya
pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel) atau jerawat (Rizqi Damayanti, R.,
2018).

Epidemiologi
Berdasarkan data dari RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun
2013 prevalensi tertinggi terjadinya otitis eksterna ditemukan di Maluku (0,45%),
sedangkan yang terendah di Kalimantan Timur (0,03%). Otitis eksterna dapat
ditemukan pada semua kelompok umur, tetapi paling banyak ditemukan pada usia
sekitar 7-12 tahun. Berdasarkan data yang dikumpulkan mulai tanggal Januari
sampai Desember 2017 di Poliklinik THT RS Umum Daerah Waled di dapatkan
1378 kunjungan baru dimana, dijumpai 366 kasus pada laki-laki dan 323 kasus
pada perempuan (Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).

Etiologi
Otitis eksterna paling sering disebabkan oleh bakteri pathogen seperti
bakteri, jamur, atau virus. Bakteri patogen yang sering menyebabkan otitis
eksterna yaitu Pseudomonas sp. (41%), Streptokokus sp (22%), Staphylococcus
aureus (15%) dan bakteroides (11%). Varietasnya antara lain otitis eksterna oleh
jamur (otomycosis) yang disebabkan oleh jamur Candida albicans dan Aspergillus
niger (Rizqi Damayanti, R., 2018).

27
Faktor Risiko
Beberapa faktor resiko terjadinya otitis eksterna, antara lain (Rizqi Damayanti, R.,
2018):
• Derajat keasaman (pH)
pH pada liang telinga biasanya normal atau asam, pH asam berfungsi sebagai
protektor terhadap kuman. Peningkatan pH menjadi basa (>6) akan
mempermudah terjadinya otitis eksterna yang disebabkan oleh karena
proteksi terhadap infeksi menurun.
• Udara
Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman dan jamur mudah
tumbuh.
• Trauma
Trauma ringan misalnya mengorek-ngorek telinga dengan benda tumpul
seperti cotton bud merupakan faktor predisposisi terjadinya OE.
• Berenang
Terutama jika berenang pada air yang tercemar. Air kolam renang
menyebabkan maserasi kulit dan merupakan sumber kontaminasi yang sering
dari bakteri.
• Penggunaan bahan kimia
Penggunaan bahan kimia seperti hairsprays, shampoo dan pewarna rambut
yang bisa membuat iritasi yang memungkinkan bakteri dan jamur untuk
masuk.
• Kondisi kulit
Kondisi kulit seperti eksema atau dermatitis di mana kulit terkelupas atau
pecah, dan tidak bertindak sebagai penghalang atau pelindung dari kuman
atau jamur.

28
Patofisiologi
Secara alami, sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan
dan dikeluarkan dari membrana timpani melalui MAE. Cotton bud (pembersih
kapas telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan tersebut sehingga sel-
sel kulit mati dan serumen akan menumpuk di sekitar membrana timpani. Masalah
ini juga diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada MAE.
Keadaan diatas dapat menimbulkan timbunan air yang masuk ke dalam MAE
ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab, hangat, dan gelap pada
MAE merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur (Indriana
Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).
Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan
berkurangnya lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel skuamosa.
Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang memudahkan bakteri masuk melalui
kulit, terjadi inflamasi dan cairan eksudat. Rasa gatal memicu terjadinya iritasi,
berikutnya infeksi lalu terjadi pembengkakan dan akhirnya menimbulkan rasa
nyeri. Proses infeksi menyebabkan peningkatan suhu lalu menimbulkan perubahan
rasa nyaman dalam telinga. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan cairan
atau nanah yang bisa menumpuk dalam MAE sehingga hantaran suara akan
terhalang dan terjadilah penurunan pendengaran. Infeksi pada MAE dapat
menyebar ke pinna, periaurikuler dan tulang temporal (Indriana Triastuti, I., &
Sutanegara, S. W. D., 2019).

Manifestasi Klinis
Otalgia merupakan keluhan paling sering ditemukan. Otalgia berat biasa
ditemukan pada otitis eksterna sirkumskripta. Keluhan ini bervariasi dan bisa
dimulai dari perasaan sedikit tidak enak, perasaan penuh dalam telinga, perasaan
seperti terbakar, hingga rasa sakit hebat dan berdenyut. Hebatnya rasa nyeri ini
tidak sebanding dengan derajat peradangan yang ada. Rasa nyeri terasa makin

29
hebat bila menyentuh, menarik, atau menekan daun telinga. Juga makin nyeri
ketika pasien sedang mengunyah (Rizqi Damayanti, R., 2018).
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal
dari otitis eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri
tekan daun telinga. Gatal-gatal paling sering ditemukan dan merupakan pendahulu
otalgia pada otitis eksterna akut. Pada kebanyakan penderita otitis eksterna akut,
tanda peradangan diawali oleh rasa gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak
pada telinga (Rizqi Damayanti, R., 2018).
Pendengaran berkurang atau hilang. Tuli konduktif ini dapat terjadi pada
otitis eksterna akut akibat sumbatan lumen kanalis telinga luar oleh edema kulit
liang telinga, sekret serous atau purulen, atau penebalan kulit progresif pada otitis
eksterna lama. Selain itu, peredaman hantaran suara dapat pula disebabkan
tertutupnya lumen liang telinga oleh deskuamasi keratin, rambut, serumen, debris,
dan obat-obatan yang dimasukkan ke dalam telinga. Gangguan pendengaran pada
otitis eksterna sirkumskripta akibat bisul yang sudah besar dan menyumbat liang
telinga (Rizqi Damayanti, R., 2018).
Gejala dan tanda lain yang dapat dirasakan penderita otitis eksterna yaitu:
• Deskuamasi
• Tinnitus
• Discharge dan otore. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang telinga
(otore). Kadangkadang pada otitis eksterna difus ditemukan sekret/cairan
berwarna putih atau kuning, atau nanah. Cairan tersebut berbau yang tidak
menyenangkan. Tidak bercampur dengan lendir (musin).
• Demam
• Nyeri tekan pada tragus dan nyeri saat membuka mulut
• Infiltrat dan abses (bisul). Keduanya tampak pada otitis eksterna
sirkumskripta. Bisul menyebabkan rasa sakit berat. Ketika pecah, darah dan
nanah dalam jumlah kecil bisa bocor dari telinga.

30
• Hiperemis dan udem (bengkak) pada liang telinga. Kulit liang telinga pada
otitis eksterna difus tampak hiperemis dan udem dengan batas yang tidak
jelas. Bisa tidak terjadi pembengkakan, pembengkakan ringan, atau pada
kasus yang berat menjadi bengkak yang benar-benar menutup liang telinga.

Pemeriksaan Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
• Adanya inflamasi yang terlihat pada liang telinga luar dan jaringan lunak
periaurikuler
• Nyeri yang hebat, yang ditandai adanya kekakuan pada jaringan lunak pada
ramus mandibula dan mastoid
• Membran timpani biasanya intak
• Demam tidak umum terjadi.

Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan:


1) Pemeriksaan Laboratorium
• Peningkatan ladar leukosit
• Peningkatan lanju endap darah bervariasi dengan rata-rata 87 mm/jam
• Kultur dari drainase telinga perlu dilakukan sebelum pemberian
antibiotik
2) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini penting untuk menentukan adanya osteomielitis, perluasan
penyakit, dan respon terapi, seperti CT scan dan MRI keduanya berguna untuk
memeriksa perluasan inflamasi terhadap anatomi jaringan lunak, pembentukan
abses, komplikasi intracranial.

31
Klasifikasi & Tatalaksana
1) Otitis Eksterna Akut

Gambar 11. Otitis eksterna akut


a) Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel)
Otitis eksterna sirkumskripta adalah infeksi yang bermula dari
folikel rambut di liang telinga yang biasanya disebabkan oleh bakteri
gram positif Staphylococcus aureus dan Staphylococcus albus serta
menimbulkan furunkel di liang telinga 1/3 luar (pars cartilagenous). Hal
ini terjadi karena bagian ini mengandung adneksa kulit, seperti folikel
rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar serumen maka di tempat tersebut
dapat terjadi infeksi pada pilosebaseus sehingga membentuk furunkel
(Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019)
Gejala klinis otitis eksterna sirkumskripta berupa rasa sakit pada
telinga mendadak dan terus-menerus, biasanya dari ringan sampai berat,
dapat sangat mengganggu, rasa nyeri makin hebat bila mengunyah dan
menelan makanan. Nyeri dapat hebat karena terbatasnya ruangan untuk
perluasan edema dan tidak mengandung jaringan longgar di bawahnya.
Keluhan penurunan pendengaran, bila furunkel menutup liang telinga.
Rasa sakit bila daun telinga ditarik atau ditekan. Terdapat tanda infiltrat
atau abses bermata pada 1/3 luar liang telinga. Lesi primer biasanya
berupa jerawat kecil yang bisa membesar menjadi furunkel atau

32
menggabungkan dengan beberapa lesi yang sama (Indriana Triastuti, I.,
& Sutanegara, S. W. D., 2019).
Terapi tergantung pada keadaan furunkel. Apabila sudah menjadi
abses, maka dilakukan aspirasi secara steril untuk mengeluarkan
nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam bentuk salep seperti
polymyxin B atau bacitracin, atau anitiseptik asam asetat 2-5% dalam
alkohol. Jika dinding furunkel tebal, dilakukan insisi kemudian dipasang
salir (drain) untuk mengalirkan nanahnya. Biasanya tidak perlu diberikan
antibiotika secara sistemik, hanya diberikan obat simptomatik seperti
analgetik (Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019)
b) Otitis Eksterna Difusa
Otitis eksterna difusa, juga dikenal sebagai telinga perenang
(swimmer’s ear) atau telinga cuaca panas (hot weather ear), adalah
infeksi pada 2/3 medial (dalam) dari liang telinga akibat infeksi bakteri.
Umumnya bakteri penyebab yaitu bakteri gram negatif Pseudomonas
aeruginosa (Bacillus pyocaneus). Bakteri penyebab lainnya yaitu
Staphylococcus albus, Escheria coli, dan Enterobacter aerogenes. Yang
lebih jarang ditemukan adalah bakteri Streptococci dan Proteus vulgaris.
Otitis eksterna difusa dapat juga terjadi sekunder pada otitis media
supuratif kronis (Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).
Gejalanya sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta berupa
nyeri tekan tragus, liang telinga sangat sempit, kelenjar getah bening
regional membesar. Kulit liang telinga terlihat hiperemis dan edema yang
batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel. Kadang ditemukan sekret
berbau namun tidak bercampur lendir (musin). Lendir merupakan sekret
yang berasal dari kavum timpani dan kita temukan pada kasus otitis media
(Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).

33
c) Otomikosis
Infeksi jamur di liang telinga dipengaruhi oleh kelembaban yang
tinggi di daerah tersebut. Penyebab tersering adalah Aspergilus dan
Pityrosporum. Kadang-kadang ditemukan juga Candida albicans atau
jamur lain (Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).
Gejalanya biasanya berupa rasa gatal dan rasa penuh di liang telinga,
tetapi sering pula tanpa keluhan. Pengobatannya ialah dengan
membersihkan liang telinga. Larutan asam asetat 2-5% dalam alkohol,
larutan povidone iodin 5% atau tetes telinga yang mengandung campuran
antibiotic dan steroid yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat
menyembuhkan. Kadang-kadang diperlukan juga obat anti-jamur (sebagai
salep) yang diberikan secara topikal yang mengandung nistatin serta
klotrimazol (Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).

2) Otitis Eksterna Kronis

Gambar 12. Otitis eksterna kronis


Infeksi bakteri maupun infeksi jamur yang tidak diobati dengan baik,
iritasi kulit yang disebabkan cairan otitis media, trauma berulang, adanya
benda asing, penggunaan cetakan (mould) pada alat bantu dengar (hearing aid)
dapat menyebabkan radang kronis. Akibatnya, terjadi stenosis atau
penyempitan liang telinga karena terbentuknya jaringan parut (sikatriks).
Pengobatannya memerlukan operasi rekonstruksi liang telinga (Indriana
Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019).

34
a) Keratosis Obturans dan Kolesteatoma Eksterna
Pada keratosis obturans ditemukan gumpalan epidermis di liang
telinga yang disebabkan oleh terbentuknya sel epitel yang berlebihan yang
tidak berimigrasi kearah telinga luar.
Pada pasien keratosis obturans terdapat tuli konduktif akut, nyeri
telinga yang hebat, liang telinga yang lebih lebar, membran timpani yang
utuh tetapi lebih tebal dan jarang ditemukan adanya sekresi telinga.
Gangguan pendengaran dan rasa nyeri yang hebat disebabkan oleh desakan
gumpalan epitel berkeratin di liang telinga.
Erosi tulang liang telinga ditemukan pada keratosis obturans dan
pada kolesteatoma eksterna. Hanya saja, pada keratosis obturans erosi
tulang yang terjadi menyeluruh sehingga tampak liang telinga menjadi
lebih luas. Sementara, pada kolesteatoma eksterna erosi tulang terjadi
hanya di daerah posteroanterior.
Otore dan nyeri tumpul menahun ditemukan pada kolesteatoma
eksterna. Hal ini, disebabkan oleh karena invasi kolesteatoma ke tulang
yang menimbulkan periosteitis. Pendengaran dan membran timpani
biasanya normal. Kolesteatoma eksterna ditemukan hanya pada satu sisi
telinga dan lebih sering pada usia tua.
Pada kolesteatoma eksterna perlu dilakukan operasi agar
kolesteatoma dan tulang yang nekrotik dapat diangkat sempurna. Tujuan
operasi adalah mencegah berlanjutnya penyakit yang mengerosi tulang.
Indikasi operasi adalah apabila destruksi tulang sudah meluas ke telingah
tengah, erosi tulang pendengaran, kelumpuhan saraf fasialis, terjadi fistel
labirin atau otore yang berkepanjangan. Pada operasi, liang telinga bagian
luar diperluas agar mudah dibersihkan.
Apabila kolesteatoma masih kecil dan terbatas dapat dilakukan
tindakan konservatif. Kolesteatoma dan jaringan nekrotik diangkat sampai
bersih, di ikuti pemberian antibiotik topical secara berkala. Pemberian obat

35
tetes telinga dari campuran alkohol atau gliserin dalah H 2O2 3%, tiga kali
seminggu sering kali dapat membantu.
b) Otitis Eksterna Maligna
Otitis eksterna maligna adalah otitis eksterna yang berlangsung
lama dan ditandai oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks) yang
menyebabkan liang telinga menyempit (stenosis). Pengobatannya
memerlukan operasi rekostruksi liang telinga (Indriana Triastuti, I., &
Sutanegara, S. W. D., 2019).
Manifestasi klinik yang terjadi pada otitis eksterna maligna, yaitu:
• Rasa gatal yang berlanjut menjadi nyeri telinga/otalgia yang sangat
dan terkadang tidak sesuai dengan kondisi penyakitnya (misalnya
pada folikulitis atau otitis eksterna sirkumskripta). Nyeri terutama
ketika daun telinga ditarik, nyeri tekan tragus, dan ketika mengunyah
makanan.
• Disertai pula keluarnya sekret encer, bening sampai kental purulen
tergantung pada kuman atau jamur yang menginfeksi. Pada jamur
biasanya akan bermanifestasi sekret kental berwarna putih keabu-
abuan dan berbau.
• Pendengaran normal atau sedikit berkurang, atau tinnitus
• Demam namun jarang terjadi
• Kulit MAE edema, hiperemi merata sampai ke membran timpani dan
MAE penuh dengan sekret. Jika edema hebat, membran timpani dapat
tidak tampak.

36
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah (Rizqi Damayanti, R., 2018):
• Perikondritis
Radang pada tulang rawan daun telinga yang terjadi apabila suatu trauma
atau radang menyebabkan efusi serum atau pus di antara lapisan
perikondrium dan kartilago telinga luar. Dalam stage awal infeksi, pinna
dapat menjadi merah dan kenyal, diikuti pembengkakan general dan
membentuk abses subperikondrial dengan pus terkumpul di antara
perikondrium dan tulang rawan dibawahnya.
• Selulitis
Peradangan pada kulit dan jaringan subkutan yang dihasilkan dari infeksi
umum, biasanya dengan bakteri Staphylococcus atau Streptococcus. Hal ini
dapat terjadi sebagai akibat dari trauma kulit atau infeksi bakteri sekunder
dari luka terbuka, seperti luka tekanan, atau mungkin terkait dengan trauma
kulit.

Prognosis
Umumnya prognosisnya baik (dubia ad bonam). Paling sering, OE dapat
dengan mudah diobati menggunakan tetes telinga antibiotik. Otitis eksterna kronis
mungkin memerlukan perawatan lebih intensif. Otitis eksterna biasanya tidak
memiliki komplikasi jangka panjang atau serius (Rizqi Damayanti, R., 2018).
Akan tetapi sering kambuh jika kebersihan telinga tidak dijaga, adanya
riwayat penyakit tertentu seperti diabetes yang menyulitkan penyembuhan otitis
sendiri, dan tidak menghindari faktor pencetus dengan baik. Rekurensi penyakit
dilaporkan sekitar 9-27% dari pasien (Rizqi Damayanti, R., 2018).

37
KIE
Yang perlu diperhatikan untuk menghindari otitis eksterna adalah:
• Hindari berenang di kawasan air yang tercemar.
• Gunakan topi penutup telinga saat berenang dan mandi untuk menghindari air
masuk ke dalam telinga.
• Keringkan telinga sekering mungkin usai mandi dan berenang dengan
menggunakan kapas lembut atau handuk yang lembut.
• Kosongkan telinga dari air yang masuk ke saluran telingga hingga seluruh air
benar-benar keluar.
• Tidak memasukkan benda-benda asing secara sembarangan ke dalam telinga,
seperti penyeka kapas, jepit rambut, pena, pensil, atau selainnya.
• Gunakan pembersih telinga hanya saat kotoran telinga sudah keluar ke bagian
luar telinga.

38
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa kelompok kami mensuspek pasien
mengalami gangguan pendengaran yaitu tuli konduksi yang disebabkan oleh
adanya produksi serumen prop yang berlebihan atau dapat karena akibat adanya
obstruksi. Serumen prop adalah akumulasi serum yang berasal dari sekret kelenjar
sebasea, kelenjar seruminosa, deskuamasi epitel, partikel debu dll yang berada di
bagian kartilaginosa liang telinga. Terdapat beberapa faktor risiko penyebab
seperti kebiasaan mengorek telinga, adanya benda asing yang masuk ke dalam
liang telinga dan air yang tidak sengaja masuk ke liang telinga. Keluhan yang
dirasakan dapat berupa penurunan pendengaran, kadang ditemukan adanya vertigo
dan tinnitus. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah otoskopi untuk melihat
liang telinga apakah lapang atau tidak, dan dapat menggunakan pemeriksaan garpu
tala. Pada tuli konduksi akan ditemukan test rinne negatif, tes weber lateralisasi ke
telinga yang sakit/terganggua (telinga kanan) dan tes schwabach memanjang.
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan mengambil serumen
menggunakan aplikator, teknik irigasi ataupun suction. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah adanya trauma pada liang telinga bahkan membrane timpani.

39
DAFTAR PUSTAKA

Eroschenko, V. P. 2017, Atlas Histologi diFiore dengan Kolerasi Fungsional, Edisi


13, Philadelphia: Wolters Kluwer.
Indriana Triastuti, I., & Sutanegara, S. W. D., 2019, Prevalensi Penyakit Otitis Eksterna
di Rsup Sanglah Denpasar Periode Januari-Desember 2014.
Martini, E., Probandari, A., & Pratiwi, D., 2021. Skrining dan Edukasi Gangguan
Pendengaran Pada Anak Sekolah, Indonesian Journal on Medical Science, Vol
4, No 1.
Sherwood, L 2020, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 9, Jakarta: EGC.
Prastowo, B., 2019, Evaluasi Pelatihan Ekstraksi Serumen Pada Dokter Layanan
Primer. Medica Hospitalia, Journal of Clinical Medicine, Vol 4, No 3.
Rizqi Damayanti, R., 2018, Karakteristik Penderita Otitis Eksterna di Poliklinik THT-
KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
Snell, RS, 2012, Anatomi Klinik, Edisi 15, Jakarta: EGC.
Yogantoro, K., 2018, Penggunaan Ear Candle Pada Serumen Prop Menurut
Kedokteran dan Pandangannya Menurut Islam, Doctoral Dissertation,
Universitas YARSI.
Yolazenia, Y., Asmawati, A., & Ulfa, L., 2022, Edukasi Menjaga Kesehatan Telinga
dan Pemeriksaan Telinga pada Anak Panti Asuhan di Desa Rimbo Panjang,
Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Jurnal Kreativitas Pengabdian
Kepada Masyarakat, Vol 5, No 4, Hh 1212-1219.

40

Anda mungkin juga menyukai