Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH PENGELOLAAN MASALAH

PENANGGULANGAN BENCANA
BIDANG KESEHATAN

DI SUSUN OLEH :

Marsinta D.F Manurung 1914201056


Sri Delvia Pasaribu 1914201071

Dosen Pengampuh:
Bernita Silalahi S.pd.,S.kep.,M.Kes

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS IMELDA MEDAN
T.A 2021/2022
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………


DAFTAR ISI …………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………
A. Latar Belakang ……………………………………
B. Analisa Situasi ……………………………………
C. Ruang Lingkup …………………………………….
D. Pengerian atau Batasan ……………………………
E. Dasar Hukum ………………………………………
BAB II. TUJUAN DAN SASARAN …………………………
BAB III. KEBIJAKAN ………………………………………..
BAB IV. STANDAR MINIMAL …………………………….
1. Pelayanan Kesehatan …………………………………..
2. Pencegahan dan pemberantasan Penyakit
Menular ………………………………………. ………
3. Gizi dan Paaangan ……………………………………
4. Lingkungan …………………………………………….
5. Hal–hal yang berkaitan dengan kebutuhan
dasar kessehatan ……………………………………….
BAB V. PEMANTAUAN DAN EVALUASI …………..
BAB VI. PENUTUP ……………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Perlu diketahui bahwa bencana yang diikuti dengan pengungsian menimbulkan


masalah kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Timbulnya
masalah kesehatan itu berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya
kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari
perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular dll. Persediaan pangan yang tidak
mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan
dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan
gizi seseorang.
Dalam pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat
kesehatan yang mana secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan daya
tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang
kesehatan.
Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus segera diberikan
baik saat terjadi dan pasca bencana disertai pengungsian. Untuk itu di dalam
penanggulangan masalah kesehatan pada bencana dan pengungsian harus mempunyai
suatu pemahaman permasalahan dan penyelesaian secara menyeluruh. Cara berfikir dan
bertindak tidak bias lagi secara sektoral, harus terkoordinir secaara baik dengan lintas
sektor dan lintas program.
Standar minimal dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan
penganan pengungsi ini merupakan standar yang dipakai di Dunia internasional. Dalam
penggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi di Indonesia
diharapkan juga memakai standar ini dengan memper-hatikan hak Asasi Manusia (HAM)
yaitu hak hidup, hak mendapatkan pertolongan/bantuan dan hak asasi lainnya. Dalam
penerapan pemakaiannya, daerah yang menggunakan standar minimal ini diberi
keleluasaan untuk melakukan penyesuaian beberapa poin yang diperlukan sesuai kondisi
keadaan di lapangan.
Standar minimal ini dibuat dengan dasar pemikiran bahwa apabila tidak terpenuhinya
batas minimal kebutuhan hidup masyarakat korban bencana atau
pengungsi, langsung maupun tidak langsung akan berakibat timbulnya masalah
kedaruratan kesehatan.
Dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penganan pengungsi
diperlukan standar–standar yang dapat dipakai sebagai pegangan atau patokan ukuran
untuk merencanakan, memberi bantuan dan untuk mengevaluasi.
Dibuatnya standar minimal ini untuk pegangan dalam setiap kegiatan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh
LSM serta swasta lainnya.

B. ANALISIS SITUASI
Bencana yang disertai dengan pengungsian sering menimbulkan masalah kesehatan
masyarakat yang besar. Pada tahun 2000 jumlah pengungsi internal (IDPs) di Indonesia
telah mencapai lebih dari 1,2 juta orang. Dalam situasi bencana selalu terjadi kedaruratan
di semua aspek kehidupan. Terjadinya kelumpuhan pemerintahan, rusaknya fasilitas
umum, terganggunya system komunikasi dan transportasi, lumpuhnya pelayanan umum
yang mengakibatkan terganggunya tatanan kehidupan masyarakat.
Jatuhnya korban jiwa, hilangnya harta benda, meningkatnya angka kesakitan merupakan
dampak dari adanya bencana.

Pada pasca bencana beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan kajian lebih
lanjut adalah :
1. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal,
sakit, cacat) dan ciri–ciri demografinya.
2. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan swasta.
3. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
4. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.
5. Kelompok kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita, ibu hamil, bunifas
dan manula)
6. Kemampuan dan sumberdaya setempat
Identifikasi dan kecenderungan masalah
Setelah diketahui terjadi suatu bencana, langkah berikutnya segara melakukan kegiatan
identifikasi masalah. Dalam mengidentifikasi masalah yang perlu diperhatikan yaitu :
Penyebab masalah, besar kecil dan berat ringannya masalah dan berdampak pada
masyarakat luas atau terbatas.
Dalam banyak hal mengenai bencana baik karena alam atau karena ulah manusia
(konflik sosial dengan kekerasan) yang disertai dengan pengungsian, timbulnya masalah
kesehatan sering terkait dengan menurunnya pelayanan kesehatan, timbulnya kasus
penyakit menular, terbatasnya persediaan pangan dan menurunnya status gizi masyarakat,
memburuknya sanitasi lingkungan karena kurangnya persediaan air bersih, terbatasnya
tempat penampungan pengungsi (papan) serta sandang.
Dalam pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak
memadai. Hal ini terjadi akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah
dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan, terbatasnya dana
operasional pelayanan di lapangan, Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani dapat
menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat bencana tersebut.
Pada situasi bencana yang mengakibatkan rusaknya lahan pertanian yang mengakibatkan
produksi menurun, terputusnya sarana dan prasarana transportasi yang akan
mempengaruhi kelancaran distribusi pangan, terputusnya jaringan komunikasi yang
mengakibatkan terlambatnya informasi, terjadinya konsentrasi massa disuatu tempat
menimbulkan peningkatan kebutuhan bahan makanan. Kondisi tersebut diatas
menciptakan situasi rawan pangan. Pemberian yang tidak sesuai dengan standar
kebutuhan pangan dalam jangka panjang akan menurunkan status gizi masyarakat.
Terbatasnya persediaan air bersih, sanitasi lingkungan yang buruk, menurunnya daya
tahan tubuh merupakan masalah yang sering timbul dalam kondisi bencana dan
penanganannya belum memadai. Penanganan yang diberikan belum merujuk pada suatu
standar pelayanan minimal. Dapat diprediksi akan terjadi peningkatan kasus penyakit
menyular.
Setelah mengetahui kemungkinan yang akan terjadi dari anlisis diatas diperlukan
suatu program kegiatan yang bias mempertahankan derajat kesehatan masyarakat.
Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan dalam penanggulangan bencana dan penganan
pengungsi disamping mengacu kepada protap dan
pedoman–pedoman yang ada, juga diperlukan memakai standar minimal penanggulangan
masalah kesehatan

C. RUANG LINGKUP
Membahas tentang standar minimal yang meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, gizi dan pangan, lingkungan serta papan dan sandang.

D. PENGERIAN ATAU BATASAN


1. Standar Minimal
Adalah ukuran terkecil atau terendah dari kebutuhan hidup (air bersih dan sanitasi,
persediaan pangan, pemenuhan gizi, tempat tinggal dan pelayanan kesehatan) yang
harus dipenuhi kepada korban bencana atau pengungsi untuk dapat hidup sehat, layak
dan manusiawi.
2. Bencana
Adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
3. Tolok Ukur
Adalah pertanda yang menunujukkan bahwa suatu standar sudah
(atau belum) tercapai. Tolok ukur ini menyediakan cara untuk mengukur/ menilai dan
mengkomunikasikan dampak atau hasil suatu program, juga prosesnya dan metode
metodenya. Tolok ukur bisa bersifat kuantitatif (berupa angka angka yang
menunjukkan jumlah atau persentase), bisa juga bersifat kualitatif (berbenruk paparan
keadaan atau status) .

E. DASAR HUKUM
1. Undang undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
2. Keputusan Presiden nomor 3 tahun 2001 Bakornas PBP.
3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 130 tahun 2000 tentang Organisasi dan tata
kerja Depkes.
4. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 446 tahun 2001 tentang tata kerja Depkes dan
Kesos.
5. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 446 tahun 2001 tentang Prosedur Tetap
Pelayanan Kesehatan penanggulangan Bencana dan Penganan Pengungsi.
6. Keputusan Sekretaris Bakornas PBP nomor 2 tahun 2001 tentan Pedoman Umum
Penanggulangan Bencana dan penanganan Pengungsi.
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN
A. TUJUAN
Umum :
Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi korban akibat bencana dan pengungsi sesuai
dengan standar minimal.
Khusus :
1. Terpenuhinya pelayanan kesehatan bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar
minimal.
2. Terpenuhinya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular bagi korban bencana
dan pengungsi sesuai standar minimal.
3. Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi korban bencana dan pengungsi sesuai
standar minimal.
4. Terpenuhinya kesehatan lingkungan bagi korban bencana dan pengungsi sesuai
standar minimal.
5. Terpenuhinya kebutuhan papan dan sandang bagi korban bencana dan pengungsi
sesuai standar minimal

B. SASARAN
Petugas kesehatan dan organisasi terkait dalam penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi.
BAB III
KEBIJAKAN
1. Setiap korban bencana dengan masalah kesehatan akan mendapatkan pelayanan
kesehatan secara optimal.
2. Mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit melalui upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit dengan peningkatan surveilans epidemiologi.
3. Memberikan pelayanan pangan dan gizi dalam jumlah dan jenis yang cukup
untuk mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan dan keadaan gizi yang
terdiri dari.
a. Penanggulangan masalah gizi pengungsi melalui orientasi dan pelatihan secara
professional oleh tenaga lapaangan.
b. Menyelenggarakan intervensi gizi dilaksanakan berdasarkan tingkat kedaruratan
dengan memperhatikan prevalensi, keadaan penyakit, ketersediaan sumberdaya
(tenaga, dana dan sarana). kebijakan yang ada, kondisi penampungan sera latar
belakang social budaya
c. Melakukan surveilans gizi untuk memantau perkembangan jumlah pengungsi,
keadaan status gizi dan kesehatan.
d. Meningkatkan koordinasi lintas program, lintas sector, LSM, dan ormas dalam
penanggulangan masalah gizi pada setiap tahap, dengan melibatkan tenaga ahli
dibidang : gizi, sanitasi, evaluasi dan monitoring (surveilans) serta loghistik.
e. Pemberdayaan pengungsi dibidang pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan sejak
awal pengungsian.
f. Apabila pengungsian bertempat tinggal di pemukiman penduduk, maka untuk
penanganannya perlu dikoordinasikan dengan palayanan kesehatan se-
tempat.
4. Mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit melalui media lingkunga akibat
terbatasnya sarana kesehatan lingkungn yang ada ditempat pengungsian, melalui
pengawasan dan perbaikan kualitas Kesehatan Lingkungan dan kecukupan air bersih.
5. Memberikan bantuan teknis dalam upaya pemenuhan papan dan sandang yang
memenuhi syarat kesehatan.
BAB IV
STANDAR MINIMAL

1. PELAYANAN KESEHATAN
A. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat korban bencana didasarkan pada penilaian situasi
awal serta data informasi kesehatan berkelanjutan, berfungsi untuk mencegah
pertambahan/menurunkan tingkat mekatian dan jatuhnya korban akibat penyakit
melalui pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan.
Tolok Ukur :
1) Puskesmas setempat, Puskesmas Pembantu, Bidang Desa dan Pos kesehatan yang
ada.
2) Bila mungkin, RS Swasta, Balai pengobatan Swasta, LSM Lokal maupun LSM
Internasional yang terkait dengan bidang kesehatan bekerja sama serta
mengkoordinasikan upaya–upaya pelayanan kesehatan bersama.
3) Memakai standar pelayanan puskesmas.
4) Dalam kasus–kasus tertentu rujukan dapat dilakukan melalui system rujukan yang
ada.
5) 1 (satu) Pusat Kesehatan pengungsi untuk 20.000 orang.
6) 1 (satu) Rumah Sakit untuk 200.000 orang

Dalam keadaan darurat terjadi perubahan angka kematian dari biasanya.


Tingkat kematian kasar :
Tolok ukur :
1) Normal rate 0,3 sampai 0,5/10.000 pddk/hari
2) Darurat terkontrol < 1/10.000 pddk/hari
3) Darurat kerusakan serius > 1/10.000 pddk/hari
4) Darurat tidak terkontrol > 2/10.000 pddk/hari
5) Kerusakan berat > 5/10.000 pddk/hari
Tingkat kematian bayi dibawah 5 tahun :
Tolok ukur :
1) Normal rate 1/10.000 pddk/hari
2) Darurat terkontrol < 2/10.000 pddk/hari
3) Darurat kerusakan serius > 2/10.000 pddk/hari
4) Darurat tidak terkontrol > 4/10.000 pddk/hari

B. Kesehatan Reproduksi
Kegiatan yang harus dilaksanakan pada kesehatan reproduksi adalah :
1. Keluarga Berencana (KB)
2. Kesehatan Ibu dan Anak antara lain :
a. Pelayanan kehamilan, persalinan dan nifas.
b. Pelayanan pasca keguguran.
3. Deteksi Dini dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS
4. Kesehatan Reproduksi Remaja

C. Kesehatan Jiwa
Penanggulangan penderita stress paska trauma bisa dilakukan di lini lapangan sampai
ketingkat rujukan tertinggi, dalam bentuk kegiatan penyuluhan, bimbingan, konseling,
dalam bentuk kegiatan penyuluhan, bimbingan, konseling, yang tentunya disesuaikan
dengan kemampuan dan kewenangan petugas di setiap jenjang pelayanan.
Penanggulangan penderita stress paska trauma di lini lapangan dapat dilakukan oleh para
relawan yang tergabung dalam lembaga/organisasi masyarakat atau keagamaan maupun
petugas pemerintah ditingkat desa dan atau kecamatan, Penanggulangan penderita stress
paska trauma bisa dilakukan dalam 3 (tiga) jenis kegiatan, yaitu :
1. Penyuluhan kelompok besar (lebih dari 20 orang)
2. Ahli Psikologi
3. Kader masyarakat yang telah dilatih.
Persyaratan sarana rujukan penderita Post Traumatic Stress (PTS)
1. Puskesmas
2. Klinik Psikologi
3. Rumah Sakit Umum
4. Rumah sakit Khusus Jiwa
2. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR

A. Vaksinasi
Vaksinasi campak harus dijadikan prioritas sedini mungkin dalam kekeadaan darurat.
Program vaksinasi harus segera dimulai begitu tenaga kesehatan, vaksin, peralatan dan
perlengkapan lain sudah tersedia, tanpa menunda–nunda lagi.
Tidak perlu menunggu sampai vaksin – vaksin lain tersedia, atau sampai sudah muncul
laporan adanya penderita campak dilokasi, Mungkin (namum sangat jarang terjadi) tim
penilai situasi awal memutuskan bahwa vaksinasi campak tidak perlu dilakukan. Bila
demikian keputusan ini haruslah di dasari oleh faktor - factor epidemiologis, misalnya
pelaksanaan kampanye vaksinasi sebelumnya didaerah itu, tingkat cangkupan vaksinasi
yang sudah dijalankan, serta perkiraan jumlah penduduk yang paling rentan terkena
campak. Dampak kondisi lain, tim penilai situasi awal mungkin merekomendasikan agar
setiap orang yang telah berusia lebih dari 15 tahun harus pula divaksin, dengan alasan
kuat bahwa nampak terbukti tingkat usia ini pun rawan terkena campak.
Tolok ukur kunci :
1) Bila muncul satu kasus campak (yang baru dalam tahap diduga ataupun sudah
dipastikan) ini berarti harus diadakan pemantauan dilokasi termasuk mengenai status
vaksinasi dan usia pasien .
2) Dalam pengendalian wabah campak pemberian vaksin kepada anak usia 6 bulan
sampai 15 tahun atau lebih dan pemberian dosis vit A yang tepat adalah kuncinya.
3) Cacar air (10% dari penduduk berusia 6 bulan sampai 5 tahun belum diimunisasi.
4) Penyakit infeksi pernafasan (ada kecenderungan peningkatan kasus)
5) Diare (ada kecenderungan peningkatan kasus)
Bila yang dihadapi di lapangan adalah situasi pengungsian, para pendatang baru ke
lokasi/kamp/penampungan/pemukiman sementara secara sistematis harus divaksin.
Semua anak usia 6 bulan hingga 15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A
dengan dosis yang tepat.
Tolok ukur kunci :
1) dilaksanakan oleh Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten dan
bekerja sama dengan instansi terkait.
2) Sampai 100% dari semua anak dalam kelompok sasaran (termasuk para pendatang
baru di kamp pengungsian ) sudah divaksin.
3) Pasokan vaksin di lokasi setara dengan 14% kelompok sasaran, termasuk
15% untuk kemungkinan terbuang/tidak terpakai dan 25% cadangan : kebutuhan bagi
pendatang baru diproyeksikan : bila belum tersedia vaksin harus didatangkan.
4) Yang digunakan hanyalah vaksin dan jarum jarum suntik sekali pakai yang
memenuhi ketentuan WHO.
5) Rantai pasokan harus terus dipantau sejak pembuatannya sampai kelokasi pemberian
vaksin untuk menjamin kelayakannya.
6) Persediaan jarum suntik di lokasi setara dengan 125% kelompok sasaran, termasuk
25% cadangan jarum jarum suntik berkapasitas 5 mililiter untuk melarutkan dosis
dosis jamak tersedia. Diperlukan satu jarum suntik untuk setiap zat yang akan
dilarutkan bersama.
7) Kotak pengaman yang sesuai dengan rekomendasi WHO tersedia untuk
masing–masing jarum suntik sebelum dibuang sesudah digunakan. Kotak kotak
dibuang sesuai ketentuan WHO.
8) Pasokan vitamin A setara dengan 125% kelompok sasaran termasuk 25% cadangan
bila akan digunakan bersamaan dengan kampanye vaksinasi campak.
9) Kepala Puskesmas merencanakan kebutuhan vaksin, KMS. Buku induk khusus
penanganan kesehatan pengungsi, peralatan dan tenaga kesehatan (juru imunisasi)
dengan memperhitungkan jumlah sasaran sekaligus pemberian vitamin A
10) Tanggal pemberian vaksin dicatat setiap catatan kesehatan anak (memakai buku
induk). Bila mungkin disediakan juga catatan kesehatan.
11) Bayi yang divaksin sebelum usia 9 bulan memerlukan revaksinasi bila usianya
mencapai 9 bulan.
12) Puskesmas melaksanakan memastikan vaksinasi berkesinambungan yang
rutin terhadapa setiap pendatang baru di kamp pengungsian, dan
mengidentivikasi anak anak yang butuh vaksinasi kedua (bayi yang mencapai usia 9
bulan)
13) Pesan pesan yang relevan dalam bahasa daerah etempat disebarluaskan kepada
kelompok kelompok ibu atau pengasuh anak yang tengah menunggu giliran mencakup
antara lain manfaat vaksin, apa kemungkinan efek sampingnya, kapan harus kembali
untuk memperoleh revaksinasi, dan mengapa harus menyimpan Kartu Menuju Sehat
(KMS)

B. Masalah Umum Kesehatan di Pengungsian


Beberapa jenis penyakit yang sering timbul pada keadaan darurat dan penyebab dari
penyakit tersebut serta tindakan pencegahannya adalah sebagai berikut :

Penyakit Penyebab Tindakan Preventiv

1.Menyediaka
n area yang
Diare Pemukiman terlalu padat cukup
2.pendidikan
mengenai
Pencemaran air dan kesehatan
masalah makanan

Sanitasi jelek

Membagikn sabun
pembersih
Kesadaran kebersihan
??Penyediaan air bersih dan
makanan yang
cukup.

Cacar ?? Pemukiman terlalu Padat ?? Menyediakan area yang


?? Vaksinasi tak jalan cukup
?? Imunisasi untuk anak balita

Perumaha
Penyakit ?? n kumuh ?? .Menyediakn area yang
Kurangany cukup
?? a selimut dan
pernafasan
pakaian ?? Perlindungan yang cukup
Merokok di tempat seperti pakaian yang layak
?? umum dan selimut yang
memadai
tempa
?? Memberantas t ber
kembangbiaknya nyamuk

?? Tempat tinggal yang tidak Penyemprotan dan juga


menjaga kebersihan
kondusif untuk lingkungan
Malaria perkembangbiakan
nyamuk ?? penyediaan kelambu
?? Penyedian obat pencegah
yang aman untuk anabkecil
dan ibu hamil

pemukiman yang terlalu


Meningitis ?? padat ?? Standar minima untuk
tempat tinggal yang layak
?? Imunisasi sesuai dengan
anjuran dokter

Pemukiman yang terlalu


Tuberculosse ?? padat ?? Standar minimal untuk
?? Gagal gizi tempat tinggal yang layak
Rentan terhadap virus
?? TBC ?? Imunisasi

Typhoid ?? Pemukiman yang padat ?? Satandar minimal untuk


Kesadaran kebersihan
?? kurang tempat tinggal yang layak
Air bersih yang
?? Kurangnya air bersih ?? cukup
?? Kurangnya sanitasi ?? Sanitasi yang memadai
?? Kesadaranakan pentingnya
kebersihan
.
Cacingn ?? pemukimanyang padat ?? Standar minimal untuk tempat tinggal
Yanglaya
Sanitasi tidak k
?? memadai
?? Sanitasi yang laya
Memakai alas
?? kaki
?? Kesadaran akan kesehatan individu

Scabies ?? Pemukiman yang ?? Standar minimal untuk tempat tinggal


yang
padat layak
?? Kurangnya kesadaran ?? Cukup tersedianya air bersih dansabu
pembersih
kesehatan diri

Xerophl ?? Diet yang tidaksesuai ?? Cukup mengkonsumsi makanan yang


mia / ?? Disebabkn penyakit mengandungvitamin A
infeksi
kurang , cacar air dan ?? Imunisasi untuk mencegah penyakit
diare tersebut
vit A

Anemia ?? Malara, cacingan, ? Tindakan pencegah dari sumber sumber


kurang zat besi dan penyakit
folate. ?? Mengatur pola makan

Tetanus ?? Luka yang tidak ?? P3K yang memadai


dirawa
t
?? Imunisasi bagi ib hamil dan memberi
?? Salah perlakua :
penyuluhn tentag kebersihn gunting,
waktu kelahirkan
Menyebabkan alat cukur
penyakit
tetanus

Hipatiti Tidak
s ?? bersih ?? Penyediaan air bersih yangcuku
?? Pencemaran air dan ?? Sanitasi yang memadai
makanan ?? Ttansfusi darah yang aman

Tidak
STD / ?? bermasyarakat ?? Tes Syphilis selama kehamilan
HIV ?? Kesalahan transfusi ?? Tes darah untuk Tansfusi
?? Kurangnya ?? Tindakan pencegahan
informasi ?? Pendidikan kesehatan
Penyediaan
?? kondom
?? Tidak berganti pasangan

C. Manajemen Kasus
Semua anak yang terkena penyakit menular dirawat selayaknya agar risiko– risiko lebih
jauh terhindarkan, termasuk kematian.
Tolok ukur Kunci :
1) Sistem pelacakan yang meliputi seluruh penduduk dengan menggunakan definisi
kasus standar dan merujuk kepada kasus–kasus campak, yang dicurigai maupun yang sudah
dikonfirmasi, dijalankan.
2) Setiap pasien menerima vitamin A dan perawatan untuk komplikasi seperti misalnya
pneumonia, gastroenteritis, kekurangan gizi yang parah, dan miningoencephalitis, yang
dapat mengakibatkan kematian.
3) Status anak penderita campak dipantau, dan bila perlu dimasukkan dalam program
pemberian bantuan pangan/gizi

D. Surveilans
Surveilans dilakukan terhadap beberapa penyakit menular. Tolok
Ukur Kunci :
1) Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten bertanggung jawab atas
pemantauan dan pengendalian secara jelas ditetapkan (Protap penaggulangan Masalah
Kesehatan akibat bencana dan penanganan Pengungsi), dan seluruh LSM kemanusiaan di
lokasi mengetahui kemana harus mengirimkan laporan bila menjumpai kasus penyakit
menular, baik yang baru dalam tahap dicurigai ataupun sudah dikonfirmasikan.
2) Pemantauan dilangsungkan sepanjang waktu agar bisa secepatnya melacak dan mengambil
tindakan jika didapati kasus penyakit menular sedini mungkin.
E. Ketenagaan
Jumlah kebutuhan tenaga kesehatan untuk penanganan pengungsi antara
10.000 – 20.000 :
1) Pekerja kesehatan lingkungan 10 – 20 orang
2) Bidan 5 – 10 orang
3) Para medis 4 – 5 orang
4) Dokter 1 orang
5) Asisten Apoteker 1 orang
6) Teknisi Laboratorium 1 orang
7) Pembantu Umum 5 – 10 orang
8) Pengawas Sanitasi 2 – 4 orang
9) Asisten Pengawas Sanitasi 10 –20 orang

3. GIZI DAN PANGAN


A. Penanggulangan masalah gizi dipengungsian adalah sebagai berikut :
1. Melakasnakan profesionalisme tenaga lapangan untuk penanganan gizi
pengungsi melalui orientasi dan pelatihan
2. Menyelenggarakan intervensi gizi dilaksanakan berdasarkan tingkat kedaruratan
dengan memperhatikan prevalensi, keadaan penyakit, ketersediaan seumberdaya
(tenaga, dana dan sarana), kebijakan yang ada, kondisi penampungan serta latar
belakang social budaya.
3. Melakukan surveilans gizi untuk memantau perkembangan jumlah pengungsi,
keadaan status gizi dan kesehatanMeningkatkan koordinasi lintas program, lintas
sektoral, LSM, dan ormas dalam penanggulangan masalah gizi
padasetiap tahap, denganmelibatkan tenaga ahli di bidang : Gizi, Sanitasi,
Evaluasi dan Monitoring(Surveilans) serta Logistik.
4. Pemberdayaan pengungsi di bidang pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan
sejak awal pengungsian.
Prinsip penanganan gizi darurat terdiri dari 2 tahap yaitu tahap penyelamatan

dan tahap tanggap darurat serta melakukan pengamatan/Surveilans gizi.

Tahap Penyelamatan

Tahap penyelamatan merupakan kegiatan yang bertujuan agar para pengungsi

tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizi.


Tahap ini terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Fase pertama (fase 1) adalah saat :

a. Pengungsi baru terkena bencana.


b. Petugas belum sempat mengidentifikasi pengungsi secara lengkap
c. Belum ada perencanaan pemberian makanan terinci sehingga semua golongan
umur menerima bahan makanan yang sama
Fase ini maksimum selama 5 hari

Fase ini bertujuan memberikan makanan kepada masyarakat agar tidak lapar.

Sasarannya adalah seluruh pengungsi, dengan kegiatan :

a. Pemberian makanan jadi dalam waktu sesingkat mungkin.

b. Pendataan awal , jumlah pengungsi, jenis kelamin, golongan umur.

c. Penyelenggaraan dapur umum (merujuk ke Depsos), dengan standar

minimal.

2. Fasse kedua (fase II) adalah saat :

a. Pengungsi sudah lebih dari 5 hari bermukim ditempat pengungsian.

b. Sudah ada gambaran keadaan umum pengungsi (jumlah, golongan umur, jenis

kelamin keadaan lingkungan dan sebagainya), sehingga perencanaan pemberian

bahan makanan sudah lebih terinci,

c. Pada umumnya bantuan bahan makanan cukup tersedia.


Sasaran pada fase ini adalah seluruh pengungsi dengan kegiatan :

a. Pengumpulan dan pengolahan data dasar status gizi.

b. Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi.

c. Merencanakan kebutuhan pangan untuk suplementasi gizi

d. Menyediakan paket Bantuan pangan (ransum) yang cukup, mudah dikonsumsi


oleh semua golongan umur dengan syarat minimal ssebagai berikut ;
1) Setiap orang diperhitungkan menerima ransum senilai 2.100 Kkal, 40 gram
lemak dan 50 gram protein per hari.
2) Diusahakan memberikan pangan sesuai dengan kebiasaan dan ketersediaan
setempat, mudah diangkut, disimpan dan didistribusikan.
3) Harus memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral.
4) Mendistribusikan ransum sampai ditetapkannya jenis intervensi gizi
berdasarkan hasil data dasar (maksimum 2 minggu)
5) Memberikan penyuluhan kepada pengungsi tentang kebutuhan gizi dan cara
pengolahan bahan makanan masing–masing anggota
keluarga.

Tahap Tanggap Darurat


Tahap ini dimulai selambat–lambatnya pada hari ke 20 di tempat pengungsian.
Kegiatan
1. Melakukan penapisan (screening) bila prevalensi gizi kurang balita 10–14.9% atau
5–9.0% yang disertai dengan factor pemburuk.
2. Menyelenggarakan pemberian makanan tambahan sesuaidengan jenis intervensi yang
telah ditetapkan pada tahap 1 fase II (PMT darurat/Ransum, PMT darurat terbatas serta
PMT terapi).
3. Melakukan penyuluhan baik perorangan atau kelompok dengan materi penyuluhan sesuai
dengan butir b.
4. Memantau perkembangan status gizi melalui surveilans.
Melakukan modifikasi/perbaikan intervensi sesuai dengan perubahan tingkat
kedaruratan
a. Jika prevalensi gizi kurang > 15% atau 10–14% dengan factor pemburuk, diberikan
paket pangan dengan standar minimal per orang perhari (ransum), dan diberikan PMT
darurat untuk balita, ibu hamil ibu meneteki dan lansia serta PMT terapi bagi
penderita gizi buruk. Ketentuan kecukupan gizi pada PMT darurat sama seperti
standar ransum.
b. Jika prevalensi gizi kurang 10–14.9% atau 5–9.9% dengan factor pemburuk diberikan
PMT darurat terbatas pada balita, ibu hamil, ibu meneteki dan lansia yang kurang gizi
serta PMT terapi kepada penderita gizi buruk.
c. Jika prevalensi gizi kurang < 10% tanpa factor pemburuk atau < 5% dengan factor
pemburuk maka dilakukan penganan penderita gizi kurang melalui pelayanan
kesehatan setempat.

B. Pengamatan/Surveilans Gizi
Tahapan yang dilakukan pada surveilans gizi pengungsi dalam keadaan darurat adalah :
1. Registrasi pengungsi
Registrasi perlu dilakukan secepat mungkin untuk mengetahui jumlah KK, jumlah
pengungsi (jiwa), jenis kelamin, umur dan bumil/buteki/usila. Di samping itu
diperlukan data penunjang lainnya misalnya : luas wilayah, jumlah camp, sarana air
bersih yang dapat diperoleh dari sumber data lainnya. Registrasi dapat dilakukan
sendiri atau menggunakan data yang telah tersedia misalnya dari Satkorlak.
Data tersebut digunakan untuk menghitung kebutuhan bahan makanan pada tahap
penyelamatan dan merencanakan tahapan surveilans berikutnya.

2. Pengumpulan dan dasar gizi

Data yang dikumpulkan adalah antropometri meliputi : berat badan, tinggi badan,
umur untuk menentukan status gizi. Data antropometri ini dikumpulkan melalui
survei dengan metodologi surveilans atau survei cepat.
Di samping itu diperlukan data penujang lainnya seperti : diare, ISPA/ Pneumonia,
campak, malaria, angka kematian kasar dan kematian balita. Data penunjang ini dapat
direroleh dari sumber lainnya, seperti survei penyakit dari P2M.
Data ini digunakan untuk menentukan tingkat kedaruratan gizi dan jenis intervensi
yang diperlukan.

3. Penapisan
Penapisan dilakukan apabila diperlukan intervensi pemberian makanan tambahan
secar terbatas (PMT darurat terbatas) dan PMT terapi. Untuk itu dilakukan
pengukuran antropometri ( BB/TB) semua anak untuk menentukan sasaran intervensi.
Pada kelompok rentan lainnya, penapisan dilakukan dengan melakukan pengukuran
Lingkar Lengan Atas /LILA .

4. Pemantauan dan evaluasi


Pemantauan dan evaluasi ditujukan untuk menilai perubahan yang terjadi terhadap
status gizi pengungsi. Pemantauan dan evaluasi terdiri dari :
a) Pemantauan pertumbuhan balita yang dilakukan setiap bulan dengan
menggunakan KMS :
b) Penilaian keadaan gizi seluruh balita setelah periode tertentu (3 bulan)
untuk dibandingkan dengan data dasar
Untuk keperluan surveilans gizi pengungsi, beberapa hal yang perlu disiapkan adalah :
1. Petugas pelaksana adalah tenaga gizi (Ahli gizi atau tenaga pelaksana gizi) yang
sudah mendapat latihan khusus penganggulangan gizi dalam keadaan darurat. Jumlah
petugas pelaksana gizi minimal tiga orang tenaga gizi terlatih, agar surveilans dapat
dilakukan secepat mungkin.
Tenaga pelaksana gizi ini akan bekerja secara tim dengan surveilans penyakit atau
tenaga kedaruratan lainnya
2. Alat untuk identifikasi, pengumpulan data dasar, pemantauan dan evaluasi :
a. Formulir untuk registrasi awal dan pengumpulan data dasar dan skrining/
penapisan, dan juga formulir untuk pemantauan dan evaluasi secara periodik.

b. Alat ukur antropometri untuk balita dan kelompok umur golongan rawan lainnya.
Untuk balita diperlukan timbangan berat badan (dacin/salter) alat ukur panjang
badan
(portable) dan medline (meteran)
c. Monitoring pertumbuhan untuk balita (KMS)
d. Jika memungkinkan disiapkan komputer yang dilengkakpi dengan system
aplikasi untu pemantauan setiap individu
3. Melakukan kajian data surveilans gizi dengan mengintegrasikan informasi dari
surveilans lainnya (penyakit dan kematian).

C. Kekurangan Vitamin A (Xeropthalmia)


Pada anak–anak usia 6 hingga 71 minggu (jika ditemukan kondisi yang sesuai dengan
satu tolak ukur atau lebih, berarti perlu diambil tindakan dalam lingkup kesehatan
masyarakat secara menyeluruh)
Tolok Ukur Keberadaan Mininum

Rabun ayam ( usia penderita antara


24 – 71 bulan ) >1%

Xerosis Konjungtival dengan binti –


bintik bitot > 0,5 %

Xerosis cornea / pembengkakan /


keratomalasi > 0,01 %

> 0,05 %
Goresan – goresan pada kornea

D. Kekurangan Yodium dan pengendaliannya melalui Yodiomisasi garam


Kekuraangan Yodium bersifat problematic, Indikator–indikator biokimia barangkali
tidak bisa diukur dalam situasi darurat atau bencana, sementara pengungkuran klinis
terhambat risiko ketidakakuratan, Tetapi pemeriksaan urin untuk mengetahui kadar
Yodium perlu dilakukan guna mendapatkan gambaran penuh tentang stetus Yodium, dan
petunjuk kasar ke arah keparahan situasi bisa diperoleh melalui pemeriksaan klinis
terhadap anak–anak usia 6–12 tahun
Tolok Ukur Sasaran Skala Masalah kesehatan Masyarakat

Ringan Sedang Parah

Anak – anak usia


5.0 s/d19.9 % 20.0s/d29.9% 30.0 % ke atas
Gondok tingkat > 0 sekolah
(6–12 tahun )

Thyroid volume> Anak – anak usia


5.0s/d19.9% 20.0 s/d 29.9 % 30.0% ke atas
centile ke 97 lewat sekolah
ultrasound

Tingkatyodium Anak – anak


50 s/d 99% 20 s / d 49 > 20
rata–rata dalam
urine (g / I )

Hormon Bayi
3.0s/d 19.0 % 20.0 s/d 39.9 % 40.0 % ke atas
perangsang thyroid
> 5 U / I darah

Thyroglobuli rata – Anak – anak dan


10.0 s/d 19.9 20.0 s/d 39.9 40.0 ke atas
rata ( mg / ml orang dewasa
serum
E . Kebutuhan – kebutuhan gizi
Kadar gizi yang bisa dipakai untuk tujuan – tujuan perencanaan dalam proses
penilaian situasi awal dilapangan pada keadaan darurat atau bencana.
Zat Gizi Kebutuhan Masyarakat rata - rata

Eenergi 2.100 K Cal

Protein 10 – 12 % Eergi total( 52 – 63 gram ) tetapi


kurang dar 15 %

Limak 17 % dari energi total 9 40 gram )

Vitamin A 1.666 LU ( atau 0,5 mg RE )

Thiamine ( BI ) 0,9 mg ( atau 0,4 mg / masukan 1.000 K cal )

Riboflvin ( Vitamin B2 ) 1,4 mg ( atau 0,4 mg / masukan 1.000 K cal )

Niasin ( Vitamin B3 ) 12 mg ( atau 6,6 mg / masukan 1.000 K cal )

Vitamin C 28 mg

Vitamin D 3,2 – 3,8 g Calsiferol

Zat Besi 22 mg ( ketersediaan sumber alami rendah, yakni


5–9%

Yodium 150 g

F. Kualitas dan keamanan pangan


Pangan yang dibagikan kepada masyarakat korban bencana bermutu baik dan di
tangani secara aman sehingga layak dikonsumsi manusia
Tolok ukur Kunci :
1. Tidak dijumpai persebaran penyakit akibat pangan yang dibagikan.
2. Tidak ada keluhan mengenai mutu bahan pangan yang dibagikan, baik dari penerima
bantuan maupun dari petugas.
3. Para pemasok bahan pangan melaksanakan pengendalian mutu secara teratur, dan
memasok koditas yang memenuhi standar–standar resmi pemerintah (sehubungan
dengan masalah pengemasan, pelabelan, tanggal kadaluarsa, dan sebagainya).
4. Seluruh bahan pangan yang dipasok ke lokasi secara sistimatis di cek lebih dulu oleh
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) setempat.
5. Seluruh bahan–bahan pangan yang diterima dari dalam negeri memiliki batas
kadaluarsa minimum hingga 6 bulan sudah diterima (Kecuali bahan–bahan seperti
sayur–sayur dan buah–buahan segar, dan jagung pipilan).
Semua bahan makanan ini harus sudah dibagikan sebelum lewat tanggal kadaluarsa.
6. Terdapat prasarana–prasarana penyimpanan pangan yang memadai )sejalan dengan
rekomendasi–rekomendasi terkini) dan pengelolahannya dilaksanakan dengan baik.
7. Staf memperlihatkan pengetahuan yang cukup mengenai ancaman–ancaman potensial
bagi kesehatan dari pembagian makanan, yakni risiko–risiko dari pengelolahan yang
kurang baik, penyimpanan yang tidak memenuhi syarat dan pembagian yang
terlambat

G. Penerimaan terhadap bahan pangan


Bahan – bahan pangan yang dibagikan bersifat layak dan bisa diterima oleh mereka
yang menjadi sasaran bantuan.
Tolok ukur kunci :
Sebelum menentukan bahan–bahan pangan yang dibagikan, konsultasi dengan
masyarakat penerima bantuan harus dilaksanakan agar bantuan benar-benar mereka
terima (memenuhi standar kelayakan dan kepantasan mereka). Ini harus dimasukkan
kedalam proses pengambilan program

1. Bahan–bahan pangan yang dibagikan tidak bertentangan dengan tradisi– tradisi


keagamaan atau adat istriadat setempat, termasuk bila ada pemali/ tantangan tertentu
berkaitan dengan konsumsi ibu hamil dan/menyusui.
2. Bahan pangan pokok yang dibagikan harus sesuai dengan yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat penerimanya.
3. Makanan tambahan bagi anak–anak balita memenuhi syarat dalam hal rasa dan sesuai
dengan kemampuan pencernaan mereka.
4. Masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan bahan–bahan pangan tertentu yang
dianggap termasuk bahan pokok merurut kebudayaan mereka (umpamanya cabe
dan/gula pasir)

H. Penanganan dan keamanan Bahan Pangan


Bahan pangan disimpan,diolah dan dikonsumsi dengan aman
dan benar, baik ditingkat rumah tangga maupun dalam konteks masyarakat secara umum.
Tolok ukur kunci :
1. Tidak didapati persebaran penyakit yang bekaitan dengan lokasi pembagian makanan
(misalnya dapur umum) yang diakibatkan oleh proses pengolahan makanan yang
salah.
2. Laporan dari masyarakat yang dibantu berkenaan dengan kesulitan–kesulitan
menyimpan, memasak dan mengonsumsi makanan yang dibagikan

disampaikan ketua kelompok/regu ke Satuan Pelaksana (SATLAK Kabupaten).


3. Setiap rumah tangga memiliki paling sedikit satu panci untuk memasak, bahan bakar
yang cukup untuk memasak, wadah menyimpan air yang mampu memuat 40 liter, dan
sabun seukuran 250 gram per orang per bulan.
4. Per orangan yang tidak bisa memasak makanan sendiri atau tidak dapat mengonsumsi
makanan tanpa bantuan memiliki akses untuk didampingi seseorang yang
menyediakan makanan yang layak baginya secara teratur, dan bila perlu menyuapinya
5. Bila makanan dibagikan dari dapur umum (sudah dalam keadaan matang), staf
pelaksana memahami risiko–risiko yang mengancam kesehatan akibat proses
penyimpanan, pengolahan dan penyajian makanan yang tidak memenuhi syarat.

6. Bila diperlukan, tersedia prasarana penggilingan atau pengolah bahan pangan atau
pengolahan bahan pangan lainnya dalam jarak sedekat mungkin dengan lokasi atu
barak, umpamanya bila yang dibagikan adalah jagung pipilan

I. Persediaan Pangan
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana
merupakan factor penting. Penafsiran terhadap problema–problema dan
kebutuhan–kebutuhan borban bencana menjadi landasan bagi perencanaan dan penerapan
semua program. Upaya khusus harus dilakukan sehubungan dengan peranserta kaum
perempuan. Masyarakat korban atau pengungsi harus memiliki akses untuk mengambil
peran dalam pembuatan keputusan, khususnya bila masalah menyangkut tingkat–tingkat
jatah pangan dan kriteria pemilihan calon penerimanya.
Ketertiban semacam itu akan menjamin kelangsungan dan keefektifan program.
Peranserta masyarakat korban bencana atau pengungsi dalam program bantuan pangan
juga dapat membantu menegakkan kembali rasa percaya diri, rasa bermartabat, dan
swadaya masyarakat yang bersangkutan sehabis dilanda bencana yang
memporakporandakan sendi–sendi kehidupan normal mereka. Keikut sertaan itu juga
dapa memicu timbulnya rasa memiliki, sehingga, seandainyapun tidak semua anggota
masyarakat memperoeh jatah bantuan atau porsinya tidak sama, tetap membantu
memastikan keamanan bagi para penerima jatah bantuan pangan serta mereka yang
bertanggung jawab dalam pembagiannya.
Para penerima bantuan memiliki kesempatan untuk berperanserta dalam proses
perancangan, pengelolaan, dan pemantauan program bila mungkin. Sedangkan peran
yang diberikan antara lain :
1) Para wakil dari seluruh masyarakat korban bencana diikut sertakan dalam
proses konsultasi, dan dilibatkan dalam penentuan keputusan yang berkaitan dengan
penilaian tentang kebutuhan–kebutuhan nyata mereka sendiri dan perencanaan
program
2) Laki–laki maupun perempuan mengambil bagian dalam pengelolaan dan penerapan
program bantuan pangan.

J. Koordinasi

Seluruh kegiatan yang berkenaan dengan bantuan yang diberikan kepada para korban
bencana dan pengungsi dikoordinasikan dengan Bakornas PBP di Pusat, Satkorlak PBP
di Provinsi dan Satlak PBP di Kabupaten. Sedangkan yang perlu mendapat perhatian
antara lain :
1. Adanya kesepakatan di antara semua organisasi yang terlibat dalam program bantuan
pangan dibawah koordinasi Bakornas PBP, Satlak PBP mengenai hal–hal dibawah ini
:
a). Prakiraan jumlah penduduk yang membutuhkan bantuan jatah pangan. b).
Kriteria pemilihan calon penerima bantuan.
c). Strategi pengadaan bahan pangan.
d). Peran–peran dan tanggung jawab organisasi–organisasi serta kelompok–
kelompok yang terlibat.
e). Saluran–saluran pelaporan dan informasi. f).
Sistim–sistim pemantauan dan pengamatan.
2. Wilayah kerja masing–masing badan kemanusian yang terlihat ditentukan dengan
tegas , tidak ada bantuan tumpang tindih.
3. Terdapat pemahaman nyata terhadap peran–peran dan kegiatan–kegiatan
organisasi–organisasi lain yang ambil bagian dalam batuan pangan
4. Adanya kesadaran nyata mengenai kemungkinan timbulnya dampak–dampak negatif
akibat bantuan pangan itu sendiri, dan mengambil pendekatan lintas sektoral
terkeoordinsi guna meredam dampak–dampak ini.
K. Pertanggung jawaban
Bahan–bahan pangan yang akan diperbantukan serta dana–dana program dikelola dan
dipertanggungjawabkan dengan menggunakan system yang transparan dan dapat diaudit.
Berkaitan dengan hal tersebut yang perlu diperhatikan antara lain :
1) Praktik–praktik pengelolaan yang aman dipertahankan untuk menjamin bahwa semua
bahan terjaga hingga dibagikan kepada yang berhak :

a. Gudang penyimpan bersih dan aman, melindungi bahan – bahan pangan dari
kerusakan dan penyusutan.
b. Pihak ketiga yakni para penyedia jasa mengemban tanggung jawab penuh atas
bahan-bahan yang dipercayakan kepada mereka, dan setuju untuk mengganti
kerugian karena kehilangan atau penyusutan.
c. Bahan – bahan pangan diperiksa dengan cermat, dan bahan–bahan yang tidak
layak pun dicacat untuk kemudian dibuang menurut tatacara– tatacara standar.
d. Bahan–bahan yang rusak diperiksa, dan sejauh mungkin diselamatkan
e. Penghitungan fisik terhadap inventaris dilaksanakan secara teratur seiring
dengan pembukuan persediaan di gudang.
2) Kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa dilakukan secara transparan dan adil.
3 ) Ditetapkan system–system pembukuan inventaris dan pelaporannya :
a. Dokumen berupa faktur/nota pembelian barang atau jasa
b. Buku Besar (Leger) yang memuat rangkuman penerimaan, dan penye-imbangan
bahan–bahan ke dan dari gudang.
c. Seluruh kehilangan atau penyusutan diidentifikasi dan diperhitungkan dalam Leger.

d. Laporan–laporan ringkasan diatas dikumpulkan dan selalu siap ditinjau

K. Pembagian Bantuan
Dalam program bantuan pangan, ntinya adalah metode pembagian yang baik,
Inilah kunci keberhasilan (atau bila metodanya tidak layak, kegagalan) pelaksaan program
bantuan pangan sejak terjadinya bencana petugas telah melaksanakan penilaian situasi
awal, masalah pembagian atau distribusi harus sudah dipikirkan dan diperhitungkan.
Bantuan pangan bisa dibagi–bagikan secara bebas kepada masyarakat luas, atau hanya
diberikan kepada cabang– cabang atau kelompok–kelompok tertentu saja dalam
masyarakat itu. Bantuan pangan pun dapat diberikan sebagai pengganti upah kerja, atau
bisa pula dijual ke pasar komersial guna mengatasi problema pasokan.
Metoda pembagian bantuan pangan bersifat adil, berkesinambungan dan layak
mengingat kondisi–kondisi setempat para penerima bantuan pangan memperoleh
informasi mengenai jatah yang menjadi hak mereka, dan alasan logis bagi perbedaan
tingkat–tingkat jatah itu. Untuk itu dibutuhkan persiapan sebagai berikut :
1) Masyarakat memahami volume dan corak jatah yang akan dibagikan bagi setiap siklus
pembagian, serta alasan–alasan yang jelas mengapa ada peredaan–perbedaan dengan
norma – norma yang sudah mapan disana
2) Volume dan corak bahan pangan yang direncanakan untuk dibagikan sama dengan
yang benar–benar sampai ke tangan masyarakat.
3) Metoda pembagian bahan pangan bersifat adil, mudah diakses (dekat dengan
kediaman penduduk yang bersangkutan, tanpa tatacara bertele–tele ), dan
meminimalkan gangguang terhadap kegiatan–kegiatan masyarakat sehari– hari ( tidak
menyita banyak waktu dan tenaga)
4) Manakala mengambil keputusan menyangkut kekerapan pembagian bahan pangan
(apakah akan dilaksanakan setiap bulan sekali ataukah lebih sering dari itu), ada
pertimbangan matang seputar kepentingan para penerima bantuan mengenai hal–hal
sebagai berikut :
a. Biaya pengangkutan bahan–bahan pangan dari pusat pembagian.
b. Waktu yang dihabiskan untuk dating dan pulang dari pusat pembagian.
c. Keamanan penerimaan bantuan dan bahan pangan yang diperbantukan bila sudah
sampai ke tangan si penerima.

4. LINGKUNGAN
A. Pengadaan Air.
Semua orang didunia memerlukan air untuk minum, memasak dan menjaga
kebersihan pribadi. Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun
tidak cukup, dan dalam hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling
mendesak. Namun biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan dengan air
muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar sampai
tingkat tertentu.
Tolok ukur kunci
1) Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per orang per hari
2) Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
3) Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
4) 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang

B. Kualitas air
Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk keperluan
keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa
menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan akibat
penyakit–penyakit maupun pencemaran kimiawi atu radiologis dari penggunaan jangka
pendek.
Tolok ukur kunci ;
1) Disumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman), kandungan bakteri dari
pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100 mili liter
2) Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahawa resiko pencemaran semacam itu
sangat rendah.
3) Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang jumlahnya lebih
dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada waktu ada resiko atau sudah ada
kejadian perjangkitan penyakit diare, air harus didisinfektan lebih dahulu sebelum
digunakan sehingga mencapai standar yang bias diterima (yakni residu klorin pada
kran air 0,2–0,5 miligram perliter dan kejenuhan dibawah 5 NTU)
4) Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum
5) Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan pengguna air,
akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari pemakaian jangka pendek, atau dari
pemakain air dari sumbernya dalam jangka waktu yang telah direncanakan, menurut
penelitian yang juga meliputi penelitian tentang kadar endapan bahan–bahan kimiawi
yang digunakan untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut penilaian situasi
nampak tidak ada peluang yang cukup besar untuk terjadinya masalah kesehatan
akibat konsumsi air itu.

C. Prasarana dan Perlengkapan


Tolok ukur kunci :

1) Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20 liter, dan
tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk wadah
yang berleher sempit dan/bertutup
2) Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
3) Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup banyak
untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam– jam tertentu.
Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang untuk laki– laki.
Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk umum,
satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.

D. Pembuangan Kotoran Manusia


Jumlah Jamban dan Akses
Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang cukup dan jaraknya
tidak jauh dari pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah dan cepat kapan
saja diperlukan, siang ataupun malam
Tolok ukur kunci :
1) Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang
2) Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan jenis kelamin
(misalnya jamban persekian KK atau jamban laki–laki dan jamban permpuan)
3) Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau barak di kamp
pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan ke jamban hanya memakan
waktu tidak lebih dari 1 menit saja dengan berjalan kaki.
4) Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–titik pembagian
sembako, pusat – pusat layanan kesehatan dsb.
5) Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang–kurangnya berjarak 30 meter
dari sumber air bawah tanah.
Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah. Pembuangan limbah
cair dari jamban tidak merembes ke sumber air mana pun, baik sumur maupun mata
air, suangai, dan sebagainya
6) 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang

E. Pengelolaan Limbah Padat


Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Padat
Masyarakat harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah
padat, termasuk limbah medis.
1) Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana sebelum sempat
menimbulkan ancaman bagi kesehatan.
2) Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum suntik bekas pakai,
perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman atau
tempat–tempat umum.
3) Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat tempat
pembakaran limbah padat yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan secara benar
dan aman, dengan lubang abu yang dalam.
4) Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat– tempat khusus
untukmembuang sampah di pasar–pasar dan pejagalan, dengan system pengumpulan
sampah secara harian.
5) Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu sedemikian
rupa sehingga problema–problema kesehatan dan lingkungan hidup dapat
terhindarkan.
6) 2 ( dua ) drum sampah untu 80 – 100 orang

Masyarakat memiliki cara – cara untuk membuang limbah rumah tangga sehari–
hari secara nyaman dan efektif.
Tolok ukur kunci :
1) Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak
sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dar lubang
sampah umum.
2) Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila limbah rumah
tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

F. Pengelolaan Limbah Cair (pengeringan)


Sistem pengeringan
Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari–hari yang cukup bebas dari risiko
pengikisan tanah dan genangan air, termasuk air hujan, air luapan dari sumber– sumber,
limbah cair rumah tangga, dan limbah cair dari prasarana–prasarana
medis. Hal–hal berikut dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat keberhasilan
pengelolaan limbah cair :
1) Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik pengambilan/sumber air
untuk keperluan sehari–hari, didalam maupun di sekitar tempat pemukiman
2) Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran pembuangan air.
3) Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan air dan
sanitasi tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh air.

G. Promosi Kesehatan
Banyak masalah kesehatan atau kejadian penyakit sebenarnya dapat ditanggulangi
atau dicegah bila kita memperhatikan aspek perilaku, baik menyangkut perilaku
sehubungan dengan lingkungan maupun perilaku sehubungan dengan gaya hidup (sosial
budaya).
Di daerah yang mengalami bencana atau konflik atau pengungsi memungkinkan
terjadinya pergeseran bahkan perubahan perilaku dari yang tadinya berperilaku positif
terhadap kesehatan berubah menjadi negatif terhadap kesehatan sehingga muncullah
beberapa masalah atau penyakit berkaitan dengan kesehatan sebagai akibat kondisi
lingkungan dan gaya hidup (sosial budaya) yang tidak kondusif. Agar perilaku
masyarakat di daerah gempa atau konflik atau pengungsi tetap kondusif terhadap
kesehatan, maka dibutuhkan standar minimal promosi kesehatan dalam rangka
penanggulangan bencana atau konflik atau pengungsi khususnya berkaitan dengan
perilaku positif yang mendukung kesehatan sehingga kejadian penyakit di daerah
bersangkutan dapat ditanggulangi atau dicegah.

Materi promisi Kesehatan


Materi promosi kesehatan disesuaikan dengan permasalah atau kejadian penyakit
yang biasa ada di daerah gempa atau konflik atau pengungsi. Kejadian penyakit yang
biasanya ada didaerah tersebut adalah penyakit diare, gizi buruk, ISPA dan penyakit kulit.
Kemungkinan lainnya adalah penyakit campak, malaria, demam berdarah.
Aspek perilaku yang kerkaitan dengan penyakit tersebut antara lain : membuang
sampah dan kotoran tidak pada tempatnya, meminum air yang tidak di masak, tidak
pernah mandi, pertukaran pakaian yang sembarangan, pakaian tidak pernah ganti, anak
tidak terpenuhi gizinya, anak tidak sempat diimunisasi, dll.
Promosi kesehatan ada 3 yaitu :
1) Pemberdayaan adalah promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran primer
sehingga sasaran primer berdaya di bidang kesehatan minimal 1 minggu sekali .
2) Dukungan suasana adalalh promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran
sekunder sehingga sasaran tersebut kondusif atau mau mendukung dan
menyebarluaskan informasi kesehatan kepada sasaran
primer minimal 1 angkatan (20 orang)
3) Dukungan kebijakan adalah promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran tertier
(pengambil keputusan) sehingga memperoleh dukungan kebijakan atau sumber daya
dalam rangka mengatasi permasalahan yang ada setiap bulan sekali.
Sasaran dalam promosi kesehatan di bagi tiga yaitu :
1) Sasaran primer adalah sasaran yang akan kita ubah perilakunya.
2) Sasaran sekunder adalah sasaran yang mendukung sasaran primer dalam merubah
perilaku.
3) Sasaran tertier adalah sasaran yang menunjang sasaran primer dan sekunder dalam
rangka meminta dukungan kebijakan dan sember daya.

5. HAL–HAL YANG BERKAITAN DENGAN KEBUTUHAN DASAR KESEHATAN


Yaitu :

A. Penampungan Keluarga
Pada saat keadaan darurat berawal, warga memperoleh ruang tertutup yang
cukup untuk melindungi mereka dari dampak–dampak iklim yang dapat membahayakan
mereka. Mereka memperoleh papan yang cukup memenuhi syarat kesehatan (hangat,
berudara segar, aman dan memberi keleluasaan pribadi) demi menjamin martabat dan
kesejahteraan mereka.
Tolok ukur kunci :
1) Ruang tertutup yang tersedia per orang rata–rata berukuran 3,5 hingga 4,5 meter
persegi
2) Dalam iklim yang hangat dan lembap, ruang–ruang itu memungkinkan aliran udara
optimal dan melindungi penghuninya dari terik matahari secara langsung.
3) Bila iklim panas dan kering, bahan–bahan bangunannya cukup berat untuk
memastikan kapasitas pelepasan panas yang maksimal. Kalau yang tersedia hanya
tenda–tenda atau lembaran–lembaran plastik saja, pertimbangkan penyediaan atap
berganda atau lapisan pelepas panas.
4) Dalam udara dingin, bahan dan kontruksi ruang memastikan pengaturan udara yang
optimal. Suhu yang nyaman bagi para pengguni diperoleh dengan cara penyekatan
dipadukan dengan pakain hangat, selimut, tempat tidur, dan konsumsi kalori yang
cukup.

B. Sandang
Para pengungsi, termasuk masyarakat setempat, memiliki cukup selimut, pakaian, dan
alas kaki untuk melindungi mereka dari iklim dan menjamin martabat serta kesejahteraan
mereka.
Tolok ukur kunci :
1) Para pengungsi dan penduduk setempat memiliki akses guna memperoleh selimut
yang cukup.
2) Laki–laki dan anak–anak lelaki usia 14 tahun ke atas memiliki satu set sandang
lengkap, dengan ukuran yang cukup pas, cocok dengan budaya, cuaca, dan iklim
setempat.
3) Perempuan serta anak–anak perempuan usia 14 tahun ke atas memiliki 2 set pakaian
lengkap, termasuk pakaian dalam yang baru, dengan ukuran yang cukup pas, cocok
dengan budaya, iklim, dan cuaca setempat. Mereka memperoleh pembalut yang cukup
secara teratur setiap bulan.
4) Anak – anak usia 2 sampai 14 tahun memiliki satu set pakaian dengan ukuran yang
cukup pas, cocok dengan budaya, iklim, dan cuaca setempat, menurut jenis kelamin
masing–masing.
5) Anak –anak sampai usia 2 tahun memiliki 1 handuk badan, 1 handuk muka, 1 syal
bayi, 2 set pakaian lengkap, 6 popok dengan peniti, sabun bayi, minyak bayi, dan 3
celana plastik. Alternatifnya ini dipasok sebagi modul.
6) Perlengkapan yang sesuai dengan budaya setempat untuk memakamkan jenazah
disediakan.
7) Terdapat perencanaan untuk mengganti selimut dan pakaian dengan yang baru
sesudah masa pemakaian tiga tahun.
8) Semua orang memperoleh alas kaki bila perlu.

C. Kebutuhan rumah tangga


Tiap keluarga memiliki akses terhadap piranti rumah tangga, sabun untuk menjaga
kebersihan pribadi dan peralatan lain yang diperlukan.
Tolok ukur kunci :
1) Keluarga – keluarga pengungsi maupun tuan rumah memiliki piranti yang pokok: 1
panci tertutup, 1 baskom, 1 pisau dapur, 2 sendok kayu, 2 alat pengambil air yang
berkapasitas antara 1 sampai 20 liter, ditambah alat penyimpanan air tertutup ukuran
20 liter.
2) Tiap orang memiliki : 1 piring makan, 1 sendok logam, 1 cangkir.
3) Tiap orang mendapatkan sabun ukuran 250 gram per bulan.
4) Terdapat perencanaan untuk mengganti alat – alat yang tahan lama dengan yang baru
sesudah jangka waktu pemakaian 3 bulan.
5) Tiap keluarga memperoleh akses terhadap alat–alat dan bahan–bahan yang sesuai
untuk kegiatan mencari nafkah, sesegera mungkin.
6) Alat–alat dan bahan–bahan yang dipasok dianggap pantas oleh penerimanya dan
mereka sudah terbiasa menggunakannya, dengan tingkat teknologis yang setara
dengan piranti mereka sebelum terlanda musibah. Barang– barang itu juga sesuai
dengan kondisi–kondisi pemanfaatannya.
BAB V
PEMANTAUAN DAN EVALUASI

1. Pemantauan
Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan penanggulangan
masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi yang merupakan
penjabaran dari kebijakan dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat
sebelumnya.
Pemantauan di dasarkan pada :
a. Standar minimal dengan indikator yang ada
b. Dilakukan oleh semua tingkatan yakni petugas Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan
petugas dilokasi pengungsian (para penyelenggara program di masing–masing
departemen atau lembaga yang menyeleng-garakannya).
c. Waktu pemantauan (setiap hari untuk dilokasi pengungsian, sedangkan tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat melakukannya secara berkala).
d. Kesiapan dan pelaksanaan serta hal–hal yang merupakan ancaman bagi derajat
kesehatan masyarakat
e. Cara (dilakukan dengan kunjungan lapangan, studi dokumentasi, dan
pertemuan–pertemuan dengan pelaksana dan penerima pelayanan).
f. Hasil–hasil pemantauan disebarluaskan sehingga masyarakat mengetahui
perkembangan kemajuan yang dicapai.

2. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk :
a. Mengetahui keberhasilan pencapaian dan dampak program yang diselenggarakan
berdasarkan kebijakan dasar.
b. Memperbaiki kebijakan agar lebih dapat mendukung dan mempercepat penyelesaian
masalah kesehatan akibat becana dan penanganan pengungsi.
Pelaksana evaluasi :
a. Petugas yang ditunjuk oleh lembaga penyelenggara program di pusat, sebanyak dua
kali dalam satu tahun (evaluasi pertama bersifat formative untuk mengetahui format
pelaksanaan program, sedangkan evaluasi kedua bersifat summative untuk
mengetahui hasil–hasil program).

b. Petugas Provinsi sebanyak empat kali dalam setahun.


c. Petugas Kabupaten setiap bulan.
a. Kunjungan lapangan
b. Wawancara
c. Pengamatan
d. Studi dokumentasi
Hasil evaluasi disebarluaskan untuk diketahui masyarakat dan diperoleh masukan
dalam revisi kebijakan
BAB VI
PENUTUP

Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi yang


dilakukan oleh semua sektor terkait. Tiga aspek dasar yang harus diakomodasikan dan
merupakan landasan dalam penanggulangan masalah kesehatan dan penanganan pengungsi
meliputi kemanusiaan, harga diri dan keadilan. Mempertimbangkan keberadaan masyarakat
setempat adalah penting sekali dalam penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi.
Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat keragaman penanggulangan baik secara
kualitas maupun kuantitasnya.
Standar minimal dalam penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi ini
merupakan standar yang dipakai Dunia Internasinal. Dalam penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi di Indonesia diharapkan juga memakai standar ini dengan
memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak hidup, hak mendapatkan
pertolongan/bantuan dan hak asasi lainnya. Dalam penerapan pemakaiannya, daerah yang
menggunakan standar minimal ini diberi keleluasaan untuk melakukan penyesuaian yang
diperlukan sesuai kondisi keadaan di lapangan.
Berkaitan dengan hal tersebut dan telah tersusunnya standar minimal ini, diharapkan
menjadi akan menjadi acuan semua pihak yang terkait dengan penanggulangan masalah
kesehatan dan penanganan pengungsi.

Anda mungkin juga menyukai