Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN FT.

KOMPREHENSIF II
RSUP . Dr. TADJUDDIN CHALID MAKASSAR

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN


AKTIVITAS FUNGSIONAL EKSTREMITAS SUPERIOR
DAN INFERIOR DEXTRA KARENA KELEMAHAN
OTOTE.C HEMIPARESE POST NHS

DISUSUN OLEH :
RIFKA AINUN AMALIA
D.III FISIOTERAPI
PO713241191038

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
AHLI MADYA FISIOTERAPI

TAHUN 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus atas nama Rifka Ainun Amalia Nim : PO.71.3241.19.1.038 dengan judul
“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Gangguan Aktivitas Fungsional pada Ekstremitas
Superior dan Inferior karena Kelemahan otot e.c Hemiparese Post NHS” telah disetujui
untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan praktek klinik di
RSUP Dr. TADJUDDIN CHALID , mulai tanggal 25 Oktober – 20 November 2021.

Makassar, 11 November 2021

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

Machadaliana, K. S.St.Ft SriSaadiyah L.


S.Sos.Ft.Physio.M.kes

NIP. 1972121820072015 NIP.19660491989032001

ii
KATA PENGANTAR

          Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan

rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya, saya masih diberi kesempatan untuk

menyusun laporan kasus ini yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan

Aktovitas Fugsional pada Ekstremitas Superior dan Inferior Dextra karena Kelemahan

Otot e.c Hemiparese NHS”.

Laporankasus ini merupakan salah satu dari tugas praktek klinik di Rumah Sakit

Dr. Tadjuddin Chalid Makassar Selain itu juga laporankasus ini bertujuan memberikan

informasi mengenani penatalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar.

2. Bapak / Ibu pembimbing di Rumah Sakit Dr. Tadjuddin Chalid Makassar.

3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan

Laporan Kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh

sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan

dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga dengan selesainya laporan ini dapat

bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman yang membutuhkan.

Makassar, 7Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN KASUS....................................................................................... 3


A. Tinjauan Tentang Anatomi Biomekanik............................................................... 3
B. TinjauanTentang Stroke.........................................................................................14
1. Definisi............................................................................................................. 14
2. Etiologi............................................................................................................. 15
3. Patofisiologi......................................................................................................16
4. Gambaran Klinis...............................................................................................17
C. Tinjauan Tentang Assesment dan Pengukuran Fisioterapi...................................20
D. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi................................................................26

BAB III PROSES ASSESMEN FISIOTERAPI.......................................................... 34


A. Identitas Pasien .....................................................................................................34
B. History Taking.......................................................................................................34
C. Inspeksi/Observasi ................................................................................................34
D. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar..........................................................................34
E. PemeriksaanSpesifik Fisioterapi...........................................................................36
F. Pengukuran Fisioterapi..........................................................................................37
G. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD)............................................................................ 44
H. Problematik Fisioterapi.........................................................................................44

BAB IV INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI........................................46

A. Rencana Intervensi Fisioterapi .............................................................................46


B. Strategi Intervensi Fisioterapi ...............................................................................46
C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisoterapi..........................................................48
D. Edukasi dan Home Program.................................................................................54
E. Evaluasi Fisioterapi...............................................................................................55

BAB V PEMBAHASAN .............................................................................................56

A. Pembahasan Assesment Fisioterapi ......................................................................56


B. Pembhasan Intervensi Fisioterapi .........................................................................61

BAB VI PENUTUP .....................................................................................................64

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...65

DOKUMENTASI

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah suatu defisit neurologis akut yang disebabkan olehgangguan

peredaran darah otak yang tejadi secara mendadak danmenimbulkan gejala sesuai daerah

otak yang terganggu (Bustaman MN,2010). Stroke paling banyak dialami oleh penderita

kronis hipertensi, diabetesmelitus, jantung, kadar kolestrol tinggi dan lain-lain.

Stroke adalah tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak

fokal (atau global), dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat

menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke merupakan

suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang

dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang

berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa kematian),

yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. (WHO, 2005)

Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic yang

seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri. Dari

seluruh kejadian stroke, duapertiganya adalah ischemic dan sepertiganya adalah

hemorrhagic. Disebut stroke ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah oleh

thromboembolic yang mengakibatkan daerah di bawah sumbatan tersebut mengalami

ischemic. Hal ini sangat berbeda dengan stroke hemorrhagic yang terjadi akibat adanya

mycroaneurisme yang pecah.

Stroke iskemik (penyumbatan) memiliki persentase terbesar, yaitu sekitar 80%.

Insiden penyakit stroke hemoragik antara 15-30 % dan untuk stroke iskemik antara 70-

85%. Sedangkan, insiden stroke di negara- negara berkembang atau Asia untuk stroke

1
hemoragik sekitar 30% dan iskemik 70%. Kejadian stroke iskemik memiliki proporsi

lebih besar dibandingkan dengan stroke hemoragik (Soeharto, 2004).

Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena

stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 2 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun

berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya

menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan

produktif stroke dapat menyerang setiap usia namun yang sering terjadi pada usia si atas

40 tahun. Angka kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, makin tinggi

usia seseorang, makin tinggi kemungkinan terkena serangan stroke. (Suyama et al,

2004). Walaupun penyakit strokemerupakan penyakit yang mematikan, akan tetapi

sebagian akan pulihsempurna dan sebagian besar akan meninggalkan gejala sisa

sepertikelemahan separuh badan atau yang dikenal dengan nama hemiparese (Dewi,2013).

Hemiparese adalah kelemahan separuh badan dimana lengan dan tungkaisesisi

lumpuh sama beratnya ataupun tungkai sesisi lebih lumpuh dari lenganataupun sebaliknya

(Aras, 2003). Kelemahan otot kaki, lutut dan pingguldapat menyebabkan terjadinya

gangguan keseimbangan dinamis yangdikarenakan oleh tubuh tidak mampu

mempertahankan posisi saat adanyagaya dari luar. Jika gangguan keseimbangan dinamis

tidak ditangani dengancepat maka pasien akan sulit untuk melakukan aktvitas

fungsionalnya. Untukmenangani ganguan tersebut dibutuhkan penanganan terpadu

yangmelibatkan berbagai disiplin ilmu mulai dari penanganan medis sampairehabilitasi

medik (fisioterapi). Berdasarkan kemampuan yang dimiliki sesuaidengan kewenangannya,

maka untuk memulihkan pasien hemiparesE seharusnya segera ditangani oleh tenaga

fisioterapis (Irfan, 2010).

2
BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi Otak

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100 - 200 milyar sel aktif yang saling

berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak

terdiri dari sel - sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ yang sangat

mudah beradaptasi meskipun neuron - neuron di otak mati tidak mengalami

regenerasi kemampuan adaptif atau plastisitas. Pada otak dalam situasi tertentu

bagian - bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak.

Otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting

yang berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).

Secara garis besar sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan

sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis.

Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah

menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya

(Noback dkk, 2005).

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagiannya

adalah :

1. Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari

sepasang hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks. Korteks ditandai

3
dengan sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus,

yaitu:

a. Lobus Frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih

tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di

hermisfer kiri), pusat penghidit dan emosi. Bagian ini mengandung pusat

pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer)

dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat

daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur

gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves

dkk, 2004).

b. Lobus Temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke

bawah dari fisura lateral dan sebelah posterior dari fisura parieto-

oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat

verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan

perkembangan emosi.

c. Lobus Parietalis

4
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus

post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran

(White, 2008).

d. Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi

penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari

nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf

lain dan memori (White, 2008).

e. Lobus Limbik

Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi

dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian

atas susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).

Pembagian menurut area Broodmann :

a. Lobus Frontal

1) Pusat motorik : area 4, 6

2) Pengatur sikap dan mental : area 9, 10, 11, 12

5
3) Pengatur motoris (broca) : area 44, 45

b. Lobus Pariental

1) Pusat sensoris : area 1,2,3

2) Pengertian Bahasa : area 39, 40

c. Lobus Occypital

1) Pusat pengelihatan : area 17, 18, 19

d. Lobus Temporal

1) Pusat pendengaran : area 41.42

2) Pusat memori

2. Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak

neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang

penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori

yang diterima inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum

terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan

menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat.

Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.

Mengendalikan kontraksi otot - otot volunter secara optimal. Bagian - bagian

dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus

fluccolonodularis (Purves, 2004).

6
3. Brainstem

Brainstem adalah batang otak yang berfungsi untuk mengatur seluruh

proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya

dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur - struktur fungsional batang otak

yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara

medulla spinalis dan bagian - bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang

saraf cranial. Bagian-bagian batang otak dari bawak ke atas adalah medula

oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah).

1) Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung,

vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur

dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada

jaras kortikosereberalis yang 3 menyatukan hemisfer serebri dan

serebelum.

2) Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras

kortikosereberalis yang 3 menyatukan hemisfer serebri dan serebelum

3) Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi

aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden

dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.

7
Nervus Cranialis

1. Nervus olfaktorius

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma

(bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.

2. Nervus optikus

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.

3. Nervus okulomotoris

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)

menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan

otot iris.

4. Nervus troklearis

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya

terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.

5. Nervus trigeminus

Bersifat majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.

Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya

yaitu:

a. Nervus oltamikus

8
Sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas,

selaput lendir kelopak mata dan bola mata.

b. Nervus maksilaris

Sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga

hidung dan sinus maksilaris.

c. Nervus mandibular

sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah.

Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan

dagu.

6. Nervus abdusen

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang

sisi mata.

7. Nervus fasialis

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-

otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-

serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk 5 wajah dan kulit kepala fungsinya

sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.

8. Nervus auditoris

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran

dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.

9. Nervus glosofaringeus

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini

dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.

10. Nervus vagus

9
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,

sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum

minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf

perasa.

11. Nervus asesorius

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,

fungsinya sebagai saraf tambahan.

12. Nervus hipoglosus

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini

terdapat di dalam sumsum penyambung.

PEREDARAN DARAH OTAK

Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi oksigen total

tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri

yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Dalam rongga kranium, keempat arteri

ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi

(Satyanegara, 1998).

1. Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri

karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi.

Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang

berakhir pada arten serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir

arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans

posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri

10
serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior. Arteri

vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteria

subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri

subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis

memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan

medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arten basilaris.

2. Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus - sinus duramater,

suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus -

sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk

triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama

adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis

superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus transversus.

Vena -vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia

(Wilson, el al, 2002). Gambar. 2.4 Circulus

11
1. Sistem Motorik

Sistem motorik merupakan sistem yang mengatur segala gerakan pada

manusia. Gerakan diatur oleh pusat gerakan yang terdapat di otak.,

diantaranya yaitu area motorik di korteks, ganglia basalis, dan cerebellum.

Jaras untuk sistem motorik ada 2 yaitu : traktus piramidal dan

ekstrapiramidal. Traktus piramidal merupakan jaras motorik utama yang

pusatnya di girus presentralis (area 4 Broadmann), yang disebut juga korteks

Motorik primer. Impuls motorik dari pusat motorik disalurkan melalui

traktus piramidal ke saraf perifer menuju ke otot. Area motorik lain yang

terletak di depan korteks motorik primer adalah korteks premotorik (area 6

Broadmann). Area ini merupakan area asosiasi korteks motorik yang

membangkitkan pola gerakan untuk disampaikan ke korteks Motorik primer.

Contoh : Orang tertusuk duri → sensasi diteruskan ke korteks sensorik;

dianalisa → korteks sensorik asosiasi; diterjemahan → korteks premotorik;

program dan pola → korteks motorik primer; eksekusi gerakan → otot;

kontraksi. Kerusakan korteks motorik primer atau traktus piramidal dapat

menyebabkan paralysis (kelumpuhan) Ataupun parese (kelemahan gerakan).

Selain traktus piramidal, jaras sistem motorik ada juga yang melalui

traktus ekstrapiramidal (system ekstrapiramidal). Jaras ini melibatkan

ganglia basalis dan berfungsi untuk mengatur gerakan volunter kasar dan

tidak terampil, seperti mengendalikan posisi berdiri, gerakan tangan pada

waktu berjalan, gerak lambaian tungkai dan lengan. Kerusakan pada ganglia

basalis dapat menimbulkan gangguan gerak seperti : gejala-gejala pada

12
penyakit Parkinson (kekakuan otot atau rigiditas, tremor, akinesia),

hemibalismus, chorea, dan atetosis

2. Sistem Sensorik

Sistem sensorik pada manusia berhubungan dengan kemampuan

mempersepsi suatu rangsang. Sistem ini sangat penting karena berfungsi

terutama untuk proteksi tubuh. Sistem ini dapat juga dimaknai sebagai

perasaan tubuh atau sensibilitas.

a. Reseptor

Reseptor adalah sel atau organ yang berfungsi menerima rangsang atau

stimulus. Dengan alat ini sistem saraf mendeteksi perubahan berbagai

bentuk energi di lingkungan dalam dan luar. Setiap reseptor sensoris

mempunyai kemampuan mendeteksi stimulus dan mentranduksi energi

fisik ke dalam sinyal (impuls) saraf. Menurut letaknya, reseptor dibagi

menjadi:

 Exteroseptor ; perasaan tubuh permukaan (kulit), seperti sensasi

nyeri, suhu, dan raba

 Proprioseptor ; perasaan tubuh dalam, seperti pada otot, sendi,

dan tendo.

 Interoseptor ; perasaan tubuh pada alat-alat viscera atau alat-alat

dalam, seperti jantung, lambung, usus, dll

Menurut tipe atau jenis stimulus, reseptor dibagi menjadi :

 Mekanoreseptor ; kelompok reseptor sensorik untuk mendeteksi

perubahan tekanan, memonitor tegangan pada pembuluh darah,

mendeteksi rasa raba atau sentuhan. Letaknya di kulit, otot

13
rangka, persendn dna organ visceral. Contoh reseptornya : corpus

Meissner (untuk rasa raba ringan), corpus Merkel dan badan

Paccini (untuk sentuhan kasar dan tekanan).

 Thermoreseptor ; reseptor sensoris unuk mendeteksi perubahan

suhu. Contohnya : bulbus Krause (untuk suhu dingin), dan

akhiran Ruffini (untuk suhu panas).

 Nociseptor ; reseptor sensorik untuk mendeteksi rasa nyeri dan

merespon tekaan yang dihasilkan oleh adanya kerusakan jaringan

akibat trauma fisik maupun kimia. Contoh reseptornya berupa

akhiran saraf bebas (untuk rasa nyeri) dan corpusculum Golgi

(untuk tekanan).

 Chemoreseptor ; reseptor sensorik untuk mendeteksi rangsang

kimiawi, seperti : bu-bauan yang diterima sel reseptor olfaktorius

dalam hidung, rasa makanan yang diterima oleh sel reseptor

pengecap di lidah, reseptor kimiawi dalam pembuluh darah untuk

mendeteksi oksigen, osmoreseptor untuk mendeteksi perubahan

osmolalitas cairan darah, glucoreseptor di hipotalamus

mendeteksi perubahan kadar gula darah.

 Photoreseptor ; reseptor sensorik untuk mendeteksi perbahan

cahaya, dan dilakukan oleh sel photoreceptor (batang dan

kesrucut) di retina mata

B. Tinjauan Tentang Hemiparese

1. Definisi

14
Hemiparase adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,

progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal yang berlangsung selama 24 jam

atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata – mata disebabkan

oleh gangguan peredaran darah otak non-traumatic (Halim, 2016).

2. Etiologi

Hemiparese dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada seluruh korteks

piramidalis sesisi yang menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN)

pada belahan tubuh sisi kontralateral.

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan 88% dari seluruh

kasus stroke. Pada stroke iskemik terjadi iskemia akibat sumbatan atau

penurunan aliran darah otak. Berdasarkan perjalanan klinis, dikelompokkan

menjadi :

a. TIA (Transient Ischemic Attack) Pada TIA gejala neurologis timbul dan

menghilang kurang dari 24 jam. Disebabkan oleh gangguan akut fungsi fokal

serebral, emboli maupun trombosis.

b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) Gejala neurologis pada

RIND menghilang lebih dari 24 jam namun kurang dari 21 hari.

c. Stroke in Evolution Stroke yang sedang berjalan dan semakin parah dari

waktu ke waktu.

d. Completed Stroke Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak

berkembang lagi.

Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian

otak tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah

iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi

15
dan bentuk sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan integritas susunan

sel yang selanjutnya terjadi kematian neuron. Stroke non hemoragik dibagi

lagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu:

a. Stroke Non Hemoragik Embolik

Pada tipe ini embolik tidak terjadi pada pembuluh darah otak,

melainkan di tempat lain seperti di jantung dan sistem vaskuler sistemik.

Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung dengan shunt

yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau

ventrikel. Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang

meninggalkan gangguan pada katup mitralis, fibrilasi atrium, infark

kordis akut dan embolus yang berasal dari vena pulmonalis. Kelainan

pada jantung ini menyebabkan curah jantung berkurang dan serangan

biasanya muncul disaat penderita tengah beraktivitas fisik seperti

berolahraga.

b. Stroke Non Hemoragik Trombus

Terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak.

Dapat dibagi menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem

arteri karotis) merupakan 70% kasus stroke non hemoragik trombus dan

stroke pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus

posterior). Trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah

terhalang, biasanya ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator

penyakit atherosklerosis.

16
3. Patofisiologi

Aliran darah dalam kondisi normal otak orang dewasa adalah 50-60

ml/100 gram otak/menit. Berat otak normal rata-rata orang dewasa adalah 1300-

1400 gram (+ 2% dari berat badan orang dewasa). Sehingga dapat disimpulkan

jumlah aliran darah otak orang dewasa adalah + 800 ml/menit atau 20% dari

seluruh curah jantung harus beredar ke otak setiap menitnya. Pada keadaan

demikian, kecepatan otak untuk memetabolisme oksigen + 3,5 ml/100 gram

otak/menit. Bila aliran darah otak turun menjadi 20-25 ml/100 gram otak/menit

13 akan terjadi kompensasi berupa peningkatan ekstraksi oksigen ke jaringan

otak sehingga fungsi-fungsi sel saraf dapat dipertahankan.

Proses patofisiologi stroke iskemik selain kompleks dan melibatkan

patofisiologi permeabilitas sawar darah otak (terutama di daerah yang

mengalami trauma, kegagalan energi, hilangnya homeostatis ion sel, asidosis,

peningkatan, kalsium intraseluler, eksitotositas dan toksisitas radikal bebas),

juga menyebabkan kerusakan neumoral yang mengakibatkan akumulasi

glutamat di ruang ekstraseluler, sehingga kadar kalsium intraseluler akan

meningkat melalui transpor glutamat, dan akan menyebabkan

ketidakseimbangan ion natrium yang menembus membran.

Secara umum patofisiologi stroke iskemik meliputi dua proses yang terkait,

yaitu :

a. Perubahan fisiologi pada aliran darah otak

b. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemik.

17
4. Gambaran Klinis

Sebagian besar pasien dengan stroke (80%-90%) memiliki beberapa

tanda-tanda dan gejala motoric. Berupa deficit yang berat, yang mungkin

disebabkan oleh neglect motorik, apraksia, atau ataksia visuomotor dan bukan

karena kelemahan. Hemiparesis dengan kelemahan sesisi pada tangan, kaki,

bahu, dan pinggul adalah profil defisit motorik yang paling sering terjadi

(setidaknya dua pertiga kasus) (Arboix, et al., 2012).

Untuk memahami manifestasi klinis yang terlihat pada seseorang yang

mengalami stroke, perlu untuk mengetahui struktur dan fungsi dari berbagai

bagian otak, serta sirkulasi dari otak. Karena distribusi sirkulasi otak terbagi ke

berbagai bagian korteks dan batang otak, penyumbatan atau pendarahan di salah

satu pembuluh darah menghasilkan temuan klinis yang cukup dapat diprediksi.

(Martin and Kessler, 2007).

Manifestasi klinis pasien stroke berdasarkan sirkulasi otak (Martin and Kessler,

2007) :

a. Anterior Cerebral Artery Occlusion

Penyumbatan pada anterior cerebral artery paling jarang terjadi dan paling

sering disebabkan oleh embolus. Anterior cerebral artery menyuplai batas

superior lobus frontal dan parietal otak. Seorang pasien dengan oklusi

anterior cerebral artery akan menunjukkan tanda dan gejala berupa:

 Kelemahan kontralateral,

 Hilangnya sensoris terutama pada ekstremitas bawah

 Afasia

 Inkontinensia

18
 Gangguan ingatan dan perilaku

b. Middle Cerebral Artery Occlusion

Infark middle cerebral artery, merupakan jenis stroke paling umum, yang

dapat menyebabkan hilangnya sensoris kontralateral, kelemahan pada wajah

dan ekstremitas atas. Infark pada daerah dominan hemisfer dapat

menyebabkan afasia global dan homonymous hemianopia, yang merupakan

suatu kondisi di mana seseorang hanya melihat satu sisi - kanan atau kiri -

dari visual setiap mata. Pasien mungkin juga mengalami kehilangan

pandangan mata konjugat, yang merupakan pengatur gerakan bola mata

secara bersamaan.

c. Vertebrobasilar Artery Occlusion

Oklusi lengkap dari arteri vertebrobrasial seringkali berakibat fatal

karena melibatkan saraf kranial dengan tanda dan gejala berupa:

 Diplopia (penglihatan ganda),

 Disfagia (kesulitan menelan),

 Dhysarthria (kesulitan menginformasikan kata sekunder karena

kelemahan pada lidah dan otot-otot wajah),

 Deafness (ketulian), dan

 Vertigo

Selain itu, infark ke daerah yang disuplai oleh distribusi vaskular ini

dapat menyebabkan ataksia, yang ditandai dengan gerakan yang tidak

terkoordinasi, defisit equilibrum, dan sakit kepala.

Penyumbatan arteri basilar dapat menyebabkan pasien mengalami

sindrom terkunci. pasien dengan tipe stroke ini memiliki gangguan yang

19
signifikan. Para pasien waspada dan berorientasi tetapi tidak dapat

bergerak atau berbicara karena kelemahan pada semua grup otot. Gerakan

mata adalah satu-satunya jenis gerakan aktif yang memungkinkan dan

dengan demikian menjadi sarana komunikasi utama pasien.

d. Posterior Artery Occlusion

Arteri serebral posterior menyuplai lobus oksipital dan temporal. Oklusi

di arteri ini dapat menyebabkan:

 Hilangnya sensoris kontralateral,

 Rasa sakit,

 Defisit memori,

 Homonymous hemianopia,

 Visual Agnosia (ketidakmampuan mengenali benda atau individu yang

familiar), dan

 Cortical Blindness (ketidakmampuan untuk memproses informasi

visual yang masuk meskipun saraf optik tetap utuh).

C. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi

1. Pengukuran Kekuatan Otot menggunakan Manual Muscle Testing

Menurut Kusworo secara fisiologis adalah kekuatan otot adalah

kemampuanotot untuk melakukan satu kali kontraksi secara maksimal

melawan tahanan atau beban.

Manual Muscle Testing (MMT) merupakan salah satu bentuk

pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal tersebut karena

penatalaksanaan, intepretasi hasil serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji.

20
Manual Muscle Testing (MMT) adalah salah satu usaha untuk

menentukanatau mengetahui kemampuan seseorang dalam mengontraksikan

otot ataugroup otot secara voluntary. MMT standar sebagai ukuran kekuatan

tidak akansesuai atau cocok untuk seseorang yang tidak dapat

mengkontraksikan ototnyasecara aktif dan disadari.Dengan demikian,

seseorang yang mengalamigangguan sisten syaraf pusat yang memperlihatkan

spastisitas otot tidak cocokuntuk dilakukan MMT.

2. Pengukuran Activity Daily Living menggunakan Index Barthel

No Item yang dinilai Skor Nilai


1. Makan 0 = tidak mampu mandiri
1 = perlu bantuan memotong
mengoles mentega, dan
sebagainya, atau perlu mengubah
diet
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = tidak mampu mandiri
1 = mandiri
3. Merawat diri 0 = perlu bantuan untuk
perawatan diri
1 = mandiri untuk

21
wajah/rambut/gigi
4. Berpakaian 0 = tidak mampu mandiri
1 = perlu bantuan untuk bisa
melakukan sendiri atau stengah
dibantu.
2 = mandiri (termasuk
kencing,resleting,dsb)

5. Buang Ai Besar (BAB) 0 = tidak mandiri


1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
6. Buang Air Kecil (BAK) 0 = tidak mandiri
1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
7. Menggunakan toilet 0 = tidak mandiri
1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
8. Bergerak 0 = tidak mampu, tidak
seimbang
1 = butuh bantuan satu atau dua
orang
2 = bantuan minimal
3 = mandiri

9. Mobilitas 0 = tidak bisa berjalan


1 = bergantung pada kursi roda
2 = berjalan dengan bantuan satu
orang
3 = mandiri
10 Naik Tangga 0 = tidak mampu mandiri
. 1 = butuh bantuan
2 = mandiri
Total 0-20

Interpretasi:

12 : mandiri

12-19 : ketergantungan ringan

9-11: ketergantungan sedang

8-5 : ketergantugan berat

22
0-4: ketergantungan total

3. Pengukuran Keseimbangan dengan menggunakan Berg Balance Scale

Berg Balance Scale adalah suatu tes klinis yang banyak digunakan untuk

pengukuran keseimbangan seseorang misalnya keseimbangan dinamis pada

lansia ataupun pasien dengan riwayat sakit.

Skala BBS dikembangkan pada tahun 1989 dengan menggunakan proses

wawancara terhadap pasien dan professional kesehatan. Terdapat 38 item tes

keseimbangan dinamis yang pada awalnya dipilih dan kemudian disempurnakan

melalui wawancara serta uji coba lebih lanjut sehingga tersisa 14 item yang

digunakan. Dari masing-masing item tersebut terdapat bobot penilaian 0 sampai

4 dan dengan nilai maksimum 56, yang mana skor lebih tinggi menunjukkan

bahwa keseimbangan dinamis lansia itu baik.

No Item yang Dinilai Skor


1 4 = Mampu tanpa menggunakan tangan dan
Duduk ke Berdiri berdiri stabil
3= Mampu berdiri stabil tetapi menggunakan
support tangan
2= Mampu berdiri dengan support tangan setelah
beberapa kali mencoba
1-= Membutuhkan bantuan minimal untuk
berdiri stabil
0= Membutuhkan bantuan sedang sampai
maksimal untuk dapat berdiri
2 4 = Mampu berdiri dengan aman selama 2 menit
3 = Mampu berdiri selama 2 menit dengan
Berdiri tak bersangga pengawasan
2 = Mampu berdiri selama 30 detik tanpa
penyangga
1 = Butuh beberapa kali mencoba untuk berdiri
30 detik tanpa penyangga
0 = Tidak mampu berdiri 30 detik tanpa bantuan
3
4 = Mampu duduk dengan aman selama 2 menit
Duduk tak tersangga 3 = Mampu duduk selama 2 menit dibawah
tetapi kaki tersangga pengawasan
pada lantai atau stool 2 = Mampu duduk selama 30 detik
1 = Mampu duduk selama 10 detik

23
0 = Tidak mampu duduk tak tersangga selama 10

detik
4
4 = Duduk aman dengan bantuan tangan minimal
Berdiri ke duduk 3 = Mengontrol gerakan duduk dengan tangan
2 = Mengontrol gerakan duduk dengan paha
belakang menopang dikursi
1 = Duduk mandiri tetapi dengan gerakan duduk
tak terkontrol
0 = membutuhkan bantuan untuk duduk
5
4 = Mampu berpindah dengan aman dan
Transfer menggunakan tangan minimal.
3 = Mampu berpindah dengan aman dan
menggunakan tangan
2 = Dapat berpindah dengan aba-aba atau
dibawah pengawasan
1= Membutuhkan satu orang untuk membantu
0 = Membutuhkan lebih dari satu orang untuk

membantu
6
4 = Mampu berdiri dengan aman selama 10 detik
Berdiri tak tersangga 3 = Mampu berdiri 10 detik dengan pengawasan
dengan mata tertutup 2 = Mampu berdiri selama 3 detik
1 = Tidak mampu menutup mata selama 3 detik
0 = Butuh bantuan untuk menjaga agar tidak
jatuh
7
4 = Mampu menempatkan kaki secara mandiri
Berdiri tidak dan berdiri selama 1 menit
tersangga dengan 3 = Mampu menempatkan kaki secara mandiri
kaki rapat dan berdiri selama 1 menit dibawah pengawasan
2 = Mampu menempatkan kaki secara mandiri
dan berdiri selama 30 detik
1 = Membutuhkan bantuan memposisikan kedua
kaki, mampu berdiri 15 detik
0 = Membutuhkan bantuan memposisikan kedua
kaki, tdk mampu berdiri 15 Detik
8
4 = Dapat meraih secara meyakinkan >25 cm (10
Meraih kedepan inches)
dengan lengan lurus 3 = Dapat meraih >12.5 cm (5 inches) dengan
secara penuh aman.
2 = Dapat meraih >5 cm (2 inches) dengan aman.
1 = Dapat meraih tetapi dengan pengawasan
0 = Kehilangan keseimbangan ketika mencoba
9
4 = Mampu mengambil dengan aman dan mudah

24
Mengambil objek dari 3 = Mampu mengambil, tetapi butuh pengawasan
lantai dari posisi 2 = Tidak mampu mengambil tetapi mendekati
berdiri sepatu 2-5cm (1-2 inches) dengan seimbang dan
mandiri.
1 = Tidak mampu mengambil, mencoba beberapa
kali dengan pengawasan
0 = Tidak mampu mengambil, dan butuh bantuan
agar tidak jatuh

10
4 = Melihat kebelakang kiri dan kanan dengan
Berbalik untuk pergeseran yang baik
melihat ke belakang 3 = Melihat kebelakan pada salah satu sisi
dengan baik, dan sisi lainnya kurang
2 = Hanya mampu melihat kesamping dengan
seimbang
1 = Membutuhkan pengawasan untuk berbalik
0 = Membutuhkan bantuan untuk tetap seimbang
dan tidak jatuh
11
4 = Mampu berputar 360 derajat selama
Berbalik 360 derajat 3 = Mampu berputar 360 derajat dengan aman
pada satu sisi selama 4 detik atau kurang
2 = Mampu berputar 360 derajat dengan aman
tetapi perlahan
1 =Membutuhkan pengawasan dan panduan
0 = Membutuhkan bantuan untuk berbalik
12
4 = Mampu berdiri mandiri dan aman, 8 langkah
Menempatkan kaki selama 20 detik
bergantian ke stool 3 = Mampu berdiri mandiri dan aman, 8 langkah
dalam posisi berdiri selama >20 detik
tanpa penyangga 2 = Mampu malakukan 4 langkah tanpa alat
bantu dengan pengawasan
1 = Mampu melakukan >2 langkah,
membutuhkan bantuan minimal
0 = Membutuhkan bantuan untuk tidak jatuh
13
4 = Mampu menempatkan dgn mudah, mandiri
Berdiri dengan satu dan bertahan 30 detik
kaki di depan kaki 3 = Mampu menempatkan secara mandiri selama
lainnya 30 detik
2 = mampu menempatkan dgn jarak langkah
kecil, mandiri selama 30 detik
1 = Membutuhkan bantuan untuk menempatkan
tetapi bertahan 15 detik
0 = Kehilangan keseimbangan ketikan
penempatan dan berdiri
14
4 = Mampu berdiri dan bertahan >10 detik

25
Berdiri dengan satu 3 = Mampu berdiri dan bertahan 5-10 detik
kaki 2 = Mampu berdiri dan bertahan = atau >3 detik
1 = Mencoba untuk berdiri dan tidak mampu 3
detik, tetapi mandiri
0 = Tidak mampu, dan membutuhkan bantuan
agar tidak jatuh

Interpretasi :

41 – 56 : resiko rendah

21 – 40 : resiko menengah

0 – 20 : resiko tinggi

D. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

1. IR

a. Definisi

Infra Red adalah pancaran gelombang elektromagnetik dari panjang

gelombang lebih panjang dari cahaya tampak tetapi lebih pendek dari radiasi

gelombang radio. Panjang gelombang 700nm dan 1 mm. Menurut

(Mintorogo,2004) infra red adalah sinar yang bermuatan energi foton rendah

dan dalam bentuk gelombang panjang. Pada kasus ini Infra Red

meningkatkan sirkulasi mikro. Bergetarnya molekul air dan pengaruh Infra

Red akan menghasilkan panas yang menyebabkan pembuluh kapiler

membesar dan meningkatkan temperature kulit, memperbaiki sirkulasi

darah dan dapat mengurangi nyeri yang dirasakan.

b. Klasifikasi Infra Red berdasarkan Tipe

a) Tipe A : panjang gelombang 780-1.500 mm, penetrasi dalam.

b) Tipe B : panjang gelombang 1.500-3.000 mm, penetrasi dangkal.

26
c) Tipe C : panjang gelombang 3.000-10.000 mm, penetrasi dangkal.

c. Indikasi : Subakut kontusio (memar), Muscle strain, Sprain, Sinovitis,

Rheumatoid arthritis, Osteoarthritis, Myalgia, LBP, Neuralgia, Neuritis dan

Gangguan sirkulasi darah

d. Kontraindikasi

1) Daerah dengan insufiensi pada darah

2) Gangguan sensibilitas kulit

3) Adanya kecenderungan terjadinya pendarahan

2. PNF

a. Pengertian

PNF atau “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation” merupakan

metode gerakan kompleks. PNF berarti bahwa peningkatan dan fasilitasi

neuromuscular dengan sendirinya, sehingga memerlukan blocking yang

berlawanan. Dalam proses ini, reaksi mekanisme neuromuscular

dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat melalui stimulasi reseptor-

reseptor. Penggunaan gerakan kompleks berdasarkan pada prinsip-prinsip

stimulasi organ neuromuscular dengan bantuan tambahan dari seluruh

gerakan.

b. Prinsip prinsip PNF

Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar yang dapat meningkatkan reaksi

yang diinginkan dan digunakan untuk mencapai fungsi yang optimal.

1) Teknik menggenggam

27
Secara tepat dapat dihitung dan diaplikasikan teknik menggenggam dari

terapis untuk menentukan strength (kekuatan) gerakan kompleks yang

dihasilkan.

2) Stimulasi verbal dan visual

Secara sederhana, instruksi yang jelas dapat mengurangi kerja terapis.

Pasien harus melihat dan berpartisipasi melakukan gerakan yang

dicontohkan terapis.

3) Kompresi dan Traksi

Kompresi menyebabkan permukaan sendi saling merapat, traksi dapat

menggerakkan permukaan sendi saling menjauhi. Reseptor-reseptor

akan terangsang. Traksi dapat memfasilitasi gerakan pada sistem otot ;

kompresi dapat meningkatkan stabilitas.

4) Tahanan maksimal

Hukum “all or nothing” dalam kontraksi otot terlibat dalam teknik ini.

Tahanan isometrik dan/atau isotonik dapat digunakan dalam teknik ini.

Tahanan yang maksimal ditentukan oleh strength (kekuatan) otot dari

setiap pasien.

5) Rangkaian Aksi Otot yang tepat

Ketika otot berkontraksi dalam suatu rangkaian yang tepat, maka group

otot yang tegang akan mengatasi tuntutan yang terjadi dengan optimal

efektifitas. Waktu yang tepat dapat berperan penting baik pada gerakan

kompleks maupun pada olahraga.

Ada 3 komponen gerakan yang mengambil bagian dari setiap pola

gerak spiral dan diagonal :

28
- Fleksi atau ekstensi

-Adduksi atau abduksi

-Eksternal atau internal rotasi

Eksternal rotasi digunakan dalam kombinasi dengan supinasi, dan

internal rotasi digunakan kombinasi dengan pronasi. Variasi teknik

gerakan kompleks dapat memperbaiki implementasi dan efektifitas

sistem muskuloskeletal. Urutan gerakan pada olahraga spesifik dapat

dikombinasikan dengan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak

memukul pada handball atau menembak bola pada sepakbola.

6) Tahanan Langsung

Hal ini melibatkan tahanan optimal untuk seluruh durasi gerakan;

tahanan ini bergantung pada gerakan alamiah yang beragam.

7) Kontraksi yang Berulang

Kontraksi statik dan dinamik terlibat secara bergantian. Strength

(kekuatan) otot diperbaiki, khususnya pada area genggaman tahanan,

ROM, dan endurance (daya tahan).

3. Passive Exercise

Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat

dalammenjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan sendi. Jenis latihan ini

dapatdiberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya komplikasi

akibatkurang gerak, seperti adanya kontraktur, kekakuan sendi, dan lain-lain.

Pemberian passive excercise dapat diberikan dalam berbagai posisi

seperti tidur terlentang tisur miring, tidur tengkurap, duduk berdiri, atau posisi

denga alat latihan yang digunakan. Latihan dalam gerakan pasif tidak akan

29
berdampak terhadap proses pembelajaran motorik,akan tetapi sangat bermanfaat

sebagi tindakan akal sebelum aplikasi metode untuk latihan pembelajaran

mototrik.

Indikasi rasa tebal , kelemahan dan penurunan kekuatan otot, gangguan

fungsi motoris, keterbatasan gerak. Kontraindikasi tidak dianjurkan pasien

dengan tekanan darah tinggi, bila pasien merasakan fatique yang sangat berat

hentikan latihan.

4. Bridging Exercise

a. Pengertian

Bridging exercise adalah cara yang tepat untuk mengisolasi dan

memperkuat otot gluteus dan hamstring. Bridging exercise digunakan

digunakan untuk stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan otot

perut serta otot-otot punggung bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise

dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningktakan stabilitas

atau keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang.(Quinn,2012).

b. Manfaat

Meskipun bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk

dilakukan, sangat bermanfaat dalam memprertahankan kekuatan di punggng

bawah untuk dilakukan, sangat bermanfaat dalam mempertahankan

kekuatan kekuatan di punggung bawah dan berguna dalam program

pencegahan nyeri punggung bawah. Bridging exercise juga merupakan

latihan yang bagus dimana akan memperkuat otot-otot paraspinal, otot-otot

quadriceps di bagian atas paha, otot-otot hamstring di bagian belakang

paha, otot-otot perut dan glutealis.

30
5. Strengthening Exercise

a. Pengertian

Strengthening Exercise adalah latihan penguatan pada otot yang

menggunakan tahanan baik dari luar maupun dari beban tubuh sendiri.

Strengthening Exercise dilakukan secara teratur, terencana, berulang-ulang

dan semakin bertambah beban atau pengulangannya (Fiona et al, 2011).

Manual strengthening exercise adalah suatu bentuk latihan aktif baik

kontraksi otot secara dinamik maupun statik yang ditahan oleh gaya

eksternal. Gaya eksternal dapat diaplikasikan secara manual atau mekanikal.

(Joost Dekker 2014)

b. Tujuan dan indikasi

Adapun tujuan umum dari manual strengthening exercise adalah untuk

memperbaiki fungsi antara lain :

 Meningkatkan Kekuatan

 Meningkatkan Daya Tahan

 Meningkatkan Power

c. Kontraindikasi

 Inflamasi

 Nyeri

6. Core Strengthening Exercise

a. Pengertian

Core strengthening exercise adalah latihan yang dilakukan

denganmengaktivasi otot-otot abdomen dan paraspinal sebagai satu unit

gerak.mLatihan ini biasanya digunakan untuk memperkuat otot-otot di

31
sekitardaerah abdomen, lumbal, dan berkontraksi untuk mengontrol

posturlumbal. Otot yang berhubungan dengan stabilitas trunk seperti

ototmmultifidus, transversus abdominis, oblikus internal dan

external,mparaspinal, gluteus, dan diafragma bagian belakang yang

akanberkontraksi secara terkoordinasi (Chung, Kim, & Lee, 2013).

Penelitian oleh Yu et al. menunjukkan peningkatan amplitudo pada otot-

otot erektor spinae, multifidus, dan abdominal. Selanjutnya latihan ini juga

memberikan input pada sistem saraf pusat untuk meningkatkan aktivitas

otot-otot trunk tersebut. Latihan core-strengthening juga tidak hanya

meningkatkan kekuatan otot-otot trunk. Penurunan koordinasi pada otot-otot

trunk pasca stroke akan menurunkan efisiensi pergerakan yang dapat

menyebabkan cedera. Efek positif lain dari latihan corestrengtheningialah

motor relearning yang akan mengurangi ketidakseimbangan kerja otot

sehingga meningkatkan efisiensi gerakan. (Wowiling & Lolombulan, n.d,

2016).

7. Latihan Fungsional

Pada pasien hemiparase stroke non haemoragik stadium recovery terjadi

gerak anggota tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis sehingga dapat

membatasi dalam gerak untuk aktivitas fungsional dan membentuk pola

abnormal (Rahayu, 1992). Latihan fungsional dimaksudkan untuk melatih

pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri tanpa

menggantungkan penuh kepada orang lain. Latihan fungsional berupa latihan

yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Jika latihan fungsional

dilakukan berulang – ulang akan menjadikan pengalaman yang relatif permanen

32
atau menetap dan akhirnya akan menjadi sebuah pengalaman gerak yang

otomatis (Suyono, 1992).

BAB III

PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI

33
A. Identitas Pasien

Nama : Tn. Muhammad Safar

Umur : 75 Tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

B. History Taking

Keluhan Utama : Kelemahan otot lengan dan tungkai

Lokasi Keluhan: Tubuh sisi Kanan (Extremitas Superior dan Inferior Dextra)

Riwayat Perjalanan Penyakit : ±11 bulan yang lalu, pada bulan januari pada saat

pasien hendak berjalan kaki menuju mesjid untuk melaksanakan sholat subuh

pasien terjatuh di got tetapi masih bisa berjalan dan lama kelamaan mulai keras ,

lemah pada extremitas kanan setelah itu pasien berobat dan diajarkan terapi .

C. Inspeksi/Observasi

Statis : Pada saat berdiri pasien cenderung banyak kearah kanan

spastik

Dinamis : pasien jalan tidak terdapat fase heel strik .

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, suhu normal, tidak ada oedem

D. Pemeriksaan Gerak

34
Shoulder

Gerak Aktif Pasif TIMT


Fleksi ROM terbatas, Nyeri,tidak full Tidak mampu
Kelemahan Otot ROM, firm end melawan tahanan
feel
Ekstensi ROM terbatas, Full ROM, Firm Tidak mampu
Kelemahan Otot end feel melawan tahanan
Abduksi ROM terbatas Full ROM, firm Tidak mampu
Kelemahan Otot end feel melawan tahanan
Adduksi ROM terbatas Full ROM, soft Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan
Internal Rotasi ROM terbatas Full ROM, firm Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan
Eksteral Rotasi ROM terbatas Full ROM, Firm Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan

Elbow

Gerak Aktif Pasif TIMT


Fleksi Full ROM Full ROM, Soft Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Ekstensi Full ROM Full ROM, hard Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Pronasi Full ROM Full ROM, Firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Supinasi Full ROM Full ROM, Firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal

Hand

Gerak Aktif Pasif TIMT


Palmar Fleksi ROM terbatas, ROM terbatas, Tidak mampu
Kelemahan otot softend feel melawan tahanan
Dorso Fleksi ROM terbatas, ROM terbatas, Tidak mampu
Kelemahan otot firm end feel melawan tahanan

Hip

Gerak Aktif Pasif TIMT


Fleksi ROM terbatas Full ROM, soft Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal

35
Ekstensi ROM terbatas, Full ROM, firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Abduksi ROM terbatas, Full ROM, firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Adduksi ROM terbatas, Full ROM, firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Internal Rotasi ROM terbatas, Full ROM, firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Eksteral Rotasi ROM terbatas, Full ROM, soft Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal

Knee

Gerak Aktif Pasif TIMT


Fleksi Full ROM Full ROM, Soft Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal
Ektensi Full ROM Full ROM, Hard Mampu melawan
Kelemahana otot End Feel tahanan minimal

Foot

Gerak Aktif Pasif TIMT


Plantar Fleksi ROM terbatas Full ROM, Hard Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan
Dorso Fleksi ROM terbatas Full ROM, Firm Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan

E. PemeriksaanFisioterapi

1. Vital Sign

Tekanan darah : 167 / 56 mmHg

Denyut Nadi : 65X/mnt

Pernapasan : 20X/mnt

Suhu : 36ºC

2. Pemeriksaan Sensorik Sensorik

Tes Tajam Tumpul : Normal

Tes Panas Dingin : Normal

36
Tes 2 titik : Normal

Tes Arah Gerak : Normal

3. Pemeriksaan Reflex

Bicep Reflex : Normal

Tricep Reflex : Normal

Knee Patella Reflex : Normal

Achilles Reflex : Normal

4. Pemeriksaan Koordinasi

Finger to Nose : Agak suit dilakukan

Finger to Finger : Agak sulit dilakukan

Heel to Toe : Agak sulit dilakukan

Heel to Knee : Agak sulit dilakukan

F. Pengukuran Fisioterapi

a. Pengukuran Kekuatan Otot mengggunakan MMT

Nilai Keterangan
0 Tidak ada kontraksi otot sam sekali.
1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot

bersangkutan tanpa menimbulkan gerakan


2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat

melakukan ROM secara penuh.


3 Dapat melkukan ROM secara penuh dengan melawan

gaya berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan

tahanan
4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara

penuh dan dapat melawan tahanan ringan


5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat

dilakukan otot dengan tahanan maksimal dari proses

37
yang dilakukan berulang-ulang tanpa menimbulkan

kelelahan.

Berdasarkan hasi pengukuran yang dilakukan ditemukan hasil :

35

45

M. Deltoid
M. Bicep Brachii
M. Tricep Brachii
M. Brachialis
Lengan M. Brachiaoradialis 3
M. Pronator Teres
M. Fleksor Wrist
M. Ekstensor Wrist
M. Hamstring
M. Quadricep
Tungkai M. Gastroc 4
M. Fleksor Wrist
M. Ekstesnsor Wrist

Ip : Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, maka ditemukan hasil bahwa

extremitas superior bernilai 3 yang berarti Dapat melkukan ROM secara

penuh dengan melawan gaya berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan

tahanan dan inferior sisi kiri memiliki nilai 4 yang dimana berarti Dapat

melakukan Range Of Motion (ROM) secara penuh dan dapat melawan

tahanan ringan

Pengukuran Keseimbangan

Meggunakan Berg Balance Scale

No Item yang Dinilai Nilai Skor


1 4 = Mampu tanpa menggunakan
Duduk ke Berdiri tangan dan berdiri stabil
3= Mampu berdiri stabil tetapi
menggunakan support tangan
2= Mampu berdiri dengan

38
support tangan setelah beberapa
kali mencoba
2 1-= Membutuhkan bantuan
minimal untuk berdiri stabil
0= Membutuhkan bantuan
sedang sampai maksimal untuk
dapat berdiri
2 4 = Mampu berdiri dengan aman
selama 2 menit
Berdiri tak 3 = Mampu berdiri selama 2
bersangga menit dengan pengawasan
4 2 = Mampu berdiri selama 30
detik tanpa penyangga
1 = Butuh beberapa kali
mencoba untuk berdiri 30 detik
tanpa penyangga
0 = Tidak mampu berdiri 30
detik tanpa bantuan
3
4 = Mampu duduk dengan aman
Duduk tak selama 2 menit
tersangga tetapi 3 = Mampu duduk selama 2
kaki tersangga menit dibawah pengawasan
pada lantai atau 3 2 = Mampu duduk selama 30
stool detik
1 = Mampu duduk selama 10
detik
0 = Tidak mampu duduk tak

tersangga selama 10 detik


4
4 = Duduk aman dengan bantuan
Berdiri ke duduk tangan minimal
3 = Mengontrol gerakan duduk
dengan tangan
2 2 = Mengontrol gerakan duduk
dengan paha belakang menopang
dikursi
1 = Duduk mandiri tetapi dengan
gerakan duduk tak terkontrol
0 = membutuhkan bantuan untuk
duduk
5
4 = Mampu berpindah dengan
Transfer aman dan menggunakan tangan
minimal.
3 = Mampu berpindah dengan
2 aman dan menggunakan tangan
2 = Dapat berpindah dengan aba-
aba atau dibawah pengawasan

39
1= Membutuhkan satu orang
untuk membantu
0 = Membutuhkan lebih dari satu

orang untuk membantu


6
4 = Mampu berdiri dengan aman
Berdiri tak selama 10 detik
tersangga dengan 3 = Mampu berdiri 10 detik
mata tertutup 3 dengan pengawasan
2 = Mampu berdiri selama 3
detik
1 = Tidak mampu menutup mata
selama 3 detik
0 = Butuh bantuan untuk
menjaga agar tidak jatuh
7
4 = Mampu menempatkan kaki
Berdiri tidak secara mandiri dan berdiri
tersangga dengan selama 1 menit
kaki rapat 3 = Mampu menempatkan kaki
secara mandiri dan berdiri
selama 1 menit dibawah
3 pengawasan
2 = Mampu menempatkan kaki
secara mandiri dan berdiri
selama 30 detik
1 = Membutuhkan bantuan
memposisikan kedua kaki,
mampu berdiri 15 detik
0 = Membutuhkan bantuan
memposisikan kedua kaki, tdk
mampu berdiri 15 Detik
8
4 = Dapat meraih secara
Meraih kedepan meyakinkan >25 cm (10 inches)
dengan lengan 3 = Dapat meraih >12.5 cm (5
lurus secara 0 inches) dengan aman.
penuh 2 = Dapat meraih >5 cm (2
inches) dengan aman.
1 = Dapat meraih tetapi dengan
pengawasan
0 = Kehilangan keseimbangan

ketika mencoba
9
4 = Mampu mengambil dengan
Mengambil objek aman dan mudah
dari lantai dari 3 = Mampu mengambil, tetapi
posisi berdiri butuh pengawasan

40
2 = Tidak mampu mengambil
tetapi mendekati sepatu 2-5cm
0 (1-2 inches) dengan seimbang
dan mandiri.
1 = Tidak mampu mengambil,
mencoba beberapa kali dengan
pengawasan
0 = Tidak mampu mengambil,
dan butuh bantuan agar tidak
jatuh

10
4 = Melihat kebelakang kiri dan
Berbalik untuk kanan dengan pergeseran yang
melihat ke baik
belakang 3 = Melihat kebelakan pada
1 salah satu sisi dengan baik, dan
sisi lainnya kurang
2 = Hanya mampu melihat
kesamping dengan seimbang
1 = Membutuhkan pengawasan
untuk berbalik
0 = Membutuhkan bantuan untuk
tetap seimbang dan tidak jatuh
11
4 = Mampu berputar 360 derajat
Berbalik 360 selama
derajat 3 = Mampu berputar 360 derajat
0 dengan aman pada satu sisi
selama 4 detik atau kurang
2 = Mampu berputar 360 derajat
dengan aman tetapi perlahan
1 =Membutuhkan pengawasan
dan panduan
0 = Membutuhkan bantuan untuk

berbalik
12
4 = Mampu berdiri mandiri dan
Menempatkan aman, 8 langkah selama 20 detik
kaki bergantian 3 = Mampu berdiri mandiri dan
ke stool dalam 3 aman, 8 langkah selama >20
posisi berdiri detik
tanpa penyangga 2 = Mampu malakukan 4
langkah tanpa alat bantu dengan
pengawasan
1 = Mampu melakukan >2
langkah, membutuhkan bantuan
minimal
0 = Membutuhkan bantuan untuk

41
tidak jatuh
13
4 = Mampu menempatkan dgn
Berdiri dengan mudah, mandiri dan bertahan 30
satu kaki di detik
depan kaki 3 = Mampu menempatkan secara
lainnya 0 mandiri selama 30 detik
2 = mampu menempatkan dgn
jarak langkah kecil, mandiri
selama 30 detik
1 = Membutuhkan bantuan untuk
menempatkan tetapi bertahan 15
detik
0 = Kehilangan keseimbangan
ketikan penempatan dan berdiri
14
4 = Mampu berdiri dan bertahan
Berdiri dengan >10 detik
satu kaki 3 = Mampu berdiri dan bertahan
0 5-10 detik
2 = Mampu berdiri dan bertahan
= atau >3 detik
1 = Mencoba untuk berdiri dan
tidak mampu 3 detik, tetapi
mandiri
0 = Tidak mampu, dan
membutuhkan bantuan agar tidak
jatuh

Interpretasi :

41 – 56 : resiko rendah

21 – 40 : resiko menengah

0 – 20 : resiko tinggi

Ip : Pada pengukuran Berg Balance Scale didapatkan hasil 23, yang berarti

resiko menengah

b. Pengukuran Fungsional

Menggunakan Indeks Barthel

42
Instruksi : Silahkan pilih setiap kategori sesuai dengan skala kesulitan yang

dirasakan dalam akivitas :

No Item yang dinilai Skor Nilai


1. Makan 0 = tidak mampu mandiri 1
1 = perlu bantuan memotong
mengoles mentega, dan sebagainya,
atau perlu mengubah diet
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = tidak mampu mandiri 0
1 = mandiri
3. Merawat diri 0 = perlu bantuan untuk perawatan 1
diri
1 = mandiri untuk
wajah/rambut/gigi
4. Berpakaian 0 = tidak mampu mandiri 1
1 = perlu bantuan untuk bisa
melakukan sendiri atau stengah
dibantu.
2 = mandiri (termasuk
kencing,resleting,dsb)

5. Buang Ai Besar 0 = tidak mandiri 0


(BAB) 1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
6. Buang Air Kecil 0 = tidak mandiri 1
(BAK) 1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
7. Menggunakan toilet 0 = tidak mandiri 0
1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
8. Bergerak 0 = tidak mampu, tidak seimbang 2
1 = butuh bantuan satu atau dua
orang
2 = bantuan minimal
3 = mandiri

9. Mobilitas 0 = tidak bisa berjalan 3


1 = bergantung pada kursi roda
2 = berjalan dengan bantuan satu
orang
3 = mandiri

43
10. Naik Tangga 0 = tidak mampu mandiri 0
1 = butuh bantuan
2 = mandiri
Total 0-20
Interpretasi:

20 : mandiri

12-19 : ketergantungan ringan

8-11 :ketergantungan sedang

5-8 : ketergantugan berat

0-5 : ketergantungan total

Ip : Pada pengukuran Index barthel didapatkan hasil 9, yang berarti

ketergantungan sedang.

G. Diagnoas Fisioterapi

Adapun diagnosa fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses

pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu: “Gangguan Aktivitas Fungsional

pada Ekstremitas Superior dan Inferior Dextra karena Kelemahan Otot e.c

Hemiparese post NHS”.

H. Problematik Fisioterapi

N PEMERIKSAAN/PENGUKURAN
KOMPONEN ICF
O YANG MEMBUKTIKAN
1. IMPAIRMENT
a. Kelemahan otot tubuh sebelah k
Manual muscle testing
Kanan
b. Gangguan koordinasi Tes koordinasi
c. Gangguan keseimbangan Berg Balance Skale

44
2. ACTIVITY LIMITATION
a. Kesulitan melakukan transfer
Index barthel
position

b. Gangguan activity daily living Index barthel


3. PERTICIPATION RESTRICTION
a. Pasien mengalami kesulitan

dalam melakukan kegiatan Index barthel


sehari-hari dan berolahraga
b. Hambatan dalam beribadah
Index Barthel

BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Intervensi Fisioterapi

a. Tujuan Jangka Pendek

1) Meningkatkan kekuatan otot

2) Menambah ROM seiring menambah kekuatan otot

3) Meningkatiakn Koordinasi

4) Meningkatkan Keseimbangan

b. Tujuan Jangka Panjang

1) Memperbaiki kemampuan ADL sehingga dapat kembali beraktivitas

seperti biasanya

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

45
N PROBLEMATIK TUJUAN INTERVENSI JENIS INTERVENSI

O FISIOTERAPI
1. IMPAIRMENT

a. Kelemahan otot tubuh Untuk meningkatkan Strengthening

sebelah kanan tonus otot Streching

Untuk meningkatkan

kekuatan otot

b. Gangguan koordinasi Untuk meningkatkan Strenghtening

koordinasi Pasif exercise

PNF
c. Gangguan Meningkakan Bridging Exercise

Keseimbangan keseimbangan

2. ACTIVITY LIMITATION

Untuk menguatkan otot- Bridging exercise

a. Kesulitan melakukan otot panggul Latihan fungsional

transfer position

b. Gangguan activity Untuk meningkatkan dan -Latihan keseimbangan

daily living mengembalikan aktifitas dan koordinasi

fungsional -Latihan weigh bearing

-Latihan fungsional

3. PARTICIPATION RESTRICTION

46
a. Pasien mengalami Untuk meningkatkan dan -walking exercise

kesulitan dalam mengembalikan aktifitas -Passive exercise

melakukan kegiatan fungsional -Latihan fungsional

sehari-hari dan - Core strengthening

beribadah exercise

C. Prosedur Pelaksanaan Fisioterapi


1. PNF

 PNF Lengan

a. Posisi pasien : pasien dalam posisi tidur terlentang

b. Posisi tangan fisioterapi :

- Tangan kiri fisioterapi memegang bagian posterior palmar pasien

pada posisi lumrical gride (distal)

- Tangan kanan fisioterapi pada daerah elbow atau proksimal untuk

memfiksasi agar tidak terjadi fleksi elbow dan untuk membantu

gerakan serta memberikan tahanan.

c. Prosedur Pelaksanaan

- Fisioterapis menjelaskan pola gerakan terlebih dahulu kepada

pasien .

- Pasien diminta untuk melakukan gerakan ekstensi jari-jari tangan,

ekstensi writs,radial deviasi,ekstensi elbow, kemudian pasien

diminta menggerakkan lengan membentuk pola diagonal sambil

menggerakkan supinasi elbow dan fleksi shoulder, ekternal rotasi

hingga membentuk abduksi shoulder.

47
- Pasien melakukan pola gerakan di atas dengan diberikan tahanan

oleh fisioterapis sambil fisioterapis menginstruksikan”dorong

kuat” pada pasien dan tubuih fisioterapis berputas mengikuti pola

gerakan pasien.

 PNF Tungkai

a. Posisi Pasien : Posisi pasien : tidur terlentang

b. Posisi fisiterapis:

- Berdiri disamping pasien dalam arah diagonal. Berat badan terapis

diatas kaki kiri dapat digunakan untuk melakukan traksi

- Pegangan tangan kiri terapis memeagang tumit kiri pasien dan tanga

kanan terapis memegang dorsum kaki kiri pasien dengan posisi

lumbrical grid

48
c. Teknik Pelaksanaan:

- Fisioterapis memgang tumit kiri pasien dengan tangan kanan, dan

tnagan kiri terapis memgang dorsum kaki kiri pasien dengan posisi

lumbrical gride

- Gerakan pasien adalah lateral rotasi hip,inversi+dorsi fleksi

ankle/kaki dan ekstensi jari-jari kaki di ikuti oleh fleksi dan adduksi

hip.rotasi harus terjadi sepanjang gerakan, panjang otot hamstring

akan mempengaruhi luasnya lingkup gerak sendi

d. Posisi Fisioterapi :

- Berdiri disamping pasien dengan pegangan tangan sama seperti

pola dasar

- Tangan kanan fisioterapis memegang patella pasien

- Tangan kiri memegang bagian dorsum kaki pasien

e. Prosedur penatalaksanaan :

- gerakan yang terjadi adalah fleksi,adduksi,lateral rotasi dengan

ditambah fleksi knee.fleksi knee harus dilakukan secara aktif oleh

pasien dan ditahan oleh tangan kanan terapis.

- Terapis harus memastikan bahwa knee dan ankle bergerak secara

diagonal bersamaan untuk mempertahankan vertical satu sama lain

49
2. Passive Exercise

a. Tujuan : untuk mempertahankan ROM

b. Posisi pasien : pasien supine lying di bed

c. Posisi Fisoterapi : disamping bed

d. Teknik Pelaksanaan : Pasien dalam keadaan relax, lalu Fisioterapis

menggerakan sendi setiapmanggota gerak atas dan bawah

e. Dosis :

F : 2 kali/minggu

I : 8 kali repetisi

T : Passive

T : 1 menit

3. Bridging Exercise

a. Tujuan : untuk meningkatkan kekuatan otot-otot panggul dan melatih

keseimbangan

b. Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks dengan

kedua lutut ditekuk

c. Posisi fisioterapis : berada di samping bed

d. Teknik pelaksanaan : kedua tangan fisioterapis berada di lutut pasien untuk

memfiksasi. Kemudian minta pasien untuk mengangkat bokongnya dan

mempertahankan beberapa menit sesuai toleransi pasien

50
e. Dosis :

F : 2 kali/minggy

I : 8 hitungan, 5 kali reppetisi

T : Bridging

T : 1 menit

4. Strengthening Exercise

a. Tujuan : meingkatkan kekuatan Otot

b. Posisi Pasien : Pasien supine lying di bed

c. Posisi Fisioterapi : berada di samping bed

d. Penatalalaksanaan : pasien menggerakan sendi setiapanggota gerak atas

dan bawah secara aktif kemudian terapis memberikantahanan kea rah

sebaliknya saat pasien menggerakan.

e. Dosis

F : 2 kali/minggu

I : 5-10 kali repetisi

T : Strengthening

T : 1 menit

51
5. Core strengthening Exercise

a. Tujuan : meningkatkan kekuatan otot-otot trunk dan koordimasi

b. Posisi Pasien : Pasien tidur terlentang di bed.

c. Posisi Fisioterapis : Terapis berada di samping bed pasien

d. Teknik Pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk menekuk kedua lutut dan

keduatangan disatukan. Kemudian instruksikan pasien

untukmenggerakkan tangan ke depan sampai menyentuhtangan

fisioterapis.

e. Dosis :

F : 2 kali/minggu

I : 8 kali repetisi

T : core strengthening exercise

T : 30 detik

6. Latihan Fungsional

 Baring ke duduk

a. Tujuan : Untuk meningktakan kemampuan fungsional

b. Posisi pasien : supine lying

c. Posisi fisioterapis : berdiri di samping pasien

d. Teknik pelaksanaan : Fisioterapis mengarahkan pasien untuk tidur

menyamping kea rah yang sehat.kemudian menekuk kedua lutut lalu

mendorong ke bawah lalu tangan tangan yang sehat dijadikan

tumpuan diatas bed untuk mengangkat tubuh keatas.

 Duduk ke baring

a. Tujuan : Untuk meningktkan keseimbangan dan kemapuan fungsional

52
b. Posisi pasien : Duduk

c. Posisi fisioterapis : Berdiri disamping pasien

d. Teknik pelaksanaan : Fisioterapis memfasilitasi tangan pasien lalu

mengarahkan kepada pasien membuka kaki selebar bahu. Lalu tangan

pasien menumpu pada kaki untuk membantu mendorong tubuh keatas,

setelah itu dorong lutut pasien ke belakang untuk menjaga

keseimbangan

7. Walking Exercise

a. Tujuan : untuk meningktakan fungsional

b. Posisi pasien : Berdiri tegap

c. Posisi fisioterapis : Berdiri disamping pasien

d. Teknik pelaksanaan : fisioterapi mengarahkan untuk menstabilkan

lutut, fisiotrapi memperhatikan posis pasien tetap tegap kemudian

arahkan pasien untuk melakukan pola berjalan.

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

a. Dianjurkan untuk melakukan latihan yang telah dianjurkan fisioterapis.

b. Pasien harus bisa menyemangati diri sendiri untuk selalu bersemangat

untuk melakukan terapi dan selalu berpikir positif dimana ini dapat

memberikan pengaruh penting dalam proses penyembuhan

2. Home Program

a. Tetap melakukan Bridging Exercise, dengan kedua tungkai ditekuk lalu

kedua bokong diangkat.

53
b. Melakukan lifting, kedua tangan tangan disatukan lalu mengangkat tangan

sampai keatas kepala.

E. Evaluasi Fisioterapi

Evaluasi Awal Evaluasi Akhir


Jenis
Problematik Terapi Terapi
Intervensi
14 Des 2020 17 Des 2020

MMT MMT
Kelemahan Strengthening
Lengan : 3 Lengan : 3
Otot PNF
Tungkai : 4 Tungkai : 4
Passive
Exercise

Pemeriksaan Pemeriksaan
Gangguan Latihan
Koordinasi Koordinasi
Koordinasi Koordinasi
Agak sulit dilakukan Agak sulit dilakukan

Bridging
Berg Balance Scale Berg Balance Scale
Gangguan Exercise Nilai 23, yang berarti Nilai 23 , yang berarti
Keseimbangan
resiko menengah resiko menengah

Keterbatasan Walking Index Barthel Index barthel


activity daily Exercise Nilai 9, yang berarti Nilai 9, yang berarti
liviny, Core ketergantungan ketergantungan
Strengthening sedang sedang
Latihan

54
Fungsional

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assesment

1. History Taking

History taking merupakan cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, yang disusun secara kronologis yang

memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dari pemeriksa. Untuk

mendapatkan history taking yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar

dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Cara pengambilan history taking

dapat mengikuti dua pola umum, yaitu :

1) Pasien dibiarkan dengan bebas mengemukakan semua keluhan serta

kelainan yang dideritanya.

2) Pemeriksa membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau

kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertentu.

2. Inspeksi/observasi

Inspeksi/observasi merupakan salah satu bentuk pemeriksaan sebelum

menegakkan diagnosa sebuah penyakit. Bentuk dari inspeksi yaitu inspeksi

statis dimana pemeriksa mengamati keadaan pasien dalam keadan statis atau

55
diam dan inspeksi dinamis yaitu pemeriksan mengamati keadaan pasien dalam

keadaan dinamis atau bergerak. Pengamatan dilakuakn secara detai dari ujung

kepala hingga ujung kaki (head to toe)

3. Pemeriksaan Vital Sign

Vital sign atau tanda-tanda vital adalah ukuran statistik berbagai fisiologis yang

digunakan untuk membantu menentukan status kesehatan seseorang, terutama

pada pasien yang secara medis tidak stabil atau memiliki faktor-faktor resiko

komplikasi kardiopulmonal dan untuk menilai respon terhadap intervensi.

Tanda vital juga berguna untuk menentukan dosis yang adekuat bagi tindakan

fisioterapi, khususnya exercise. Vital sign terdiri atas tekanan darah, denyut

nadi,frekuensi napas, dan suhu tubuh

4. Pemeriksaan Sensorik

Sensory integration merupakan proses mengenal, mengubah, dan

membedakan sensasi dari sistem sensory untuk menghasilkan suatu respons

berupa “perilaku adaptif bertujuan”. Pada tahun 1972, A. Jean Ayres

memperkenalkan suatu model perkembangan manusia yang dikenal dengan teori

SI. Menurut teori Ayres, SI terjadi akibat pengaruh input sensory, antara lain

sensasi melihat, mendengar, taktil, vestibular dan proprioseptif. Proses ini

berawal dari dalam kandungan dan memungkinkan perkembangan respons

adaptif, yang merupakan dasar berkembangnya keterampilan yang lebih

kompleks, seperti bahasa, pengendalian emosi, dan berhitung.

Tujuan untuk mencari deficit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas

yang abnormal,bisa hiperestesi, hipalgesia, atau hyperalgesia) dan mencari

gejala-gejala lain ditempat gangguan sensibilitas tersebut, misalnya atrofi,

56
kelemahan otot, reflex menurun atau negative, menurut distribusi dermatom.

( Evy Sulistyoningrum ,2005)

Dari pemeriksaan Sensorik pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa NHS” yang meliputi tes

tajam-tumpul, panas-dingin, posisi, dan arah gerak maka didapatkan semua

hasilnya normal.

5. Pemeriksaan Koordinasi

Koordinasi adalah kemampuan untuk mempersatukan atau memisahkan

dalam suatu tugas kerja yang kompleks, dengan ketentuan bahwa gerakan

koordinasi meliputi kesempurnaan waktu antara otot dan sistem saraf

(Knudson,2007). Pemeriksaan koordinasi dilakukan untuk mengetahui tingkat

koordinasi pasien saat dilakukan tes koordinasi selain factor kemampuan

melainkan gerakan, factor kecepatan juga harus dipertimbangkan. (Sullivan dan

Schmitez, dikutip oleh Pudjiastuti dan Utomo, 2003)

Dari pemeriksaan koordinasi pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa NHS” pada T0 pasien

tidak bisa melakukan berbabagi tes koordinasi setelah melakukan terapi 5 kli

pasien belum mampu melakukan berbagai gerakan koordinasi.

6. Pemeriksaan Reflex

Uji refleks menjadi salah satu tes yang penting dan harus dilakukan pada

pemeriksaan neurologis, terutama apabila seseorang diduga memiliki kelainan

neurologis. Uji refleks digunakan untuk mengukur keberadaan dan tingkat

kekuatan beberapa refleks pada tubuh, sehingga dapat diperkirakan tingkat

integritas dari sirkuit saraf yang terlibat. Uji yang sederhana biasanya dilakukan

57
hanya untuk mengecek integritas spinal cord, sedangkan uji yang lebih kompleks

dan lebih lengkap dapat dilakukan untuk mendiagnosis keberadaan serta lokasi

dari kerusakan spinal cord ataupun penyakit neuromuscular (Robinson, 2002).

Tes reflek merupakan informasi penting yang sangat menentukan maka

penilaiannya harus tepat dan secara banding antara kanan dan kiri. Disamping itu

posisi anggota gerak harus sepadan pada waktu perangsangan dilakukan.

Reflek Fisiologis atau Reflek Tendon meliputi : Biceps, Triceps, Patella,

Achiles, Adapun cara pemeriksaanya antara lain : teknik pengetukan pada reflek

tendon boleh dipegang secara keras. Gagang pada reflek dipegang dengan ibu jari

telunjuk sedemikian rupa sehingga palu dapat diayunkan bebas. Pengetukan tidak

boleh seolah-olah memotong atau menebas kayu, melainkan menjatuhkan secara

terarah, kepala palu reflek ke tendon/periosteum. Dalam hal itu, gerakan

pengetukan berpangkal pada sendi pergelangan tangan dan bukanya lengan yang

mengangkat palu reflek. Kemudian tangan menjatuhkan kepala palu reflek secara

lurus ke tendon/periosteum (Sidharta,1999).

Dari pemeriksaan Reflek Fisiologi atau Reflek Tendon pada pasien dengan

diagnosis “Gangguan Motor Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et

causa NHS” didapati hasil normal pada Biceps, Triceps, patella dan Achilles.

7. Pemeriksaan kekuatan otot

Pengukuran kekuatan otot adalah suatu pengukuran untuk mengevaluasi

kontraktilitas termasuk didalamnya otot dan tendon dan kemampuannya dalam

menghasilkan suatu usaha. Pemeriksaan otot diberikan kepada individu yang

dicurigai atau aktual mengalami gangguan pada otot baik kekuatan maupun daya

58
tahannya. Identifikasi dini dari gangguan otot ini dapat dijadikan dasar intervensi

yang tepat untuk latihan penguatan otot (Torpey, 2010).

Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai

untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa

status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang

diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi penurunan

pada penderita. (Suratun, dkk, 2008).

Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian

otot secara manual yang disebut dengan MMT (manual muscle testing).

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan otot mengkontraksikan

kelompok otot secara volunter. (Pudjiastuti dan Utomo, 2003). Manual Muscle

Testing (MMT) merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang

paling sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intepretasi hasil

serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, manual

muscle testing tidak mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan

group / kelompok otot. (Bambang, 2012).

Dari pengukuran kekuatan otot dengan Manual Muscle Testing (MMT)

yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor Function with

koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa NHS” pada saat T0 didapatkan skor

MMT ekstremitas superior sinistra bernilai 2 dan ekstremitas inferior sinistra

bernilai 0. Dan setelah dilakukan terapi selama 5 kali terapi pasien mengalami

peningkatan kekuatan otot, dengan hasil akhir T5 skor MMT ekstremitas superior

sinistra menjadi 2 dan ekstremitas inferior dekstra menjadi 3.

8. Indeks Barthel

59
Pengukuran kemampuan fungsional dengan Indeks Barthel menggunakan

10 aktivitas sehari-hari dengan poin nilai masing-masing. Indeks Barthel

digunakan untuk mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan

mobilitas serta dapat digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan

fungsional bagi pasien pasca stroke. Indeks Barthel sudah dikenal luas memiliki

kehandalan dan kesahihan yang tinggi, karena dengan pengamatan yang berulang

dari orang yang berbeda akan menghasilkan kesesuaian yang sangat memadai

(Sugiarto, 2005).

Intepretasi hasil penilaiannya adalah sebagai berikut: 0-4 ketergantungan

total, 5-8 ketergantungan berat, 9-11 ketergantungan sedang, 12-19

ketergantungan ringan, 20 ketergantungan mandiri. Dari pengukuran Indeks

Barthel yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa Non Hemoragic Stroke”

pada saat T0 didapatkan skor 9 dan setelah dilakukan 5 kali terapi pasien

mengalami peningkatan dalam aktivitas fungsionalnya. Dengan hasil akhir T5

skor pasien menjadi 12 yang berarti kemampuan pasien dari terapi ke terapi

semakin membaik,

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

1. PNF

PNF adalah terapi latihan yang menggabungkan fungsional pola diagonal

berdasarkan gerakan dengan teknik fasilitasi neuromuskuler untuk

membangkitkan respon motorik dan meningkatkan kontrol neuromuskular dan

fungsi. Metode ini berusaha memberikan rangsangan-rangsangan yang sesuai

60
dengan reaksi yang dikehendaki, yang pada akhirnya akan dicapai kemampuan

atau gerakan yang terkoordinasi. (Kisner, 2007)

Tehnik-tehnik PNF adalah alat fasilitasi yang bertujuan untuk mengajarkan

pola gerak, menambah kekuatan otot, relaksasi, memperbaiki koordinasi,

memperbaiki gerak, mengajarkan kembali gerakan, menambah stabilisasi.

(Alim, 2012)

2. Passive Exercise

Dalam Jurnal Penelitian “Peningkatan Kekuatan Otot Pasien Stroke Non

Hemoragik dengan Hemiparese Melalui Latihan Range Of Motion (ROM)

Pasif” didapatkan ada pengaruh latihan range of motion (ROM) terhadap

kekuatan otot ekstermitas atas pasien stroke non hemoragik

3. Bridging Exercise

Bridging exercise biasa disebut pelvic bridging exercise yang mana latihan

ini baik untuk latihan penguatan stabilisasi pada glutei, hip dan punggung bawah

(Miller, 2012). Bridging exercise adalah cara yang baik untuk mengisolasi dan

memperkuat otot gluteus dan hamstring (belakang kaki bagian atas ). Jika

melakukan latihan ini dengan benar, bridging exercise digunakan untuk stabilitas

dan latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot-otot punggung

bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise dianggap sebagai latihan rehabilitasi

dasar untuk meningkatkan stabilitas atau keseimbangan dan stabilisasi tulang

belakang (Quinn, 2012).

Meskipun bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk

dilakukan, sangat bermanfaat dalam mempertahankan kekuatan di punggung

bawah dan berguna dalam program pencegahan sakit punggung bawah. Bridging

61
exercise juga merupakan latihan yang bagus yang memperkuat otot-otot

paraspinal, otot-otot kuadrisep di bagian atas paha, otot-otot hamstring di bagian

belakang paha, otot perut dan otot- otot glutealis (Cooper, 2009).

4. Core Strengthening Exercise

Pada Penatalaksanaa Fisioterapi Pada Kasus CVD-SI Dextra Dengan

Teknik Kombinasi MRP DAN Core Sterngthening exercise Terhadap

peningkatan Keseimbangan Statis dan Dinamis, ada pemgaruh ooeningkatan

otot dan keseimbangan pada trunk

5. Latihan Fungsional

Pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery terjadi gerak anggota

tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis sehingga dapat membatasi dalam

gerak untuk aktivitas fungsional dan membentuk pola abnormal (Rahayu, 1992).

Latihan fungsional dimaksudkan untuk melatih pasien agar dapat kembali

melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri tanpa menggantungkan penuh

kepada orang lain. Latihan fungsional berupa latihan yang berhubungan dengan

kehidupan sehari-hari. Jika latihan fungsional dilakukan berulang – ulang akan

menjadikan pengalaman yang relatif permanen atau menetap dan akhirnya akan

menjadi sebuah pengalaman gerak yang otomatis (Suyono, 1992).

Latihan fungsional seperti latihan duduk ke berdiri dan latihan jalan. Latihan

duduk ke berdiri merupakan latihan untuk memperkuat otot-otot tungkai dan

mempersiapkan latihan berdiri (Davies, 1985). Latihan jalan merupakan

komponen yang sangat penting agar pasien dapat melakukan aktivitas berjalan

dengan pola yang benar (Davies, 1985)

62
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Stroke non Hemoragic adalah gangguan peredaran darah pada otak yang

disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah arteri ,sehingga menimbulkan infark

/ ischemic. Hal ini biasa terjadi pada saat penderita istirahat ,tidak terjadi suatu

pendarahan dan kesadaran penderita baik.

Hemiparese merupakan salah satu tanda adanya gangguan pada Upper Motor

Neuron yang penyebab salah satunya adalah bekuan darah yang menyumbat lumen

pembuluh darah sehingga menyebabkan gangguan struktur anatomi dan fungsi

otak. Otak mengalami kerusakan pada sel-sel atau jaringan otak yang akhirnya

tidak mampu memberikan suplai darah pada daerah yang diinervasinya.

Hemiparese adalah kelemahan atau kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum

meruntuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan kelumpuhan

pada belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang.

Fisioterapi berperan dalam proses penyembuhan pasca stroke dengan beberapa

modalitas yang bisa digunakan pada pasien hemiparese yaitu terapi latihan, konsep

63
PNF, bridging exercise, dan latihan fungsional dengan tujuan meningkatkan

keseimbangan, dan meningkatkan kekuatan otot sehingga dapat mengembalikan

aktifitas fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

Alfajri Amin, Akhmad.dkk. Pengaruh Infra Red dan Terapi Latihan terhadap Stroke

Hemiparese Dextra e.c Non Hemorage

Arjun gholpa ashaldi (2014) Penatalaksanaan Stimulasi Eelekstris Dan Terapi latihan

Pada Hemipares Sinistra Post StrokeNon Hemoragik

Awal, Muh. Dkk. Pengaruh Latihan Bridging dan Strengthening Terhadap

Keseimbngan duduk Pasien Pasca Stroke Non Hemoragikdi Klinik Fisioterapi

Politeknik Kesehatan Makassar

Rahmadani, Elsi. Handi Rustandi. Peningkatan Kekuatan Otot Pasien Stroke Non

Hemoragik dengan Hemiparese Melalui Latihan Range Of Motion (ROM)

Pasif.Volume 1, Nomor 2, Desember 2019

Ika Yussi Nirmawati. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Pasien Paska Stroke

Hemorage Dekstra Stadium Recovery

Iradian Nastiti.2016. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Post Stroke di RST. DR.

Soedjono Magelang

64
Ling Oktraningsih.2017. Gambaran Kekuatan Otot Pasien Stroke yang Immobilisasi di

RSUP H. Adam Malik Medan

Nurul Hilda, Annisa. dkk. 2016. Penatalaksanaa Fisioterapi Pada KasusCVD-SI

DextraDengan Teknik KombinasiMRP DAN Core Sterngthening

exerciseTerhadap peningkatan Keseimbangan Statis dan Dinamis di RS Pusat

Otak Nasional Jakarta Timur

Purnomo, Didik. Dkk.PengaruhInfra Reddan Propioceptive Neuromuscular

Facilitationpada Hemiparese Stroke Non Hemoragik. Vol. 2, No. 1, Tahun 2018

DOKUMENTASI

65

Anda mungkin juga menyukai