Anda di halaman 1dari 23

Case Base Disscusion

“Brain Multiple Sclerosis”

Disusun Oleh:

Baiq Meisy Arum Anjani


(019.06.0017)

Pembimbing:

dr. A.A Dewi Adnyani, Sp. Rad., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2023
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan laporan Case Based
Discussion dengan judul “Brain Multiple Sclerosis”. Laporan CBD ini disusun untuk
memenuhi penugasan dalam menempuh kepaniteraan klinik di Bagian/SMF Interna Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Bangli.

Dalam menyelesaikan laporan CBD ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,


petunjuk, dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu izinkan penulis untuk
mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. A.A. Dewi Adnyani, Sp. Rad., M.Kes selaku pembimbing yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan CBD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi dalam
penyusunan laporan Journal Reading.
3. Keluarga tercinta yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis yang terbatas untuk menyusun laporan
ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Bangli, 22 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL ....................................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 4

BAB II ........................................................................................................................................ 5

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 5

2.1 Definisi ........................................................................................................................ 5

2.2 Etiologi ........................................................................................................................ 5

2.3 Epidemiologi ............................................................................................................... 5

2.4 Klasifikasi.................................................................................................................... 6

2.5 Patofisiologi ................................................................................................................ 7

2.6 Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 8

2.7 Diagnosis ..................................................................................................................... 9

2.8 Tatalaksana ................................................................................................................ 17

2.9 Prognosis ................................................................................................................... 20

BAB III .................................................................................................................................... 21

PENUTUP................................................................................................................................ 21

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit dimana saraf-saraf dari sistem
saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang atau spinal cord) memburuk atau
degenerasi. Myelin yang menyediakan suatu penutup atau isolasi untuk saraf-saraf,
memperbaiki pengantaran (konduksi) dari impuls-impuls sepanjang saraf-saraf dan
juga adalah penting untuk memelihara kesehatan dari saraf-saraf (Rachman et al.,
2014).
Kejadian MS di benua Asia dan Oseania diketahui jarang ditemukan dan
sering terjadi misdiagnosis di fasilitas kesehatan namun seiring terjadinya evolusi
modalitas diagnostik, makin meningkatnya aksesabilitas Magnetic Resonance
Imaging (MRI), meningkatnya angka harapan hidup pasien MS, dan semakin baiknya
metode dalam penentuan kasus MS, insiden MS makin tahun ditemukan semakin
meningkat (Kusmadana et al., 2023).
Diperkirakan terdapat sekitar 2,2 juta kasus MS diseluruh dunia pada tahun
2016, yang mana jumlah ini meningkat 10,4% lebih tinggi dibandingkan tahun 1990.
Prevalensi MS semakin meningkat pada daerah yang semakin menjauhi ekuator,
sedangkan Asia merupakan area dengan dengan frekuensi MS yang rendah, yaitu
sekitar 30 kasus per 100.000 populasi (Estiasari et al., 2020). MS pada umumnya
terjadi pada antara dekade dua sampai lima dari kehidupan penderita. Ini juga dapat
ditemukan pada penderita pediatri dan penderita di atas 50 tahun. Diperkirakan
penderita MS dapat bertahan hidup sampai usia 55 tahun atau lebih dan penyakit
dominan ini pada wanita (Hanifah et al., 2018).
Gejala yang timbul beragam tergantung bagian saraf yang mengalami
kerusakan. Umumnya pasien mengalami peningkatan kelemahan, gangguan sistem
usus dan saluran kemih, kelelahan, kaku, gangguan keseimbangan, gangguan mental,
dan gangguan psikologis (Suryo, 2021). Subtipe MS dibagi menjadi 4 macam yakni
Primary Progressive MS, Secondary Progressive MS, Relapsing Remitting MS, dan
Progressive Relapsing MS (Fitri et al., 2020).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sklerosis Multipel atau Multiple Sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun
kronik yang menyerang mielin otak dan medula spinalis. Penyakit ini menyebabkan
kerusakan myelin dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi
saraf (Estiasari, 2017). Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit
degeneratif dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan
medulla spinalis. Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin yakni adanya material
lunak dan protein disekitar serabut-serabut saraf otak. Myelin adah Substansi putih
yang menutupi serabut saraf yang berperan dalam konduksi saraf normal (konduksi
salutatory) (Hanifah et al., 2018). Proses penyakit ini bersifat autoimun dan mengenai
substansia alba susunan saraf pusat, bersifat relaps dan progresif. Secara histologis
terdapat infiltrasi perivaskuler monosit dan limfosit di sekeliling lesi dan
menimbulkan area indurasi multiple pada otak, sehingga dinamai sklerosis multiple
(Suryo, 2021).

2.2 Etiologi
Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui secara pasti.
Namun, para ilmuwan memperkirakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab
terjadinya multipel sklerosis. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada
dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun. Kerusakan myelin pada MS
mungkin terjadi akibat respon abnormal dari sistem kekebalan tubuh, yang seharusnya
melindungi tubuh dari serangan organisme berbahaya (Suryo, 2021). Beberapa faktor
risiko yang disebutkan berperan seperti genetik, defisiensi vitamin D, tempat tinggal
jauh dari zona khatulistiwa (paparan sinar matahari), riwayat obesitas, infeksi virus,
dan merokok. Beberapa pencetus antara lain kehamilan, infeksi disertai demam
persisten, stres emosional, dan cedera atau trauma (Suryo, 2021).

2.3 Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang jika dibandingkan dengan penyakit
neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki-laki
dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita oleh mereka yang berusia 20-50
tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan. Sekitar 50%

5
penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam 15 tahun setelah
onset penyakit (Estiasari, 2017). MS pada umumnya terjadi pada antara dekade dua
sampai lima dari kehidupan penderita. Ini juga dapat ditemukan pada penderita
pediatri dan penderita di atas 50 tahun. Diperkirakan penderita MS dapat bertahan
hidup sampai usia 55 tahun atau lebih dan predominan penyakit ini pada wanita.
Gejalanya dapat meliputi cerebral palsy, neuritis, gangguan sensorik, paraplegi, dan
mielopati (Hanifah et al., 2018).

2.4 Klasifikasi
Multiple sclerosis diklasii kasikan menjadi 4 kelompok (gambar 1) (Estiasari, 2017):
a. Relapsing Remitting MS (RRMS)
Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti dengan
episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS, 65% di
antaranya akan berkembang menjadi tipe Secondary Progressive MS (SPMS).
b. Secondary Progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang
berkembang progresif. Pada tipe ini, episode remisi makin berkurang dan gejala
menjadi makin progresif.
c. Primary Progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan: laki-laki=1:1.
Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi.
d. Primary Relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami perburukan
dengan beberapa episode eksaserbasi di antaranya. Tidak pernah ada fase remisi
atau bebas dari gejala.

Gambar 1. Klasifikasi MS (Estiasari, 2017)

6
2.5 Patofisiologi
Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan gambaran plak (gambar 2)
yang merupakan lesi demielinisasi. Plak demyelinisasi ini merupakan gambaran
patognomonik MS. Pada fase akut, tampak sebukan sel radang, hilangnya mielin, dan
pembengkakan parenkim. Pada fase kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas,
dengan sel-sel makrofag di sekitarnya disertai kerusakan akson dan apoptosis
oligodendrosit. Kerusakan mielin diakibatkan oleh aktifnya limfosit T. Limfosit T
pada MS mengalami autoreaktivitas dan mampu mengenali protein target pada myelin
(Estiasari, 2017).

Gambar 2. Plak Sklerosis Multiple (Estiasari, 2017)


Multiple sklerosis akut secara patologi menyebabkan inflamasi perivenosa
yang terdiri dari sel plasma, limfosit, dan makrofag. Lesi juga mengandung cairan
edema, lemak bebas, dan lemak yang memuat makrofag. Demielinisasi mungkin
berhubungan dengan inflamasi tersebut. Inflamasi pada lesi terdiri dari infiltrasi
limfosit sepanjang pembuluh darah di periventrikel medular untuk menunjang proses
demielinisasi, yang diistilahkan dengan Dawson’s finger (Gambar 3) (Hanifah et al.,
2018).

Gambar 3. Dawson’s finger (Hanifah et al., 2018)

7
2.6 Manifestasi Klinis
Sindrom klinis pada MS secara klasik ditemukan adanya gangguan yang
bersifat relaps dan remisi yang mengenai traktus-traktus sistem saraf dengan onset
pada usia muda , dengan variasi gambaran klinis yang ditemukan sering beragam,
variasi ini termasuk dalam hal onset usia,manifestasi awal, frekuensi, berat
ringannya penyakit dan gejala sisa relaps, tingkat progresifitas dan banyaknya gejala
neurology yang timbul.

Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau luasnya daerah


system saraf yang rusak (MS plak). Secara umum seorang dokter mencurigai suatu
kasus MS bila ditemukan gejala :
a. Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan lebih dari 24
jam dan berlangsung lebih dari 1 bulan, atau
b. Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode paling
sedikit 6 bulan
Kriteria diagnostik McDonald menggabungkan bukti penyebaran MRI dalam
waktu dan ruang untuk diagnosis MS. Diagnosis MS ditetapkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Gejala klinis MS bervariasi
tergantung lesi otak, dan tergantung relaps dan remisi atau progresivitas penyakit.
Gejala klinisnya meliputi (Suryo, 2021):
1. Gangguan penglihatan, meliputi penurunan tajam penglihatan pada 1 mata disetai
nyeri pada pergerakan mata, penglihatan ganda (diplopia), neuritis optik, gerak
mata tidak terkontrol, dan kebutaan (jarang terjadi).
2. Gangguan keseimbangan dan koordinasi, meliputi hilangnya keseimbangan tubuh,
tremor, ketidakstabilan berjalan (ataxia), vertigo, kekakuan anggota gerak,
gangguan koordinasi, kelemahan anggota gerak (paraparesis, tetraparesis).
3. Gangguan tonus otot, meliputi kekakuan otot sehingga mengganggu proses
berjalan.
4. Gangguan sensoris, meliputi perasaan baal, seperti ditusuk-tusuk jarum, kebas
(paresthesia), perasaan seperti terbakar, nyeri di wajah (neuralgia trigeminal)
5. Gangguan kemampuan berbicara, meliputi gangguan berbicara seperti
menggumam, perubahan ritme bicara, sulit menelan (disfagia).
6. Keletihan berlebihan

8
7. Gangguan berkemih dan defekasi, seperti sering buang air kecil atau tidak bisa
sama sekali, konstipasi, dan kadangkadang diare.
8. Gangguan seksual, meliputi impotensi, kehilangan gairah seksual.
9. Gangguan sensitivitas terhadap panas atau dingin.
10. Gangguan kognitif dan emosi, meliputi kehilangan memori jangka pendek,
kehilangan kemampuan berkonsentrasi, penilaian, dan penalaran.

Tabel 1. Gejala Klinis MS menurut McDonald revisi 2017 (Suryo, 2021)

2.7 Diagnosis
Beberapa kriteria diagnosis telah dikembangkan sejak tahun 1950 untuk
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis. Kriteria McDonald pertama kali
dikembangkan tahun 2001 dan terakhir direvisi pada tahun 2017. Kriteria McDonald
digunakan untuk membantu diagnosis berdasarkan gejala klinis dan juga hasil
pemeriksaan penunjang laboratorium serta pencitraan. Pada revisi 2017, dilakukan
pembagian untuk mempercepat diagnosis tanpa risiko spesifisitas. Penderita CIS
dapat didiagnosis sebagai MS jika MRI menunjukkan diseminasi dalam ruang (DIS).
DIT dapat diganti dengan pemeriksaan uji laboratorium dengan pita oligoklonal;
adanya lesi simtomatik dan asimtomatik dapat dipertimbangkan untuk menunjukkan
DIS dan DIT; lesi kortikal juga dapat digunakan untuk menunjukkan DIS; juga untuk
lesi kortikal dan asimptomatik PPMS dapat digunakan dalam diagnosis.
Pemeriksaan MRI lebih bisa menunjukkan lesi homogen dan plak atau
kelainan yang lebih jelas karena CT scan kadang menunjukkan variasi normal. Pada
pemeriksaan MRI didapatkan:

9
a. DIS (Disseminated lesion in Space) tampak pada potongan T2 setidaknya 2 dari 4
area khas MS(periventrikuler, jukstakortikal, infratentorial, dan medulla spinalis)
b. DIT (Disseminated in Time) dapat ditegakkan apabila: (1). Terdapat lesi baru
pada potongan T2 atau lesi baru yang menyangat pasca-pemberian kontras
gadolinium pada MRI saat pemantauan, dibandingkan MRI sebelumnya, tanpa
memperhitungkan saat pelaksanaan MRI awal; (2). Terdapat lesi baru
asimtomatik, baik menyangat maupun tidak, pascapemberian kontras gadolinium
kapan saja.
Kriteria McDonald 2017 yang direvisi terbaru untuk mengidentifikasi
potensi lesi MS DIT dan DIS kemungkinan besar akan memudahkan diagnosis
MS, seperti dijelaskan di atas. Pemindaian MRI adalah penting untuk diagnosis
dan tindak lanjut rutin untuk memantau respons pengobatan dan perkembangan
penyakit. Interpretasi pemindaian MRI harus dilakukan oleh ahli radiologi
berpengalaman yang memahami data klinis dan laboratorium pasien, dan
mampu mendeteksi bukti yang mendukung atau menyangkal diagnosis MS (Al-
Khawajah et al., 2023).
Gambaran MRI penderita MS secara khas ditemukan di: (1). Substansia
albaperiventrikuler menjulur menuju corpus callosum, disebut Dawson fingers; (2).
Substansia alba jukstakortikal; (3). Corpus callosum; (4). Nervus optikus (dengan
gadolinium enhancement pada neuritis optik); (5). Struktur infratentorial (pons,
pedunculus cerebellar, dan cerebellum); (6). Medulla spinalis (Suryo, 2021).

Gambar 4. Dawson Finger dan Ovoid Lesion (Estiasari, 2017)

10
Gambar 5. Gambaran MRI penderita sklerosis multipel relaps (Suryo, 2021)
Penderita MS relaps yang kambuh menunjukkan beberapa lesi periventrikuler: (A). Gambar T2, (B). Kepadatan
proton (PD/Proton Density), (C). Pemulihan inversi cairan yang dilemahkan (FLAIR/ Fluid Attenuated Inversion
Recovery), (D). Gambar T1 setelah pemberian gadolinium (Gd) yang menunjukkan peningkatan lesi. Pencitraan
T2 dan Proton Density (PD) (Gambar 6 A dan B) bisa mengidentifikasi lesi MS sebagai fokus sinyal tinggi
terhadap latar belakang sinyal rendah subtansia alba. Namun, lesi periventrikuler sering tidak dapat dibedakan
dari cairan CSF (Cerebrospinal Fluid) yang berdekatan. Kontras bisa ditingkatkan dengan PD karena sinyal CSF
lebih rendah. FLAIR (Gambar 6 C) unggul untuk deteksi lesi kortikal atau jukstakortikal. Oleh karena itu, FLAIR
umum digunakan untuk skrining MS.

Gambar 6. Progresifitas Multipel Sklerosis


Pada pasien laki-laki 38 tahun yang mengalami perburukan klinis dan tidak ditemukan gambaran aktivitas lesi
pada magnetic resonance imaging. Tampak jumlah lesi bertambah dan kaliber ventrikel lateral yang relatif lebih
besar yang merepresentasikan atrofi otak (Estiasari et al., 2020)

11
Gambar 7. MRI Kepala saat rawatan pertama; gambar A merupakan MRI T1WI potongan axial yang
memperlihatkan lesi kecil multipel hipointens (panah) di periventrikuler lateral bilateral dan jukstakortikal;
gambar B merupakan MRI T2WI potongan axial yang memperlihatkan gambaran lesi kecil multipel hiperintens
(panah) di periventrikel lateral di jukstakortikal; gambar C merupakan MRI T1WI potongan sagital yang
memperlihatkan lesi kecil multipel hipointens (panah) di korpus kalosum; gambar D merupakan MRI T2WI Flair
potongan axial yang memperlihatkan lesi kecil multipel hiperintens (panah) di periventrikel dan jukstakortikal
(Rizminardo et al., 2018).

Gambar 8. MRI Kepala saat rawatan kedua; gambar A merupakan MRI T1WI potongan axial yang
memperlihatkan lesi kecil multipel hipointens (panah) di periventrikuler lateral bilateral dan jukstakortikal;
gambar B merupakan MRI T2WI potongan axial yang memperlihatkan gambaran lesi kecil multipel hiperintens
(panah) di periventrikel lateral di jukstakortikal; gambar C merupakan MRI T1WI potongan sagital yang
memperlihatkan lesi kecil multipel hipointens (panah) di korpus kalosum; gambar D merupakan MRI T2WI Flair
potongan axial yang memperlihatkan lesi kecil multipel hiperintens (panah) di periventrikel dan jukstakortikal
(Rizminardo et al., 2018).

12
Gambar 9. Perbandingan MRI pertama (A) dan MRI kedua (B). Kedua gambar merupakan MRI T2WI potongan
axial dari ketinggian yang sama dan memperlihatkan gambaran lesi multiple kecil hiperintens. Terlihat lesi
hiperintens lebih dominan pada gambar B dibandingkan lesi hiperintens pada gambar A (Rizminardo et al., 2018)

Gambar 10. MRI kepala tanpa kontras.


Pada MRI tampak multiple lesion (ditunjukkan oleh panah putih) juxtacortical hemisfer serebri bilateral (a) (d),
paraventrikel bilateral (b) (e), ukuran bervariasi, dengan intensitas isointens pada T1W1 (a) (b) dan hiperintens
pada T2W1 (d) (e), serta tampak perubahan intesitas serebelum kiri (ditunjukkan oleh panah putih) yang tampak
isointens pada T1W1 (c) dan hiperintens pada T2W1 (f) (Kusmadana et al., 2023).

Gambar 11. MRI Whole spine dengan kontras pada segmen torako-lumbal
MRI menunjukkan multiple lesi short segmen (ditunjukkan oleh panah putih) pada spinal cord setinggi diskus
Th10-11 dan Th11-12, yang tampak isointens pada T1WI (a) dan hiperintens pada T2WI (b) (Kusmadana et al.,
2023).

13
Gambar 12. MRI Seluruh Tulang Belakang dengan kontras IV. Bulat hiperintens
Lesi terlihat pada badan vertebra Th8 (Yolanda & Ritarwan, 2022)

Gambar 13. Lesi hiperintens terlihat pada hemisfer serebelum kiri dan lobus frontotemporoparietal kanan
hingga periventrikular kanan dengan pelebaran kortikal pada sulkus lobus temporoparietal kanan (Yolanda &
Ritarwan, 2022).

Gambar 14. PPMS (usia 58, EDSS 6,5) dibandingkan dengan kontrol (usia 58) (Kolind et al., 2015).

14
Gambar 15. Protokol MRI otak standar untuk mengevaluasi pasien yang diduga menderita multiple sclerosis. a.
Pra-kontras, b. Aksial T1-W dan c. Rangkaian dual-echo T2-W, diikuti oleh d. sagital dengan kontras yang
ditingkatkan, e.pemulihan inversi yang dilemahkan cairan aksial 2D T2-W (FLAIR) dan f.urutan aksial T1-W.
Dengan strategi ini, tidak ada penalti dalam hal total waktu akuisisi, dan memastikan adanya penundaan minimal
5 menit antara injeksi gadolinium dan perolehan rangkaian T1-W (Rovira et al., 2015).

Gambar 16. sagital sumsum tulang belakang leher. a. Kerapatan proton spin-gema cepat, b.T2-W dan c.urutan
MRI pemulihan inversi short-tau (STIR). Minimal dua set gambar sagital T2-W dengan kontras berbeda wajib
dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dalam deteksi lesi (Rovira et al., 2015).

Gambar 17. Sampel gambar MRI aksial otak pasien MS di setiap modalitas akuisisi menunjukkan lesi MS di (a)
Flair, (b) T2-W, (c) T1-W dan (d) PD-W. Lingkaran merah menyoroti lesi dengan cara perolehan yang berbeda
(Rondinella et al., 2023).

15
Gambar 18. FLAIR aksial menunjukkan lesi periventrikular khas yang disebut Dawson Finger (Howard et al.,
2016)

Gambar 19. FLAIR sagital menunjukkan lesi juxtacortical yang besar (panah) (Howard et al., 2016).

16
Gambar 20. Sagital T2-W menunjukkan lesi sumsum tulang belakang hiperintens yang khas untuk MS. Lesi ini
muncul sebagai plak tersendiri dalam white matter sumsum tulang belakang yang semakin menyatu seiring
berjalannya waktu (Howard et al., 2016).

Gambar 21. T1-W sagital pascakontras menunjukkan peningkatan lesi pada sumsum tulang belakang leher pada
pasien dengan MS. Lesi seperti ini dapat terlihat seperti cincin atau pola peningkatan yang lebih jelas. Lesi aktif
di sumsum tulang belakang, seperti lesi aktif di otak, meningkat dengan pemberian gadolinium (Howard et al.,
2016).

2.8 Tatalaksana
Tatalaksana MS meliputi pengobatan simptomatik, latihan fisik, dan edukasi.
Medikasi yang sering dipakai untuk MS antara lain corticosteroid, imunomodulator,
dan imunosupresan Terapi medikamentosa ditujukan untuk memodifikasi penyakit
dan mengurangi gejala (Suryo, 2021).

a. Disease Modifying Therapy

17
Medikamentosa terutama untuk memodifikasi penyakit (disease modifying
therapy atau DMT). DMT menggunakan obat golongan imunomodulator atau
imunosupresan. DMT yang tersedia sekarang efektif mengurangi eksaserbasi atau
relaps untuk tipe relapsing remitting, namun kurang efektif untuk mencegah
perubahan tipe menjadi progresif dan untuk tipe lain.
DMT lini pertama dapat digunakan untuk pasien yang mengalami eksaserbasi
atau relaps dan paling tidak pernah mengalami 1 kali serangan dalam 2 tahun
terakhir. DMT lini pertama pilihan adalah interferon 1 alfa beta dan glatiramer
asetat dosis tinggi.
Pasien yang mengalami _2 serangan dalam 1 tahun terakhir dengan lesi aktif
pada MRI diterapi menggunakan DMT lini kedua seperti fingolimod atau
natalizumab atau alemtuzumab untuk serangan dengan gejala berat.
Obat-obat berpotensi lain yang masih dalam proses penelitian klinis, misalnya
laquinimod, teriflunomide, daclizumab, dimethyl fumarate, dan rituximab

b. Simtomatik
Medikamentosa simtomatik dapat diberikan untuk mengurangi gejala klinis
seperti rasa lelah berlebihan, spastisitas, gangguan pencernaan dan berkemih,
gangguan kognitif, dan nyeri. Golongan obat yang dapat diberikan antara lain:
- Corticosteroid seperti methylprednisolone, dexametasone, dan prednisone
untuk mengurangi inflamasi dan mempercepat penyembuhan pada eksaserbasi
akut
- Muscle relaxant seperti baclofen untuk meredakan spastisitas
- Penghambat neuromuskular seperti toksin botulinum untuk spastisitas

18
ekstremitas atas dan inkontinensia urin
- Benzodiazepine seperti diazepam untuk spastisitas dan spasme otot
- Obat antiinflamasi non-steroid seperti ibuprofen untuk mengurangi nyeri
- Antikonvulsan seperti carbamazepine untuk spastisitas, nyeri neuropatik, dan
tremor
Corticosteroid merupakan salah satu obat yang sering dipakai dan relatif
murah. Steroid umumnya dipakai pada fase relaps; beberapa penelitian
menyebutkan bahwa steroid dapat dipakai pada fase kronik SPMS. Untuk
eksaserbasi akut dapat diberikan methylprednisolone intravena sebagai drug of
choice dengan dosis 160 mg intravena sekali sehari selama 1 minggu, kemudian
tapering off (diturunkan) menjadi 64 mg intravena setiap hari selama 1 bulan.
Terapi imunosupresan yang umum adalah cyclophosphamide 600 mg/m2
intravena selama 5 hari, selain itu bisa digunakan mitoxantrone, methotrexate,
atau azatriopin.
Terapi simtomatik bisa untuk mengatasi kelelahan, spastisitas (baclofen
atau diazepam), spasme otot, dan depresi (fluoxetine, sertraline, atau amitriptilin).
Kelelahan bisa diatasi dengan mengurangi aktivitas yang berlebihan dan bila
mengganggu bisa diberi amantadine atau diazepam.
Untuk mengatasi relaps akut, direkomendasikan corticosteroid, yaitu
methylprednisolone 0,5 gram oral setiap hari selama 5 hari. Dapat
dipertimbangkan dosis 1 gram/hari untuk 3-5 hari sebagai alternatif.
Untuk keadaan relaps bisa digunakan obatobatan seperti; (1).
Plasmapheresis (pertukaran plasma), ini pengobatan jangka pendek pada serangan
berat yang tidak dapat menggunakan steroid atau bila steroid tidak bisa diberikan
karena kontraindikasi; (2). Dexamethasone, sering digunakan sebagai alternatif
untuk mengatasi mielitis transversa akut atau ensefalitis diseminata akut; (3).
DMT (Disease-Modifying Therapy), obatobatan ini telah direkomendasikan untuk
MS relaps, dipercaya mampu menurunkan progresivitas dan relaps.
c. Terapi Stem Cell
Terapi stem cell atau sel punca memiliki potensi untuk MS tipe progresif.
Beberapa penelitian menunjukkan keamanan terapi ini, perbaikan pada hasil
pemeriksaan tajam penglihatan dan visual evoked potential, serta terjadinya
remielinisasi pada sampel hewan percobaan
d. Rehabilitasi
19
Fisioterapi bisa digunakan sebagai alternative untuk melemaskan otot,
menguatkan otot, dan melatih pasien untuk menggunakan alat bantu secara tepat
untuk mempermudah aktivitas sehari-hari seperti berjalan, jika ada kelemahan
kaki ataupun gangguan koordinasi atau keseimbangan. Bisa diberikan obat
pelemas otot seperti baklofen, tizanidin, atau eperison HCl untuk mengatasi nyeri
dan ketegangan atau kekakuan otot. Rehabilitasi multidisiplin dapat membantu
mengurangi disabilitas dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Fisioterapi selama
8 minggu dapat bermanfaat untuk gangguan keseimbangan dan gait. Fisioterapi
masa perawatan 3 minggu dilanjutkan dengan latihan di rumah minimal 15
minggu dilaporkan efektif mengurangi disabilitas pasien. Latihan motorik,
sensorik, dan keseimbangan selama 3 minggu juga dilaporkan dapat memperbaiki
keseimbangan dan gait pasien. Latihan untuk otot pernapasan (khususnya untuk
inspirasi) selama minimal 10 minggu dapat memperbaiki tekanan inspirasi
maksimal.
Edukasi yang diberikan di antaranya; penjelasan sebelum penderita masuk ke
rumah sakit (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa dan tindakan
pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi.); penjelasan
mengenai penyakit MS, risiko dan komplikasi selama perawatan; penjelasan
mengenai factor risiko dan pencegahan rekurensi; penjelasan program
pemulangan pasien; dan penjelasan mengenai gejala MS dan apa yang harus
dilakukan sebelum ke rumah sakit.

2.9 Prognosis
Prognosis sangat bervariasi, pada dasarnya bukan merupakan penyakit fatal,
namun komplikasi sekunder memiliki potensi fatal, seperti pneumonia aspirasi. Faktor
yang berhubungan dengan prognosis lebih buruk adalah jenis kelamin laki-laki,
resolusi inkomplit setelah periode relaps, kelainan sistem saraf eferen yang jelas, dan
>9 lesi otak pada pemeriksaan MRI.
Tingkat relaps 30% dalam 1 tahun, 20% dalam 2 tahun, 20% dalam 5-9 tahun, dan
10% dalam 10-30 tahun, 10% kasus perjalanannya selalu progresif. Faktor prediksi
prognosis baik antara lain; awitan awal (gejala muncul sebelum usia 40 tahun), awitan
gejala sensorik, perjalanan klinis relapsing-remitting, dan jenis kelamin wanita.
Prognosis penyakit MS dapat dikatakan sebagai berikut: ad vitam - dubia ad bonam,
ad sanationam - dubia ad malam, ad functionam - dubia ad bonam (Suryo, 2021).

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang terutama menyerang
lebih banyak perempuan usia muda, tergolong penyakit langka di Indonesia. Penyakit
ini dapat mengakibatkan kecacatan dan menurunkan kualitas hidup. Penegakan
diagnosis yang akurat sangat diperlukan agar pasien bisa mendapatkan pengobatan
yang adekuat sedini mungkin. Diagnosis MS relatif sulit; ditegakkan dengan kriteria
McDonald revisi 2017 dan lesi khas pada pemeriksaan MRI. Tata laksana pasien MS
perlu memperhatikan tipe MS dan gejala yang menyertai.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khawajah, M. M., Al-Barakati, R. G., Al-Jedai, A. H., Al-Malik, Y. M., Al-Mudaiheem,


H. Y., Al-Omari, B. A., Al-Thubaiti, I. A., Al-Yafeai, R. H., Bunyan, R. F., Cupler, E.
J., Hakami, M., Kedah, H. M., Makkawi, S., Saeed, L. H., Saeedi, J. A., Shosha, E., &
Al-Jumah, M. A. (2023). Saudi Consensus Recommendations on the Management of
Multiple Sclerosis: Family Planning within the Management of MS. Clinical and
Translational Neuroscience, 7(2), 10. https://doi.org/10.3390/ctn7020010

Estiasari, R. (2017). Sklerosis Multipel. Cermin Dunia Kedokteran, 41(6), 425–427.

Estiasari, R., Devianca, N., Maharani, K., & Imran, D. (2020). Multipel Sklerosis Progresif
Sekunder, Gejala Klinis, Diagnosis, Dan Tata Laksana. Majalah Kedokteran Neurosains
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 37(3).
https://doi.org/10.52386/neurona.v37i3.166

Fitri, N., Ahmad, B., & Syafrita, Y. (2020). Multiple Sclerosis Relapsing Remitting
Progressive Type. Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 14(2),
199–204. https://doi.org/10.33533/jpm.v14i2.2208

Hanifah, T., Putra, S. E., & Ismiaaulia, V. (2018). Pemeriksaan Radiologi Pada White Matter
Disease. 53(9), 1689–1699.

Howard, J., Trevick, S., & Younger, D. S. (2016). Epidemiology of Multiple Sclerosis.
Neurologic Clinics, 34(4), 919–939. https://doi.org/10.1016/j.ncl.2016.06.016

Kolind, S., Seddigh, A., Combes, A., Russell-Schulz, B., Tam, R., Yogendrakumar, V.,
Deoni, S., Sibtain, N. A., Traboulsee, A., Williams, S. C. R., Barker, G. J., & Brex, P. A.
(2015). Brain and cord myelin water imaging: A progressive multiple sclerosis
biomarker. NeuroImage: Clinical, 9, 574–580.
https://doi.org/10.1016/j.nicl.2015.10.002

Kusmadana, I. P. E., Margo, W., & Suputra, G. (2023). Sklerosis multipel pada pria Bali :
sebuah laporan kasus. 14(1), 407–411. https://doi.org/10.15562/ism.v14i1.1625

Rachman, M. D., Muhlasin, M., Wahyu, N., Widiasari, P. R., Rachmawati, R., Kurnia, R.,
Dwi, R., Herdina, S., Herawati, S., Hasanah, U., & Tutik, Y. W. (2014). Multiple
Sklerosis (Issue 120701097, pp. 1–28).

22
https://www.academia.edu/37797222/MAKALAH_ASUHAN_KEPERAWATAN_GL
OMERULONEFRITIS?auto=download

Rizminardo, F., Syarief, I., Lestari, R., & Handayani, T. (2018). Multipel Sklerosis pada
Anak. Jurnal Kesehatan Andalas, 7, 76.

Rondinella, A., Crispino, E., Guarnera, F., Giudice, O., Ortis, A., Russo, G., Di Lorenzo, C.,
Maimone, D., Pappalardo, F., & Battiato, S. (2023). Boosting multiple sclerosis lesion
segmentation through attention mechanism. Computers in Biology and Medicine, 161.
https://doi.org/10.1016/j.compbiomed.2023.107021

Rovira, Á., Wattjes, M. P., Tintoré, M., Tur, C., Yousry, T. A., Sormani, M. P., De Stefano,
N., Filippi, M., Auger, C., Rocca, M. A., Barkhof, F., Fazekas, F., Kappos, L., Polman,
C., Miller, D., & Montalban, X. (2015). Evidence-based guidelines: MAGNIMS
consensus guidelines on the use of MRI in multiple sclerosis - Clinical implementation
in the diagnostic process. Nature Reviews Neurology, 11(8), 471–482.
https://doi.org/10.1038/nrneurol.2015.106

Suryo, J. C. (2021). Sklerosis Multipel: Diagnosis dan Tatalaksana. Cermin Dunia


Kedokteran, 48(8), 296. https://doi.org/10.55175/cdk.v48i8.1446

Yolanda, I. R., & Ritarwan, K. (2022). Case Report Multiple Sclerosis. Open Access
Macedonian Journal of Medical Sciences, 10(T7), 142–145.
https://doi.org/10.3889/oamjms.2022.9241

23

Anda mungkin juga menyukai