Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ALZHEIMER DISEASE

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Kota
Banda Aceh

Disusun Oleh:

Muhammad Arkan Pasya

(21174030)

Pembimbing:

dr. Cut Diana Maya Th,M.Ked(Neu), Sp.S

SMF ILMU SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA


RUMAH SAKIT SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA KOTA BANDA ACEH

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya, akhirnya Kami dapat menyelesaikan Referat ini tepat pada waktunya
dan sebaik-sebaiknya dalam rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Saraf RSUD meuraxa dengan judul “ALZHEIMER DISEASE” Dalam penyusun
Referat ini, saya mendapat banyak masukan, bantuan dan juga bimbingan serta pengarahan dari
berbagai pihak baik dalam bentuk moril serta materil. Untuk itu dalam kesempatan ini Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Cut Diana Maya
Th,M.Ked(Neu), Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan kepada
saya selama penulis melaksanakan KKS di Bagian Ilmu Saraf RSUD Meuraxa Kota Banda
Aceh. Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan Ilmu Kedokteran khususnya. Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari
sempurna, adapun Kami menerima kritikan saran berupa lisan maupun tulisan selama
membangun.

Banda Aceh, 24 Desember 2022

Penyusun

Muhammad Arkan Pasya, S.ked

21174030

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4

2.1 Definisi ........................................................................................................................ 4

2.2 Epidemiologi................................................................................................................. 4

2.3 Etiologi ......................................................................................................................... 6

2.4 Patogenesis ................................................................................................................... 6

2.5 Gejala Klinis ................................................................................................................. 6

2.6 Diagnosis....................................................................................................................... 13

2.7 Penatalaksanaan............................................................................................................. 22

2.8 Prognosis ...................................................................................................................... 26

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 13

BAB V KESIMPULAN .................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 28

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta
makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat,pada populasi di atas umur 65 tahun,persentase orang
dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai,jumlah pasien
dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi
13,2 juta orang pada tahun 2050.1
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu
pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada
awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal
yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,penurunan fungsi kognitif terus akan
berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh
pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan
deteksi dini terhadap munculnya demensia,karena ternyata berbagai penelitian telah
menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat
dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar
tidak jatuh pada keadaan demensia.1
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi kognitif
dan demensia awal,dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran yang besar dalam
deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan.
Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi,diabetes melitus,strok,riwayat
keluarga,dan lain-lain) berhubungan dnegan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada
sebagian orang usia lanjut,maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan

1
upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu,bila ditemukan
gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat
memperburuk fungsi kognitif pasien maka seprah dokter dapat merencanakan berbagai upaya
untuk memodifikasinya,baik secara farmakologis maupun non-farmakologis.1
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50-60%) dan kedua oleh
cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia terutama penderita alzheimer pada
abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi
seperti di Amerika dengan insidensi demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita
Alzheimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima.2
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan
neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51
tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali
ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi
dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara
mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi
neurofibrillary.2

Gbr 1. Otak Sehat dan Otak Atrofi Gbr 2. Mikroskopis bagian kortikal otak mengalami
neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai
populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan
menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi dan kesehatan, sehingga aka semakin
2
banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya
sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota
keluarga.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia. Dimana demensia
adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak yang
tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus
mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian,
kepribadian, bahasa, praksis dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga
mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.3

2.2 Epidemiologi
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi
2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early
onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late
onset. Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40
tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur:
4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi
penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada
kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000
terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan
jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit
alzheimer belum diketahui dengan pasti.4
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki.
Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari
beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin. Faktor-faktor risiko lain yang
dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah
hiperetensi,diabetes melitus,dislipidemia,serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis
dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1 Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer
pada kromosom 21,koromosim 14,dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien
dengan penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari
Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini mengindikasikan adanya faktor
genetik yang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada

4
anggota keluarga tingkat pertama mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit
Alzheimer,walaupun sebagaian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif.
Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensianamun munculnya alel ini
merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit Alzheimer.4

Gbr. 3 Penyakit Alzheimer

2.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan yang
sedang diteliti (APoE atau β Secretase). Berdasarkan hasil riset, menunjukan adanya hubungan
antara kelainan neurotransmitter dan enzim-enzim yang memetabolisme neurotransmitter
5
tersebut. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan
daya ingat secara progresif.4 Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat
berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi
yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi,
adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus
faktor genetika. Faktor risiko terjadinya penyakit Alzheimer diantaranya yaitu usia lebih dari 65
tahun, faktor keluarga dan abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (APoE) terutama pada ras
kaukasian.4

2.4 Patogenesis
Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan
terutama saraf kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbik otak
(terlibat dalam emosi) dan kortek (Memori dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim
kolinesterasi di korteks serebral dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetilkolin
di otak. Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan neurofibrillary
tangles, yang terpusat pada daerah yang sama di mana terjadi defisit kolinergik sehingga plak
tersebut berisi deposit protein yang disebut ß-amyloid. Amyloid adalah istilah umum untuk
fragment protein yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid adalah fragment protein
yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid precursor protein (APP), yang dikatalisis
oleh β-secretase. Pada otak orang sehat, fragmen protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.5

6
Sejumlah patogenesis penyakit alzheimer yaitu:5
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan
melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga
penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita
7
alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio
proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada
kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen
kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), ssenile
plaque dan penurunan. Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan
kelainan histopatolgi pada penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit alzheimer
terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah
dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyakit
alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan
kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor
lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.

2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita
alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya
antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat
yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-
Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.5
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform

3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon,
mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal

8
tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah
penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada
penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen,
fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino
glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga
kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.5

4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha
protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan
terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita
tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan
pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.5

5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan
trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik,
dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.5

6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai
peranan yang sangat penting seperti:5
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita
alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan
transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan
postsynaptic kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior,
nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan
yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer,

9
dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan
berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik
sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.5
b. Noradrenalin
Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan
otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang
merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan
defisit kortikal noradrenergik. Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi
jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Palmer et al (1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi
noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.5
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter
region hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada
penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.5
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-
indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga
didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio
hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus
sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan
diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis.5

e. MAO (Monoamine Oksidase)


Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas
normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin
dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin.
Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan
10
frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus
basalis dari meynert.5

2.5 Gejala Klinik


Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara progresif
yang mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi penurunan ingatan jangka pendek atau
kemampuan belajar atau menyimpan informasi, penurunan kemampuan berbahasa, kesulitan
menemukan kata atau kesulitan memahami pertanyaan atau petunjuk, ketidakmampuan
menggambar atau mengenal gambar dua-tiga dimensi, dan lain-lain.6

Kategori Gejala pada Alzheimer

Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan - lahan, sehingga pasien
dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat
beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:6

 Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)


 Memory: new learning defective, remote recall mildly impaired
 Visuospatial skills: topographic disorientation, poor complex contructions
 Language: poor woordlist generation, anomia
 Personality: indifference occasional irritability
 Psychiatry feature: sadness, or delution in some
 Motor system: normal

11
 EEG: normal
 CT/MRI: normal
 PET/SPECT: bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion

 Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)


 Memory: recent and remote recall more severely impaired
 Visuospatial skills: spatial disorientation, poor contructions
 Language: fluent aphasia
 Calculation: acalculation
 Personality: indifference, irritability
 Psychiatry feature: delution in some
 Motor system: restlessness, pacing
 EEG: slow background rhythm
 CT/MRI: normal or ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT: bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

 Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)


 Intelectual function: severely deteriorated
 Motor system: limb rigidity and flexion poeture
 Sphincter control: urinary and fecal
 EEG: diffusely slow
 CT/MRI: ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT: bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

12
Gbr. 4 Penyakit Alzheimer

2.6 Diagnosa
Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis
penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related
Disorders Association (ADRDA).7
a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang
berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir
75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat
meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan kata,atau
mengemudi. Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau obsesi terhadap
makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada
13
pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang
terjadi adalah penyakit Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.7
Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan anamnesis harus diarahkan pula
pada berbagai fator risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi susunan saraf pusat akibat
sifilis,konsumsi alkohol berlebihan,intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,serta
penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus
selalu menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat
kecenderungan familial.7
b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada
tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus,
atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body
(DLB), atau demensia multi-infark.7
c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif
adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk memantau
perjalanan penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori
episodik,category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),dan
kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering
merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer,dan tugas
yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah
jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.7
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak
kelainan terhadap memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan.
Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur
pendekatan terapi dengan keluarga.7

14
15
Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:


- Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test Blessed Dementia Scale atau pemeriksaan sejenis dan dikonfirmasi oleh
tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara umur 40 dan 90 umunya setelah umur 65 tahun
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia apraksia dan agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG seperti peningkatan atktivitas
slow-wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi,
halusinasi verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut,
eperti peningkatan tonus otot, mioklunus, dan gangguan melangkah
- Kejang pada penyakit yang lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
- Onset yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang
pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit dan kehang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis
psikiatrik, atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia, dan adandya variasi
pada awitan, gejala klinis atau perjalanan penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab
demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
16
khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi-21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

d. Pemeriksaan Penunjang
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat
otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi
lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).7
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang
berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks,
hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang
otak.

Gbr. 5 Neurofibrillary tangles pada penyakit Alzheimer

NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula,
down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy.
Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.7

17
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi
filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid
prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21.
Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks
piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik,
korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer.8
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan
kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.8
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada
neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus,
amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia
nigra.8
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel
noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe
dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam
pengobatan penyakit alzheimer.8

d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP
perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula.
Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus,
serebelum dan batang otak.8

e. Lewy body

18
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal,
gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis,
temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas
yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit
parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.8

2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif
umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga
bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan
pengertian berbahasa.9
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi Alzheimer yang
penting karena:
a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dgn demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei Alzheimer, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)
menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat
batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri
dari:9
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory

19
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada Alzheim

3. CT Scan dan MRI


Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal
menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan
yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada
demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger sehingga kita sukar untuk
membedakan dengan penyakit Alzheimer.9

Gbr. 6 CT – Brain Normal dan Alzheimer

Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan


beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan
20
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn
pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal
seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan
fissura sylvii.9 Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia
dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi)
dari hipokampus.

4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang
non spesifik.9

5. PET (Positron Emission Tomography)


Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada
regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu
dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.9

6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)


Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan
ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.9

7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia
lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan
hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara
selektif.9

2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
21
memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan
E belum mempunyai efek yang menguntungkan.10

Gbr.7 Pengobatan Alzheimer

1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar
asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase
seperti:10
 Takrin: Dosis10-40 mg kapsul
Efek samping: Mual, muntah, diare, nyeri lambung, kehilangan nafsu makan, hilangnya
koordinasi, anoraksia dan ataksia.
 Donepezil: 5 dan 10 mg tablet diberikan sekali sehari menjelang tidur
Keunggulan donepezil dibandingkan takrin:
 Efek samping lebih ringan
 Donepezil dapat diberikan sekali sehari
 Takrin menyebabkan kenaikan enzim hepar
 Rivastigmin: Dosis 6-12 mg/hari

22
Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian
berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan
memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.

2. Antagonis Reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat)

 Bekerja pada sistem glutamatergic dengan memblokir reseptor NMDA.

 Glutamat adalah rangsang yang berguna neurotransmiter dari sistem saraf


meskipun jumlah yang berlebihan di otak dapat menyebabkan sel mati melalui
suatu proses yang disebut excitotoxicity yang terdiri dari overstimulation dari
glutamat reseptor.10

23
Terapi Simptomatik
 Penderita sering disertai gejala depresi seperti : gelisah,pelupa dan
insomniaàAntidepresan (SSRI,TCA)
 InsomniaàPerlu hipnotik atau antidepresan yang bersifat sedatif.

24
2.8 Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai
prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:11.12
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi
prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan
hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi
sekunder.

25
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala - gejala klinik tanpa
dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, neuropsikologis, MRI, SPECT,
PET. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat
menentukan (riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi
genetik. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya dilakukan
secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenangkan penderita atau keluarganya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy, John Basic Neurology, Mc Graw Hill. USA, 2017 Hauser,Stephen,L (ed).
Harrison’s, Neurology in Clinical Medicine . Mc Graw Hill, Philadelphia, [Accesed On
Desember 22]
2. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2017. Hal 11- 16 [Accesed On Desember 22]
3. Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93
[Accesed On Desember 22]
4. Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in population
survey. Arc.Neurol. 2016 (49):927-932. [Accesed On Desember 22]
5. Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 2017 (49):
S11-S13. [Accesed On Desember 22]
6. Michael Gold. Plasma and red blood a cell thiamin defisiency in patiens with dementia
of type alzheimer disease. Arc Neurol. 2018 (52):1081-1086. [Accesed On Desember 22]
7. Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill, 2018:765-77.
[Accesed On Desember 22]
27
8. Bird TD, Miller BL Alzheimer’s disease and other dementias. Dalam: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, penyunting. Harrison’s Principles of
Internal Medicine, Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division;2017. h.2393-406 [Accesed On Desember 22]
9. Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2018;351: 56-67. [Accesed On
Desember 22]
10. Rochmach W, Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S,
penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.h
.1374-8. [Accesed On Desember 22]
11. http://www.emedicine.com/EMERG/topic 163.htm. [Accesed On Desember 22]
12. http://www.emedicine.com/alzheimer/topic. [Accesed On Desember 22]

28

Anda mungkin juga menyukai