Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF

“Konsep Perawatan Paliatif Pada Penyakit Kronis dan Terminal :


Gagal Jantung, Gagal Ginjal Kronik, Penyakit Paru Obstruktif
Menahun”

Dosen Pengampu:
Ns. Aisyah Safitri, Sp. Kep.J

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Oktika Nurjanah 09180000001 Izma Febry Yani 09180000017
Melian Gita Dewi 09180000006 Shintia 09180000019
Nia Wahda Aprilia 09180000010 Kristina Tamo Inya 09180000025
Bella Amelia Catrin 09180000011 Novitasari Siregar 09180000027

S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
Gedung. HZ. Jln. Harapan No 50 Lenteng Agung Jakarta Selatan 12610
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji serta syukur atas ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya, yang berjudul “Konsep Perawatan Paliatif Pada Penyakit
Kronis dan Terminal : Gagal Jantung, Gagal Ginjal Kronik, Penyakit Paru
Obstruktif Menahun”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas keperawatan
menjelang ajal dan paliatif.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Ns. Aisyah Safitri, Sp. Kep.J, selaku dosen pengampu mata kuliah
keperawatan komplementer
2. Ibu dan Bapak kami yang selalu mendukung kami selama penyusunan
makalah ini.
3. Para Anggota kelompok yang saling mensupport, memotivasi serta
bekerjasama dengan baik dalam mengerjakan makalah ini.
Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Jakarta, 06 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORITIS.............................................................................3
A. Perawatan paliatif......................................................................................3
BAB III Perawatan Paliatif Pada Penyakit Kronis, Gagal Jantung, Gagal Ginjal
Dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun..................................................................6
A. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Jantung..........................................6
B. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal..........................................13
C. Perawatan Paliatif Pada Pasien Dengan Penyakit Paru Obstuktif
Menahun.............................................................................................................21
BAB IV PENUTUP..............................................................................................26
A. Kesimpulan..............................................................................................26
B. Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson,
gagal jantung, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/ AIDS
memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis
tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas,
penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya (Aldridge et al., 2015).
Kebutuhan pasien pada stadium lanjut tidak hanya dalam pemenuhan/
pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam
kondisi terminal yang akan segera meninggal. Konsep baru perawatan paliatif
menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah
fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan lebih baik. Perawatan
paliatif merupakan pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi
dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap
pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya
(Rochmawati, Wiechula and Rn, 2016).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui Konsep perawatan paliatif pada penyakit kronis dan terminal.

1
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep keperawatan paliatif pada pasien dengan
penyakit gagal jantung
b. Untuk meengetahui konsep keperawatan paliatif pada pasien dengan
penyakit gagal ginjal kronik
c. Untuk mengetahui konsep keperawatan paliatif pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif menahun
d. Memenuhi tugas keperawatan paliatif care

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Perawatan paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial
atau spiritual. (World Health Organization (WHO) 2016).
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada
penderita yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang
dideritanya. Pasien sudah tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang
disebabkan oleh keganasan ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita
serta melibatkan keluarganya (Aziz, Witjaksono, & Rasjidi, 2008).
Keperawatan paliatif merupakan perawatan total yang dilakukan
secara aktif terutama pada pasien yang menderita penyakit yang membatasi
hidup, dan keluarga pasien, yang dilakukan oleh tim secara interdisiplin,
dimana penyakit pasien tersebut sudah tidak dapat lagi berespon terhadap
pengobatan atau pasien yang mendapatkan intervensi untuk memperpanjang
masa hidup. (Yodang, 2018).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien
dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup
seluruh rangkaian penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
kebutuhan spiritual serta untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses
informasi, dan pilihan (National Consensus Project for Quality Palliative
Care, 2013). Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai
sesuatu yang harus di hindari tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus
dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa
(Nurwijaya dkk, 2010).

3
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan
perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial,
konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual
(Campbell, 2013). Perawatan paliatif ini bertujuan untuk membantu pasien
yang sudah mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup
selama mungkin. Perawatan paliatif ini meliputi mengurangi rasa sakit dan
gejala lainnya, membuat pasien menganggap kematian sebagai proses yang
normal, mengintegrasikan aspek-aspek spikologis dan spritual (Hartati &
Suheimi, 2010). Selain itu perawatan paliatif juga bertujuan agar pasien
terminal tetap dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia dengan
baik dan tenang (Bertens, 2009).
Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai
martabat serta harga diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2007).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES, 2013)dan
Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) prisinsip pelayanan perawatan paliatif
yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik
lainnya, penanggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan menganggap
kematian sebagai proses normal, tidak bertujuan mempercepat atau
menghambat kematian, memberikan dukungan psikologis, sosial dan
spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa duka cita, serta
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.
Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project
dalam Campbell (2013), meliputi :
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini mencangkup pasien
dengan semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam
kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien dan
keluarga merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.

4
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif
berlangsung mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga
sembuh atau meninggal sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi
yang bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang termasuk
dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat,
farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah,
pemuka agama, psikolog, asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan perawatan paliatif
adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit maupun pengobatan.
7. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan dalam
memberikan informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan,
membantu membuat keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap
individu yang membantu pasien dan keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan
kesehatan yang ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta
kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang
tidak diperukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana tim harus
bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh cakupan usia, populasi,
kategori diagnosis, komunitas, tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin,
serta kemampuan instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat
kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat
mewujudkan lingkungan klinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas membutuhkan
evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.

5
BAB III
Perawatan Paliatif Pada Penyakit Kronis, Gagal Jantung, Gagal
Ginjal Dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun

A. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Jantung


1. Latar Belakang Paliatif Care Pada Gagal Jantung
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling
umum di seluruh dunia. Gangguan kardiovaskuler merupakan gangguan
kesehatan yang menunjukkan trend semakin meningkat, penyakit
kardiovaskular bertanggung jawab terhadap kurang dari 10% dari
kematian di seluruh dunia. Saat ini, penyakit kardiovaskular menyumbang
hampir mendekati 40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di
negara miskin dan berkembang.
Heart failure atau gagal jantung adalah kondisi saat pompa jantung
melemah, sehingga tidak mampu mengalirkan darah yang cukup ke
seluruh tubuh. Kondisi ini juga dikenal dengan istilah gagal jantung
kongestif. Gagal jantung dapat disebabkan oleh hipertensi, anemia, dan
penyakit jantung. Penelitian di Amerika, risiko berkembangnya gagal
jantung adalah 20% untuk usia ≥40 tahun, dengan kejadian >650.000
kasus baru yang didiagnosis gagal jantung selama beberapa dekade
terakhir. Kejadian gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia.
(Yancy, 2013)
Dampak sakit dan hospitalisasi pada pasien gagal jantung
menyebabkan perubahan perilaku pada seseorang. Selain itu, individu
mengalami keterbatasan melakukan aktivitas secara mandiri dan mengatur
sendiri kebutuhannya. Pasien dengan penyakit gagal jantung cenderung
merasa frustasi karena penyakit terminal yang sedang dia alami, karena
baik secara langsung maupun tidak langsung pasien tersebut merasa stress
akan ancaman kematian akibat penyakitnya tersebut Apabila kondisi
tersebut tidak ditangani dan berlangsung terus menerus dapat

6
menyebabkan distress spiritual yang membuat pasien kehilangan kekuatan
dan harapan hidup. Oleh karena itu, kebutuhan spiritual pada pasien gagal
jantung sangat penting untuk diperhatikan. Kebutuhan spiritual
merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi penderita gagal jantung,
kondisi sakit pada pasien gagal jantung menyebabkan adanya peningkatan
kebutuhan kondisi kedamaian, kasih sayang, keagamaan dan keberadaan
akan Tuhan.

2. Peran Perawat Paliatif Care Pada Pasien Gagal Jantung


Pasien dengan penyakit gagal jantung cenderung merasa frustasi
karena penyakit terminal yang sedang dia alami, karena baik secara
langsung maupun tidak langsung pasien tersebut merasa stress akan
ancaman kematian akibat penyakitnya tersebut Apabila kondisi tersebut
tidak ditangani dan berlangsung terus menerus dapat menyebabkan
distress spiritual yang membuat pasien kehilangan kekuatan dan harapan
hidup. Peran para petugas kesehatan khususnya perawat harus
memberikan pelayanan paliatif secara optimal khususnya dalam aspek
kebutuhan spiritualitas, supaya pasien dapat merasa damai dan tentram
(Westlake, 2008).
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan
oleh setiap manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka
hubungan dengan tuhannya pun semakin dekat, mengingat seseorang
dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang
mampu membangkitkannya dari kesembuhan, kecuali Sang Pencipta
(Carpenito, 2000).
Pasien yang mengalami gagal jantung merasakan bahwa hidupnya
dekat dengan kematian hal ini akan mempengaruhi pasien gagal jantung
menjadi distress spiritual (YoungC, 2007).
Distress spiritualitas yang dialami oleh pasien gagal jantung yaitu
pasien tidak mampu melaksanakan praktik keagamaan, terisolasi dari
orang-orang yang dibutuhkannya. Hal ini bila tidak diatasi akan

7
menyebabkan krisis emosi, Distress spiritualitas merupakan suatu
keadaan ketika pasien mengalami gangguan dalam kepercayaan atau
sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan,
yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual,
mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan, adanya
keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan
perhatian yang lebih pada kematian, menolak kegiatan ritual dan terdapat
tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas dan marah, kemudian
didukung dengan tanda-tanda fisik seperti nafsu makan terganggu,
kesulitan tidur, dan tekanan darah meningkat (Hidayah, 2006). Untuk
mengatasi hal ini, maka diperlukanlah intervensi kebutuhan spiritual yang
tepat oleh perawat sesuai kebutuhan setiap pasien.

3. Penatalaksanaan Pasien Gagal Jantung


1. Terapi non farmakologi
a) Diet Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau
obesitas harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula
darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl harus
dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hariuntuk gagal jantung
sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/harihanya
untuk gagal jantung berat.
b) Merokok : Harus dihentikan.
c) Aktivitas fisik : Olahraga yang teratur seperti berjalan atau
bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil
(NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
d) Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
e) Bepergian
Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat
panas atau lembab (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

8
4. Perawatan Paliatif Pasien Gagal Jantung
a) Home based exercise training (HBET)
Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan
untuk bedrest yang bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik.
Setelah fase akut terlewati, pasien berada pada fase recovery. Pada
fase ini, bedrest menjadi suatu saran yang kontroversial karena dapat
memicu menurunnya level toleransi aktivitas dan memperberat gejala
gagal jantung seperti sesak disertai batuk. Semua otot perlu dilatih
untuk mempertahankan kekuatannya termasuk dalam hal ini adalah
otot jantung (Suharsono, 2013).
Pasien gagal jantung biasanya berpikiran bahwa melakukan
aktivitas termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan
gagal jantung sesak dan timbul kelelahan, sehingga mereka lebih
memilih untuk bed rest pada fase pemulihan. Oleh karena itu, pasien
perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara bertahap dengan
tujuan toleransi aktivitas dapat meningkat pula. Kondisi yang
menyebabkan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari akan
mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya, pasien kehilangan
kemampuan fungsional. Pada pasien gagal jantung, kapasitas
fungsional sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup pasien.
Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan
melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi : tipe, intensitas, durasi,
dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi pasien (Suharsono,
2013).
Aktivitas dilakukan dengan melihat respon seperti peningkatan
nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot
jantung sehingga gejala gagal jantung semakin minimal. Aktivitas ini
akan dapat dilakukan secara informal dan lebih efektif apabila

9
dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Nicholson,
2007).
Aktivitas latihan fisik pada pasien dengan gagal jantung
bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi
penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan
dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik seperti
sebelum mengalami gangguan jantung (Arovah, 2010).
Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah
satu pilihan latihan fisik dan alternatif solusi rendahnya partisipasi
pasien mengikuti latihan fisik. Pasien yang stabil dan dirawat dengan
baik dapat memulai program home based exercise training setelah
mengikuti tes latihan dasar dengan bimbingan dan instruksi. Tindak
lanjut yang sering dilakukan dapat membantu menilai manfaat
program latihan di rumah, menentukan masalah yang tidak terduga,
dan akan memungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan
yang lebih tinggi jika tingkat kerja yang lebih rendah dapat ditoleransi
dengan baik (Piepolli, 2011). Intervensi yang dilakukan berupa home
basedexercise training berupa jalan kakiselama 30 menit, 3 kali dalam
seminggu selama 4 minggu dengan intensitas 40-60% heart rate
reserve, dan peningkatan kapasitas fungsional dilakukan dengan Six
Minute Walk Test (6MWT)
b) Terapi Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan
dengan gejala seperti sesak napas saat beraktivitas dan membaik saat
beristirahat, tandaretensi cairan berupa kongesti pulmoner, edema
ekstremitas, serta abnormalitas struktur dan fungsi jantung. Keadaan
tersebut berhubungan dengan penurunan fungsi pompa jantung.
Penurunan fungsi pompa jantung dapat terjadi akibat infark miokard,
hipertensi kronis, dan kardiomiopati. Dalam hal ini, jantung
mengalami remodelling sel melalui berbagai mekanisme biokimiawi
yang kompleks dan akhirnya menurunkan fungsi jantung. Metroprolol

10
merupakan salah satu jenis beta blocker yang berfungsi meningkatkan
fungsi jantung dengan menghambat remodelling pada jantung.
Metoprolol secara signifikan meningkatkan fungsi ventrikel dosis
tinggi 200 mg (n=48) sebagai terapi antiremodeling, terbukti dengan
penurunan LVESV 14 mL/m2 dan peningkatan EF sebanyak 6%
(Amin, 2015).
Berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung oleh
(Siswanto dkk, 2015) bahwa penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan kelangsungan hidup Indikasi pemberian penyekat β
yaitu:
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
2. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
3. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
diberikan
4. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik
5. Tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi
6. Cairan berat
Sedangkan kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu:
1. Asma
2. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit
(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <
50x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu:
a) Inisiasi pemberian penyekat β
b) Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit
pada pasien dekompensasi secara hati-hati
c) Naikan dosis secara titrasi
d) Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4

11
e) Minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal
jantung,hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50
x/menit)
f) Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β
sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di
toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian
penyekat β adalah :
a) Hipotensi simtomatik
b) Perburukan gagal jantung
c) Bradikardia
c) Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Barofleks Arteri
Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai
kerusakan yang berdampak pada kualitas hidup klien. Salah satu
kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada baroreflek arteri.
Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam
pengaturan tekanan darah. Hasil penerapan evidance basednursing,
latihan nafas dalam dapat memberikan pengaruh terhadap sensitivitas
barorefleks. Hasil setelah diberikan intervensi selama seminggu
terdapat peningkatan tekanan darah diastolik dari 80 mmhg menjadi
100 mmhg, nilai denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali/menit
menjadi 80 kali/menit dan pada frekuensi pernafasan terjadi
penurunan dari 24 kali/menit menjadi 18 kali/menit.
Sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan
dengan bernafas lambat. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
peningkatan aktivitas vagal dan penurunan simpatis yang dapat
menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan tekanan darah
dan reflek kemoresptor juga dapat teramati selama menghirup nafas
secara lambat dan dalam. Metode latihan relaksasi nafas dalam adalah
dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem
saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan

12
gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan
jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang
otomatis misalnya fungsi digestif dan kardiovaskuler. Sistem saraf
otonom terdiri dari dua sistem yang kerjanya saling berlawanan yaitu
saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis bekerja
meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh
meningkatkan denyut jantung dan pernapasan serta menimbulkan
penyempitan pembuluh darah perifer dan pembesaran pembuluh
pusat. Saraf parasimpatis bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi
yang diturunkan oleh saraf simpatis. Pada waktu orang mengalami
ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis
sehingga denyut jantung, tekanan darah, jumlah pernafasan, aliran
darah keotot sering meningkat (Balady, 2007)

B. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal


1. Latar Belakang Paliatif Care Pada Gagal Ginjal
Gagal ginjal kronik (GGK) juga dikenal sebagai penyakit gagal
ginjal tahap akhir, merupakan sindroma yang ditandai dengan kehilangan
fungsi ginjal secara progresif dan ireversibel, saat ini angka kejadian
gagal ginjal kronik meningkat secara pesat (Kizilcik et al. 2012).
Meningkatnya jumlah pasien dengan gagal ginjal kronik menyebabkan
kenaikan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis.
Pasien dengan gagal ginjal kronik yang telah terdiagnosa dalam
kondisi terminal pada umumnya akan merasakan distress emosional yang
sangat berat antara lain merasakan syok, cemas, distress dan depresi.
Pasien yang mengalami distress yaitu pengalaman emosional, psikologis,
sosial ataupun spiritual yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi
kemampuan adaptasi atau koping pasien terhadap pengobatan. Pada
kondisi yang berat, distres dapat menyebabkan masalah seperti gangguan
ansietas, depresi, panik, dan perasaan terisolasi atau krisis spiritual,
masalah finansial beserta masalah pekerjaan. (Grimsbø, 2012).

13
Menurut WHO pada tahun 2007 bahwa dampak emosional,
spiritual, sosial, dan ekonomi yang dialami klien, dengan pemberian
konseling dan perawatan paliatif berdasarkan kebutuhan pasien sejak
diagnosis itu sangat penting untuk dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien dan kemampuan kopingnya (Widianti, 2012).
Berdasarkan tingkat insidensi beberapa kasus diatas dibutuhkan
upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien
dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan
perawatan kuratif dan rehabilitatif bagi pasien dengan stadium terminal.
(Fitria C.N, 2010).
Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan dilakukannya
pengembangan dan peningkatan mutu perawatan paliatif yang tidak
hanya diperlukan pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan
dan non kesehatan, tetapi kualitas kemampuan perawat dalam
memberikan perawatan yang sesuai dengan keadaan pasien berdasarkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki dan diperoleh dari
pendidikan dalam menjalankan program pelayanan tersebut. karena
kualitas sumber daya manusia atau karyawan tersebut diukur dari kinerja
karyawan itu sendiri (Notoatmodjo, 2007 dalam Kurniawati 2012).

2. Peran Perawat Paliatif Care Pada Pasien Gagal Ginjal


Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran
perawat paliatif meliputi :
a. Praktik di Klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan
mengevaluasi keluhan serta nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai
keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana
perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan
pendekatan baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkan
berdasarkan standar perawatan di rumah sakit untuk melaksanakan
tindakan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan keperawatan, maka

14
keluhan sindroma nyeri yang komplek dapat perawat praktikan
dengan melakukan pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan
memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya.
b. Pendidik
Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan
keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil yang positif.
Perawat memperlihatkan dasar keilmuan/pendidikannya yang
meliputi mengatasi nyeri neuropatik, berperan mengatasi konflik
profesi, mencegah dukacita, dan resiko kehilangan. Perawat pendidik
dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan
pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan
yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena
untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah diatasi.
c. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui
pertanyaanpertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang
ditunjukan pada pertanyaan-pertanyaan penelitian. Perawat dapat
meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
d. Bekerja sama (collaborator)
Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-
psiko-sosial spiritual dan penatalaksanaannya. Perawat membangun
dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan mengidentifikasi
sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,
perawat memfasilitasi dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan anggota dalam pelayanan, kolaborasi perawat/
dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai
kolaborasi dengan pasien dan keluarganya, dengan tim antar disiplin
ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan
hasil terbaik.
e. Penasihat (Consultan)

15
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim
perawatan paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang
sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pasien
dan keluarganya.
Dalam memahami peran perawat dalam proses
penatalaksanaan perawatan paliatif sangat penting untuk mengetahui
proses asuhan keperawatan dalam perawtan paliatif. Asuhan
keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan
praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien paliatif
dengan menggunakan pendekatan metodologi proses keperawatan
berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etika profesi dalam
lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat yang mencakup
seluruh proses kehidupan, dengan pendekatan yang holistik
mencakup pelayanan biopsikososiospiritual yang komprehensif, dan
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu teori
yang mendasari praktik keperawatan profesional adalah memandang
manusia secara holistik, yaitu meliputi dimensi fisiologis, psikologis,
sosiokultural dan spiritual sebagai suatu kesatuan yang utuh. Apabila
satu dimensi terganggu akan mempengaruhi dimensi lainnya. Sebagai
pemberi asuhan keperawatan, konsep ini merupakan salah satu
konsep keperawatan yang harus di pahami oleh perawat agar dapat
memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada klien.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Kepmenkes RI
Nomor: 812 tahun 2007 bahwa perawatan paliatif merupakan
pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga, melalui pencegahan dan peniadaan dengan identifikasi dini
dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain; fisik, psikososial dan spiritual, maka peran perawat
pada aspek ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat kualitas
pelayanan yang diberikan

16
Haruslah berkualitas untuk memenuhi setiap kebutuhan
pasien dalam aspek tersebut. Peran- peran tersebut meliputi:

1) Penanganan nyeri
Kehadiran perawat dalam melakukan penanganan nyeri
yaitu untuk mengidentifikasi, mengobati penyebab nyeri dan
memberikan obat-obatan untuk menghilangkan nyeri. Perawat
tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga professional kesehatan
lain tetapi juga memberikan intervensi pereda nyeri,
mengevaluasi efektivitas intervensi dan bertindak sebagai advokat
pasien saat intervensi tidak efektif (Smetlzer dan Bare, 2002).
2) Penanganan masalah fisik
Petugas kesehatan harus memberikan kesempatan
pengobatan yang sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, terapi lain meliputi pendidikan, kehilangan dan
penyuluhan pada keluarga, dukungan teman sebaya, terapi musik
dan lain sebagainya (Commitee on Bioethic and Committee on
Hospital Care, 2000 dalam Ningsih, 2011).
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
kerjasama dalam tim perawatan paliatif, dan adapun tindakan
yang dapat dilakukan perawat dalam menangani masalah fisik
pasien untuk menunjang kerjasama antar tim yaitu melakukan
pemeriksaan fisik, mengkaji dan memonitor tanda-tanda vital,
mengkaji dan memenuhi kebutuhan dasar pasie, pemberian posisi,
ambulasi dan lain sebagainya yang dapat mengurangi masalah
fisik klien (Tarwoto & Wartonah, 2011).
3) Penanganan masalah psikologi
Dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan
pengobatan dan fungsi psikososial umum, awalnya tim paliatif
melakukan assessment terlebih dahulu terhadap pasien dan
keluarga pasien yang akan menjalani perawatan paliatif. Dari

17
hasil assessment yang dilakukan, tim paliatif dapat mengetahui
kondisi fisik, psikologis, dan sosial pasien dan keluarga pasien
sehingga tim paliatif dapat mengetahui mengenai perawatan fisik,
pendampingan pikologis dan sosial yang dibutuhkan pasien dan
keluarga pasien. Pemberian perawatan paliatif, baik fisik,
psikologis dan sosial, dilakukan secara berkala sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan pasien. Dengan adanya perawatan dan
pendampingan psikologis yang dibutuhkan kepada pasien dan
keluarga pasien, berupa konseling, pemberian dukungan dan
nasehat, maka akan dapat membantu pasien dan keluarga pasien
dalam menghadapi dan melewati masalah-masalah psikologi yang
dialaminya dalam menghadapi penyakitnya. Kondisi psikologi
yang normal dan stabil, secara langsung ataupun tidak langsung,
akan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien menjadi lebih
baik (Damayanti.,dkk, 2008).
Selain itu tindakan perawat lainnya dalam menangani
masalah psikologi pasien diantaranya, melakukan pendekatan
dengan membina hubungan saling percaya antara perawat dengan
pasien maupun dengan keluarga pasien, mengkaji riwayat
psikososial untuk mengidentifikasi faktor penyebab cemas atau
gangguan psikologi lainnya pada pasien, mengkaji tingkat
kecemasan, memberikan tindakan nonfarmakologi untuk
mengatasi stress, memotivasi serta memberikan dukungan yang
positif terhadap pasien maupun keluarga pasien (Idris, 2007).
4) Penanganan masalah spiritual
Perawat berperan dalam proses keperawatan yaitu
melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan,
menyusun rencana dan implementasi keperawatan serta
melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien, perawat juga
berperan dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya
dan organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga masalah etik

18
dalam keperawatan. Perawat melakukan kegiatan spiritual care,
jenis dan frekuensi dari intervensi tidak diketahui karena spiritual
care jarang bahkan tidak pernah didokumentasikan, Kegiatan
perawat dalam memberikan spiritual care dikategorikan menjadi
10 kategori yaitu: fasilitasi kegiatan spiritual, dukungan spiritual,
kehadiran, mendengarkan dengan aktif, humor, sentuhan, terapi
sentuhan, peningkatan kesadaran diri, rujukan, dan terapi musik
(Balldacchino, 2006 dalam sianturi, 2014).
Menurut Kozier et al (2004) dalam sianturi (2014) perawat
perlu juga merujuk pasien kepada pemuka agama. Rujukan
mungkin diperlukan ketika perawat membuat diagnosa distres
spiritual, perawat dan pemuka agama dapat bekerjasama untuk
memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Beberapa tindakan diatas
menggambarkan peran perawat dalam memeberikan asuhan
keperawatan secara profesional dengan pendekatan holistik,
dimana holistik berkaitan dengan kesejahteraan (wellness) yang
diyakini mempunyai dampak terhadap status kesehatan manusia,
Oleh karena itu seorang perawat dalam merawat pasien harus
memandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagian-bagian atau
dimensi harus saling berinteraksi dan apabila terjadi gangguan
pada salah satu bagian akan mempengaruhi keseimbangan dan
keutuhan kesatuan tersebut. Untuk itu dibutuhkan kemampuan
atau kompetensi seorang perwat dalam mewujudkan hal tersebut.
(Salbiah, 2006).
Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan paliatif pada pasien
adalah meliputi kompetensi pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skill) dan sikap (attitude) (Wan Nedra, 2013).
Pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pada
pasien dengan penyakit terminal perlu digali dan dipahami
dengan mendalam agar dapat memberikan perawatan yang lebih

19
baik. Pemahaman yang mendalam tentang cara perawatan paliatif
pada pasien, kondisi yang membuat perawat cemas, dukungan
untuk pasien dan keluarganya terutama saat berkabung, hambatan
dan strategi cara mengatasi hambatan serta harapan perawat untuk
meningkatkan perawatan paliatif, sangat diperlukan untuk
memperluas wawasan perawat dalam memberikan perawatan
paliatif.

3. Penatalaksanaan Paliatif Care Pada Pasien Gagal Ginjal


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi
ginjal dan homeostasis selama mungkin. Seluruh factor yang berperan
pada gagal ginjal tahap akhir dan factor yang dapat dipulihkan (mis :
obstruksi) diidentifikasi dan ditangani. Komplikasi potensial gagal ginjal
kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan
mencakup :
a) Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme, dan masukkan diet berlebih
b) Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
renin-angiostensin-aldosteron
d) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah marah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin,
kehilangan darah selama hemodialisis
e) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal,
dan peningkatan kadar aluminium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian
antihipertensif, eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan
suplemen kalsium. Pasien juga perlu mendapat penanganan dialysis yang
adekuat untuk menurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah

20
C. Perawatan Paliatif Pada Pasien Dengan Penyakit Paru Obstuktif
Menahun
1. Latar Belakang Paliatif Care pada Penyakit Paru Obstuktif Menahun
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada
saluran pernapasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis.
Menurut American College of Chest Physicians /American Society (2015)
PPOK didefinisikan sebagai kelompok penyakit paru yang ditandai
dengan perlambatan aliran udara yang bersifat menetap (Irianto, 2014).
PPOK adalah penyakit yang membentuk satu kesatuan dengan diagnosa
medisnya adalah Bronkhitis, Emifisema paru-paru dan Asma bronchial
(Padila, 2012).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan gangguan
pernapasan yang akan semakin sering dijumpai. Angka morbiditas dan
mortalitasnya meningkat setiap waktu. PPOK merupakan penyebab utama
morbiditas dan cacat, dan pada tahun 2020 diperkirakan menjadi
penyebab terbesar ketiga kematian di seluruh dunia. Saat fungsi paru
memburuk dan penyakit berkembang maka risiko terjadinya hipoksia juga
akan meningkat. Hipoksia jaringan menjadi kunci terjadinya proses
maladaptif dan komorbid. Kejadian hipoksemia pada pasien PPOK
menyebabkan penurunan kualitas hidup, berkurangnya toleransi terhadap
latihan, mengurangi fungsi otot rangka, dan akhirnya meningkatkan risiko
kematian (Kent, 2011)
Dari banyak penelitian mengatakan bahwa banyak penderita
Obstruktif paru yang dapat melakukan aktivitas sendiri sehingga jarang
bagi mereka merasa butuh perawatan paliatif, namun pada Obstrutif Paru
yang parah akan didapatkan gejala seperti nyeri, kesulitan bernafas dan
kelelahan. Dalam beberapa penelitian juga disebutkan Obstruktif Paru
memiliki resiko meningkatnya angka depresi. Pasien dengan obstruktif

21
paru yang berat biasanya mengalami isolasi sosial, ketidakmampuan
secara fisik dan mengalami penurunan kualitas hidup. Beberapa
membutuhkan kursi roda dan membutuhkan bantuan kebutuhan hidup
dasar seperti mandi dan sebagainya.
Penderita PPOK mengalami penurunan faal paru, penurunan
kapasitas fungsional dan akhirnya terjadi penurunan kualitas hidup. Salah
satu gangguan ekstrapulmonal adalah gangguan otot-tulang rangka
(Agusti dkk, 2003). Gangguan otot-tulang rangka merupakan hal utama
yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Keterbatasan
aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penatalaksanaan PPOK terutama
suportif, paliatif, meredakan gejala, meningkatkan kapasitas fungsional
dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Salah satu strategi
penatalaksanaan PPOK adalah dengan rehabilitasi paru. Komponen dari
rehabilitasi paru adalah edukasi, terapi fisik (latihan pernafasan,
fisioterapi dada, postural drainase), latihan rekondisi (jalan kaki,
bersepeda, berlari) dan bantuan psikososial. Latihan pernafasan
merupakan salah satu program rehabilitasi paru yang manfaatnya masih
diperdebatkan (Duerden, 2006).

2. Peran Perawat Paliatif Care Pada Pasien Penyakit Paru Obstuktif


Menahun
Menurut beberapa penelitian, pengobatan PPOK secara medis
tidak bisa menyembuhkan secara tuntas 100%, untuk mengencerkan
mukus diberikan inhalasi atau nebulizer, sedangkan pengobatan berupa
suportif dan paliatif hanya untuk mengubah kualitas hidup dengan jalan
memenuhi kebutuhan oksigen (O2), sehingga intervensi yang dilakukan
berupa tindakan terapi inhalasi, supportif dan paliatif. Tindakan tersebut
adalah pemberian fisioterapi dada, setelah itu dilakukan pemberian nafas
dalam dan batuk efektif kepada pasien, dan yang terakhir dilakukan terapi
nebulizer, Setelah dilakukan intervensi, perawat melakukan pengukuran

22
saturasi oksigen. Pada pemberian tindakan supportif dan paliatif sangat
membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen (O2), maka pengobatan
suportif dan paliatif sangat memegang peranan penting, melalui fisioterapi
dada, antara lain: perkusi, vibrasi, postural drainase, batuk efektif dan
nafas dalam untuk memudahkan mengeluarkan secret sehingga jalan
nafas menjadi lancar kemudian saturasi oksigen (SaO2) mengalami
peningkatan.

3. Penatalaksanaan Paliatif Care Pada Pasien Penyakit Paru Obstuktif


Menahun
PPOK merupakan salah satu penyakit umum yang biasa terjadi
pada masyarakat. Dalam perawatan pasien dengan PPOK salah satu terapi
yang diberikan antara lain Fisioterapi dada. Peranan fisioterapi sangat
penting dalam mengatasi gejala akibat penyakit PPOK. Fisioterapi dada
merupakan terapi kombinasi memobilitas sekret pada pulmonari. Tujuan
fisioterapi dada yaitu untuk mengeluarkan sekresi, dan reparisasi
ventilasi, dan efektifitas pengunaan otot pernafasan (Fitriananda Dkk,
2017).
Bentuk intervensi lain yang diberikan pada pasien PPOK adalah
dengan memberikan program edukasi dan rehabilitasi latihan pernafasan.
Latihan pernafasan ini terdiri dari latihan dan praktik pernafasan yang
dimanfaatkan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol, efisien dan
mengurangi kerja pernafasan (Smetlzer et al, 2010). Menurut Kusumawati
(2013) pemberian tindakan rehabilitasi nafas pada penderita PPOK dapat
memperbaiki ventilasi dan memperbaiki kapasitas fungsional pernafasan.
Latihan rehabilitasi nafas yang dilakukan dengan teratur dan
berkelanjutan dapat menurunkan angka eksaserbasi dan meningkatkan
kualitas hidup pasien PPOK. Latihan pernafasan yang dapat diterapkan
pada pasien dengan PPOK salah satunya adalah pursed lips breathing
exercise (PDPI, 2016).

23
Dalam mengoptimalkan pengobatan PPOK diberikan pendekatan
komprehensif yaitu pencegahan, manajemen medis dan rehabilitasi.
Manajemen medis pada fase akut dan kronis terdiri dari: perawatan pada
saat sakit, farmakoterapi, dukungan pemberian ventilasi, dalam
penggunaan oksigen dengan waktu lamaatau nutrisi dan rehabilitasi paru
(Kara et al, 2006). Edukasi merupakan peran penting bagi seorang
perawat. Teaching didefinisikan merupakan fungsi perawat dalam
menolong pasien untuk bisa mengerti informasi yang berkaitan dengan
proses penyakit dan penyembuhannya sehingga mampu meningkatkan
efikasi diri dan kemampuan dalam mengatasi sesak nafas pada pasien
PPOK (Dochterman et al, 2008). Pengobatan dan perawatan PPOK
membutuhkan proses yang lama sehingga pasien perlu pola untuk
mengelola penyakit. Self management PPOK merupakan peran aktif
pasien untukpengobatan dan perawatan penyakit berdasarkan koping yang
memadai, kepatuhan pengobatan, perhatian terhadap teknik pernafasan.

Terapi Farmakologis untuk PPOK


Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala
PPOK, terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai
pencegahan/ mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK.
Bronkodilator inhalasi kerja lama lebih efektif dalam menangani gejala
daripada bronkodilator kerja cepat.
Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun
saat diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala,
walaupun pemakaian pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis
tinggi. Agonis β-2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat
ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai
sebagai ganti agonis β-2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan
dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat
memperbaiki FEV1 dan volume paru, mengurangi sesak napas,
memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadian eksaserbasi, akan

24
tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal paru.
Agonis β-2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada adalah
indacaterol.
Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV
<60%, pengobatan regular dengan kortikosteroid inhalasi dapat
mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup dan
menurunkan frekuensi ekasaserbasi.
Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat.
Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak
yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang
terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15
jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter.

Manajemen Eksaserbasi
Menilai keparahan eksaserbasi secara garis besar ada 3 yang perlu
dinilai yaitu pengukuran gas darah arterial, foto torak berguna untuk
mengeleminasi diagnosis lain, dan pada elektrokardiograp. Manajemen
eksaserbasi pada PPOK diberikan oksigen dengan target saturasi 88- 92%.
Beta2-agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja cepat
lebih dipilihuntuk pengobatan eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dapat
meningkatkan fungsi paru FEV1 dan menurunkan resiko kekambuhan
awal, kegagalan terapi dan lama dirumah sakit. Dosis sebesar 30-40 mg
prednisolone setiap hari selama 10-14 hari direkomendasikan. Pemberian
antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala jantung:
peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, peningkatan
purulence dari sputum, peningkatan purulence dari sputum dan gejala
kardinal lain, dan membutuhkan ventilasi mekanikal.

25
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah disajikan pada bab
sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat kami ambil yakni Perawatan
paliatif adalah perawatan yang tepat dilakukan secara aktif pada penderita
yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang
dideritanya. Pasien yang sudah tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif
yang disebabkan oleh keganasan ginekologis. Perawatan paliatif ini sangat
tepat karena berfokus pada penderita dan keluarga dalam mengoptimalkan
kualitas hidup dengan cara mengantisipasi, mencegah, dan menghilangkan
penderitaan. Kebutuhan pasien pada stadium lanjut tidak hanya dalam
pemenuhan/ pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan
terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan
melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak
mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.
Pada pasien dengan penyakit gagal jantung cenderung merasa frustasi
karena pasien merasa stress akan ancaman kematian. Jika tidak ditangani dan
berlangsung terus menerus dapat menyebabkan distress spiritual yang
membuat pasien kehilangan kekuatan dan harapan hidup. Untuk mengatasi
hal ini, maka diperlukanlah intervensi kebutuhan spiritual yang tepat oleh
perawat sesuai kebutuhan setiap pasien. Kondisi spiritual sangat dibutuhkan
terutama pada kondisi kedamaian, kasih sayang, keagamaan dan keberadaan
akan adanya tuhan.
Pada pasien gagal ginjal kronik yang telah terdiagnosa dalam kondisi
terminal umumnya akan merasakan distress emosional yang sangat berat
antara lain : syok, cemas, distress dan depresi. Pasien yang mengalami
distress yaitu pengalaman emosional, psikologis, sosial ataupun spiritual yang
tidak menyenangkan akan mempengaruhi kemampuan adaptasi atau koping

26
pasien terhadap pengobatan. Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukanlah
intervensi kebutuhan emosional, psikologis, sosial dan spiritual yang tepat
oleh perawat sesuai kebutuhan setiap pasien.
Pasien dengan obstruktif paru yang berat biasanya mengalami isolasi
sosial, ketidakmampuan secara fisik dan mengalami penurunan kualitas
hidup. Intervensi yang dilakukan berupa tindakan terapi inhalasi, supportif
dan paliatif. Tindakan tersebut adalah pemberian fisioterapi dada, pemberian
nafas dalam dan batuk efektif kepada pasien, dan yang terakhir dilakukan
terapi nebulizer.

B. Saran
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pada
akhir penulisan ini diusulkan beberapa saran yang diharapkan akan berguna
bagi yang membacanya berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan.
Adapun saran-saran yang ingin diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Bagi pengelola pelayanan kesehatan
Untuk pengelola pelayanan kesehatan, diharapkan senantiasa
mengadakan atau mengikutsertakan perawat dalam pelatihan, seminar,
diskusi, ataupun work shop tentang perawatan paliatif secara rutin untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat sehingga dapat
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan khususnya perawatan
paliatif.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Menjadikan bahan pembelajaran sebagai materi perkuliahan
khusus mengenai perawatan paliatif untuk menambah keterampilan
perawat kedepannya dalam memberikan pelayanan perawatan paliatif
dengan memperhatikan kebutuhan khusus pada klien.
3. Bagi penulis selanjutnya
Disarankan untuk penulis selanjutnya melakukan penelitian dengan
melibatkan semua faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat

27
dalam memberikan perawatan paliatif dan mungkin dengan metode yang
berbeda dan dengan jumlah responden yang lebih besar.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, N. K. (2018). Rumah Singgah Dalam Perawatan Paliatif. Bali.

Ilmi, N. (2016). Analisis Perilaku Perawat Dalam Perawatan Paliatif Pada


Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSI Faisal Makassar Dan RSUD Labuang
Baji Makassar. Makassar.

Munandar, A. (2016, September). Belajar1293. Retrieved from Blogspot.com:


http://ariefmunandar129.blogspot.com/2016/09/asuhan-keperawatan-
paliatif-care.html?m=1

Nurmayanti, Waluyo, A., Jumaiyah, W., & Azzam, R. (2019). Pengaruh


Fisioterapi Dada, Batuk Efektif Dan Nebulizer Terhadap Peningkatan
Saturasi Oksigen Dalam Darah Pada Pasien PPOK. Jurnal Keperawatan
Silampari Volume 3, Nomor 1, 363-364-369.

Ridha. (2013). Dyspneu Et Causa Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pada
Laki-Laki Kepala Keluarga Dengan Riwayat Merokok >25 Tahun Dan
Pengetahuan Yang Rendah. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
Medula, Volume 1, Nomor 2, 79-88.

Saman, A. A., & Kusuma, H. (2017). Gambaran Kebutuhan Spiritualitas Pasien


Gagal Jantung Din Instalasi Elang RSUP Kariadi Semarang. Jurnal
Program Studi Ilmu Keperawatan, Volume, Nomor Tahun 2017, 1-13.

Shatri, H., Faisal, E., Putranto, R., & Sampurna, B. (2020). Advanced Directives
Pada Perawatan Paliatif Advanced Directives In Palliative Care. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia Vol. 7, No. 2, 125-132.

Wahyuni, S., Shadiyanto, A., Alawiyah, Y., Apriliani, W., Farhan, M. A., &
Triana, H. (2018, Mei). Scribd. Retrieved from scribd.com:
https://www.scribd.com/document/380746628/CHF-Palliative

29

Anda mungkin juga menyukai