Anda di halaman 1dari 26

i

REFERAT
“FISIOLOGI PENDENGARAN DAN AUDIOMETRI”

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, Leher (THT-KL)

Pembimbing:

dr. Edy Riyanto, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:

Dian Febriani 120810015

Nyawitri Desy W 120810042

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON
RSUD WALED KAB. CIREBON
CIREBON
2021
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas
referat ini dengan judul “FISIOLOGI PENDENGARAN DAN AUDIOMETRI “.
Tugas referat ini diajukan untuk memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
THT-KL di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak menemukan kesulitan.
Namun berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya laporan
kasus ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. H. Edy Riyanto Bakri, Sp.THT-KL, selaku Ketua SMF Ilmu THT-KL
RSUD Waled Kab. Cirebon, konsulen dan dokter pembimbing kami,
terimakasih atas kesempatan kami menimba ilmu, bimbingan dan juga
arahannya.
2. Semua staff dan perawat bagian SMF Ilmu THT-KL RSUD Waled Kab.
Cirebon, terima kasih atas bimbingan dan arahannya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh
karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam tema dan judul yang diangkat dalam referat ini. Akhir kata
semoga referat ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak-pihak yang
membutuhkan umumnya.

Cirebon, Juni 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

REFERAT......................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2.1 Tujuan Umum..........................................................................................2

1.2.2 Tujuan Khusus.........................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3

2.1 Anatomi...........................................................................................................3

2.1.1 Telinga Luar............................................................................................3

2.1.2 Telinga Tengah........................................................................................4

2.1.3 Telinga Dalam.........................................................................................6

2.1.3 Fisiologi Pendengaran...........................................................................10

2.1.3 Audiometri..........................................................................................................12

2.2.1 Definisi Audiometri...............................................................................12

2.2.2 Jenis Audiometri....................................................................................12

2.2.3 Audiogram.............................................................................................15

BAB III PENUTUP.....................................................................................................22

3.1 Kesimpulan...................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Audiologi adalah ilmu pendengaran yang meliputi evaluasi pendengaran


dan rehabilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan dengan
gangguan pendengaran. Ada dua untuk melakukan evaluasi yaitu pertama, untuk
mendiagnosis lokasi dan jenis penyakit dan kedua, untuk menilai dampak
gangguan pendengaran terhadap proses belajar, interaksi dan pekerjaan.1

Pemeriksaan pendengaran dapat meningkatkan presisi dalam


mendiagnosis lokus patologis dan penyakit-penyakit spesifik. Pasien-pasien
dengan penyakit berbeda pada daerah yang sama (misalnya ketulian dan sindrom
Meniere keduanya melibatkan koklearis) melaporkan pengalaman pendengaran
yang berbeda dan akan memberikan temuan audiometri yang berbeda pula.
Demikian juga dengan kualitas gangguan pendengaran akan mengakibatkan
keterbatasan dalam keahlian yang memerlukan perhatian, perkembangan
berbahasa, presisi bicara dan efektivitas komunikasi umum sesuai dengan derajat
dan jenis gangguan. 1

Terdapat berbagai metode uji pendengaran yaitu uji penala, audiometri


nada murni, audiometric tutur, uji-uji khusus dan audiometri ini adalah sangat
penting untuk mengetahui fungsi pendengaran dan mengetahui penyakit- penyakit
gangguan pendengaran.1

1.2 Tujuan Umum


Tujuan penulsan referat ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai
fisiologi pendengaran dan audiometri.

1.3 Tujuan Khusus

1
2

Untuk memenuhi tugas pembuatan referat pada Kepaniteraan Klinik THT-KL


di RSUD Waled Kabupaten Cirebon.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA


Telinga manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan
merubah bunyi berupa energi mekanis menjadi energi elektris secara efisien dan
diteruskan ke otak untuk disadari serta dimengerti, sebagai sistem organ
pendengaran, telinga dibagi menjadi sistem organ pendengaran perifer dan sentral.
Gangguan pendengaran mengakibatkan seseorang kesulitan mendengar
pembicaraan sehingga terjadi gangguan komunikasi yang dapat berdampak
negatif terhadap pekerjaan, pendidikan dan hubungan sosial, hal tersebut dapat
menimbulkan depresi. Gangguan pendengaran pada anak yang didapatkan sejak
lahir akan menjadi penderita tuli dan bisu.
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
tympani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang
diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
(meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam
rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm. Meatus dibatasi
oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat
yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar
apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat
berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen
berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi1.
Meatus akustikus eksterna. selain sebagai tempat penyimpanan serumen,
juga berfungsi untuk meningkatkan sensitifitas telinga dalam 3000 Hz – 4000 Hz.
Saluran ini memiliki panjang sekitar 2,5 cm. Gendang telinga atau membran

3
4

timpani, memiliki ketebalan sekitar 0,1 cm dan luas sekitar 65mm2. Gendang ini
menyalurkan getaran di udara ke tulang-tulang kecil telinga tengah.

Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal
Telinga1

2.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
 Batas luar : Membran timpani
 Batas depan : Tuba eustachius
 Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
 Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
 Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
 Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval
window),tingkap bundar (round window) dan
promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars
flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane
5

propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam1.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut umbo. Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani1.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam
telinga tengah saling berhubungan .Prosesus longus maleus melekat pada
membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian1.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada
lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan.
Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes
yang mempunyai fungsi konduksi suara. Maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh
epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik.
Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga
tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah
yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah1.
Telinga tengah terdiri dari 3 buah tulang (ossicle) yaitu malleus, incus dan
stapes. Malleus menempel pada membran timpani sedangkan stapes menempel
pada oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang berisi cairan.
Suara yang masuk 99,9% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang di
transmisi/diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran timpani
6

bersifat “per” sedangkan pada frekuensi 4.000 Hz membran timpani akan


menegang.

Gambar 2.2 : Membran Timpani1

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran


eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan
antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut
menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras,
membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran
tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan
masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan
yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani1.

2.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli2.
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap2.
7

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada
membran ini terletak organ corti2.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti2.

Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga
Dalam2

Koklea
Bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia
panjangnya 35mm. Koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang
mengelilingi sumbunya. Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari
pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea bagian tulang dibagi dua oleh
dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina spiralis ossea.
8

Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis membranasea.


Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian
atas) dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung
koklea. Tempat ini dinamakan helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra
ovale dan skala timpani berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan
antara lamina spiralis membranasea kearah perifer atas, terdapat membrane yang
dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini, terbentuk
saluran yang dibatasi oleh:2
2. membrane reissner bagian atas
3. lamina spiralis membranasea bagian bawah
4. dinding luar koklea
Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane
yang berisi endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum
spiralis.disini, terdapat stria vaskularis, tempat terbentuknya endolimf2.

Gambar 2.4 : Koklea2

Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada


membarana basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya
membrane basilaris dari basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis
ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea.
Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari koklea2.
9

Gambar 2.5 : Organ korti2

Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane
tektoria. Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan
alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang,
sel-sel persepsi yang mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat
ruangan (saluran) yang berisi kortilimf2.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus
reunions. Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani
menimbulkan penonjolan pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini
dinamakan promontorium2.

Vestibulum
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga
berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale)
yang berhubungan dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot
plate) dari stapes. Di dalam vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian
membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus
berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang
bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu lilpatan dari
duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini
dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu2.
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel
penunjang yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli.
Sedangkan pada utrikulus, dinamakan macula utrikuli2.
10

Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak
lurus satu sama lain. Didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran
yang terbenam dalam perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan
dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis
semisirkularis horizontalis (lateralis)2.
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania
media dan tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia
arkuata. Kanalis semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi
sirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar dari kedua kanalis
semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada vestibulum
sebagai krus komunis2.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis
semisirkularis ossea. Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf.
Didalam kanalis semisirkularis membranasea terdapat endolimf. Pada tempat
melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-sel persepsi. Bagian ini
dinamakan ampulla2.
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada
Krista ampularis yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari
sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous
yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat menutup seluruh ampulla2.

2.1.4 FISIOLOGI PENDENGARAN


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang
kekoklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong3. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
11

pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner


yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara
membran basilaris dan membran tektoria 3. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis4,5

Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran4

Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval


mengikuti dua jalur: (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada
vestibularis ke depan, kemudian mengelilingi helikotrema menuju basilaris yang
akan menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar dalam rongga telinga tengah
untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dan (2) “jalan pintas” dari skala
melalui basilaris ke skala timpani. Perbedaan kedua jalur ini adalah transmisi
gelombang tekanan melalui basilaris menyebabkan ini bergetar secara sinkron
dengan gelombang tekanan.
Organ corti menumpang pada basilaris, sehingga sel-sel rambut juga
bergerak naik turun sewaktu basilaris bergetar. Rambut-rambuttersebut akan
12

membengkok ke depan belakang sewaktu basilaris menggeser posisinya pada


sehingga menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis terbuka dan tertutup
secara bergantian. Hal ini mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di
reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga
terjadi perubahan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak.
Gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dipersepsikan otak
sebagai sensasi suara.5

2.2 AUDIOMETRI
2.2.1 Definisi Audiometri

Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar

dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk

mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk

menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan

pendengaran 6
.

2.2.2 Jenis Audiometri

Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara,


audiologis dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan
adalah.

A. Audiometri nada murni

Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat
menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-
2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang
dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang
13

yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk mengukur ketajaman


pendengaran melalui hntaran udara dan hantran tulang pada tingkat intensitas nilai
ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara.
Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan derajat kurang
pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang
berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang
baku pendengaran untuk nada murni.7

Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran


frekuensi 20-20.000 Hz. Frekuensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk
memahami percakapan sehari-hari.

Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran.

Kehilangan dalam Desibel Klasifikasi

0-25 Pendengaran normal

>25-40 Kehilangan pendengaran ringan

>40-55 Kehilangan pendengaran sedang

>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang


sampai berat

>70-90 Kehilangan pendengaran berat

>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien


pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-
beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas.
Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan earphone (air
kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap
maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh
bone conduction menggambarkan SNHL7
14

B. Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah uji pendengaran yang menggunakan kata-kata terpilih
yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk
mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur
sama dengan audiometri nada murni, hanya disni sebagai alat uji pendengaran
digunakan daftar kata terpuilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut
dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan
dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke telinga
yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan
hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui
audiometer tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata
yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena
intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk menebaknya.
Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap
denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang
absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya
adalah presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur
dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu :
1. Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata
yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang
lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan
desibel (dB).
2. Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan
bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan
nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah
persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan
intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri
nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak
saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.7
15

Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata yang jelas
artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai 50% tidak dapat
menirukan kata-kata dengan tepat.

 Jumlah kata yang benar > speech discrimination score:

• 90-100% : normal

• 75-90% : tuli ringan

• 60-75% : tuli sedang

• 50-60% : sukar mengikuti pembicaraan sehari-hari

• <50% : tuli berat

2.2.3 Audiogram

Interpretasi Auidogram
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut

konduksi tulang (BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik

AC maupun BC, maka akan didapatkan didalam audiogram.7,

Audiogram Normal

Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran


udara maupun hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun keadaan ideal
seperti ini sulit tercapai terutam pada frekuensi rendah bila terdapat bunyi
lingkungan (ambient noise). Pada keadaan tes yang baik, audiogram dengan
ambang dengar 10 dB pada 250, 500 Hz 0 dB pada 1000, 2000,4000, 10000 Hz
pada 8000 Hz dapat dianggap normal.7
16

2.3 Gambar audiogram pada orang normal

URUTAN MELAKUKAN TES AUDIOMETRI


NADA MURNI Terdiri dari ;
a. Air Conduction (AC) : tes pendengaran lewat udara (head phone)
Head phone merah = kanan
Head phone biru = kiri
Kode : AC kanan : O Masking :
AC kiri : X Masking :
b. Bone Conduction (BC) : Tes pendengaran lewat tulang (Vibrator)
BC kanan : > Masking :
BC kiri : < Masking :

Keterangan gambar Audiogram


17

2.4 Gambar Audiogram

 Garis Horizontal untuk dB 0


 Garis Vertikal untuk Frekuensi
 Garis tebal pada 20 dB : batas normal
 Antara 2 garis vertikal ada garis bayangan untuk frekuensi ½ oktav :
o 750 Hz (antara 500 & 1.000 Hz)
o 1500 Hz (antara 1.000 & 2.000 Hz)
o 3000 Hz (antara 2.000 & 4.000 Hz)
o 6000 Hz (antara 4.000 & 8.000 Hz)
 ½ Oktav diperlukan pada Audiogram yang curam 90 contohnya pada
Audiogram Ototoxsic

Teknik Manual Audiometri Nada Murni :


1) Dimulai dari telinga yang baik.
2) AC terlebih dahulu, baru BC.
3) Diawali dari 1.000 Hz (sebab frekuensi ini paling enak didengar) pada
40 dB, kalau 40 dB tidak mendengar naikkan 20 dB menjadi 60 dB,
kemudian turunkan setiap 10 dB sampai tidak mendengar sama sekali
kemudian naikkan 5 dB. Catat di Audiogram. Berikutnya 2.000 Hz,
4.000 Hz, 8.000 Hz, kembali ke 1.000 Hz, 500 Hz, 250 Hz.
18

4) Pemberian Stimulus secara interuptor, tidak monoton. Pemeriksaan


telinga sehat selesai.
5) Pindah ke telinga yang sakit.
6) Kalau AC 1.000 Hz pada telinga yang sakit ada gab lebih dari 40 dB,
tes AC dihentikan terlebih dahulu. Kita lakukan tes Weber
menggunakan Vibrator dengan maksud agar ada gambaran bahwa
yang sakit SNHL / CHL. Lateralisasi ke yang sehat : SNHL
Lateralisasi ke yang sakit : CHL
7) AC tertinggi : 100 Db.
8) Nilai ambang dicatat pada Audiogram sampai selesai pada semua
frekuensi.
9) Kemudian kita lakukan tes BC, prosedur sama dengan di atas. Untuk
BC hanya 500 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, 4.000 Hz. BC tertinggi : 65 dB
10) BC harus lebih baik daripada AC karena BC langsung Kokhlea atau
BC identik dengan tuli SNHL.
11) Air Bone Gab lebih dari 40 dB adalah pemeriksaan yang salah (bisa
salah pada BC atau AC).
12) Pemasangan vibrator jangan menyentuh pina.
13) Pada Borneo Fenomena, BC pada 500 Hz dibawah AC, biasanya pada
penderita Presbycusis.
Masking
Apabila AC kanan dan kiri gab lebih 40 dB perlu dilakukan
masking, dari AC yang baik akan dirembetkan ke telinga yang sakit.
Untuk menghindari ini, telinga yang sehat kita beri suara masking.
Kalau tidak dilakukan masking akan terbentuk gambaran Audiogram
palsu.
Apabila gab AC kanan dan kiri lebih dari 10 dB, untuk melakukan
BC pada telinga yang sakit perlu dilakukan masking. Atau setiap
melakukan BC sebaiknya menggunakan Masking.
19

Contoh Audiogram Nada Murni AC yang perlu menggunakan


Masking :
Pada telinga yang sehat AC 1.000 Hz umpama 10 dB, pada telinga
yang sakit 60 dB. Berarti ada gab 50 dB (melebihi 40 dB), hal seperti
ini perlu dilakukan masking.
Cara melakukan Masking
1. Pada telinga yang sehat di 1.000 Hz diberikan Masking
Nerobenoise (NBNoise) sebesar 40 dB (tabel) + 10 dB (AC 1.000
Hz yang sehat) = 50 dB.
2. Apabila AC yang sakit setelah diberi Masking turun menjadi 70 dB
maka Masking ditambah 10 dB lagi, menjadi 60 dB.
3. Apabila setelah diberi Masking 60 dB, AC yang sakit menjadi 80
dB maka Masking ditambah lagi 10 dB menjadi 70 dB.
4. Pada pemberian 70 dB tersebut AC yang sakit tetap pada 80 dB
maka pemeriksaan ini sudah benar yaitu 80 dB adalah hasil AC
Masking.
Audiogram AC yang sakit hasil dari masking, kode menggunakan
Masking.
Contoh Audiogram AC, Kanan dbn, kiri AC menggunakan masking ;

2.5 audiogram menggunakan masking


20

Interpretasi

Audiogram Normal :

 AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB.


 AC dan BC berimpit, tidak ada air-bone gap

Tuli Konduktif :

 BC normal atau kurang dari 25 dB. AC lebih dari 25 dB.


 Antara AC dan BC terdapat air-bone gap.

Tuli sensori neural :

 AC dan BC lebih dari 25 dB.


 AC dan BC berimpit, tidak ada airbone gap

Tuli Campuran:
21

 BC lebih dari 25 dB AC lebih besar dari BC,


 terdapat airbone gap

Pada interpretasi audiogram harus ditulis :

a. Telinga mana yang diperiksa,


b. jenis ketulian,
c. derajat ketulian

Contoh: telinga kiri tuli konduktif sedang

Disebut terdapat air-bone gap apabila antara AC dan BC terdapat perbedaan lebih
atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekuensi yang berdekatan.

Derajat ketulian ISO :

 0 – 25 dB : normal
 > 25 – 40 dB : tuli ringan
 > 40 – 55 dB : tuli sedang
 > 55 – 70 dB : tuli sedang berat
 > 70 – 90 dB : tuli berat
 > 90 dB : tuli sangat berat

BAB III
22

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Getaran suara diterima oleh daun telinga lalu dihantarkan ke liang telinga
mengenai membrane timpani sehingga membrantimpani bergetar Getaran
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, stapes. Stapes
menggerakan foramen ovale dan perilimfe dalam skala vestibulli, getaran
diteruskan melaluli membrane reissner dan mendorong endolimfe, yang
menimbulkan gerak relative antara membrane basilaris dan membrane tektoria,
terjadi rangsang mekanik dan menyebabkan defleksi stereosilia sel-sel rambut
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelpasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Timbul depolarisai sel rambut, dan melepaskan neurotransmitter kedalam
sinaps yang menimbulkan potensial aksi disaraf auditorius dan dilanjutkan ke
nucleus auditorius sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

pemeriksaan audiometri bertujuan untuk ketajaman pendengaran dan


untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan
pendengaran.
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-6.


Richard S. Snell; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa
Indonesia, Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC , 2006
2. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.
Chapter 23.The McGraw-Hill Companies. 2004
3. Guyton A.C and Hall,J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi-12.
Singapure: Elsevier: 2014.
4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi-8. Jakarta: EGC:
2014.
5. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggirokan, Kepala, Dan Leher Edisi Ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2014.
6. Jama. The journal of the American medical association. Vol 295. No 4.
7. Adam boies higler. Boies Buku Ajar Penyakit THT. EGc. Edisi 6. 1997.

Anda mungkin juga menyukai