Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN KASUS FT.

KOMPREHENSIF

RSKD DADI MAKASSAR

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN FUNGSIONAL ET

CAUSA HEMIPARESE SINISTRA POST STROKE NON-HEMORAGIK

DISUSUN OLEH :

ERDA TAHIRMAN

PO.71.4.241.19.1.014

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

PROGRAM STUDI D.IV FISIOTERAPI

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Praktek komprehensif

ERDA TAHIRMAN

PO.71.4.241.19.1.014

Dengan Judul :

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN FUNGSIONAL ET

CAUSA HEMIPARESE SINISTRA POST STROKE NON-HEMORAGIK

Tanggal 5-30 September 2022 di RSKD DADI MAKASSAR telah disetujui oleh Clinical

Educator dan Preseptor

Makassar. 3 Oktober 2022

Clinical Educator, Preceptor,

Nadir, S.St.F, S.KM Dr. Hendrik, S.St.Ft,SH,M.Kes


NIP : 19651231198903102 NIP : 196706019931003

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan

karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan kasus ini yang

berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Gangguan Fungsional et causa

Hemiparese Sinistra Post Stroke Non Hemoragik”

Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas klinik di RSKD Dadi Makassar.

Selain itu juga laporan kasus ini bertujuan memberikan informasi mengenai penatalaksaan

fisioterapi untuk kasus tersebut.

Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak / Ibu Dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar

2. Bapak/Ibu Pembimbing Lahan RSKD Dadi Makassar

3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan laporan

kasus ini.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh

sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan

penyempurnaan laporan ini. Dan semoga dengan selesainya laporan ini dapat bermanfaat

bagi pembaca dan teman-teman yang membutuhkan.

Makassar, 29 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................

BAB II TINJAUAN KASUS........................................................................................................

A. Tinjauan Anatomi Fisiologi...............................................................................................

B. Tinjauan Tentang Stroke Non-Hemoragik......................................................................

1. Definisi................................................................................................................

2. Etiologi................................................................................................................

3. Patofisiologi.........................................................................................................

4. Gambaran klinis...................................................................................................

BAB III TINJAUAN ASSESSMENT DAN INTERVENSI

FISIOTERAPI……………….15

A. Tinjauan tentang assessment Fisioterapi.........................................................................

B. Tinjauan tentang intervensi Fisioterapi...........................................................................

BAB IV PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI....................................................................

A. Identitas pasien................................................................................................................

B. History Taking.................................................................................................................

C. Inspeksi/Observasi...........................................................................................................

D. Pemeriksaan/pengukuran Fisioterapi...............................................................................

E. Diagnose Fisioterapi........................................................................................................

iii
F. Problematic Fisioterapi....................................................................................................

BAB V PROSEDUR INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI………………….

A. Rencana Intervensi Fisioterapi........................................................................................

B. Strategi Intervensi Fisioterapi..........................................................................................

C. Prosedur pelaksanaan Intervensi Fisioterapi...................................................................

D. Edukasi dan Home Program............................................................................................

E. Evaluasi Fisioterapi.........................................................................................................

BAB VI PEMBAHASAN...........................................................................................................

A. Pembahasan Assessment Fisioterapi...............................................................................

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi..................................................................................

BAB VII PENUTUP...................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO) Stroke adalah adanya


tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal
(atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih
yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
Vaskuler.
Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah
penyakit jantung dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan nomor satu di
dunia.Stroke dapat menyebabkan cacat tetap atau sementara. Sekitar 2 dari 10
orang yang mengalami stroke akut akan meninggal dalam waktu satu bulan
pertama, 3 dari 10 orang meninggal dalam satu tahun, 5 dari 10 orang meninggal
dalam lima tahun, dan 7 dari 10 orang meninggal dalam satu tahun. Resiko
terbesar kematian stroke adalah pada tiga hari pertama sekitar 12%. Resiko
meninggal dalam tujuh hari setelah stroke adalah sekitar 15-17%, dan dalam
waktu satu bulan setelah stroke adalah sekitar 20-25%.Resiko kematian dalam
bulan pertama berbeda-beda tergantung pada jenis stroke.
Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada suatu
sisi.Padahemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih ringan
pada hemiplegi.Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu stroke
akibat infark serebral atau perdarahan.Hemiparese yang terjadi memberikan
gambaran bahwa adanya kelainan atau lesisepanjang traktus piramidalis. Lesi ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah,kerusakan jaringan oleh
trauma atau infeksi ataupun penekanan langsung dan tidak langsungoleh massa
(hematoma, abses, tumor). Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan
adanyagangguan pada traktus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-
otot anggota gerak atas atau bawah.
Hemiparese dextra (Kelumpuhan Sebelah kanan) merupakan Kerusakan
pada sisi sebelah kiri otak (Hemisfer kiri otak) yang menyebabkan kelumpuhan
tubuh bagian kanan. Pasien dengan kelumpuhan sebelah kanan sering
memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, kehilangan memori

1
visual dan mengabaikan sisi kiri.Penderita memberikan perhatian hanya kepada
sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihatnya.
Di Indonesia sendiri, diperkirakan dalam setiap tahunnya ada 500.000
penduduk yang terkena serangan stroke. Sekitar 2,5% meninggal dan sisanya
mengalami kecacatan baik ringan ataupun berat. Angka ini diperkirakan akan
semakin meningkat oleh karena perubahan gaya hidup, lingkungan dan jenis
makanan yang semakin beragam. Stroke yang dapat menyerang kapan saja,
mendadak, siapa saja baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda.
Diperkirakan satu sampai tiga orang akan mengalami stroke dan satu dari tujuh
orang meninggal karena stroke ( Sofwan, 2010 ).
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan nakes diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0%)
, sedangkan berdasarkan diagnosis Nakes/gejala diperkirakan sebanyak
2.137.941 orang (12,1%) diketahui bahwa sebanyak 30% dari total kematian di
dunia disebabkan oleh penyakit jantung dan stroke.
Menurut berbagai literature, inseden stroke hemoralgik antara 15% -
30% dan stroke non hemoralgik antara 70% - 80% tetapi untuk negara-negara
berkembang atau Asia, kejadian stroke hemoralgik sekitar 30% dan stroke non
hemoralgik 70% terdiri dari trombosit serebri 60% emboli serebri 5% dan lain-
lain 35%.
Stroke biasanya ditandai dengan kelumpuhan anggota gerak atas maupun
bawah pada salah satu sisi anggota tubuh. Stroke dapat menyebabkan
problematika pada tingkat impairment berupa gangguan motorik, gangguan
sensorik, gangguan memori dan kognitif, gangguan koordinasi dan
keseimbangan. Pada tingkat functional limitation berupa gangguan dalam
melakukan aktifitas fungsional sehari-hari seperti perawatan diri, transfer dan
ambulasi. Serta pada tingkat participation restriction berupa keterbatasan dalam
melakukan pekerjaan, hobi dan bermasyarakat di lingkungannya.

2
BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan tentang Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Otak

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang

saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual

kita. Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron (Leonard, 1998). Otak

merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron di

otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada

otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari

bagian-bagian yang rusak. Otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini

merupakan mekanisme paling penting yang berperan dalam pemulihan stroke

(Feigin, 2006).

Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat

dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla

spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari

SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian

tubuh lainnya (Noback dkk, 2005).

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen

bagiannya adalah

1) Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari

sepasang hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai

dengan sulkus (celah) dan girus (Ganong, 2003).

3
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:

a. Lobus Frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih

tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca

di hemisfer kiri), dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan

gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat

area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah

broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan

sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004)

b. Lobus Temporalis

Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum

yang berjalan ke bawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari

fisura parieto-oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk

mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm

pembentukan dan perkembangan emosi.

c. Lobus Parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di

gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan

pendengaran (White, 2008).

d. Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area

asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang

penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini

dengan informasi saraf lain & memori (White, 2008).

4
e. Lobus Limbik

Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori

emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui

pengendalian atas susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).

Gambar 2.1 Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan samping

(Sumber : White 2008)

2) Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak

neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi

yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi

somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan

output. Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang

menerima dan menyampaikan informasi ke bagian lain dari system saraf

pusat.

Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus

otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal. Bagian-

bagian dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus

fluccolonodularis (Purves, 2004).

5
Gambar 2.2 Cerebellum, dilihat dari belakang atas.

(Sumber : Raine 2009)

3) Brainstem

Brainstem adalah batang otak,berfungsi untuk mengatur seluruh proses

kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan

medulla spinalis dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang

penting adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara

medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang

saraf cranial.

Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu

mesensefalon, pons dan medulla oblongata.

Gambar 2.3 Brainstem

6
(Sumber : White, 2008)

2. Fisiologi Otak

Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang

diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat

mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus

dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-

pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang

lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.

a. Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis

dan arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk

circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri

karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan arteri serebri

medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar

arteri communicans posterioryang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri

posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri

communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria

subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari

arteria inominata,sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung

dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,

setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu

membentuk arteri basilaris.

b. Peredaran Darah Vena

7
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater,

suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater.

Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk

triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang

utama adalah vena anastomoticamagna yang mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam

sinus transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari

basal ganglia (Wilson,et al., 2002).

Gambar 2.4 Circulus Willisi

(Sumber : swaramuslim. Stroke, 2009)

B. Tinjauan tentang Hemiparese

1. Definisi Hemiparese

8
Hemiparese merupakan dimana terjadi kelemahan pada salah sisi tubuh

atau anggota gerak atas dan bawah yang berlawanan dengan lesi yang terjadi di

otak, berupa gangguan motorik dan gerakan ADL lainnya. Namun bisa

membaik seiring berjalannya waktu dengan melakukan terapi fisik.

Hemiparese akibat stroke NHS merupakan kelemahan separuh badan oleh

adanya penyumbatan pembuluh darah di otak baik berupa thrombus maupun

embolisasi.Penyumbatan yang terjadi secara tiba – tiba, disebabkan oleh

embolus – embolus tersebut berupa suatu thrombus yang terlepas dari dinding.

Akibat kerusakan sebagian atau keseluruhan dari modula spinalis dapat

menyebabkan hilangmya fungsi dari sel –sel yang menghantarkan implus dari

pusat motorikdan akan berakhir pada daerah yang mengalami cedera

gejalayang timbul tergantung dari penyebabnya, bila terjadi secara tiba – tiba

akan mengalami spinal syocle yang di tandai dengan placid

paralisys.Kerusakan di atas L1 memberikan gambaran lesi UMN, sedangkan

kerusakan di bawah L1 memberikan gambaran LMN. Hemiparese yang terjadi

akibat Shoke di sebabkan oleh CVA, yaitu : Hipertensi, Trauma pendarahan

intracerebral dan sub acrohcind.

2. Etiologi

Etiologi merupakan penyebab terjadinya suatu penyakit (Hudaya,1997).

Berdasarkan etiologinya stroke di klasifikasikan menjadi duayaitu stroke

haemoragic (perdarahan) jika arteri pecah dan stroke non haemoragic

(ischemic) jika arteri tersumbat. Stroke nonhaemoragic mencakup stroke

thrombotic dan embolic (Sidharta, 1979). Menurut (Junaidi, 2011) dibagi

menjadi 2 kelompok besar, yaitu :

9
a. Faktor risiko internal (yang tidak dapat dikontrol/diubah) seperti umur, ras,

jenis kelamin, dan riwayat keluarga

b. Faktor risiko eksternal (yang dapat dikontrol/diubah) seperti hipertensi,

stres, diabetes mellitus, peminum alcohol, merokok, pola makan, kurang

aktivitas fisik, obesitas.

3. Patofisiologi

Stroke non hemoragik terjadi karena aliran darah ke otak tersumbat yang

diakibatkan oleh adanya bekuan darah di dalam arteri besar pada sirkulasi

sereberum. Sumbatan atau obstruksi ini dapat disebabkan oleh emboli maupun

thrombus (Robbins, 2007). Trombus atau bekuan darah terbentuk pada

permukaan 10 kasar plak aterosklerosis yang terbentuk pada dinding arteri.

Thrombus dapat membesar dan akhirnya menyumbat lumen arteri tersebut.

Sebagian thrombus dapat terlepas menjadi embolus. Embolus berjalan lewat

aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh arteri yang lebih kecil (Kowalak,

Welsh, & Mayer, 2014). Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau

embolus, maka akan menimbulkan lesi atau kerusakan sel saraf pada upper

motor neuron (UMN).

Kerusakan saraf pada homunculus motorik mengakibatkkan hemiparesis

pada anggota motorik. Sel-sel saraf (neuron) berkurang jumlahnya sehingga

sintesis berbagai neurotransmiter berkurang. Berkurangnya jumlah

neurotransmiter mengakibatkan kecepatan hantaran impuls dan kemampuan

transmisi 15 impuls neuron sel efektor menurun. Hal tersebut mengakibatkan

terganggunya kemampuan sistem saraf untuk mengirimkan informasi sensorik,

mengenal dan mengasosiasikan informasi, memprogram dan memberi respon

10
terhadap informasi sensorik atau sering disebut dengan gangguan

neuromuskuler (Mutaqqin, 2008)

11
4. Gambaran Klinis

Menurut Syahailatua 2014, manifestasi klinis yang timbul pada pasien stroke

berdasarkan pembuluh darah arteri yang terkena antara lain:

1. Kontralateral paralisis (kelumpuhan) atau parisese

2. Hilangnya sensorik dan motorik, paling nyata pada muka

3. Afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara) yang terutama ekspresif

4. Gangguan persepsi, termasuk perubahan tingkah laku

5. Kontralateral hemianova (hilangnya penglihatan)

6. Gangguan motorik: gerakan yang tidak terkordinasi

7. Gangguan kesadaran (pingsan, koma)

8. Sakit kepala

12
BAB III

TINJAUAN ASSESMENT DAN INTERVENSI FISIOTERAPI

A. Tinjauan tentang Assesment Fisioterapi

Algoritma Assesment
History Taking :
Pada hari Rabu, 7 September 2022 pasien bangun di soreh hari tiba-tiba pasien
merasakan lemah pada sisi kiri lengan dan tungkainya, di ikuti dengan wajah merot ke
salah satu sisi, dan akhirnya pasien di bawa ke rumah sakit, lalu di rujuk ke ruang
fisioterapi.

Inspeksi :
a. Statis : Bahu pasien asimetris, wajah merot ke kanan, tangan kanan terjuntai
b. Dinamis : Pasien datang dengan menggunakan bad, Pasien tidak mampu
menggerakkan lengan dan tungkai sebelah kanan.

Pemeriksaan fisik

Palpasi : tidak ada odema Pemeriksaan Pemeriksaan Refleks Berg Balance Scale :
Suhu: 36,7o C sensory Integrity:
Bicep : 0 tidak ada refleks 1 (resiko jatuh berat)
Tonus Otot: 0 Tes tajam tumpul :
Tidak normal
Tricep : 0 tidak ada refleks
Tes kasar halus : Patellaris: + hipoaktif ADL (Indeks Barthel) :
Tidak normal Achilles : + hipoaktif 4 (ketergantungan total)
Tes panas dingin :
Tidak normal

Diagnosa : Pemeriksaan Koordinasi


Gangguan Fungsional Ekstremitas et causa Hemiparese Sinistra Finger to nose : Tidak mampu
Post Stroke Non Hemoragik Finger to finger: Tidak mampu
Finger to therapist finger : Tidak
mampu

MMT
Lengan : 0
Tungkai : 1
Skala aswort : 0

B. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

13
1. Infra Red (IR)

1) Definisi

Infra merah ialah sinar elektromagnet yang panjang gelombangnya

lebih daripada cahaya tampak yaitu di antara 700 nm dan 1 mm. Sinar infra

merah merupakan cahaya yang tidak tampak. Jika dilihat dengan

spektroskop cahaya maka radiasi cahaya infra merah akan tampak pada

spectrum elektromagnet dengan panjang gelombang di atas panjang

gelombang cahaya merah.

2) Teknik Aplikasi IR

 Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.

 Terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan terapi

dan melakukan wawancara kembali mengenai kelainan yang diderita

dan kemungkinan kontraindikasi untuk pemberian terapi dan riwayat

alergi terhadap suhu panas. Terapis akan menjelaskan sekali lagi

tujuan terapi infra merah sesuai kondisi dan keadaan seseorang, tiap

individu berbeda.

 Terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari minyak

ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari lotion atau

obat-obat gosok yang dipakai sebelumnya menggunakan kapas

alkohol atau kapas yang diberi air. Bila mempunyai kulit yang

sensitif dan kering sekali sebaiknya diberitahukan kepada terapis

14
yang akan menerapi, sehingga tidak akan digunakan kapas alkohol

yang kadang dapat menyebabkan iritasi kulit.

 Terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi senyaman

mungkin, bagian yang akan diterapi tidak ditutupi oleh pakaian

sehingga infra merah akan langsung mengenai kulit dan memberikan

hasil yang optimal.

 Terapis akan melakukan setting dosis waktu dan posisi alat infra

merah.

 Kemudian segera infra merah akan diberikan, jangan menatap

langsung lampu infra merah.

 Bila terasa nyeri atau panas berlebihan saat terapi berlangsung segera

bilang kepada terapis yang menerapi.

 Selesai terapi akan ditandai oleh bunyi timer dari alat infra merah.

Jangan langsung berdiri atau duduk, tetap berbaring beberapa saat

untuk mengembalikan aliran darah ke normal.

3) Efek terapeutik

1. Relief of pain (mengurangi rasa sakit)

2. Muscle relaxation (relaksasi otot)

3. Meningkatkan supply darah

4. Menghilangkan sisa–sisa metabolism

4) Efek fisiologis

15
Menimbulkan panas pada jaringan-jaringan yang banyak

mengandung air banyak pula mendeposit energi, gelombang mikro otot lebih

banyak menyerap energi gelombang mikro dari pada jaringan lemak.

5) Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari Sinar Infra Merah antara lain:

a. Kondisi setelah peradangan sub akut, seperti sprain, muscle strain,

contusion

b. Arthritis seperti : Rheumatoid arthritis, osteoarthritis, mialgia, neuritis

c. Gangguan sirkulasi daran, seperti : tromboplebitis, Raynold’s disease

d. Penyakit kulit, seperti : folliculitis, wound

e. Persiapan exercise dan massage.

Kontra Indikasi Sinar Infra Merah antara lain:

a. Daerah insufisiensi darah

b. Gangguan sensibilitas

c. Adanya kecenderungan terjadi perdarahan

2. TENS ( Trancutaneous Electrical Nerve Stimultion)

1) Definisi TENS

TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) merupakan suatu

cara penggunaan energi listrik yang digunakan untuk merangsang sistem

saraf dan peripheral motor yang berhub ungan dengan perasaan melalui

permukaan kulit dengan penggunaan energi listrik dan terbukti efektif untuk

merangsang berbagai tipe nyeri. TENS mampu mengaktivasi baik syaraf

berdiameter besar maupun kecil yang akan menyampaikan berbagai

16
informasi sensoris ke saraf pusat. Efektifitas TENS dapat diterangkan lewat

teori gerbang kontrol.

2) Efek fisiologis TENS

TENS (Transcutaneous Electrical Nerves Stimulation) memberikan efek

fisiologis antara lain : efek pada jaringan tubuh, stimulasi saraf sensorik,

stimulasi saraf motorik, efek pada kontraksi otot, stimulasi pada saraf

denervated, dan efek kimia dari stimulasi.

3) Indikasi dan Kontraindikasi TENS

Indikasi dari TENS meliputi : nyeri akut, nyeri kronik, nyeri pasca

operasi, nyeri myofisial, nyeri pasca melahirkan, keadaan hipertonus dan

kelemahan otot. Sedangkan kontrak indikasi TENS meliputi : adanya

kecenderungan perdarahan (pada area yang diterapi), luka terbuka yang

sangat lebar, penyakit vaskuler (arteri maupun vena), pasien dengan alat

pacu jantung, kehamilan(bila terapi diberikan pada daerah abdomen atau

panggul), kondisi dermatologi(pada area yang diterapi), penderita dengan

hilangnya Sebagian besar sensasi kulit

3. Terapi Latihan

Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan

gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan

kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas,

stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional.

Indikasi Terapi Latihan.

17
Indikasi terapi latihan berikut ini beberapa keadaan yang umumnya dapat

diperbaiki dengan terapi latihan :

 Nyeri

 Kelemahan dan penurunan ketahanan otot

 Pengurangan jangkauan gerak yang dapat dikarenakan oleh kekakuan kapsul

sendi maupun pengurangan panjang otot.

 Gangguan keseimbangan, stabilitas postur, koordinasi, perkembangan dan

tonus otot

 Gangguan kardiovaskular seperti pengurangan kapasitas aerobik (ketahanan

kardiopulmoner) dan gangguan sirkulasi.

Jenis-jenis terapi latihan yang diberikan adalah :

1) Latihan Pasif

Pada latihan pasif, gerakan dilakukan oleh bantuan luar tanpa

mengandalkan gerakan mandiri otot penderita. Bantuan luar dapat

berasal dari orang lain ataupun dari mesin. Latihan pasif biasanya

dilakukan pada tahap awal rehabilitasi selama struktur jaringan masih

mampu menahan beban gerakan tanpa resiko cedera lebih lanjut. Hal ini

dilakukan untuk mempertahankan jangkauan gerak sendi selama periode

tidak aktif. Lebih lanjut, latihan pasif dapat dikombinasikan dengan

latihan penguluran untuk meningkatkan jangkauan gerak sendi.

2) Latihan Statis (Latihan Isometrik)

18
Latihan jenis isometrik adalah jenis latihan dimana tidak terdapat

perubahan panjang otot. Contoh latihan ini misalnya dengan menarik

maupun mendorong objek yang tidak dapat digerakkan dan

mempertahankan posisi tubuh terhadap tekanan. Indikasi latihan

isometrik :

- Mencegah dan meminimalkan atrofi otot

- Meningkatkan stabilitas postur dan persendian.

- Meningkatkan kekuatan otot

4. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

a. Pengertian

Dr. Herman Kabat, memiliki latar belakang dibidang neurophysiology

membuat sebuah konsep PNF therapeutic approach sekitar tahun 1940an. Dia

bersama dengan dua orang fisioterapis, Margaret Knott pada 1947 dan

Dorothy Voss pada 1953. Mereka mengembangkan teknik intervensi dan

prosedur untuk meningkatkan motor fuction (Martin and Kessler, 2007).

Diawal pengembangan, PNF fokus pada konsep kunci yakni

menggunakan tahanan, stretch reflexes, approximasi, traksi, dan manual

contact untuk memfasilitasi gerakan. Tujuan adalah agar supaya pasien lebih

effisien dalam motor function dan mandiri dalam aktivitas sehari – hari. PNF

didasari oleh pemahaman tentang system saraf pusat, seiring berjalannya

waktu berkembang dan menjadi metode viable treatment. Kabat, Knott, dan

Voss terus melakukan intervensi pada pasien, mempelajari literature dan

19
menyaring pendekatan yang cocok selama beberapa tahun. Saat ini, klinisi dan

peneliti terus melanjutkan penelitian terkait PNF dan terus mengembangkan

dan meningkatkannya (Martin and Kessler, 2007).

Gambar 2.5 Pola lengan Tekhnik-tekhnik PNF

(Slideshare oleh Sudaryanto)

b. Teknik-teknik dalam PNF adalah sebagai berikut:

1) Rhythmic initiation

Digunakan untuk meningkatkan kemampuan memulai gerakan..

Teknik ini membutuhkan relaksasi volunteer, gerakan pasif, dan

pengulangan kontraksi isotonic dari pola yang sakit (agonistic). Indikasi :

Kesulitan memulai gerak akibat rigiditas, spastis berat atau ataxia,Irama

gerak yang lemah/lesu,Menurunkan rasa gerak,Keterbatasan gerak.

2) Slow reversal

Slow reversal adalah kontraksi isotonic dari sisi antagonis yang

kemudian diikuti oleh kontraksi isotonic dari sisi yang sakit. Slow

20
reserval-hold memiliki urutan yang sama dengan kontraksi isometric di

akhir jarak.

3) Rhythmic stabilization

Digunakan untuk meningkatkan stabilisasi dengan memperoleh

stimulasi (rangsangan) dari kontraksi isometric dari kelompok otot sisi

yang berlawanan (antagonis).

4) Relaxation technique (teknik relaksasi)

Teknik relaksasi efektif untuk meningkatkan ROM, terutama sekali

pada kondisi nyeri dan spastis, dimana memungkinkan peningkatan ROM

melalui passive stretch.

5) Contact-relax

Contract-RelaxGerakan ini diikuti oleh relaksasi, kemudian

pergerakan pasif menuju agonistic pattern (pole sisi yang sakit). Prosedur

ini diulang pada tiap poin dalam ROM dimana terdapatketerbatasan

(limitas) yang bisa dirasakan. Contact-relax digunakan ketika terjadi

pergerakan aktif pada antagonistic pattern.

6) Hold-relax

Hold-relax dilakukan pada waktu yang sama seperti pada contact-

relax tetapi meliputi kontraksi isometric dari sisi antagonis, yang diikuti

oleh relaksasi, kemudian gerakan aktif menuju agonistic pattern. Teknik

ini bermanfaat untuk pasien Reflex sympathetic Dystrophy (RSD) selama

melakukan aktivitas self-care seperti menyampokan rambut.

7) Rhythmic rotation

21
Sangat efektif untuk mengurangi spastisitas dan meningkatkan

ROM. Terapis menggerakan bagian tubuh pasien secara pasif sesuai

dengan pattern (pola) yang diinginkan. Teknik ini efektif untuk

mempersiapkan pasien paraplegi dengan terdapat spastisitas atau clonus

pada Lower Extremity-nya untuk menarik celana dan juga dalam

mempersiapkan pembuatan splin untuk extremitas yang spastic.

c. Indikasi

Menurut Garrizon, (2005) indikasi terapi latihan dengan metode PNF

adalah : stroke atau penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot, fase

rehabilitasi adalah : stroke atau penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot,

fase rehabilitasi isik, klien dengan tirah baring lama

d. Efek Teraputik Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vishal Sharma dan Jaskirat

Kaur (2017) berjudul effect of core strengthening with pelvic proprioceptive

neuromuscular facilitation on trunk, balance, gait, and function in chronic

strokemenunjukkan bahwa PNF (Proprioceptive Neuromuscular Facilitation)

dengan konsep fasilitasi neuromuscular dengan pengaplikasian pola gerak dan

tahanan maximal memberikan adanya pengaruh untuk meningkatkan kontrol

trunk, gait, dan keseimbangan (Sharma, 2017).

5. Strengthening

Menurut Harvard Health Publication (2014) dalam Amaliyah (2016),

strengthening exercise merupakan bentuk latihan sistematis yang berguna untuk

meningkatkan keseimbangan dan memperbaiki postur. Selain itu, latihan ini

22
mempengaruhi stabilitas tangan dan kaki untuk mengembangkan kemampuan

koordinasi gerakan yang merupakan dasar dari keterampilan keseimbangan

(Amaliyah,2016).

Definisi serupa dari Ganong (2010) dalam Oktavianty (2017) yang

menyatakan bahwa strengthening exercise dilakukan untuk melihat adanya

perubahan dalam peningkatan kekuatan otot pada latihan dengan menggunakan

intrumen beban yang akan terus ditambah. Hal ini disebabkan karena adanya

perubahan morfologikal otot, yaitu semakin besar massa otot yang terbentuk

maka mitokondria yang dihasilkan akan semakin banyak (Oktavianty,2017).

 Tujuan dan Indikasi Strengthening Exercise

Adapun tujuan umum dari manual strengthening exercise adalah untuk

memperbaiki fungsi antara lain (David et al, 2014) :

a. Meningkatkan Kekuatan

b. Meningkatkan daya tahan

c. Meningkatkan power

 Kontraindikasi

a. Inflamasi

Latihan tahanan dinamik bukan indikasi ketika otot atau

sendi mengalami inflamasi atau pembengkakan. Penerapan

strengthening exercise dapat menyebabkan peningkatan

bengkak dan lebih merusak otot atau sendi. Isometric exercise

dengan intensitas yang rendah dapat dilakukan pada kondisi

23
inflamasi jika aktivitasnya tidak meningkatkan nyeri.

b. Nyeri

Jika pasien mengalami nyeri sendi atau otot yang berat

selama latihan atau lebih dari 24 jam setelah latihan, maka

secara keseluruhan aktivitas harus diminimalisir atau secara

sustansial dikurangi.

 Hal – hal yang perlu diperhatikan

Menurut Joost Dekker (2014), hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam pemberian strengthening exercise adalah:

a. Perhatikan letak aplikasi tahanan, tahanan biasanya

diaplikasikan pada ujung distal segmen dimana otot melekat.

b. Tentukan arah tahanan, tahanan yang diaplikasikan dalam arah

yang berlawanan darigerakan.

c. Berikan stabilisasi, untuk menghindari gerakan substitusi maka

berikan stabilisasi yang tepat baik dengan alat maupun dengan

cara manual.

d. Aplikasikan besarnya tahanan yang sesuai.

e. Tinjau kembali letak aplikasi tahanan atau turunkan besarnya

tahanan jika pasien tidak mampu menyempurnakan sampai

ROM penuh, ada nyeri hebat pada lokasi palikasi tahanan,

berkembangnya tremor otot, dan terjadi gerakansubstitusi.

f. Berikan perintah verbal yang tepat.

24
g. Tentukan jumlah repetisi, pada umunya 8-10 xrepetisi.

6. Bridging Exercise

Bridging Eksercise biasa Definisi Bridging exercise biasa disebut pelvic

bridging exercise yang mana latihan ini baik untuk latihan penguatan stabilisasi

pada glutei, hip dan punggung bawah (Miller, 2012). Bridging exercise adalah

cara yang baik untuk mengisolasi dan memperkuat otot gluteus dan hamstring

(belakang kaki bagian atas ). Jika melakukan latihan ini dengan benar, bridging

exercise digunakan untuk stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan

otot perut serta otot-otot punggung bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise

dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilitas atau

keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang (Quinn, 2012). Meskipun bridging

exercise merupakan latihan yang mudah untuk dilakukan, sangat bermanfaat

dalam mempertahankan kekuatan di punggung bawah dan berguna dalam

program pencegahan sakit punggung bawah. Bridging exercise juga merupakan

latihan yang bagus yang memperkuat otot-otot paraspinal, otot-otot kuadrisep di

bagian atas paha, otot-otot hamstring di bagian belakang paha, otot perut dan

otototot glutealis. Tujuan bridging exercise memiliki tujuan sebagai berikut : -

Mengisolasi dan memperkuat otot gluteus dan hamstring. - Untuk stabilitas dan

latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot-otot punggung bawah

dan hip. - Sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilisasi

tulang belakang.

7. Stimulasi Taktil

25
Stimulasi taktil merupakan suatau rangsangan melalui sentuhan dan

tekanan. Stimulasi taktil pada prinsipnya harus menimbulkan kontraksi otot

sehingga merangsang golgi tendon dan gelondong otot. implus yang berasal

dari gelendong otot dan organ tendon dikirim oleh serat konduksi yang

paling kaya bermielin. Impuls propioseptif lain yang berasal atau bermula

dari reseptor fasia, sendi dan jaringan ikat yang lebih dalam, berjalan

kedalam serat yang kurang bermielin. Ketukan, swiping, tapping dan

aproksimasi akan merangsang  propioseptor pada kulit dan persendian,

gelondong otot akan bereaksi dengan dikirimnya impuls ke motoneuron

anterior, perangsangan neuron ini menyebabkan peningkatan kontraksi secara

singkat usunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasilitasi dan

inhibisi (gracanin). Rangsangan taktil yang selalu diulang - ulang akan

memberikan informasi ke"supraspinal mechanisme sehingga terjadi pola

gerak yang terintegrasi dan menjadi Gerakan - gerakan pola fungsional.

Stimulasi taktil melalui saraf motoris perifer melatih fungsi tangan "graps

dan "release" serta dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah

dalam melakukan Gerakan (Permadi,2019).

Dengan adanya aproksimasi sendi yang terputus-putus ringan dan halus

sehingga mampu memfasilitasi dan meningkatkan postural tonus melalui

aktivitas sekitar sendi. Dengan upaya stimulasi bertujuan untuk memperkuat dan

meningkatkan kekuatan otot. Tujauannya meningkatkan reaksi-reaksi pada

aneka yang bertujuan untuk memelihara posisi dan pola yang dipengaruhi oleh

gaya gravitasi secara otomatik.

26
Pada penderita pasca stroke stadium akut, keadaan tonus ototnya menurun

(hipotonus). Oleh karena itu tonus otot harus dinaikkan sehingga mendekati

normal agar penderita mudah melakukan gerakan. Salah satu cara untuk

menaikkan tonus otot yaitu dengan aproksimasi dan sweep tapping (Johnstone,

1991). Rangsangan yang bersifat penekanan , penarikan dan penegangan

terhadap proprioseptif yang berada pada otot, tendon, dan persendian

mengakibatkan dicetuskannya impuls proprioseptif (Sidharta, 1995).

Aproksimasi adalah teknik stimulasi pada proprioseptif dengan pemberian

penekanan pada persendian sehingga dapat merangsang otot-otot sekitar

persendian berkontraksi untuk mempertahankan posisi sendi (Bobath, 1970).

Sedangkan sweep tapping adalah upaya peningkatan tonus otot melalui

stimulasi taktil dengan mengusap anggota gerak pasien dengan telapak tangan

sehingga menimbulkan respon kontraksi otot secara cepat (Sukadarwanto,

2000).

8. Massage

Menurut Mumfrod (2001: 10) Massage adalah rangkaian yang terstrukrtur

dari tekanan atau sentuhan. Tangan dan bagian tubuh yang lain seperti lengan

bawah dan siku dapat digunakan untuk melakukan manipulasi di atas kulit,

terutama pada bagian otot dengan gerakan mengurut,menggosok,memukul, dan

menekan. Sedangkan Menurut Katsusuke (1996 : 61) Massage atau pijat

didasarkan pada ide bahwa jantung ialah pusat pertumbuhan. Karena itu, cara

pengobatannya mengikuti sistem peredaran darah, terutama nadinadi arteri, dan

27
bergerak masuk kedalam dari ujung tubuh menuju kejantung..(Abdul

latief,dkk,2013).

a. Efek Fisiologis

- Pengaruh Massage terhadap Peredaran Darah dan Lymphe

- Pengaruh Massage Terhadap Kulit

- Pengaruh Massage terhadap Jaringan Otot

b. Efek Terapeutik

- Mengulur otot

- Mengurangi spasme

- Membebaskan perlengketan

- Mengurangi nyeri.

c. Indikasi Pemberian Massage

Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberin massage antara lain :

Spasme otot, Nyeri, Kasus-kasus oedem, Kasus-kasus perlengketan jaringan

Kasus-kasus kontraktur

28
BAB IV

PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien

Nama : Ny . N

Umur : 83 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pensiunan Guru

Alamat : Gowa

B. History Taking

Kelqauhan utama : Kelemahan pada lengan dan tungkai pada sisi kiri

tubuh serta wajah merot ke kanan

Lokasi keluhan : Sisi kiri lengan dan tungkai

Faktor penyebab : Non-Hemoragic Stroke (NHs)

Faktor memperingan : ketika beristirahat

Faktor memperberat : ketika beraktivitas

RPP : Pada hari Rabu, 7 September 2022 pasien bangun di

soreh hari tiba-tiba pasien merasakan lemah pada sisi kiri lengan dan tungkainya, di

ikuti dengan wajah merot ke salah satu sisi, dan akhirnya pasien di bawa ke rumah

sakit, lalu di rujuk ke ruang fisioterapi

Riwayat penyakit penyerta : Hipertensi dan DM

Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada

C. Inspeksi/Observasi

29
1. Statis:

a. Bahu asimetris

b. Wajah merot ke kanan

c. Tangan kanan pasien menjuntai

2. Dinamis:

a. Pasien datang dengan menggunakan bed

b. Pasien tidak mampu menggerakkan lengan dan tungkai kanan

D. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi

1. Vital sign

a. Tekanan darah : 163/79 mmHg

b. Denyut nadi : 72 x/ menit

c. Frekuensi pernapasan : 20 x/ menit

d. Suhu : 36.7 ℃

2. Palpasi

a. Suhu : normal.

b. Kontur kulit : Tidak ada

c. Oedem : Tidak ada

d. Tonus Otot : Hipotonus

3. Pemeriksaan Sensory Integrity

a. Tes tajam tumpul : Tungkai : Tidak Normal

Lengan : Tidak Normal

b. Tes kasar halus : Tungkai : Tidak Normal

30
Lengan : Tidak Normal

4. Pemeriksaan Refleks

 Reflex fisiologis

Skala Gradasi Refleks

0 : Tidak ada reflex

1+ atau + : Hipoaktif

2+ atau ++ : Normal

3+ atau +++ : Hiperaktif tanpa klonus

4+ atau ++++ : Hiperaktif dengan Klonus

1. .Biceps Tendon reflex

Cara: Tempatkan ibu jari tangan pemeriksa di atas tendon biceps pasien

pada fossa cubiti, lalu ketuklah jari anda dengan palu reflex atau rubber

hummer.

Hasil: (0) Tidak Normal

2. Triceps Tendon Reflex

Cara: Tempatkan ibu jari tangan pemeriksa di atas tendon triceps pasien

pada fossa olecranon, lalu ketuklah jari anda dengan palu reflex atau

rubber hummer.

Hasil: (0) Tidak Normal

3. Pattelar Tendon Reflex

Cara: Ketuklah tendon patella pasien dengan palu reflex atau rubber

hummer.

Hasil: (+) Hipoaktif

31
4. Reflex achilles

Cara: Tungkai pasien di fleksikan sedikit kemudian fisioterapis memegang

kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsoflexi ringan pada

kaki.lakukan ketukan pada tendon Achilles.

Hasil : (+) Hipoaktif

 Refleks Patologis

1. Babinsky

Cara : pasien dalam posisi tidur terlentang, kemudian Tarik garis dari tumit

ke sepanjang arah lateral kaki kea rah jari-jari kaki dengan cepat

Hasil : Positif

5. Pengukuran Kekuatan Otot Dengan Manual muscle testing (MMT)

Nilai Keterangan

0 Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi

1 Adanya kontraksi otot,dan tidak ada pergerakan sendi

2 Adanya kontraksi otot, dan adanya pergerakan sendi full ROM

3 Adanya kontraksi otot,dan adanya pergerakan sendi full ROM

dan mampu melawan gravitasi

4 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full

ROM,mampu melawan gravitasi dan tahanan minimal

5 Mampu melawan tahanan maksimal

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan ditemukan hasil :

32
Grup Otot Nilai Otot

Dextra Sinistra

Extremitas M. Deltoid

superior M. Biceps Brachii

M. Brachialis
5 0
M. Brachioradialis

M. Pronator Teres

M. Fleksor Wrist

M. Ekstensor Wrist

Extremitas M. Hamstring

inferior M. Quadricep 5 1

M. Gastrocnemius

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan didapatkan hasil:

5 0

5 1

6. Manual Muscle Testing (MMT) Pada Otot Wajah

Nama otot Kiri Kanan

M. Frontalis 5 5

M. corrugator supercilli 5 5

M. Orbicularis oculli 5 3

33
M. Nasalis 5 3

M. Orbicularis oris 5 3

M. Zigomaticum mayor et minor 5 3

M. Buccinator 5 3

M. Levator labii superior 5 3

M. Depresor labii inferior 5 3

M. Platisma 5 3

M. Mentalis 5 3

7. Skala Asworth

Gradas Deskripsi

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Sedikit peningkatan tonus otot,ditandai adanya “Catch &

release” atau tahanan minimal pada akhir LGS. Saat bagian

yang terkena atau bagian-bagiannya digerakkan fleksi atau

ekstensi

1+ Sedikit peningkatan tonus otot ditandai adanya “Catch &

release” atau tahanan minimal sepanjang LGS (Kurang dari

setengah)

2 Ditandai peningkatan yang lebih pada tonus otot,kesulitan

Gerakan pasif

34
3 Bagian yang terkena atau bagian-bagiannya rigid dalam

fleksi atau ekstensi

4 Sendia atau ekstremitas kaki/rigid pada Gerakan fleksi atau

ekstensi

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan:

Lengan : 0

Tungkai :0

Trunk : 0

8. Pengukuran kemampuan Activity Daily Living menggunakan Index barthel

No Item yang dinilai Skor Nilai

1. Makan 0 = tidak mampu mandiri 1

1 = perlu bantuan memotong

mengoles mentega, dan

sebagainya, atau perlu mengubah

diet

2 = Mandiri

2. Mandi 0 = tidak mampu mandiri 0

1 = mandiri

3. Merawat diri 0 = perlu bantuan untuk 1

perawatan diri

1 = mandiri untuk

wajah/rambut/gigi

35
4. Berpakaian 0 = tidak mampu mandiri 1

1 = perlu bantuan untuk bisa

melakukan sendiri atau stengah

dibantu.

2 = mandiri (termasuk

kencing,resleting,dsb)

5. Buang Air Besar (BAB) 0 = tidak mandiri 0

1 = kadang-kadang mandiri

2 = mandiri

6. Buang Air Kecil (BAK) 0 = tidak mandiri 0

1 = kadang-kadang mandiri

2 = mandiri

7. Menggunakan toilet 0 = tidak mandiri 0

1 = kadang-kadang mandiri

2 = mandiri

8. Bergerak 0 = tidak mampu, tidak 0

seimbang

1 = butuh bantuan satu atau dua

orang

2 = bantuan minimal

3 = mandiri

36
9. Mobilitas 0 = tidak bisa berjalan 0

1 = bergantung pada kursi roda

2 = berjalan dengan bantuan satu

orang

3 = mandiri

10. Naik Tangga 0 = tidak mampu mandiri 1

1 = butuh bantuan

2 = mandiri

Total 0-20 4

Interpretasi: 4 ( Ketergantungan total)

20 : mandiri

12-19 : ketergantungan ringan

9-11: ketergantungan sedang

8-5 : ketergantugan berat

0-4: ketergantungan total

9. Pemeriksaan Postural dan Balance

No Item Berg Balance Scale

1. Duduk ke berdiri

Instruksi:“Silahkan berdiri. Cobalah untuk tidak menggunakan tangan

anda untuk menumpu.”

( ) 4 Mampu tanpa menggunakan tangan dan berdiri stabil

37
( ) 3 Mampu berdiri stabil tetapi menggunakan support tangan

( ) 2 Mampu berdiri dengan stabil support tangan setelah beberapa kali

mencoba

( ) 1 Membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri stabil

(√ ) 0 Membutuhkan bantuan sedang sampai maksimal untuk berdiri

2. Berdiri tak bersangga

Instruksi : Silahkan berdiri selama 2 menit tanpa penyangga.

( ) 4 Mampu berdiri dengan aman selama 2 menit

( ) 3 Mampu berdiri selama 2 menit dengan pengawasan

( ) 2 Mampu berdiri selama 30 detik tanpa penyangga

( ) 1 Butuh beberapa kali mencoba untuk berdiri 30 detik tanpa

penyangga

(√) 0 Tidak mampu berdiri 30 detik tanpa bantuan, Jika subyek mampu

berdiri selama 2 menit tak tersangga, maka skor penuh untuk item 3 dan

proses dilanjutkan ke item 4

3. Duduk tak tersangga tetapi kaki tersangga pada lantai atau stool

Instruksi : Silahkan duduk dengan melipat tangan selama 2 menit.

( ) 4 Mampu duduk dengan aman selama 2 menit

( ) 3 Mampu duduk selama 2 menit dibawah pengawasan

( ) 2 Mampu duduk selama 30 detik

(√ ) 1 Mampu duduk selama 10 detik

( ) 0 Tidak mampu duduk tak tersangga selama 10 detik

38
4. Berdiri ke duduk

Instruksi : Silahkan duduk.

( ) 4 Duduk aman dengan bantuan tangan minimal

( ) 3 Mengontrol gerakan duduk dengan tangan

( ) 2 Mengontrol gerakan duduk dengan paha belakang menopang dikursi

( ) 1 Duduk mandiri tetapi dengan gerakan duduk tak terkontrol

(√) 0 Membutuhkan bantuan untuk duduk

5. Transfer

Instruksi : Atur jarak kursi . Mintalah subyek untuk berpindah dari kursi

yang memiliki sandaran tangan ke kursi tanpa sandaran atau dari tempat

tidur ke kursi.

( ) 4 Mampu berpindah dengan aman dan menggunakan tangan minimal.

( ) 3 Mampu berpindah dengan aman dan menggunakan tangan

( ) 2 Dapat berpindah dengan aba-aba atau dibawah pengawasan

( ) 1 Membutuhkan satu orang untuk membantu

(√ ) 0 Membutuhkan lebih dari satu orang untuk membantu

6. Berdiri tak tersangga dengan mata tertutup

Instruksi : Silahkan tutup mata anda dan berdiri selama 10 detik.

( ) 4 Mampu berdiri dengan aman selama 10 detik

( ) 3 Mampu berdiri 10 detik dengan pengawasan

( ) 2 Mampu berdiri selama 3 detik

( ) 1 Tidak mampu menutup mata selama 3 detik

39
(√) 0 Butuh bantuan untuk menjaga agar tidak jatuh

7. Berdiri tidak tersangga dengan kaki rapat

Instruksi : Tempatkan kaki anda rapat dan pertahankan tanpa topangan.

( ) 4 Mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri selama 1 menit

( ) 3 Mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri selama 1

menit dibawah pengawasan

( ) 2 Mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri selama 30

detik

( ) 1 Membutuhkan bantuan memposisikan kedua kaki, mampu berdiri 15

detik

(√) 0 Membutuhkan bantuan memposisikan kedua kaki, tdk mampu

berdiri 15 Detik

8. Meraih kedepan dengan lengan lurus secara penuh

Instruksi : Angkat tangan kedepan 90 derajat. Julurkan jari-jari anda dan

raih kedepan. (Fisioterapis menepatkan penggaris dan mintalah meraih

sejauh mungkin yang dapat dicapai, saat lengan mencapai 90 derajat. Jari

tidak boleh menyentuh penggaris saat meraih kedepan. Catatlah jarak

yang dapat dicapai, dimungkinkan melakukan rotasi badan untuk

mencapai jarak maksimal).

( ) 4 Dapat meraih secara meyakinkan >25 cm (10 inches)

( ) 3 Dapat meraih >12.5 cm (5 inches) dengan aman.

( ) 2 Dapat meraih >5 cm (2 inches) dengan aman.

40
( ) 1 Dapat meraih tetapi dengan pengawasan

(√) 0 Kehilangan keseimbangan ketika mencoba

9. Mengambil objek di lantai dari posisi berdiri

Instruksi : Ambil sepatu/sandal yang berada di depan kaki anda.

( ) 4 Mampu mengambil dengan aman dan mudah

( ) 3 Mampu mengambil, tetapi butuh pengawasan

( ) 2 Tidak mampu mengambil tetapi mendekati sepatu 2-5cm (1- 2

inches) dengan seimbang dan mandiri.

( ) 1Tidak mampu mengambil, mencoba beberapa kali dengan

pengawasan

(√ ) 0 Tidak mampu mengambil, dan butuh bantuan agar tidak jatuh

10. Berbalik untuk melihat ke belakang

Instruksi : Menoleh kebelakang dengan posisi berdiri ke kiri dan kekanan

Fisioterapis dapat menggunakan benda sebagai obyek yang mengarahkan

( ) 4 Melihat kebelakang kiri dan kanan dengan pergeseran yang baik

( ) 3 Melihat kebelakan pada salah satu sisi dengan baik, dan sisi lainnya

kurang

( ) 2 Hanya mampu melihat kesamping dengan seimbang

( ) 1 Membutuhkan pengawasan untuk berbalik

(√) 0 Membutuhkan bantuan untuk tetap seimbang dan tidak jatuh

11. Berbalik 360 derajat

Instruksi : Berbalik dengan satu putaran penuh kemudian diam dan

41
lakukan pada arah sebaliknya.

( ) 4 Mampu berputar 360 derajat selama

( ) 3 Mampu berputar 360 derajat dengan aman pada satu sisi selama 4

detik atau kurang

( )2 Mampu berputar 360 derajat dengan aman tetapi perlahan

( ) 1 Membutuhkan pengawasan dan panduan

(√) 0 Membutuhkan bantuan untuk berbalik

12. Menempatkan kaki bergantian ke stool dalam posisi berdiri tanpa

penyangga

Instruksi : Tempatkan kaki pada step stool secara bergantian. Lanjutkan

pada stool berikutnya

( ) 4 Mampu berdiri mandiri dan aman, 8 langkah selama 20 detik

( ) 3 Mampu berdiri mandiri dan aman, 8 langkah selama >20 detik

( ) 2 Mampu malakukan 4 langkah tanpa alat bantu dengan pengawasan

( ) 1 Mampu melakukan >2 langkah, membutuhkan bantuan minimal

(√) 0 Membutuhkan bantuan untuk tidak jatuh

13. Berdiri dengan satu kaki di depan kaki lainnya

Instruksi : (Peragekan kepada subyek) Tempatkan satu kaki didepan kaki

yang lainnya. Jika anda merasa kesulitan awali dengan jarak yang luas.

( ) 4 Mampu menempatkan dgn mudah, mandiri dan bertahan 30 detik

( ) 3 Mampu menempatkan secara mandiri selama 30 detik

( ) 2 mampu menempatkan dgn jarak langkah kecil, mandiri selama 30

42
detik

( ) 1 Membutuhkan bantuan untuk menempatkan tetapi bertahan 15 detik

(√) 0 Kehilangan keseimbangan ketikan penempatan dan berdiri

14. Berdiri dengan satu kaki

Instruksi : Berdiri dengan satu kaki dan pertahankan.

( ) 4 Mampu berdiri dan bertahan >10 detik 3 Mampu berdiri dan

bertahan 5-10 detik

( ) 2 Mampu berdiri dan bertahan >3 detik

( ) 1 Mencoba untuk berdiri dan tidak mampu 3 detik, tetapi mandiri

(√ ) 0 Tidak mampu, dan membutuhkan bantuan agar tidak jatuh

Skor total 42 (Maximum = 56)

Interpretasi : 41-56 = resiko jatuh ringan

21-40 = resiko jatuh sedang

0-20 = resiko jatuh berat

Hasil : 1 resiko jatuh berat

E. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD)

Gangguan Fungsional et causa Hemiparese Sinistra Post Stroke Non Hemoragik

(NHS)

F. Problematik Fisioterapi

HEMIPHARESE BAGIAN SINISTRA

43
Impairment: Activity Limitation: Participation Retriction:
- Kelemahan otot sisi kiri - Kesulitan - Pasien tidak dapat
menggerakkan lengan bekerja seperti
- Wajah merot ke kanan
dan tungkai kiri sebelumnya dan susah
-Hilangnya stimulasi berinteraksi dengan
- Kesulitan melakukan
lingkungan
transfer position
taktil

- Gangguan Koordinasi

Pemeriksaan dan Pengukuran


No. Komponen ICF
yang membuktikan

1. Impairment

  Kelemahan otot sisi kiri MMT

Wajah Merot ke kanan Inspeksi

Gangguan Koordinasi Tes Koordinasi

Hilangnya stimulasi taktil Pemeriksaan Sensory Integrity

2. Activity Limitation

Kesulitan mengerakan lengan dan

  tungkai sisi kiri Indeks Barthel

Kesulitan melakukan transfer

  position Berg Balance Scale

3. Participation Retriction

Pasien tidak dapat bekerja seperti Indeks Barthel dan Berg Balance

sebelumnya dan susah berinteraksi scale

44
dengan lingkungan

45
BAB V

PROSEDUR INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan kemampuan fungsional sehingga dapat beraktivitas kembali

seperti biasa tanpa hambatan.

2. Tujuan Jangka Pendek

a. Meningkatkan kekuatan otot

b. Mengembalikan bentuk wajah seperti semula

c. Memperbaiki keseimbangan

d. Memperbaiki fungsi koordinasi

e. Meningkatkan kemampuan taktil

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

NO. Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi

1. Impairment

Kelemahan otot sisi kiri Meningkatkan Passive exercise, active

kekuatan otot assisted exercise, PNF

lengan dan tungkai

Wajah merot ke kanan Mengembalikan Massage

bentuk wajah

Hilangnya stimulasi taktil Mengembalikan Stimulasi taktil

Stimulasi taktil

46
Gangguan Koordinasi Memperbaiki PNF (rytmical Initiation)

fungsi Koordinasi

2. Activity Limitation

Kesulitan menggerakkan lengan Mengembalikkan Passive exercise, PNF

dan tungkai aktivitas lengan (rytmical Initiation)

dan tungkai

Kesulitan melakukan transfer Menguatkan otot- Strengthening, Bridging

position otot panggul Exercise

3. Participation Retriction

Pasien tidak dapat bekerja seperti Mengembalikan Massage, Bridging

sebelumnya dan susah kemampuan pasien exercise, passive

berinteraksi dengan lingkungan dalam bekerja exercise,

seperti

sebelumnyadan

berinteraksi

dengan lingkungan

C. Prosedur Pelaksanaan Fisioterapi

47
1. Infra Red (IR)

Tujuan : Membantu merileksasikan otot-otot yang kaku, terjadi

vasodilatasi yang dapat memperbaiki sirkulasi darah

dan memperbaiki proses metabolisme didalam tubuh.

Persiapan alat : Cek alat, kabel dan pastikan alat dalam keadaan baik

dan tersambung dengan arus listrik

Posisi pasien : Posisi pasien supine lying

Posisi fisioterapis : Berdiri di samping bed

Teknik : Infra red diletakkan dengan jarak 45-60cm. Sinari

pada lengan dan tungkai sisi kiri

Time : 15 menit

2.TENS

Tujuan : Mengurangi rasa nyeri

Persiapan alat : Pastikan alat tersambung dengan listrik dan kabel.

Dalam keadaan baik. Kemudian nyalakan alat dan letak pad elektroda pada

daerah yang meraskan nyeri dan pastikan pad elektroda keadaan basah

Posisi pasien : Posisi pasien supine lying

Posisi fisioterapis : Berdiri di samping bed

Teknik : Pastikan pasien dalam keadaan comfortable, kemudian fisioterapi

menaikkan intensitas sampai paisen merasakan aliran listrik

3. Terapi Latihan

 Passive Exercise

48
Tujuan : Menghindari terjadinya kontraktur dan kekakuan

sendi

Posis pasien : Pasien dalam keadaan terlentang

Posisi fisioterapis : Berada disamping bed pasien

1) Wrist joint and finger joint : fisioterapis memegang tangan pasien yang

lemah, satu tangan fisioterapis memegang diatas pergelangan pasien

dan tangan yang satunya mengenggam tangan pasien dari sisi jari

kelingking yang lumpuh kemudian fisioterapis menggerakkan jari-jari

pasien dengan membuka dan menutup jari-jari secara bersamaan,

kemudian menggerakkan pergelangan tangan pasien kearah fleksi,

ekstensi pergelangan tangan, radial deviasi dan ulnar deviasi.

Gambar : Latihan gerak pasif pada pergelangan tangan dan jari-jari

(Kisner, 1996)

2) Elbow joint : satu tangan fisioterapis memegang pada pergelangan

tangan pasien yang lumpuh sedangkan tangan satunya memegang pada

siku pasien, dengan gentle fisioterapis menggerakkan lengan bawah

pasien kearah fleksi dan ekstensi kemudian gerakkan kearah supinasi

dan pronasi.

49
Gambar 4.6 Latihan gerak pasif pada sendi siku (Kisner, 1996)

3) Shoulder joint : tangan fisioterapis memegang pada pergelangan tangan

pasien sedangkan tangan yang satunya memegang pada siku sebagai

stabilisasi, gerakan yang dilakukan adalah gerak fleksi, ekstensi lengan

atas dengan siku tetap lurus (Gb. a), gerak abduksi dan adduksi (Gb. b)

setelah itu siku pasien difleksikan dan fisioterapis menggerakkan

kearah sirkumduksi.

a b

Gambar : Latihan gerak pasif pada sendi bahu (Kisner, 1996)

4) Ankle joint dan finger joint kaki, fisioterapis memegang jari jari pasien

kemudian secara bersamaan digerakkan kearah fleksi dan ekstensi jari

jari kaki (Gb. a), dilanjutkan dengan gerakan inversi dan eversi (Gb. b)

serta gerak plantar fleksi dan dorsal fleksi pergelangan kaki (Gb. c).

5)

a b

Gambar : Latihan gerak pasif pada pergelangan kaki (Kisner, 1996)

50
6) Knee joint dan hip joint dilakukan secara bersamaan : satu tangan

fisioterapis memegang tumit pasien yang lemah sedangkan tangan yang

satunya memegang dibawah lutut, kemudian fisioterapis menggerakkan

tungkai kearah fleksi dan ekstensi panggul disertai dengan fleksi dan

ekstensi pada sendi lutut (Gb. 4.9) kemudian menggerakkan abduksi

dan adduksi sendi panggul (Gb. 4.10), kemudian digerakkan kearah

sirkumduksi (Gb. 4.11)

Gambar 4.9 Latihan gerak fleksi dan ekstensi pasif pada panggul dan

lutut (Kisner, 1996)

Gambar 4.10 Latihan gerak abduksi dan adduksi pada sendi panggul

(Kisner, 1996)

51
Gambar 4.11 Latihan gerak sirkumduksi pada sendi panggul (Kisner,

1996)

Dosis :

F : 3 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : Passive

T : 10 kali repitisi

4. Resisted Active Exercise pada Tungkai

Tujuan : Untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai

Posisi Pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks.

Posisi fisioterapis : Berada di samping bed

Teknik Pelaksanaan : Satu tangan fisioterapis berada di knee joint

sedangkan tangan yang lainnya berada di telapak kaki pasien. Kemudian

fisioterapis melakukan gerakan fleksi knee lalu meminta pasien untuk

mendorong tangan fisioterapis yang ada di bawah telapak kaki pasien untuk

mengesktensikan kaki pasien. Lakukan 8 kali pengulangan.

5. Strengthening Exercise

Tujuan : Meningkatkan kekuatan otot tungkai

Posis pasien : Tidur terlentang diatas bed dalam keadaan rileks

Posisi fisioterapis : Berada disamping bed pasien

52
Teknik : Pasien memnggerakkan sendi setiap anggota gerak

atas dan bawah secara aktif kemudian terapis memberikan tahanan kearah

sebaliknya saat pasien menggerakkan.

Dosis :

F : 3 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : Strengthening

T : 8 kali repitisi

6. Bridging Exercise

Tujuan : untuk meningkatkan kekuatan otot-otot panggul dan melatih

keseimbangan

Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks dengan

kedua lutut ditekuk

Posisi fisioterapis : berada di samping bed

Teknik pelaksanaan : kedua tangan fisioterapis berada di lutut pasien untuk

memfiksasi. Kemudian minta pasien untuk mengangkat bokongnya dan

mempertahankan beberapa menit sesuai toleransi pasien

Dosis :

F : 5 kali/minggu

I : 8 hitungan, 5 kali reppetisi

T : Bridging

T : 1 menit

53
7. Latihan PNF

 Latihan Pada Anggota Gerak Atas

Posisi pasien tidur terlentang, fisioterapis memberikan latihan sesuai

dengan pola-pola gerakan lengan yang ada dalam teknik PNF yaitu

fleksiabduksi- eksorotasi, ekstensi-adduksi-endorotasi, ekstensi-abduksi

endorotasi

 Latihan Pada Anggota Gerak Bawah

Posisi pasien tidur terlentang, fisioterapis memberikan latihan sesuai

dengan pola pola gerakan tungkai yang ada dalam teknik PNF yaitu

fleksiabduksi- eksorotasi, ekstensi-adduksi-endorotasi, dan fleksi-adduksi-

endorotasi dengan lutut fleksi.

8. Massage

Posisi pasien : supine lying

Posisi fisioterapis : berdiri di belakang bed

Persiapan alat : baby oil

Tehnik pelaksanaan : baby oil diaplikasikan pada wajah pasien kemudian

massage secara perlahan dengan menggunakan tehnik stroking, tapping dan

kneeding di seluruh permukaan wajah pasien. kemudian lakukan stroking ke

sisi wajah yang mengalami parese selama 16-20x pengulangan.

9. Stimulasi Taktil

Tujuan : menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi

tendon dan muscle spindle

54
Posisi pasien : supine lying

Posisi fisioterapis : berdiri di samping pasien

Teknik : Aproksimasi dengan pemberian penekanan pada persendian di

daerah shoulder. Sedangkan sweep tapping dengan mengusap anggota gerak

pasien dengan telapak tangan sehingga menimbulkan respon kontraksi otot

secara cepat

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

a. Kepada pasien

Menjaga pola makan dan tetap semangat melakukan latihan

b. Kepada Keluarga Pasien

Agar terus memberikan semangat kepada pasien. Mendampingi dan melatih

pasien selama menjalani terapi, memperhatikan gula darah tekanan darah pasien

dengan rutin mengonsumsi obat yang di berikan oleh dokter.

2. Home Program

Home program yang diberikan kepada pasien yaitu melakukan latihan

mirror exercise agar dapat mengembalikan bentuk wajah yang asimetris ,selain itu

juga selalu menggerakkan tangan dan tungkainya, sering melakukan bridging

exercise didampingi oleh keluarga pasien untuk memperkuat otot gluteus,

hamstring, otot perut, otot punggung bawah dan hip.

E. Evaluasi Fisioterapi

No. Poblematik Intervensi Evaluasi

55
Fisioterapi Awal Terapi Akhir Terapi

1. Kelemahan otot sisi IRR, TENS, Passive - Extremitas - Extremitas

kiri exercise , active superior superior

assisted exercise, nilai 0 nilai 1

PNF, dan - Extremitas - Extremitas

strengthening. inferior nilai inferior

1 nilai 3

2. Wajah merot ke kanan Massage Wajah tampak Wajah Masih

Asimetris Asimetris

3. Hilangnya stimulasi Stimulasi Taktil Tidak merasakan Sudah merasakan

taktil dengan aproksimasi, stimulasi taktil stimulasi taktil

swipping, tapping

4. Kesulitan melakukan Bridging Resiko jatuh Resiko jatuh

transfer position exercise,PNF berat berat

5. Gangguan Koordinasi PNF (Rytmical Belum mampu Sudah mampu

Initation) melakukan melakukan

koordinasi koordinasi

namun masih

lambat

6. Pasien tidak dapat Bridgin exercise, Wajah tampak Pasien belum

bekerja seperti passive exercise, tidak semangat mampu untuk

56
sebelumnya dan susah PNF dan kesusahan untuk

beinteraksi dengan untuk berinteraksi

lingkungan berinteraksi dengan

dengan lingkungan

lingkungan

BAB VI

PEMBAHASAN

57
A. Pembahasan Assesment Fisioterapi

1. History Taking

Pemberian History Taking pada pasien bertujuan untuk menganalisa lebih

jelas tentang penyakit yang diderita oleh pasien dan dengan adanya history taking

membuat hubungan pasien dengan fisioterapis dapat terjalin dengan baik sehingga

pada saat penanganan dapat dengan mudah dilakukan.

2. Inspeksi

Inspeksi adalah suatu pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati

keadaan pasien secara langsung. Inspeksi dibagi menjadi 2, yaitu inspeksi statis

(inspeksi pada saat diam atau tidak bergerak) dan inspeksi dinamis (inspeksi pada

saat bergerak).

Dalam keadaan statis dilihat bahwa posisi bahu tampak asimetris, terdapat oedem

pada pergelangan tangan dan kaki. Sedangkan dalam keadaan dinamisnya pola jalan

abnormal, hilangnya swing phase pada pola berjalan, ketika berjalan membutuhkan

bantuan dan sulit menggerakkan lengan dan tungkai sisi sinistra

3. Pengukuran Fisioterapi

a. Sensory Integrity

Pasien neurologis yang kehilangan satu atau lebih indra mereka mungkin

menunjukkan fungsi motorik yang sangat terpengaruh, bahkan jika kekuatan

otot tetap tidak terpengaruh. Setelah stroke, pemulihan motorik dapat ditentukan

oleh tingkat gangguan sensorik. (Dylan,dkk. 2017). Secara klinis tes dan

pengukuran sensory integrity meliputi; proprioception, exteroceptor, dan

cortical sensation.

58
b. Reflex integrity

Fisioterapi menggunakan tes dan pengukuran ini untuk menentukan

excitability dari sistem saraf dan integritas sistem neuromuscular. Secara klinis,

tes dan pengukuran ini meliputi; deep tendon reflex. Refleks patela adalah deep

tendon reflex, dimediasi oleh saraf tulang belakang dari tingkat L2, L3, dan L4

di sumsum tulang belakang, terutama di akar L4. Tes refleks patela dilakukan

untuk menentukan integritas fungsi neurologis, yang dilakukan dengan cara

memukul tendon patela di bawah penutup lutut dengan uji hammer. (Leonardo,

dkk. 2019).

c. Tes Koordinasi

Identifikasi defisit dalam koordinasi interjoint penting untuk lebih

memfokuskan perawatan rehabilitasi ekstremitas atas setelah stroke. Performa

motor diukur oleh karakteristik perpindahan titik akhir sehingga untuk

mencapai, gerakan yang lebih baik dianggap lebih cepat, lebih akurat dan lebih

halus dengan tingkat variabilitas yang lebih rendah. (Yosuke,dkk. 2017). Secara

klinis, tes dan pengukuran ini meliputi, finger to nose, finger to therapist finger,

dan heel to knee to toe.

d. Manual Muscle Testing

Kelemahan otot yang timbul dari penghambatan neuron motorik atas)

adalah konsekuensi umum dari stroke dan biasanya muncul di ekstremitas

bawah). Kekuatan otot merupakan komponen penting bagi penderita stroke

untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Manual Muscle Testing (MMT) adalah

teknik yang banyak digunakan untuk menilai kekuatan otot dalam pengaturan

59
klinis. Teknik ini tidak mahal untuk dilakukan dan mengikuti protokol standar

(Hsiao,dkk. 2017)

e. Index Barthel

Ukuran yang kuat dari hasil fungsional diperlukan untuk menentukan

efek pengobatan dalam uji coba stroke. Dari berbagai ukuran yang tersedia,

indeks Barthel (BI) adalah salah satu yang lebih lazim. BI adalah ukuran valid

dari aktivitas kehidupan sehari-hari; kepekaan terhadap perubahan terbatas pada

tingkat kecacatan yang ekstrem (efek lantai dan langit-langit), dan keandalan

penilaian standar BI dapat diterima. (Terence,dkk. 2011).

f. Berg balance Scale

Berg balance scale dikembangkan untuk mengukur keseimbangan dan

kemampuan para lansia dengan gangguan fungsi keseimbangan secara objektif

melalui penilaian kinerja dari aktivitas fungsional (seperti duduk, berdiri,

berpindah tempat) untuk keseimbangan yang lebih aman selama melakukan

serangkaian kegiatan keseharian.

Tes klinis yang banyak digunakan untuk mengukur kemampuan

keseimbangan statis dan dinamis seseorang yang terdiri dari 14 perintah yang

dinilai dengan menggunakan skala ordinal (Langley & Mackintosh, 2007).

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

a. Infra red

Infra red merupakan sebuah radiasi elektromagnetik dimana panjang

gelombang lebih panjang dari cahaya tampak , tapi juga lebih pendek dari

60
gelombang radio. Infra red terbagi dalam 3 jenis menurut panjang gelombangnya,

yaitu infra red jarak dekat (0.75-1.5 um), infra red jarak menengah (1.50-10 um)

dan infra red dengan jarak jauh (10-100 um) (paseban, 2014). Infra red merupakan

modalitas yang dipakai oleh fisioterapi dengan pemanasan yang bertujuan untuk

merileksasikan dan meningkatkan aliran darah superficial pada pasien stroke. Terapi

latihan merupakan suatu rancangan dari pelaksanaan gerak tubuh, postur, atau

aktivitas fisik yang disusun secara sistematis. Terapi latihan bertujuan untuk

mempersiapkan pasien atau klien dengan mengacu pada pencegahan atau perbaikan

impairment, memperbaiki atau menyimpan kembali serta menambah fungsi fisik,

mencegah atau memperkecil faktor resiko kesehatan yang berhubungan dengan

kondisi yang dihadapi, dan mengoptimalkan keseluruhan status kesehatan (Kisner,

2007).

b. TENS

TENS (Transcutaneous Electrical Nerves Stimulation) memberikan efek

fisiologis antara lain : efek pada jaringan tubuh, stimulasi saraf sensorik, stimulasi

saraf motorik, efek pada kontraksi otot, stimulasi pada saraf denervated, dan efek

kimia dari stimulasi.

c. Active assisted exercise

Menurut (Kisner, 2012) bahwa terapi latihan adalah suatu program terapi yang

ditujukan secara individu kepada setiap pasien berdasarkan problem masalah

masing-masing agar mampu melakukan aktivitas fungsional secara mandiri ataupun

mendapatkan bantuan seminimal mungkin. Latihan yang dimaksudkan adalah

berupa latihan fisik pada pasien baik secara mandiri maupun dengan bantuan/

61
Fisioterapis. Dilakukan secara aktif ataupun pasif pada sendi yang ingin dilatih

dengan waktu dan intensitas yang telah ditentukan.

d. Passive exercise

Gambaran studi dari sistem saraf setelah cedera otak mengkonfirmasi

pemulihan sistem motorik otak selama masa pemulihan. Telah ditunjukkan bahwa

pada fase kronis setelah infark serebral, sirkuit fungsional restrukturisasi bekerja;

hal ini menyediakan perluasan lokal area aktivasi serebral dan perekrutan area

kortikal proyeksi paralel di belahan ipsilesional dan kontralesi. Telah

dihipotesiskan bahwa mekanisme efek latihan gerak aktif dan pasif pada sistem

saraf adalah pengaktifan kembali sambungan saraf yang ada, perkembangan

sambungan baru, dan regenerasi aksonal. Melakukan berbagai latihan gerak setelah

stroke menyebabkan perubahan pada korteks sensorimotor dan meningkatkan fungsi

motorik pada pasien. (Hosseini, 2019).

e. Strengthening

Stroke adalah penyebab kematian ketiga paling umum di dunia barat dan

penyebab paling umum dari jangka panjang cacat dewasa (Bath, 2005). Diakui

bahwa negatif gangguan motorik setelah stroke, misalnya kehilangan kekuatan dan

ketangkasan, berkontribusi paling besar terhadap kecacatan (Burke, 1988). Latihan

strengthening biasanya dianggap progresif latihan ketahanan. Intervensi

strengthening meningkatkan kekuatan, meningkatkan aktivitas, dan tidak

meningkatkan spastisitas. Penemuan ini menunjukkan bahwa program strengthening

harus menjadi bagian dari rehabilitasi pasca stroke. (Simone. dkk, 2006).

f. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

62
Latihan Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) adalah latihan

terapeutik yang sangat efektif untuk peningkatan ketebalan otot, keseimbangan

dinamis, dan gaya berjalan, dan banyak digunakan dalam pengaturan klinis untuk

meningkatkan fungsi fisik pasien stroke. Pengobatan PNF yang sering

digunakanuntuk latihan terapi pasien stroke, dapat menurunkan tonus otot yang

meningkat secara tidak normal dan kekakuan otot Lower Extremities pada sisi yang

terkena. (Joong, dkk. 2016).

g. Bridging Exercise

Bridging exercise biasa disebut pelvic bridging exercise yang mana latihan ini

baik untuk latihan penguatan stabilisasi pada glutei, hip dan punggung bawah

(Miller, 2012). Bridging exercise adalah cara yang baik untuk mengisolasi

dan memperkuat otot gluteus dan hamstring (belakang kaki bagian atas ). Jika

melakukan latihan ini dengan benar, bridging exercise digunakan untuk stabilitas

dan latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot- otot punggung bawah

dan hip. Akhirnya, bridging exercise dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar

untuk meningkatkan stabilitas atau keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang

(Quinn, 2012).

h. Massage

Massage merupakan suatu metode penyembuhan atau terapi kesehatan tradisional,

dengan cara memberikan tekanan kepada tubuh, baik secara terstruktur, tidak

terstruktur, menetap, atau berpindah tempat dengan memberikan tekanan, gerakan,

atau getaran, baik dilakukan secara manual ataupun menggunakan alat mekanis.

63
i. Stimulasi Taktil

Pada penderita pasca stroke stadium akut, keadaan tonus ototnya menurun

(hipotonus). Oleh karena itu tonus otot harus dinaikkan sehingga mendekati normal

agar penderita mudah melakukan gerakan. Salah satu cara untuk menaikkan tonus

otot yaitu dengan aproksimasi dan sweep tapping (Johnstone, 1991). Rangsangan

yang bersifat penekanan , penarikan dan penegangan terhadap proprioseptif yang

berada pada otot, tendon, dan persendian mengakibatkan dicetuskannya impuls

proprioseptif (Sidharta, 1995). Aproksimasi adalah teknik stimulasi pada

proprioseptif dengan pemberian penekanan pada persendian sehingga dapat

merangsang otot-otot sekitar persendian berkontraksi untuk mempertahankan posisi

sendi (Bobath, 1970). Sedangkan sweep tapping adalah upaya peningkatan tonus

otot melalui stimulasi taktil dengan mengusap anggota gerak pasien dengan telapak

tangan sehingga menimbulkan respon kontraksi otot secara cepat (Sukadarwanto,

2000).

BAB VII

PENUTUP

KESIMPULAN

64
Stroke merupakan penyakit yang terjadi karena terganggunya peredaran

darah otak yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak sehingga

mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian pada penderita stroke, stroke dibagi

menjadi dua jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (Batticaca,

2008). Menurut World Health Organization (WHO) dalam Muttaqin (2011) stroke

didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah

diotak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik lokal

maupun global yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang dapat

menyebabkan kematian. Stroke Hemoragik merupakan perdarahan yang terjadi

karena pecahnya pembuluh darah pada daerah otak tertentu dan stroke non

hemoragik merupakan terhentinya sebagaian atau keseluruhan aliran darah ke otak

akibat tersumbatnya pembuluh darah otak (Wiwit, 2010).

SARAN

Dalam melakukan pelayanan fisiotrapi hendaknya sesuai prosedur yang

ada ,sebelum melakukan terapi,fisioterapi melakukan pemeriksaan yang teliti dan

sistematis sehingga dapat memecahkan permasalahan pasien secara rinci . Saran

bagi pasien agar melakukan latihan-latihan yang diberikan oleh fisioterapis agar

mendapatkan hasil yang optimal.

LAMPIRAN DOKUMENTASI

65
66
DAFTAR PUSTAKA

Sinta. 2019. Anantomi dan Fisiologi Otak. Bali. Universitas Udayana

American Stroke Association & American Heart Association (AHA). 2015. The Stroke

Family

De Freitas G. R., Christoph D. D. H., Bogousslavsky J. 2009. Topographic Classification

Of Ischemic Stroke, In Fisher M. (Ed). Handbook Of Clinical Neurology, Vol. 93

(3rd Series). Elsevier BV.

Amin, A. A., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2018). Pengaruh Infra Red dan Terapi Latihan terhadap

Stroke Hemiparese Dextra ec Non Hemorage. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, 7(1).

Adler,SS.,Beckers & Buckers, (2008). PNF in practice An Illustrated GuideThird edition

With 215 Figures in 564 Separate Illustrations :Printed in Germany

Alim, Abdul , (2012) Latihan Fleksibilitas dengan Metode PNF.

Harb, Andrew., Kishner, Stephen. 2020. Modified Ashworth Scale. StatPearls Publishing.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554572/. Diakses pada 18 Desember 2020.

67

Anda mungkin juga menyukai