PENDAHULUAN
1. Medula Spinalis
Kemudian diantara beberapa saraf, ada yang menjadi satu ikatan atau
gabungan (pleksus) membentuk jaringan urat saraf. Pleksus terbagi menjadi 3
macam, yaitu:
1) Plexus cervicalis (gabungan urat saraf leher)
2) Plexus branchialis (gabungan urat saraf lengan)
3) Plexus lumbo sakralis (gabungan urat saraf punggung
dan pinggang)
B. Struktur Internal Medula Spinalis terdiri dari sebuah inti substansi abu-
abu yang diselubungi substansi putih
1. Kanal sentral berukuran kecil dikelilingi substansi abu-abu bentuknya
seperti huruf H
2. Batang atas dan bawah huruf H disebut tanduk, atau kolumna dan
mengandung badan sel, dendrit asosiasi, dan neuron eferen serta
akson tidak termielinisasi
a. Tanduk abu-abu posterior (dorsal) adalah batang ventrikel atas
substansi abu-abu. Bagian ini mengandung badan sel yang
menerima sinyal melaluisaraf spinal dari neuron sensorik
C. Setiap saraf spinal memiliki satu radiks dorsal atau satu radiks ventral.
Radiks dorsal terdiri dari kelompok-kelompok serabut sensorik yang
memasuki korda. Radiks ventral adalah penghubung ventral dan
membawa serabut motorik ke korda
1. Setiap radiks yang memasuki atau meninggalkan korda membentuk
tujuh sampai sepuluh cabang radiks
2. Radiks dorsal dan ventral pada setiap sisi segmen medula spinalis
menyatu untuk membentuk saraf spinal
3. Radiks dorsal ganglia adalah pembesaran radiks dorsal yang
mengandung sel neuron sensorik
Saraf Spinal. 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks
dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal
ganglion, dua radiks bergabung membentuk satu saraf spinal. Semua saraf
tersebut adalah saraf gabungan (motorik dan sensorik), membawa informasi
ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron
eferen.
1. Divisi. Setelah saraf spinal meninggalkan korda melalui foramen
intervertebral, saraf kemudian bercabang menjadi 4 divisi
a. Cabang meningeal kecil masuk kembali ke medulla spinalis melalui
foramen sama yang digunakan saraf untuk keluar dan mempersarafi
meninges, pembuluh darah medula spinalis dan ligamen vertebralis
b. Ramus dorsal (posterior) terdiri dari serabut yang menyebar kearah
posterior untuk mempersarafi otot dan kulit pada bagian belakang
kepala, leher, dan pada trunkus di regia saraf spinal
c. Cabang ventral (anterior) terdiri dari serabut yang mensuplai bagian
anterior dan lateral pada trunkus dan anggota gerak
C. Meningen Spinal
Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan
saraf yang bersiaft non neural. Meningen terdiri dari jarningan ikat berupa
membran yang menyelubungi seluruh permukaan otak, batang otak dan
medula spinalis. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu Piamater, arakhnoid dan
duramater.
Duramater yang merupakan lapisan yang kuat, Membran fibrosa,
Bersatu dengan filum terminale. Piamater berupa lapisan tipis, kaya pembuluh
darah, nyambung dengan medula spinalis. Rongga antara periosteum dengan
duramater disebut dengan epidural yang merupakan area yang mengandung
banyak pembuluh darah dan lemak. Rongga antara duramater dengan
arachnoid disebut dengan subdural. Sub dural tidak mengandung CSF.
Rongga antara Arachnoid dan Piamater disebut dengan Subarachnoid. Pada
rongga ini terdapat Cerebro Spinal Fluid, Pembuluh Darah dan akar-akar
syaraf
Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak
yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura,
juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke
kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. Arakhnoid
mempunyai banyak trabekula halus yang berhubungan dengan piameter,
tetapi tidak mengikuti setiap lekukan otak.
D. Cairan SerebroSpinal
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan
salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis
terhadap trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume
otak sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml)
dan darah sekitar 150 ml. 80% dari jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra
sel maupun intra sel.
F. Refleks Spinal
G. Konsep Refleks
Refleks merupakan kejadian involunter dan tidak dapat dikendalikan
oleh kemauan. Tindakan refleks merupakan gerakan motorik involunter atau
respons sekretorik yang diperlihatkan jaringan terhadap stimulus sensorik,
seperti refleks menarik diri, bersin, batuk, dan mengedip (Sue Hinchlift).
Secara fisiologis dengan ringkas dapat dijelaskan bahwa suatu
respons refleks terjadi bila suatu otot rangka dengan persarafan untuk
diregangkan, otot ini akan kontraksi. Respons seperti ini disebut refleks
regang. Rangsangan yang membangkitkan refleks regang adalah regangan
pada otot, dan responsnya adalah kontraksi otot yang diregangkan itu.
Reseptor refleks ini adalah kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang
tercetus oleh kumparan otot dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik
penghantar cepat. Impuls kemudian diteruskan ke neuron-neuron motorik yang
mempersarafi otot yang teregang itu. Neurotransmitter di sinaps pusat adalah
glutamat.
Refleks-refleks regang merupakan refleks monosinaptik yang paling
banyak digunakan dalam pemeriksaan neurologis, seperti pada ketukan di
tendon patella yang akan membangkitkan refleks patella, yaitu refleks regang
otot quadriseps femoris, akibat ketukan pada tendon akan meregangkan otot.
Kontraksi serupa akan timbul bila otot quadriseps diregang secara manual
(Ganong, 1999).
Tahanan otot terhadap regangan kerap disebut tonus. Bila neuron
motorik ke suatu otot dipotong, otot itu memberikan tahanan yang lemah dan
disebut flaksid. Otot yang hipertonik (spastik) adalah otot yang mempunyai
tahanan yang tinggi terhadap regangan karena adanya refleks regang yang
hiperaktif. Diantara keadaan flaksid dan spastis terdapat area yang sering kali
di salah artikan sebagai area tonus normal. Otot umumnya hipotonik bila
pelepasan impuls eferennya rendah dan hipertonik bila tinggi.
H. Saraf spinal
Saraf spinal pada manusia dewasa memiliki panjang sekitar 45 cm
dan lebar 14 mm. Pada bagian permukaan dorsal dari saraf spinal, terdapat
alur yang dangkal secara longitudinal di bagian medial posterior berupa sulkus
dan bagian yang dalam dari anterior berupa fisura.
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-
masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis
melalui foramen intervertebra (lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal
diberi nama sesuai dengan foramen intervertebra tempat keluarnya saraf-saraf
tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar di antara tulang oksipital
dan vertebra servikal pertama
Tiga puluh satu pasang saraf spinal keluar dari medula apinalis dan
kemudian dari kolumna vertabalis melalui celah sempit antara ruas-ruas tulang
vertebra. Celah tersebut dinamakan foramina intervertebrelia. Seluruh saraf
spinal merupakan saraf campuran karena mengandung serat-serat eferen
yang membawa impuls baik sensorik maupun motorik. Mendekati medula
spinalis, serat-serat eferen memisahkan diri dari serat–serat eferen. Serat
eferen masuk ke medula spinalis membentuk akar belakang (radix dorsalis),
sedangkan serat eferen keluar dari medula spinalis membentuk akar depan
(radix ventralis). Setiap segmen medula spinalis memiliki sepasang saraf
Secara fungsi, sumsum tulang belakang bekerja secara sadar dan tak
sadar (saraf otonom). Sumsum tulang belakang yang bekerja secara sadar di
atur oleh otak sedangkan sistem saraf tidak sadar (saraf otonom) mengontrol
aktivitas yang tidak diatur oleh kerja otak seperti denyut jantung, sistem
pencernaan, sekresi keringat, gerak peristaltic usus, dan lain-lain.
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak
stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan
tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan
biasanya resikonya lebih rendah. Cedera tidak stabil adalah cedera yang dapat
mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari
oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa), komponen pertengahan
(sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan
dapat terjadi subluksasi
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra,
dan sendi faset.
6. Fraktur dislokasi
Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang
dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang
Klasifikasi trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
1. Komosio modula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi
mendula spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau
sembuh secara sempurna. Kerusakan pada komosio medula spinalis
dapat berupa edema, perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan infark
pada sekitar pembuluh darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral,
akibat dari tekanan pada edula spinalis.
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata,
ligament dengan terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi
kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka
tembak. Hilangnya fungsi medula spinalis umumnya bersifat permanen.
Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai
berikut:
1) Pernapasan dangkal
2) Penggunaan otot-otot pernapasan
3) Pergerakan dinding dada
4) Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
5) Bradikardi
6) Kulit teraba hangat dan kering
7) Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana
suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
8) Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak
9) Kehilangan sensasi
10) Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau
quadriparesis/quadriplegia
11) Adanya spasme otot, kekakuan
1. Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi perdarahan-
perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis
meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf
didarah tersebut terhambat atau terjerat.
3. Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari
dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang
adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum,
tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat
hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah
neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi
refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat
lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang
ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan
rektum.
4. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia
otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu
rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu
refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan
diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh
darah dan penngkatan tekanan darah sistem
Pemeriksaan Diagnostik
Rontgen foto
Pemeriksaan positif AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai:
1. Diameter anteroposterior kanal spinal
2. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
3. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
4. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
5. Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
2.12 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan
fungsi neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan
berkendara, Trauma olahraga kontak, jatuh, atau trauma langsung pada
kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula
spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal
(punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk
mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk
mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan
spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati-
hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah
sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais
ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus,
patah, atau memotong medula komplit.
c) Fisioterapi
a) Terapi fisik
Untuk saraf terjepit harus tetap konservatif di awal untuk menghindari
lebih parah kondisi. Penekanan akan di istirahat, mengurangi
peradangan, beban dan stres pada daerah yang terkena. Setelah
peradangan awal telah berkurang, program exercise dan penguatan
akan dimulai untuk mengembalikan fleksibilitas pada sendi dan otot
yang terlibat, sambil meningkatkan kekuatan dan stabilitas pada
tulang belakang.
b) Akupunktur
Praktek Cina kuno melibatkan memasukkan jarum yang sangat tipis
pada titik tertentu pada kulit untuk menghilangkan rasa sakit.
c) Stimulator KWD
Alat terapi yang berfungsi sebagai stimulator pada pangkal jarum
akupunktur sehingga menghasilkan berbagai jenis getaran
rangsangan yang bertujuan untuk menstimulasi titik akupunktur/
acupoint.
d) Chiropractic
Perawatan terapi alternatif yang sangat umum untuk nyeri kronis dan
dapat membantu untuk mengobati sakit punggung, terapis
chiropractic menggunakan penyesuaian tulang belakang dengan
3.1 Pengkajian
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat
trauma pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai. Tingkat kehati-
hatian dari perawat yang tinggi dapat mencegah cedera spinal servikal yang
stabil dapat tidak menjadi cedera spinal yang tidak stabil karena pada setiap
fase awal kondisi trauma servikal, perawat adalah orang pertama dan paling
sering melakukan intervensi.
Manipulasi pada tulang belakang yang tidak rasional dapat merusak kestabilan dari
struktur servikal (tulang, diskus, ligamen, dan medula spinalis)
Pada status emergency klien dengan riwayat trauma servikal yang jelas
dan diindikasikan cedera spinal tidak stabil, apabila pengkajian anamnesis
dapat dilakukan maka status jalan napas klien optimal dan anamnesis
diusahakan terfokus pada pengkajian primer, karena pada fase ini klien
beresiko tinggi untuk mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti
jantung-paru. Implikasi dari situasi ini adalah pengkajian primer dilakukan
disertai intervensi dengan suatu hal yang prinsip untuk selalu menjaga posisi
leher/servikal dalam posisi netral dan kalau perlu klien dipasang ban servikal.
Apabila pada kondisi di tempat kejadian dimana klien mengalami cedera spinal
servikal tetapi masih memaki helm, maka diperlukan teknis melepas helm
dengan tetap menjaga posisi leher dalam posisi netral. Selanjutnya, peran
perawat dalam melakukan transportasi dari tempat kejadian ke tempat
intervensi lanjutan trauma servikal dirumah sakit harus dilakukan secara hat-
hati, peran memonitoring dan kolaborasi untuk dilakukan stabilisasi.
Pengkajian lanjutan dirumah sakit tetap memperhatikan kondisi
stabilisasi pada servikal dan memonitoring pada jalan napas. Pada setiap
melakukan transportasi klien, perawat tetap memprioritaskan kesejajaran
kurvatura tulang belakang dengan tujuan untuk menghindari resiko injury pada
spinal dengan teknik pengangkatan cara log rolling dan/atau menggunakan
long backboard.
Kaji keadaan umum (KU), tanda-tanda vital, adanya defisit neurologis,
dan status kesadaran pada fase awak kejadian trauma, terutama pada klien
yang diindikasikan cedera spinal tidak stabil. Setiap didapatkan adanya
perubahan pada KU, TTV, defisit neurologis, dan tingkat kesadaran secara
bermakna harus secepatnya dilakukan kolaborasi dengan dokter.
Defek neurologis ditentukan oleh lokasi dan kekuatan trauma. Syok
spinal terjadi bila trauma terjadi pada servikal atau setinggi toraksik. Teknik
pemeriksaan colok dubur dengan menilai refleks bulbokavernosus untuk
merasakan adanya refleks jepitan pada sfingter ani pada jari akibat stimulus
nyeri yang kita berikan pada glands penis atau klitoris atau dengan menarik
kateter untuk menilai apakah klien mengalami syok spinal.
A. Identitas
Trauma medula spinalis dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin
meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat,pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
B. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia
urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot,hiperestesia tepat di atas daerah
trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
F. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan berupa paralisis anggota
gerak bawah memberikan manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang
mengalami cedera tulang belakang.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melakukan aktifitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
I. Pengkajian Primer
1) Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering
terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan
oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas
harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift
atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung.
4. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan
adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta
kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan
nutrisi.
6. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada
ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan
distribusi segmental dari saraf yang terkena
Pemeriksaan lokalis
Look. Adanya perubahan warna kulit, abrasi dan memar pada punggung.
Pada klien yang telah lama dirawat dirumah sering didapatkan adanya
dekubitus pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik, mudah lelah menyebabkan masalah pada
pola aktivitas dan istirahat.
Feel. Prosesus spinosus dipalpasi untuk mengkaji adanya suatu celah
yang dapat diraba akibat sobeknya ligamentum posterior menandakan cedera
yang tidak stabil. Sering didapatkan adanya nyeri tekan pada area lesi
Move. Gerakan tulang punggung atau spinal tidak boleh dikaji. Disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh
ekstremitas bawah. Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan
derajat kekuatan otot didapatkan.
Respons nyeri
Nyeri akut
4 DS: Pasien mengatakan urine Kecelakaan kerja Gangguan pemenuhan
keluar menetes eliminasi urine
Cedera medula spinalis
DO: Nyeri tekan pada abdomen
dan keinginan kencing saat
Kelumpuhan saraf perkemihan
palpasi
mengakibatkan kelumpuhan
Penekanan setempat jaringan
sekunder
Paraplegia
3.5 Evaluasi
Hasil yang diharapkan
BAB IV
Sistem Layanan Kesehatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan
Tujuan
Tujuan rujukan adalah dihasilkannya pemerataan upaya kesehatan
dalam rangka penyelesaian masalah kesehatan secara berdaya dan berhasil
guna.
Tujuan Sistem Rujukan adalah agar pasien mendapatkan pertolongan
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu sehingga jiwanya dapat
terselamatkan, dengan demikian dapat menurunkan angka kematian.
Jenis Rujukan
Sistim Kesehatan Nasional membedakannya menjadi dua macam yaitu:
1). Rujukan Kesehatan
Rujukan ini berkaitan dengan upaya pelayanan kesehatan dalam
pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan. Rujukan ini
dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Rujukan teknologi
2. Rujukan sarana
3. Rujukan Operasional
Alur rujukan
Pengaturan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Tujuan pengaturan ini yaitu
1. Pelayanan kesehatan menjadi efisien
2. Pelayanan mulai tingkat bawah (puskesmas) kemudian dirujuk ke
RS jika diperlukan
3. Pelayanan kesehatan lebih cepat
4.1.1 Program
1. Pelayanan Kesehatan Gratis Jamkesda adalah pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan tertentu bagi masyarakat seluruh Indonesia yang
biayanya ditanggung oleh Pemerintah.
2. Pelayanan dasar : pelayanan kesehatan di puskesmas
3. Pelayanan rujukan : pelayanan kelas III rumah sakit
4. Masyarakat Indonesia : masyarakat yang memiliki kartu identitas
dan belum ditanggung oleh asuransi lain
5. Pemerintah Daerah dan Kab/kota.
4.1.2 Kepersertaan
1. Seluruh penduduk Indonesia
4.1.3 Manfaat
Jenis pelayanan yang ditanggung :
1. Rawat Jalan
2. Rawat Inap
3. UGD/Emergency
4. Pelayanan penunjang lainnya
4.2 JamKesMas
Jamkesmas ( Jaminan Kesehatan Masyarakat ) adalah sebuah program
jaminan kesehatan untuk warga Indonesia yang memberikan perlindungan
sosial dibidang kesehatan untuk menjamin masyarakat miskin dan tidak mampu
yang iurannya dibayar oleh pemerintah agar kebutuhan dasar kesehatannya
yang layak dapat terpenuhi.Program ini dijalankan olehDepartemen
Kesehatan sejak 2008. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
diselenggarakan berdasarkan konsep asuransi sosial.
Tujuan
Kepesertaan Jamkesmas
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan
tidakmampu yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan. Jumlah sasaran peserta sebesar 19,1 juta Rumah Tangga
Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa. Jumlah tersebut berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, yang dijadikan dasar penetapan jumlah
sasaran peserta secara nasional oleh Menkes. Berdasarkan Jumlah Sasaran
Nasional tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota.
Bupati/Walikota wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota
dalam satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk
Keputusan Bupati/Walikota.
1. Permenkes RI No.1097/Menkes/Per/VI/2011 tentang petunjuk
teknis pelayanan kesehatan dasar Jamkesmas.
2. Kepesertaan Jamkesmas
Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan
tidak mampu yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan.
BAB V
5.1 Kesimpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &
Suddarth, 2001). Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan
otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan
tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenai medula
spinalis atau sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang
mengenai tulang belakang. Penyebab cedera medula spinalis adalh kejadian-
kejadian yang secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kompresi
pada medula spinalis seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan
jika mengenai saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot.
Cedera medula spinalis ini terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis
stabil dan tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat
merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal,
segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis
menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat
penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan
kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher
harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti
Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan
didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.
5.2 Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi
dimasyarakat. Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa
saja dan dimana saja. Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam
melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat
menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma
medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat
melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini