Anda di halaman 1dari 55

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE + NON ST ELEVASI MIOKARD


INFARK (NSTEMI)

Oleh:
Chairunissa Alya Ananda, S. Ked
712020035

Pembimbing
dr. Yudi Fadillah, Sp.PD-KKV., FINASIM, MARS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul

CONGESTIVE HEART FAILURE +


NON ST ELEVASI MIOKARD INFARK (NSTEMI)

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Chairunissa Alya Ananda, S. Ked
NIM 712020035

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang

Palembang, Juli 2023


Dosen Pembimbing

dr. Yudi Fadillah, Sp.PD-KKV., FINASIM, MARS,

2
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Congestive Heart Failure + Non ST
Elevasi Miokard Infark” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. dr. Yudi Fadillah, Sp.PD-KKV., FINASIM, MARS, selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan, serta
bimbingan selama penyusunan laporan kasus ini.
2. Orang tua yang telah banyak membantu dengan doa yang tulus dan memberikan
bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi, dan perawat bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Juli 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi Pasien............................................................... 8
2.2. Anamnesis........................................................................... 8
2.3. Pemeriksaan Fisik................................................................ 10
2.4. Pemeriksaan Penunjang...................................................... 14
2.5. Resume ………………………………………………….. 16
2.6. Diagnosis Banding.............................................................. 18
2.7. Diagnosis Kerja................................................................... 18
2.8. Penatalaksanaan.................................................................. 18
2.9. Prognosis............................................................................. 18
2.10. Follow up............................................................................ 18
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Gagal Jantung………… ...................................................... 22
3.2 ST Elevation Miocardium Infarction................................... 47
BAB IV. ANALISA KASUS
4.1 Analisa Kasus..................................................................... 56
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan.......................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….............. 63

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Gagal jantung merupakan abnormalitas struktur jantung atau
fungsi jantung yang menyebabkan jantung gagal untuk mendistribusikan oksigen
ke seluruh tubuh.1
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai sesak nafas dan fatik (saat
istirahat atau aktivitas) yang disebabkan kelainan struktur atau fungsi jantung.
Gagal jantung juga sering diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan
penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) dan gangguan fungsi diastolik saja namun
fungsi sistolik (fraksi ejeksi) yang normal, yang selanjutnya akan disebut sebagai
Heart Failure with Reduced Ejection Fraction (HFREF) dan Heart Failure with
Preserved Ejection Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga
akan berlanjut dan menimbulkan sindrom klinis gagal jantung.1
World Health Organization (WHO) menggambarkan bahwa meningkatnya
jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk Asia diakibatkan oleh
meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia, dan diabetes. Angka
kejadian gagal jantung meningkat juga seiring dengan bertambahnya usia.
Menurut studi yang dilakukan Framingham, insiden tahunan pada laki–laki
dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat dari 3 pada usia 50 - 59
tahun menjadi 27 pada usia 80 – 89 tahun, sementara wanita memiliki insiden
gagal jantung yang relatif lebih rendah dibanding pada laki–laki (wanita sepertiga
lebih rendah). Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Prevalensi dari gagal jantung sendiri semakin meningkat karena pasien yang
mengalami kerusakan jantung yang bersifat akut dapat berlanjut menjadi gagal
jantung kronik.1
Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks
dimana seseorang memiliki gejala khas gagal jantung (sesak nafas saat istirahat

5
atau aktivitas, kelelahan, edema tungkai), tanda khas gagal jantung (takikardia,
takipnu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema
perifer, hepatomegali) dan tanda objektif gangguan struktur atau fungsional
jantung saat istirahat, kardiomegali, suara jantung tiga, murmur jantung,
abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida
natriuretik.1
Secara garis besar penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam
enam kategori utama: (1) abnormalitas miokardium misalnya infark miokard,
gangguan kontraksi (blok left bundle branch), lemahnya kontraksi (kardiomiopati,
kardiotoksisitas), disorientasi sel (hipertrofi kardiomiopati); (2) kegagalan terkait
beban kerja jantung yang berlebihan (hipertensi atau stenosis aorta); (3) kegagalan
terkait abnormalitas katup; (4) gangguan ritme jantung (aritmia); (5) abnormalitas
perikardium (tamponade jantung); dan (6) kelainan kongenital jantung.
Dikarenakan bentuk penyakit jantung apapun dapat mengakibatkan gagal jantung,
maka tidak ada mekanisme tunggal yang menyebabkan gagal jantung itu sendiri.2
Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab yang dominan pada 60-
75% pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita di negara-negara industri.
Hipertensi memberi kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada
75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi
memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada diabetes mellitus.2
Pengobatan untuk pasien gagal jantung secara garis besar dibagi menjadi
terapi farmakologik dan terapi non-farmakologik. Terapi farmakologik meliputi
obat-obatan diuretik, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACE Inhibitor),
beta blocker, aldosteront/mineralocorticoid antagonist, Angiotensin Receptor
Blocker (ARB), ivabradine untuk memperlambat heart rate, digoksin, serta
kombinasi hydralazine dan isosorbide dinitrate (ISDN). Sedangkan untuk terapi
non-farmakologik meliputi pemasangan Implantable Cardioverter Defibrillator
(ICD) pada gagal jantung simptomatis NYHA kelas II-III dengan FE ≤35%
meskipun mendapat terapi farmakologi optimal selama ≥3 bulan, untuk mencegah
kematian mendadak dan Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) bila
didapatkan pemanjangan gelombang QRS ≥150 ms.2

6
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Congestive Heart Failure + Non ST Elevasi Miokard infark secara
menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan kasus Congestive Heart Failure + Non ST Elevasi Miokard infark
dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Congestive Heart Failure +
Non ST Elevasi Miokard infark, terkait pada kegiatan kepaniteraan.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang kasus Congestive Heart Failure + Non ST Elevasi Miokard infark.

1.3.2 Manfaat Praktis


Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang Congestive Heart Failure + Non ST
Elevasi Miokard infark.

7
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama lengkap : Ny. R
Tanggal lahir/umur : 09 Maret 1964 / 59 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : IRT
Alamat : Lr. Depok talang bubuk, Plaju
Tanggal masuk Rumah Sakit : 13 Juli 2023
Tanggal Pemeriksaan : 14 Juli 2023
Dokter Pemeriksa : dr. Yudi Fadillah, Sp.PD-KKV.,
FINASIM, MARS
No. Reg. RS : 68.41.81

1.1. Anamnesis
Keluhan Utama:
Os datang dengan keluhan sesak nafas yang semakin lama semakin
memberat sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke IGD RS Muhammadiyah Palembang karena keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak hilang timbul, timbul pada saat pasien beraktivitas dirumah seperti
memasak dan menyapu. Pasien merasa sesaknya berkurang dan merasa
lebih nyaman jika berbaring dengan menggunakan bantal dengan posisi
tinggi atau dalam posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi debu, asap, maupun
cuaca, dan tidak disertai dengan suara mengi. Keluhan sesak disertai dengan
batuk yang sering dialami di malam hari. Batuk yang dialami batuk
berdahak berawarna putih kental. Pasien juga mengeluh lemas dan lesu
seluruh tubuh namun tidak mengalami kelemahan tungkai kaki dan tangan.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Keluhan bengkak pada

8
kaki dan wajah sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dada disangkal. Demam,
pilek, mual, muntah, dan nyeri kepala disangkal. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit jantung sejak 4 tahun
yang lalu, tetapi pasien rutin kontrol dan minum obat. Riwayat penyakit
hipertensi (+) sejak 4 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa pasien ada
riwayat TBC pada tahun 2017 tetapi pasien sudah dinyatakan sembuh
dengan pengobatan 6 bulan. Riwayat penyakit Asma (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hipertensi : ada (+) 4 tahun yang lalu
Riwayat penyakit hipotensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : ada (+) 4 tahun yang lalu
Riwayat stroke : disangkal
Riawayat pendarahan saluran cerna : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat Kebiasaan
Tidak terdapat kebiasaan merokok, konsumsi kopi, dan konsumsi jamu

1.2. Pemeriksaan fisik


Dilakukan pada tanggal 14 juli 2023

9
Keadaan Umum:
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 120/90 mmHg
- Nadi : 90 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 34 x/ menit, tipe thorakoabdominal
- Temperature : 36,5oC
- Berat Badan : 45 kg
- Tinggi Badan : 150 cm

Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normocepali
- Rambut : Sebagian beruban, tidak rontok, tidak
mudah dicabut
- Wajah : Simetris, Pucat (-)
2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Kornea : Jernih
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), isokor
- Gerakan : Baik ke segala arah
- Lapang Pandang : Luas
3. Pemeriksaan Telinga:
- Liang telinga : Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (-)

10
4. Pemeriksaan Hidung:
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)
- Septum deviasi : (-)
5. Pemeriksaan Mulut dan Tengorokan:
- Bibir : Sianosis (-)
- Gusi : Hiperemis (-)
- Lidah : Kotor (-) atrofi papil (-)
- Tonsil : T1-T1 Tenang
- Faring : Hiperemis (-)
6. Pemeriksaan Leher:
- Inspeksi : Simetris, benjolan (-), lesi pada kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB (-)
- JVP : 5-2 cm H2O
7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : (-)
- Ikterik : (-)
- Petechie : (-)
- Sianosis : (-)
- Pucat pada telapak tangan dan kaki : (-)
- Turgor : CRT < 2 detik
- Oedem : (-)
8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Statis Dinamis Simetris
Statis  Kanan sama dengan kiri
Dinamis  Tidak ada yang tertinggal
Sela iga melebar (-), retraksi intercostae (-), venektasi(-)

11
Palpasi : Stem fremitus menurun pada paru kiri, benjolan (-)
Perkusi : Sonor pada paru kanan, redup pada paru kiri ICS 4
Auskultasi : Vesikuler menurun pada paru kiri, Ronkhi kasar pada paru
kiri (+) Wheezing (-)

Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Simetris, Statis Dinamis
Palpasi : Stem fremitus menurun pada paru kiri, benjolan (-)
Perkusi : Sonor pada paru kanan, redup pada paru kiri ICS 4
Auskultasi : Vesikuler menurun pada paru kiri, Ronkhi kasar pada paru
kiri (+) Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : HR 90 x/menit, BJ1=BJ2 normal reguler
Murmur (-), Gallop (-)
9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), spider nevi (-),
Benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
massa (-), ballotement (-)
Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

10. Pemeriksaan Genitalia:


Tidak diperiksa

12
11. Ekstremitas:
Lengan Kiri Kanan
- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi

Tungkai dan kaki Kiri Kanan


- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi

Reflek Fisiologis Kiri Kanan


- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Patella Normal Normal
- Achilles Normal Normal

Reflek Patologis Kiri Kanan


- Babynski Negatif
Negatif
- Oppenheim Negatif
Negatif
- Gordon Negatif
Negatif
- Schaeffer Negatif
Negatif
- Rossolimo Negatif
Negatif

13
1.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rontgen thorax (Tanggal 13 Juli 2023)

Pada pemeriksaan foto thorax PA didapatkan :


- Batas kiri jantung tertutup perselubungan
- Corakan bronkovaskular normal
- Tak tampak infiltrat
- Diafragma kanan dan kiri licin
- Tulang tulang intak
- Soft tissue baik
- Efusi pleura kanan minimal
- Efusi pleura kiri masif
- Trachea deviasi ke kiri

14
Kesan :
- Efusi pleura kanan minimal
- Efusi pleura kiri masif
- Trachea deviasi ke kiri

2. Pemeriksaan EKG (Tanggal 13 Juli 2023)

Interpretasi EKG:
- Irama sinus
- HR: 90x/menit
- Axis normal
- Gelombang P normal
- Interval PR normal
- Kompleks QRS normal
- Gelombang T inversi di V1-V5
Kesan: NSTEMI dengan iskemik anteroseptal

15
4. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 13 Juli 2023)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Kesan
Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 11,1 g/dl 14.0 – 18.0 Menurun
Hematokrit 35,6 % 42.0 – 52.0 Menurun
Jumlah Trombosit 330 10^3/ul 150 – 440 Normal
Jumlah Leukosit 7,8 10^3/ul 4.2 – 11.0 Normal
Hitung Jenis
Eosinofil 0,0 % 1–3 Menurun
Basofil 0,5 % 0–1 Normal
Neutrofil 77,9 % 40.0 – 60.0 Meningkat
Limfosit 13,3 % 20.0 – 50.0 Menurun
Monosit 8,3 % 2–8 Meningkat
Ratio N/L 5,9 <3.13 Meningkat
Laju Endap Darah
LED 1 jam 3 mm/jam 2-8 Normal
Kimia Klinik
Natrium 134 mEq/L 132-145 Normal
Kalium 5,5 mEq/L 3.5-5.5 Normal
Ureum 90 mg/dL 10-50 Meningkat
Kreatinin 1,5 mg/dl 0,60-1,50 Normal
Imunologi
Antigen SARS-CoV-2 Negatif

2.5 Resume
Pasien datang ke IGD RS Muhammadiyah Palembang karena keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak hilang timbul, timbul pada saat pasien beraktivitas dirumah seperti
memasak dan menyapu. Pasien merasa sesaknya berkurang dan merasa
lebih nyaman jika berbaring dengan menggunakan bantal dengan posisi
tinggi atau dalam posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi debu, asap, maupun
cuaca, dan tidak disertai dengan suara mengi. Keluhan sesak disertai dengan
batuk yang sering dialami di malam hari. Batuk yang dialami batuk

16
berdahak berawarna putih kental. Pasien juga mengeluh lemas dan lesu
seluruh tubuh namun tidak mengalami kelemahan tungkai kaki dan tangan.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Keluhan bengkak pada
kaki dan wajah sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dada disangkal. Demam,
pilek, mual, muntah, dan nyeri kepala disangkal. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit jantung sejak 4
tahun yang lalu, tetapi pasien rutin kontrol dan minum obat. Riwayat
penyakit hipertensi (+) sejak 4 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
pasien ada riwayat TBC pada tahun 2017 tetapi pasien sudah dinyatakan
sembuh dengan pengobatan 6 bulan. Riwayat penyakit Asma (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 120/90 mmHg, nadi :
90x/ menit, reguler, pernapasan : 34x/ menit, dan temperature: 36,5oC.
Pada palpasi stem fremitus menurun pada paru kiri, perkusi sonor pada
paru kanan, redup pada paru kiri ICS 4, auskultasi vesikuler menurun pada
paru kiri, Ronkhi kasar pada paru kiri (+).
Pemeriksaan laboraturium menunjukkan terjadinya penurunan
Hb:11,2 g/dl, penurunan Ht:35,6% peningkatan neutrofil 77,9 % dan
peningkatan kadar ureum:90 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG ditemukan
Irama sinus, HR: 90x/menit, Axis normal, Gelombang P diikuti QRS
normal, T inversi di lead V1-V5. Kesan: NSTEMI dengan Iskemik
Anteroseptal . Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan efusi
pleura kanan minimal, efusi pleura kiri masif, trachea deviasi ke kiri.

2.6 Diagnosis Banding


 CHF + NSTEMI
 HHD + NSTEMI
 CKD + NSTEMI

2.7 Diagnosis Kerja


CHF + NSTEMI

17
2.8 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Terapi gizi (hindari makanan tinggi kolestrol, diet rendah garam, dan
rendah karbohidrat).

b. Farmakologis
1) IVFD RL gtt 20 x/menit
2) Inj. Furosemid 1x1 amp
3) Acetylcysteine 3 x 200mg
4) Aspilet 1 x 80mg tab
5) Amlodipine 1 x 5mg tab
6) Spironolactone 1 x 2,5mg

2.9 Rencana Pemeriksaan Khusus


a) Pemeriksaan enzim jantung
b) Cek EKG ulang
c) Echocardiograpy

2.10 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
2.11 Follow Up
Tanggal Catatan Terapi
14 Juli S: Pasien mengeluh sesak (+) P:
2023
O: KU tampak sakit sedang, TD 110/70 - IVFD RL gtt 20 x/menit
mmHg, Nadi 96x/menit, RR 28 x/menit, - Inj. Furosemid 1x1 amp
Suhu 36,7 ºC. - Acetylcysteine 3 x 200mg
- Aspilet 1 x 80mg tab
Pulmo: Pada palpasi stem fremitus menurun
- Amlodipine 1 x 5mg tab
pada paru kiri, perkusi sonor pada paru
- Spironolactone 1 x 2,5mg
kanan, redup pada paru kiri ICS 4,

18
auskultasi vesikuler menurun pada paru kiri,
Ronkhi kasar pada paru kiri (+) Rencana pemeriksaan :
- Enzim jantung
A: CHF + NSTEMI - EKG ulang
- Echocardiograpy

Tanggal Catatan Terapi


15 Juli S: Pasien mengeluh sesak (+) P:
2023
O: KU tampak sakit sedang, TD 120/80 - IVFD RL gtt 20 x/menit
mmHg, Nadi 98x/menit, RR 26 x/menit, - Inj. Furosemid 1x1 amp
Suhu 36,5 ºC. - Acetylcysteine 3 x 200mg
- Aspilet 1 x 80mg tab
Pulmo: Pada palpasi stem fremitus menurun
- Amlodipine 1 x 5mg tab
pada paru kiri, perkusi sonor pada paru
- Spironolactone 1 x 2,5mg
kanan, redup pada paru kiri ICS 4,
auskultasi vesikuler menurun pada paru kiri,
Rencana pemeriksaan :
Ronkhi kasar pada paru kiri (+)
- Enzim jantung
- EKG ulang
A: CHF + NSTEMI
- Echocardiograpy

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gagal Jantung


3.1.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan abnormalitas struktur jantung atau fungsi
jantung yang menyebabkan jantung gagal untuk mendistribusikan oksigen
ke seluruh tubuh. Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai sesak
nafas dan fatik (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan kelainan
struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung juga sering diklasifikasikan
sebagai gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) dan
gangguan fungsi diastolik saja namun fungsi sistolik (fraksi ejeksi) yang
normal, yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with Reduced
Ejection Fraction (HFREF) dan Heart Failure with Preserved Ejection
Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga akan berlanjut
dan menimbulkan sindrom klinis gagal jantung.1
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Gagal jantung
kongestif adalah gagal jantung kanan dan kiri. Gagal jantung kanan terjadi
kelainan yang melemahkan pada ventrikel kanan seperti hipertensi pulmonal
primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena
sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali dan distensi vena
jugularis. Sedangkan pada gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan pada
ventrikel kiri, meningkatkan tekanan vena pulmonal dan paru menyebabkan
pasien sesak nafas dan ortopnea.6

20
1.1.1. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menggambarkan bahwa
meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk Asia
diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas,
dislipidemia, dan diabetes. Angka kejadian gagal jantung meningkat juga
seiring dengan bertambahnya usia. Menurut studi yang dilakukan
Framingham, insiden tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per
1000 kejadian) meningkat dari 3 pada usia 50 - 59 tahun menjadi 27 pada
usia 80 – 89 tahun, sementara wanita memiliki insiden gagal jantung yang
relatif lebih rendah dibanding pada laki–laki. Di Indonesia, usia pasien
gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai
dengan tampilan klinis yang lebih berat. Prevalensi dari gagal jantung
sendiri semakin meningkat karena pasien yang mengalami kerusakan
jantung yang bersifat akut dapat berlanjut menjadi gagal jantung kronik.1
Penelitian yang telah dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa risiko berkembangnya Congestive Heart Failure (CHF) adalah 20%
untuk usia ≥ 40 tahun dengan kejadian > 650.000 kasus baru yang diagnosis
Congestive Heart Failure (CHF) selama beberapa dekade terakhir. Kejadian
Congestive Heart Failure (CHF) meningkat dengan bertambahnya umur.
Tingkat kematian untuk Congestive Heart Failure (CHF) sekitar 50% dalam
kurun waktu lima tahun.7
Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan di
rumah sakit. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1-2%.
Di indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada
survei kesehatan nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada profil
Kesehatan Indonesia tahun 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada
di urutan kedelapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak
dirumah sakit Indonesia.6
Congestive Heart Failure (CHF) telah meningkat dan menjadi
peringkat pertama sebagai penyebab utama kematian di Indonesia.

21
Prevalensi Congestive Heart Failure (CHF) di Indonesia menurut Riskesdas
(2016) sebesar 0,3% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi
Congestive Heart Failure (CHF) di Nusa Tenggara Barat mencapai (0,4%)
untuk yang terdiagnosis dan (0,14%) untuk prevalensi gejala. Penyakit
Congestive Heart Failure (CHF) meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, tertinggi pada umur 65-74 tahun (0,5%) untuk yang terdiagnosis,
menurun sedikit pada umur ≥ 75 tahun (0,4%) tetapi untuk gejala tertinggi
pada umur ≥ 75 tahun (1,1%).7

1.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat dijabarkan melalui dua kategori yaitu
kelainan struktural jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan
kapasitas fungsional dari New York Heart Association (NYHA).1
Tabel 3.1 Klasifikasi Gagal Jantung.1

22
Berdasarkan American Heart Association klasifikasi dari gagal
jantung kongestif yaitu sebagai berikut:8
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai risiko
tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung
serta tanpa adanya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung
tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya
terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner,

23
diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan
adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan
tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya
ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada
ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada
jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah
terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek,
lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat
keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.
The New York Heart Association mengklasifikasikan gagal jantung
dalam empat kelas, meliputi:8
a. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan atau palpitasi.

b. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normal menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina
pektoris (mild CHF).
c. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja
mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).

24
d. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala
yang berat (severe CHF).
Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun
NYHA memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA
berfokus pada faktor risiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan
klasifikasi menurut NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala
yang ditimbulkan yang pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini
menentukan seberapa berat gagal jantung yang dialami oleh pasien.8
Berdasarkan Lokasi
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea.
Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema
perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan
biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.9
Berdasarkan Fungsi
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal
jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung
dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif. Kedua jenis ini
terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan fisis,
foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.9

25
Berdasarkan Volume Darah yang Dipompa
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.9

Berdasarkan Waktu
Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset)
dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal.
Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi
jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan
irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari preload atau
afterload. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru
dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronik. Klasifikasi gagal jantung akut
berdasarkan manifestasi klinis.9
a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive
heart failure). Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada
pasien yang telah diketahui gagal jantung yang sedang dalam
pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan sistemik.
b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with
hypertension/crisis hypertension). Tanda dan gejala gagal jantung
disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya fungsi ventrikel
kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis dengan
takikardi dan vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang
tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with
pulmonary edema). Pasien yang datang dengan distress pernafasan
berat, takipnoe, dan ortopnoe, dengan ronki basah halus seluruh
lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya < 90° pada udara
ruangan sebelum diterapi oksigen.

26
d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome).
Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah
dilakukan koreksi preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi
organ dan bendungan paru terjadi dengan cepat.
e. High output failure. Ditandai tingginya curah jantung, umumnya
disertai laju jantung yang sangat cepat (penyebabnya antara lain :
aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik), dengan
perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah yang
rendah seperti pada syok septik.
f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure). Ditandai oleh
sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral tanpa
disertai kongesti paru.
g. Sindrom koroner akut dan gagal jantung. Banyak pasien gagal
jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti laboratoris
sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner
akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut.

Gagal Jantung Kronik


Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan
gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat
nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis,
gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan
istirahat atau aktivitas, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung
dalam keadaan isrirahat.9

1.1.3. Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara
berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak. Sebagai pompa, jantung bekerja tergantung beberapa faktor tidak
hanya atas kemauan sendiri, sehingga dapat bekerja lebih optimal. Faktor-

27
faktor tersebut adalah denyut jantung (irama dan kecepatan/menit), beban
awal, beban akhir, dan kontraktilitas miokard.10
Dilihat dari besarnya curah jantung, maka gagal jantung bisa dibagi
dua, yaitu gagal jantung curah tinggi dan gagal jantung curah rendah. Pada
penderita-penderita penyakit anemia berat, hipertiroid, dan penyakit paget,
kondisi miokard sebenarnya normal. Jantung harus bekerja lebih kuat untuk
memberikan curah jantung jantung diperlukan tubuh (high out put stage)
karena kebutuhan metabolisme yang meningkat. Sehingga dalam keadaan
istirahat curah jantung penderita ini sudah lebih besar dari normal. Bila
beban metabolisme melampaui kemampuan fisiologi jantung, maka akan
timbul gagal jantung dan curah jantung tersebut masih tetap lebih besar dari
normal. Keadaan gagal jantung yang seperti ini yang disebut dengan gagal
jantung curah tinggi.10
Curah jantung dalam keadaan istirahat masih dirasa cukup oleh tubuh
pada gagal jantung yang ringan, walaupun sebenarnya masih lebih rendah
dari normal. Namun, curah jantung yang yang mula-mula meningkat sedikit
segera akan turun kembali pada keadaan aktivitas fisik, bahkan akan lebih
rendah dari saat istirahat karena ketidakmampuan jantung untuk menerima
beban tersebut. Keadaan gagal jantung yang seperti ini disebut dengan gagal
jantung curah rendah. Faktor risiko terjadinya gagal jantung yaitu: infeksi
pada paru, demam atau sepsis, anemia akut dan menahun, emboli paru,
stres, emosional, dan hipertensi tak terkendali.10

1.1.4. Patofisiologi
Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor-
faktor ini lalu merangasng timbulnya mekanisme kompensasi yang jika
berlebih dapat menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Gagal jantung
paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel
(gagal sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (gagal diastolik).
Penyebab gagal jantung diklasifikasikan ke 6 kategori yakni:10
1. Gagal terkait abnormalitas myokardium, bisa disebabkan oleh
hilangnya myocites (misal: MI), kontraksi tidak terkoordinsi
(misal: LBBB), tenaga kontraksi menurun (misal: kardiomiopati

28
atau kardiotoksisitas) atau sel-sel disorientasi (misal: kardiomiopati
hipertrofi);
2. Gagal terkait kerja eksternal yang berlebihan (misal: hipertensi atau
stenosis aorta);
3. Gagal terkait dengan katup yang abnormal;
4. Gagal oleh karena ritme kardiak yang abnormal (misal: takikardi
terus-menerus);
5. Gagal oleh karena perkardium abnormal atau efusi perikardial
(misal: tamponade); dan
6. Jantung cacat bawaan sejak lahir. Karena bentuk penyakit jantung
apapun bisa memicu gagal jantung, maka tidak ada mekanisme
penyebab yang tunggal.
Pada saat gagal jantung terjadi, tubuh melakukan proses-proses
perubahan yang terjadi mulai dari molekul, selular, dan struktural sebagai
respon cedera dan menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dn fungsi
yang disebut remodeling ventricle (left ventricle atau LV remodeling).
Terjadinya remodeling ventricle merupakan bagian dari mekanisme
kompensasi tubuh untuk memelihara tekanan arteri dan perfusi organ vital
jika terdapat beban hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas
miokardium, melalui mekanisme sebagai berikut:10
1. Mekanisme Frank-Starling dengan meningkatkan dilasi preload
(meningkatkan cross-bridge dalam sarkomer) sehingga
memperkuat kontraktilitas.
2. Hipertrofi ventrikel dengan peningkatan massa otot dengan atau
tanpa dilasi kamar jantung sehingga massa jaringan kontraktil
meningkat.
3. Aktivitas neurohormonal, terutama pelepasan norepinefrin
meningkatkan kontraktilitas miokardium, frekuensi denyut jantung,
dan resistensi vascular, aktivasi system renin-angiotensin-
aldosteron; dan pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP).
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan
jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya

29
untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti perubahan
sitoskeletal, apoptosis, sintesis, dan remodelling matriks ekstraseluler
(terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan
fungsional dan struktural. Jika mekanisme kompensasi tersebut gagal, maka
terjadi disfungsi kardiovaskular yang berakhir dengan gagal jantung
Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif
fungsi kontraktil miokardium yang sering muncul pada cedera iskemik,
overload tekanan, dan volume atau dilated cardiomyopathy.10
Penyebab spesifik tersering adalah penyakit jantung iskemik dan
hipertensi. Terkadang kegagalan terjadi karena ketidakmampuan kamar
jantung relaksasi, membesar, dan terisi dengan cukup selama diastol untuk
mengakmodasi volume darah ventrikel yang adekuat, yang dapat muncul
pada hipertrofi ventrikel kiri yang masif, fibrosis miokardium, deposisi
amiloid, dan perikarditis konstriktif. Apapun yang mendasari, gagal jantung
kongestif dikarakteristikkan dengan adanya penurunan curah jantung atau
aliran balik darah ke sistem vena atau keduanya.10

1.1.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis gagal jantung secara umum:
1. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang
paling umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh
peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru-paru
yang mengurangi kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan
aliran udara juga menimbulkan dispnea. Dispnea saat beraktivitas
menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri.11
2. Ortopnea, atau dispnea pada posisi berbaring, terutama disebabkan
oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di
bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorpsi dari cairan interstitial
dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular
paru-paru lebih lanjut.11
3. Dispnea nokturnal paroksismal (PND) atau mendadak terbangun
karena dispnea, dipicu oleh perkembangan edema paru-paru

30
interstitial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari
gagal jantung kiri daripada dispnea atau ortopnea.11
4. Batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-
paru, terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronki akibat
transudasi cairan paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung,
ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru sesuai
pengaruh gaya gravitasi.11
5. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial
sekunder dari distensi vena.

Gambar 3.3 Gejala dan Tanda Gagal Jantung.1

1.1.6. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klinis
menggunakan kriteria klasik Framingham bila terdapat paling sedikit satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.8
Tabel 2.2 Kriteria Gagal Jantung.8
Kriteria Mayor Kriteria Minor
- Paroksismal nokturnal dispnea - Edema ekstremitas

31
- Distensi vena leher - Batuk malam hari
- Ronkhi paru - Dispnea d’effort
- Kardiomegali - Hepatomegali
- Edema paru akut - Efusi pleura
- Gallop S3 - Penurunan kapasitas vital
- Peninggian tekanan vena 1/3 dari normal
jugularis - Takikardi (>120/menit)
- Refluks hepatojugular

Diagnosis gagal jantung bisa menjadi sulit, terutama pada fase


stadium dini. Walaupun gejala akan membawa pasien untuk mencari
pertolongan farmakologi, banyak dari gejala gagal jantung yang tidak
spesifik dan tidak membantu menyingkirkan dan membedakan antara gagal
jantung dan penyakit lainnya. Gejala yang lebih spesifik jarang sekali
bermanifestasi terutama pada pasien dengan gejala ringan, oleh karenanya,
gejala menjadi kurang sensitif sebagai landasan uji diagnostik. Uji
diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi rendah, sedangkan pada pasien dengan fraksi ejeksi normal, uji
diagnostik menjadi kurang sensitif. Ekokardiografi merupakan metode yang
paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.1
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal
jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung. Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%).1

32
Tabel 3.3 Abnormalitas EKG pada Gagal Jantung.1

Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung. Foto toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi
pleura, dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan

33
atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada
gagal jantung akut dan kronik.1

Tabel 3.4 Abnormalitas Foto Thorax pada Gagal Jantung.1

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung
adalah darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi
hepar, dan urinalisa. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai
gambaran klinis. Gangguan hematologi atau elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum

34
diberikan terapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi
menggunakan diuretik dan/ atau ACE-I (angiotensin converting enzyme
inhibitor), ARB (angiotensin receptor blocker), ARNI (angiotensin receptor
nephrilysin inhibitor), atau antagonis aldosteron.1

Peptida Natriuretik
Kadar plasma peptida natriuretik dapat digunakan untuk diagnosis,
membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien serta
mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami dekompensasi.
Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati
mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan
gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien
menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon
peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai
waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel
tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik. Kadar peptida
natriuretik yang tetap tinggi setelah terapi optimal merupakan indikasi
prognosis buruk.1
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinis disertai dengan dugaan sindrom koroner akut. Peningkatan
ringan kadar troponin kardiak sering terjadi pada gagal jantung berat atau
selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia
miokard.1
Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasonogragi jantung termasuk pulsed and continous wave Doppler, colour
Doppler dan tissue Doppler Imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal
jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi

35
adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan
gagal jantung. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria yaitu:1
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau sedikit terganggu (fraksi
ejeksi > 45 -50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal
/ kekakuan diastolik)
4. Peningkatan kadar peptide natriuretik

1.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tindakan pencegahan perburukan penyakit
jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit
jantung. Selain itu, penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan
pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular
yang menyertai.1
Nonfarmakologi
Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis
diuretik atas pertimbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).1
Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan)
dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai
hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan
sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb,
tingkatan bukti C).1
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan
bukti C).1
Farmakologi

36
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% kecuali ada kontraindikasi. ACE-I
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACE-I
terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu, ACE-I hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal. Indikasi pemberian ACE-I.1
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dengan atau tanpa gejala
2. Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal
jantung
Kontraindikasi pemberian ACE-I1
1. Riwayat angioedema
2. Stenosis renal bilateral
3. Stenosis aorta berat
4. Kadar kalium serum >5,5 mmol/L
5. Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)

Reseptor ß-Blocker
Kecuali terdapat kontraindikasi, ß-Blocker harus diberikan pada
semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤
40%. ß-Blocker memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
menurunkan mortalitas.1
Indikasi pemberian penyekat ß-Blocker:1
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dengan atau tanpa gejala gagal
jantung
2. Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal
jantung
3. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)

37
4. ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah
diberikan
5. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan
berat)
Kontraindikasi pemberian ß-Blocker:1
1. Asma berat
2. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit
(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia
Antagonis Aldosteron
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis
aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan
fraksi ejeksi ≤ 35% dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional
III-IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosteron dapat mengurangi frekuensi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup. Indikasi pemberian antagonis aldosteron.1
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
2. Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron.1
1. Konsentrasi serum kalium > 5,5 mmol/L
2. Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
3. Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
4. Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI
Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤40% yang tetap simptomatik walaupun sudah
diberikan ACE-I dan penyekat B dosis optimal, kecuali terdapat
kontraindikasi, dan juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap

38
ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB:1
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
2. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai
berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I
3. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
dan hipotensi simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit
menyebabkan batuk
4.
Kontraindikasi pemberian ARB:1
1. Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
2. Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan
3. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB
digunakan bersama ACE-I.

Tabel 3.5 Dosis Obat pada Gagal Jantung.1

39
Digoxin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoxin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat
lain seperti ß-Blocker lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung
simptomatik. digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak
mempunyai efek terhadap mortalitas (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti
B). Cara pemberian digoxin pada gagal jantung: 1
1. Dosis awal: 0,25 mg, 1x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis
diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari.

40
2. Periksa kadar digoxin dalam plasma segera saat terapi kronik.
Kadar terapi digoxin harus antara 0,6-1,2 ng/mL
3. Beberapa obat dapat menaikkan digoxin dalam darah (diltiazem,
amiodaron, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian
digoxin:
1. Blok sinoatrial dan blok AV
2. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
3. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan
melihat warna

Gambar 3.5 Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Digoxin.1

Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti B). Tujuan
dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien untuk menghindari dehidrasi atau retensi.Cara pemberian
diuretik pada gagal jantung:1
1. Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan
serum elektrolit
2. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong

41
3. Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan
thiazide karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada
diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk
mengatasi keadaan edema yang resisten

Gambar 3.6 Dosis Diuretik.1

3.2 Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)


3.2.1 Definisi
Unstable angina (UA) adalah angina pectoris setara dengan
ishemic discomfort dengan 1 diantara 3 kriteria: 1. Muncul saat
istirahat (atau Latihan ringan), biasanya berlangsung >10 menit, 2.
Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3. Muncul dengan
pola crescendo (lebih berat, panjang dan sering daripada sebelumnya).
Diagnosis NSTEMI atau Non ST Elevation Myocardial Infarction
ditegakan jika pasien dengan UA memiliki nekrosis miokard yang
terlihat pada peningkatan cardiomarkers.

42
NSTEMI atau Non ST Elevation Myocardial Infarction
merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan
seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ditandai adanya elevasi
segmen ST pada EKG. NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan.

Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen


ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
pseudo normalization, atau bahkan tanpa perubahan dan ditandai
dengan adanya peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim
digunakan adalah Troponin I/ T atau CKMB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST
Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI).

Gambaran EKG pada STEMI dan NSTEMI

3.2.2 Diagnosis
1) Anamnesis

43
• jika nyeri dada : lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium,
yang menjalar ke punggung leher, bahu kiri atau tangan kiri.

• Ciri khas nyeri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan


terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh atau tertekan.

• Sesak napas, epigastric discomfort.

2) Pemeriksaan Fisik

Jika iskemik miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit


dingin, sinus takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal
paru, terkadang ditemukan hipotensi8.

3) Pemeriksaan Penunjang

• EKG : depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau


inversi gelombang T à tampak pada 30-50% pasien

• Cardiac Biomarkers : CKMB dan troponin meningkat

• Stress Testing

• CT Angiography

3.2.3 Tatalaksana
• Tirah baring

• Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray (0,3-0,6 mg). jika telah
diberikan 3 dosis dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka
diberikan nitroglycerin intravena (5-10 g/menit), titer infus dapat
dinaikan 10 gram/menit setiap 3-5 menit sampai gejala hilang atau
tekanan darah sistol turun menjadi < 100 mmHg. Setelah 12-24 jam
bebas nyeri, ganti nitroglycerin IV dengan oral/ topical.

44
• Beta adrenergic bloker : metoprolol 4x25-50 mg po. Jika diperlukan
dan tidak ada gagal jantung dapat dinaikan bertahap 5 mg setiap 1-2
menit.

• Atorvastatin 20-80 mg

• Calcium channel blockers : verapamil atau diltiazem.


Direkomendasikan untuk pasien yang memiliki gejala persisten atau
rekuren setelah terapi beta blocker dan nitrat dosis penuh atau pada
pasien yang kontraindikasi ca channel blocker.

• Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor

• Morfin (bila diperlukan) ; 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5-30 menit

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RS Muhammadiyah Palembang karena keluhan


sesak nafas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak hilang timbul, timbul pada saat pasien beraktivitas dirumah seperti
memasak dan menyapu. Pasien merasa sesaknya berkurang dan merasa

45
lebih nyaman jika berbaring dengan menggunakan bantal dengan posisi
tinggi atau dalam posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi debu, asap, maupun
cuaca, dan tidak disertai dengan suara mengi. Keluhan sesak disertai dengan
batuk yang sering dialami di malam hari. Batuk yang dialami batuk
berdahak berawarna putih kental. Pasien juga mengeluh lemas dan lesu
seluruh tubuh namun tidak mengalami kelemahan tungkai kaki dan tangan.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Keluhan bengkak pada
kaki dan wajah sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dada disangkal. Demam,
pilek, mual, muntah, dan nyeri kepala disangkal. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit jantung sejak 4
tahun yang lalu, tetapi pasien rutin kontrol dan minum obat. Riwayat
penyakit hipertensi (+) sejak 4 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
pasien ada riwayat TBC pada tahun 2017 tetapi pasien sudah dinyatakan
sembuh dengan pengobatan 6 bulan. Riwayat penyakit Asma (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 120/90 mmHg, nadi :
90x/ menit, reguler, pernapasan : 34x/ menit, dan temperature: 36,5oC.
Pada palpasi stem fremitus menurun pada paru kiri, perkusi sonor pada
paru kanan, redup pada paru kiri ICS 4, auskultasi vesikuler menurun pada
paru kiri, Ronkhi kasar pada paru kiri (+).
Pemeriksaan laboraturium menunjukkan terjadinya penurunan
Hb:11,2 g/dl, penurunan Ht:35,6% peningkatan neutrofil 77,9 % dan
peningkatan kadar ureum:90 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG ditemukan
Irama sinus, HR: 90x/menit, Axis normal, Gelombang P diikuti QRS
normal, T inversi di lead V1-V5. Kesan: NSTEMI dengan Iskemik
Anteroseptal . Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan efusi
pleura kanan minimal, efusi pleura kiri masif, trachea deviasi ke kiri.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan sesak nafas saat
melakukan aktivitas fisik (dyspnea d’effort), Ronkhi paru, batuk (+) pada
malam hari, edema ekstremitas dan efusi pleura . Sehingga memenuhi gejala
gagal jantung kongesti. Berdasarkan kriteria Framingham, pasien ini sudah

46
memenuhi kriteria diagnosis gagal jantung yang ditegakkan minimal dengan
1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dimana pada pasien ini terdapat 1
kriteria mayor dan 4 kriteria minor.
Menurut American Heart Association (AHA), gagal jantung merupakan
sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan.
Berdasarkan hasil anamnesis, pada pasien didapatkan bahwa keluhan
utama yang membawa pasien datang ke IGD RSMP adalah sesak nafas.
Keluhan sesak dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari hati.
Hasil anamesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan khas
sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan
dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat
dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau pun
hati.
Menurut American family physician, sensasi sesak nafas subjektif atau
yang disebut dyspnea secara umum dapat disebabkan oleh adanya kelainan
pulmonar, kardiak, kardiopulmoner, dan non kardiopulmoner. Sesak nafas
pulmoner disebabkan oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi
dari dalam paru-paru, seperti pada kasus asma. Sesak nafas kardiak
disebabkan oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi dari
jantung misalnya pada kasus gagal jantung, sedangkan sesak nafas
kardiakpulmoner disebabkan oleh karena adanya gangguan pada paru-paru
maupun jantung seperti pada kasus penyakit paru obstruktif kronik dengan
hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Sesak nafas non kardiakpulmoner
berasal dari organ lain selain jantung dan paru-paru, seperti misalnya pada
kondisi asidosis pada kasus gagal ginjal.
Keluhan sesak napas saat beraktivitas (dyspnea d’effort) pada penderita
gagal jantung akan semakin memberat seiring dengan perkembangan
penyakit yang semakin memburuk, hal ini akan mengganggu fungsi dan
aktivitas kehidupan sehati-hari. Intoleransi terhadap aktivitas pada penderita
gagal jantung disebabkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompa

47
darah yang kaya oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh dalam memenuhi
kebutuhan metabolik, misalnya untuk pergerakan otot sehingga menyebabkan
kelelahan. Sesak napas pada penderita gagal jantung disebabkan oleh
kongesti paru atau penumpukan cairan pada rongga interstisial dan alveoli
paru. Cairan tersebut akan menghambat perkembangan paru-paru sehingga
mengalami kesulitan bernapas. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas adalah
manifestasi yang paling umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh
peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru-paru yang
mengurangi kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dispnea.
Pada pemeriksaan EKG ditemukan Irama sinus, HR: 90x/menit,
Axis normal, Gelombang P diikuti QRS normal, T inversi di lead V1-V5.
Kesan: NSTEMI dengan Iskemik Anteroseptal . Pada pemeriksaan rontgen
thorax didapatkan kesan efusi pleura kanan minimal, efusi pleura kiri masif,
trachea deviasi ke kiri.
Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis di kenal gambaran
klinis berupa gagal jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, sesak
napas dan batuk, serta tanda objektif berupa takikardia, dyspnea (dyspnea
d’effort, orthopnea, ronkhi paru. Gagal jantung kanan dengan gejala edema
tungkai bawah dan wajah, dan Gagal jantung kongestif merupakan gabungan
dari kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan.
Tatalaksana farmakologi yang diberikan pada pasien ini adalah, IVFD
RL gtt 20 x/menit, Furosemid 1 x 20mg tab, Aspilet 1 x 80mg tab,
Amlodipine 1 x 10mg tab, Acetylcysteine 1 x 200mg, Spironolactone 1x2,5
mg
Furosemide adalah obat golongan diuretik yang bermanfaat untuk
mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh melalui urine. Obat ini
sering digunakan untuk mengatasi edema (penumpukan cairan di dalam
tubuh) atau hipertensi (tekanan darah tinggi). Furosemide bekerja dengan
cara menghalangi penyerapan natrium di dalam sel-sel tubulus ginjal dan
meningkatkan jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh. Furosemid 1 ampul
berisi 2 ml (10 mg/ml). Furosemid merupakan obat golongan diuretik loop.

48
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai
status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
retensi. Dimana obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi ion natrium
dan klorida pada tubulus ginjal proksimal dan distal serta loop Henle, dengan
mengganggu sistem co-transport yang mengikat klorida, menyebabkan
peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium, dan klorida. Furosemid
memiliki biovailabilitas sebesar 47-64% pada pemberian oral dengan onset
30-60 menit pada pemberian per oral, 30 menit pada pemberian
intramuskular, dan 5 menit melalui intravena. Waktu puncak obat ini adalah
1-2 jam pada pemberian oral, dan kurang dari 15 menit melalui intravena.
Durasi kerja obat adalah 6-8 jam melalui oral dan 2 jam melalui intravena.
Furosemid dimetabolisme di hepar, dieliminasi melalui urine dengan waktu
paruh 30-120 menit pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dan 9 jam pada
pasien dengan end stage renal disease. Dosis awal furosemide pada gagal
jantung adalah 20-40 mg dan dosis target 40-240 mg.
Spironolactone merupakan obat yang dapat digunakan untuk tata
laksana hipertensi dan gagal jantung. Obat ini merupakan golongan diuretik
hemat kalium yang fungsi utamanya bertujuan untuk meningkatkan produksi
urine (diuresis). Spironolactone merupakan obat diuretik hemat kalium untuk
tata laksana pada hipertensi dan gagal jantung.

Aspilet adalah obat yang mengandung acetylsalicyclid acid (aspirin


atau asetosal) yang termasuk ke dalam obat antitrombotik. Aspilet (aspirin)
adalah golongan anti platelet oral. Obat antiplatelet berfungsi untuk
mengencerkan darah dan mencegah penggumpalan di pembuluh darah.
Pemberian obat antiplatelet menjadi salah satu penatalaksanaan pada non ST
elevation myocardial infarction (NSTEMI). Aspilet (aspirin) bisa diberikan
dengan dosis awal 162-325 mg, lalu 75-162 mg/hari. Selain aspilet (aspirin),

49
obat antiplatelet oral lainnya yang bisa diberikan yaitu clopidogrel dengan
dosis 75 mg/hari atau prasugrel dengan dosis 10 mg/hari

Pasien diberikan amlodipine, amplodipin mempunyai efek vasodilator


arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. CCB
mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB,
terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi
angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam
mengatasi keluhan angina.
Acetylcysteine adalah obat yang berfungsi mengencerkan dahak pada
penyakit saluran pernafasan dimana terjadi banyak lendir atau dahak. Obat ini
adalah agen mukolitik yang juga dikenal sebagai N-acetylcysteine atau N-
acetyl-L-cysteine (NAC). Obat Ini tersedia dalam bentuk sediaan intravena,
sediaan oral (misalnya tablet), atau nebulasi/inhalasi. Sebagai agen mukolitik,
Acetylcysteine bekerja dengan cara memecah serat asam mukopolisakarida
yang membuat dahak lebih encer dan mengurangi adhesi lendir pada dinding
tenggorokan sehingga mempermudah pengeluaran lendir pada saat batuk.

Prognosis penyakit pada pasien ini adalah dubia ad bonam pada quo ad
vitam, fungsionam dan sanationam.

50
BAB V
KESIMPULAN

Pasien datang ke IGD RS Muhammadiyah Palembang karena keluhan


sesak nafas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak hilang timbul, timbul pada saat pasien beraktivitas dirumah seperti
memasak dan menyapu. Pasien merasa sesaknya berkurang dan merasa
lebih nyaman jika berbaring dengan menggunakan bantal dengan posisi
tinggi atau dalam posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi debu, asap, maupun
cuaca, dan tidak disertai dengan suara mengi. Keluhan sesak disertai dengan
batuk yang sering dialami di malam hari. Batuk yang dialami batuk
berdahak berawarna putih kental. Pasien juga mengeluh lemas dan lesu
seluruh tubuh namun tidak mengalami kelemahan tungkai kaki dan tangan.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Keluhan bengkak pada
kaki dan wajah sejak 1 minggu SMRS.
Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit jantung sejak 4
tahun yang lalu, tetapi pasien rutin kontrol dan minum obat. Riwayat
penyakit hipertensi (+) sejak 4 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
pasien ada riwayat TBC pada tahun 2017 tetapi pasien sudah dinyatakan
sembuh dengan pengobatan 6 bulan.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 120/90 mmHg, nadi :
90x/ menit, reguler, pernapasan : 34x/ menit, dan temperature: 36,5oC.
Pada palpasi stem fremitus menurun pada paru kiri, perkusi sonor pada
paru kanan, redup pada paru kiri ICS 4, auskultasi vesikuler menurun pada
paru kiri, Ronkhi kasar pada paru kiri (+).
Pemeriksaan laboraturium menunjukkan terjadinya penurunan
Hb:11,2 g/dl, penurunan Ht:35,6% peningkatan neutrofil 77,9 % dan
peningkatan kadar ureum:90 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG ditemukan
Irama sinus, HR: 90x/menit, Axis normal, Gelombang P diikuti QRS
normal, T inversi di lead V1-V5. Kesan: NSTEMI dengan Iskemik

51
Anteroseptal . Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan efusi
pleura kanan minimal, efusi pleura kiri masif, trachea deviasi ke kiri.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2020. Pedoman


Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta.
2. Kesatria, Feby. 2015. Gambaran Peresepan Spironolactone Pada Pasien
Gagal Jantung Di RSUP Dr Kariadi Semarang. Semarang: Universitas
Diponegoro.
3. Snell. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.
4. Essianda, Vania. 2014. Mortalitas Operasi Jantung Ganti Katup di RSUP
DR. Kariadi Semarang Periode Januari 2014-Desember 2014. Semarang:
Universitas Diponegoro.
5. Sherwood, Laure. 2016. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
6. Sari, Yonata, Haryadi. 2016. Penatalaksanaan Gagal Jantung NYHA II
disertai Pleurapneumonia pada Laki-laki Usia 38 Tahun. Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Gagal Jantung Kongestif.
Jakarta.
8. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing.
9. Yancy, Jessup, et al. 2013. ACCF/AHA Guideline for The Management of
Heart Failure: A Report of The American College of Cardiology Foundation.
Vol 128, no. 16, pp. 240-327.
10. Vitasari. 2018. Hiponatremia Sebagai Prediktor Mortalitas Gagal Jantung
Studi Kasus Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
11. Santoso, Erwinanto, dkk. 2007. Diagnosis dan Tatalaksana Praktis Gagal
Jantung Akut.
12. Fitria Ningrum A. Penatalaksanaan Holistik pada Pasien Jantung Hipertensi
Penyakit. 2019;8(1):104-15
13. Dominguez R,F, dkk. Penyakit Jantung Hipertensi: Manfaat Carvedilol
Dalam Hemodinamik, Remodeling Ventrikel Kiri, Dan Kelangsungan Hidup.
SAGE Buka Kedokteran. 2019;7(1):1-8

53
14. Riaz, K., 2012. Hypertensive Heart Disease, Wright State University. Availab
le from: http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview.
15. Rilantono, Lily l. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit Fa
kultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
16. Riaz Kamran. Penyakit Jantung Hipertensi. MedScape. 2018
17. Tekel Gary, al. Hypertensive Heart Disease. NCBI. 2019. et
https://www.ncbi nlm.nih.gov/books/NBK539800/
18. Vasiliki V. Georgiopoulou. et al. 2010. Prevention, Diagnosis, and Treatment
of Hypertensive Heart Disease. Cardiology Clin. pp 675-691
doi:10.1016/j.ccl.2010.07.005
19. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2017
20. Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
21. Antman, E.M., Braunwald, E. 2005. ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E.,
Hauser, S.L., Jameson, J. L., (eds). Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 16 th ed. USA.
22. Brown, T.C. 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A.,
William, L.M., (ed.) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi 6. EGC. Jakarta.
23. Barriento, Aida Sua´rez; Romero, Pedro Lo´pez; Vivas, David and et al.
Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.
24. Chou, T. 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:
Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed.
Pennsylvania: W. B. Saunders Company.
25. Irmalita, dkk. 2009. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi
Segmen ST. In: Irmalita, Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono,
P.S., (ed). Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi 3.

54
26. Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary
syndromes 2006, National Heart Foundation of Australia.
27. Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner
Akut dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143,
2004.
28. Lilly, L.S. 2007. Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project
of Medical Students and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia.
Lippincott Williams & Wilkins
29. Irmalita. 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo
Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB.
Evaluation of chest pain in the emergency department. Ann Intern Med.
30. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J
Clin Pathol.

55

Anda mungkin juga menyukai