Anda di halaman 1dari 20

TUGAS TERSTRUKTUR

PERTEMUAN 5-6
KOMUNIKASI DAN PEMBUATAN KEPUTUSAN PADA PASIEN
DEWASA DALAM PERAWATAN PALIATIF

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
1. Alfikri Ritonga (1914201038)
2. Aprillia S Ndruru (1914201039)
3. Asry Yosepha Sihotang (1914201040)
4. Cahyan Tesalonika Gulo (1914201041)
5. Citra Kartika Ndruru (1914201043)
6. Elfin Lina Daeli (1914201044)
7. Elisdawati Padang (1914201045)
8. Fitri Sinaga (1914201048)
9. Reza Andesta (1914201061)
10. Sabrina Iwanda Anita (1914201064)
11. Sehardi Natal Harefa (1914201066)
12. Serius Halawa (1914201047)
13. Shella Lestari (1914201067)
14. Marsinta D.F. Manurung (1914201056)
15. Syarifah Azlina (1914201049)

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS IMELDA MEDAN
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dan juga penulis berterima kasih pada Dosen mata kuliah keperawatan menjelang
ajal dan paliatif yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
penulis harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Terimakasih

Medan, 27 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................. 1
1.2  Rumusan masalah............................................................................. 2
1.3  Tujuan............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Terapi Paliatif...................................................................... 3
2.2 Indikasi Pelayanan Paliatif............................................................... 5
2.3 Langkah-langkah Pelayanan Paliatif................................................. 6
2.4 Medikolegal Support System Pelayanan Paliatif............................... 7
2.5 Tim Pelayanan Paliatif...................................................................... 9
2.6 Tempat Dan Organisasi Pelayanan Paliatif....................................... 12
2.7 Pembinaan dan Pengawasan.............................................................. 13
2.8 Pelayanan Psikiatri Paliatif................................................................ 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 16
3.2 Saran.................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita masih ingat nama Hippocrates, seorang Yunani yang hidup pada abad
ke lima sebelum Masehi (460-360BC). Beliau dikenal sebagai penyembuh yang
pandai pada zamannya. Beliau pula yang menganjurkan pengobatan empiema
dengan menusukkan sebilah pisau diantara dua tulang rusuk. Beliau telah diakui
sebagai model dokter yang ideal dan sebagai “Father of Medicine”. Sumpah
Hipocrates masih menjadi dasar dari lafal sumpah/janji jabatan dokter di
Indonesia (AAFP, 2011).
Upaya manusia untuk mencari cara pengobatan penyakit ini terus menerus
dilanjutkan, bahkan makin hari makin dipergunakan metode-metode penelitian
yang lebih sahih dengan mempergunakan teknologi yang makin maju. Banyak
sekali penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan tidak sedikit penemuan-
penemuan yang diperoleh, sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan di bidang
diagnostik maupun terapi. Akhirnya terjadilah perkembangan ilmu kedokteran
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dapat dikuasai oleh seseorang.
Maka lahirlah spesialisasi-spesialisasi bahkan subspesialisasi yang mendalami
ilmu kedokteran dalam bidang yang lebih sempit tetapi lebih mendalam (Nur,
2010)
Namun demikian sampai sekarang kita masih dihadapkan kepada suatu
kenyataan bahwa masih belum semua penyakit dapat disembuhkan. Karena itu
benarlah kiranya dalam penanganan suatu penyakit dikatakan “To cure
sometimes, to relief often, to comfort always”. Sebagai dokter psikiater,
berkewajiban menjaga quality of care selama akhir hidup pasien dengan harapan
pasien bisa mendapatkan quality of dead (Kematian yang indah). Dimana harapan
pasien setelah kematian dia bisa tenang dan tidak meninggalkan masalah-masalah
baru. Dalam sebuah peneliatian di US disebutkan bahwa berdiskusi dengan pasien
tentang end of live care merupakan tanggung jawab profesional dokter. Dengan
diskusi ini mereka menganggap mereka bisa mengambil keputusan yang terbaik
untuk pasien (Booth, 2010).

1
Di Indonesia, sebagian besar penyakit kanker ditemukan pada stadium
lanjut, ditambah dengan ditemukannya kasus-kasus yang tidak mendapatkan
pengobatan kanker menyebabkan angka harapan hidup yang lebih pendek. Pasien-
pasien dengan kondisi tersebut mengalami penderitaan yang memerlukan
pendekatan terintegrasi berbagai disiplin agar pasien memiliki kualitas hidup yang
baik dan pada akhirnya meninggal secara bermartabat. Integrasi psikiatri paliatif
ke dalam tata laksana kanker terpadu telah lama dianjurkan oleh Badan Kesehatan
Dunia, WHO, seiring dengan terus meningkatnya jumlah pasien kanker dan angka
kematian akibat kanker. Penatalaksanaan kanker telah berkembang dengan pesat.
Walaupun demikian, angka kesembuhan dan angka harapan hidup pasien kanker
belum seperti yang diharapkan. Sebagian besar pasien kanker akhirnya akan
meninggal karena penyakitnya. Pada saat pengobatan kuratif belum mampu
memberikan kesembuhan yang diharapakan dan usaha preventif baik primer
maupun sekunder belum terlaksana dengan baik sehingga sebagian besar pasien
ditemukan dalam stadium lanjut, pelayanan paliatif sudah semestinya menjadi
satu satunya layanan fragmatis dan jawaban yang manusiawi bagi mereka yang
menderita akibat penyakit- penyakit tersebut di atas (Kemenkes RI, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi terapi paliatif ?
2. Apa indikasi pelayanan paliatif?
3. Bagaimana langkah-langkah pelayanan paliatif?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi terapi paliatif?
2. Untuk mengetahui indikasi pelayanan paliatif?
3. Untuk mengetahui langkah-langkah pelayanan paliatif?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Terapi Paliatif


Definisi terapi paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan
meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan
lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa
ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang
kehilangan/berduka (Abraham, 2008)
Fase paliatif terminal biasanya dimulai dengan berita buruk, jika tidak ada
lagi kemungkinan untuk pemberian terapi lain. Seringkali berita buruk ini sulit
untuk diterima oleh keluarga dibandingkan pemberitahuan sebelumnya tentang
penyakit kanker yag diderita pasien. Saat itu masih ada gambaran untuk menjalani
berbagai terapi tetapi saat ini sudah tidak ada lagi dan yang dihadapi adalah
kematian (AAFP,2011)
Tujuan terapi paliatif (AAHPM,2010) adalah :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian adalah proses yang
normal
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian
3. Menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain yang mengganggu
4. Menjaga keseimbangan dalam aspek psikologis dan aspek spiritual
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya
6. Berusaha memberikan dukungan kepada keluarga yang berduka
Bantuan rohani (dukungan moril) dapat memberikan arti kepada
kehidupan sehari-hari. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu, rasa
keterasingan dari lingkungannya, kecemasan, rasa berdosa atau kehilangan
harapan (Doyle, 2003).
Inti dari perawatan paliatif difokuskan pada perawatan dan rasa solidaritas.
Ada beberapa titik perhatian dalam melaksanakan terapi. Dalam hal ini harus
dinilai seberapa penting dialog memenuhi kebutuhan hidup penderita dan
dilaksanakan secara dua arah. Perawatan paliatif dapat dilangsungkan di rumah
penderita sendiri, di rumah penampungan atau di rumah sakit tergantung pada
kemauan penderita dan keluarganya. Biasanya yang terbaik adalah perawatan

3
dirumah karena pada umumnya penderita merasa tenang di dekat keluarganya.
Dalam fase akhir kehidupan ini harus diberikan kesempatan kepada penderita
untuk bersama dengan keluarga sampai akhir hayatnya (Foley, 2008).
Secara garis besar perawatan paliatif dibagi menjadi beberapa komponen
(Lynn J, 2008) yaitu:
1. Perawatan Paliatif : pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan
melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib terkait penyakit fisik,
psikososial dan spiritual
2. Kualitas Hidup Pasien : keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan
hidup, harapan dan niatnya. Adapun dimensi dari kualitas hidup dijabarkan
oleh J. Clinch, Deborah dan Harvey tahun 1999 adalah gejala fisik,
kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi
sosial, kepuasan terhadap pengobatan (termasuk keuangan), orientasi masa
depan, kehidupan seksual, dan fungsi kerja
3. Paliatif Home Care : pelayanan paliatif yang dilakuakn di rumah pasien oleh
tenaga paliatif dan atau keluarga atas bimbingan tenaga paliatif
4. Hospis : tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak
dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan
di Rumah Sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di Rumah Sakit tetapi
dapat memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada,
dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri
5. Sarana (fasilitas) kesehatan : tempat yang menyediakan layanan kesehatan
secara medis bagi masyarakat atau pasien paliatif
6. Kompeten : keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga
mampu menerima dan memahami informasi yang diperlukan dan mampu
membuat keputusan secara rasional berdasarkan informasi tersebut.
Rumah Sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di
Indonesia masih terbatas di 5 (lima) ibu kota propinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, Denpasar dan Makassar. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien,

4
jumlah dokter yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih
terbatas. Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum
merata sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang
bermutu, komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif
di Indonesia yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk
menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif (Witjaksono, 2013).

2.2 Indikasi Pelayanan Paliatif


Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya
mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukandengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Masyarakat menganggap
perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera
meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya
integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual
dapat diatasi dengan baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang
bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan
dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik
sampai akhir hayatnya (Meier, 2010).
Pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan bila
didapatkan satu atau lebih kondisi di bawah ini :
1. Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang tidak dapat diatasi
2. Stres berat sehubungan dengan diagnosis atau terapi kanker
3. Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya
4. Permasalahan dalam pengambilan keputusann tentang terapi yang akan atau
sedang dilakukan
5. Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif
6. Angka harapan hidup < 12 bulan (ECOG > 3 atau kanofsky < 50%, metastasis

5
otak, dan leptomeningeal, metastasis di cairan interstisial, vena cava superior
sindrom, kaheksia, serta kondisi berikut bila tidak dilakukan tindakan atau
tidak respon terhadap tindakan yaitu: kompresi tulang belakang, bilirubin ≥2,5
mg/dl, kreatinin ≥3 mg/dl ). *tidak berlaku pada pasien kanker anak
7. Pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon dengan terapi yang
diberikan (Kepmenkes, 2007).

2.3 Langkah-langkah Pelayanan Paliatif


Perawatan paliatif mengutamakan pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan
dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan
nyeri dan masalah- masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Danasari, 2008).
Tujuan umum kebijakan paliatif sebagai payung hukum dan arahan bagi
perawatan paliatif di Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah terlaksananya
perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku di seluruh Indonesia,
tersusunnya pedoman - pedoman pelaksanaan/ juklak perawatan paliatif,
tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih, tersedianya sarana dan
prasarana yang diperlukan. Sasaran kebijakan pelayanan paliatif adalah seluruh
pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan
perawatan paliatif di mana pun pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk
pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya dan
tenaga terkait lainnya. Sedangkan Institusi- institusi terkait, misalnya: Dinas
kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, Rumah Sakit pemerintah
dan swasta, Puskesmas, Rumah perawatan/hospis, Fasilitas kesehatan pemerintah
dan swasta lain (Kemenkes, 2013).
Pelayanan paliatif yang dilaksanakan memiliki langkah-langkah umum
yang menjadi dasar dalam melakukan pelayanan. Adapun langkah-langkah dari
pelayanan paliatif adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Membantu pasien dalam membuat Advanced Care Planning (wasiat atau
keingingan terakhir)

6
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial yang muncul
4. Tata laksana gejala ( sesuai panduan dibawah )
5. Informasi dan edukasi perawatan pasien
6. Dukungan psikologis, kultural dan social
7. Respon pada fase terminal: memberikan tindakan sesuai wasiat atau keputusan
keluarga bila wasiat belum dibuat, misalnya: penghentian atau tidak
memberikan pengobatan yang memperpanjang proses menuju kematian
(resusitasi, ventilator, cairan, dll)
8. Pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal Evaluasi apakah :
a. Nyeri dan gejala lain teratasi dengan baik
b. Stress pasien dan keluarga berkurang
c. Merasa memiliki kemampuan untuk mengontrol kondisi yang ada
d. Beban keluarga berkurang
e. Hubungan dengan orang lain lebih baik
f. Kualitas hidup meningkat
g. Pasien merasakan arti hidup dan bertumbuh secara spiritual
h. Jika Pasien MENINGGAL dilakukan Perawatan jenazah, kelengkapan surat
dan keperluan pemakaman, dukungan masa duka cita (berkabung)
(Kemenkes,2013).

2.4 Medikolegal Support System Pelayanan Paliatif


Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif
merupakan hal penting sebelum merencanakan pembuatan support system paliatif.
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif
melalui, komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan
paliatif dengan pasien dan keluarganya. Pelaksanaan informed consent atau
persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya
tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada
perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed
consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan
pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga

7
terdekatnya (Ferrell, 2007).
Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi
dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka
keluarga terdekatnya melakukannya atas nama pasien. Tim perawatan paliatif
sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada
saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau tidak boleh
dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced
directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan
mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan
tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi tim perawatan
paliatif (Doyle, 2003).
Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan
paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi
dapat diberikan pada kesempatan pertama. Resusitasi/ Tidak resusitasi pada
pasien paliatif. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi
dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif (Kemenkes, 2013).
Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah
dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced
directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak
resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun
demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan
patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan
penetapan pengadilan untuk pengesahannya (Kepmenkes, 2007).
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada
dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan
atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut

8
(Ferrell, 2007).

2.5 Tim Pelayanan Paliatif


Dalam mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien, yaitu mengurangi
penderitaan pasien, beban keluarga, serta mencapai kualitas hidup yang lebih baik,
diperlukan sebuah tim yang bekerja secara terpadu. Pelayanan paliatif pasien juga
membutuhkan keterlibatan keluarga dan tenaga relawan (Foley, 2008).
Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar bidang ilmu dalam
menentukan tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan guna
mencapai tujuan ), tim paliatif secara berkala melakukan diskusi untuk melakukan
penilaian dan diagnosis, untuk bersama pasien dan keluarga membuat tujuan dan
rencana pelayanan paliatif pasien kanker, serta melakukan monitoring dan follow
up (Lubis, 2008).
Kepemimpinan yang kuat dan manajemen program secara keseluruhan
harus memastikan bahwa manajer lokal dan penyedia layanan kesehatan bekerja
sebagai tim multidisiplin dalam sistem kesehatan, dan mengkoordinasikan erat
dengan tokoh masyarakat dan organisasi yang terlibat dalam program ini, untuk
mencapai tujuan bersama. Komposisi tim perawatan paliatif terdiri :

1. Psikiater
Psikiater memainkan peran penting dalam pelayanan paliatif
interdisipliner, harus kompeten di kedokteran umum, kompeten dalam
pengendalian rasa sakit dan gejala lain, dan juga harus akrab dengan prinsip-
prinsip pengelolaan penyakit pasien terutama gangguan psikiatri. Dokter yang
bekerja di pelayanan paliatif mungkin bertanggung jawab untuk penilaian,
pengawasan dan pengelolaan dari banyak dilema pengobatan sulit. Kurang lebih
sepertiga pasien dengan kanker dilaporkan menderita anxietas atau depresi yang
membutuhkan penatalaksanaan psikiatrik (AAHPM, 2010).
Depresi jelas merupakan gejala psikiatri yang paling sering pada pasien
kanker. Depresi pada pasien kanker disebabkan oleh :
1. Stres yang berhubungan dengan diagnosis dan penatalaksanaan.
2. Pengobatan

9
3. Keadaan umum pasien
4. Berulangnya depresi.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi dalam hal ini adalah
glukokortikoid, narkotik, barbiturat dan antikonvulsan lain, beberapa zat
kemoterapi seperti vincristine, vinblastine, procabazine dan L-Asparaginase.
Terapi yang sering digunakan untuk depresi dapat berupa antidepresan,
anti psikotik, mood stabilizer, terapi elektrokonvulsif.
Anxietas atau kecemasan merupakan suatu reaksi normal terhadap stres secara
emosional menghadapi kanker yang diderita seseorang. Kanker dapat memaksa
seseorang berubah dalam peran sosial, mengganggu hubungan interpersonal,
gangguan tubuh dan perubahan penampilan selain itu seseorang dihadapkan
pada kematian atau umur yang terkesan kian memendek. Benzodiazepin
(lorazepam, alprazolam dan clonazepam) merupakan obat pilihan utuk status
anxietas akut (Doyle, 2003).
Delirium biasa diakibatkan oleh keterlibatan tumor pada sistem saraf
pusat, dan efek tidak langsung dari sekuele toksik metabolik dari penyakit dan
pengobatan. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, seringkali disertai oleh
gangguan kognitif global, abnormalitas mood, tingkah laku dan persepsi.
Prevalensi delirium pada pasien kanker sekitar 5% sampai 25% pada berbagai
penelitian. Beberapa zat antineoplastik dan imunoterapi dapat menyebabkan
delirium dan perubahan pada status mental. Penatalaksanaan delirium termasuk
identifikasi dan koreksi penyebabnya sambil mengobati gejala dan pemberian
terapi suportif.
Haloperidol dapat digunakan, dosis yang relatif rendah (1 - 3 mg/hari)
seringkali efektif untuk mengobati agitasi, halusinasi, paranoia, ketakutan dan
kebanyakan pasien kanker merespon terhadap kurang dari 20 mg dalam dosis
terbagi selama 24 jam (Meier, 2010).

2. Perawat
Merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama
dengan pasien sehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui pasien
dan pengasuh, menilai secara mendalam apa yang terjadi dan apa yang penting

10
bagi pasien, dan untuk membantu pasien mengatasi dampak kemajuan penyakit.
Perawat dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarganya dalam membuat
rujukan sesuai dengan disiplin ilmu lain dan pelayanan kesehatan (Ferrell, 2007),
peran perawat dalam :
a. Konsultasi layanan paliatif
b. Penanggulangan nyeri
c. Penanggulangan keluhan lain penyerta penyakit primer
d. Bimbingan psikologis, social dan spiritual
e. Persiapan kemampuan keluarga untuk perawatan pasien dirumah
f. Kunjungan rumah berkala, sesuai kebutuhan pasien dan keluarga
g. Bimbingan perawatan untuk pasien dan keluarga
h. Membantu penyediaan tenaga perawat homecare
i. Membantu penyediaan pelaku perawat (caregiver)
j. Membantu kesiapan akhir hayat dengan tenang dalam iman
k. Membantu dukungan masa duka cita
l. Konsultasi melalui telepon.

3. Pekerja sosial dan psikolog


Perannya membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi masalah
pribadi dan sosial, penyakit dan kecacatan, serta memberikan dukungan
emosional/konseling selama perkembangan penyakit dan proses berkabung.
Masalah pribadi biasanya akibat disfungsi keuangan, terutama karena keluarga
mulai merencanakan masa depan (Ferrell, 2007).

4. Konselor spiritual
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak
menghakimi, mampu menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna
kehidupan. Sering juga berfungsi sebagai orang yang dipercaya sekaligus sebagai
sumber dukungan terkait tradisi keagamaan, pengorganisasian ritual keagamaan
dan sakramen yang berarti bagi pasien paliatif. Sehingga konselor spiritual perlu
dilatih dalam perawatan akhir kehidupan (AAFP, 2011).
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama dan

11
keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit fisik
yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan medis menyadari
pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan keagamaan. Studi
pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah menunjukkan insiden tinggi
depresi dan gangguan mental lainnya. Dimensi lain adalah bahwa tingkat depresi
adalah sebanding dengan tingkat keparahan penyakit dan hilangnya fungsi
agunan. Sumber depresi seperti sering berbaring dalam isu-isu yang berkaitan
dengan spiritualitas dan agama. Pasien di bawah perawatan paliatif dan dalam
keadaan seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan
kondisi mereka dan mendekati kematian (Ferrell, 2007).
Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasa bergumul
dengan isu-isu sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang
tua dan mereka yang menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran
semacam itu telah diamati bahkan pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit
untuk serius tetapi non-terminal penyakit. Studi lain telah menunjukkan bahwa
persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60 menemukan hiburan dalam
agama yang memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi, sampai
batas tertentu, dengan kehidupan. Kekhawatiran di sakit parah mengasumsikan
berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah, takut akan neraka dan
perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka. Sering menghormati
dan memvalidasi individu dorongan agama dan keyakinan adalah setengah
pertempuran ke arah menyiapkan mereka untuk suatu 'baik' kematian (Booth,
2010).

2.6 Tempat Dan Organisasi Pelayanan Paliatif


Tempat perawatan paliatif yaitu Rumah sakit , Untuk pasien yang harus
mendapatkan perawatan yang memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus
atau peralatan khusus. Puskesmas : Untuk pasien yang memerlukan pelayanan
rawat jalan. Rumah singgah/panti (hospis) : Untuk pasien yang tidak memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum dapat
dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga kesehatan.
Rumah pasien : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan

12
khusus atau peralatan khusus atau ketrampilan perawatan yang tidak mungkin
dilakukan oleh keluarga (Booth, 2010).
Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana kesehatannya
adalah : Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas. Unit
Perawatan Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan kelas B non
pendidikan. Instalasi Perawatan Paliatif dibentuk di Rumah sakit kelas B
Pendidikan dan kelas A. Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat
koordinatif dan melibatkan semua unsur terkait (Booth, 2010).

2.7 Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang dengan
melibatkan perhimpunan profesi/keseminatan terkait. Pembinaan dan pengawasan
tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Untuk pengembangan dan
peningkatan mutu perawatan paliatif diperlukan pemenuhan sarana, prasarana dan
peralatan kesehatan dan non kesehatan., pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan/Continuing Professional Development untuk perawatan paliatif
(SDM) untuk jumlah, jenis dan kualitas pelayanan, menjalankan program
keselamatan pasien/patient safety. Pendanaan yang diperlukan untuk perawatan
Paliatif adalah Pengembangan sarana dan prasarana, Peningkatan kualitas
SDM/pelatihan, Pembinaan dan pengawasan, Peningkatan mutu pelayanan.
Sumber pendanaan dapat dibebankan pada APBN/APBD dan sumber-sumber lain
yang tidak mengikat. Untuk perawatan pasien yang sudah memiliki asuransi dapat
terlayani oleh BPJS. (Kemenkes, 2013).

2.8 Pelayanan Psikiatri Paliatif


Mayoritas pasien dengan end live care merasa mereka ingin berdiskusi
tentang akhir kehidupan mereka dan mereka juga menginginkan diskusi yang
lebih awal sebelum jatuh ke dalam kondisi yang kurang baik sehingga sudah tidak
bisa berpikir dengan logis. Namun, tenaga kesehatan kadang masih merasa
enggan untuk berdiskusi dalam waktu yang masih dini takut merusak harapan
mereka. Di US pasien berhak menentukan nasibnya sendiri dan diatur dengan
Undang-Undang, dimana professional kesehatan wajib memberikan informasi

13
mengenai penyakitnya sehingga pasien bisa mengambil keputusan (Lynn, 2008).
Tantangan psikiater adalah bagaimana mulai melakukan diskusi end of live care.
Kita harus bisa menentukan waktu yang tepat untuk itu. Diskusi end of live care
merupakan hak dari pasien namun demikian kita juga harus menghormati jika
pasien enggan untuk berdiskusi. Kita harus bisa menjelaskan kondisi pasien tetap
memberikan dorongan hidup tapi tidak memberikan harapan palsu (Meier, 2010).
Tantangan kadang kala datang dari keluarga pasien menolak diskusi yang
beralasan untuk menghindarkan orang yang dicintainya dari percakapan yang
kurang menyenangkan. Bahkan di masyarakat seringkali penyakit yang diderita
pasien disembunyikan oleh keluarganya padahal dengan demikian sama saja
merenggut hak pasien untuk melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan di akhir
kehidupannya ataupun mengutarakan harapan-harapannya diamana waktu yang
tersisa akan sangat berharga. Komunikasi end of live care pada bulan-bulan
terakhir pasien sangatlah penting dan berharga (Nur, 2010).
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan kanker membahas
pilihan terapi mereka sejak dini ternyata bisa mengurangi tingkat stress mereka.
Beberapa study menunjukkan bahwa mereka lebih memilih jujur dan terbuka dan
mendiskusikan end of live care. Dalam diskusi ini sangatlah penting pasien
mengambil keputusan dan hendaknya bisa didokumentasikan misalnya seperti
menunjuk wali siapa yang berhak mengambil keputusan akan dirinya apabila
sudah jatuh dalam kondisi koma ini yang biasanya kita sebut advance directive
(WHO, 1996).
Sebagai psikiater tentunya sudah tau posisi kita ada dimana, dimana kita
diharapkan memandang individu sebagai suatu kesatuan bio-psiko- sosial –
kultural, bahkan dalam kondisi ini sudut pandang secara spiritual juga menjadi
sangatlah penting. Keluarga bisa menangani keluhan-keluhan secara fisik yang
mungkin muncul pasien hendaknya dibuat merasa nyaman walaupun dia sakit.
Secara psikologis pasien dalam kondisi seperti ini sangat membutuhkan dukungan
salah satunya dengan cara berdiskusi dan bersedia mendengarkan. Cobalah untuk
memberikan kesempatan pasien untuk bisa mengespresikan ketakutan dan
kekawatiran tentang kematian, bagaimana dia akan meninggalkan keluarga yang
dicintanya jadi bersikaplah untuk mendengar. Begitu pula dengan dukungan sosial

14
dan spiritual misalnya dorong pasien untuk berdoa sesuai dengan keyakinannya
dan tanyakan apakah ada sesuatu yang bisa anda lakukan (WHO,1998).
Dukungan sosial pada keluarga juga sangatlah penting karena merawat
orang sakit menyebabkan kelelahan secara fisik dan emosional menyebabkan
stess, depresi dan kecemasan. Setelah melihat fakta-fakta tersebut diatas kita bisa
melihat peran psikiater dalam perawatan akhir pasien ini. Tentunya peran aktif
dalam proses ini sangatlah diperlukan sebagai wujud tanggung jawab professional
kita khusunya sebagai Psikiater yang diharapkan sebagai ujung tombak dalam
pelayanan paliatif (Sukardja, 2004).
Dalam pembentukan support system paliatif perlu diperhatikan adalah
sikap Psikiater dalam melakukan pelayanan. Hal tersebut antara lain :
1. Kemampuan untuk penuh kasih dan empati menyampaikan berita buruk
2. Pemahaman tentang masalah psikososial dan dinamika keluarga yang
mempengaruhi pasien yang sakit parah
3. Pemahaman tentang isu-isu spiritual dan agama mempengaruhi pasien sakit
parah serta anggota keluarga
4. Sebuah sehubungan dengan kepercayaan budaya dan kebiasaan pasien dan
keluarga dalam konteks kematian dan sekarat
5. Pemahaman tentang kebutuhan pasien sekarat untuk perawatan paliatif, nyeri,
kontrol, dan martabat
6. Pemahaman tentang isu-isu khusus yang terkait dengan anak-anak, baik
sebagai tersembuhkan pasien sakit atau sebagai anggota keluarga dari pasien
yang sakit parah
7. Pemahaman tentang proses berkabung untuk pasien sekarat dan anggota
keluarga selama kontinum penyakit dan setelah kematian.
(White, 2010).

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawatan Paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Penyakit terminal merupakan
penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke arah kematian. Contohnya
seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit terminal ini dapat dikatakan
harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah menyerah
dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah
kematian. Agama dan keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan
dalam penyakit fisik yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan
medis menyadari pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan
keagamaan.
Obat paliatif dapat dikombinasikan dengan perawatan atau modalitas lain
dengan tujuan terapi, atau mungkin menjadi fokus lengkap seperti dalam
perawatan rumah sakit. Seorang dokter menyediakan dan mengkoordinasikan
rumah sakit atau perawatan tim lain untuk pasien sekarat dan dapat meringankan
gejala fisik dan memberikan dukungan sosial, emosional, dan spiritual. Waktu dan
perawatan seputar kematian orang yang dicintai dapat memiliki dampak yang
berlangsung seumur hidup. Edukasi yang sesuai dan pengalaman dalam perawatan
paliatif tidak hanya akan memberikan pengetahuan yang diperlukan untuk
membantu rasa sakit dan penderitaan kemudahan, tetapi juga akan menginspirasi
dokter untuk berpartisipasi dalam kelangsungan akhir perawatan.
3.2 Saran
Upaya Perawatan Paliatif agar melakukan pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan
dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah- masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual.

16
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Family Physicians (AAFP), the Association of


Departments of Family Medicine (ADFM), the Association of Family Medicine
Residency Directors (AFMRD), and the Society of Teachers of Family Medicine
(STFM).Palliative and End-of-Life Care.; 2011

American Academy of Hospice and Palliative Medicine. Primer of Palliative


Care. 5th ed. Glenview, Il: AAHPM; 2010

Booth S, Edmonds P, Kendall M. Palliative Care in the Acute Hospital Setting.


New York, NY: Oxford University Press; 2010

http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20140820154451-255-1505/dokter-
keluarga-dan-bpjs-bisa-ringankan-pasien-kanker/ diakses pada tanggal 8 Mei
2017

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Jakarta

KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan


Perawatan Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Laviano A, Meguid RA, Meguid MM. Nutrition support. in De Vita V.T. Jr.
Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology. vol 1.
8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008

17

Anda mungkin juga menyukai