Oleh:
Pembimbing:
dr. Yopie Afriandi Habibie, Sp. BTKV
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, laporan kasus ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan
salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ”Fraktur Costae Multipel dengan
Hematothorax” ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Yopie Afriandi
Habibie, Sp. BTKV yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis
dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil
sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... ..... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi ......................................................................................... ....14
2.2 Trauma Thorax
2.2.1 Definisi ................................................................................. ....14
2.2.2 Jenis Trauma Thorax ............................................................ ....14
2.2.3 Tatalaksana Trauma Thorax ................................................. ....15
2.3 Fraktur Costae ................................................................................ ....26
2.3.1 Definisi ................................................................................. ....26
2.3.2 Etiologi ................................................................................. ....26
2.3.3 Patofisiologi .......................................................................... ....27
2.3.4 Klasifikasi ............................................................................. ....28
2.3.5 Diagnosis .............................................................................. ....29
2.3.6 Komplikasi ........................................................................... ....29
2.3.7 Penatalaksanaan .................................................................... ....31
2.4 Hematothorax ................................................................................ ....26
2.4.1 Definisi ................................................................................. ....26
2.4.2 Etiologi ................................................................................. ....26
2.4.3 Patofisiologi .......................................................................... ....27
2.4.4 Klasifikasi ............................................................................. ....28
2.4.5 Manifestasi Klinis ................................................................. ....29
2.4.6 Diagnosis .............................................................................. ....29
2.4.7 Penatalaksanaan .................................................................... …29
2.4.8 Komplikasi ........................................................................... …30
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien ............................................................................ .... 4
3.2 Anamnesis ................................................................................... .... 4
3.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................ .... 7
3.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... .... 8
3.5 Diagnosis Awal ........................................................................... .... 9
3.6 Decision Making .......................................................................... ....10
3.7 Penatalaksanaan ........................................................................... ....10
3.8 Diagnosis Kerja ........................................................................... ....10
3.9 Resume ........................................................................................ ....11
3.10 Prognosis ..................................................................................... ....11
3.11 Follow Up .................................................................................... …12
3
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. …14
BAB V KESIMPULAN ............................................................................... …15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... ....33
4
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma thorax terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan dan
merupakan penyebab kematian terbesar, yaitu sekitar 25%. Umumnya pada
trauma thorax, trauma tumpul lebih sering terjadi dibandingkan trauma tajam.
Meskipun demikian hanya 15% dari seluruh trauma thorax yang memerlukan
tindakan bedah karena sebagian besar kasus, yaitu 80 – 85% dapat ditatalaksana
dengan tindakan yang sederhana, seperti pemasangan chest tube. Costae
merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki fungsi
untuk memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan yang lebih
penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur costae paling
banyak disebabkan olehtrauma tumpul dada dan perlu ketelitian dalam melakukan
pemeriksaan agar dapat membedakan antara kontusio dinding dada atau fraktur
costae. Fraktur ini sebagian terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas diikuti
jatuh dari ketinggian. Fraktur costae akan menimbulkan rasa nyeri yang
mengganggu proses respirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain
yang menyertai memerlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur
ini. (1)
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma dari arah depan, samping ataupun
dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan
trauma costae, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costae pada dinding
dada, maka tidak semua trauma dada akan menyebabkan fraktur costae. Sebanyak
25% dari kasus fraktur costae tidak terdiagnosis dan baru terdiagnosis setelah
timbul komplikasi, seperti hematothorax dan pneumotorax. Hal ini dapat terjadi
pada olahragawan yang memiliki otot dada yang kuat dan dapat mempertahankan
posisi fragmen tulangnya. (1)
Fraktur costae baik simpel maupun multipel juga terjadi pada orang tua
dengan insidensi sekitar 12%. Insidensi sesungguhnya dari fraktur costae masih
belum diketahui dan diperkirakan 50% fraktur costae tidak terdeteksi dengan foto
(1)
thorax. Morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh fraktur costae dan
sternum berkaitan erat dengan penyebab cedera, karena itu identifikasi bahaya
yang akan mengancam jiwa merupakan hal penting. Meskipun fraktur costae
5
cenderung tidak komplit dan tidak membutuhkan penanganan bedah, hal tersebut
dapat menyebabkan kerusakan paru yang bermakna karena akan mempengaruhi
ventilasi dan menyebabkan rasa nyeri hebat. (2)
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi oleh thoracic inlet di
superior dan thoracic outlet di inferior; dengan batas luar adalah dinding thorax
yang disusun oleh vertebra thorakal, costae, sternum, muskulus dan jaringan ikat.
Rongga thorax dibatasi dengan rongga abdomen oleh diafragma. Rongga thorax
dapat dibagi ke dalam dua bagian utama, yaitu paru-paru (kiri dan kanan) dan
mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian; superior, anterior dan
posterior. Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan
daerah tempat organ-organ penting thorax selain paru-paru, yaitu: jantung, aorta,
arteri pulmonalis, vena cava, esofagus, trakea dan lain-lain. (3)
Thoracic inlet merupakan “pintu masuk” rongga thorax yang disusun oleh
permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari costae I kiri
dan kanan (lateral), serta manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki
sudut deklinasi sehingga bagian anterior terletak lebih inferior dibanding bagian
posterior. Manubrium sterni terletak kira-kira setinggi vertebra thorakal II. Batas
bawah rongga thorax atau thoracic outlet (pintu keluar thorax) adalah area yang
dibatasi oleh sisi ventral vertebra thorakal XII, lateral oleh batas bawah costae dan
anterior oleh prosesus xiphoideus.(3)
7
A. Dinding Thorax
Dinding thorax tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang
membentuk dinding thorax adalah costae, columna vertebralis thorakalis, sternum,
tulang clavicula dan scapula. Jaringan lunak yang membentuk dinding thorax
adalah otot serta pembuluh darah terutama pembuluh darah intercostalis dan
thorakalis interna. (4)
C. Dasar Thorax
Dasar thorax dibentuk oleh otot diafragma yang dipersarafi nervus frenikus
dan merupakan struktur yang menyerupai kubah (dome-like structure). Diafragma
membatasi abdomen dari rongga thorax serta terfiksasi pada batas inferior dari
sangkar thorax. Diafragma termasuk salah satu otot utama pernapasan dan
mempunyai lubang untuk jalan aorta, vana cava inferior serta esofagus. (4)
8
D. Rongga Thorax (Cavitas Thoracis)
Rongga thorax adalah suatu ruangan yang ditutupi oleh dinding thorax yang
terdiri dari 3 kompartemen: (4)
Dua kompartemen lateral “cavum pulmonal” yang terdiri dari paru-paru dan
pleura.
Satu kompartemen sentral “mediastinum” yang terdiri dari jantung,
pembuluh darah besar pars thorakalis, trakea pars thorakalis, esofagus,
timus dan struktur lainnya.
Rongga mediastinum terdiri dari bagian superior dan inferior, dimana
bagian yang inferior dibagi menjadi mediastinum anterior, medius, dan superior.
(4)
a. Mediastinum Superior
Mediastinum superior dibatasi oleh :
Superior : Bidang yang dibentuk oleh vertebra Th I, costae I dan incisura
jugularis
Inferior : Bidang yang dibentuk dari angulus sternal ke vertebra Th IV
Lateral : Pleura mediastinalis
Anterior : Manubrium sterni
b. Mediastinum Inferior
Mediastinum inferior dibagi menjadi mediastinum anterior, medius, dan
superior.
- Mediastinum anterior dibatasi oleh :
9
Anterior : Sternum
Posterior : Pericardium
Lateral : Pleura mediastinalis
Superior : Plane of sternal angle
Inferior : Diafragma
Mediastinum anterior terdiri dari timus, lemak dan kelenjar limfe.
- Mediastinum medius dibatasi oleh :
Anterior : Pericardium
Posterior : Pericardium
Lateral : Pleura mediastinalis
Superior : Plane of sternal angle
Inferior : Diafragma
Mediastinum medius terdiri dari jantung, perikardium, aorta, trakea,
bronkus primer dan kelenjar limfe.
- Mediastinum posterior dibatasi oleh :
Anterior : Pericardium
Posterior : Corpus vertebrae Th V – XII
Lateral : Pleura mediastinalis
Superior : Plane of sternal angle
Inferior : Diafragma
Mediastinum posterior terdiri dari aorta desenden, esofagus, vena azigos dan
duktus thoracicus.
Pleura (selaput paru) adalah selaput tipis yang membungkus paru-paru,
pleura terdiri dari 2 lapis yaitu:
1. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru-paru
2. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding thorax
Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu membentuk
kantung tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura). Di dalam kantung
terisi sedikit cairan pleura yang diproduksi oleh selaput tersebut. (4)
10
Trauma thorax atau cedera thorax didefinisikan sebagai kondisi terjadinya
benturan baik tumpul maupun tajam pada dinding thorax yang mengakibatkan
terjadinya abnormalitas rangka thorax sehingga menyebabkan gangguan fungsi
atau cedera pada organ bagian dalam rongga thorax. (5)
11
1. Masalah rongga pleura yang mempengaruhi fungsi paru
2. Perdarahan dinding dada atau paru
3. Masalah parenkim paru yang mengganggu kemampuan paru untuk
berventilasi dan melakukan pertukaran udara
Masalah yang berhubungan dengan rongga pleura dapat dibedakan menjadi
pneumothorax dan hematothorax. Sebagian besar kasus pneumothorax traumatik
berhubungan dengan perdarahan, yang mungkin tidak terlihat pada radiografi
dada awal.
Hematothorax dapat menyebabkan masalah karena mengkompresi paru dan
mempengaruhi fungsinya (dengan atau tanpa pneumothorax), atau karena
kegagalan evakuasi darah yang menyebabkan penjebakan secara kronik.
Hematothorax masif juga dapat menyebabkan syok dan kematian karena
perdarahan. Tidak seperti luka tembus, hematothorax pada trauma tumpul lebih
merupakan masalah karena tidak bermanifestasi beberapa hari kemudian. Luka
pada parenkim paru karena trauma tumpul biasanya merupakan kontusio
pulmonal, walaupun hematoma intrapulmonar dapat terjadi pada kasus jarang.
12
Hematothorax massif - Anemia, syok hipovolemik
- Sesak napas
- Pekak pada perkusi
- Suara napas berkurang
- Tekanan vena sentral tidak meninggi
Tamponade jantung - Syok kardiogenik
- TVJ meningkat
- Bunyi jantung menjauh
Tension pneumothorax - Hemithorax mengembang
- Gerakan hemithorax kurang
- Suara napas berkurang
- Sesak napas progresif
- Emfisema subkutis
- Trakea terdorong ke kontralateral
Thorax instabil - Gerakan napas paradox
- Sesak napas, sianosis
Pneumothorax terbuka - Luka pada dinding thorax
- Kebocoran udara terdengar dan tampak
Kebocoran trakea - Bronkial
- Pneumothorax
- Emfisema
- Infeksi
13
pemberian napas buatan dan ventilasi paru, dan pemantauan aktivitas jantung dan
peredaran darah. Tindakan darurat juga mencakup needle thoracosintesis pada
tension pneumothorax, pemasangan chest tube pada hematothorax masif dan
aspirasi perikard jika hematoperikard menyebabkan tamponade jantung. (7)
Selanjutnya, harus dilakukan pemeriksaan rontgen thorax untuk menilai ada
atau tidaknya udara dan/atau cairan. Antibiotik diberikan jika ada luka tembus.
Tindakan gawat dada meliputi: (7)
- Penentuan jenis luka
- Penentuan fungsi vital (menentukan perlunya resusitasi)
- Pembersihan dan penutupan luka
- Foto rontgen thorax (melihat adanya cairan atau udara)
- Antibiotik jika luka menembus dinding
- Tindakan pneumothorax/hemothorax
- Untuk nyeri diberikan anestesia blok interkostal
Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian
resusitasi, secondary survey dan terapi definitif. Proses ini merupakan tatalaksana
trauma, berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih
dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut: (5)
a) Airway : menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)
b) Breathing : menjaga pernapasan dengan ventilasi
c) Circulation : kontrol perdarahan
d) Disability : status neurologis
e) Exposure : buka baju penderita, tetapi cegah hipotermia
14
dengan memperhatikan kontrol servikal atau dekubitus sehingga segmen yang
in-line immobilisasi mengambang tadi terletak menempel pada
2) Tentukan laju dan dalamnya tempat tidur
pernapasan 2)Pemberian ventilasi adekuat, oksigen
3) Inspeksi dan palpasi leher dan thorax dilembabkan
untuk mengenali kemungkinan terdapat 3)Kontrol nyeri dan membantu
deviasi trakhea, ekspansi thorax simetris pengembangan dada:
atau tidak, pemakaian otot-otot a. Pemberian analgesia: Morfin sulfat,
tambahan dan tanda-tanda cedera hidrokodon atau kodein yang dikombinasi
lainnya dengan aspirin atau asetaminofen setiap 4
4) Perkusi thorax untuk menentukan jam
redup atau hipersonor b. Blok nervus interkostalis dapat
5) Auskultasi thorax bilateral digunakan untuk mengatasi nyeri berat
akibat fraktur costae
4) Stabilisasi area flail chest
a. Ventilator
b. Stabilisasi sementara dengan
menggunakan towl-clip traction, atau
pemasangan firm strapping
c. Pada pasien dengan flail chest tidak
dibenarkan melakukan tindakan fiksasi
pada daerah flail secara eksterna, seperti
melakukan splint/bandage yang melingkari
dada, oleh karena akan mengurangi gerakan
mekanik pernapasan secara keseluruhan.
5) Pemasangan WSD sebagai
profilaksis/preventif pada semua pasien
yang dipasang ventilator
d. Disability
15
- Menilai tingkat kesadaran memakai GCS
- Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi.
e. Exposure/environment
- Buka pakaian penderita
- Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
16
Fraktur costae akan menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu proses
respirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai
memerlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. (8)
2.3.2 Etiologi
Costae merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena
tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka
setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costae. Fraktur
costae dapat terjadi dimana saja disepanjang costae tersebut. Dari kedua belas
pasang costae yang ada, tiga costae pertama paling jarang mengalami fraktur hal
ini disebabkan karena costae tersebut sangat terlindung. Costae ke 4-9 paling
banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki
pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costae terbawah yakni costae ke 10-
12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat mobile.Pada olahragawan
biasanya lebih banyak dijumpai fraktur costae yang “undisplaced”, oleh karena
pada olahragawan otot intercostalnya sangat kuat sehingga dapat mempertahankan
fragmen costae pada tempatnya. (8)
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok: (9)
1. Disebabkan trauma
a. Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan fraktur costae antara
lain kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian atau
jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
b. Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costae adalah
luka tusuk dan luka tembak.
17
2.3.3 Patofisiologi (10)
Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma dari arah depan, samping ataupun
dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan
trauma costae, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costae pada dinding
dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costae. Pada trauma
langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costae pada tempat
traumanya. Pada trauma tidak langsung, fraktur costae dapat terjadi apabila energi
yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costae tersebut. Seperti
pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan belakang,maka akan
terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costae, dimana pada tempat
tersebut merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur costae yang “displace”
akan mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada
costae ke 4-9 dapat mencederai arteri intercostalis, pleura visceralis, paru maupun
jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematothorax, pneumothorax
ataupun laserasi jantung.
18
Anamnesis
Perlu ditanyakan mengenai mekanisme trauma, apakah oleh karena jatuh
dari ketinggian atau akibat jatuh dan dadanya terbentur pada benda keras,
kecelakan lalu lintas atau oleh sebab lain.
Nyeri merupakan keluhan paling sering biasanya menetap pada satu titik
dan akan bertambah pada saat bernafas. Pada saat inspirasi maka rongga dada
akan mengembang dan keadaan ini akan menggerakkan fragmen costae yang
patah, sehingga akan menimbulkan gesekan antara ujung fragmen dengan jaringan
lunak sekitarnya dan keadaan ini akan menimbulkan rangsangan nyeri. Apabila
fragmen costae ini menimbulkan kerusakan pada vaskuler akan dapat
menimbulkan hematothorax, sedangkan bila fragmen costae mencederai parenkim
paru-paru akan dapat menimbulkan pneumothorax. Penderita dengan kesulitan
bernafas atau bahkan saat batuk keluar darah, hal ini menandakan adanya
komplikasi berupa adanya cedera pada paru. Riwayat penyakit dahulu seperti
bronkitis, neoplasma, asma, haemoptisis atau sehabis olahraga akan dapat
membantu mengarahkan diagnosis adanya fraktur costae. Pada anak dapat terjadi
cedera paru maupun jantung,meskipun tidak dijumpai fraktur costae. Keadaan ini
disebabkan costaenya masih sangat lentur, sehingga energi trauma langsung
mengenai jantung ataupun paru-paru.
Pemeriksaan fisik
Kondisi lokal pada dinding dada seperti adanya plester, deformitas dan
asimetris sangat mengarahkan ke diagnosis, diperlukan juga pemeriksaan fisik
secara keseluruhan yang berkaitan dengan kemungkinan adanya komplikasi akibat
adanya fraktur costae sendiri maupun penyakit penyerta yang kadang ada. Adanya
fraktur costae 1-2 yang merupakan costae yang terlindung oleh sendi bahu, otot
leher bagian bawah dan clavicula, mempunyai makna bahwa fraktur tersebut
biasanya diakibatkan oleh trauma langsung dengan energi yang hebat. Pada
fraktur daerah ini perlu dipikirkan kemungkinan adanya komplikasi berupa cidera
terhadap vasa dan saraf yang melewati apertura superior. Pemisahan costocondral
memiliki mekanisme trauma seperti pada fraktur costae. Pemisahan costocondral
atau dislokasi pada artikulasi antara parsosea dengan parscartilago akan
menimbulkan gejala yang sama dengan fraktur costae dengan nyeri yang
19
terlokalisir pada batas costocondral, apabila terdapat dislokasi secara komplit akan
teraba defek oleh karena ujung parsoseanya akan lebih menonjol dibandingkan
dengan parscartilagonya.Adapun pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan antara
lain :
a. Nyeri tekan, krepitasi dan deformitas dinding dada.
b. Adanya garakan paradoksal.
c. Tanda – tanda insufisiensi pernafasan (sianosis, takipnea).
d. Kadang akan nampak ketakutan dan cemas karena saat bernafas bertambah
nyeri.
e. Periksa paru dan jantung dengan memperhatikan adanya tanda-tanda
pergeseran trakea, pemeriksaan EKG dan saturasi oksigen.
f. Periksa abdomen terutama pada fraktur costae bagian inferior (diafragma,
hati, limpa, ginjal dan usus).
g. Periksa tulang rangka (vertebrae, sternum, clavicula dan fungsi anggota
gerak).
h. Nilai status neurologis (plexus brakialis, intercostalis dan subclavia).
Pemeriksaan penunjang
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu mendiagnosis
adanya hematothorax dan pneumothorax ataupun kontusio pulmonal. Pemeriksaan
ini dapat mengetahui jenis dan letak fraktur costaenya. Pemeriksaan foto oblique
hanya dapat membantu diagnosis fraktur multipel pada orang dewasa. Rontgen
abdomen apabila ada kecurigaan trauma abdomen yang mencederai hati, lambung
ataupun limpa akan menimbulkan gambaran peritonitis. Sedangkan pada kasus
yang sulit terdiagnosis dilakukan dengan “Helical CT Scan”.
20
intercostalis serta pada parenkim paru, ataupun terhadap organ yang terdapat di
mediastinum, sedangkan fraktur costae ke 10-12 perlu dipikirkan kemungkinan
adanya cedera pada diafragma dan organ intraabdominal seperti hati, limpa,
lambung maupun usus besar. Pada kasus fraktur costae simpel pada satu costae
tanpa komplikasi, aktifitas dapat secara normal dilakukan setelah 3-4 minggu
kemudian, meskipun costae baru akan sembuh setelah 4-6 minggu.
Komplikasi awal dapat berupa pneumothorax, efusi pleura, hematothorax
dan flail chest. Komplikasi lanjut antara lain kontusio pulmonal, pneumonia dan
emboli paru. Flail chest dapat terjadi apabila terdapat fraktur dua atau lebih dari
costae yang berurutan dan tiap-tiap costae terdapat fraktur segmental, keadaan ini
akan menyebabkan gerakan paradoksal saat bernafas dan dapat mengakibatkan
gagal nafas.
21
Fraktur costae simpel tanpa komplikasi dapat dirawat jalan, sedangkan pada
pasien dengan fraktur multipel dan kominutif serta dicurigai adanya komplikasi
perlu perawatan di RS. Pasien yang dirawat di RS perlu mendapatkan analgetik
yang adekuat, bahkan kadang diperlukan narkotik dan pemberian latihan nafas
(fisioterapi nafas).
Fraktur costae dengan komplikasi kadang memerlukan terapi bedah, dapat
dilakukan drainase atau torakotomi, untuk itu evaluasi terhadap kemungkinan
adanya komplikasi harus selalu dilakukan secara berkala dengan melakukan foto
kontrol pada 6 jam,12 jam dan 24 jam pertama.
4. Penanganan di rawat jalan
Penderita rawat jalan juga memerlukan pemberian analgetik yang adekuat
untuk memudahkan gerakan pernafasan. Latihan nafas harus selalu dilakukan
untuk memungkinkan pembuangan dahak.
2.4 Hematothorax
2.4.1 Definisi
Hematothorax adalah adanya kumpulan darah di dalam ruang antara dinding
dada dan paru-paru (rongga pleura). Sumber darah mungkin dari dinding dada,
parenkim paru–paru, jantung atau pembuluh darah besar. Kondisi biasanya
merupakan akibat dari trauma tumpul atau tajam. Ini juga mungkin merupakan
(13)
komplikasi dari beberapa penyakit. Hemathothorax (hemothorax) adalah
terakumulasinya darah pada rongga thorax akibat trauma tumpul atau tembus pada
dada. Hemathothorax biasanya terjadi karena cedera di dada. Penyebab lainnya
adalah pecahnya sebuah pembuluh darah atau kebocoran aneurisma aorta yang
kemudian mengalirkan darahnya ke rongga pleura. (13)
2.4.2 Etiologi
Penyebab utama hematothorax adalah trauma, seperti luka penetrasi pada
paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada. Trauma tumpul pada
dada juga dapat menyebabkan hematothorax karena laserasi pembuluh darah
internal. Menurut Magerman (2010) penyebab hematothorax antara lain :
1. Penetrasi pada dada
2. Trauma tumpul pada dada
22
3. Laserasi jaringan paru
4. Laserasi otot dan pembuluh darah intercostal
5. Laserasi arteri mammaria interna
Secara umum, penyebab terjadinya hematothorax adalah sebagai berikut: (13)
a. Traumatik
Trauma tumpul dan penetrasi trauma (trauma tembus, termasuk iatrogenik)
b. Non traumatik atau spontan
Neoplasia (primer atau metastasis), diskrasia darah, termasuk komplikasi
antikoagulasi, emboli paru dengan infark, robek adhesi pleura berkaitan dengan
pneumotorax spontan, bullous emfisema, tuberculosis, paru atriovenosa fistula,
nekrosis akibat infeksi, telangiektasis hemoragik herediter, kelainan vaskular
intrathorax non pulmoner, sekuestrasi inralobar dan ekstralobar dan patologi
abdomen. Hemothorax masif lebih sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
23
takipnea dan penurunan tekanan darah. Tanda-tanda signifikan dari shock dengan
tanda-tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau
lebih (1500-2000 ml). Karena rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung
4 atau lebih liter darah, perdarahan dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari
kehilangan darah. Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga
pleura dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma,
kelainan ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan
luka pada dinding dada. Akumulasi darah yang cukup banyak dapat menyebabkan
pasien mengalami dispnea dan menunjukkan temuan klinis takipnea. Volume
darah yang diperlukan untuk memunculkan gejala pada individu tertentu
bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat
keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari. Darah yang
masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru, dan struktur
intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan pembekuan tidak lengkap terjadi.
Dalam beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang ada berinteraksi
dengan enzim pleura. Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleuradan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga
pleura. Tekanan osmotik tinggi intrapleura menghasilkan gradien osmotik antara
ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke
dalam rongga pleura. Dengan cara ini, sebuah hematothorax kecil dan tanpa gejala
dapat berkembang menjadi besar dengan gejala efusi pleura berdarah.
24
c. Hematothorax berat
- Jumlah darah lebih dari 2000 cc
- 35% tertutup bayangan pada foto thorax
- Perkusi pekak sampai costae 4
25
perdarahan. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan
pada auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan menghilang.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik, diantaranya:
- Chest X-ray: gambaran radioopaque menunjukkan akumulasi cairan pada
rongga pleura di sisi yang terkena dan adanya mediastinum shift atau
penyimpangan struktur mediastinum. Chest X-ray sebagai penegak
diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif dibandingkan lainnya.
- USG: USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk
pasien yang tidak stabil dengan hematothorax minimal.
26
Gambar 7. USG Thorax pada pasien Hematothorax
27
- Abses paru atau pus di rongga dada (empiema).
Langkah-langkah dalam pemasangan chest tube sebagai berikut:
- Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
- Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan alkohol atau
povidone iodine pada ICS VI / ICS VII linea aksilaris media
- Dilakukan anastesi lokal dengan lidokain
- Insisi sekitar 3-4 cm pada linea aksilaris media
- Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjutnya
dihubungkan dengan WSD (Water Sealed Drainage)
- Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube
28
- Trombolitik agent : trombolitik agent digunakan untuk memecahkan bekuan
darah pada chest tube atau ketika bekuan telah membentuk massa di rongga
pleura, tetapi hal ini sangat berisiko karena dapat memicu terjadinya
perdarahan dan perlu tindakan operasi segera. Hemothorax masif (>750 cc)
yang terjadi kurang dari satu jam setelah trauma merupakan indikasi untuk
operasi. Perdarahan yang terjadi akibat fraktur costae biasanya tidak banyak
dan dapat berhenti sendiri. Namun tetap harus diwaspadai adanya
perdarahan arteri interkostalis yang robek.
Monitoring untuk semua kasus perdarahan dalam rongga thorax setelah
pemasangan WSD adalah sebagai berikut:
- 0-3 cc/KgBB/jam : observasi
- >3-<5 cc/KgBB/jam : observasi ketat, bila berturut-turut dalam 3 jam,
operasi
- >5 cc/Kg BB/jam : operasi
29
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri kepala
30
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.
31
S/L ar Femoralis dextra
L: swelling (+)
F: nyeri (+), krepitasi (+)
M: ROM terbatas
Secondary Survey
Kepala
- Bentuk : normosefali
- Rambut : hitam, lurus, sukar dicabut
- Vulnus laceratum 3 x 2 cm ar frontal sinistra
Mata
- Konjungtiva : tidak tampak anemis
- Sklera : tidak tampak ikterus
- Pupil : isokor, θ 3 mm/3 mm, RC +/+
T/H/M : dalam batas normal
Leher
- Pembesaran kelenjar tidak ada
- Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Thorax (Paru)
- Inspeksi : simetris kanan dengan kiri, retraksi interkostal (-/-), gerakan
paradoksal (-/-)
- Palpasi : nyeri tekan (-/+), krepitasi (-/+), teraba massa tumor (-/-), stem
fremitus kanan = stem fremitus kiri
- Perkusi : sonor (+/+)
- Auskultasi : vesikular (+/↓), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Thorax (Jantung)
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba, thrill tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : S1 > S2 reguler, mumur dan gallop tidak ada
Abdomen
- Inspeksi : simetris, warna kulit sama dengan sekitar
32
- Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
- Palpasi : massa tumor tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, hati dan limpa tidak
teraba
- Perkusi : timpani, nyeri ketok tidak ada
Genetalia : perempuan, tidak tampak kelainan
Ekstremitas : krepitasi di os. clavicula sinistra, os. scapula sinistra dan os. femur
dextra proksimal, akral hangat, CRT < 2 detik, tampak jejas ar shoulder sinistra
dan femoralis dextra
33
Kreatinin 0,51-0,95 mg/dl 0,56
ELEKTROLIT – Serum
Natrium (Na) 132-146 mmol/L 144
Kalium (K) 3,7-5,4 mmol/L 4,4
Klorida (Cl) 98-106 mmol/L 98
Analisa Gas Darah
pH 7,453 7,453
pCO2 34,40 34,40
pO2 90 90
Bikarbonat (HCO3) 24,3 24,3
Total CO2 23,2-27,6 25,4
Kelebihan Basa (BE) (-2)-(+2) 1,4
Saturasi O2 95-100% 96,9
Pemeriksaan Radiologis
1. Foto Servikal
34
Kesimpulan Foto Shoulder Sinistra AP (14/04/2019)
Malalignment, tampak fraktur di os. clavicula dan scapula sinistra dengan soft tissue
swelling
3. Foto Thorax AP
4. Foto Pelvis AP
35
Kesimpulan Foto Pelvis AP (14/04/2019)
Tampak fraktur di os. femur dextra 1/3 proksimal
36
6. CT Scan Kepala Non Kontras
37
3.5 Diagnosis Awal
Cedera kepala ringan
Fraktur costae 3, 4, 5 sinistra
Close fracture neck femur dextra
DM tipe II normoweight
3.7 Penatalaksanaan
Suportif
IVFD RL 1500 cc/ 24 jam
Medikamentosa
IV Cefuroxime 1,5 gr/12 jam
IV Ketorolac 3% /8 jam
Drip Paracetamol 1 gr/8 jam
IV Ranitidine 50 mg/12 jam
IV Citicolin 500 mg/12 jam
SC Levemir 0-0-0-10 unit pukul 22.00 WIB
Nebul ventolin 1 resp/8 jam
Mecobalamin 2 x 500 mg
Osteocal 2 x 800 mg
Colcatriol 2 x 0,25 mg
Operatif
1. Bedah TKV
38
Laporan pembedahan ORIF costae, torakotomi dan pemasangan WSD
sebagai berikut:
- Pasien dalam posisi lateral dengan general anestesi
- Dilakukan septic dan antiseptic procedure
- Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril
- Dilakukan insisi 8 cm di atas costae, dibuka lapis demi lapis hingga tampak
costae
- Identifikasi fracture site di costae 3, 4, 5 segmental dan 6, 8 posterior
- Dilakukan ORIF costae dengan miniplat 4 hole dan fiksasi
- Dilakukan pemasangan WSD sinistra Hematothorax sinistra
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis
- Tutup dengan kasa steril
- Operasi selesai
2. Bedah Orthopedi
Laporan pembedahan bipolar arthroplasty sebagai berikut:
- Pasien dalam posisi supine dengan general anestesi
- Dilakukan septic dan antiseptic procedure
- Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril
- Dilakukan insisi tegak lurus di atas fracture site
- Insisi diperdalam sampai tampak fracture site
- Head femur dilepaskan dari acetabulum
- Insersi THR
- Kontrol perdarahan
- Luka di cuci dengan NaCl 0,9% hingga bersih
- Luka dijahit lapis demi lapis, ditinggalkan 1 buah drain
- Operasi selesai
Evaluasi Radiologis
1. Foto Thorax AP Post Operatif
39
Kesimpulan Foto Thorax AP (15/04/2019)
Cor normal, terpasang internal fiksasi di costae 3, 4, 5 kiri posterior dan lateral,
serta costae 6, 8 posterior kiri
40
4. DM tipe II normoweight
3.9 Resume
Seorang perempuan berusia 51 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri
kepala ± 30 menit SMRS. Hal ini dialami pasien setelah terjatuh sendiri dari sepeda
motor dengan kepala membentur aspal. Terdapat riwayat penurunan kesadaran
selama 5 menit. Terdapat riwayat penurunan kesadaran selama 5 menit. Pasien
mengeluhkan rasa nyeri di dada sebelah kiri. Bahu kiri dan paha bagian atas sebelah
kanan juga terasa nyeri dan sulit digerakkan. Mekanisme trauma tidak diketahui
karena pasien tidak mengingat kejadian saat trauma. Pasien dengan riwayat diabetes
mellitus sejak 3 tahun yang lalu dan tidak terkontrol.
Hasil primary survey didapatkan airway clear, c-spine control dengan
collar neck. Breathing spontan, RR 24 kali/menit, inspeksi simetris kanan dengan
kiri, tidak ada retraksi interkostal dan gerakan paradoksal, palpasi nyeri tekan
positif di lapangan paru kiri, stem fremitus kanan sama dengan kiri, perkusi sonor
di kedua lapangan paru, auskultasi vesikular pada kedua lapangan paru, namun
sedikit melemah pada lapangan paru kiri, tidak ada ronkhi maupun wheezing.
Circulation TD 120/80 mmHg, HR 80 kali/menit, akral hangat, CRT < 2 detik,
terpasang folley catheter, disability GCS E4M5V6 (15), pupil isokor diameter 3
mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+). Exposure S/L ar Capitis (L: vulnus laceratum
3 x 2 cm ar frontal sinistra, F: nyeri (+)), S/L ar Shoulder sinistra (L: swelling (+),
F: nyeri (+), krepitasi (+), M: ROM terbatas), S/L ar Thorax anterior (L: jejas ar
thorax sinistra (+), F: nyeri (+), krepitasi (+)), S/L ar Femoralis dextra (L:
swelling (+), F: nyeri (+), krepitasi (+), M: ROM terbatas).
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal, KGDS 468
mg/dl. Hasil pemeriksaan radiologis foto servikal tidak tampak kelainan, foto
shoulder sinistra AP didapatkan malalignment, tampak fraktur di os. clavicula dan
scapula sinistra dengan soft tissue swelling, foto thorax AP tampak fraktur os. costae
3, 4, 5 sinistra dengan suspect kontusio paru, foto pelvis AP tampak fraktur di os.
femur dextra 1/3 proksimal, foto femur dextra AP/Lateral didapatkan malalignment,
tampak fraktur di os. femur dextra 1/3 proksimal dengan soft tissue swelling, CT
Scan kepala non kontras potongan aksial didapatkan intraaksial normal dengan soft
tissue hematome ar frontal sinistra, dan hasil pemeriksaan CT Scan thorax non
41
kontras didapatkan fraktur di os. costae 3, 4, 5 sinistra, os scapula sinistra dan os
clavicula sinistra proksimal. Collaps parsial paru sinistra dengan suspect kontusio
paru. Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pemberian medikamentosa dan
tindakan operatif. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan tindakan operatif yang telah dilakukan, pasien didiagnosis dengan
multipel fraktur segmental costae 3, 4, 5 sinistra + fraktur costae 6, 8 posterior
sinistra post ORIF costae, hematothorax sinistra post pemasangan WSD sinistra,
close fracture neck femur dextra post bipolar arthroplasty dan DM tipe II
normoweight.
3.10 Prognosis
Quo et vitam : Dubia ad bonam
Quo et functionam : Dubia ad bonam
Quo et sanactionam : Dubia ad bonam
3.11 Follow Up
A/
1. Cedera kepala ringan
2. Fraktur costae 4, 5, 6
sinistra
3. Close fracture neck
femur dextra
4. DM tipe II
normoweight
42
15/04/2019 S/ Nyeri dada kiri Th/
H-1 Nyeri kepala - IVFD RL 1500 cc/24
BTKV O/ KU: sedang jam
TD : 170/90 mmHg - IV Cefuroxime 1,5
HR : 86 x/menit gr/12 jam
RR : 22 x/i - IV Ketorolac 3% /8
T : 36,7 °C jam
KGDS : 334 mg/dl - IV Ranitidine 50
mg/12 jam
S/L ar Thoraks : - Nebul ventolin 1 resp/8
I: Simetris, jejas (+) di jam
lapangan paru kiri
P:Sf kanan = Sf kiri, nyeri P/
dada kiri, emfisema - ORIF costae elektif hari
subkutis (-) ini
P:Sonor/sonor - Cek HbA1c, KGD2PP,
A:Ves(+/↓), rh(-/-),wh(-/-) profil lipid
- Konsul IPD untuk
A/ regulasi gula darah
1. Cedera kepala ringan
2. Fraktur costae 3, 4, 5
sinistra
3. Close fracture neck
femur dextra
4. DM tipe II normoweight
15/04/2019 S/ Nyeri kepala perbaikan Th/
H-1 Nyeri dada kiri - Head up 30°
Neurologi - IV Citicolin 500
O/ KU: sedang mg/12 jam
TD : 170/90 mmHg - IV Ketorolac 3
HR : 86 x/menit %/8jam
RR : 22 x/i
T : 36,7 °C
KGDS : 334 mg/dl
Status neurologis
GCS : E4M6V5
Mata : pupil bulat isokor,
3mm/3mm, RC (+/+)
TRM : kaku kuduk (-)
N. cranialis: parese nervus
(-)
Fungsi motorik, sensorik,
otonom: dalam batas
normal
Refleks fisiologis (+)
Refleks patologis (-)
A/
1. Commutio serebri
2. PTA
3. Fraktur costae 3, 4, 5
43
sinistra
15/04/2019 S/ Nyeri dada kiri Saran th/
H-1 - Diet DM 1500
EMD O/ KU: sedang kkal/hari
TD : 170/90 mmHg - IVFD NaCl 0,9 % 20
HR : 86 x/menit gtt/menit
RR : 22 x/i - SC Novorapid 6 unit
T : 36,7 °C ekstra
KGDS : 334 mg/dl - SC Levemir 0-0-0-10
unit
A/
a. DM tipe II normoweight P/
b. Fraktur costae 3, 4, 5 Cek KGD/ 2 jam, HbA1c
sinistra
15/04/2019 S/ Pasien masuk post Th/
H-1 operasi elektif platting - Head up
HCU-Surgical costae + thorakotomi + - Diet via oral
pemasangan WSD sinistra - IVFD RL 1000 cc/24
a/i multipel fraktur costae jam
- Drip Paracetamol 1
O/ Kes: CM gr/8 jam
TD : 125/75 mmHg - Drip Insulin titrasi
HR : 80 x/menit - IV Cefuroxime 1,5
RR : 18 x/i gr/12 jam
T : 36,3 °C - IV Ketorolac 3% /8
SpO2 : 96% jam
- IV Ranitidine 50
A/ mg/12 jam
Post ORIF costae + - IV Oxycodone 5
thorakotomi + WSD mg/12 jam
sinistra + bipolar - Nebul ventolin 1 resp/8
arthroplasty a/i multipel jam
fraktur costae +
hematothorax sinistra + P/ Cek lab
close fracture neck femur
dextra
16/04/2019 S/ Nyeri post operasi Th/
H-2 - IVFD RL 1500 cc/24
POD 1 O/ KU: sedang jam
BTKV TD : 113/65 mmHg - IV Cefuroxime 1,5
HR : 108 x/menit gr/12 jam
RR : 24 x/i - IV Ketorolac 3% /8
T : 36,7 °C jam
SpO2 : 95% dengan O2 - IV Ranitidine 50
via NK mg/12 jam
- Osteocal 2 x 800 mg
S/L ar Thoraks : - Colcatriol 2 x 0,25 mg
I: Simetris, tampak
terpasang WSD produksi
50 cc serous hemoragik, P/
undulasi +, luka operasi - Aff chest tube
kering - Rawat luka
44
P: Sf kanan = Sf kiri, nyeri, - Rawat ruangan
emfisema subkutis (-)
P: Sonor/sonor
A:Ves(+/+), rh(-/-),wh(-/-)
A/
1. Multipel fraktur
segmental costae 3, 4, 5 +
fraktur costae 6, 8
posterior sinistra +
hematothorax sinistra
post ORIF costae +
thorakotomi + WSD
sinistra
2. Close fracture neck
femur dextra post bipolar
arthroplasty
3. DM Tipe II normoweight
16/04/2019 S/Post Op Th/
H-2 - Head up 30°
Neurologi O/ KU: sedang - IV Citicolin 500 mg/12
TD : 113/65 mmHg jam
HR : 108 x/menit - IV Ketorolac 3 %/8jam
RR : 24 x/i - Mecobalamin 2 x 500
T : 36,7 °C mg
SpO2 : 95% dengan O2
via NK
Status neurologis
GCS : E4M6V5
Mata : pupil bulat isokor,
3mm/3mm, RC (+/+)
TRM : kaku kuduk (-)
N. cranialis: parese nervus
(-)
Fungsi motorik, sensorik,
otonom: dalam batas
normal
Refleks fisiologis (+)
Refleks patologis (-)
A/
- Commutio serebri
- Post ORIF
16/04/2019 S/ Nyeri berkurang Th/
H-2 Terapi Sesuai TS
Orthopedi O/ KU: sedang BTKV
TD : 148/72 mmHg
HR : 82 x/menit P/
RR : 20 x/i Mobilisasi duduk
T : 37,2 °C
45
S/L ar Femur Dextra:
I: Luka kering
P: Nyeri
A/
1. Close fraktur neck femur
dextra post bipolar
arthroplasty
16/04/2019 S/ Nyeri berkurang Th/
H-2 - Head up
HCU-Surgical O/Kes: CM - Diet via oral
TD : 116/68 mmHg - IVFD RL 1000 cc/24
HR : 106 x/menit jam
RR : 35 x/menit - Drip Paracetamol 1 gr/8
T : 36,3 °C jam
NRS : 5 - Drip Insulin titrasi
- IV Cefuroxime 1,5
A/ gr/12 jam
Post ORIF costae + - IV Ketorolac 3% /8 jam
thorakotomi + WSD - IV Ranitidine 50 mg/12
sinistra + bipolar jam
arthroplasty a/i multipel - IV Oxycodone 5 mg/12
fraktur costae + jam
hematothorax sinistra + - Nebul ventolin 1 resp/8
close fracture neck femur jam
dextra - Mecobalamin 2 x 500
mg
A/
1. Multipel fraktur
segmental costae 3, 4, 5
sinistra + fraktur costae
6, 8 posterior sinistra +
hematothorax sinistra
46
post ORIF costae +
thorakotomi + WSD
sinistra
2. Close fracture neck
femur dextra post
bipolar arthroplasty
3. DM Tipe II
normoweight
18/04/2019 S/ Nyeri berkurang Th/
H-4 - Diet DM 1700 kkal/hari
POD 3 O/ KU: sedang - IVFD RL 1500 cc/24
BTKV TD : 110/70 mmHg jam
HR : 82 x/menit - IV Cefuroxime 1,5
RR : 20 x/i gr/12 jam (STOP)
T : 36,7 °C - IV Ketorolac 3% /8 jam
GDS : 323 mg/dl (STOP)
- IV Ranitidine 50 mg/12
S/L ar Thoraks : jam (STOP)
I: Simetris, luka operasi - Osteocal 2 x 800 mg
kering - Colcatriol 2 x 0,25 mg
P: Sf kanan = Sf kiri, nyeri, - Levemir 0-0-0-10 unit
emfisema subkutis (-) - Mecobalamin 2 x 500
P: Sonor/sonor mg
A:Ves(+/+), rh(-/-),wh(-/-)
P/ Aff folley catheter dan
A/ infus
Ganti obat oral
4. Multipel fraktur
- Cefixime 2 x 100 mg
segmental costae 3, 4, 5
- Paracetamol 3 x 500 mg
sinistra + fraktur costae
- Curcuma 2 x 1 tab
6, 8 posterior sinistra +
- Codein 2 x 1 tab
hematothorax sinistra
post ORIF costae +
thorakotomi + WSD
sinistra
5. Close fracture neck
femur dextra post
bipolar arthroplasty
6. DM Tipe II
normoweight
47
BAB IV
PEMBAHASAN
48
suatu pemeriksaan yang dilakukan pada pasien trauma, berusaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan
berikut: (5)
a) Airway : menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)
b) Breathing : menjaga pernapasan dengan ventilasi
c) Circulation : kontrol perdarahan
d) Disability : status neurologis
e) Exposure : buka baju penderita, tetapi cegah hipotermia
Hasil primary survey didapatkan airway clear, c-spine control dengan
collar neck. Breathing spontan, pada inspeksi RR 24 kali/menit, tampak simetris
kanan dengan kiri, jejas di lapangan paru kiri, tidak ada gerakan paradoksal.
Palpasi didapatkan nyeri tekan dan krepitasi di lapangan paru sebelah kiri dengan
stem fremitus kanan sama dengan stem fremitus kiri. Perkusi sonor di kedua
lapangan paru. Auskultasi terdengar suara napas vesikular di kedua lapangan paru,
namun sedikit melemah di lapangan paru kiri, tidak ada ronkhi maupun wheezing.
Circulation TD 120/80 mmHg, HR 80 kali/menit, akral hangat, CRT < 2 detik,
terpasang folley catheter. Disability GCS E4M5V6 (15), pupil isokor diameter 3
mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+). Exposure S/L ar Capitis (L: vulnus laceratum
3 x 2 cm ar frontal sinistra, F: nyeri (+)), S/L ar Shoulder sinistra (L: swelling (+),
F: nyeri (+), krepitasi (+), M: ROM terbatas), S/L ar Thorax anterior (L: jejas ar
thorax sinistra (+), F: nyeri (+), krepitasi (+)), S/L ar Femoralis dextra (L:
swelling (+), F: nyeri (+), krepitasi (+), M: ROM terbatas). Resusitasi fungsi vital
dan reevaluasi harus segera dilakukan setelah primary survey, berupa penilaian
respon penderita terhadap pemberian cairan awal dan penilaian perfusi organ
(nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta pengawasan terhadap
(5)
tanda-tanda syok. Pada kasus ini, primary survey clear sehingga tidak
dilakukan resusitasi fungsi vital, namun dilanjutkan ke secondary survey karena
hasil primary survey dalam batas normal. Secondary Survey dilakukan anamnesis
AMPLE dan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik secara keseluruhan dari kepala
dan maksilofasial, vertebra servikal dan leher, thorax, abdomen, perineum,
(5)
musculoskeletal, neurologis dan reevaluasi penderita. Adapun pada
pemeriksaan fisik perlu diperhatikan antara lain :
49
a. Nyeri tekan, krepitasi dan deformitas dinding dada
b. Adanya garakan paradoksal
c. Tanda – tanda insufisiensi pernafasan (sianosis, takipnea)
d. Kadang akan nampak ketakutan dan cemas karena saat bernafas bertambah
nyeri
e. Periksa paru dan jantung dengan memperhatikan adanya tanda-tanda pergeseran
trakea, pemeriksaan EKG dan saturasi oksigen
f. Periksa abdomen terutama pada fraktur costae bagian inferior (diafragma, hati,
limpa, ginjal dan usus)
g. Periksa tulang rangka (vertebrae, sternum, clavicula dan fungsi anggota gerak)
h. Nilai status neurologis (plexus brakialis, intercostalis dan subclavia)
Pada kasus ini didapatkan adanya nyeri tekan dan krepitasi pada lapangan
paru kiri yang menunjukkan adanya emfisema subkutis atau fraktur costae. Gerakan
paradoksal yang tidak tampak pada inspeksi menandakan tidak terjadinya flail chest
pada pasien ini. (12) Tidak ditemukannya tanda-tanda insufisiensi pernapasan seperti
sianosis dan takipnea serta deviasi trakea pada palpasi menunjukkan tidak adanya
pendorongan organ mediastium kearah kontralateral akibat tension pneumothorax.
(5)
Pada fraktur costae bagian inferior, perlu dilakukan pemeriksaan abdomen untuk
menilai diafragma, hati, limpa, ginjal dan usus. Pada kasus ini, hasil pemeriksaan
abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan tekanan darah yang mununjukkan hasil
normotensi, tidak adanya peningkatan TVJ dan suara jantung yang normal (S1>S2
di katup mitral) dapat menyingkirkan kemungkinan terjadinya tamponade jantung.
(5)
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal, KGDS 468
mg/dl karena pasien dengan riwayat diabetes mellitus tipe 2 tidak terkontrol. Pasien
dengan fraktur multipel harus dicurigai mengalami cedera servikal sehingga
dilakukan foto servikal dan didapatkan hasil tidak tampak kelainan. Keluhan nyeri
di bahu kiri, swelling, teraba nyeri dan krepitasi serta ROM yang terbatas
menunjukkan adanya fraktur, dibuktikan dengan foto shoulder sinistra AP dengan
malalignment, tampak fraktur di os. clavicula dan scapula sinistra dengan soft tissue
swelling. Keluhan nyeri di paha bagian atas sebelah kanan, swelling, krepitasi dan
ROM yang terbatas serta foto femur dextra AP/Lateral menunjukkan malalignment
50
dan fraktur di os. femur dextra 1/3 proksimal dengan soft tissue swelling. Adanya
keluhan nyeri kepala dan riwayat penurunan kesadaran selama 5 menit pasca trauma
mengindikasikan dilakukannya pemeriksaan CT Scan kepala non kontras potongan
aksial oleh divisi neurologi dengan hasil intraaksial normal dengan soft tissue
hematome ar frontal sinistra.
Foto thorax anteroposterior dan lateral sangat membantu untuk mengetahui
jenis dan letak fraktur costae. Selain itu juga dibutuhkan untuk mendiagnosis
(15)
adanya hematothorax dan pneumothorax ataupun kontusio pulmonal. Hasil
pemeriksaan foto thorax AP pada kasus ini menunjukkan adanya fraktur os. costae
3, 4, 5 sinistra dengan suspect kontusio paru. Pada trauma tumpul dinding dada,
fraktur costae sederhana merupakan cedera yang tersering. Fraktur costae multipel
juga dapat terjadi dan sering menyebabkan luka pada paru dan pleura. Secara
esensial, sebagian besar luka pada paru dan pleura menyebabkan masalah
fisiologis melalui satu dari tiga mekanisme, diantaranya masalah rongga pleura
yang mempengaruhi fungsi paru, perdarahan dinding dada atau paru dan masalah
parenkim paru yang mengganggu kemampuan paru untuk berventilasi dan
melakukan pertukaran udara. Fraktur costae yang “displace” akan mencederai
jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya. Pada kasus ini terdapat fraktur
di costae 3, 4, 5 sinistra, dimana fraktur pada costae ke 4-9 dapat mencederai
arteri intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya hematothorax, pneumothorax ataupun laserasi jantung.
(10)
Dari kedua belas pasang costae yang ada, tiga costae pertama paling jarang
mengalami fraktur, hal ini disebabkan oleh costae tersebut sangat terlindung.
Costae ke IV-IX paling banyak mengalami fraktur karena posisinya sangat
terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costae
terbawah, yaitu costae ke X-XII juga jarang mengalami fraktur karena sangat
mobile. Menurut jumlah costae yang mengalami fraktur, fraktur costae dapat
dibedakan menjadi fraktur costae simpel dan multipel. Menurut jumlah fraktur
pada setiap costae dapat dibedakan menjadi fraktur costae segmental, simpel dan
kominutif. Menurut letak fraktur dibedakan menjadi fraktur costae superior
(costae I-III), median (costae IV-IX) dan inferior (costae X-XII). Menurut posisi
51
dibedakan menjadi fraktur costae anterior, lateral dan posterior. Pada beberapa
kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus flail chest, dimana pada
keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costae atau lebih yang letaknya
(10)
berurutan dan posisi patahannya berada di daerah anterior dan lateral. Pada
kasus ini, hasil foto thorax menunjukkan adanya dua patahan pada masing-masing
costae 3, 4, 5 (segmental), namun posisi patahannya berada di daerah lateral dan
posterior, sehingga tidak disebut sebagai flail chest, oleh karena itu tidak
ditemukan adanya gerakan paradoksal pada pemeriksaan fisik meskipun fraktur
yang terjadi bersifat segmental dan terjadi pada lebih dari 2 costae yang letaknya
berurutan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang awal saat
berada di IGD RSUDZA, maka pasien didiagnosa dengan cedera kepala ringan,
fraktur costae 3, 4, 5 sinistra, close fracture neck femur dextra dan DM Tipe II
normoweight.
Fraktur costae simpel tanpa komplikasi dapat dirawat jalan, sedangkan pada
pasien dengan fraktur multipel dan kominutif serta dicurigai adanya komplikasi
perlu perawatan di rumah sakit. Pasien yang dirawat di rumah sakit perlu
mendapatkan analgetik yang adekuat, bahkan kadang diperlukan narkotik dan
pemberian latihan nafas (fisioterapi nafas). Fraktur costae dengan komplikasi
kadang memerlukan terapi bedah, dapat dilakukan drainase atau torakotomi, untuk
itu evaluasi terhadap kemungkinan adanya komplikasi harus selalu dilakukan
secara berkala dengan melakukan foto kontrol pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam
pertama. (11) Pada kasus ini, tatalaksana yang diberikan di IGD berupa IVFD NaCl
0,9% 20 gtt/menit, IV. Ketorolac 3%/ 8 jam dan Ranitidin 50 mg/ 12 jam. Pasien
dikonsulkan ke divisi Bedah TKV kamudian direncanakan untuk rawat ruangan,
dilakukan CT Scan thorax non kontras dan ORIF elektif costae. Pasien juga
dikonsulkan ke divisi Bedah Saraf, tidak direncanakan tindakan apapun dan
dijadikan konservatif neurologi. Divisi neurologi memberikan terapi IV. Citicolin
500 mg/ 12 jam dan mecobalamin 2 x 500 mg. Konsultasi ke Bedah Orthopedi
direncanakan tindakan bipolar arthroplasty untuk close fracture neck femur
dextra.
Pada hari pertama rawatan di rumah sakit, pasien dikonsulkan ke Ilmu
Penyakit Dalam untuk regulasi gula darah (334 mg/dl). Pasien mendapatkan diet
52
DM 1500 kkal/hari dan SC Levemir 10 unit pada pukul 22.00 WIB. Hasil
pemeriksaan CT Scan thorax non kontras pada hari rawatan pertama menunjukkan
adanya fraktur di costae 3, 4, 5 sinistra, os scapula sinistra dan os clavicula sinistra
proksimal, serta collaps parsial paru sinistra dengan suspect kontusio paru. Pada
hari tersebut dilakukan tindakan operatif oleh divisi TKV berupa platting costae,
torakotomi dan pemasangan WSD sinistra. Instruksi pasca pembedahan adalah
pemberian IVFD RL 1500 cc/ 24 jam, IV. Cefuroxime 1,5 gr/ 12 jam, IV.
Ketorolac 3 %/ 8 jam, IV. Ranitidin 50 mg/ 12 jam dan nebule ventolin 1 resp/ 8
jam, serta pemeriksaan foto thorax post ORIF costae dan pemasangan WSD
sinistra. Pada hari yang sama dilakukan tindakan operatif bipolar arthroplasty
oleh divisi Bedah Orthopedi dengan instruksi pasca pembedahan berupa foto
pelvis post THR.
Pemeriksaan foto thorax post operatif didapatkan hasil cor normal, terpasang
internal fiksasi di costae 3, 4, 5 sinistra posterior dan lateral, serta costae 6, 8
posterior sinistra. Hasil foto pelvis post operatif tampak terpasang protesa THR di
hip joint dextra dengan kedudukan baik. Diagnosis post operatif pasien pada kasus
ini adalah multipel fraktur segmental costae 3, 4, 5 sinistra, fraktur costae posterior
sinistra post platting costae, hematothorax post pemasangan WSD sinistra, close
fracture neck femur dextra post bipolar arthroplasty dan DM tipe II normoweight.
53
BAB V
KESIMPULAN
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Trunkey DD. Thoracic trauma. In: Trunkey DD, Lewis FR (eds). Current
therapy of trauma 1984– 1985. Philadelphia: BC Decker;1984.p.85–91.
2. Weinberg JA, Croce MA. Chest wall injury. In: Flint L, JW Meredith, CW
Schwab, Trunkey DD, LW Rue, PA Taheri (eds). Trauma: Contemporary
principles and therapy.1st ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2008.p.358–60.
5. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG. Schwartz’s
Principles of Surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill
Education;2015.p.161-223.
6. Brock MV, Mason DP, Yang SC. Thoracic Trauma. In: Sellke FW, Nido PJ,
Swanson SJ. Sabiston and Spencer: Surgery of the Chest Volume 1. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p.79-91.
7. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta:
EGC;2005.p.403-19.
10. Ernest GC, Erica S, Jonathan DC. Rib Fixation Following Trauma: A
Cardiothoracic Surgeon's Perspective. J Trauma Treat; 2016.
11. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009.
p. 325-6; 355-420.
55
13. Mary C Mancini. 2011. Hemothorax. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview#a0156. Accessed
4 April 2019.
14. Light RW, Lee YCG. Pneumothorax, chylothorax, hemothorax, and
fibrothorax. In: Mason RJ, Broaddus CV, Martin TR, et al. Murray &
Nadel's Textbook of Respiratory Medicine . 5th ed. Philadelphia, Pa:
Saunders Elsevier; 2010.
15. Mowery NT, Gunter OL, Collier BR, Diaz JJ, Haut E, Hildreth A, et al.
Practice Management Guidelines for Management of Hemothorax and
Occult Pneumothorax. TRAUMA Injury, Infection, and Critical Care
J;2011.p510-8.
56