Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA TELINGA

Disusun oleh:

Bagas Aji Pradika (21409021011)

Jihan Aulia Fairuzzahra (21409021006)

Dina Fulaisifa (21409021012)

Pembimbing:

dr. Nila Santia Dewi, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARAN

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

RSUD KRMT WONGSONEGORO SEMARANG

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : 1. Bagas Aji Pradika (21409021011)

2. Jihan Aulia Fairuzzahra (21409021006)

3. Dina Fulaisifa (21409021012)

Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Wahid Hasyim Semarang

Bagian : Ilmu THT K.R.M.T Wongsonegoro

Periode : 22 November 2021 – 18 Desember 2021

Judul : Pemeriksaan Penunjang pada Telinga

Pembimbing : dr. Nila Santia Dewi, Sp.THT-KL

Telah diperiksa dan disahkan tanggal: 1 Desember 2021

Semarang, 1 Desember 2021

dr. Nila Santia Dewi, Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat

rahmat dan petunjuk-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas referat

Kepaniteraan Klinik Ilmu THT yang berjudul Pemeriksaan Penunjang Pada

Telinga. Adapun tujuan penulisan referat ini untuk memenuhi salah satu

persyaratan dalam menempuh kegiatan. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Wahid Hasyim di RSUD K.R.M.T

Wongsonegoro pada periode 22 November 2021 – 18 Desember 2021.

Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada

pembimbing dr. Nila Santia Dewi, Sp.THT-KL yang telah membimbing selama

ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan

keluarga yang selalu memberikan support kepada penulis. Penulis menyadari

dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis

memohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan. Penulis juga

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari segala pihak agar menjadi

lebih baik. Semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi bagi semua

yang membacanya. Atas perhatian dan dukungannya penulis mengucapkan

terimakasih.

Semarang, 2 Desember 2021

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................4

2.1 Anatomi Telinga ...................................................................................4

2.2 Fisiologi Telinga Tengah ....................................................................12

2.3 Pemeriksaan Penunjang pada Telinga ................................................15

2.3.1 Audiometri ......................................................................................15

2.3.2 Timpanometri ..................................................................................24

2.3.3 OAE .................................................................................................27

2.3.4 BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry) ............................30

2.3.5 ASSR (Auditory Steady State Response) .........................................33

2.3.6 Play Audiometri ...............................................................................34

2.3.7 BOA (Behavioral Observation Audiometry) ...................................35

BAB III...............................................................................................................41

KESIMPULAN ..................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................42

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi telinga ..................................................................................4


Gambar 2. Bagian-bagian auris media dan batas batas auris media ....................6
Gambar 3. Telinga tengah ....................................................................................9
Gambar 4. Auris interna .....................................................................................10
Gambar 5. Tes audiometri ..................................................................................16
Gambar 6. Hasil audiometri ...............................................................................17
Gambar 7. Gelombang BERA............................................................................33
Gambar 8. Play audiometri ................................................................................35
Gambar 9. Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry ..........................36
Gambar 10. Tes distraksi yang dilakukan pada anak .........................................39
Gambar 11. Pemeriksaan VRA ..........................................................................40

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan pada telinga dapat dilakukan anamnesa untuk menggali

keluhan pada pasien dan tanda-tanda dari pemeriksaan fisik, selain perlu juga

dilakukan pemeriksaan penunjang pada telinga. Pemeriksaan penunjang ini guna

untuk menilai apakah terjadi gangguan fisiologis pada telinga atau tidak.

Pemeriksaan penunjang ini sudah sering dilakukan salah satunya yaitu untuk

menilai derajat ketulian pada pasien. Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli

konduktif atau tuli sensorineural (perpestif). Tuli konduktif sendiri disebabkan

oleh kelainan yang terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Sedangkan tuli

sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.tuli

sensorineural koklea disebabkan oleh adanya aplasia (kongenital), labirintis ,

intoksikasi obat streptomisin, asetosal, atau alcohol. Selain itu juga dapat

disebabkan oleh tuli mendadak , trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan

bising.1

Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tmor

sudut pons cerebellum, cedera kotak dll. Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh

suara keras dan usia lanjut akan menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada

inggo di bagian basal koklea. Untuk dapat membedakan tuli koklea dan tuli

1
retrokoklea diperlukan pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari tes SISI

(Short Increment Sensitivity Index), tes ABLB (Alternate Binaural loudness

balance test), tes kelelahan (tone decay), Audiometri tutu (speech audiometry),

audio metri Bekesy. Audiometri khusus, audiometri objektif, pemeriksaan tuli

anorganik dan pemeriksaan audiometri anak.2,3

Untuk mempelajari audiometri khusus diperlukan pemahaman istilah

rekrutmen yaitu fenomena terjadi peningkatan sensitivitas pendengaran yang

berlebih diatas ambang dengar. Dan kelelahan yang merupakan adaptasi dari

tanda khas pada tuli retrokoklea akan mudah cepat Lelah apabila saraf

pendengaran dirangsang terus menerus. Selanjutnya pada pemeriksaan

audiometri objektif dapat dilakukan dengan 4 cara pemeriksaan , pada audiometri

impedans dilakukan pemeriksaan kelenturan membrane timpani dengan tekanan

tertentu pada meatus akustikus eksterna.2

Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini

mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi / anak hanya

bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi

kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal seorang bayi telah

memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat

tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan

pendengaran.1,2

Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi

dan anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu

2
pemeriksa harus memiliki pengetahuarı tentang hubungan antara usia bayi anak

dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik. Berdasarkan pertimbangan

tersebut adakalanya perłu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan

tambahan untuk melakıkan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya. Beberapa

pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak; 1.

Behavioral Observation Audiometry (BOA) 2. Timpanometri 3. Audiometri

bermain (play audiometry) 4. Otoacoustic Emission (OAE) 5. Brainstem Evoked

Response Audiometry (BERA)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi telinga

Secara anatomis telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu auris externa, auris

media dan auris interna. Auris externa terdiri dari aurikula, meatus akustikus eksternus

dan membran timpani. Auris media, terdiri atas kavitas timpani dengan tuba Eustachius,

dan sistem seluler mastoid disebut sebagai middle ear cleft. Auris interna terdiri dari

labyrinthus osseus (vestibulum, tiga canalis semisirkularis ossus dan koklea) dan

labirinthus membranaceus (ductus semisirkularis, ductus koklearis dan dua saccus

utriculus dan sacculus).4

4
2.1.1 Auris Externa/Telinga Luar

a. Auricula

Merupakan tulang rawan yang dilapisi kulit disebut helix , dan pada

bagian inferior helix disebut lobus aurikula. tepat dianterior liang meatus

acusticus externus terdpaat peninggian disebut tragus. pada permukaan luar

aurikula yang lebih superficial dipersarafi oleh nervus auricularis magnus

(bagian anterior dan posterior inferior) dan nervus occipitalis minor

(bagian posterior superior ) dari plexus cervikalis dan ramus

auriculotemporalis nervus mandibularis. Bagian auricula lebih dalam

dipersarafi oleh nervus vagus (X) cabang auricularis dan nervus facialis

(VII) yang mengirim cabang ke ramus auricularis nervus vagus.

vaskularisasi pada auricula disuplai oleh arteria carotis externa yang

menyuplai auricularis posterior, arteria temporalis superficialis menyuplai

cabang cabang auricularis anterior dan arteria occipitalis menyuplai satu

cabang.4

b. Meatus Austicus externus

MAE terbentang dari bagian dalam concha auricula sampai membaran

timpani. Dindingnya terdiri dari ⅓ tulang rawan (pars cartilagenous) dan ⅔

medial adalah tulang (pars osseus).

c. Membrana tympani

Membrana timpani terdiri atas pars tensa dan pars flaccida. Pars tensa

terdiri atas muka lapisan fibrosa dan kutan. Sedangkan pars flaccida terdiri

5
atas mukosa dan kutan. 2 Persarafan sensorium kulit pada permukaan luar

membaran timpani terutama oleh nervus auriculotemporalis, cabang nervus

mandibularis dengan tambahan dari ramus auricularis nervus vagus.

Persarafan sensorium membrana mukosa pada permukaan dalam

membrana timpani dibawa seluruhnya oleh nervus glosopharyngeus. 4

2.1.2 Auris media/ Telinga Tengah

Gambar 2. Bagian-bagian auris media dan batas batas auris media4

a. Kavitas timpani

Kavitas timpani (rongga timpani) atau rongga telinga tengah, adalah

ruang sempit berisi udara di bagian petrosa tulang temporal. Rongga

tersebut memiliki dua bagian, yaitu tympanic cavity proper, ruang yang

langsung berada di dalam membran timpani, dan epitympanic recess, ruang

yang berada di superior membran. Kavitas timpani dihubungkan secara

anteromedial dengan nasofaring oleh tuba Eustachius dan secara

posterosuperior dengan sel mastoid melalui mastoid antrum. Kavitas

timpani dilapisi dengan mukus membran yang bersambung dengan selaput

6
tuba Eustachius, sel mastoid, dan antrum mastoid. Isi telinga tengah adalah

tulang pendengaran (maleus, incus, dan stapes) otot stapedius dan tensor

timpani,saraf korda timpani,cabang CN VII, pleksus saraf timpani. 5

Batas-batas auris media terdiri dari 6 dinding yaitu pada bagian atap

paries tegmentalis, bagian dasar paries jugularis, bagian dinding anterior

paries caroticus, dinding posterior paries mastoideus, dinding medial paries

labyrinthicus dan dinding lateral paries membranaceus. Bagian atap paries

tegmentalis dibentuk oleh plat tipis tulang, tegmen timpani, yang

memisahkan rongga timpani dari duramater di floor fossa kranial tengah.

Bagian dasar paries jugularis dibentuk oleh lapisan tulang yang

memisahkan rongga timpani dari bulbus superior vena jugularis interna.

Bagian dinding anterior paries caroticus memisahkan rongga timpani dari

kanal karotis. Dinding posterior paries mastoideus memiliki lubang di

bagian superiornya, yaitu aditus ke antrum mastoid, menghubungkan

rongga timpani ke sel mastoid. Dinding medial paries labyrinthicus

memisahkan rongga timpani dari telinga bagian dalam. Dinding lateral

paries membranaceus dibentuk hampir seluruhnya oleh puncak konveksitas

membran timpani.4

b. Tuba Eustachius

Saluran yang menghubungkan auris media dengan nasofaring. bagian

lateral tuba merupakan bagian yang bertulang sedangkan ⅔ medial tuba

merupakan bagian yang bertulang rawan. Tuba Eustachius dilapisi oleh

selaput lendir yang kontinu di posterior dengan rongga timpani dan di

7
anterior dengan nasofaring. Fungsi tuba Eustachius adalah untuk

menyamakan tekanan di telinga tengah dengan tekanan atmosfer, sehingga

memungkinkan pergerakan bebas membran timpani. Arteri dari tuba

Eustachius berasal dari arteri faringeal asendens, cabang dari arteri karotis

eksternal, dan arteri meningeal media dan arteri saluran pterigoid, cabang

dari arteri maxillaris. Vena dari tuba Eustachius mengalir ke dalam pleksus

vena pterigoid. Drainase limfatik dari tuba ke deep cervical lymph nodes.

Saraf tuba faringotimpani berasal dari pleksus timpani yang dibentuk oleh

serabut saraf glossopharyngeal (CN IX). Di anterior, tuba juga menerima

serabut dari ganglion pterigopalatina.4,5

c. Ossicula auditiva

Ossicula auditiva merupakan tulang tulang pendengaran yang terdiri

dari malleus, incus, dan stapes yang membentuk rantai tulang yang

menyebrangi auris media dari membran tympani ke fenestra vestibuli auris

interna. Maleus menempel pada membran timpani. Kepala maleus superior

yang bulat terletak pada epitympanic recess. Leher maleus terletak pada

bagian flaccid dari membran timpani, dan handle of the malleus tertanam

di membran timpani, dengan ujungnya di umbo; dengan demikian maleus

bergerak bersama membran. Kepala maleus berartikulasi dengan incus;

tendon tensor timpani masuk ke dalam pegangannya di dekat leher. Korda

timpani melintasi permukaan medial leher maleus. Maleus berfungsi

sebagai pengungkit, dengan dua prosesus yang lebih panjang dan

gagangnya menempel pada membran timpani.6

8
Incus terletak di antara maleus dan stapes dan berartikulasi

dengannya. Incus memiliki sebuah body dan dua limbs. Bagian body

terletak di epitympanic recess. Bagian limb yang panjang terletak sejajar

dengan handle of malleus, dan ujung interiornya berartikulasi dengan

stapes melalui prosesus lentikular. Bagian limb yang pendek dihubungkan

oleh ligamen dinding posterior rongga timpani.5

Stapes adalah tulang pendengaran terkecil. Stapes memiliki kepala,

dua limbs, dan basis. Bagian kepala berartikulasi dengan incus. Basis

(footplate) stapes menempel pada jendela oval di dinding medial rongga

timpani. Basis oval menempel pada tepi jendela oval. Basis dari stapes jauh

lebih kecil dari membran timpani; Akibatnya, gaya getaran stapes

meningkat kira-kira 10 kali lipat dari pada membran timpani. Akibatnya,

tulang pendengaran meningkatkan gaya tetapi menurunkan amplitudo

getaran yang ditransmisikan dari membran timpani melalui ossicles ke

telinga dalam.

Gambar 3. Telinga tengah5

9
2.1.3 Auris interna / telinga dalam

Gambar 4. Auris interna4

Auris interna terdiri dari serangkaian cavitas tulang dan ductus dan

saccus membranaceus (labyrinthus membranaceus) di dalam cavitas.

Labyrinthus osseus terdiri dari vestibulum , tiga canalis semicircularis ossus.

dan cochlea. Labyrinthus osseus ini dilapisi oleh periosteum dan berisi cairan

jernih (perilympha). 5

Labyrinthus osseus vestibulum yang berisi fenestra vestibuli pada dinding

lateralnya, merupakan bagian pusat labyrinthus osseus. di anterior vestibulum

ini berhubungan dengan cochlea dan di posterosuperior dengan canalis

semisircularis.6

a. Canalis semisirkularis terbagi menjadi canalis semicircularis anterior,

posterior dan lateralis. Setiap canalis membentuk ⅔ lingkaran yang pada

kedua ujungnya berhubungan dengan vestibulum dan dengan salah satu

ujungnya melebar membentuk ampulla.

b. Cochlea merupakan struktur tulang yang membelit sebanyak 2½ sampai

10
2 ¼ kali mengelilingi columna centralis tulang (modiolus). struktur ini

menghasilkan struktur berbentuk konus/ kerucut dengan basis cochlea

yang menghadap ke arah posteromedial dan apek menghadap

anterolateral. Pada ductus cochlearis membentuk dua canalis ( scala

vestibuli dan scala tympani ) yang meluas di seluruh cochlea dan

berhubungan satu dengan yang laib pad apex melalui suatu celah sempit

(helicotrema).5,6

Labyrinthus membranaceus

Merupakan sistem berkelanjutan dari ductus dan sccus di dalam

labyrinthus osseus. struktur ini diisi oleh endolympha dan dipisahkan dari

periosteum yang menutupi dinding labyrinthus osseus oleh perilympha.

terdiri dari 2 saccus (utriculus dan sacculus) dan empat ductus (tiga ductus

semisircularis dan ductus cochlearis), labyrinthis membarnaceus mempunyai

fungsi yang berkaitan dengan pendengaran.5

2.1.4 Organ Pendengaran5,6

Ductus cochlearis mempunyai posisi centralis dalam cochlea

labyrinthus osseus yang terbagi menjadi dua saluran (scala vestibuli dan scala

tympani). Ductus cochlearis tersebut terpelihara pada posisinya oleh

perlekatan di pusat dengan lamina modioli, yang merupakan lempeng tipis

perluasan tulang dari modiolus (bagian pusat inti tulang cochlea), dan di

perifer dengan dinding luar cochlea . Dengan demikian, bentuk segitiga ductus

cochlearis mempunyai :

11
- Dinding luar berhadapan dengan tulang cochlea yang terdiri dari penebalan

periosteum yang dilapisi epithelium (crista spiralis/ ligamentum spirale);

- Atap (membrana vestibularis), yang memisahkan endolympha dalam ductus

cochlearis dari perilympha dalam scala vestibuli dan terdiri dari membrana

dengan jaringan ikat di pusatnya yang dilapisi oleh epithelium pada kedua

sisinya; dan

- Dasar, yang memisahkan endolympha dalam ductus cochlearis dari perilympha

dalam scala tympani dan terdiri dari tepi bebas lamina modioli, dan membrana

(membrana/lamina basilaris) yang meluas dari tepi bebas lamina modioli

menuju perluasan ligamentum spirale yang melapisi dinding luar cochlea.

2.2 Fisiologi Telinga Tengah

1. Fisiologi Osikulus

Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke

cairan telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai tiga

tulang kecil, atau osikulus (maleus, inkus, dan stapes) yang membentang di

telinga tengah. Tulang pertama, maleus, melekat ke membran timpani, dan

tulang terakhir, stapes, melekat ke jendela oval, pintu masuk ke dalam

koklea yang berisi cairan. Sewaktu membran timpani bergetar sebagai

respons terhadap gelombang suara, rangkaian tulang- tulang tersebut ikut

bergerak dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi getaran ini

dari membran timpani ke jendela oval. Tekanan yang terjadi di jendela oval

yang ditimbulkan oleh setiap getaran akan menimbulkan gerakan mirip-

gelombang di cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama seperti

12
gelombang suara asal. Tekanan yang lebih besar untuk menggerakan cairan

daripada menggerakan udara, tetapi sistem osikulus memperkuat tekanan

yang ditimbulkan oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme

agar cairan di koklea bergetar. Pertama, karena luas permukaan membran

timpani jauh lebih besar daripada luas jendela oval, terjadi peningkatan

tekanan ketika gaya yang bekerja pada membran timpani disalurkan oleh

osikulus ke jendela oval (tekanan = gaya/luas permukaan). Kedua, efek tuas

osikulus juga menimbulkan keuntungan mekanik tambahan. Bersama-

sama, kedua mekanisme ini meningkatkan gaya yang bekerja pada jendela

oval sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika gelombang suara langsung

mengenai jendela oval. Tekanan tambahan ini sudah cukup untuk

menggetarkan cairan di koklea.7

Beberapa otot halus di telinga tengah berkontraksi secara refleks sebagai

respons terhadap suara keras (lebih dari 70 dB), menyebabkan membran

timpani mengencang dan membatasi gerakan rangkaian osikulus.

Berkurangnya getaran di struktur-struktur telinga tengah ini menurunkan

transmisi gelombang suara yang keras ke telinga dalam untuk melindungi

perangkat sensorik yang peka dari kerusakan. Namun, respons refleks ini

relatif lambat, terjadi setidaknya 40 mdet setelah pajanan ke suara keras.

Karena itu, refleks ini hanya memberi perlindungan terhadap suara keras

yang berkepanjangan, bukan dari suara mendadak seperti ledakan. Dengan

memanfaatkan refleks ini, senjata anti-pesawat udara masa Perang Dunia

II dirancang untuk menghasilkan suara keras pra-ledakan untuk melindungi

telinga tentara mereka dari suara berdentam keras yang ditimbulkan oleh

penembakan sebenarnya.5,6
13
2. Fisiologi Tuba Eustachius

Tuba Eustachius terbuka untuk menyuplai udara ke rongga

telinga tengah dan dikendalikan oleh otot-otot di dalam tuba.

Pembukaan tuba paling baik ditunjukkan pada 6–8kHz, yaitu

suara frekuensi tinggi, karena suara frekuensi tinggi adalah suara

yang merupakan consonant-containing, sehingga telinga tengah

harus bertindak dengan cara yang paling efisien untuk

menghantarkan suara ini, yang harus mendekati frekuensi

resonansinya dan tidak terpengaruh oleh efek redaman dari suplai

udara yang berkurang. Pada disfungsi tuba Eustachius, rongga

telinga tengah kehilangan udara, seperti pada tahap awal otitis

media dengan efusi (OME), kekakuan pada sistem bertambah,

yang menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi rendah.6

Dengan perkembangan lebih lanjut, kumpulan cairan di

rongga telinga tengah meningkatkan massa sistem, yang

menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi. Hal ini

merupakan salah satu penyebab paling umum dari gangguan

pendengaran pada anak-anak, yaitu “glue-ear”. Tidak seperti

perforasi, yang tidak memengaruhi transmisi suara pada akhirnya,

OME secara fisik mengganggu transmisi.6,7

14
2.3 Pemeriksaan Penunjang pada Telinga

2.3.1 Audiometri1

Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti

mendengar dan mengukur (uji pendengaran) Audiometri adalah teknik

untuk mengidentifikasi dan menentukan ambang pendengaran

seseorang dengan mengukur sensitivitas pendengarannya menggunakan

alat yang disebut audiometer, sehingga perawatan medis atau salah satu

alat bantu. Untuk test air conducting, rangasangan diberikan pada

telinga dengan menggunakan earphones. Untuk bone conducting,

sebuah vibrator tulang ditempatkan pada tulang temporal. Dengan

prosedur test kedua telinga di test secara terpisah.

Pure tone Audiometry (Audiometri Nada Murni)

Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal

seperti ini, nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (white noise),

frekuensi, intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik,

standar ISO dan ASA, notasi pada audiogram, jenis dan derajat

ketulian serta gap dan masking.

Untuk membuat audiogram diperlukan alat audimeter. Bagian

dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur

frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone

conductor untuk memeriksa BC (hantaran tulang).

15
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat

dengan garis lurus penuh (intesitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz)

dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang

diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru,

sedangkan telinga kanan, warna merah.

Gambar 5. Tes audiometri

Derajat ketulian ISO:

0 – 25 dB = normal

> 25 – 40 dB = tuli ringan

> 40 – 55 dB = tuli sedang

> 55 – 70 dB = tuli sedang berat

> 70 – 90 dB = tuli berat

> 90 dB = tuli sangat berat

16
Gambar 6. Hasil audiometri

Jenis ketulian:

1. Normal:

AC dan BC sama atau < 25 dB, atau AC dan BC berimpit,

tidak ada gap

17
2. Tuli Sensorineural

AC dan BC > 25 dB, atau AC dan BC berimpit (tidak ada gap)

3. Tuli konduktif

BC normal atau < 25 dB, atau > 25 dB, atau antara AC dan BC

terdapat gap

4. Tuli campur

BC > 25 dB, atau AC > BC terdapat gap

AUDIOMETRI KHUSUS

1. Tes SISI ( short increment sensitivity index)

Untuk mengetahui adanya kelainan koklea, dengan

menggunakan rekrutmen, yaitu keadaan koklea yang dapat

mengadaptasi secara berlebihan peninggian intensitas yang kecil,

sehingga pasien dapat membedakan selisih intensitas yang kecil itu

(sampai 1 dB).

Cara pemeriksaan itu, ialah dengan menentukan amabang

dengar pasien terlebih dahulu, misalnya 30 dB. Kemudian diberikan

rangsangan 20 dB di atas ambang rasangan, jadi 50 dB. Setelh itu

diberikan tambahn rangsang 5 dB, lalu diturunkan 4 dB, lalu 3 dB, 2 dB,

terakhir 1 dB. Bila pasien dapat membedakan, berarti tes SISI POSITIF.

18
Cara lain ialah tiap lima detik dinaikkan 1 dB sampai 20 kali.

Kemudian dihitung berapa kali pasien itu dapat membedakan perbedan

itu.

- 20 kali benar : 100%

- 10 kali benar : 50%

- Dikatakan rekutmen positif bila skor : 70-100%

- Tidak khas bila skor : 0-70%

- Mungkin pendengaran normal atau tuli persepif lain

2. TES ABLB (ALTERNATE BINAURAL LOUDNESS BALANCE)

Diberikan intensitas bunyi tertentu ada frekuensi yang sama pada

kedua telinga, sampai kedua telinga mencapai presepsi yang sama, yang

disebut balans negatif. Bila balans tercapai, terdapat rekrutmen positif

Catatan : pada rekrutmen, fungsi klokea lebih sensitif

Pada MLB (monoaural loudness balance test). Prinsip sama

dengan ABLB. Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat tuli preseptif

bilateral. Tes ini lebih sulit, karena yang dibandingkan ialah 2 frekuensi

yang berbeda pada satu telinga (dianggap telinga yang sakit frekuensi

naik, sedangkan pada frekuensi turun yang normal).

19
3. TES KELELAHAN (TONE DECAY)

Kelelahan saraf oleh karena perangsangan terus-menerus. Jadi

kalau telinga yang diperiksa dirangsang terus-menerus maka terjadi

kelelahan. Tandanya ialah pasien tidak dapat mendengar dengan telinga

yang diperiksa itu.

Ada 2 cara :

- TTD :threshold tone decay

- STAT :supra threshold adaptation test

a. TTD

Dengan melakukan rasangan terus-menerus pada telinga yang

diperiksa dengan intesitas yang sesuai dengan ambang dengar, misalnya

40 dB. Bila setelah 60 detik masih dapat mendengar, berarti tidak ada

kelelahan (decay), jadi hasil tes negatif. Sebaliknya bila setelah 60 detik

terdapat kelelahan, berarti tidak mendengar, tesnya positif.

Kemudian intesitas bunyi ditambah 5 dB jadi 45 dB, maka

pasien dapat mendengar lagi. Rangsangan diteruskan dengan 45 dB dan

seterusnya, dalam 60 detik dihitung berapa penambahan intensitasnya.

Penambahan 0 – 5 dB : normal

10 – 15 dB : ringan (tidak khas)

20
20 – 25 dB : sedang (tidak khas)

>30 dB : berat (khas)

Pada Rosenberg : bila penambahan kurang dari 15 dB, dinyatakan

normal, sedangkan >30 dB : sedang.

b. STAT

Prinsipnya ialah pemeriksaan pada 3 frekuensi : 500 Hz, 1000 Hz

dan 2000 Hz pada 110 dB SPL.

SPL : intensitas yang ada secara fisika sesungguhnya.

110 dB SPL = 100 dB SL (pada frekuensi 500 dan 2000 Hz)

Nada murni : frekuensi 500, 1000, 2000 Hz à 110 dB SPL.

Diberikan terus-menerus selama 60 detik dan dapat

mendengar, berarti tidak ada kelelahan.

Bila < 60 detik, maka kelelahan (decay).

4. AUDIOMETRI TUTUR (SPEECH AUDIOMETRY)

Pada pemeriksaan audiometri tutur dipakai kata-kata yang sudah

disusun dalam silabus (suku kata). Kata-kata ini disusun dalam daftar

yang disebut : Phonetically balance word LBT (PB,LIST) Pasien

diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape

21
recorder. Tuli preseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S,

R, N, C, H, CH, sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi.

Misalnya : tuli perseptif koklea

“kadar” à “kasar”

“pasar” à “padar”

Speech discrimination score :

● 90 – 100 % : normal

● 75 – 90 % : tuli ringan

● 60 – 75 % : tuli sedang

● 50 – 60 % : kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-sehari

● <50 % : tuli berat

Menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-hari, dan

untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

Isitilah :

· STR (speech reception test) = kemampuan mengulangi kata-kata

yang benar sebanyak 50%, biasanya 20-30 dB diats ambang dengar.

· SDS (speech discrimination scor) = skor tertinggi yang dapat

dicapai oleh seseong pada intensits tertentu.

22
5. AUDIOMETRI BEKESSY (BEKESSY AUDIOMETRI)

Otomatis dapat menilai ambang pendengara seseorang. Prinsip

pemeriksaan ini ialah dengan nada yang terputus (interupted sound) dan

nada yag terus-menerus (continues sound). Bila ada suara masuk, maka

pasien memencet tombol. Akan didapatkan grafik seperti gigi gergaji,

garis yang menaik ialah periode suara yang dapat didengan, sedangkan

garis yang turun ialah suara yang tidak terdengar.

Normal : amplitudo 10 dB

Rekrutmen : lebih kecil

AUDIOMETRI OBJEKTIF

Terdapat 4 cara pemeriksaan :

1) Audiometri impedans

2) Eletrokokleografi (E.Coch)

3) Evoked Respons Audiometri

4) Oto Acoustic Emmision (Emisi otoakustik)

1. ELETROKOKLEOGRAFI

Merekam gelombang-gelombang yang khas dari evoke

eletropotential cochlea.

23
Caranya ialah dengan eletrode jarum (needle eletrode), membran

timpani ditusuk sampaipromontorium, kemudian dilihat grafiknya.

Pemeriksaan ini cukup invasif sehingga saat ini sudah jarang dilakukan.

Pengembangan pemeriksaan ini ialah lebih lanjut elektrode pemukaan

(surface electrode), disebut BERA (brain evoked response

audiometryi).

2.3.2 Timpanometri1

Diperiksa kelenturan membran timpani dengan tekanan tertentu

pada meatus akustikus eksterna.

a. Timpanometri : mengetahui keadaan dalam kavum timpani.

Misalnya, ada cairan, gangguan rangkain tulang pendengaran,

kekakuan membran timpani dan membran timpani yang sangat

tentu.

b. Fungsi tuba Eustachius : mengetahui terbuka atau tertutup

c. Refleks stapedius : normal à refleks muncul pada rasangan 70-

80 dB diatas ambang dengar.

- Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedium menurun.

- Pada lesi di retrokoklea, ambang naik.

24
Cara Kerja Audiometri Impendans

Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang

dimasukkan ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan

frekuensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon dari membran

timpani terhadap nada tersebut.

Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga

menghadirkan berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian

negatif ke dalam liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan

berhubungan langsung dengan compliance. Compliance menunjukkan

jumlah mobilitas di telinga tengah. Sebagai contoh, lebih banyak

energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang

diterima oleh membran timpani. Hal ini menggambarkan suatu

compliance yang rendah. Compliance yang rendah menunjukkan

kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang didapat

membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran

timpani. Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran

lonceng.

Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila

tekanan udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga

yang normal, penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati

tekanan atmosfir. Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang

telinga sama dengan tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans

25
dari sistem getaran telinga tengah normal akan berada pada puncak

optimal dan aliran energi yang melalui sistem ini akan maksimal.

Tekanan telinga tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan pada

liang telinga yang ditutup probe sampai sound pressure level (SPL)

berada pada titik minimum. Hal ini menggambarkan penghantaran

bunyi yang maksimum melalui telinga tengah. Tetapi bila tekanan

udara dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan positif) atau

kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam kavum timpani, imitans

sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam sistem yang

normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari

tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi

akan menurun dengan cepat sampai nilai minimum.

Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik

maksimum, SPL nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah,

menggambarkan sebuah penurunan dalam penghantaran bunyi yang

melalui telinga tengah.

Terdapat 5 jenis tympanogram yaitu:

Tipe A : Normal

Tipe B : terdapat cairan ditelinga tengah

Tipe C : terdapat gangguan fungsi Tuba

Eustachius

Tipe AD: terdapat gangguan rangkaian

tulang pendengaran

26
Tipe AS: Terdapat kekakuan pada tulang pendengaran

(otosklerosis)

2.3.3 OAE1

Pemeriksaan OAE dilakukan untuk menilai apakah koklea

berfungsi normal. OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap

stimulus bunyi dari luar yang tiba di sel sel rambut luar (outer hair cells/

OHC’s ) koklea. Telah diketahui bahwa koklea berperan sebagai organ

sensor bunyi dari dunia luar. Didalam koklea bunyi akan dipilah-pilah

berdasarkan frekuensi masing, setelah proses ini maka bunyi akan

diteruskan ke sistim saraf pendengaran dan batang otak untuk

selanjutnya dikirim ke otak sehingga bunyi tersebut dapat

dipersepsikan.

Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar, misalnya akibat

infeksi virus, obat obat ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju

koklea – menyebabkan OHC’s tidak dapat memproduksi OAE. OAE

adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang relatif baru, berdasarkan

prinsip elektrofisiologik yang obyektif, cepat, mudah,otomatis, non

invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Kelemahannya

dipengaruhi oleh bising lingkungan, kondisi telinga luar dan tengah,

kegagalannya pada 24 jam pertama kelahiran cukup tinggi, serta harga

alat relatif mahal.

27
Analisa gelombang OAE dilakukan berdasarkan perhitungan

statistik yang menggunakan program komputer. Hasil pemeriksaan

disajikan berdasarkan ketentuan pass– refer criteria, maksudnya pass

bila terdapat gelombang OAE dan refer bila tidak ditemukan gelombang

OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa yang cukup

tenang sehingga tidak memerlukan ruang kedap suara (sound proof

room). Juga tidak memerlukan obat penenang (sedatif) asalkan bayi/

anak tidak terlalu banyak bergerak.

Prinsip pemeriksaan OAE adalah mengukur emisi yang

dikeluarkan oleh telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini

sensitif untuk mengetahui kerusakan pada OHC, dapat pula digunakan

untuk memeriksa telinga tengah dan dalam. Kriteria hasil pemeriksaan

yaitu pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE maka bayi dapat

melewati tes OAE (pass), berarti bayi tersebut tidak mengalami

gangguan pendengaran. Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti

ada gangguan pendengaran (refer), maka harus dilakukan tes lanjutan

Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang

masuk ke liang telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya

dilapisi karet lunak (probe tip) yang ukurannya dapat dipilih sesuai

besarnya liang telinga, menggetarkan gendang telinga, selanjutnya

melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi

mencapai OHC koklea yang sehat, OHC akan memberikan respon

28
dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke arah luar

(echo) menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang tiba

di liang telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada

dalam insert probe, selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga

hasilnya dapat ditampilkan pada layar monitor mesin OAE. Kerusakan

pada OHC misalnya akibat virus, obat-obat ototoksik, kuranganya

oksigenasi dan perfusi yang menuju koklea menyebabkan OHC tidak

dapat memproduksi gelombang OAE. OAE tidak muncul pada

hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB. Pemeriksaan OAE dapat

menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak

dapat memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon

otak/jalur neural terhadap suara. OAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa,

debris, dan kondisi telinga tengah (cavum tympani). Neonatus usia

kurang dari 24 jam liang telinga terisi verniks kaseosa yang akan keluar

dalam 24-48 jam setelah lahir, sehingga hasil refer 5-20% bila skrining

dilakukan 24 jam setelah lahir. Angka refer <3% dicapai bila skrining

dilakukan usia 24-48 jam karena perjalanan stimulus bunyi menuju

koklea maupun emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang

telinga harus melewati telinga tengah; maka sebelum pemeriksaan OAE

harus dipastikan bahwa telinga tengah dalam kondisi normal dengan

pemeriksaan timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan

memberikan hasil positif palsu Faktor lain yang mempengaruhi hasil tes

OAE yaitu ukuran probe (harus sesuai dengan ukuran liang telinga),

29
posisi penempatan probe (tidak ada kebocoran atau celah udara dan

posisi probe harus lurus ke arah gendang telinga) serta kebisingan

eksternal maupun internal.

Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan

pada disfungsi outer haircell pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup

efektif sebagai alat screening karena selain sensitif juga cukup murah.

Minesota Newborn Hearing Screening Program memakai OAE sebagai

standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas baru

diperiksa dengan ABR. Otoacoustic Emission atau OAE merupakan

skrining pendengaran secara obyektif, namun tidak dapat memberikan

informasi tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau

anak.

2.3.4 BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry)

Brainstem Evoke Response Audiometry yaitu suatu pemeriksaan

untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi nervus VIII. Caranya

dengan merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea selama

menempuh perjalanan mulai telinga dalam hingga inti-inti tertentu di

batang otak. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda

permukaan yangdilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus

mastoid atau lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif

dan bersifat objektif.1

30
Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan potensial

listrik diotak setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.

Rangsang bunyi yang diberikan melalui headphone akan menempuh

perjalanan melalui saraf ke VIII

dikoklea (gelombang I), nukleus koklearis (gelombangII), nukleus oliva-

rius superior (gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang IV),

kolikulus inferior (gelombang V ) kemudian menuju ke korteks auditorius

di lobus temporal otak.

Perubahan potensial listrik di otak akan diterima oleh ketiga

elektroda di kulit kepala, dari gelombang yang timbul di setiap nukleus

saraf sepanjang jalur saraf pendengaran tersebut dapat dinilai bentuk

gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat pemberian rangsang

suara sampai mencapai nukleus nukleus saraf tersebut. dengan demikian

setiap keterlambatan waktu untuk mencapai masing-masing nukleus saraf

dapat memberi arti klinis keadaan saraf pendengaran, maupun jaringan di

otak sekitarnya. BERA dapat memberikan informasi mengenai keadaan

neurofisiologi neuron anatomi dari saraf-saraf tersebut hingga pusat-pusat

yang lebih tinggi dengan menilai gelombang yang timbul lebih akhir atau

latensi yang memanjang.8

Pemeriksaan BERA sangat bermanfaat terutama pada keadaan ti-

dak memungkinkan dilakukan pemeriksaan pendengaran biasa, misalnya

pada bayi,anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensia

31
rendah, cacat ganda

,kesadaran menurun. Pada orang dewasa dapat untuk memeriksa orang

yang berpura-pura tuli atau ada kecurigaan tuli saraf retrokoklea.1

Cara melakukan pemeriksaan BERA, menggunakan 3 buah

elektroda yang diletakkan di vertex atau dahi dan di belakang kedua

telinga pada (prosesus mastoideus) atau pada kedua lobus auricular yang

dihubungkan dengan preamplifier. Untuk menilai fungsi batang otak pada

umumnya digunakan bunyi rangsang klik, karena dapat mengurangi

artefa. Rangsang ini diberikan melalui headphone secara unilateral l dan

rekaman dilakukan pada masing-masing telinga. Reaksi yang timbul

akibat rangsangan suara sepanjang jalur saraf pendengaran dapat

dibedakan menjadi beberapa bagian. Pembagian ini didasarkan waktu

yang diperlukan mulai dari saat pemberian rangsang suara sampai

menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang yaitu Early Respons

timbul dalam waktu kurang dari 10 ms merupakan reaksi dari batang otak

Middle Respons antara 10 sampai 50 ms merupakan reaksi dari talamus

dan korteks auditorius primer dan Late Respons antara 50 sampai 500 ms

merupakan reaksi dari area auditorius primer dan sekitarnya.

Penilaian BERA :1

1. Masa laten absolut gelombang I, III, V

32
2. Beda masing-masing masa laten absolut (interwave latency I – V, I –

III, III – V)

3. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaurala latency)

4. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity

function)

5. Rasio amplitudo geombang V/I, yaitu rasio antara nilai puncak

gelombang V ke puncak gelombang I, yang akan meningkat dengan

menurunnya intensitas.

Gambar 7. Gelombang BERA8

2.3.5 ASSR (Auditory Steady State Response)

ASSR merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur

kemampuan mendengar anak yang masih belum mampu menjalani

prosedur tes subjektif seperti play audiometri atau audiometri nada murni.

ASSR juga merupakan tes obyektif yang digunakan untuk evaluasi

33
kemampuan mendengar pada anak-anak untuk pengujian audiometri

tradisional.1,9

- Indikasi

Manfaat utama untuk ASSR termasuk; pada bayi untuk tindak lanjut

diagnostik penilaian, bayi dalam neonatal unit perawatan intensif (NICU)

pasien tidak responsif dan atau koma, dan lain-lain

- Interpretasi ASSR

Aktivitas gelombang otak yang tercatat dari permukaan elektroda pada

kulit kepala berisi amplitudo periodik atau variasi frekuensi yang mengikut

imodulasi yang lambat dalam gelombang stimulus. Rekaman dianalisis

dalam frekuensi daripada waktu dalam frekuensi daripada waktu domain.

Perangkat lunak statistik berbasis telah lunak statistik berbasis telah

dikembangkan memungkinkan ada tidaknya respon yang ditentukan secara

otomatis

Biasanya jika dalam pemeriksaan BERA tidak ditemukan gelombang

5 di intensitas 80 dB, maka disarankan untuk melakukan tes ASSR untuk

mengetahui derajat gangguan pendengaran bayi dan anak.1

2.3.6 Play Audiometri

Pemeriksaan play audiometry (conditioned play audiometry)

meliputi teknik melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai

pengamatan respons motoric spesifik dalam suatu aktivitas permainan.

34
Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih (conditioned) untuk

memasukkan benda tertentu ke dalam kotak segera setelah mendengar

bunyi. Diperlukan 2 orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan

stimulus melalui audiometer sedangkan pemeriksa kedua melatih anak dan

dan mengamati respons. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone.

Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi

terkecil yang dapat menimbulkan respons dapat ditentukan ambang

pendengaran pada frekuensi tertentu.1,9

Gambar 8. Play audiometri

2.3.7 BOA (Behavioral Observation Audiometry)

BOA merupakan pemeriksaan untuk mengetahui respons

subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk

penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar

(hearing dan fitting). Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap

35
stimulus bunyi dan merupakan respons yang disadari (voluntary

response). Metode ini dapat mengetahui seluruh sistem auditorik

termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Pemeriksaan ini dapat

digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis

tes harus disesuaikan dengan usia bayi.1

Cara pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang

(bising lingkungan tidak lebih dari 60dB), idealnya pada ruang kedap

suara (sound proof room). Sebagai sumber bunyi sederhana dapat

digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasan

kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi

frekuensi tinggi (squaker toy) dll. Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi

frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa dipakai alat buatan pabrik

seperti baby reactometer, Neometer, Viena tone (frekuensi 3000 Hz

dengan pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100 dB). Dinilai kemampuan

anak dalam memberikan respons terhadap sumber bunyi tersebut. 10

Gambar 9. Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry

36
Pemeriksaan Behavioral observation audiometry dibedakan

menjadi behavioral reflex audiometry dan behavioral response audiometri.

1. Behavioral Reflek audiometry

Pada pemeriksaan ini dilakukan pengamatan respons

behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi terhadap stimulus

bunyi. Respon behavioral yang dapat diamati antara lain:

mengejapkan mata (auropalpebral reflex), melebarkan mata (eye

widening), mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu

(cessation reflex), denyut jantung meningkat refleks Moro (paling

konsisten). Refleks auropalpebral dan Moro rentan terhadap efek

habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi

menjadi bosan sehingga tidak memberi respon walaupun dapat

mendengar. Bila kita mengharapkan terjadinya refleks Moro dengan

stimulus bunyi dan keras sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur

karena bayi akan terkejut, takut dan menangis, sehingga menyulitkan

observasi selanjutnya.1

Cara pemerikaan dilakukan dengan diberikan stimulus dengan

intensitas sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi

merupakan metode sound field atau dikenal juga sebagai Free field

test. Stimulus juga dapat diberikan melalui noisemaker yang dapat

37
dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidk dapat menentukan ambang

dengar.

2. Behavioral Response Audiometry

Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan

menghasilkan pola respons khas berupa menoleh atau menggerakkan

kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Awalnya

gerakan kepala hanya pada bidang horisontal, dan dengan

bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah

bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian

atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir sumber bunyi dari

segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan. Teknik Behavioral

Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah Tes

Distraksi dan Visual Reinforcement Audiometry(VRA).1

a. Tes Distraksi

Respons terhadap stimulus bunyi adalah menggerakan bola mata

atau menoleh kearah sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap

stimuli bunyi, pemeriksaan diulang sekali lagi. Kalau tetap tidak

berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1 minggu kemudian.

Seandainya tetap tidak ada respons harus dilakukan pemeriksaan

audiologik lanjutan yang lebih lengkap.

38
Cara pemeriksaan tes ini dilakukan pada ruang kedap suara,

menggunakan stimulus nada murni. Bayi dipangku oleh ibu atau

pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama

bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan

meperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian; selain

memperhatikan respons bayi. Pemeriksa kedua berperan memberikan

stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer yang terhubung dengan

pengeras suara.

Gambar 10. Tes distraksi yang dilakukan pada anak

b. Visual Reinforcement Audiometry

Merupakan pemeriksaan pendengaran berdasarkan respons

conditioned yang diperkuat dengan stimulus visual. Mulai dapat

dilakukan pada bayi 4-7 bulan dimana control neuromotor berupa

kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini

respons unconditioned beralih menjadi respons conditioned..

39
Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi

akan member respons orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara

menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama

diberikan stimulus bunyi saja (tanpa stimulus visual), bila bayi

member respons diberi hadiah berupa stimulus visual. Pada tes VRA

juga diperlukan 2 orang pemeriksa. Pemeriksaan VRA dapat

dipergunakan menentukan ambang pendengaran, namun karena

stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang terjam

merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.1,10

Gambar 11. Pemeriksaan VRA

40
BAB III

KESIMPULAN

Pemeriksaan pada telinga dapat dilakukan anamnesa untuk

menggali keluhan pada pasien dan tanda-tanda dari pemeriksaan fisik,

selain perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang pada telinga.

Pemeriksaan audiologi dasar yang dapat dilakukan yaitu audiometri nada

murni untuk mengetahui jenis dan derajat ketulian pada orang dewasa.

Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea dapat dilakukan

pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari audiometri khusus dan

audiometri objektif. Sedangkan untuk mengetahui gangguan

pendengaran bayi dan anak dapat dilakukan audiologi Behavioral

Observation Audiometry (BOA), Timpanometri, Audiometri bermain,

Oto Acustic Emission, Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

dan Auditory Steady State Respons (ASSR).

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N,Bashiruddin J eds. Buku Ajar Ilmu kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 2012. Hal 10-35

2. Adams GI, Boeis LR. Buku Ajar Penyakit THT BOIES edisi 6. Jakarta:

EGC.2014

3. World health organization, 2013. Survailance of risk factors for non-

communicable diseases : the WHO stepiseapproach.summari. Geneva

4. Richard Drake, A. Wayne Vogl, Adam Mitchell. Gray's anatomy.

Elsevier.2013

5. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia :

Anatomi Umum dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit.

Jakarta : EGC.

6. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Clinically Oriented

Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010.

7. Sherwood, Lauralee. Human physiology: from cells to systems. Cengage

learning, 2015.

8. Bhatt, J., & Chhangte, L. Accuracy of OAE and BERA to Detect the

Incidence of Hearing Loss in Newborn. International Journal of Scientific

and Research Publications. 2015;1-6

42
9. Wiryadi, I Made Rai., Wiranadha, I Made Gambaran hasil skrining

pendengaran pada pasien dengan keterlambatan bicara & bahasa di

poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017.

2019; 50

10. Madell, Jane R. "Testing babies: you can do it! Behavioral Observation

Audiometry (BOA)." Perspectives on Hearing and Hearing Disorders in

Childhood 21.2 (2011): 59-65.

43

Anda mungkin juga menyukai