Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

TRAUMA MEDULA SPINALIS

Oleh:
Amanda Juliana (406171022)

Pembimbing :
dr. Natan Payangan, Sp.S

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 25 SEPTEMBER 2017 – 28 OKTOBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama / NIM : Amanda Juliana / 406171022

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Tarumanagara

Bidang Pendidikan : Program Pendidikan Profesi Dokter

Periode Kepaniteraan Klinik : 25 September 2017 – 28 Oktober 2017

Judul Referat : Trauma Medula Spinalis

Diajukan : Oktober 2017

Pembimbing : dr. Natan Payangan, Sp.S

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : ………………………………………….

Mengetahui,

Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf Pembimbing

dr. Hj. Wariyah Lawole, Sp.S dr. Natan Payangan, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga
referat dengan judul “Trauma Medulla Spinalis“ ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti
Saroso periode 25 September 2017 – 28 Oktober 2017.
Dalam penulisan referat ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, maka dari itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Hj. Wariyah Lawole, Sp.S selaku ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf, dan
pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSPI Sulianti Saroso.
2. dr. Natan Payangan, Sp.S dan dr. Maria L. Tampubolon, Sp.S selaku pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSPI Sulianti Saroso.
3. Teman-teman anggota kepaniteraan klinik dari UNTAR di bagian Ilmu Penyakit
Saraf RSPI Sulianti Saroso periode 25 September 2017 – 28 Oktober 2017.
Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari masih sangat banyak kesalahan yang
penulis buat karena pengalaman dan sistem pembelajaran penulis yang masih kurang baik.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki referat ini agar bisa
bermanfaat bagi banyak orang kedepannya. Terima kasih.

Jakarta, Oktober 2017

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

Cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang
sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak
dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat
tidur atau duduk di kursi roda karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka.
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian
(insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Trauma
spinal meliputi 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri.
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang harus selalu
berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan
menambah kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita. Cedera kolumna
vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada
penderita yang mengalami cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus
dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla
spinalis setelah trauma.
Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau
memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia
atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan mempertahankan
immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil
akan memberikan resiko kerusakan lebh lanjut sumsum tulang belakang.

Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup yang menetap, maka para dokter maupun perawat membutuhkan cara diagnosis yang
tepat dan tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Medulla Spinalis


Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah suatu kumpulan jaringan
syaraf yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna vertebra
dan membujur mulai dari otak (bagian medulla oblongata). Medulla spinalis bersamaan
dengan otak membentuk susunan saraf pusat (SSP). Sumsum tulang belakang mulai
menjulur dari tulang oksipital bagian tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang
belakang hingga berada di rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla
spinalis berkisar antara 45 cm pada pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi
mulai dari setengah inci pada bagian servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada
bagian torakal. Struktur tulang belakang sangat beradaptasi untuk melindungi medulla
spinalis yang memiliki ukuran lebih pendek dan kecil.
Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural antara
otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun sensorik.
Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari refleks fisiologis.

Gambar 1. Medula Spinalis


2.2 Definisi
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung yang
menyebabkan jejas pada medulla spinalis, yang menyebabkan gangguan fungsi
sensorik, motorik, dan otonom.

2.3 Epidemiologi
Menurut data WHO pada tahun 2010, Kanada menjadi negara dengan prevalensi
kejadian trauma medula spinalis terbanyak (1298 per 1.000.000 kasus) dengan
prevalensi usia terbanyak adalah dari usia 45 sampai 59 tahun. Diikuti dengan
Australia dengan prevakensi kasus 68 per 1.000.000 kasus per tahun.
WHO juga mengemukakan bahwa kejadian trauma medula spinalis adalah sebanyak
40 sampai 80 kasus per 1.000.000 penduduk per tahun. Artinya, sekitar 250.000
sampai 500.000 orang terkena trauma medulla spinalis setiap tahunnya. Rasio antara
laki-laki dan perempuan 2 : 1 dengan kelompok usia tertinggi adalah remaja hingga
dewasa muda.

2.4 Etiologi
2.4.1 Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan
cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis
dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination
Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik
mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi trauma medula spinalis dibagi menjadi 2, yaitu:
2.5.1 Mekanisme kerusakan primer
Trauma medulla spinalis terjadi secara umum karena adanya kompresi pada
medula spinalis, baik karena kelainan tulang, ligamen, herniasi diskus
intervertebralis, dan proses hematom pada medula spinalis.
Mekanisme lain yaitu akibat gaya mekanik trauma (fleksi, ekstensi, rotasi,
distraksi) yang berupa luka tembus, peregangan, atau robekan pada medulla
spinalis dan pembuluh darahnya.
Kerusakan pada pembuluh darah menyebabkan perdarahan yang diikuti
gangguan aliran darah. Hal ini mengakibatkan hipoksia dan infark iskemik
lokal. Daerah yang pertama terkena adalah area substansia grisea, yang
kemudian menyebar ke area sekitarnya. Sel-sel saraf pada area ini akan
mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung myelin, edema, dan menarik
makrofag di sekitar area sehingga mengganggu transmisi saraf.
2.5.2 Mekanisme kerusakan sekunder
Kerusakan sekunder pada trauma medulla spinalis dibagi menjadi 2 mekanisme,
yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan ini disebabkan karena adanya defisit
energi karena gangguan perfusi pada sel. Jika ditemukan renjatan neurogenik
yang menyebabkan hipoperfusi jaringan, keadaan tersebut bisa bertambah
parah. Trauma yang tidak ditangani segera, dapat mengakibatkan perburukan,
seperti perdarahan, edema, demielinisasi, pembentukan rongga pada akson,
nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan
oksidatif , adanya iskemik, dan peningkatan kadar nitrit oksida dan peroksidasi
lipid pada membran sel yang akan menyebabkan perubahan patologis dan
berakhir menjadi infark.

2.6 Tanda & Gejala Klinis


2.6.1 Level Cedera
Dapat ditentukan dengan melalui pemeriksaan sensorik (sesuai dermatom) dan
motorik di sepanjang medulla spinalis. Level cedera neurologis dihitung dari
segmen paling kaudal yang fungsi sensorik dan motoriknya masih baik, pada
kedua sisi.
Jika level cedera berada di atas T1, terjadi defisit neurologis berupa tetraplegi
dan gangguan pernapasan karena adanya paresis otot interkostalis atau
diafragma, serta renjatan neurogenik. Level cedera yang di bawah T1, gejala
klinisnya paraplegi.
2.6.2 Derajat Keparahan Defisit Neurologis berdasarkan ASIA/IMSOP
Ditegakkan dalam 72 jam hingga 7 hari pascacedera, karena
mempertimbangkan adanya renjatan spinal. Derajat keparahan ini dibedakan
menjadi komplit dan inkomplit. Cedera komplit adalah apabila pasien
kehilangan fungsi sensorik dan motorik, sedangkan cedera inkomplit apabila
pasien hanya mengalami salah satu kehilangan salah satu fungsi, sensorik atau
motorik.
Pada cedera inkomplit dapat terjadi fenomena sacral sparing, yaitu fungsi yang
tersisa pada cedera inkomplit, berupa fungsi sensorik di daerah perianal dan
atau kontraksi sadar sfingter anus.

Derajat Tipe Gangguan Medula Spinalis

Komplit Tidak ada fungsi sensorik & motorik sampai S4-5


A
Inkomplit Fungsi sensorik masih baik, tapi fungsi motorik
B
sensorik terganggu sampai S4-5

Inkomplit Fungsi sensorik masih baik, fungsi motorik


C
motorik dibawah level masih ada dan lebih dari setengah
otot-otot di bawah level mempunyai kekuatan <3

Inkomplit Fungsi sensorik masih baik, fungsi motorik


D
motoric dibawah level masih ada dan lebih dari setengah
otot-otot dibawah level memiliki kekuatan 3

Normal Fungsi sensorik dan motorik normal


E

2.6.3 Sindrom Medula Spinalis


Berbagai mekanisme trauma dapat menyebabkan kerusakan medulla spinalis
yang berbeda. Terdapat 4 sindrom berdasarkan letak lesi dan gejalanya, yaitu:
Sindrom Penyebab utama Gejala dan Tanda Klinis
Cedera tembus,  Paresis UMN (dibawah lesi)
Sindrom
kompresi ekstrinsik dan LMN (setinggi lesi)
Brown-
Sequard  Gangguan sensasi
proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
 Gangguan sensasi eksteroseptif
(nyeri dan suhu) kontralateral

Infark spinalis  Paraplegia


Sindrom
anterior “watershed”  Gangguan sensasi eksteroseptif
spinalis
(T4-6), iskemik akut,  Sensasi proprioseptif normal
anterior
dan HNP  Disfungsi sfingter

Sindrom Siringomielia,  Paresis anggota gerak atas


hypotensive spinal lebih berat dari anggota gerak
spinalis sentral
cord ischemic trauma bawah
(fleksi-ekstensi), dan  Gangguan sensorik bervariasi
tumor spinal (disestesia / hiperestesia) di
lengan
 Disosiasi sensibilitas
 Disfungsi miksi, defekasi, dan
seksual

Trauma & infark  Paresis ringan


Sindrom
spinalis posterior  Gangguan proprioseptif
spinalis
posterior bilateral
 Gangguan eksteroseptif pada
leher, punggung, bokong

2.6.4 Renjatan Spinal


Perlu diperhatikan, sindrom-sindrom tersebut apakah benar disebabkan oleh
defisit neurologis atau karena adanya renjatan spinal. Renjatan spinal adalah
keadaan hilangya fungsi sensorik, motorik, dan otonom secara sementara. Hal
ini masih belum diketahui kebenarannya, namun setelah dilakukan penelitian
pada hewan, diduga hal ini terjadi lebih kepada proses akut hilangnya pengaruh
fasilitasi supraspinal.
Renjatan spinal ditandai dengan hilangnya refleks spinal di bawah lesi dan
kelemahan ekstremitas flaksid. Bisa juga terjadi hilangnya tonus vesika
urinaria, ileus paralitik, dan hipo/anhidrosis di bawah lesi.
Renjatan spinal ini ditemukan pada fase akut pascacedera. Durasinya
tergantung dari derajat keparahan level cedera medulla spinalis. Pada
akhhirnya, dibuat kesepakatan bahwa defisit neurologik sensorik dan motorik
yang berlangsung kurang dari 1 jam merupakan renjatan spinal, dan yang lebih
dari 1 jam merupakan akibat perubahan patologis dan jarang karena renjatan
spinal.
Defisit komponen otonom dan refleks pada renjatan spinal berlangsung dalam
beberapa hari hingga beberapa bulan.

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesa
2.7.1.1 Kejadian seputar kecelakaan: penggunaan sabuk pengaman atau helm, jenis
kendaraan (motor atau mobil), posisi pasien di kendaraan, mekanisme
trauma.
2.7.1.2 Penggunaan obat sebelumnya, misal penggunaan alkohol.
2.7.1.3 Keluhan:
 Motorik: kelemahan ekstremitas
 Sensorik: nyeri, parestesi (dermatomal)
 Otonom: disfungsi BAK dan BAB
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
2.7.2.1 Pantau status hemodinamik
2.7.2.2 Perhatikan tanda-tanda trauma lainnya.
2.7.2.3 Pemeriksaan neurologis lengkap:
 GCS, saraf kranial, motorik, refleks, sensorik, fungsi keseimbangan
 Gangguan kesadaran: koreksi jalan napas, cedera intrakranial potensial,
intoksikasi
 Fungsi sakral: sensasi perineum, refleks bulbokavernosus (S3-4), anal wink S5,
tonus rektal, retensi urin.
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
2.7.3.1 Pencitraan
 Foto polos: Servikal (AP, lateral, open-mouth odontoid, oblik)
 CT Scan (superior untuk melihat tulang)
 MRI (superior untuk melihat jaringan lunak, ligamentum, diskus, massa epidural)
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Tatalaksana Pra-RS
2.8.1.1 Imobiliasi pasien
 Imobilisasi area servikal: stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit
ekstensi dan minimal distraksi, untuk mencegah terjadinya fleksi dan kompresi
spinal lebih lanjut.
 Memasang bidai servikal
 Menggunakan sand bag atau towel roll di sisi lateral atau dengan mengikat kepala
pada spine board.
2.8.1.2 Tindakan resusitasi
Penjagaan jalan napas dan kontrol perdarahan serta syok, dengan
mengutamakan imobilisasi pasien.
2.8.1.3 Kontrol perdarahan dan syok.
2.8.1.4 Transfer pasien ke RS dengan fasilitas memadai sesegera mungkin
2.8.2 Tatalaksana di RS
2.8.2.1 Penanganan Gawat Darurat
 Imobilisasi
 Primary survey
 Secondary survey dan pemeriksaan neurologis
 Medikamentosa akut
2.8.2.2 Perawatan Intensif
2.8.2.3 Manajemen
 Metilprednisolon
 Harus dimulai dalam 8 jam (minimal 3 jam)
 Loading dose: 30 mg/kgBB selama 15 menit
 Dosis lanjutan: <3 jam: 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam
 3-6 jam: 5,4 mg/kgBB/jam 47 jam
 Atasi masalah respirasi
 Profilaksis DVT
 Gastrointestinal
 Kateterisasi intermiten
 Operatif: closed reduction, dekompresi terbuka

2.9 Edukasi
 Penjelasan mengenai trauma medulla spinalis, risiko dan komplikasinya selama
perawatan.
 Ppenjelasan mengenai gejala, dan apa yang harus dilakukan sebelum dirawat RS
 Penjelasan mengenai factor risiko dan pencegahan rekurensi

2.10 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : sesuai derajat cedera
Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB 3
KESIMPULAN
Cedera medulla spinalis merupakan suatu kejadian yang umum dijumpai di masyarakat,
dengan penyebab utamanya merupakan suatu kejadian kecelakaan. Di Indonesia didapati
insidens trauma medulla spinalis diperkirakan mencapai 8.000-10.000 kasus per tahunnya.
Cedera ini juga dapat merupakan cedera traumatik (primer) ataupun akibat penyakit lain
(sekunder) seperti infeksi atau tumor.
Mekanisme dari cedera ini dapat terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer dan fase
sekunder. Kedua fase ini belum sepenuhnya dimengerti, namun satu hal yang pasti adalah
cedera ini memiliki window periode hanya sekitar 6 – 24 jam. Oleh karena itu diagnosis dan
tatalaksana yang tangkas sangat diperlukan dalam menangani kasus cedera medulla spinalis
guna mencegah perburukan kualitas hidup pasien dan mortalitas.
Diagnosis pada umumnya meliputi anamnesa yang baik dan pemeriksaan neurologik
untuk mengetahui perkiraan lokasi lesi, klasifikasi cedera, dan menentukan tatalaksana
selanjutnya. Pemeriksaan penunjang seperti imaging sangat membantu dalam mendiagnosis
secara akurat.
Prinsip utama tatalaksana yaitu dengan menjaga saluran pernapasan, pernapasan, dan
sirkulasi yang adekuat. Pemberian obat kortikosteroid telah terbukti memperbaiki kondisi
pasien pasca trauma. Medikamentosa lain dapat diberikan sesuai dengan indikasi pasien.
Operasi dapat dianjurkan bila terdapat indikasi.
Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya sehingga dapat
kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki kerusakan parah dan tidak dapat
berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu mendapatkan terapi neurorehabilitasi guna
meningkatkan kualitas hidup pasien setelah keluar dari rumah sakit.

BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI); 2016.
2. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta ; Badan
Penerbit FKUI ; 2013.
3. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC;
1997.
4. Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Jilid 2. Jakarta: Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017.

5. PERDOSSI. Advanced Neurology Life Support. Indonesian Neurological Association;


2007.

Anda mungkin juga menyukai