SINDROMA MENIERE
(KAJIAN TERHADAP ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI)
Disusun oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SINDROMA MENIERE
(KAJIAN TERHADAP ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI)
Disusun oleh:
Bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan
anugerahnya sehingga penyusunan referat berjudul “Sindroma Meniere ( Kajian
Terhadap Etiologi dan Patofisiologi)” ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki penulisan di masa
yang akan datang. Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar,
fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Penyakit THT-KL, terutama dr. Anton
selaku pembimbing penulis. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga
referat Sindroma Meniere ( Kajian Terhadap Etiologi dan Patofisiologi) ini dapat
memberi manfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
rekan-rekan yang membacanya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Anatomi Telinga..............................................................................................2
B. Definisi.............................................................................................................9
C. Etiologi...........................................................................................................10
D. Fisiologi Keseimbangan.................................................................................11
F. Diagnosis........................................................................................................18
G. Tatalaksana.....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................24
iv
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Telinga
Telinga merupakan suatu organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima gelombang suara atau gelombang udara yang kemudian diubah
menjadi impuls listrik kemudian diteruskan ke korteks pendengaran untuk
dianalisa dan diinterpretasikan melalui saraf pendengaran. Selain untuk
pendengaran, telinga juga berfungsi untuk keseimbangan. Secara garis
besar, telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Telinga luar dan tengah terutama berkaitan dengan
perpindahan gelombang suara ke telinga bagian dalam, yang berisi organ
untuk keseimbangan serta pendengaran. Membran timpani merupakan
bagian yang memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Tuba eustachius
menghubungkan telinga tengah dan nasofaring (Saladin, 2014).
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna) yang berfungsi
untuk mengumpulkan suara dan meatus akustikus eksterna (kanalis
akustikus) yang mengkonduksi suara ke membran timpani. Bentuk
2
daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk
liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan
menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3.500 Hz (Pearce,
2016).
1) Pinna Auricula
Daun telinga tersusun dari pelat tulang rawan elastis
yang berbentuk tidak teratur dan ditutupi oleh kulit tipis.
Lobulus (lobus) non-kartilaginosa terdiri dari jaringan fibrosa,
lemak, dan pembuluh darah. Pasokan arteri ke daun telinga
terutama berasal dari arteri aurikularis posterior dan arteri
temporalis superfisial. Saraf utama pada kulit daun telinga
adalah nervus auricularis magnus dan aurikulotemporalis.
Nervus aurikularis magnus mempersarafi bagian cranial
(medial) atau bagian belakang telinga dan bagian heliks,
antiheliks dan lobules. Nervus auriculotemporalis, cabang dari
CN V3 (nervus mandibularis) mempersarafi kulit daun telinga
anterior sampai meatus akustikus eksterna (Moore, 2014).
3
yang dilapisi dengan kulit yang bersambung dengan kulit pada
auricular, sedangkan dua per tiga mediannya bertulang dan
dilapisi dengan kulit tipis yang bersambung dengan lapisan luar
membrane timpani. Kelenjar serumen dan sebasea pada
jaringan subkutan dari bagian tulang rawan meatus (satu per
tiga lateral) menghasilkan serumen (Pearce, 2016).
Membran timpani dengan diameter sekitar 1 cm adalah
membrane semitransparan oval yang tipis di ujung medial
meatus akustikus eksterna. Membrane timpani ditutupi dengan
kulit tipis di bagian luar dan membran mukosa dari telinga
tengah pada bagian dalamnya. Membrane timpani memiliki
pars flaksida (membrane Shrapnell) yang merupakan
membrane tipis yang berada di atas prosesus lateral os malleus.
Selain itu ada juga bagian yang disebut pars tensa (membrane
propria) yang merupakan bagian tegang yang memiliki serat
radial dan melingkar. Pars tensa terdiri dari satu lapisan di
tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit
serat elastin. Atrofi pada membrane karena proses penuaan
mengakibatkan membrane lebih dangkal dan teregang (retraksi)
(Moore, 2014).
Membran timpani bergerak sebagai respons terhadap
getaran udara yang melewatinya melalui meatus akustikus
eksterna. Gerakan membran ditransmisikan oleh tulang-tulang
pendengaran melalui telinga tengah ke telinga dalam.
Permukaan luar membrane timpani terutama dipersarafi oleh
nervus auriculotemporal, cabang dari CN V3. Beberapa
persarafan disuplai oleh cabang aurikuler kecil dari vagus (CN
X). Permukaan internal membran timpani disuplai oleh nervus
glossopharingeus (CN IX) (Moore, 2014).
4
Gambar 2.3 Membran Timpani (Moore, 2014).
b. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrane
timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran.
Rongga telinga tengah atau rongga timpani adalah ruang sempit
berisi udara di bagian petrosus os temporal. Rongga timpani
dihubungkan secaa anteromedial dengan nasofaring oleh tuba
eustachius dan secara posterosuperior dengan selulae mastoid
melalui antrum mastoid. Rongga timpani dilapisi oleh membrane
mukosa yang berhubungan dengan lapisan tuba eustachius, selulae
mastoid dan antrum mastoideus. Antrum mastoideus merupakan
ruang udara yang berada pada bagian atas prosesus mastoideus yang
berhubungan dengan telinga tengah, sehingga infeksi dapat menjalar
dari rongga telinga tengah ke antrum mastoideus yang dapat
menyebabkan mastoiditis. Isi telinga tengah meliputi (Snell, 2014)
1) Ossicula auditus (malleus, incus, dan stapes).
2) Otot stapedius dan tensor timpani.
3) Nervus chorda timpani, cabang dari CN VII.
4) Pleksus nervus timpani.
Tulang pendengaran (ossicula auditus) yang terdiri atas
tulang martil (maleus), landasan (incus), dan sanggurdi (stapes)
tersusun dari luar ke dalam seperti rantai yang tersambung dari
membrane timpani menuju rongga telinga dalam. Penyambungan
5
tersebut dimulai dari prosesus longus maleus yang melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada incus, dan incus melekat
pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong (foramen ovale)
yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian. Getaran dari membrane
timpani menyebabkan tulang-tulang pendengaran bergerak dan
mentransmisikan gelombang bunyi melewati ruang menuju foramen
ovale. Getaran kemudian bergerak melalui cairan dalam telinga
dalam dan merangsang reseptor pendengaran (Saladin, 2014; Snell,
2014).
Telinga tengah memiliki enam dinding, yaitu (Moore,
2014):
1) Dinding tegmental (atap) dibentuk oleh lempengan tulang
yang tipis, disebut sebagai tegmen timpani, yang
memisahkan rongga timpani dari duramater.
2) Dinding jugularis (lantai) dibentuk oleh lapisan tulang yang
memisahkan rongga timpani dari bulbus superior vena
jugularis interna.
3) Dinding membrane (dinding lateral) dibentuk oleh
membrane timpani dan resesus epitympanic.
4) Dinding labirin (dinding medial) memisahkan rongga
timpani dari telinga bagian dalam. Dibentuk oleh bagian
awal koklea, serta foramen ovale dan foramen rotundum.
5) Dinding mastoid (dinding posterior) memiliki lubang di
bagian superiornya yang merupakan aditus ke antrum
mastoid, menghubungkan rongga timpani ke selulae
mastoideus
6) Dinding carotis anterior memisahkan rongga timpani dari
canalis carotis, di bagian atasnya terdapat meatus tuba
eustachius dank anal untuk musculus tensor timpani.
6
Gambar 2.4 Batas-batas Telinga Tengah (Moore, 2014).
c. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang
dan labirin membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea,
vestibulum, dan kanalis semi sirkularis, sedangkan labirin
membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan
duktus semi sirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh lapisan
tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi
oleh trabekula (susunannya menyerupai spons). Labyrinthus
memiliki bagian vestibuler (pars superior) yang berhubungan
dengan keseimbangan dan bagian koklear (pars inferior) yang
merupakan organ pendengaran. Kanalis semisirkularis saling
berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang
tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala timpani di
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya.
Skala vestibuli dan skala tympani berisi perilimfe, sedangkan skala
media berisi endolimfe. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar
skala vestibuli disebut membran vestibuli (Reissner’s membran)
sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada
membran ini terletak organ korti. Pada skala media terdapat bagian
yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada
membran basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut
dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ
korti (Snell, 2014).
7
Gambar 2.5 Labirin Tulang dan Labirin Membran (Moore, 2014).
8
Gambar 2.7 Telinga dalam (Nakashima et al., 2016).
B. Definisi
Sindroma Meniere merupakan kelainan multifaktorial yang
disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan yang terjadi
pada telinga bagian dalam dengan ditandai timbulnya episode vertigo,
tinitus, perasaan penuh dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang
fluktuatif. Sindroma Meniere terjadi pada 50 hingga 200 orang dari
100.000 orang dewasa dan seringkali terjadi pada rentang usia 40 hingga
60 tahun. Angka prevalensi pada negara Inggri dan Swedia juga mencapai
0.5-7.5/1.000 penduduknya. Sindroma Meniere sebagian besar terjadi
unilateral dan 10-20% diantaranya terjadi secara bilateral. Kemungkinan
seseorang untuk menderita penyakit ini juga semakin besar seiring dengan
pertambahan usia, ras tertentu, dan obesitas (Basura et al., 2020;
Kameswaran & Goyal, 2018; Sabig & Muyassaroh, 2018).
9
International Classification of Vestibular Disorders (ICVD
mengklasifikasikan Sindroma Meniere menjadi 2 kelompok yaitu (Basura
et al., 2020):
1. Definite Meniere’s disease
a. Terjadi dua atau lebih episode vertigo spontan yang masing-masing
berakhir selama 20 menit hingga 12 jam
b. Pemeriksaan audiometri mencatat adanya SNHL pada frekuensi
rendah hingga sedang pada salah satu telinga dan mempengaruhi
minimal 1 saat sebelum, selama, atau setelah episode vertigo
c. Gejala aura fluktuatif (penurunan pendengaran, tinitus, atau rasa
penuh) yang mempengaruhi telinga
d. Tidak tercatat lebih baik dari diagnosis vestibular lainnya
2. Probable Meniere’s disease
a. Terjadi dua atau lebih episode vertigo yang masing-masing
berakhir selama 20 menit hingga 24 jam
b. Gejala aura fluktuatif (penurunan pendengaran, tinitus, atau rasa
penuh) yang mempengaruhi telinga
c. Tidak tercatat lebih baik dari diagnosis vestibular lainnya
C. Etiologi
Etiolgi yang mendasari Sindroma Meniere belum terlalu jelas,
namun dihubungkan dengan perubahan anatomik pada valume cairan
intraaurikula atau endolynphatic hydrops (ELH). Perubahan anatomik
tersebut baru dapat dipastikan secara post mortem atau setelah kematian.
Disisi lain ELH tidaklah sepenuhnya sama dengan Sindroma Meniere.
ELH mreupakan kondisi peningkatan tekanan hidrolik di dalam sistem
endolimfatik telinga bagian dalam yang akan mempengaruhi sistem
keseimbangan dalam organ telinga dalam. ELH berkembang akibat
kontribusi dari kegagalan penyerapan cairan endolimfe, infeksi (contoh
sifilis), trauma, genetik anatomis, autoimun, dan/atau alergen (Basura et
al., 2020; Li, 2020).
10
D. Fisiologi Keseimbangan
Selain sebagai organ pendengaran yang bergantung pada koklea,
telinga dalam memiliki komponen khusus lain yaitu aparatus vestibularis,
yang memberi informasi esensial bagi sensasi keseimbangan dan untuk
koordinasi gerakan kepala dengan gerakan mata dan postur. Aparatus
vestibularis terdiri dari dua strukrur yaitu kanalis semisirkularis dan organ
otolit, yaitu utikulus dan sakulus. Aparatus vestibularis mendeteksi
perubahan posisi dan gerakan kepala. Komponen aparatus vestibularis
mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Serupa dengan
organ corti, komponen vestibularis masing-masing mengandung sel
rambut yang berespons terhadap deformasi mekanis yang dipicu oleh
gerakan spesifik endolimfe. Dan seperti sel rambut auditorik, reseptor
vestibularis dapat mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi bergantung
pada arah gerakan cairan. Namun, sebagian besar informasi yang
dihasilkan oleh apatarus vestibularis tidak mencapai tingkat kesadaran
(Sherwood, 2012).
11
ketika mobil yang dikendarai mendadak berbelok ke kiri). Gerakan cairan
ini menyebabkan kupula miring dalam arah berlawanan dengan gerakan
kepala, menekuk rambut-rambut sensorik yang terbenam di dalamnya. Jika
gerakan kepala berlanjut dengan kecepatan dan arah yang sama, maka
endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepala sehingga
rambut-rambut tersebut kembali ke posisinya yang tidak melengkung.
Ketika kepala melambat dan berhenti, terjadi situasi yang terbalik.
Endolimfe sesaat melanjutkan gerakan ke arah rotasi semenrara kepala
melambat untuk berhenti. Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya secara
transien melengkung ke arah putaran sebelumnya, yaitu berlawanan
dengan arah lengkung mereka sewaktu alselerasi (Sherwood, 2012).
12
tersebut mengalami depolarisasi ketika stereosilia menekuk ke arah
kinosilium, sedangkan penekukan ke arah berlawanan akan menyebabkan
hiperpolarisasi. Depolarisasi meningkatkan pelepasan neurotransmiter dari
sel rambut. Sebaliknya, hiperpolarisasi mengurangi pelepasan
neurotransmiter dari sel rambut, sehingga mengurangi frekuensi potensial
aksi di serat aferen. Ketika cairan secara perlahan berhenti, rambut-rambut
menjadi lurus kembali. Dengan demikian, kanalis semisirkularis
mendeteksi perubahan kecepatan gerakan rotasional (akselerasi atau
deselerasi rotasional) kepala. Karnalis semisirkularis tidak berespons
ketika kepala tidak bergerak atau ketika berputar dalam lingkaran dengan
kecepatan tetap (Sherwood, 2012).
13
Gambar 2.8 (a) Anatomi makroskopik aparatus vestibularis. (b) Unit sel
reseptor di ampula kanalis semisirkularis. (c) Gambaran skematik
"rambut" pada sel rambut sensorik kanalis semisirkularis. (d) Foto
mikroskop elektron memperlihatkan kinosilium dan stereosilia di sel
rambut di dalam aparatus vestibularis (Sherwood, 2012).
14
posisi horizontal (misalnya bangun dari tempat tidur) dan terhadap
akselerasi dan deselerasi linier vertikal (misalnya meloncat naik-turun atau
naik tangga berjalan). Sinyal-sinyal yang berasal dari berbagai komponen
apparatus vestibularis dibawa melalui nervus vestibulokoklearis ke
nukleus vestibularis. Di sini informasi vestibular diintegrasikan dengan
masukan dari permukaan kulit, mata, sendi, dan otot untuk (1)
mempertahankan keseimbangan dan postur yang diinginkan; (2)
mengontrol otot mata eksternal sehingga mata terfiksasi ke satu titik,
meskipun kepala bergerak; dan (3) mempersepsikan gerakan dan orientasi
(Sherwood, 2012).
15
Gambar 2.9 Utrikulus. (a) Unit reseptor di utrikulus. (b)
Pengaktifan utrikulus oleh perubahan posisi kepala. (c) Pengaktifan
utrikulus oleh akselerasi linier horizontal (Sherwood, 2012).
16
Gambar 2.10 Masukan dan keluaran nukleus vestibularis (Sherwood,
2012).
17
membran yang kaya saraf ini, yang menyebabkan gangguan pendengaran,
tinnitus, vertigo, ketidakseimbangan, dan sensasi tekanan di telinga.
Hidrops mungkin disebabkan oleh peningkatan tekanan endolimfatik yang
menyebabkan pecahnya membran yang memisahkan perilimfe
(potassium-poor extracellular fluid) dari endolimfe (potassium-rich
intracellular fluid). Campuran kimia yang dihasilkan membasahi reseptor
saraf vestibular, menyebabkan blokade depolarisasi dan hilangnya fungsi
sementara. Perubahan mendadak dalam kecepatan pelepasan saraf
vestibular menyebabkan ketidakseimbangan vestibular akut (vertigo) (Li,
2020).
Distensi fisik yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
endolimfatik juga menyebabkan gangguan mekanis pada organ
pendengaran dan otolitik. Karena utrikulus dan sakulus bertanggung jawab
untuk deteksi gerakan linier dan translasi (berlawanan dengan percepatan
sudut dan rotasi), iritasi pada organ-organ ini dapat menyebabkan gejala
vestibular nonrotasi. Distensi fisik ini juga menyebabkan gangguan
mekanis pada organ corti. Distorsi membran basilar dan sel-sel rambut
dalam dan luar dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan/atau
tinitus. Apeks lebih sensitif terhadap perubahan tekanan daripada
dasarnya. Ini menjelaskan mengapa hidrops secara istimewa
mempengaruhi frekuensi rendah (di puncak) dibandingkan dengan
frekuensi tinggi (di dasar yang relatif lebih luas). Gejala membaik setelah
membran diperbaiki karena konsentrasi natrium dan kalium kembali
normal (Li, 2020).
Nakashima et al. (2016) juga menjelaskan bahwa Meniere disease
(MD) terjadi karena disfungsi vestibular di mana cairan endolimfe yang
berlebihan menumpuk di telinga bagian dalam dan menyebabkan
kerusakan pada sel ganglion. Mekanisme ini merupakan gangguan
heterogen yang kompleks di mana banyak faktor mendasari yang
berinteraksi, termasuk variasi anatomi tulang temporal, genetika,
autoimun, migrain, perubahan dinamika cairan intra-labirin dan
mekanisme seluler dan molekuler.
18
Studi MRI terbaru menunjukkan bahwa pasien dengan tipikal dan
atipikal MD memiliki (endolymphatic hydrops) EH, dan ada banyak
pasien dengan EH asimtomatik pada sisi yang tidak terpengaruh pada
pasien dengan MD unilateral. Karena onset EH mendahului timbulnya
MD, maka EH bukanlah akibat dari MD. Patofisiologi EH dan
hubungannya dengan MD tetap sulit dipahami. Patofisiologi MD lebih
melibatkan kerusakan sel ganglion daripada kerusakan sel-sel rambut
sensorik. Hal ini mirip dengan glaukoma, dimana gangguan dinamika
cairan menyebabkan lebih banyak kerusakan pada ganglion retina sel
daripada sel sensorik di retina (Nakashima et al., 2016).
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang mungkin dialami berupa 2 atau lebih seragan
vertigo, gangguan pendengaran, yang berfluktuasi, tekanan pada
telinga, dan atau telinga berdenging (Basura et al., 2020). Vertigo
yang terjadi pada MD berupa 2 atau lebih episode vertigo yang
berlangsung 20 menit hingga 2 jam (Basura et al., 2020). Fruktuasi
frekuensi rendah pada gangguan pendengaran sensorineural unilateral
merupakan karakteristik pada penyakit MD. Gangguan pendengaran
darpat berkembang ke semua frekuensi. Tinnitus sering terjadi dan
ipsilateral (Koenen dan Claudio, 2021).
2. Pemeriksaan fisik
Jika dicurigai MD maka dilakukan pemeriksaan otologik
lengkap, tes saraf wajah, dan penilaian nistagmus dengan kacamata
fenzel, test rinne, dan test weber. Test rinne dan weber akan
menunjukan gangguan pendengaran sensorineural pada MD akut atau
penyakit lanjut. Pemeriksaan kacamata Frenzel dapat menujukkan
nistagmus horizontal dengan komponen yang berdetak cepat jauh dari
organ vestibular yang terkena dalam keadaan akut (Koenen dan
Claudio, 2021).
19
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa audiogram dan
MRI. Pemeriksaan audiogram dilakukan karena ada perubahan
pendengaran pada penderita MD (Basura et al., 2020). Jika gangguan
pendegaran hanya pada satu telinga atau satu sisi perlu dilakukan
pemeriksaan MRI untuk menyingkirkan kemungkinan tumor jinak di
telinga bagian dalam (Basura et al., 2020). Selain untuk
menyingkirkan tumor, MRI dilakukan untuk menyingkirkan patologi
retrokoklea. Pemeriksaan MRI tidak perlu dilakukan dalam keaddan
akut tetapi dapat dilakukan beberapa minggu setelah timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan MRI resolusi tinggi dapat secara langsung
menunjukan hydrops endolimfatik pada organ yang terkena (Koenen
dan Claudio, 2021).
AAO-HNS telah menetapkan klasifikasi klinis yang ketat untuk
mendiagnosis pasti atau kemungkinan MD. Kriteria tersebut telah di
revisi oleh Barany Society, penegakan diagnosis pasti MD dengan
mencakup 2 kategori (Basura et al., 2020):
a. 2 atau lebih serangan vertigo spontan, masing masing berlangsung
vertigo
G. Tatalaksana
Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi non-bedah dan terapi
bedah (Bahagia & Putu, 2020).
1. Terapi non-bedah
20
60-90% penderita OSA memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 28
kg/m2, sehingga penurunan berat badan harus menjadi salah satu tujuan
terapi OSA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan
Apnea Hypoxia Index (AHI), perbaikan gejala OSA, seperti rasa kantuk
di siang hari, serta peningkatan saturasi oksigen setelah penderita OSA
menjalani program penurunan berat badan (Bahagia & Putu, 2020).
Pada penderita OSA, posisi tidur telentang atau spine berhubungan
dengan peningkatan episode apnea atau hypopnea dan keparahan
desaturase oksigen. Hal tersebut terjadi karena pengaruh gravitasi serta
perubahan ukuran dan posisi saluran nafas atas. Penderita OSA dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni OSA postural dan non postural.
Diagnosis OSA postural ditegakkan apabila episode obstruksi selama
tidur terjadi terutama saat posisi telentang (AHI pada posisi telentang
minimal dua kali lebih besar dibanding dengan posisi tidak telentang).
Sebagian besar (65-87%) OSA ringan hingga sedang adalah OSA
postural sehingga terapi posisi dapat menjadi solusi yang sederhana,
murah, dan efektif untuk mengurangi periode obstruksi saat tidur.
Beberapa strategi digunakan untuk mencegah punggung pasien
menyentuh alas tidur, seperti pemasangan alarm yang berbunyi saat
pasien tidur dalam posisi telentang, atau pemasangan bantal atau bola
agar merasa tidak nyaman saat tidur dalam posisi telentang. Terapi
posisi dikatakan berhasil apabila terdapat penurunan AHI hingga
kurang dari 10 (Bahagia & Putu, 2020).
Positive airway pressure (PAP) merupakan terapi baku emas untuk
OSA. Bentuk umum dari PAP adalah Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal,
masker oral atau variasi-variasi lain. Alat ini berfungsi sebagai
dukungan pneumatik yang mempertahankan patensi saluran nafas atas
dengan meningkatkan tekanan saluran nafas atas melebihi nilai kritis
(nilai tekanan kurang dari tersebut mengakibatkan kolaps jalan nafas).
Indikasi CPAP antara lain pada semua penderita AHI lebih dari 15,
tanpa melihat komorbiditas, tipe pekerjaan dan derajat gejala. Jika AHI
21
lebih dari 5 dan kurang dari 15, CPAP diindikasikan jika terdapat gejala
(rasa mengantuk, gangguan kognitif, perubahan mood) atau terdapat
hipertensi, penyakit jantung koroner atau riwayat stroke (Bahagia &
Putu, 2020).
Terapi dengan alat buatan (oral appliances/OA) merupakan salah
satu terapi yang digunakan untuk penderita OSA ringan sampai sedang
dan penderita OSA berat yang tidak toleran terhadap CPAP atau
menolak dilakukan pembedahan. OA yang paling sering digunakan
adalah Mandibular Advanced Splints (MAS), yaitu alat yang terpasang
pada arkus dental atas maupun bawah untuk mempertahankan posisi
mandibula dan mencegah agar lidah tidak jatuh ke belakang. Prinsip
terapi OA sama dengan CPAP, yaitu mencegah kolapsnya saluran nafas
atas selama tidur sehingga dapat menurunkan episode apnea atau
hipoapnea pada penderita OSA. Terdapat beberapa efek samping OA
antara lain, hipersalivasi, mulut kering, iritasi gusi, atralgia pada sendi
temporomandibular, nyeri pada gigi, dan perubahan oklusi gigi
(Bahagia & Putu, 2020).
22
2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada OSA bertujuan untuk memperbaki
volume dan bentuk saluran nafas atas. Indikasi pembedahan pada OSA
adalah:
a. AHI ≥20x/jam
b. Saturasi O2<90%
c. Tekanan esophagus di bawah -10 cmH2O
d. Adanya gangguan kardiovaskular (seperti aritmia dan hipertensi)
e. Gejala neuropsikiatri
f. Gagal dengan terapi non-bedah
g. Adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan
nafas.
Trakeotomi merupakan modalitas primer untuk OSA dan tindakan
sementara selama prosedur bedah lainnya dimana jalan nafas tidak
dapat dipertahankan melalui rute oronasal. Metode awal yang
digunakan adalah prosedur bedah dan rekonstruksi saluran napas atas
atau bypass. Prosedur bypass terdiri dari prosedur hidung yang meliputi
septoplasty, functional rhinoplasty, nasal valve surgery, nasal
polypectomy, dan prosedur endoskopi (Arnold et al., 2017). Tindakan
operasi yang paling sering dilakukan dan merupakan terapi lini pertama
pada anak dengan OSA derajat sedang hingga berat adalah tonsilektomi
dan adenoidektomi. Metode operatif lain meliputi Uvula Palato
Pharyngoplasty (UPPP), Maxillo Mandibular Advancement (MMA),
dan tonsilektomi yang dilakukan pada penderita OSA berat yang
terancam hidupnya. Namun, efektivitas sebagian besar terapi
operatif untuk OSA menurun seiring dengan pertambahan umur dan
berat badan (Bahagia & Putu, 2020).
23
BAB III KESIMPULAN
24
4. Sleep apnea dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu sentral sleep
apnea, obstuktif sleep apnea,dan campuran sleep apnea.
5. Snoring atau mendengkur disebabkan oleh peningkatan resistensi saluran
pernapasan atas, dan Ketidakstabilan pola pernapasan Sleep apnea dapat
terjadi jika kelainan kontrol susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot
saluran nafas atas yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan klinis.
6. Adapun diagnosis snooring dan aleep apnea meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
7. Tatalaksana OSA terdiri dari terapi non-bedah (penurunan berat badan,
terapi posisi, PAP, dan OA) dan terapi bedah yang dilakukan atas indikasi
tertentu.
25
DAFTAR PUSTAKA
Nakashima T.N., Ilmari P., Megan A.A., Margaretha L.C., Carol A.F.,
Nauma F.M., et al. 2016. Meniere’s Disease. Nature.
Vol.2(16028): 1-18.
26
Pearce, E. C. 2014. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Saladin KS. 2014. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and
Function. 5th ed. New York: McGraw-Hill. p. 617-618.
27