Anda di halaman 1dari 35

Volume 02, No.

2 September 2018

ENT UPDATE
Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Editor :
dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K), FICS
dr. I Putu Yupindra Pradiptha

PROGRAM STUDI THT-KL


FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

i
KATALOG DALAM TERBITAN

ENT UPDATE
Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana

Editor :
dr. I DG Arta Eka Putra Sp.THT-KL (K)
dr. I Putu Yupindra Pradiptha

ISBN : 987-602-1672-81-5

vi x 327 halaman, 21 x 29,7

Penerbit :
PT. Percetakan Bali, Jl. Gajah Mada I/1 Denpasar 80112,
Telp. (0361) 234723, 235221
NPWP.01.126.5-904.000, Tanggal pengukuhan DKP: 01 Juli 2006

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga ENT
UPDATE Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana Vol 2 No.2 dapat
diselesaikan dengan baik. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu penyusunan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberi balasan atas segala bantuan yang telah diberikan.
Kami menyadari bahwa buku yang telah disusun masih jauh dari sempurna
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga
buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Denpasar, September 2018

Editor

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………...…………………..……………………………..iii
Daftar Isi………………………………………………….………………………….iv

Penggunaan Antagonis Reseptor Leukotrien Dalam Terapi Rinitis Alergi……1


Wayan Suardana

Diagnosis dan Penatalaksanaan Polip Antrokoanal ……….……………………22


Luh Made Ratnawati

Dekompresi Nervus Fasialis Setinggi Ganglion Genikuli Melalui Pendekatan


Otoendoskopi Epitimpani..………………………………………………………...53
Eka Putra Setiawan

Benda Asing Tulang Di Esofagus Dengan Komplikasi Abses Tiroid …………..83


IDG Arta Eka Putra

Tuli Sensorineural Pada Hipotiroid Kongenital ..................................................109


I Made Wiranadha

Adenoma Pleomorfik Kelenjar Ludah Minor Daerah Palatum………………..138


I Gde Ardika Nuaba

Stenosis Vestibulum Pada Anak ….……………………………………………157


Komang Andi Dwi Saputra

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinore Akibat Kebocoran Cairan


Serebrospinal………………………………………………………………………181
Sari Wulan Dwi Sutanegara

Penatalaksanaan Abses Esofagus Akibat Tulang Ikan Di


Esofagus……………………………………………………………………………203
I Wayan Sucipta

Diagnosis dan Penatalaksanaan Crooked Nose………………………...….……227


Agus Rudi Astutha

Adenoma Pleomorfik Pada Kelenjar Submandibula Kiri………….………......247


I Ketut Suanda

Penatalaksanaan Fraktur Kompleks Tulang Naso-Orbital-Ethmoid


(NOE)………………………………………………………………………………268
Ni Luh Sartika Sari

Manual Lymph Drainage Vodder (MLDV) Pada Pasien


Rinosinusitis………………………………………………………………………..292
Putu Santi Dewantara

iv
DEKOMPRESI NERVUS FASIALIS SETINGGI GANGLION GENIKULI
MELALUI PENDEKATAN OTOENDOSKOPI EPITIMPANI
Oleh
Eka Putra Setiawan
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. Pendahuluan
Kerusakan saraf fasialis akibat trauma atau fraktur tulang temporal
merupakan penyebab kedua terbanyak parese saraf fasialis perifer setelah Bell’s
palsy. Kerusakan saraf fasialis akan menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah.
Berat ringannya parese saraf fasialis yang ditimbulkan sesuai dengan derajat
kerusakan saraf fasialis itu sendiri. Parese saraf fasialis yang akut dapat disebabkan
oleh proses inflamasi, infeksi, iatrogenik, traumatik dan idiopatik. Parese saraf
fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron yang terjadi bila
nukleus atau serabut distal saraf fasialis terganggu, yang menyebabkan kelemahan
otot-otot wajah. Amin dan sayuti tahun 2005 melaporkan penelitian yang dilakukan
di RS Pahang, Malaysia dari 1309 pasien dengan trauma kepala, 61 pasien
terdiagnosa dengan fraktur tulang temporal (4,7%). Sebagian besar kasus adalah
kecelakaan lalu lintas (85,9%) dan sebagian besar adalah laki-laki (88,5%).
Frekuensi fraktur temporal kanan sebesar 63,3% dan 67% merupakan tipe
longitudinal.1
Evaluasi segera fungsi motorik saraf fasialis setelah trauma kepala dan leher
akan memberikan informasi penting. Semua cabang saraf fasialis dievaluasi
gerakannya secara terperinci. Pembengkakan jaringan dan perdarahan bawah kulit
dapat mengacaukan hasil pemeriksaan fungsi saraf. Kelumpuhan total yang terjadi
segera setelah trauma merupakan gambaran terjadinya trauma saraf yang berat dan
harus segera dilakukan operasi eksplorasi terutama pada kasus-kasus akibat

1
trauma dengan penetrasi. Tingkat keberhasilan dalam pengobatan pasien dengan
kelumpuhan saraf fasialis ditentukan oleh kecepatan tindakan pengobatan baik
dengan operatif ataupun konservatif. Proses kesembuhan tergantung dari tingkat
kerusakan saraf dan rehabilitasinya. Selama ini untuk dekompresi nervus fasialis
setinggi ganglion genikuli pendekatannya adalah melalui transmastoid kemudian
dilanjutkan timpanotomi superior dan posterior. Untuk akses ke ganglion genekuli,
inkus diangkat sehingga gangguan pendengaran akan lebih berat, walaupun inkus
dikembalikan lagi. Dengan adanya kemajuan teknologi berupa otoendoskopi, inkus
hanya dilakukan transposisi, sudah cukup untuk akses ke ganglion genekuli.
Keuntungan lain dari endoskopi adalah minimal invasif, tapi kelemahannya yaitu
operator hanya menggunakan satu tangan, serta lapangan operasi tidak tiga

dimensi.1,2

II. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Anatomi Tulang Temporal
Tulang temporal terdiri dari pars skuamosa, pars timpanika, pars mastoidea,
pars petrosa serta prosesus stilomastoideus. Pars skuamosa dengan tulang yang
cukup tipis, cembung keluar dari tempat melekatnya muskulus temporalis. Pars
timpanika berbentuk silinder berukuran ± 2 cm yang bersama-sama pars skuamosa
membentuk kanalis auditorius eksterna dan dengan pars mastoidea membentuk pars
timpanika yang berisi saraf vagus. Pars skuamosa, pars timpanika dan prosesus
zigomatikus bersama-sama membentuk fosa mandibularis. Pada pars mastoidea
melekat muskulus sternokleidomastoideus, splenikus kapitis, longisimus dan

muskulus digastrikus, sedangkan pada pars petrosa terdapat labirin.3

2
Gambar.1 Anatomi tulang temporal

2.1.2. Anatomi Saraf Fasialis


Serat saraf fasialis secara anatomi dibagi menjadi tiga yaitu endonerium,
perinerium dan epinerium. Endonerium mengelilingi setiap serabut saraf,
menyediakan tabung endoneural. Tabung ini diperlukan untuk regenerasi saraf.
Dengan demikian jika endonerium terganggu prognosis untuk mengembalikan
fungsi lebih buruk. Perinerium mengelilingi sekelompok serabut saraf. Ini
memberikan kekuatan tegangan, melindungi saraf dari infeksi dan menyediakan
pengaturan tekanan. Komponen terakhir adalah epinerium yang mengelilingi
seluruh saraf dan bertanggung jawab memberikan nutrisi ke saraf melalui vasa
nervorum. Saraf fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris
dan parasimpatis yaitu : 1) serabut motoris mensarafi muskulus stapedius, venter
posterior muskulus digastrikus, otot-otot telinga dan seluruh otot–otot ekspresi
wajah kecuali muskulus levator palpebra superior, 2) serabut saraf sensoris menuju
ke kelenjar pengecap 2/3 lidah bagian anterior melalui korda timpani, 3) serabut
parasimpatis menuju ke glandula lakrimalis, glandula submaksilaris dan glandula
sublingualis.4,5,6,7
Dari kedua inti, serabut saraf fasialis berjalan mengelilingi inti saraf abdusen,
lalu meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf kokleovestibularis dan saraf
intermedius Wrisberg kemudian masuk ke dalam tulang temporal melalui kanalis
akustikus internus. Di dalam tulang temporal, saraf fasialis akan berjalan dalam
suatu saluran tulang yang disebut kanal Fallopii. Perjalanan saraf fasialis dalam
tulang temporal dibagi menjadi 3 segmen. 1) Segmen labirin

3
terletak antara akhir kanal akustikus internus dan ganglion genikulatum dengan
panjang 2-4 mm. Saraf petrosus superior mayor keluar dari ganglion genikulatum
dan memberikan rangsang untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis. 2). Segmen
timpani atau segmen horizontal, terletak diantara bagian distal ganglion
genikulatum dan berjalan kearah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah
tingkap lonjong atau oval window dan stapes, lalu turun sejajar dengan kanalis
semisirkularis horizontal, panjangnya ± 12 mm. Biasanya bagian tulang kanalis
semisirkularis horizontalis menonjol di lateral dari kanalis fasialis, bagian
anteriornya berjarak 0,1-1 mm dan bagian posteriornya berjarak 2-3 mm. Di sini
keluar saraf stapedius yang mensarafi muskulus stapedius. 3). Segmen mastoid atau
segmen vertikal, panjangnya 15-20 mm. Segmen ini berawal dari dinding medial
dan posterior kavum timpani. Peralihan dari segmen timpani ke segmen mastoid
disebut segmen piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling
lateral dari saraf fasialis sehingga pada saat operasi mudah mengalami trauma.
Panjang segmen piramidal kira-kira 2-6 mm. Dinding lateralnya merupakan batas
medial bawah aditus ad antrum. Segmen mastoid berjalan ke arah kaudal menuju
foramen stilomastoid yang terletak pada celah digastrik. Sekitar pertengahan
segmen mastoid, saraf fasialis bercabang menjadi korda timpani yang membawa
serabut-serabut pengecap 2/3 anterior lidah, perasaan sakit, temperatur dan
sensibilitas dinding posterior meatus akustikus eksternus serta membawa serabut-
serabut sekretoris untuk glandula sub maksilaris dan sub lingualis. Setelah keluar
dari tulang mastoid, saraf fasialis menuju glandula parotis dan membagi diri untuk

mensarafi otot-otot wajah.8,9

4
Gambar 2. Perjalanan nervus fasialis

Gambar 3. Bagan segmen, fungsi dan perjalanan N VII

5
2.2. Fraktur Tulang Temporal

Fraktur tranversal mulai dari fosa jugularis melintasi piramid sampai ke


permukaan anteriornya dan menyebabkan perdarahan dalam koklea dan kanalis
semisirkularis. Telinga tengah tetap utuh, kecuali bila fraktur luas melalui dinding
medialnya. Fraktur-fraktur kecil yang meluas ke dalam mastoid atau antrum dapat
mengakibatkan ekimosis di sekitar mastoid. Saraf fasialis dan vestibulokokhlearis
dapat rusak oleh laserasi atau kompresi. Fraktur tranversal dapat menimbulkan
gangguan pendengaran tipe sensorineural, vertigo dan merupakan 50% kasus
kelumpuhan saraf fasialis. Lokasi fraktur saraf fasialis segmen labirin sekitar 90%

dan segmen meatal 10% kasus.9,15,16

Gambar 4. Fraktur longitudinal tulang temporal (kiri) dan fraktur


transversal tulang temporal (kanan)

6
2.3. Epidemiologi
Kecelakaan kendaraan bermotor mengakibatkan trauma kepala dengan
berbagai tingkat keparahan. Di masa lalu, 75% dari kecelakaan kendaraan bermotor
mengakibatkan trauma kepala, namun saat ini sudah berkurang dengan penggunaan
sabuk pengaman dan munculnya airbag. Walaupun kekuatan trauma tidak cukup
kuat memecah tulang tengkorak, tetapi 14%-22% penderita mengalami fraktur
tulang temporal. Dilaporkan sampai saat ini 31% fraktur diakibatkan kecelakaan
kendaraan bermotor. Kelumpuhan saraf fasialis terjadi pada 20% penderita,
biasanya berupa neuropraksia atau parsial aksonotmesis. Fraktur tulang temporal
dilaporkan terjadi pada semua kelompok usia. Lebih dari 70% terjadi selama dekade
kedua, ketiga dan keempat. Fraktur terutama terjadi pada pria dengan perbandingan
3:1, karena keterlibatan dalam kegiatan berisiko bukan karena kelemahan struktural

dalam tengkorak laki-laki.6,8,17

2.4. Neurofisiologi dan neuropatologi cedera saraf


Ekspresi wajah merupakan hasil dari gerakan 7000 serabut motorik secara
sinkron yang mengawali kontraksi otot. Masing-masing akson bersinap dengan
beberapa serat. Neurotransmiter kimiawi berupa asetilkolin dan enzim-enzim

7
golongan kolin transferase dibentuk oleh badan saraf pada pons dan diangkut
sepanjang saraf menuju lamina akhir motorik atau motor end plate, melalui sistem
mikrotubular. Diduga neuro metabolit juga diangkut ke proksimal dengan
mekanisme yang sama dari masing-masing akson. Saraf fasialis mempunyai neuron
motorik tunggal yang terletak dalam sistem saraf pusat. Akson sel motorik
dibungkus oleh sel Schwann dan membentuk tubulus neuralis. Nodus Ranvier yang
merupakan batas antar sel Schwann dapat terlihat tiap satu milimeter. Akson
menerima oksigen dari sel Schwan dan membantu aksoplasmanya dari neuron
induk. Kecepatan metabolisme aksoplasma dan kecepatan gerakannya diperkirakan
sekitar 1 mm per hari. Perkembangannya dimulai dari sistem saraf pusat ke arah
distal, ini adalah kecepatan regenerasi suatu akson bilamana suatu saraf terpotong
lengkap.7,8,9,11
Seddom mengklasifikasikan kelumpuhan saraf fasialis menjadi 3 yaitu
neuropraksia, aksonotmesis dan neurotmesis. Sedangkan Sunderland membagi
kelumpuhan saraf fasialis menjadi 5 kelas yang berbeda. Cedera kelas I disebut
sebagai neuropraksia, dimana terdapat blok konduksi akibat terhentinya aliran
aksoplasma karena kompresi. Diharapkan terjadi pemulihan penuh pada cedera ini.
Kelas II disebut aksonotmesis, akson terganggu dan terjadi degenerasi Wallerian
pada distal lokasi cedera. Tabung endoneural tetap utuh, sehingga regenerasi bisa
terjadi, namun sangat lambat yaitu 1 mm per hari. Masih ada kemungkinan
pemulihan fungsi lengkap pada cedera kelas II. Cedera kelas III disebut neurotmesis.
Dalam cedera ini tabung saraf terganggu sehingga regenerasi kembali dan fungsi
terpengaruh. Jika regenerasi tidak terjadi, kemungkinan terdapat sinkinesis.
Sinkinesis adalah gerakan massa otot abnormal secara bersama-sama. Cedera kelas
IV diklasifikasikan sebagai gangguan endoneurium, perineurium dan akson,
sedangkan epineurium tetap utuh. Hasil regenerasi fungsional jelek, dengan risiko
tinggi sinkinesis. Cedera kelas V adalah yang terburuk dan diklasifikasikan sebagai
gangguan saraf lengkap. Hanya ada sedikit kesempatan regenerasi. Risiko
pembentukan neuroma meningkat karena kecambah aksonal yang membuat jalan

keluar dari selubung saraf.5,6,7,8

8
Gambar 5. Klasifikasi histopatologi trauma saraf perifer

Bila impuls terhambat terjadi neuropraksia atau blok kunduksi, ada


bendungan aliran transportasi aksoplasma dalam dua arah, tapi sebagian
transportasi aksoplasma tetap berlanjut. Jarak antara lokasi cedera dengan badan sel
di pons ikut menentukan tingkat cedera terhadap keseluruhan saraf. Jika cedera
terjadi pada kanalis akustikus internus dengan akson terputus, maka aksoplasma
yang hilang akan cukup panjang dan kerusakan permanen akan lebih besar
dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi di distal, dekat motor end palte. Orang
yang lebih muda akan sembuh lebih sempurna dari cidera yang sama bila
dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Jika besarnya tekanan pada saraf cukup
untuk menyebabkan hambatan total gerakan aksoplasma melewati lokasi cidera
dalam beberapa hari, maka terjadi aksonotmesis dengan hilangnya kontinuitas
akson. Akibatnya terjadi degenerasi Walleri pada bagian distal. Selama beberapa
hari akson masih dapat responsif secara elektrik terhadap rangsangan eksternal di
bagian distal, namun tidak ada gerakan motorik voluntari atau hantaran listrik
melewati tempat c edera. Secara histologis saraf proksimal masih normal namun
telah terjadi perubahan biokimiawi.8,9
Sel Schwann yang membengkak dan bersifat fagositik, selanjutnya membelah
hingga mengisi penuh tubulus jaringan penyambung yang mengelilingi masing-
masing serabut saraf. Neuron yang mengalami kekurangan nutrisi akan kembali ke
ukuran semula setelah akson kehilangan substansi Nissl dengan

9
pembengkakan sitoplasma atau kromatolisis. Tiga atau empat hari setelah cedera
terjadi pembentukan pita Bungner. Pita ini diduga menyediakan zat biokimia untuk
saraf-saraf yang baru. Bila serabut saraf terpotong, saraf yang mengalami perbaikan
membentuk suatu kerucut pertumbuhan pada ujung proksimal akson. Terdapat
proses protoplasma multipel pada kerucut pertumbuhan dan akson regenerasi
tunggal tumbuh bercabang dan memasuki sel-sel Schwann berbagai tubulus.
Dengan cara yang sama pertumbuhan dapat terjadi kearah saraf yang lain.6,8,9
Otot wajah dapat mengalami pengecilan setelah hilangnya saraf motorik.
Saraf fasialis melewati tiga tahapan cedera. Tahap pertama berlangsung hingga 21
hari, melibatkan peristiwa fisiologi dimana badan sel mengalami transformasi
metabolik dan mulai beregenerasi guna membentuk aksoplasma yang akan
menempati neurotubulus. Tahap kedua berlangsung hingga 2 tahun, suatu masa
dimana sel dan segmen proksimal dapat beregenerasi menggunakan pita Brugner
atau cadangan tuba endoneural, melalui akson yang beregenerasi dapat mencapai
otot-otot wajah. Oleh sebab itu sampai 2 tahun setelah cidera masih dapat
dipertimbangkan reanastomosis saraf yang putus dengan menempatkan suatu
cangkokan penghubung antara 2 titik yang terpisah atau mentransfer suatu saraf
motorik fungsional pada segmen saraf distal. Untuk alasan ini diyakini bahwa
rehabilitasi otot wajah dapat dilakukan dengan cara mentransfer saraf atau
reanstomosis cedera saraf, setidaknya dalam jangka waktu 24 bulan setelah cedera.
Tahap ketiga biasanya ditandai dengan pembentukan jaringan parut pada saraf distal
dan degenerasi otot.7,8
Analisis histokimia dari suatu regenerasi neuron memperlihatkan
peningkatan kadar sintese RNA dan dehidrogenase glucosa-6-phosphat yang
mencapai puncaknya sekitar 21 hari. Beberapa ahli mengatakan berdasarkan
informasi ini, bahwa saraf yang terpotong akan sembuh paling baik bila diperbaiki
secepatnya. Penundaan tidak dianjurkan karena dapat terjadi perubahan fisik dan
pembentukan jaringan parut pada luka.8,9,16

10
2.5. DIAGNOSIS
Cedera kepala yang disebabkan kecelakaan motor merupakan penyebab
terbanyak kasus parese saraf fasialis akibat trauma (31%). Mekanisme atau riwayat
detail dari trauma harus ditanyakan pada anamnesis. Termasuk bagian kepala yang
terkena benturan. Ini berhubungan dengan kemungkinan jenis fraktur yang terjadi.
Trauma dari arah frontal atau oksipital sering menyebabkan fraktur tulang temporal
jenis transversal. Sedangkan trauma dari arah lateral sering menyebabkan fraktur
jenis longitudinal. Onset dan progresivitas parese saraf fasialis sangat penting.
Adanya gangguan pendengaran atau vertigo setelah trauma tulang temporal harus
dicurigai telah terjadi cedera pada saraf fasialis. Segera setelah kondisi umum dan
fungsi hemodinamik pasien stabil, dilakukan pemeriksaan saraf fasialis dan status
pendengaran. Termasuk pemeriksaan awal dengan otoskopi. Sering pemeriksaan
awal untuk fungsi saraf fasialis ini terlambat karena “keadaan darurat” seperti
perdarahan aktif dianggap telah teratasi. Pemeriksaan THT di telinga meliputi
pemeriksaan kanalis akustikus eksternus, melihat adanya laserasi atau perlukaan.
Dengan bantuan otoskop, melihat kondisi membran timpani, apakah disertai dengan
perforasi atau hemotimpani. Perhatikan juga jenis cairan otore yang keluar, apakah

bercampur darah atau jernih (cairan serebrospinal). 6,7,8


Komplikasi lain dari kerusakan saraf fasialis adalah air mata buaya (crocodile
tears), yang terjadi akibat penyimpangan regenerasi serabut saraf parasimpatis yang
seharusnya menginervasi kelenjar liur, menjadi menyimpang ke kelenjar lakrimal.
Selain itu dapat pula terjadi hiperkinesis di tendon stapes, yang menimbulkan
keluhan telinga penuh dan bergemuruh. Tujuan pemeriksaan fungsi saraf fasialis
disamping untuk menentukan derajat kelumpuhan, juga dapat menentukan letak lesi
saraf fasialis. Pada pemeriksaan fungsi motorik otot – otot wajah, dapat digunakan

gradasi fungsi saraf fasialis menurut House-Brackmann dan Freys.7,8

11
Tabel 1. Derajat kelumpuhan saraf fasialis berdasarkan Hause dan Brackmann7
Derajat Deskripsi Karakteristik
I Normal Fungsi fasial normal pada semua area
II Disfungsi Kelemahan ringan terlihat pada inspeksi
Ringan dari dekat mungkin terdapat sinkinesis
ringan
Simetris dan tonus istirahat normal
Gerakan:
Dahi: fungsi sedang sampai baik
Mata: menutup sempurna dengan usaha
minimal
Mulut: asimetris ringan
III Disfungsi Jelas tapi tidak terlihat perbedaan bentuk
Sedang yang berarti; terlihat tapi tidak terdapat
sinkinesis, kontraktur atau spasme
hemifasial yang berat
Simetris dan tonus istirahat normal
Gerakan:
Dahi: ringan sampai sedang
Mata: menutup dengan usaha
Mulut: lemah dengan usaha maksimal
IV Disfungsi Kelemahan jelas atau asimetris jelas
Sedang- Simetris dan tonus istirahat normal
Berat Gerakan:
Dahi: tidak ada
Mata: menutup tidak sempurna
Mulut: asimetris dengan usaha maksimal
V Disfungsi Hanya sedikit gerakan yang terlihat
Berat Asimetris saat istirahat
Gerakan:
Dahi: tidak ada
Mata: menutup tidak sempurna
Mulut: sedikit gerakan
VI Paralisis Tidak ada gerakan sama sekali
Total

Pada sistem gradasi Freys, yang pertama kali diperkenalkan di Prancis


terdapat sedikit perbedaan dengan House Brackmann. Pada sistem ini dinilai 4
komponen, yaitu pemeriksaan fungsi motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme.
Pada pemeriksaan sistem motorik, wajah dibagi menjadi 10 area, berdasarkan 10
otot yang bertanggung jawab terhadap mimik dan ekspresi wajah. Kesepuluh otot
yang diperiksa dan cara pemeriksaannya dijelaskan pada tabel 2.7,8

12
Tabel 2. Cara pemeriksaan otot wajah

Otot Cara pemeriksaan


1. M.frontalis 1.Mengangkat alis ke atas
2. M. Soursiller 2.Mengerutkan alis
3. M. Pyramidalis 3.Mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
4. M. Orbikularis okuli 4.Memejamkan kedua mata kuat-kuat
5. M. Zygomatikus 5.Tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
6. M. relevar komunis 6.Memoncongkan mulut ke depan sambil
memperlihatkan gigi
7. M. Businator 7.Mengembungkan kedua pipi
8. M. Orbikularis oris 8.Bersiul
9. Triangularis 9.Menarik kedua sudut bibir kebawah
10. M. Mentalis 10.Memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke
depan.

Untuk setiap gerakan dari kesepuluh otot-otot tersebut, dibandingkan antara sisi
kanan dan kiri dan diberi nilai dari 0 sampai dengan 3: Nilai 3: gerakan normal dan
simetris, Nilai 2: gerakan di antara nilai 1 dan 3, Nilai 1: sedikit ada gerakan, Nilai
0: tidak ada gerakan sama sekali.7,8
Dalam keadaan normal, dimana tidak terdapat kelainan saraf fasialis, maka
nilai maksimal dari penjumlahan 10 area di wajah pada satu sisi adalah 30.
Pemeriksaan tonus wajah dinilai dengan membagi wajah menjadi 5 area. Menurut
Freyss, pemeriksaan tonus merupakan hal yang penting dan penilaian tidak harus
dilakukan untuk setiap otot, melainkan cukup untuk setiap tingkatan otot-otot
wajah. Nilai untuk tonus bernilai 0-3, dengan nilai 3 untuk tonus normal dan 0 bila
tidak ada tonus. Apabila terdapat hipotonus maka nilai dikurangi 2 untuk setiap
tingkatan tergantung derajatnya. Pada keadaan normal nilai total untuk tonus dari
kelima tingkatan wajah adalah 15. Sinkinesis merupakan salah satu komplikasi dari
parese saraf fasialis. Untuk mengetahui ada tidaknya sinkinesis dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut: a) Penderita disuruh memejamkan mata

13
sekuat-kuatnya, kemudian pemeriksa memperhatikan ada tidaknya pergerakan otot-
otot di daerah sudut bibir atas. Kemudian dilakukan penilaian sebagai berikut: nilai
2 bila tidak ditemukan sinkinesis. Bila terjadi sinkinesis pada sisi paresis tergantung
derajatnya dikurangi nilai 1 atau 2. b) Penderita disuruh tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi, kemudian pemeriksa memperhatikan ada atau tidaknya
pergerakan otot-otot sudut mata bawah. Penilaian seperti (a). c). Sinkinesis juga
dapat terlihat saat seseorang berbicara (gerakan emosi). Pemeriksa memperhatikan
ada tidaknya pergerakan otot-otot di sekitar mulut. Bila tidak tampak sinkinesis
diberi nilai 1. Bila terjadi sinkinesis pada sisi parese maka diberi nilai 0.
Hemispasme merupakan suatu hiperaktivitas saraf fasialis unilateral. Bila tidak
terdapat hemispasme maka diberi nilai 0, namun bila terdapat hemispasme, untuk
setiap gerakannya diberikan nilai minus satu (-1). Nilai total dari motorik, tonus,
sinkinesis dan hemispasme pada keadaan normal adalah 50. Gradasi parese, dinilai
berdasarkan nilai total hasil pemeriksaan dikali 2 untuk mendapatkan persentase
fungsi motorik saraf fasialis yang baik. Dalam sistem ini juga dilakukan penilaian
topografi dan pemeriksaan Electrophisiologic tests yang meliputi Nerve Exitability
Test (NET), Maximal Stimulation Test (MST), Electroneurography (EnoG) dan
Electromyography (EMG). Penilaian topografi mencakup tes Schirmer, refleks
stapedius dan gustometri. Tes Schimer atau tes refleks nasolakrimal, untuk
mengetahui fungsi serabut simpatis saraf fasialis melalui saraf petrosus superfisialis
setinggi ganglion genikulatum. Caranya dengan meletakkan kertas lakmus pada
dasar konjungtiva. Menurut Freys jika terdapat perbedaan antara mata kanan dan
kiri, ≥ 50% dianggap patologis. Untuk menilai refleks stapedius digunakan elektro
kaustik impedans yaitu dengan memberikan ambang rangsang pada m.Stapedius
untuk mengetahui fungsi saraf stapedius cabang saraf fasialis. Pada gustometri
dinilai adanya perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freys menetapkan
bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis. Dari sistem ini dapat dilaporkan
letak lesi dengan persentase fungsi motorik yang terbaik disertai kemungkinan

prognosis dari hasil NET, MST, EnoG atau EMG.7,8,9

14
Pemeriksaan radiologi berupa CT scanning dengan resolusi tinggi sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis fraktur tulang temporal. Keutuhan osikel
atau tulang-tulang pendengaran juga dievaluasi. Jika memungkinkan, untuk
mendapatkan gambaran yang maksimal, CT scanning yang diminta adalah
potongan koronal axial dengan irisan 0,6 mm.

Gambar 6. CT Scan potongan Axial, tampak fraktur tulang temporal kiri

Tes pendengaran dilakukan jika kondisi penderita telah memungkinkan,


mulai dari pemeriksaan audiologi sederhana berupa tes penala, audiometri nada
murni dan timpanometri. Disamping berfungsi untuk mendeteksi derajat ketulian
yang terjadi, pemeriksaan ini penting sebagai dasar perkembangan kemajuan
pengobatan setelah terapi pembedahan dilakukan. Tes elektrofisiologik seperti
NET, MST, EnoG dan EMG dilakukan untuk menilai derajat kerusakan,
menentukan prognosis perbaikan saraf fasialis pasca trauma serta merencanakan

terapi yang akan diberikan.7,8,9

2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan parese saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal sampai
sekarang masih merupakan hal yang kontr oversial. Secara skematis penanganan
kelumpuhan saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal adalah sebagai berikut:7

15
Tabel 3. Bagan penanganan kelumpuhan saraf fasialis

2.6.1. Konservatif
Pengobatan konservatif yang diberikan adalah medikamentosa dan
fisioterapi. Pengobatan untuk mengurangi edema saraf dapat diberikan
kortikosteroid. Neurotonika diberikan untuk pertumbuhan sarafnya. Fisioterapi

16
juga dapat diberikan meliputi infra red radiation (IRR), electrical stimulation (ES),
deep kneeding exercise dan mirror exercise. Semua usaha diatas bertujuan untuk
memelihara kontraktilitas otot. Massa melaporkan pasien yang mengalami
kelumpuhan saraf fasialis tanpa adanya faktor prognosis yang buruk, akan
mengalami perbaikan dan penyembuhan yang komplit. Pada pasien dengan
kelumpuhan saraf tingkat I dan II Hause dan Brackman didapatkan lebih dari 90%
pasien mengalami perbaikan mendekati normal.6,8,18,19

2.6.2. Pembedahan
Sebagian penulis merekomendasikan untuk hanya mengobservasi dan terapi
simptomatis saja. Mainan dkk, mengamati dari 45 pasien non-operatif, didapatkan
44 orang mengalami penyembuhan yang memuaskan dan 65% mengalami
penyembuhan yang sempurna. Seperti dikutip Mattox, dari McKennan dan Chole,
pasien paralisis saraf fasialis dengan onset yang telah terlambat, tetap mengalami
penyembuhan yang baik. Ketika telah diputuskan pasien dengan parese saraf
fasialis akibat trauma ini akan dilakukan terapi pembedahan berupa dekompresi,
pasien dihadapkan pada keadaan antara onset yang cepat atau onset yang telah lama.
Pada onset yang cepat, biasanya kondisi trauma pasien lebih berat. Dari Mattox,
berbeda dengan yang didapatkan oleh Adegbite dkk, mengatakan prognosis lebih
ditentukan oleh derajat kerusakan saraf fasialis, bukan oleh waktu atau onsetnya.
Menurut Fisch, berdasarkan hasil tes elektrofisiologik (EnoG), degenerasi sel-sel
saraf mulai terjadi 6 hari setelah onset. Idealnya dekompresi dilakukan segera
setelah trauma berlangsung. Tapi menurut Fisch dan Kartush, waktu terbaik untuk
melakukan pembedahan dekompresi ini adalah setelah 3 minggu, karena edema dan
hematoma jaringan telah minimal, perdarahan intra operasi jadi minimal sehingga
lapangan operasi lebih jelas terlihat. Walaupun repair dalam waktu 30 hari pasca
trauma memperlihatkan hasil yang sama. Pada kasus parese saraf fasialis yang telah
berlangsung lama, tes elektris atau fisiologik tidak lagi menghasilkan hasil yang
valid. Dianjurkan untuk menunggu sampai 12 bulan, setelah itu pembedahan
dilakukan jika tidak ada perbaikan secara klinis atau hasil EMG juga tidak baik.
Eksplorasi pembedahan saraf fasialis pasca

17
trauma membutuhkan ahli bedah yang berpengalaman dalam operasi mastoid,
translabirin, eksplorasi fossa media dan repair saraf. Ketelitian saat operasi sangat
diperlukan, karena menurut Jones, 14 dari 15 pasien dengan CT scanning fraktur
tulang temporal, juga disertai kontusio lobus temporal ipsilateral. Keberhasilan
tindakan operasi saraf sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang anatomi saraf
fasialis, adanya alat monitoring elektrik intra operatif dan kelengkapan instrumen.
Operatif dilakukan jika adanya kehilangan pendengaran yang berat dan gangguan
keseimbangan. Prosedur operasi adalah membebaskan saraf, dekompresi saraf atau
memperbaiki secara anatomi saraf fasialis. Menurut Hough bahwa 66,6% pasien
trauma kepala baru ditemukan adanya garis fraktur saat operasi berlangsung, 92,3%
terjadi dislokasi inkudostapedial serta 57,1% tulang inkus telah terlepas dari
tempatnya. Tindakan bedah dapat dilakukan dengan 3 pendekatan tergantung dari
jenis trauma serta lokasi saraf fasialis yang terkena. Pendekatan yang dapat
dilakukan seperti: 1) pendekatan mastoidektomi atau ekstended mastoiektomi, 2)
pendekatan fossa kranialis medialis dan 3) pendekatan trans mastoid.7,14-20
Pendekatan mastoidektomi atau ekstended mastoidektomi dikerjakan untuk
mengobservasi saraf fasialis dari ganglion genikulatum sampai foramen
stilomastoid yaitu pada segmen timpani dan segmen mastoid. Pendekatan ini dapat
dengan jelas mengidentifikasi kanal Falopii. Langkah-langkah operasinya adalah
pertama dilakukan mastoidektomi simpel, kedua dilakukan penelusuran dan
identifikasi resesus fasialis, ketiga identifikasi segmen-segmen saraf dan jaringan
kanalis fasialis, keempat hilangkan tulang pembungkus saraf dan kelima jika
diindikasikan lakukan pembukaan pembungkus saraf. Untuk mengamati bagian
saraf fasialis dari ganglion genikulatum bagian distal secara baik dapat dilakukan
mastoidektomi secara luas. Pendekatan fossa kranialis medialis dikerjakan untuk
mengamati secara utuh segmen labirin saraf fasilais dari ganglion genikulatum
sampai dengan kanalis auditorius interna. Prosedur ini selain digunakan untuk
eksplorasi saraf fasialis, juga digunakan pada neuroma akustik intra kanalikuli yang
kecil dan untuk mengeksplorasi saraf vestibuler. Prosedur tindakan ini
dikombinasikan dengan pendekatan trans mastoid kemudian

18
Pendekatan transmastoid ini bisa mengekspos 60% segmen labirin.
Disamping itu menurut May, angka perbaikan parese saraf fasialisnya juga lebih
tinggi yaitu 84-85%. Pendekatan transmastoid sendiri memiliki 2 cara yaitu 1) trans
mastoid epitimpani dimana inkus diangkat pada saat operasi kemudian dipasang
kembali. 2) transmastoid epitimpani dan otoendoskopi dimana inkus hanya digeser
ke atas atau kebawah. Tindakan dekompresi dapat digunakan untuk memperbaiki
jaringan saraf yang terputus dengan cara menyambung kembali secara kontinyu
akson saraf. Jika kerusakan saraf tidak luas, pinggir saraf dapat dibelah secara tajam
dan kemudian direposisi secara anatomi saraf. Jika tepi saraf tidak dapat diambil
atau jika bagian saraf tidak dapat direnovasi maka graf saraf dapat dipasang. Jika
saraf fasialis rusak berat dapat dilakukan tindakan penyambungan dengan graf atau
cable graf atau dengan tindakan komplit end to end anastomosis. Graf saraf dapat
diambil dari matriks atau bagian akson saraf yang dipasang dari proksimal sampai
bagian distal saraf. Graf yang sering digunakan adalah dari percabangan pleksus
servikalis superfisialis khususnya saraf aurikula mayor karena graf mudah

didapatkan disekitar tempat operasi dan ukurannya cocok.5,7,14-20


Aspek yang paling penting dari perbaikan saraf adalah memastikan bahwa
segmen endoneurial diselaraskan karena hal ini akan mendorong regenerasi. Ujung-
ujung saraf harus dijahit menggunakan benang jahitan 9-0 atau 10-0 monofilament
untuk menyambung epineurium atau perineurium. Komplikasi dari tindakan
operasi dapat terjadi perdarahan. Perdarahan tersebut dapat diatasi dengan kauter
serta ditutup dengan bone wax. Menurut Salinas JD, bahwa pemberian injeksi
kortikosteroid pada sendi dan jaringan lunak akibat trauma akan mempercepat
penyembuhan. Kortikosteroid bekerja dengan membatasi dilatasi kapiler dan
permeabilitas struktur vaskular, sehingga proses inflamasi bisa

19
2.7. Prognosis
Prognosis dari kelumpuhan saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal
tergantung dari jenis fraktur, gejala klinis yang timbul, waktu terjadinya trauma
serta penatalaksanaannya. Faktor yang menyebabkan prognosis menjadi buruk
adalah gejala akut atau kelumpuhan terjadi segera setelah trauma, adanya
kelumpuhan komplit berupa neurotmesis dimana saraf terputus saat trauma. Pada
kelumpuhan saraf fasialis bila terdapat perbaikan dalam 3 minggu pertama
diharapkan prognosis akan baik.8
Menurut May dan Shambaugh, pada trauma derajat 1 mulai terjadi perbaikan
saraf fasialis dalam 1-4 minggu dan kemungkinan sembuh secara spontan 1 tahun
setelah trauma. Trauma derajat 2 akan sembuh dengan memuaskan atau terjadi
gejala sisa minimal, mulai terjadi perbaikan dalam 1-2 bulan. Derajat 3 tidak
mengalami penyembuhan yang sempurna, mulai terjadi perbaikan dalam 2-4 bulan.
Derajat 4 terjadi proses perbaikan mulai 4-18 bulan dan derajat 5 tidak terjadi
penyembuhan. Kebanyakan kematian pada fraktur temporal disebabkan oleh
peningkatan tekanan intra kranial secara akut. Tiga prinsip pengobatan parese saraf
fasialis yang akut adalah terapi fisik, terapi obat-obatan serta terapi psikofisik.
Pasien tetap dianjurkan untuk datang kontrol pada waktu 1 minggu, 3 bulan, 6 bulan
dan 1 tahun pasca operasi untuk dilakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis dengan

metode House Brackmann.5,6,8,9,22

20
III. Laporan Kasus
Penderita GS seorang laki-laki, usia 43 tahun, pegawai swasta, beralamat di
Badung, datang ke poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 15 Juni
2017 dengan keluhan bibir mencong ke kiri dan mata kiri tidak bisa menutup sejak
7 hari yang lalu. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, mekanisme
trauma tidak diketahui karena pasien tidak sadar saat kejadian. Ditemukan adanya
riwayat keluar darah dari telinga kiri serta penurunan pendengaran sejak kejadian.
Tidak ada riwayat keluar cairan atau gangguan pada telinga kiri sebelumnya.
Telinga kiri mendenging dan ada gangguan rasa pengecapan bagian depan lidah
sejak kejadian. Tidak ada keluar darah dari hidung. Pasien telah dirawat di RSUP
sanglah selama 3 hari.
Pada pemeriksaan, keadaan umum penderita baik dengan kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, denyut nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit,
temperatur aksila 36,5°C. Pada pemeriksaan THT ditemukan pada pemeriksaan
telinga luar tidak tampak tanda-tanda trauma. Pemeriksaan telinga kiri ditemukan
liang telinga tampak lapang, membran timpani tampak intak, tidak ada sekret, tidak
ada darah yang mengalir dan tidak ada clothing.

Gambar 7. Tampak paralisis saraf fasialis kanan penderita

Pada pemeriksan fungsi saraf fasialis perifer kiri dengan metode Freyss
ditemukan fungsi motorik otot-otot wajah dengan nilai 0, tonus otot 8, sinkinesis 4,
fungsi motor pada gerakan emosi 1, tidak ditemukan hemispasme, total nilai 13.
Pada pemeriksaan saraf fasialis topografi yaitu tes Gustatometri didapatkan fungsi
pengecapan lidah anterior kiri menurun. Tes Schirmer ditemukan perbedaan
produksi air mata antara mata kiri dan kanan (>50%). Pemeriksaan gradasi

21
kerusakan saraf fasialis dengan metode House Bracmann didapatkan wajah tidak
simetris pada sisi kanan dan kiri pada keadaan istirahat, mata kiri tidak bisa
menutup walaupun dengan usaha yang maksimal, serta sudut bibir kiri hanya sedikit
pergerakannya, disimpulkan terdapat kerusakan saraf fasialis perifer kiri derajat V.
Pada pemeriksaan audiometri, didapatkan telinga kiri tidak bisa mendengar lagi
(kesan tuli campuran dengan derajat ketulian sangat berat sebesar 97,5 dB) dan
pemeriksaan timpanometri menghasilkan kurva tipe AD. Pada pemeriksaan CT
Scan kepala tanpa kontras kesan fraktur os temporal kiri. Dari tes fungsi saraf
fasialis didapatkan kelumpuhan saraf fasialis sinistra setinggi ganglion genikulatum
dengan fungsi saraf sebesar 26%.

Gambar 7. CT scan kepala fokus mastoid potongan axial

Berdasarkan hasil pemeriksan diatas penderita didiagnosis fraktur tulang


temporal dan parese saraf fasialis perifer sinistra dengan fungsi motorik terbaik
26% House Brackmann derajat V, dengan letak lesi setinggi ganglion genikulatum.
Penderita direncanakan dilakukan tindakan dekompresi saraf fasialis, pendekatan
yang dilakukan adalah transmastoid (otoendoskopi epitimpani) dengan anestesi
umum. Selama persiapan diberikan terapi methikobal 3x500 mg tablet intraoral.
Pada tanggal 19 Juni 2017 mulai dilakukan persiapan operasi dengan hasil
pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan leukosit 16,88 10µ/µL.
Foto dada dalam batas normal. Kemudian dikonsulkan ke Anestesi dengan
kesimpulan tidak ada kontra indikasi tindakan operasi dengan anestesi umum.
Penderita masuk rumah sakit tanggal 24 Juni 2017 dan dilakukan operasi
dekompresi saraf fasialis sinistra keesokan harinya tanggal 25 Juni 2017 melalui
pendekatan otoendoskopi epitimpani. Saat operasi ditemukan fraktur temporal

22
dari genu, ganglion genikulatum sampai korteks mastoid. Tampak dislokasi tulang
pendengaran seperti inkus, stapes, maleus dimana maleus posisinya terdorong ke
antero-inferior. Inkus lepas dari kepala maleus, prosessus longus inkus lepas dari
artikulasi dan menempel di krus anterior stapes. Stapes dislokasi kearah superior
inferior. Jaringan granulasi membungkus stapes dan kavum timpani, antrum sampai
ke korteks mastoid. N.fasialis dari genu sampai ganglion geniculatum dibebaskan
dari jepitan. Demikian pula dari genu kearah inferior pada segmen vertikal nervus
fasialis. Pembungkus nervus fasialis dibuka mulai dari genu sampai ganglion
genikuli, kemudian dari genu kearah segmen vertikal. Posisi inkus dikembalikan
seperti semula. Nervus fasialis ditutup fasia, kemudian inkus, stapes difiksasi
dengan fasia dan spongostan. Lapisan dijahit lapis demi lapis, dipasang drain luka
dan operasi selesai.

Gambar 8. A. Tampak dislokasi tulang pendengaran. B. Inkus lepas


dari kepala maleus

Paska operasi penderita diberikan terapi ceftriaxon 1 gram tiap 12 jam intra
vena, dexametason 5 mg tiap 8 jam dan methikobalamin 3x500 mg. Selama
perawatan di ruangan dilakukan rawat luka tiap hari dan evaluasi perdarahan dari
drain. Pada hari ketiga drain dicabut dan luka tampak terawat baik tanpa tanda-
tanda infeksi, lesi saraf fasialis sinistra masih tampak. Kemudian penderita
dipulangkan pada tanggal 28 Juni 2017, dengan terapi sefixime 2x100 mg,
metilprednisolon 2x16 mg, dan methikobalamin 3x500 mg. Saran kontrol poliklinik
THT 5 hari lagi.

23
Gambar 9. Tiga hari setelah operasi

Tanggal 6 juli 2017 pasien kontrol ke Poli THT. Secara subjektif pasien
merasa kondisi telinga kiri lebih baik dibanding sebelum operasi. Keluhan telinga
berdenging dan terasa penuh sudah tidak dirasakan lagi. Lidah bagian depan sudah
mulai ada rasa terhadap makanan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka operasi
baik, tidak tampak tanda-tanda infeksi. Tes gustatometri didapatkan lidah kiri
bagian anterior telah bisa merasakan zat yang dicobakan. Tes pendengaran berupa
penala masih menunjukkan adanya tuli sensorineural kiri. Pemeriksaan gradasi
kerusakan saraf fasialis dengan metode House Brackmann didapatkan wajah tidak
simetris antara sisi kanan dan kiri pada keadaan istirahat, mata masih belum bisa
menutup sempurna walaupun ada perbaikan, serta sudut bibir hanya sedikit
pergerakannya, disimpulkan terdapat kerusakan saraf fasialis perifer kiri derajat IV-
V (ada perbaikan). Selama rawat jalan penderita dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi
Medik dan kemudian dilakukan fisioterapi berupa infra red radiation, elektro
stimulation, fasial exercise dan fasial massage.

IV. Pembahasan
Telah dilaporkan satu kasus parese saraf fasialis sinistra pasca trauma pada
seorang pria berusia 43 tahun, kasus ini sesuai dengan berbagai laporan bahwa
kasus trauma tulang temporal paling banyak terjadi pada dekade kedua sampai
dekade keempat dan banyak terjadi pada pria dengan rasio 3 banding 1 dengan
wanita.17 Pasien datang ke Poli THT 7 hari setelah kejadian dan dilakukan operasi
17 hari setelah kecelakaan. Dari segi waktu, menurut Kartush merupakan saat

24
yang tepat untuk dilakukan penatalaksanaan secara operatif yaitu 21 hari pasca
trauma. Kartush mengatakan saat itu telah terjadi proses metabolik yang optimal.
Dikutip dari Boies juga mengungkapkan hal yang sama bahwa saraf yang terpotong
akan mengalami perbaikan atau penyembuhan bila diperbaiki setelah 21 hari karena
analisis histokimia dari suatu neuron regenerasi memperlihatkan peningkatan kadar
sintetase RNA dan dehidrogenase glukosa-6-phospat, yang mencapai puncaknya
sekitar 21 hari.8,9,16
Dalam menentukan derajat kerusakan saraf fasialis, digunakan sistem gradasi
fungsi saraf fasialis dengan sistem House Brackmann dan Sistem Freys. Sistem
House Brackmann merupakan sistem subjektif dengan skala global, menggunakan
6 derajat fungsi fasialis. Sistem ini menilai gerakan otot wajah dalam keadaan diam
dan bergerak. Sistem ini banyak digunakan dengan alasan sistem ini sensitif,
informatif dan mudah digunakan di klinis. Kelemahan sistem ini adalah tidak dapat
menilai adanya suatu perubahan perbaikan yang ringan dari fungsi saraf
fasialis.7,8Adapun sistem Freyss dilakukan penilaian topografi dan pemeriksaan
NET. Penilaian topografi mencakup tes Schirmer, reflek stapedius dan
gustatometri. Dari sistem ini dapat dilaporkan letak lesi dengan persentase fungsi
motorik yang lebih baik disertai kemungkinan prognosis dari hasil NET.
Penggabungan dua sistem ini dinilai cukup mendokumentasikan dan memberikan
penjelasan kelainan saraf fasialis secara mudah, cepat, tidak mahal, dapat dipercaya
dalam menilai perubahan penting di klinik. 7,8
Pasien ini datang dengan gejala keluar darah dari telinga dan parese saraf
fasialis perifer, dua gejala terbanyak yang terjadi pada trauma yang mengenai tulang
temporal dan telinga tengah. Otore yang terjadi mungkin hanya disebabkan oleh
laserasi liang telinga saja.7,8
Pada pemeriksaan radiologi berupa CT Scan kepala tanpa kontras terlihat
adanya tanda-tanda fraktur di tulang temporal. Pasien diputuskan untuk dilakukan
operasi karena pasien mengalami gangguan hantaran atau kehilangan pendengaran
yang berat. Operasi dilakukan dengan pendekatan transmastoid. Transmastoid ini
bisa mengekspos 60% segmen labirin. Disamping itu menurut May, angka
perbaikan parese saraf fasialisnya juga lebih tinggi yaitu 84-85%.5 Sebenarnya

25
pendekatan secara operatif ini juga masih kontroversial. Menurut Massa,
pendekatan secara operatif dilakukan jika adanya kehilangan pendengaran yang
berat dan gangguan keseimbangan.7 Pada saat operasi dilakukan, terlihat atau
ditemukan adanya fraktur pada tulang temporal kiri. Hal ini sesuai dengan
pernyataan bahwa umumnya fraktur tulang temporal terjadi unilateral dan juga
tulang inkus telah terlepas.17 Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Hough bahwa
66,6% pasien trauma kepala, baru ditemukan adanya garis fraktur saat operasi
berlangsung. 92,3% terjadi dislokasi inkudostapedial serta 57,1% tulang inkus telah
terlepas dari tempatnya.17 Setelah dilakukan operasi dengan pendekatan
transmastoid dilanjutkan timpanotomi posterior untuk mengetahui tulang
pendengaran. Pada pasien ini ditemukan tulang inkus telah terlepas.
Bagian atau segmen mastoid merupakan segmen terpanjang dari saraf fasialis
sehingga sangat sering terkena trauma saat operasi atau saat terjadi trauma tulang
temporal.11 Kerusakan saraf fasialis perifer pada pasien ini terjadi di ganglion
genikulatum karena ditemukan perbedaan produksi air mata antara mata kiri dan
kanan (>50%). Saat operasi dilakukan timpanotomi superior (atikotomi).
Menggunakan otoendoskopi inkus ditransposisi (digeser) sehingga akses ke
ganglion genikuli tercapai. Kerusakan saraf fasialis yang terjadi cukup berat, akan
sulit terjadi penyembuhan yang memuaskan. Menurut Sudderland, seperti yang
dikutip oleh May dan Shambough, kerusakan saraf fasialis derajat 3 dan 4 akan
menyebabkan penyembuhan yang tidak memuaskan karena diantara akson tumbuh
jaringan granulasi yang menghalangi.5 Selama ini untuk dekompresi nervus fasialis
setinggi ganglion genikuli pendekatannya adalah melalui transmastoid kemudian
dilanjutkan timpanotomi superior dan posterior. Untuk akses ke ganglion genekuli,
inkus diangkat sehingga gangguan pendengaran akan lebih berat, walaupun inkus
dikembalikan lagi. Dengan adanya kemajuan teknologi berupa otoendoskopi, inkus
hanya dilakukan transposisi, sudah cukup untuk akses ke ganglion genekuli.
Keuntungan lain dari endoskopi adalah minimal invasif, tapi kelemahannya yaitu
operator hanya menggunakan satu tangan, serta lapangan operasi tidak tiga
dimensi.1,2

26
Setelah operasi diberikan injeksi kortikosteroid deksametason. Sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Salinas JD, bahwa pemberian injeksi kortikosteroid pada
sendi dan jaringan lunak akibat trauma akan mempercepat penyembuhan.
Kortikosteroid bekerja dengan membatasi dilatasi kapiler dan permeabilitas
struktur vaskular, sehingga proses inflamasi bisa dihambat. Disamping itu
kortikosteroid injeksi ini bekerja dengan menghambat terbentuknya asam
arakidonat sebagai bahan pembuat prostaglandin, sebagai mediator proses
terjadinya inflamasi.32 Pada pasien ini setelah dilakukan operasi dekompresi saraf
fasialis, dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid dan obat-obatan lainnya.
Setelah luka operasi sembuh pasien dianjurkan untuk dilakukan fisioterapi.
Sesuai dengan yang dikatakan oleh May dan Shambough bahwa tiga prinsip
pengobatan parese saraf fasialis yang akut adalah terapi fisik, terapi obat-obatan
serta terapi psikofisik.22 Prognosis dari parese saraf fasialis ini tergantung dari
derajat kerusakan sarafnya, bukan pada onset waktu terjadinya, begitu yang
diungkapkan oleh Mainan, dikutip oleh May dan Shambough. Pasien tetap
dianjurkan untuk datang kontrol pada waktu 1 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun
pasca operasi untuk dilakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis dengan metode
House Brackmann.22

V. Kesimpulan
Telah dilaporkan satu kasus fraktur tulang temporal dan parese nervus
fasialis sinistra yang disebabkan oleh trauma pada laki-laki 43 tahun yang telah
dilakukan dekompresi dengan operasi. Tindakan operasi dilakukan 3 minggu
setelah terjadi kelumpuhan saraf fasialis melalui pendekatan otoendoskopi
epitimpani. Setelah satu minggu dilakukan tindakan operasi didapatkan adanya
tanda-tanda perbaikan klinis.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Sayuti R, Kahairi A, Islah W, Ahmad R. Head Injury with Temporal Bone
Fracture: One Year Review of Case Incidence, Causes, Clinical Features and
Outcome. Med J Malaysia. 2008:373-6.
2. Gordin E, Lee TS, Ducic Y, Amaoutakis D. Facial nerve trauma: evaluation and
considerations in management. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction.
2015;8:1–13.
3. Liston SL. Duvall AJ. Embriologi , anatomi dan fisiologi telinga. Dalam: Adams
GL, Boies LR, Hilger PA, penyunting. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 1997: 27-38.
4. Gleinser D, Makishima T, Quinn FB, Quinn MS. Facial Nerve Trauma. UTMB
Dept. of Otolaryngology. 2009:1-11.
5. May M, Schaitkin BM, Barry M et al. Trauma to the Facial Nerve: External, Surgical
and Iatrogenic. Dalam: May M, Schaitkin BM, penyunting. The Facial Nerve. Edisi
2. New York: Thieme; 2000: 367-82.
6. Soefferman R. Facial nerve injury and decompression. Dalam: Nadol J, Mc Kenna
M, penyunting. Surgery of ear and temporal bone. Edisi 2. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005: 435-50.
7. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of the Facial Nerve. Dalam: Bailey BJ,
Johnson JT et al, penyunting. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi 5.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014: 2139-54.
8. Austin D. Facial nerve paralysis. Dalam: Snow JB, Ballenger JJ, penyunting.
Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-17. New York:
McGraw Company; 2009: 554-65.
9. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler
PA, penyunting. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC; 1997: 139-152.

28
10. Coker NJ, Vrabec JT. Acute paralysis of the facial nerve. Dalam: Bailey BJ,
penyunting. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi 5. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2014: 2139-54.
11. Kerr AG. Smyth G. Ear trauma. Dalam: Bootth J, penyunting. Scott’s
Browns Otholaryngology Otology. Edisi 5. London: Butterworth & Co;.
1987: 172-84.
12. Hato N, Nota J, Hakuba N, Gyo K, Yanagihara N. Facial nerve decompression
surgery in patients with temporal bone trauma: analysis of 66 cases. J Trauma.
2011;71:1789-92.
13. Kumar A, Bar A, Patni A. Evaluation of facial paralysis. Dalam: Nadol J, Mc Kenna
M, penyunting. Surgery of the ear and temporal bone. Edisi 2.. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005: 69-77.
14. Kosin AM, Hurvitz KA, Evans RD, Wirth GA. Facial paralysis for the plastic
surgeon. Can J Plast Surg. 2007;15:77-82.
15. Gleinser D, Makishima T, Quinn FB, Quinn MS. Facial nerve trauma. The
University of Texas Medical Branch J. 2009;1-11.
16. Brodie HA. Management of Temporal Bone Trauma. Dalam: Flint PW, Haughey
BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, Thomas K, Thomas JR,
penyunting. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi 5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010: 2840-71.
17. Hough JVD, McGee M. Otologic Trauma. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA et
al, penyunting. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi 6. Philadelphia: WB
Saunders; 1991: 1137-60.
18. Hato N, Nota J, Hakuba N, Gyo K, Yanagihara N. Facial nerve decompression
surgery in patients with temporal bone trauma: analysis of 66 cases. J Trauma.
2011;71:1789-92.
19. Kamerer DB, Thompson SW. Middle Ear and Temporal Bone Trauma. Dalam:
Bailey BJ, penyunting. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi 5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014: 1773-85.

29
20. Said BM, Hughes GB. Surgery for traumatic middle ear condition. Dalam:
Habermann RS, penyunting. Middle Ear and Mastoid Surgery. New Yor: Stuttgart
Thieme; 2004: 143-150.
21. Patel A, Groppo E. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofac
Trauma Reconstruction. 2010;3:105–13.
22. Sanus GZ, Tannover N, Tanriverdi T, Uzan M, Akar Z. Late decompression in
patients with acute facial nerve paralysis after temporal bone fracture. Turk
Neurosurg. 2007;17:7-12.

30

Anda mungkin juga menyukai