Anda di halaman 1dari 11

“ PELAYANAN KESEHATAN LINGKUNGAN“

Nama : Baiq Meisy Arum Anjani

NIM : 019.06.0017

Kelas :B

Dosen : Aena Mardiah, SKM, MPH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2023
“ PELAYANAN KESEHATAN SAAT TANGGAP DARURAT “

1.1 Pendahuluan

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Kemudian terdapat jenis-jenis bencana yaitu bencana alam,
bencana non-alam dan bencana social (Bakornas PB, 2007).

Menurut Fatoni dalam Suryani salah satu permasalahan kesehatan akibat


bencana adalah meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit
tidak menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa
penyakit menular tertentu, seperti KLB diare dan disentri serta Infeksi saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Jenis penyakit disebabkan oleh lingkungan dan sanitasi yang
memburuk akibat bencana (Amirudin et al., 2021).

Dalam merespons hal tersebut, perlu adanya upaya pengkajian cepat (Rapid
Assesment), dimana dalam kesehatan kebencanaan terdapat pengkajian kesehatan
lingkungan pada daerah tanggap darurat yang pada dasarnya adalah bagian dari Rapid
Health Assesment (RHA) yang merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan
analisis data/informasi tentang kesehatan lingkungan akibat bencana serta perubahan
kehidupan masyarakat yang terkena dampak bencana yang ditimbulkan (Amirudin et
al., 2021).

Pengkajian cepat kesehatan lingkungan dilakukan dalam rangka penyusunan


kegiatan serta identifikasi besarnya kebutuhan masalah kesehatan, gambaran penyakit,
kemungkinan dampak yang ditimbulkan serta potensi yang ada yang biasa
dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat yang terkena dampak bencana itu sendiri.
Tujuan dilakukan pengkajian cepat kesehatan lingkungan dalam rangka untuk
memperoleh gambaran tentang situasi dan kondisi kesehatan lingkungan pada masa
kejadian bencana dan pasca bencana serta identifikasi berbagai faktor resiko
timbulnya masalah kesehatan terutama kemungkinan terjadinya kasus penyakit
menular dan potensi wabah di daerah bencana. Hasil yang diharapkan dalam
pengkajian cepat kesehatan lingkungan adalah sebagai rekmendasi yang lebih konkrit
untuk kegiatan penanggulangan dilapangan, juga dapat membawa intervensi awal
berupa penyediaan sanitasi dasar, selain itu informasi berupa besarnya populasi yang
terkena bencana, prioritas masalah kesehatan yang harus diseslaikan dan kebutuha
vital yang harus dipenuhi (Marlinae et al., 2019).

1.2 Isi
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu
ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian
(Purnama, 2017).

Bencana tidak bisa dipungkiri menimbulkan berbagai pengaruh yang besar


terhadap kualitas hidup manusia, kerusakan berbagai fasilitas fisik, korban jiwa dan
ketidaknormalan kehidupan manusia dari berbagai aspek. Untuk itu dalam
menghadapi situasi berbagai bencana yang terjadi perlu adanya suatu pengelolaan
resiko dari bencana, dalam hal ini adalah manajemen bencana, yaitu suatu proses
dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitas dan rekonstruksi
bencana (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Salah satu aspek yang sangat terpengaruh dari kejadian bencana adalah aspek
kesehatan, dimana bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan
bagi masyarakat yang terdampak seperti korban meninggal, korban cedera berat yang
memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan
fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air. Timbulnya masalah kesehatan antara
lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri,
buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembanghiakan beberapa
jenis penyakit menular (Yasin et al., 2021).

Berbagai Kondisi lingkungan di tempat pengungsian (Shelter) yang bisa


dijumpai antara lain Kepadatan Penampungan pengungsi yang tidak sesuai baik luas
maupun daya tampung, fasilitas Penyediaan air yang kurang memadai baik dari
Kualitas maupun kuantitasnya. Kelangkaan sarana sanitasi seperti jamban, kamar
mandi dan tempat penampungan sampah serta banyaknya genangan air sering
ditemukan pada lokasi pengungsian. Disisi lain ancaman kesehatan disebabkan
kondisi lingkungan yang “tidak ramah” karena keamanan dan kenyaman serta
ketiadaan immunitas mengancam para korban bencana yang tinggal di wilayah
pengungsian (Husein & Onasis, 2017).

Klaster Kesehatan bertugas dalam pelayanan kesehatan, pengendalian


penyakit, penyehatan lingkungan, penyiapan air bersih dan sanitasi yang berkualitas,
pelayanan kesehatan gizi, pengelolaan obat bencana, penyiapan kesehatan reproduksi
dalam situasi bencana, penatalaksanaan korban mati, dan pengelolaan informasi di
bidang kesehatan. Dalam pelaksanaan tugasnya klaster kesehatan juga melaksanakan
kegiatan Kaji cepat kesehatan (RHA) pada tahap tanggap darurat merupakan
serangkaian kegiatan yang meliputi mengumpulkan, mengolah dan menganalisa data
dan informasi guna mengukur dampak kesehatan dan mengidentifikasi kebutuhan
kesehatan masyarakat terdampak yang memerlukan respon segera (Kurniyanti, 2012).

Dalam menajamkan pelaksanaan tugasnya klaster kesehatan membagi dalam


beberapa sub-klaster kesehatan meliputi : 1. Sub-klaster pelayanan kesehatan; 2. Sub-
klaster pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan; 3. Sub-klaster pelayanan
gizi; 4. Sub-klaster KIA dan reproduksi; 5. Sub-klaster kesehatan jiwa; dan 6. Sub-
klaster DVI (Disaster Victim Identification). Subklaster-subklaster tersebut
mempunyai tugas sesuai dengan profesinya dan keahliannya masing-masing dalam
bidang kesehatan (Husein & Onasis, 2017).

Dalam susunan tim RHA, terdapat satu orang sanitarian. yang merupakan
tenaga profesional di bidang kesehatan lingkungan yang memberikan perhatiaan
terhadap aspek kesehatan lingkungan air, udara, tanah, makanan dan vektor penyakit
pada kawasan perumahan, tempat-tempat umum, tempat kerja, industri, transportasi
dan matra (Amirudin et al., 2021)

Menurut Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI),


kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk
mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia. Menurut
World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan adalah suatu
keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat
menjamin keadaan sehat dari manusia (Husein & Onasis, 2017).

Pengkajian cepat kesehatan lingkungan (Rapid Environmental Health


Assessment/REHA) pada daerah tanggap darurat pada dasarnya merupakan bagian
dari RHA yang merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan analisis
data/informasi tentang kondisi kesehatan lingkungan akibat bencana serta perubahan
kehidupan masyarakat yang mengalami bencana. Selain itu, REHA dilaksanakan
dalam rangka penyusunan rencana kegiatan serta identifikasi besarnya kebutuhan,
masalah kesehatan, gambaran penyakit, kemungkinan dampak yang ditimbulkan dan
potensi yang ada yang bisa dimanfaatkan. Pelaksanaan REHA dilakukan sesaat
setelah terjadinya bencana atau dalam keadaan darurat. Sedangkan need assessment
dilakukan secara terus menerus sesuai dengan kondisi yang ada termasuk pasca
bencana. Untuk selanjutnya dilakukan mekanisme survailans kesehatan secara rutin
untuk mengetahui dan memonitor kondisi/masalah kesehatan serta untuk memberikan
rekomendasi upaya tindak lanjutnya. REHA bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang situasi dan kondisi kesehatan lingkungan pada masa kejadian bencana dan
pasca bencana, serta identifikasi berbagai faktor risiko timbulnya masalah kesehatan
terutama kemungkinan terjadinya peningkatan kasus penyakit menular dan potensial
wabah/ kejadian KLB di daerah bencana (Amirudin et al., 2021).
A. Air bersih dan Sanitasi di Pengungsian
Seperti diketahui air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian
juga dengan masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih
yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan sarana
sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan perbaikan kualitas air
bersih dan sarana sanitasi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah
timbulnya risiko kesehatan aki-bat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan.
Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi
pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat
berpengaruh terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan
penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2015).
1. Standar minimum kebutuhan air bersih
a. Prioritas pada hari pertama/awal kejadian bencana atau pengungsian
kebutuhan air bersih yang harus disediakan bagi pengungsi adalah 5
liter/orang/hari. Jumlah ini dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
minimal, seperti masak, makan dan minum. Hari I pengungsian: 5
liter/org/hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015)
b. Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan untuk meningkatkan
volume air sampai sekurang kurangnya 20 liter/orang/ hari. Volume sebesar
ini diperlukan untuk meme-nuhi kebutuhan minum, masak, mandi dan
mencuci. Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar potensi risiko
terjadinya penularan penyakit, terutama penyakt penyakit berbasis lingkungan.
Hari berikutnya: 20 liter/org/hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2015).
c. Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban bencana dan
pengungsian, volume sir bersih yang perlu disediakan di Puskesmas atau
rumah sakit: 50 liter/org/hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2015).
2. Sumber air bersih dan pengolahannya
a. Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari sumber
air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali, sumur bor, mata
air dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan terhadap sumber-
sumber air tersebut dari kemungkinan terjadinya pencemaran, misalnya
dengan melakukan pemagaran ataupun pemasangan papan pengumuman dan
dilakukan perbaikan kualitasnya (Balfour, Nancy; Lellouche, Karl; Amri,
2021)
b. Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh
dengan tempat pengung-sian, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil
tangki air (Balfour, Nancy; Lellouche, Karl; Amri, 2021)
c. Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water
purifier/water treatment plant) (Balfour, Nancy; Lellouche, Karl; Amri,
2021).
3. Beberapa cara pendistribusian air bersih berdasarkan sumbernya
a. Air Permukaan (sungai dan danau)
- Diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air dan
kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan pengungsi
(Indriatmoko & Widayat, 2007)
- Area disekitar sumber harus dibebaskan dari kegiatan manusia dan hewan
b. Sumur gali
- Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL (saluran
pembuangan air limbah)
- Bilamana mungkin dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki
tangki penampungan air (Indriatmoko & Widayat, 2007)
c. Sumur Pompa Tangan (SPT)
- Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL (saluran
pembuangan air limbah)
- Bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus
disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya
(Indriatmoko & Widayat, 2007)
d. Mata Air
- Perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan
pompa ke tangki air
- Bebaskan area sekitar mata air dari kemungkinan pencemaran
(Indriatmoko & Widayat, 2007).
4. Tangki penampungan air bersih di tempat pengungsian
Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air yang
dilengkapi dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang panjang dari
pengungsi yang akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak tangki air dari tenda
pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500 meter (Sari et al., 2020).
Untuk keperluan penampungan air bagi kepentingan sehari hari keluarga
pengungsi, sebaiknya setiap keluarga pengungsi disediakan tempat penampungan
air keluarga dalam bentuk ember atau jerigen volume 20 liter (Sari et al., 2020).
5. Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih
yang sudah memenuhi persya-ratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak
memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan:
Buang atau singkirkan bahan pencemar dan lakukan hal berikut (Sari et al., 2020).
- Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang
ada cukup tinggi.
- Lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan
bahan desinfektan untuk air
- Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM
- Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik distribusi
Bilamana air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun
bakteriologis dapat dilakukan upaya perbaikan mutu air seprti berikut:
- Perjerniah air cepat : tawas (alumunium sulfat/tawas), Poly Alumunium
Chlorida (PAC)
- Desinfeksi air : kaporit (Ca(OCl)2), Aquatabs (aqua tablet)
6. Pengawasan Kualitas Air
a. Pada awal distribusi air
- Air yang tidak dilakukan pengolahan awal, perlu dilakukan pengawasan
mikrobiologi, tetapi untuk melihat secara visual tempatnya, cukup menilai
ada tidaknya bahan pencemar disekitar sumber air yang digunakan.
- Perlu dilakukan test kekeruhan air untuk menentukan perlu tidaknya
dilakukan pengolahan awal.
- Perlu dilakukan test pH air, karena untuk desinfeksi air memerlukan proses
lebih lanjut bilamana pH air sangat tinggi (pH >5).
- Kadar klor harus tetap dipertahankan agar tetap 2 kali pada kadar klor di
kran terakhir (rantai akhir), yaitu 0,6 – 1 mg/liter air.
b. Pada distribusi air (tahap penyaluran air), seperti di mobil tangka air perlu
dilakukan pemeriksaan kadar sisa klor
c. Pada akhir ditribusi air, seperti di tangka penampungan air, bila air tidak
mengandung sisa klor lagi perlu dilakukan pemeriksaan bakteri Coliform.
7. Pemeriksaan Kualitas air secara berkala perlu dilakukan meliputi :
a. Sisa klor
Pemeriksaan dilakukan beberapa kali sehari pada setiap tahapan distribusi
untuk air melewati pengolahan
b. Kekeruhan dan pH
Pemeriksaan dilakukan mingguan atau bilamana terjadi perubahan cuaca,
misalkan. Hujan
c. Bakteri E. Coli tinja
Pemeriksaan dilakukan mingguan disaat KLB diare dan periode emergency
dan pemeriksaan bulanan dilakukan pada situasi yang sudah stabil dan pada
periode paska bencana.
1.3 Kesimpulan
Bencana alam yang disertai dengan pengungsian seringkali menimbulkan dampak
terhadap kesehatan masyarakat yang menjadi korban, terlebih mereka yang termasuk
dalam kelompok rentan. Permasalahan kesehatan akibat bencana beragam, termasuk
meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular,
permasalahan kesehatan lingkungan dan sanitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, A., Maarif, S., Marnani, C. S., & Wilopo. (2021). Pengkajian Cepat Kesehatan
Lingkungan Pada Manajemen Bencana. Jurnal Kesehatan Indonesia (The Indonesian
Journal of Health), XI(3), 111–115.
https://makarioz.sciencemakarioz.org/index.php/JIM/article/view/19
Bakornas PB. (2007). Pengenalan karakteristik bencana dan upaya mitigasinya di
Indonesia.: Vol. II.
Balfour, Nancy; Lellouche, Karl; Amri, A. (2021). Kajian Sistematis Intervensi Sektor Air.
113.
Husein, A., & Onasis, A. (2017). Manajemen Bencana Bahan Ajar Kesehatan Lingkungan. In
Kementerian Kesehatan RI.
Indriatmoko, R. H., & Widayat, W. (2007). Penyediaan Air Siap Minum Pada Situasi
Tanggap Darurat Bencana Alam. JAI, 3(1), 29–37.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Modul Peningkatan Kapasitas Petugas
Kesehatan dalam Pengurangan Risiko Bencana Internasional (International Training
Consortium on Disaster Risk Reduction). Modul Peningkatan Kapasitas Petugas
Kesehatan Dalam Pengurangan Risiko Bencana Internasional Dalam Pengurangan
Risiko Bencana Internasional, 227–248. https://www.who.int/docs/default-
source/searo/indonesia/non-who-publications/2015-training-on-disasater-risk-reduction-
-bahasa.pdf?sfvrsn=c9bba3c1_2
Kurniyanti, M. A. (2012). Peran Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan Manajemen Bencana
( Disaster Management). Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada, 1(1), 85–92.
https://doi.org/10.33475/jikmh.v1i1.87
Marlinae, L., Khairiyati, L., Rahman, F., & Laily, N. (2019). Buku Ajar Dasar-Dasar
Kesehatan Lingkungan. In N. Ulfah (Ed.), Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru. http://kesmas.ulm.ac.id/id/wp-content/uploads/2019/02/BUKU-
AJAR-DASAR-DASAR-KESEHATAN-LINGKUNGAN.pdf
Purnama, S. G. (2017). Modul Manajemen Bencana. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, 1–89.
Sari, D. P., Suryani, D., Karuniawati, T. P., Affarah, W. S., Nintyastuti, I. K., & Irawati, D.
(2020). Penyediaan Fasilitas Sanitasi Dan Air Bersih Bagi Pengungsi Korban Bencana
Gempa Di Dusun Lendang Re, Kabupaten Lombok Barat. Abdi Insani, 7(1), 55–60.
https://doi.org/10.29303/abdiinsani.v7i1.291
Yasin, A., Haluoleo, U., Surya, R. A., Haluoleo, U., Rasyid, S. A., Mandala, U., & Kendari,
W. (2021). Kesehatan lingkungan bencana dan tanggap darurat. February.

Anda mungkin juga menyukai