DISUSUN OLEH:
Kelompok
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..............................................................................................
Daftar Isi .........................................................................................................
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................3
C. Tujuan........................................................................................................3
ii
J. Intervensi keperawatan..............................................................................33
K. Catatan perkembangan..............................................................................40
Daftar Pustaka................................................................................................
iii
A. Latar Belakang BAB I
PENDAHULUAN
1
peningkatan jumlah pasien stroke di beberapa negara Eropa sebesar 1,1 juta
2
pertahun pada tahun 2000 menjadi 1,5 juta pertahun pada tahun 2025.
American Heart Association (AHA) menyebutkan bahwa setiap 45 menit
ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke. Stroke menduduki
peringkat ke-3 setelah penyakit jantung dan kanker (Sikawin, 2013).
Sedangkan menurut National Health Services (NHS) Inggris menghabiskan
sekitar 4% total anggarannya untuk menyediakan perawatan bagi penderita
stroke. Lembaga-lembaga pelayanan sosial juga menghabiskan biaya yang
besar untuk menyediakan pelayanan yang berkesinambungan bagi penderita
stroke, baik yang di rawat di rumah maupun di pelayanan kesehatan (Rudd
2010 dalam Yudha 2014)
Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun
2013, prevalensi kasus stroke tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara
(10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa
Tengah sebesar 7,7%. Prevalensi stroke antara laki-laki dengan perempuan
hampir sama (Kemenkes, 2013).
Sumatera Barat dalam prevelansi penyakit stroke menempati urutan
ke 6 (enam) dari 33 provinsi setelah provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Kepulauan Riau, Gorontalo, DKI Jakarta, NTB, dengan presentase 10,6%
(BPS, 2011). Sedangkan data yang terdapat di Ruang Neurologi RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi didapatkan data jumlah pasien stroke
hemoragik pada tahun 2021 sebanyak 36 orang pasien. Pasien yang di rawat
di ruangan HCU keadaan bed rest, belum bisa membalas respon yang
diberikan perawat dan mengalami tekanan darah tinggi, lemah anggota
gerak sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri.
Menurut Tarwoto (2013), masalah keperawatan yang biasanya muncul pada
pasien stroke hemoragik diantaranya ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral, ketidakefektifan bersihan jalan napas , ketidakefektifan pola
napas., hambatan mobilitas fisik, hambatan komunikasi verbal, gangguan
perawatan diri (ADL), hingga gangguan eliminasi.
Peran perawat yang paling utama di ruang HCU bangsal syaraf
menurut Junaidi (2011), diantaranya memastikan kepatenan ABC (Airway,
Breathing, Circulation), serta memantau tekanan darah tiap jam dan bagi
3
pasien yang mengalami penumpukan saliva dilakukan suction serta
perubahan posisi miring setiap 2-4 jam.
Berdasarkan data dari buku laporan ruangan igd RSUD Dr. Achmad
Mochtar tahun 2022 jumlah pasien yang dirawat di ruang igd yaitu
sebanyak 48 orang pasien dengan stroke hemoragik. Berdasarkan latar
belakang diatas peneliti tertarik melakukan “Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat Pada Ny.N Dengan Stroke Hemoragik Di Ruang IGD RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2023”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada pasien Stroke
Hemoragik di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi”
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan kepada
pasien Ny.n dengan stroke hemoragik di Ruang IGD RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi
2) Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pada pasien
Ny.n dengan stroke hemoragik di Ruang IGD RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi
3) Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada pasien
Ny.n dengan stroke hemoragik di Ruang IGD RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi
4
4) Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada
pasien Ny.n dengan stroke hemoragik di Ruang IGD RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi
5) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien
Ny.n dengan stroke hemoragik di Ruang IGD RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi
6) Mahasiswa mampu mendiskiripsikan perbedaan yang ditemukan
antara konsep teori dan kasus stroke hemoragik pada Ny.n di Ruang
IGD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
dalam situasi tertentu bagian-bagian otak mengambil alih fungsi dari
bagian-bagian yang rusak. Otak belajar kemampuan baru, dan ini
merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke ( Feign,
2010).
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak
dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf
tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak
balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2010).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen
bagiannya adalah:
a. Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan
sulkus (celah) dan girus (Ganong, 2009). Cerebrum dibagi menjadi
beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang
lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar,
bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi.
Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area
asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah
broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif
(Purves dkk, 2010).
2) Lobus Temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari
fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis
(White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat
verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm pembentukan dan
perkembangan emosi.
7
3) Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di
gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan
pendengaran (White, 2008).
4) Lobus Oksipitalis
Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang
ini dengan informasi saraf lain & memori (White, 2008).
5) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia,
memori emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan
perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan
susunan otonom (White, 2008).
b. Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih
banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki
peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang
didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya
40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan
pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.
Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal
(Purves, 2010).
c. Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis
dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting
adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara
medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial
8
3. Anatomi Peredaran Darah di Otak
Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang
diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak
sangat mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus
terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu
jalinan pembuluhpembuluh darah yang bercabang-cabang,
berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin
suplai darah yang adekuat untuk sel (Wilson, et al., 2012).
a. Peredaran Darah Arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan
beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna
dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir
pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir
arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri
communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri
serebri posterior. Arteri serebri anteriorsaling berhubungan melalui
arteri communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan
berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia
kanan merupakan cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri
subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri
vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi
perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini
bersatu membentuk arteri basilaris (Wilson, et al., 2012).
b. Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus
duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam
struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup
dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena
cortex superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior
yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama adalah
vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus
9
longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir
ke dalam sinus transversus. Vena-vena serebri profunda
memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Wilson, et al., 2012).
10
itu sendiri (perdarahan subarachnoid primer). Sebagian kasus PSA
terjadi tanpa sebab dari luar tetapi sepertiga kasus terkait dengan
stres mental dan fisik. Kegiatan fisik yang menonjol seperti
:mengangkat beban, menekuk, batuk atau bersin yang terlalu keras,
mengejan dan hubungan intim (koitus) kadang bisa jadi penyebab
(Junaidi, 2011).
5. Etiologi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh arteri yang mensuplai darah ke
otak pecah. Pembuluh darah pecah umumnya karena arteri tersebut
berdinding tipis berbentuk balon yang disebut aneurisma atau arteri
yang lecet bekas plakaterosklerotik. Penyebabnya terjadi peningkatan
tekanan darah yang mendadak tinggi dan atau oleh strespsikis berat.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak tinggi juga disebabkan oleh
trauma kepala atau peningkatan lainnya seperti mengedan, batuk keras,
mengangkat beban dan sebagainya. (Junaidi, 2011 Dalam Putri, 2017)
6. Faktor Resiko Stroke Hemoragik
Menurut Widyanto & Tribowo (2013) factor resiko stroke yaitu :
1) Faktor resiko stroke yang dapat dirubah, seperti : Hipertensi,
diabetes melitus, kadar hematokrit tinggi, kebiasaan sehari-hari
(merokok, penyalahgunaan obat, konsumsi alkohol, kontrasepsi
oral).
2) Faktor resiko stroke yang tidak dapat dirubah, seperti : usia, jenis
kelamin, riwayat keluarga/keturunan, penyakit jantung koroner,
fibrilasi atrium, dan beterozigot atau homosisturia.( Widyanto &
Tribowo, 2013 Dalam Winda 2019)
7. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah didalam
otak sehingga darah menutupi atau menggenangi ruang – ruang pada
jaringan sel otak, dengan adanya darah yang menggenangi dan
menutupi ruang – ruang pada jaringan sel otak tersebut maka akan
menyebabkan kerusakan jaringan sel otak dan menyebabkan fungsi
control pada otak. Genangan darah bisa terjadi pada otak sekitar
11
pembuluh darah yang pecah (intracerebral hemoragie) atau juga dapat
terjadi genangan darah masuk kedalam ruang disekitar otak
(subarachnoid hemoragie) dan bila terjadi stroke bisa sangat luas dan
fatal dan bahkan sampai berujung kematian. Pada umumnya stroke
hemoragik terjadi pada lanjut usia, dikarenakan penyumbatan terjadi
pada dinding pembuluh darah yang sudah rapuh (aneurisma), pembuluh
darah yang rapuh disebabkan oleh factor usia (degenerativf), tetapi juga
disebabkan oleh factor keturunan (genetik). Biasanya keadaan yang
sering terjadi adalah kerapuhan karena mengerasnya dinding pembuluh
darah akibat tertimbun plak atau arteriosclerosis bisa akan lebih parah
lagi apabila disertai dengan gejala tekanan darah tinggi (Feigin, 2007
Dalam Putri 2017).
12
8. WOC
- Faktor pencetus hipertensi, DM, penyakit jantung
- Merokok, stres, gaya hidup yang tidak bagus
- Faktor obesitas dan kolesterol yang meningkat dalam darah
darahLemak
Menjadi kapur / mengandung kolesterol dengan infiltrasi limfosit (trombus) Penyempitan pembuluh
13
apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan tanda
hipertensikronis pada penderita stroke. Menggambarkan kelenjar
pineal daerah berlawanan dari massa yang meluas.
8) Pemeriksaan labolatorium
a. Fungsi lumbal : Tekanan normal biasanya ada trhombosis,
emboli dan TIA. Sedangkan tekanan yang meningkat dan
cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
perdarahan subarchnoid atau intrakranial. Kadar protein total
meningkat pada kasus trhombosis sehubungan dengan proses
inflamasi.
b. Pemeriksaan darahrutin
c. Pemeriksaan kimia darah : Pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia.
11. Penatalaksanaan Stroke
Menurut (Wijaya& Putri, 2013 DalamZulfiana 2019) penatalaksaan
stroke adalah :
1) Penatalaksanaan umum stroke fase akut
a. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi lateral
decubitus bila disertai muntah.
b. Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat bila perlu
berikan oksigen 1-2 liter/menit bila ada hasil gas darah.
c. Memasang kateter untuk jalan buang air kecil
d. Kontrol tekanan darah, dipertahankan normal.
2) Penatalaksanaan setelah Fase Akut
a. Berikan nutrisi per oral hanya boleh diberikan setelah tes fungsi
menelan baik, bila terdapat gangguan menelan atau pasien yang
kesadaran menurun, dianjurkan menggunakan NGT.
b. Mobilisasi dan rehabilitasi dini jika ada kontraindikasi. Boleh
dimulai latihan mobilisasi bila kondisi hemodinamik stabil atau
fase rehabilitasi.
14
3) Penatalaksanaan medis
a. Obat anti hipertensi. Pada penderita stroke baru, biasanya
tekanan darah tidak diturunkan terlalu rendah untuk menjaga
suplai darah keotak.
b. Anti platelet untuk mencegah pembekuan darah, digunakan
obat anti platelet, seperti aspirin.
c. Anti koagulan untuk mencegah pembekuan darah, pasien dapat
diberikan obat-obatan tikoagulan seperti heparin yang bekerja
dengan cara mengubah komposisi factor pembekuan dalam
darah. Obatan tikoagulan biasanya diberikan pada penderita
stroke dengan gangguan irama jantung.
4) Penatalaksanaan khusus komplikasi
a. Atasi kejang (anti konvulan)
b. Atasi tekanan intracranial yang tinggi menggunakan manitol,
gliserol, furosemide, intubasi, streroid dll.
c. Atasi dekompresi (kraniotonomi)
d. Untuk penatalaksaan factor resiko :
1. Atasi hipertensi (anti hipertensi)
2. Atasi hiperglikemia (anti hiperglikemia)
3. Atasi hiperurisemia (anti hiperurisemia)
12. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut (Wijaya&Yessie, 2013 Dalam Nur Ainun
2019):
1) Berhubungan dengan imobilitas
a. Infeksi pernafasan
b. Nyeri yang berhubungan dengan daerah yang tertekan
c. Konstipasi d. Tombroflebitis
2) Berhubungan dengan mobilisasi
a. Nyeri pada daerah punggung
b. Dislokasi sendi
15
3) Berhubungan dengan kerusakan otak
a. Epilepsi
b. Sakit kepala
c. Kraniotomi
4) Hidrosefalus
13. Pencegahan
Menurut (Widyanto dan Tribowo, 2013 Dalam Winda 2019) upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya stroke yaitu :
a. Menghindari kebiasaan makan yang berlebih.
b. Menghindari makanan yang mengandung lemak dan garam yang
tinggi.
c. Menghindari faktor pemicu stress.
d. Berolahraga dengan rutin.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragik
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk RS,nomor register, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Keluhan yang didapatkan biasanya gangguan motorik kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi, nyeri kepala, gangguan sensorik, kejang,
penurunan kesadaran.
16
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke infark biasanya didahului dengan serangan
awal yang tidak disadari oleh pasien, biasanya ditemukan gejala
awal sering kesemutan, rasa lemah pada salah satu anggota gerak.
Pada serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat
mendadak, pada saat pasien melakukan aktifitas. Biasanya terjadi
nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar,
disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
d. Riwayat penyakit dahulu
a) Kesadaran
Biasanya pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran
samnolen, apatis, sopor, soporos coma, hingga coma dengan
GCS < 12 pada awal terserang stroke. Sedangkan pada saat
pemulihan biasanya memiliki tingkat kesadaran letargi dan
compos metis dengan GCS 13-15. Macam-macam tingkat
kesadaran terbagi atas:
17
1) Metode Tingkat Responsivitas
1. Composmentis : kondisi sesorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
dirinya maupun terhap lingkungannya dan dapat
menjawab pertanyaan yang dinyatakan pemeriksa
dengan baik
2. Apatis : yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan
acuh tak acuh terhadap lingkungannya
3. Derilium : yaitu kondisi sesorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu
dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta
meronta – ronta
4. Somnolen : yaitu kondisi sesorang yang mengantuk
namun masih dapat sadar bila diransang, tetapi bila
rangsang berhenti akan tertidur kembali
5. Sopor : yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang
dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak
terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab
pertanyaan dengan baik.
6. Semi - Coma : yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat
dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang
nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih
baik.
7. Coma : yaitu penurunan kesadaran yang salangat dalam,
memberikan respons terhadap pernyataan, tidak ada
gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
18
2) Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor
yang didapat dari penilaian GCS klien :
1. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14
2. Nilai GCS Apatis : 13 – 12
3. Nilai GCS Derilium : 11 – 10
4. Nilai GCS Somnolen : 9 – 7
5. Nilai GCS Semi Coma : 4
6. Nilai GCS Coma : 3
b) Tanda-tanda Vital
• Tekanan darah
• Nadi
Biasanya nadi normal
• Pernafasan
Biasanya pasien stroke hemoragik mengalami gangguan pada
bersihan jalan napas
• Suhu
• Biasanya tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke
hemoragik
• Pemeriksaan 12 Saraf Kranial
1. Olfaktorius : saraf cranial I berisi serabut sensorik untuk
indera penghidu. Mata pasien terpejam dan letakkan
bahan-bahan aromatic dekat hidung untuk diidentifikasi.
2. Optikus : Akuitas visual kasar dinilai dengan menyuruh
pasien membaca tulisan cetak. Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus diperhatikan.
3. Okulomotoris : Menggerakkan sebagian besar otot mata
4. Troklear : Menggerakkan beberapa otot mata
5. Trigeminal : Saraf trigeminal mempunyai 3 bagian:
19
optalmikus, maksilaris, dan madibularis. Bagian sensori
dari saraf ini mengontrol sensori pada wajah dan kornea.
Bagian motorik mengontrol otot mengunyah. Saraf ini
secara parsial dinilai dengan menilai reflak kornea; jika itu
baik pasien akan berkedip ketika kornea diusap kapas
secara halus. Kemampuan untuk mengunyah dan
mengatup rahang harus diamati.
6. Abdusen : Saraf cranial ini dinilai secara bersamaan
karena ketiganya mempersarafi otot ekstraokular. Saraf ini
dinilai dengan menyuruh pasien untuk mengikuti gerakan
jari pemeriksa ke segala arah.
7. Fasial : Bagian sensori saraf ini berkenaan dengan
pengecapan pada dua pertiga anterior lidah. Bagian
motorik dari saraf ini mengontrol otot ekspresi wajah. Tipe
yang paling umum dari paralisis fasial perifer adalah bell’s
palsi.
8. Vestibulocochlear : Saraf ini dibagi menjdi cabang-cabang
koklearis dan vestibular, yang secara berurutan
mengontrol pendengaran dan keseimbangan. Saraf
koklearis diperiksa dengan konduksi tulang dan udara.
Saraf vestibular mungkin tidak diperiksa secara rutin
namun perawat harus waspada, terhadap keluhan pusing
atau vertigo dari pasien.
9. Vagus : Saraf cranial ini biasanya dinilai bersama-sama.
Saraf vagus mempersarafi laring, faring dan langit-langit
lunak serta memperlihatkan respon otonom pada jantung,
lambung, paru- paru dan usus halus. Ketidak mampuan
untuk batuk yang kuat, kesulitan menelan dan suara serak
dapat merupakan pertanda adanya kerusakan saraf ini.
10. Glosofaringeus : mempersarafi serabut sensori pada
sepertiga lidah bagian posterior juga uvula dan langit-
langit lunak.Saraf vagus mempersarafi laring, faring dan
20
langit-langit lunak serta memperlihatkan respon otonom
pada jantung, lambung, paru - paru dan usus halus.
Ketidak mampuan untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan dan suara serak dapat merupakan pertanda
adanya kerusakan saraf ini.
11. Asesoris spinal : Saraf ini mengontrol otot-otot
sternokliedomostoid dan otot trapesius. Pemeriksa menilai
saraf ini dengan menyuruh pasien mengangkat bahu atau
memutar kepala dari satu sisi ke sisi lain terhadap tahanan,
bisa juga di bagian kaki dan tangan.
12. Hipoglosus : Saraf ini mengontrol gerakan lidah. Saraf ini
dinilai dengan menyuruh pasien menjulurkan lidah. Nilai
adanya deviasi garis tengah, tremor dan atropi. Jika ada
deviasi sekunder terhadap kerusakan saraf, maka akan
mengarah pada sisi yang terjadi lesi.
c) Pemeriksaan Fisik
1) Rambut
Biasanya tidak ditemukan masalah
2) Wajah
Biasanya simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan Nervus V
(Trigeminal) : biasanya pasien bisa menyebutkan lokasi
usapan dan pada pasien koma, ketika diusap kornea mata
dengan kapas halus, klien akan menutup kelopak mata.
Sedangkan pada Nervus VII (facialis) : biasanya alis mata
simetris, dapat mengangkat alis, mengernyitkan dahi,
mengernyitkan hidung, menggembungkan pipi, saat pasien
menggembungkan pipi tidak simetris kiri dan kanan
tergantung lokasi lemah dan saat diminta mengunyah pasien
kesulitan untuk mengunyah.
3) Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik,
pupil isokor, kelopak mata tidak oedema. Pada pemeriksaan
21
nervus II (optikus) : biasanya luas pandang baik 90°, visus
6/6. Pada nervus III (okulomotoris) : biasanya diameter
pupil 2mm/2mm, pupil kadang isokor dan anisokor,
palpebra dan reflek kedip dapat dinilai jika pasien bisa
membuka mata . Nervus IV (troklearis) : biasanya pasien
dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas dan bawah.
Nervus VI (abdusen) : biasanya hasil nya pasien dapat
mengikuti arah tangan perawat ke kiri dan kanan
4) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan, terpasang oksigen, tidak
ada pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksan nervus I
(olfaktorius) : kadang ada yang bisa menyebutkan bau yang
diberikan perawat namun ada juga yang tidak, dan biasanya
ketajaman penciuman antara kiri dan kanan berbeda dan
pada nervus VIII (akustikus) : biasanya pada pasien yang
tidak lemah anggota gerak atas, dapat melakukan
keseimbangan gerak tangan-hidung
5) Mulut dan gigi
Biasanya pada pasien apatis, sopor, hingga coma akan
mengalami masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa bibir
kering. Pada pemeriksaan nervus VII (facialis) : biasanya
lidah dapat mendorong pipi kiri dan kanan, bibir simetris,
dan dapat menyebutkan rasa manis dan asin. Pada nervus IX
(glossofaringeal) : biasanya ovule yang terangkat tidak
simetris, mencong kearah bagian tubuh yang lemah dan
pasien dapat merasakan rasa asam dan pahit. Pada nervus
XII (hipoglasus) : biasanya pasien dapat menjulurkan lidah
dan dapat dipencongkan ke kiri dan kanan namun artikulasi
kurang jelas saat bicara
6) Telinga
Biasanya sejajar daun telinga kiri dan kanan. Pada
pemeriksaan nervus VIII (akustikus) : biasanya pasien
22
kurang bisa mendengarkan gesekan jari dari perawat
tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya dapat
mendengar jika suara keras dan dengan artikulasi yang jelas
7) Leher
Pada pemeriksaan nervus X (vagus) : biasanya pasien stroke
hemragikmengalami gangguan menelan. Pada peemeriksaan
kaku kuduku biasanya (+) dan bludzensky 1 (+)
8) Thorak
1. Paru-paru
Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan
Palpasi : biasanya fremitus sam aantara kiri
dan kanan
Perkusi : biasanya bunyi normal (sonor)
Auskultasi : biasanya suara normal (vesikuler)
2. Jantung
Inspeksi : biasanya iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : biasanya ictus cordis teraba
Perkusi : biasanya batas jantung normal
Auskultasi : biasanya suara vesikuler
9) Abdomen
Inspeksi : biasanya simetris, tidak ada asites
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar.
10) Ekstremitas
Tanda dari terjadinya gangguan neurologis yaitu terjadinya
kelemahan otot yang menjadi tanda penting dalam stroke.
Pemeriksaan kekuatan otot dapt dilakukan oleh perawat
dengan menilai ektremitas dengan memberika tahanan bagi
otot dan juga perawat bisa menggunakan gaya gravitasi
23
a. Atas
Biasanya terpasang infuse bagian dextra / sinistra. CRT
biasanya normal yaitu < 2 detik.Pada pemeriksaan
nervus XI (aksesorius) : biasanya pasien stroke
hemoragik tidak dapat melawan tahanan pada bahu yang
diberikan perawat. Pada pemeriksaan reflek, biasanya
saat siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari siku,
tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-)) dan pada
pemeriksaan tricep respon tidak ada fleksi dan supinasi
(reflek bicep (-)). Sedangkan pada pemeriksaan reflek
hoffman tromer biasanya jari tidak mengembang ketika
diberi reflek (reflek Hoffman tromer (+)).
b. Bawah
Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat pemeriksaan
bluedzensky Ikaki kiri pasien fleksi ( bluedzensky (+)).
Pada saat telapak kaki digores biasanya jari tidak
mengembang (reflek babinsky (+)). Pada saat dorsum
pedis digores biasanya jari kaki juga tidak beresponn
(reflek caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut dari
atas ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi atau
ekstensi (reflek openheim (+)) dan pada saat betis
diremas dengan kuat biasanya pasien tidak merasakan
apa-apa (reflek gordon (+)).
Pada saat dilakukan reflek patella biasanya femur tidak
bereaksi saat di ketukkan (reflek patella (+))
Tabel 2.3 Nilai kekuatan otot
Respon Nilai
Tidak dapat sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total 0
24
Didapatkan gerakan, tapi gerakan tidak mampu
2
melawan gaya berat(gravitasi)
Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat 3
Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula
4
mengatasi sedikittahanan yang diberikan
Tidak ada kelumpuhan (normal) 5
Sumber : Debora, 2013
25
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Standar Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Keperawatan Indonesia (SLKI) (SIKI)
26
9. Berikan posisi semi fowler
10. Hindari manuver Valsava
11. Cegah terjadinya kejang
12. Hindari penggunaan PEEP
13. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
14. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
16. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis
17. Kolaborasi pemberian pelunak tinja
Dukungan Ventilasi
2 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan
Observasi
b/d depresi pusat Keperawatan 3x 24 jam
1. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
pernapasan, hambatan diharapkan pola nafas pasien
2. Identifikasi efek perubahan posisi terhadap
upaya napas, gangguan menjadi efektif dengan
status pernapasan
neuromuskular dan kriteria hasil:
3. Monitor status respirasi dan oksigenasi (
27
gangguan neurologis. 1. Frekuensi napas frekuensi, dan kedalaman napas, penggunaan
membaik otot bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi
2. Kedalaman napas oksigen)
membaik
Terapeutik
3. Ekskursi dada membaik
4. Pertahankan kepatenan jalan napas
5. Berikan posisi semi fowler atau fowler\
6. Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
7. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
Edukasi
8. Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam
9. Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
10. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian bronkodilator,jika perlu
28
neuromuskuler dan tetap paten dengan Kriteria Hasil napas)
sekresi yang tertahan. 1. Batuk efektif meningkat 2. Monitor bunyi napas tambahan(mis: wheezing)
2. Produksi sputum
Terapeutik
menurun
3. Frekuensi napas dan pola 3. Posisikan semi fowler atau fowler
napas membaik 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-
tilt dan chin-lift
5. Berikan minum hangat
6. Lakukan fisioterapi dada
7. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
8. Berikan oksigen
Edukasi
Dukungan mobilisasi
4 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Tindakan
Observasi
fisik b/d gangguan asuhan keperawatan 3x24 jam
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
neuromuskuler dan diharapkan mobilitas fisik tidak
29
kelemahan anggota terganggu dengan kriteria hasil : lainnya
gerak 1. Pergerakan ekstremitas 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
meningkat 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
2. Kekuatan otot meningkat sebelum memulai mobilisasi
3. Rentang gerak( ROM) 4. Monitor kondisi umum selama melakukan
meningkat mobilisasi
4. Kelemahan fisik
Terapeutik
menurun
5. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
bantu( mis; duduk diatas tempat tidur
6. Fasilitasi melakukan pergerakan
7. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
30
dilakukan (mis: duduk diatas tempat tidur
31
Kolaborasi
Edukasi
5. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus
( mengatur pencahayaan ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi kunjungan)
32
Kolaborasi
6. Kolaborasi dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
7. Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi
persepsi sensori
Manajemen nutrisi
7 Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan tindakan
Observasi
ketidakmampuan asuhan keperawatan 3x 24 jam
1. Identifikasi status nutrisi
menelan makanan diharapkan status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan toleransi makanan
meningkat dengan Kriteria
3. Identifikasi makanan yang disukai
Hasil:
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi
1. Porsi makanan yang
5. Monitor asupan makanan
dihabiskan meningkat
6. Monitor berat badan
2. Kekuatan otas nutt
mengunyah meningkat Terapeutik
3. Kekuatan otot menelan 7. Lakukan oral hygiene
meningkat 8. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
4. Berat badan membaik konstipasi
5. Frekuensi makan 9. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
33
membaik 10. Berikan suplemen makanan
6. Nafsu mkan membaik 11. Hentikan pemberian makanan melalui selang
7. Membran mukosa nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
membaik
Edukasi
12. Anjurkan posisi duduk
13. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan(mis: peredanyeri, antiemetik)
15. Kolaborasi dengan ahli gizi
34
menurun Terapeutik
2. Kerusakan lapisan kulit 2. Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
menurun 3. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,
jika perlu
4. Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama
selama periode diare
5. Gunakan produk berbahan petroleum atau
minyak pada kulit kering
6. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitive
7. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
8. Anjurkan menggunakan pelembab (mis: lotion,
serum)
9. Anjurkan minum air yang cukup
10. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
12. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim
35
13. Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar rumah
14. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
secukupnya
Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan Dukungan perawatan diri
9
b/d gangguan asuhan keperawatan 3x 24 jam Observasi
neuromuskuler dan diharapkan perawatan diri 1. Monitor tingkat kemandirian
kelemahan meningkat Kriteria Hasil: 2. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
1. Kemampuan mandi berpakaian, berhias, dan makan
meningkat
Terapeutik
2. Kemampuan
mengenakan pakaian 3. Sediakan lingkungan yang terapeutik ( mis:
meningkat suasana rileks, privasi)
3. Kemampuan makan 4. Siapkan keperluan pribadi (mis: sikat gigi, sabun
meningkat mandi)
4. Verbalisasi keinginan 5. Dampingi dalam melakukan perawatan diri
melakukan sampai mandiri
perawatan diri meningkat 6. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan diri
36
7. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
37
BAB III
TINJAUAN KASUS
Pada BAB ini penulis menguraikan kasus yang dimulai dari pengkajian
sampai evaluasi, pengkajian dilakukan pada tanggal 29 Januari 2023 dengan kasus
Stroke Hemoragik di Ruangan IGD Terpadu RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.N
Umur : 82 Tahun
Pendidikan : SLTA
Suku : Chaniago
Agama : Islam
1. Airway
2. Breathing
a. Nafas : Spontan
e. Turgor : Menurun
f. Keluhan lain
Masalah Keperawatan :
4. Disability
a. Kesadaran : Stupor
b. GCS : 6 (E3V2M1)
Masalah Keperawatan :
5. Exposure
1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
masih bisa makan. Saat di IGD, pasien masuk dalam keadaan muntah.
Pasien tampak sesak napas, pola napas irreguler dengan irama napas
cepat dan dangkal, pasien tidur dengan suara ngorok (stridor), dan
Pasien tampak sianosis, akral dingin dengan CRT >2 detik. Kesadaran
1. Pemeriksaan kepala
2. Pemeriksaan wajah
b. Palpasi : tidak ada penonjolan tulang, tidak ada nyeri tekan pada
64
zygomatikum, tidak ada massa/tumor, edema (-), krepitasi (-)
3. Pemeriksaan mata
a. Inspeksi : simetris kiri dan kanan, alis mata dan bulu mata simetris, ada
4. Pemeriksaan telinga
a. Inspeksi : bentuk daun telinga normal, posisi simetris kiri dan kanan,
dan kiri, tidak ada penggunaan alat bantu dengar, serumen (-), lesi (-)
b. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran kelenjar getah
5. Pemeriksan Hidung
a. Inspeksi : simetris kiri dan kanan, terpasang O2 via nasal canul 5 liter,
kiri dan kanan normal, pernapasan cuping hidung (-), lesi (-), polip (-),
normal.
sekitar bibir (-), stomatitis (-), gigi tidak lengkap, lidah kotor, tidak ada
bau nafas, edema pada gusi (-), ukuran tonsi T1, T1 (normal), palatum
lengkap, lendir (-), suara pasien serak, dan tidak ada tanda-tanda infeksi
b. Palpasi : palpasi pada palatum normal, nyeri tekan (-), tidak ada nyeri
7. Pemeriksaan leher
a. Inspeksi : simetris, lesi (-), pergerakan leher normal, jaringan parut (-),
perubahan warna kulit (-), tidak ada kaku kuduk, terlihat denyut nadi
teraba, tidak ada pembesaran tiroid, posisi trakea teraba normal, tidak
ada pergeseran trakea, tidak ada nyeri tekan, refleks menelan normal,
JVP 5 cm H2O
8. Pemeriksaan Aksila
a. Inspeksi : simetris kiri dan kanan, lesi (-), tak tampak pembesaran
b. Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada aksila, tidak teraba benjolan
terdapat penggunaan otot bantu napas, tidak ada nyeri di dada pasien,
suara nafas pada daerah bronkus terdapat suara napas tambahan stridor
(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) dan suara nafas paru vesikuler.
(selebar ibu jari), tidak tampak pulsasi pada daerah katup aorta, katup
b. Palpasi : HR 110 x/i denyut jantung teraba reguler dan lemah, palpasi
c. Perkusi : batas kiri jantung suara sonor ke redup dengan bagian atas
ICS II kanan linea parasternalis kanan, bagian bawah adalah ICS III-IV
d. Auskultasi : S1 pada :
S2 pada:
1) ICS II linea sternalis kanan (Aorta) terdengar DUB
Aorta dan Pulmonal, Tidak ada suara jantung S3 dan S4, murmur (-).
(-), kulit di sekitar perut tampak kering, distensi (-), gerakan dinding
c. Palpasi : tidak terdapat nyeri lepas pada ulu hati, tidak terdapat nyeri
3) Palpasi Ginjal : ginjal tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, tidak
normal, kulit labia mayora dan labia minoraa baik, tidak tampak
b. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa dan benjolan pada
(-), kulit kering, range of motion aktif, kekuatan otot berkurang, edema
444 444
tekan pada area flebitis/memar, CRT >2 detik, akral teraba dingin
69
14. Pemeriksaan ekstermitas bawah (panggul, lutut, pergelangan kaki,
kekuatan otot berkurang, pitting edema (-), lesi (-), kekuatan otot
444 444
b. Palpasi : akral teraba dingin, CRT >2 detik, Tes refleks patella dan
archiles positif
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Nilai
Tanggal Pemeriksaan Hasil KET
Normal
Hematologi
Parameter
HGB 13.5 g/dL N (P : 13-16) (W: 12-14)
RBC 4.92 103/uL N (P : 4.5-5.5) (W : 4-5)
HCT 44.5 % N (P : 42-52) (W : 37-47)
MCV 90.4 fL N 79-99
MCH 27.4 pg N 27-31
MCHC 30.3 g/dL L 33-37
RDW-SD 46.6 fL
RDW-CV 13.7%
Differential
WBC 9.74 103/uL N 5-10
BASO% 0.1% N 0-1
EO% 3.1% N 1-3
29 Januari NEUT% 77.6 % H 50-70
2023 LYMPH% 12.5% L 20-40
MONO% 6.7% N 2-8
IG% 0.1% N 0-0.6
BASO# 0.01 103/uL N 0-0.2
EO# 0.30 103/uL N 0.045-0.44
NEUT# 7.56 103/uL N 1.8-8
LYMPH# 1.22 103/uL N 0.9-5.2
MONO# 0.65 103/uL N 0.16-1
IG# 0.01 103/uL N 0-0.06
PLT 225 103/uL N 150-450
PDW 9.4 fL
MPV 9.8 fL
P-LCR 21.1% 70
PCT 0.22%
Pemeriksaan Elektrolit
Kalium 3.28mEq/l N 3.5-5.5
29 Januari
Natrium 140.2mEq/l N 135-147
2023
Khlorida 108.3 mEq/l N 100-106
Urinalisa
Kimia Urine
29 Januari Protein +
2023 Glukosa 129 mg/dL H 79-109
Creatinin 0.78 mg/dL 0.51-1.17
Urea 29.0 mg/dL 16.6-48.5
F. Terapi Farmakologis
73
angioneurotik herediter, riwayat penyakit tromboemboli
perdarahan abnormal vena atau arteri serta gangguan
sesudah operasi. ginjal.
Injeksi citicolin Obat keras Dapt digunakan pada Dapat menyebabkan Tidak disarankan pada pasien yang
2x250 mg pasien dengan kondisi sakit kepala, pusing, alergi terhadap citicolin, memiliki
gangguan kesadaran konstipasi (sembelit), ketegangan otot tinggi dan
akibat cedera kepala, diare, mual, menurunnya kemapuan otot
bedah otak, infark penglihatan kabur, (hipotonia) pada system saraf
serebral stadium akut kesulitan tidur parasimpatis
pasien hemiplagia. (insomnia), nyeri dada
kelelahan dan
penurunan tekanan
darah
Injeksi omeprazole Obat keras Pasien dengan masalah Dapat menyebabkan Tidak dianjurkan pada pasien
1x1 asam lambung, syndrome gangguan pencernaan, dengan hipersensitifitas pada
zollinger-ellison (masalah seperti diare, sakit kandungan dari omeprazole, pasien
pencernaan langka yang perut, mual, kembung, sedang mengkonsumsi obat-obatan
disebabkan oleh dan juga kontipasi, yang mengandung rilpivirine,
kemunculan tumor pada sakit kepala atau nelfinavir, atazanavir.
pancreas atau pada pusing, pandangan
duodenum). kabur, anemia, gatal-
gatal dan ruam,
gangguan tidur.
74
G. Data Fokus
DO :
1. Kesadaran : Stupor dengan
GCS 6 (E3V2M1)
2. Keadaan umum : Berat
3. TTV :
N: 110x/menit, TD: 270/150
mmHg, S: 37o, SpO2: 98%
4. Pasien tampak tidur dengan
suara napas ngorok (stridor)
5. Pasien tampak sesak nafas, otot
bantu nafas (+), pola napas
irreguler (kusmaul)
6. Pasien terpasang O2 via nasal
canul 5 liter
76
3. TTV :
N: 110x/menit, TD: 270/150
mmHg, S: 37o, SpO2: 98%
4. Pasien tampak sianosis, akral
dingin dan CRT >2 detik
5. Pasien terpasang monitor 5
lead dan sphygmomanometer
di tangan kanan
6. Pasien terpasang kateter
7. Kolaborasi terapi obat :
a. IVFD Asering 8 jam/kolf,
b. Manitol di guyur 150 cc
c. Drip nicardipine 37.5
cc/jam dengan syringe
pump
d. Inj. Kalnx 4x1 g
e. Inj. Citicolin 2x250 mg
f. Inj. Omeprazole 1x1
77
7. Pasien terpasang kateter
8. Pasien memiliki riwayat
hipertensi dan DM.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
intracranial)
2. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan faktor resiko peningkatan
tekanan intracranial.
J. Intervensi Keperawatan
78
1. Dipsnea dari fowler atau fowler
meningkat menjadi
c. Berikan
cukup menurun (1-
oksigen,jika perlu
4)
d. Kolaborasi
2. Penggunaan otot
pemberian
bantu dari
bronkodilator,
meningkat menjadi
ekspektoran, jika
cukup menurun (1-
perlu.
4)
2. Pemantauan
3. Frekuesnsi napas
Respirasi
dari cukup
memburuk a. Monitor
menjadi cukup frekuensi,iraama,
membaik (1-4) kedalaman, dan
upaya napas.
4. Kedalaman napas
dari cukup b. Palpasi
memburuk kesimetrisan
menjadi cukup ekpansi paru
membaik (1-4)
c. Auskultasi bunyi
napas
d. Monitor saturasi
oksigen
e. Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
f. Dokumentasikan
hasil pemantauan
82
BAB IV
PEMBAHASA
N
Dalam Bab ini kelompok akan membahas tentang analisis antara studi
kasus dengan teori mengenai asuhan keperawatan Tn. Dengan Stroke Hemoragik
Di Ruang Rawat RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2023 pada 10
januari 2023. Ada beberapa hal yang perlu dibahas dan diperhatikan penerapan
kasus keperawatan tersebut, mencoba menerapkan dan mengaplikasikan proses
Asuhan Keperawatan sesuai dengan teori-teori yang ada. Untuk melihat lebih jelas
Asuhan Keperawatan yang di berikan dan sejauh mana keberhasilan yang dicapai
akan diuraikan sesuai dengan prosedur Keperawatan dimulai dari Pengkajian,
Diagnosa, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi.
A. Pengkajian
Asuhan Keperawatan pada klien Ny.n dengan Stroke Hemoragik
dilakukan sejak tanggal Januari 2023, klien masuk rumah sakit tanggal
Januari melalui IGD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Pengkajian
keperawatan dilakukan diruangan pada tanggal 10 Januari 2023.
Keluhan utama klien mengalami penurunan kesadaran, kelemahan anggota
gerak sebelah kiri. Dari data objektif di dapatkan, klien tampak tidak sadarkan
diri, klien tampak terpasang NGT dan, pasien terpasang HFNC 80/50, KU
lemah, kesadaran somnolen, GCS 8, TD : 135/93 mmHg, Nadi : 104 x/menit,
Respirasi : 28 x/menit, Suhu :37oc, SPO 93%, suara nafas ronchi dan tampak
terpasang infus Asering 1 : Rexamin 1 dalam 12 jam/Kolf, Tampak klien
bedrest total, ADL pasien dibantu penuh keluarga.
Dari analisis kelompok, hasil pengkajian kasus sesuai dengan penjelasan
teori Hidayat, 2021 tentang Proses Pendekatan Keperawatan NANDA, NIC,
NOC, SDKI. Pada teori dijelaskan Biasanya pada pasien stroke mengalami
tingkat kesadaran samnolen, apatis, sopor, soporos coma, hingga coma
dengan GCS < 12.
72
B. Diagnosa
Pada konsep teori tentang Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan ditemukan 9 masalah keperawatan sesuai buku
SDKI yang terdiri dari
1. Resiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan kinerja ventrikel kiri,
tumor otak, cidera kepala, infark miokard akut, hipertensi dan
hiperkolesteronemia
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d spasme jalan napas, disfungsi
neuromuskuler dan sekresi yang tertahan
3. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan
4. Defisit perawatan diri b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan
5. Pola napas tidak efektif b/d depresi pusat pernapasan, hambatan upaya
napas, gangguan neuromuskular dan gangguan neurologis
6. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan
anggota gerak
7. Gangguan komunikasi verbal b/d penurunan sirkulasi serebral, dan
gangguan neuromuskuler
8. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penglihatan, pendengaran,
penghiduan, dan hipoksia serebral
9. Resiko gangguan integritas kulit/ jaringan b/d penurunan mobilitas
Tahap ini merupakan Langkah awal yang dilakukan kelompok dalam
melakukan asuhan keperawatan pada Tn.E diagnosa keperawatan yang
didapat adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual dan potensial
pasien terhadap masalah kesehatannya
Penegakan diagnosa ini didapatkan dari hasil pengkajian dengan
menggunakan format pengkajian kasus Universitas Mohammad Natsir.
Adapun acuan dalam penyusunan dalam intervensi keperawatan, kelompok
menggunakan referensi diagnosa SDKI (Standar diagnosis keperawatan
Indonesia) dan disesuaikan dengan keadaan pasien, masalah keperawatan
yang muncul yaitu :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dari hasil labor analisa gas darah di dapatkan nilai pH :
73
7,589 mmol/L, PO2 : 63,3 mmHg , PCO2 : 12,7 mEq/L, Hco3 12,2
mEq/L, pasien alkalosis respiratorik dan pasien menggalami penurunan
kesadaran.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas. Dari hasil pengkajian yang di dapatkan data objektif pada pola
napas tidak efektif yaitu tampak pasien sesak, pernapasan 28 x/menit,
pasien terpasang HFNC 80/50, suara nafas ronchi, SPO2 : 93%,.
Pasien dengan kondisi bedrest dapat terjadi penurunan kekuatan
otot sehingga dapat mempengaruhi otot pernapasan (Asmadi, 2009).
Pemberian terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan tetap adekuat dan dapat menurunkan kerja miokard akibat
kekurangan suplai oksigen (Harahap, 2014). Pemberian terapi oksigenasi
HFNC (High Flow Nasal Cannula) 80/50 pada pasien stroke untuk
mencegah dan memperbaiki hipoksia jaringan dan dapat meningkatkan
fraksi inspirasi oksigen lebih dari 90% sehingga pengaruh penggunaan
HFNC juga dapat menurunkan tekanan parsial gas CO2 dalam alveoli
yang dapat menurunkan tekanan intracranial (John, 2009).
3. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan infark pada
jaringan otak dan hipertensi. Dari hasil pengkajian didapatkan klien
memiliki hipertensi sudah 5 tahun terakhir dialami klien. Pada
pemeriksaan tekanan darah awal masuk rumah sakit didapatkan hasil
melebihi batas normal yaitu 167/118 mmHg. Hipertensi merupakan faktor
resiko utama yang dapat mengakibatkan pecahnya maupun tersumbatnya
pembuluh darah di otak. Bila tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan
tekanan diastolic lebih dari 90 mmHg, maka dapat berpotensi
menimbulkan serangan Cerebro Vaskular Diases, terlebih bila telah
berjalan selama bertahun tahun. Pecahnya pembuluh darah otak akan
menimbulkan perdarahan, akan sangat fatal bila terjadi interupsi aliran
darah ke bagian distal, di samping itu darah ekstravasal akan tertimbun
sehingga akan menimbulkan tekanan intracranial yang meningkat,
sedangkan menyempitnya pembuluh darah otak akan menimbulkan
terganggunya aliran darah ke otak dan sel sel otak akan mengalami
74
kematian (Rosjidi, 2008). Menilai tingkat kesadaran dan tanda - tanda
vital, perubahan penurunan kesadaran secara signifikan dan perubahan
tanda tanda vital dapat merupakan gambaran dari gangguan perfusi
cerebral maupun peningkatan tekanan intrakrania.
4. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan. Dari hasil pengkajian pada Tn.E mengalami kesulitan menelan
(disfagia), Tn.E makan dan minum melalui selang NGT. Disfagia adalah
kesulitan menelan cairan atau makanan yang disebabkan gangguan pada
proses menelan. Akibat stroke sel neuron mengalami nekrosis atau
kematian jaringan, sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan
fungsi yang terjadi bergantung pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada
stroke akut, pasien dapat mengalami gangguan menelan yang diakibatkan
oleh edema otak, gangguan tingkat kesadaran atau diaschisis dan biasanya
bersifat revershible. Tetapi bila lesi terjadi didaerah batang otak,
kemungkinan pasien akan mengalami disfagia permanen. Beberapa
gangguan yang bisa terjadi adalah sebagai berikut : Fase Oral : gangguan
koordinasi bibir, lidah dan mandibula, kelemahan pada pangkal lidah,
penurunan tingkat kesadaran, gangguan fungsi luhur. Fase Faringeal :
disfungsi palatum mole dan faring superior, kelemahan muskulus
kontriktor faring, gangguan relaksasi muskulus krikofaring. Fase
Esofagus : kelainan dinding esofagus, kelemahan peristaltik esofagus.
Pada pasien stroke yang paling sering terjadi adalah fase faringeal dan
fase esofagus (Rasyid, 2007).
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskular dan
kelemahan. Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn.E mengalami
kelemahan pada anggota gerak yang menyebabkan Tn.E tidak bisa
melakukan aktivitas sehingga semua aktivitas Tn.E dibantu oleh keluarga
dan perawat. Personal hygine merupakan suatu usaha pemeliharaan
kesehatan diri seseorang yang bertujuan mencegah terjangkitnya penyakit
serta untuk memperbaiki status kesehatannya. Salah satu indikator dari
personal hygine adalah perawatan kulit, gigi dan mulut, rambut, mata,
hidung dan telinga, kaki dan kuku, genitalia serta kebersihan dan kerapian
75
pakaian (Perry, 2005). Keterbatasan kebersihan diri biasanya disebabkan
oleh kelemahan anggota gerak yang dialami klien, sehingga dirinya tidak
bisa mengurus merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian,
dan berhias. Keterbatasan tersebut akan terus beranjut dalam pemenuhan
kebutuhan dasar lainnya. Manusia mempunyai kebutuhan yang beragam,
namun pada hakikatnya setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar yang
sama. Salah satunya yang mengalami defisit perawatan diri adalah pasien
yang terkena penyakit stroke memiliki keterbatasan pergerakan dan tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar (Asmadi, 2008).
Pada tahap diagnosa kelompok tidak mengambil 5 diagnosa menurut
konsep teori yang terdiri dari
1. Pola napas tidak efektif b/d depresi pusat pernapasan karena pola nafas
tidak efektif terjadi karena adanyanya hambatan upaya napas hal ini
sudah digambarkan pada diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif yang
sesuai dengan kondisi pasien dimana terdapatnya sputum dan bunyi nafas
gurgling pada pasien. Hambatan jalan nafas pada pasien juga
menyebabkan Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dalam darah sehingga
menimbulkan diagnosa gangguan pertukaran gas yang dukung dengan
hasil labor analisa gas darah pasien yang tidak seimbang, sehingga
diagnosa gangguan prtukaran gas lebih sesuai dengan kondisi pasien .
2. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan
anggota gerak, Gangguan komunikasi verbal b/d penurunan sirkulasi
serebral, dan gangguan neuromuskuler, kelompok tidak memlilih sebagai
masalah keperawatan dikarenakan pasien mengalami penurunan
kesadaran
3. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penglihatan, pendengaran,
penghiduan, dan hipoksia serebral, kelompok tidak memlilih sebagai
masalah keperawatan dikarenakan pasien mengalami penurunan
kesadaran sehingga tidak dilakukan pemeriksaan 12 saraf kranial. Karena
kondisi pasien mengalami penurunan keadaran untuk mencegah
terjadinya ketidakstabilan TIK diagnosa yang tepat sesuai kondisi pasien
76
adalah Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif b/d infark pada jaringan
otak dan Hipertensi.
4. Resiko defisit nutrisi diambil sebagai diagnosa pada kasus karena
keterlibatan perawat dan keluarga dalam pemenuhan nutrisi pada pasien
stroke hemoragic yang mengalami peneurunan kesadaran sangat
mempengaruhi kondisi pasien kedepannya.
5. Resiko gangguan integritas kulit/ jaringan b/d penurunan mobilitas pada
teori bisa dicegah dengan adanya diagnosa defisit perawatan diri dimana
peran perawat dan keterlibatan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan
dasar terutama personal hygiene pada pasien bisa menghindarkan pasien
dari terjadinya kerusakan integritas kulit/jaringan, dan memberi rasa
nyaman pada pasien.
C. Intervensi Keperawatan
Penyusunan intervensi keperawatan dilakukan sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang telah ditegakkan. Intervensi atau perencanaan keperawatan
adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuannya berpusat pada
klien. Diagnosa utama yaitu Gangguan Pertukaran Gas b/d Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi, yang kedua Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif b/d Disfungsi
neuromuskuler, yang ketiga Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif b/d infark
pada jaringan otak dan Hipertensi, yang keempat, Resiko Defisit Nutrisi b/d
Ketidakmampuan menelan makanan, yang kelima Defisit Perawatan Diri b/d
Gangguan neuromuskuler dan kelemahan
Berdasarkan advis dokter, cairan yang diberikan yaitu Asering 1 :
Rexamin 1 dalam 12 jam/Kolf. Selain itu Tn.E juga diberikan injeksi Nocid
3x1, Phenytoin 3x1, As.folat 3x1, Azithromycin1x500mg, Citicolin2x250mg,
Asam Traneksamat 4x1, Omeprazole1x1, Vitamin K3x1, Dexamethasone3x1,
Furosemid1x1, Paracetamol 3x1, Ventolin 4x1.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
perencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
yaitu aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan
sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan
77
lain, dan tindakan kolaborasi merupakan tindakan yang didasarkan hasil dari
keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan yang lain
(Wartonah, 2015).
Dari ke lima diagnosa keperawatan yang didapatkan semuanya
dilakukan implementasi sesuai intervensi yang telah direncanakan, tetapi pada
diagnosa defisit perawatan diri mahasiswa juga memberikan edukasi pada
keluarga untuk melakukan gerakan ROM pasif miring kanan dan miring kiri
untuk mencegah terjadinya gangguan integritas kulit dengan memberikan
waktu jeda tekanan pada punggung dan panggul saat pasien bedst otal dengan
tetap memperhatikan tanda tanda vital pasien.
Penatalaksanaan setiap asuhan keperawatan juga dikolaborasikan
dengan obat - obatan (farmakologis) sesuai advise dokter, selain itu dapat
dilakukan upaya kolaboratif yaitu dengan pemberian terapi oksigen sesuai
kebutuhan, memonitor saturasi oksigen, yang semuanya itu bertujuan untuk
mempertahankan aliran darah ke otak pasien agar bisa menghindari kecacatan
fisik dan kematian.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang terjadi pada setiap langkah
dari proses keperawatan dan pada kesimpulan. Evaluasi pada dasarnya adalah
membandingkan status kesehatan pasien dengan tujuan atau kriteria hasil
yang telah ditetapkan, yang dimana evaluasi keperawatan ini dicatat dan
disesuaikan dengan setiap diagnose keperawatan. Evaluasi untuk setiap
diagnose keperawatan meliputi data subjektif (S) dan objektif (O), Analisa
permasalahan (A) klien berdasarkan S dan O, serta perencanaan ulang (P)
berdasarkan hasil Analisa data diatas. Evaluasi ini disebut juga evaluasi
proses. (Herdman, 2015).
Dari hasil implementasi yang diberikan selama 3 hari kepada Tn.E di
dapatkan hasil bahwa pasien merasa lebih nyaman dan dapat beristirahat
dengan nyaman. Dan secara otomatis hal tersebut dapat membuat
hemodinamik pasien lebih stabil dengan hasil Tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 98x/menit, pernafasan 23 x/menit, sura gurglig pada pasien berkurang,
keluarga juga aktif terlibat dalam proses perawatan.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
79
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Diharapkan keluarga dapat meningkatkan pengetahuan dan
kemandirian dalam merawat dan proses pemulihan pada pasien yang
mengalami stroke hemoragik.
80
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, L. (2011). hiperemesis gravidarum. Phys. Rev. E, 24. Retrieved
from
http://ridum.umanizales.edu.co:8080/jspui/bitstream/6789/377/4/Muño
z_Zapata_Adriana_Patricia_Artículo_2011.pdf
Hidayat, A. A. (2021) Proses Keperawatan; Pendekatan NANDA, NIC, NOC,
SDKI. Surabaya: Health Book Publishing. Available at:
https://www.google.co.id/books/edition/Proses_Keperawatan_Pendek
atan_NANDA_NIC/h3scEAAAQBAJ?hl.
McPhee S.J & Ganong W.F. 2011. Patofisiologi Penyakit Pegantar Menuju
Kedokteran Klinis, Edisi 5. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakrta: Selemba Medika.
Oktavia, L. (2016). Kejadian hiperemisis gravidarum ditinjau dari jarak
kehamilan dan paritas. 1(2). Rofi’ah, S., Widatiningsih, S., & Arfiana.
(2019). Studi Fenomenologi Kejadian Hiperemesis Gravidarum Pada
Ibu Hamil Trimester I. Jurnal Riset Kesehatan.
https://doi.org/10.31983/jrk.v8i1.3844
Rasyid. (2007). Unit Stroke Manajemen Stroke Secara Komprehensif.
Jakarta: EGC.
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Director.
https://doi.org/10.22201/fq.18708404e.2004.3.66178
Rosjidi, C. H. (2008). Buku Ajar Peningkatan Tekanan Intrakranial &
Gangguan Peredaran Darah Otak. Jakarta: EGC
Rosjid, C. H., & Nurhidayat, S. (2014). Buku Ajar Peningkatan Intrakranial
& Gangguan Peredaran Darah Otak. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Runiari, Nengah. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Hiperemesis
Gravidarum. Jakarta: Salemba Medika
Soeharto, I. (2015). Serangan Jantung dan Stroke Hubungannya Dengan
Lemak dan Kolestrol. jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sumirah, dkk. 2019. Pengaruh Elevasi Kepala 30 Derajat Terhadap Saturasi
Oksigen dan Kualitas Tidur Pasien Stroke. Poltekkes Kemenkes
Malang http://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/HIJP
SDKI. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017.
Retrieved
from http://sdki.bkkbn.go.id/files/buku/2017IDHS.pdf
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). (2018). Jakarta. Retrieved from
http://www.inna-ppni.or.id
Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan (1st ed.). (2019). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from
http://www.innappni.or.id
Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar diagnosa keperawatan indonesia.
Dewan Pengurus Pusat. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.77.1889