Anda di halaman 1dari 67

REFRESHING

PEMERIKSAAN DASAR THT-KL, TES GARPUTALA RHINOSKOPI POSERIOR,


LARYNGOSCOPY INDIRECT, TES PENCIUMAN, TES BISIK, TES SUARA,
AUDIOMETRI

Pembimbing:

dr. Eman Sulaeman Sp.THT-KL

Disusun oleh:

Raka Wibisono (2016730088)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR

PROGRAM PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

KATA PENGANTAR...............................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................5

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................5

Anatomi dan Fisiologi Telinga, Hidung, dan Tenggorokkan....................................................5

2.1.1.1 Telinga Luar.........................................................................................................5

2.1.1.2 Telinga Tengah....................................................................................................6

2.1.1.3 Telinga Dalam......................................................................................................8

Pemeriksaan Fisik Telinga, Hidung, dan Tenggorokkan.........................................................22

3.1. Telinga...........................................................................................................................22

3.2. Hidung...........................................................................................................................34

3.3 Leher, Mulut, Faring dan Laring........................................................................................44

3.4 Pemeriksaan Pendengaran..................................................................................................49

BAB III.....................................................................................................................................65

KESIMPULAN........................................................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................66

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas refreshing dengan tema “PEMERIKSAAN
DASAR THT-KL, TES GARPUTALA RHINOSKOPI POSERIOR,
LARYNGOSCOPY INDIRECT, TES PENCIUMAN, TES BISIK, TES SUARA,
AUDIOMETRI” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Refreshing ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
kepaniteraan klinik Ilmu THT dalam tahun 2020, dan juga untuk memperdalam pemahaman
tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya. Penulis menyadari ketidaksempurnaan
laporan ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan
penyusunan laporan selanjutnya. Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing dr.
Eman Sulaeman, Sp. THT-KL yang telah membimbing penyusunan refreshing ini. Terima
kasih juga pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi,
analisis materi dan penyusunan refreshing ini.

Semoga laporan refreshing ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
instansi kepaniteraan klinik FKK UMJ dan Rumah Sakit Umum Daerah Sayang, Cianjur.

Jakarta, 23 Agustus 2020

Raka Wibisono

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan telinga merupakan keterampilan penting bagi berbagai


profesional medis, termasuk ahli THT, dokter perawatan primer, dokter perawatan
darurat, paramedis, dan dokter anak.

Pengetahuan tentang anatomi sistem telinga bagian luar, tengah, dan bagian
dalam sangat penting agar dokter dapat menafsirkan gejala yang mungkin samar atau
menyesatkan. Interaksi dan kedekatan anatomis telinga ke otak, dasar tengkorak, dan
saraf kranial juga harus diperhatikan, karena patologi tertentu mungkin melibatkan
struktur ini. Secara umum, kelainan telinga luar dan tengah akan menyebabkan
gangguan pendengaran konduktif, dan kelainan telinga bagian dalam akan
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural.

Pemeriksa harus mengembangkan sistem mereka saat mendekati pemeriksaan


telinga, ini menanamkan kelancaran dan struktur dan memastikan tidak ada yang
terlewat. Pemeriksa sebaiknya dilakukan dalam ruangan yang tenang, dimana tersedia
satu meja tulis dan kursi untuk pemeriksa, satu kursi pasien yang dapat berputar dan
dinaik-turunkan tingginya, sebuah meja kecil tempat meletakkan alat-alat
pemeriksaan dan obat-obatan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Telinga, Hidung, dan Tenggorokkan

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Telinga

Telinga adalah alat indra yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang ada
di sekitar kita sehingga kita dapat mengetahui / mengidentifikasi apa yang terjadi di
sekitar kita tanpa harus melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Orang yang tidak
bisa mendengar disebut tuli. Telinga kita terdiri atas tiga bagian yaitu bagian luar, bagian
tengah dan bagian dalam. 1

Gambar 1. Telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam

2.1.1.1 Telinga Luar


Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus akustikus eksternus, sampai
membran timpani. Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan
getaran udara, auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit.
Auricula juga mempunyai otot intrinsic dan ekstrinsik, yang keduanya dipersarafi oleh
N. facialis.2
Bagian selanjutnya adalah meatus akustikus eksternus atau dikenal juga dengan
liang telinga luar. Meatus akustikus eksternus merupakan sebuah tabung berkelok yang
menghubungkan auricula dengan membran timpani. Pada orang dewasa panjangnya
lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih 2,5 cm, dan dapat diluruskan untuk memasukkan
otoskop dengan cara menarik auricula ke atas dan belakang. Pada anak kecil auricula

5
ditarik lurus ke belakang, atau ke bawah dan belakang. Bagian meatus yang paling
sempit adalah kira-kira 5 mm dari membran timpani.1, 2
Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua pertiga
bagian dalam adalah tulang yang dibentuk oleh lempeng timpani. Meatus dilapisi oleh
kulit, dan sepertiga luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebasea, dan glandula
seruminosa. Glandula seruminosa ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang
menghasilkan sekret lilin berwarna coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan
barier yang lengket, untuk mencegah masuknya benda asing.1, 2
Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari n.
auriculotemporalis dan ramus auricularis n. vagus. Sedangkan aliran limfe menuju nodi
parotidei superficiales, mastoidei, dan cervicales superficiales.2
2.1.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis
yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang
berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang telinga) ke perilympha telinga
dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang
terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani. Di depan, ruang ini
berhubungan dengan nasopharing melalui tuba eustachius dan di belakang dengan
antrum mastoid.2
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,
dinding lateral, dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang
disebut tegmen timpani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis.
Lempeng ini memisahkan kavum timpani dan meningens dan lobus temporalis otak di
dalam fossa kranii media. Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang
mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini
memisahkan kavum timpani dari bulbus superior V. jugularis interna. Bagian bawah
dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang memisahkan kavum timpani
dari a. carotis interna. Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah
saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva, dan
yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. tensor tympani.
Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini diperpanjang ke belakang
pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat. Di bagian atas dinding
posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak beraturan, yaitu auditus antrum. Di
bawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis.

6
Dari puncak pyramis ini keluar tendo m. stapedius. Sebagian besar dinding lateral
dibentuk oleh membran timpani.1, 2
Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral. Permukaannya
konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang
terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop, bagian
cekung ini menghasilkan "refleks cahaya", yang memancar ke anterior dan inferior dari
umbo.2
Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm. Bagian
atas disebut pars flaksida. Bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis
dua, bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh
sel kubus bersilia. Pars tensa memiliki satu lapis lagi di bagian tengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler di bagian dalam. Membran tympan sangat peka terhadap nyeri dan permukaan
luarnya dipersarafi oleh n. auriculotemporalis dan ramus auricularis n. vagus.2,3
Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar dari
dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang disebabkan oleh
lengkung pertama cochlea yang ada di bawahnya. Di atas dan belakang promontorium
terdapat fenestra vestibuli, yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh basis stapedis. Pada
sisi medial fenestra terdapat perilympha scala vestibuli telinga dalam. Di bawah ujung
posterior promontorium terdapat fenestra cochleae, yang berbentuk bulat dan ditutupi
oleh membran timpani sekunder. Pada sisi medial dari fenestra ini terdapat perilympha
ujung buntu scala timpani.2,3
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu tulang
maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak tanpa rongga
sumsum tulang. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.
Prosessus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus,
dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea.3
Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot tensor
timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya berjalan mula-mula ke arah
posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga
timpani dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo otot
stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan

7
berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif
dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi.2
Tuba eustachius terbentang dart dinding anterior kavum timpani ke bawah, depan,
dan medial sampai ke nasopharynx. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan dua
pertiga bagian anteriornya adalah cartilago. Tuba berhubungan dengan nasopharynx
dengan berjalan melalui pinggir atas m. constrictor pharynges superior. Tuba berfungsi
menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum timpani dengan nasopharing.2
2.1.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala timpani dengan skala vestibuli.3
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di
sebelah bawah, dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan
skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala
vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissneijs membrane) sedangkan dasar
skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti.3
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam,
sel rambut luar, dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.3

G
ambar 2. Telinga Dalam

2.1.2 Anatomi Hidung

2.1.2.1 Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan
atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah

8
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) Pangkal hidung (bridge),
2) Batang hidung (dorsum nasi),
3) Puncak hidung (hip),
4) Ala nasi,
5) Kolumela,
6) Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1) Tulang hidung (os nasal)
2) Prosesus frontalis os maksila
3) Prosesus nasalis os frontal;
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3) Tepi anterior kartilago septum. 4

2.1.2.2 Anatomi hidung dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.2

9
Gambar 3. Anatomi Hidung Dalam

2.1.2.2.1 Septum nasi


Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh
os vomer, krista maksila, Krista palatine serta krista sfenoid. 2

2.1.2.2.2 Kavum nasi


Kavum nasi terdiri dari:
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filamen-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.
3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian
dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.
4. Konka

10
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.5
2.1.2.2.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.5
2.1.2.2.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal
dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium
sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya
sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.2
2.1.2.2.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.
2.1.2.2.6 Nares Posterior

11
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh
os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus.2
2.1.2.3 Sinus Paranasal
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla.2
2.1.2.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar
melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau
ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.6

Gambar 4. Kompleks Ostio Meatal

12
2.1.3 Anatomi Tenggorokkan

Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra.
Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis,
ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus.
Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring,
trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang
tenggorokan untuk mamalia.
2.1.3.1 Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak
di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan
pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf
fasilais.. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar
maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua
gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi
premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai
pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan
oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal
dengan trigonum retromolar.
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian
besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat dian gkat untuk
faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole
menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan
menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari
kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum
lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi
kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa
pasien.2,3
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat
digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf
hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf
glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.3

13
Korda timpani mempersarafi cita rasa lidah dua pertiga bagian depan, sedangkan
saraf glosofaringeus mempersarafi cita rasa lidah sepertiga bagian belakang. Cita rasa
dibagi dalam daerah-daerah tertentu. Misalnya, rasa pahit dapat dirasakan pada lidah
bagian belakang. Permukaan lidah bagian atas dibagi menjadi dua pertiga depan dan
sepertiga bagian belakang oleh garis dari papila sirkumvalata yang berbentuk huruf V
merupakan tempat asal duktus tiroglosus. Fungsi lidah untuk berbicara dan
menggerakkan bolus makanan pada waktu pengunyahan dan penelanan.2
2.1.3.2 Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum
nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan
sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).2
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior,
adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius
kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur
ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini,
merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius, masuk ke
faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus
tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf
mandibularis melalui ganglion otic.
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan
tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus

14
faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya
orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar
getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa
inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller,
kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka
foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus
asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris
dan foramen laserum dan muara tuba eustachius
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang
adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding
posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan
lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar
sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah
esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-
otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur

15
pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets),
sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung
tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis
ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring
dan laring pada tindakan laringoskopi langsung
2.1.3.3 Laring

Gambar 5. Bagian daripada laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya
ialah batas kaudal kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan
atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot.
Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas,

16
sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan
membantu menggerakkan lidah.2
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid,
kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago tiroid. Kartilago krikoid dihubungkan
dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa
lingkaran.Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan
belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi
krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago
aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat didalam
lipatan ariepiglotik, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid.2
Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid
(anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid
posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum
hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum
vokale yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum
tiroepiglotika.
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan,
sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring sendiri.2
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid), dan
ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid
ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid. Otot yang infrahioid
ialah m.sternohioid, m.omohioid dan m.tirohjoid.Otot-otot ekstrinsik laring yang
suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring
ke atas.
Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika,
m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di
bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah
m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior.2

2.1.3.3.1 Rongga Laring

17
Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya
ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah
permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut
antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya
ialah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago
krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah m.aritenoid transversus dan lamina kartilago
krikoid.3
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum
ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis
(pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotis,
sedangkan antara kedua plika ventrikularis, disebut rima vestibuli.
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu
vestibulum laring, glotik dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga laring yang
terdapat di atas plika ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotik. Antara plika vokalis
dan plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni.3
Rima glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis, dan terletak
di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak
kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotik adalah rongga
laring yang terletak di bawah pita suara (plika vokalis).
2.1.3.4 Trakea
Trakea merupakan pipa yang terdiri dari tulang rawan dan otot yang dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu bersilia, mulai dari kartilago krikoid sampai percabangan ke
bronkus utama kanan dan kiri, pada setinggi iga ke dua pada orang dewasa dan setinggi
iga ke tiga pada anak-anak.
Trakea terletak di tengah-tengah leher dan makin ke distal bergeser ke sebelah
kanan, dan masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium sterni. Trakea sangat
elastis, dan panjang serta letaknya berubah-ubah, tergantung pada posisi kepala dan
leher. Lumen trakea ditunjang oleh kira-kira 18 cincin tulang rawan yang bagian
posteriornya tidak bertemu. Di bagian posterior terdapat jaringan yang merupakan batas
dengan esofagus, yang disebut dinding bersama antara trakea dan esofagus
(tracheoesophageal party wall).3
Panjang trakea kira-kira 12 sentimeter pada pria dan 10 sentimeter pada wanita.
Diameter anteriorposterior rata-rata 13 milimeter, sedangkan diameter transversal rata-

18
rata 18 milimeter. Cincin trakea yang paling bawah meluas ke inferior dan posterior di
antara bronkus utama kanan dan kiri, membentuk sekat yang lancip di sebelah dalam,
yang disebut karina.3
Mukosa di daerah subglotik merupakan jaringan ikat jarang, yang disebut konus
elastikus. Keistimewaan jaringan ini ialah, bila terangsang mudah terjadi edema dan akan
terbentuk jaringan granulasi bila rangsangan berlangsung lama. Pada pemeriksaan
endoskopik tampak trakea merupakan tabling yang datar pada bagian posterior,
sedangkan di bagian anterior tampak cincin tulang rawan. Mukosa di atas cincin trakea
berwarna putih, dan di antara cincin itu berwarna merah muda. Pada bagian servikal dan
torakal trakea berbentuk oval, karena tertekan oleh kelenjar tiroid dan arkus aorta.3
2.1.3.5 Esofagus
Esofagus bagian servikal terletak kurang lebih pada garis tengah leher di
belakang trakea dan didepan korpus vertebra. Saraf laringeus rekurens terdapat alur
diantara esofagus dan trakea. Arteri karotis komunis dan isi selubung karotis terletak di
lateral esofagus. Pada lapisan otot faring terdapat daerah trigonum yang lemah di atas
otot krikofaringeus yang berkembang dari krikoid dan mengelilingi esofagus bagian atas.
Divertikulum yang disebut Divertikulum Zenker dapat keluar melalui daerah yang lemah
ini dan berlawanan dengan penelanan.3
2.2 Fisiologi
2.2.1 Fisiologi Pendengaran

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Reseptor-reseptor


khusus untuk suara terletak di telinga dalam yang berisi cairan. Dengan demikian,
gelombang suara hantaran udara harus disalurkan ke arah dan dipindahkan ke telinga
dalam, dan dalam prosesnya melakukan kompensasi terhadap berkurangnya energi suara
yang terjadi secara alamiah sewaktu gelombang suara berpindah dari udara ke air. Fungsi
ini dilakukan oleh telinga luar dan telinga tengah.8
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan

19
melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membrana basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis.3

2.2.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
 Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal;
 Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
 Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
 Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas;
 Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti.
Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas 3
2.2.3 Fisiologi Tenggorokan
2.2.3.1 Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-
fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
 Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut
ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap
ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang
sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah.

20
Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod
berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti
sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan
mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot
konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika
otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi.
Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk
ke lambung.1,3
 Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring
superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan. Ada yang
berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula
pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan
gerakan palatum.3
2.2.3.2 Fungsi Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta
fonasi. Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara
bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas
akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak ke
depan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. Selanjutnya m.ariepiglotika
berfungsi sebagai sfingter.3
Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri
dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu dengan refleks batuk,

21
benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga
dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan.3
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka.
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial akan
dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi
darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi
darah.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu
gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus
makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekpresikan emosi, seperti berteriak,
mengeluh, menangis dan lain-lain. Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan
membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur
oleh peregangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan
merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada
saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago
aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan,
sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis
akan menentukan tinggi rendahnya nada.3

Pemeriksaan Fisik Telinga, Hidung, dan Tenggorokkan3, 4, 9

3.1. Telinga
3.1.1. Pemeriksaan Dasar THT-KL
Anamnesis 3
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk mengenali lebih dalam dan lebih
luas keluhan utama pasien. Keluhan utama telinga dapat berupa
1. Gangguan pendengaran/pekak (tuli),
2. Suara berdenging/berdengung tinnitus),
3. Rasa pusing yang berputar (vertigo),
4. Rasa nyeri di dalam telinga (otalgia)

22
5. Keluar cairan dari tellinga (otore). Bila ditemukan salah satu keluhan
ini, maka perlu dikenali secara lebih rinci.3
 Bila ada gangguan pendengaran
Pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat diajukan antara lain:
1. Apakah keluhan tersebut pada satu atau kedua telinga?
2. Apakah timbul tiba-tiba atau bertambah berat secara bertahap?
3. Sudah berapa lama keluhan diderita?
4. Adakah riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik,
terpajan bising?
5. Apakah pernah memakai obat ototoksik?
6. Apakah pernah menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis,
influenza berat, dan meningitis?
7. Apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi?
8. Pada orang dewasa tua perlu ditanyakan apakah gangguan ini lebih
terasa ditempat yang bising atau ditempat yang lebih tenang?
9. Penyebab gangguan pendengaran: kongenital, kelainan anatomi, otitis
eksterna dan media baik akut maupun kronis, trauma, benda
asing/cerumen, ototoksis, degenerasi, noise induce, neoplasma
 Bila terdapat keluhan telinga berdenging/berdengung (tinnitus), hal yang perlu
ditanyakan adalah:
1. Apakah dirasakan di satu sisi atau kedua telinga?
2. Apakah disertai gangguan pendengaran dan pusing berputar?

Diagnosis banding tinitus: cerumen atau corpus alienum, otitis


eksterna, otitis media akut & kronis.

 Bila keluhan berupa rasa pusing berputar (vertigo) yang merupakan gangguan
keseimbangan dan rasa ingin jatuh, perlu ditanyakan:
1. Apakah disertai rasa mual, muntah?
2. Apakah disertai rasa penuh di telinga?
3. Apakah telinga berdenging? Apakah terdapat disatria?
4. Apakah terdapat gangguan penglihatan?

23
5. Apakah keluhan timbul pada posisi kepala tertentu dan berkurang
bila pasien berbaring dan akan timbul lagi bila bangun dengan
gerakan cepat?
6. Apakah terdapat riwayat penyakit seperti diabetes mellitus,
hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis?
 Bila keluhan berupa nyeri di dalam telinga (otalgia) yang perlu ditanyakan
adalah:
1. Apakah nyeri dirasakan di telinga kiri atau kanan?
2. Sudah berapa lama keluhan dirasakan?
3. Apakah terdapat nyeri di gigi atas, sendi mulut, dasar mulut, tonsil
atau tulang servikal?

Rasa nyeri di gigi molar atas, sendi mulut, dasar mulut, tonsil atau
tulang servikal dapat menandakan adanya nyeri alih ke telinga
(referred pain) karena telinga di persarafi oleh saraf sensoris yang
berasal dari organ-organ tersebut. Diagnosis banding otalgia: otitis
eksterna (difusa, furunkulosa), otitis media akut, mastoiditis.

 Apabila terdapat secret yang keluar dari liang telinga (otore) tanyakan:
1. Apakah sekret keluar dari satu atau kedua telinga?
2. Apakah disertai rasa nyeri?
3. Sudah berapa lama keluhan dirasakan?
4. Apakah sekret yang keluar berjumlah banyak atau sedikit?
5. Apakah sekret berbau busuk?
6. Apakah disertai darah?
7. Apakah cairan yang keluar seperti air jernih?

Sekret yang keluar dengan jumlah sedikit biasanya berasal dari infeksi
telinga luar sedangkan sekret yang banyak dan bersifat mukoid
umumnya berasal dari telinga tengah. Bila sekret berbau busuk
menandakan adanya kolesteatoma. Apabila sekret bercampur dengan
darah harus dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor. Bila
cairan yang keluar seperti air jernih, maka harus diwaspadai adanya
cairan likuor serebrospinal. Diagnosis banding otorrhea: MT
perforation, granulasi, polip, liang telinga, dan Infeksi pd otitis media.

24
Pemeriksaan telinga dengan tujuan untuk memeriksa mae & MT dengan
meneranginya memakai cahaya lampu. Alat yang di gunakan untuk memeriksa telinga:
Lampu kepala, Otoskop, Spekulum telinga dengan berbagai ukuran, Aplikator kapas,
Alat penghisap, Cerumen hook dan cerumen spoon, Forsep telinga, Balon politzier,
semprit telinga.

Gsmbar 6. Spekulum telinga

Pelaksanaan

Pemakaian lampu kepala:

- Pasang lampu kepala, sehingga tabung lampu berada diantara kedua mata

- Letakkan telapak tangan kanan pada jarak 30 cm didepan mata kanan

- Mata kiri di tutup

- Proyeksi tabung harus tampak terletak medial dari proyeksi cahaya dan saling
bersinggungan

- Diameter proyeksi ± 1 cm

Cara duduk

- Penderita duduk di depan pemeriksa

- Lutut kiri pemeriksa berdempetan dengan lutut kiri penderita

- Kepala dipegang dengan ujung jari

- Waktu memeriksa telinga yang kontralateral, hanya posisi kepala penderita yang di rubah

25
- Kaki, lutut penderita dan pemeriksa tetap pada keadaan semula

Cara memegang telinga kanan:

- Aurikulum dipegang dengan jari I dan II, sedang jari III, IV, V pada planum mastoid.

- Aurikulum ditarik ke arah postero superior untuk meluruskan MAE.

Cara memegang telinga Kiri:

- Aurikulum dipegang dengan jari I dan II, sedang jari III,IV, V di depan aurikulum

- Aurikulum ditarik ke arah postero superior

Cara memegang otoskop

- Pilih spekulum telinga yang sesuai dengan besar lumen MAE

- Nyalakan lampu otoskop

- Masukkan spekulum telinga pada MAE

Cara memilin kapas:

- Ambil sedikit kapas, letakkan ujung aplikator berada didalam tepi kapas.

- Pilin perlahan lahan searah jarum jam

- Untuk melepasnya, ambil sedikit kapas, putar berlawanan arah dengan jarum jam

Tes pendengaran

Tes pendengaran yang dapat dilakukan secara sederhana:

Inspeksi
a. Melihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang daun telinga (retro-aurikuler)
apakah terdapat tanda peradangan, sikatriks bekas operasi, massa, dan sekret yang keluar
dari liang telinga.

26
Gambar 7. Bentuk-bentuk daun telinga
b. Menarik daun telinga ke atas dan kebelakang (superior dorso lateral) sehingga liang
telinga menjadi lebih lurus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang telinga
dan membran timpani.
c. Pada kasus-kasus dimana kartilago daun telinga agak kaku atau kemiringan liang telinga
terlalu ekstrim dapat digunakan bantuan spekulum telinga yang disesuaikan dengan
besarnya diameter liang telinga.
d. Mengamati liang telinga apakah terdapat stenosis atau atresia meatal, obstruksi yang
disebabkan oleh sekret, jaringan ikat, benda asing, serumen obturan, polip, jaringan
granulasi, edema atau furunkel.
e. Memakai otoskop untuk melihat bagian-bagian membran timpani dengan lebih jelas.

f. Pemegangan otoskop dengan tangan kanan untuk pemeriksaan telinga kanan pasien dan
dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri.
g. Memperhatikan permukaan membran timpani, posisi membran, warna, ada tidaknya
perforasi, reflkes cahaya, struktur telinga tengah yang terlihat pada permukaan membran
seperti manubrium mallei, prosessus brevis, plika maleolaris anterior dan posterior.
 Otitis Media Akut

27
o Stadium Oklusi Tuba Eustachius, retraksi membran timpani, kadang terlihat normal
atau berwarna keruh pucat.
o Stadium Presupurasi, membran timpani hiperemis dan edema.
o Stadium Supurasi, mukosa telinga edema, eksudat purulent di kavum timpani,
membran timpani menonjol (bulging).
o Stadium Perforasi, ruptur membran timpani, sekret keluar dari liang telinga luar.
o Stadium Resolusi, membran timpani utuh, sekret mengering.
h. Pergerakan membran timpani dapat diamati dengan meminta pasien melakukan Manuver
Valsava, yaitu dengan meminta pasien mengambil napas dalam kemudian meniupkan
melalui hidung dan mulut tertutup oleh tangan. Diharapkan dengan menutup hidung dan
mulut, udara tidak dapat keluar melalui hidung dan mulut sehingga terjadi peninggian
tekanan udara di dalam nasofaring. Akibat penekanan udara, ostium tuba yang terdapat
dalam rongga nasofaring akan terbuka dan udara akan masuk ke dalam kavum timpani
melalui tuba auditiva.

Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat nyeri tekan (tragus sign),
atau nyeri tarik (heliks sign), atau terdapat tanda-tanda pembesaran kelenjar pre dan post
aurikuler.
 Otitis Eksterna: tragus sign (+), heliks sign (+)

Tes bisik

Persyaratan yang perlu diingat dalam melakukan test ini ialah:

a. Ruangan Tes. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus ada jarak sebesar 6
meter. Ruangan sunyi dan tidak ada echo (diding dibuat tidak rata atau dilapisi “soft
board”/ korden).

b. Pemeriksa. menggunakan ucapan kata-kata sesudah expirasi normal. Kata-kata yang


dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri dari kata-kata sehari-hari.
Setiap suku kata diucapkan dengan tekanan yang sama

28
c. Penderita. Mata di tutup agar tidak bisa membaca gerak bibir. Telinga yang akan di
test dihadapkan kepada pemeriksa dan telinga yang tidak sedang ditest harus ditutup
dengan kapas yang di basahi gliserin. mengulang denga keras kata yang telah di bisikkan

Teknik pemeriksaan:

a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic. Bila
tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan test ini
dimulai lagi.
b. Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan.
Jarak dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan di sebut jarak
pendengaran.
c. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan
satu jarak pendengaran.
d. Evaluasi tes

Kuantitatif
Kualitatif
Fungsi Pendengaran Suara Bisik
Normal 6m Tuli sensorineural
Dalam batas normal 5m
Sukar mendengar huruf
Tuli ringan 4m
desis (frekuensi tinggi)
Tuli sedang 3-2 m
seperti huruf s-sy-c
Tuli berat <1m

Tuli Konduktif

Sukar mendengar huruf


lunak (frekuensi rendah)
seperti huruf m-n-w

29
Tes garputala

Uji pendengaran yang dilakukan dengan memakai garputala dapat mengetahui jenis
ketulian apakah tuli konduktif atau tuli sensorineural. Pemeriksaan garputala memakai 512,
1024, dan 2048 Hz untuk pemeriksaan secara kualitatif. Bila salah satu frekuensi ini
terganggu, penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin
menggunakan ketiga garputala itu, maka diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini
tidak terlalu dipengaruhi suara bising disekitarnya. Ada 4 jenis tes garputala yang yang sering
di lakukan:

1. Tes batas atas dan batas bawah

2. Tes rinne

3. Tes weber

4. Tes schwabach

Tes tes ini memiliki tujuan khusus yang berbeda beda dan saling melengkapi

1. Tes batas atas dan batas bawah

Tujuan : Menentukan frekuensi garputala yang dapat didengar penderitas melewati


hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal.

Cara :

Semua garpultala di bunyikan satu demi satu disentuh secara lunak dan
diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garputala didekat MAE pada jarak 1-
2 cm dalam posisi tegak kedua kakinya berada pada garis penghubung meatus acusticus
externus kanan dan kiri. Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila
mendengarkan bunyi.

Interpretasi

• Normal : Medengar pada semua frekuensi.

• Tuli konduksi : Batas bawah naik

30
• Tuli sensorineural : Batas atas turun

2. Tes rinne

Tujuan : Membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu telinga
penderita

Cara : Bunyikan garputala frekuensi 512 Hz letakkan tangkainya pada planum


mastoid, (A). Setelah pasien memberi tanda bahwa ia tidak lagi mendengar penala yang
bergetar, maka lamanya hantaran tulang dicatat dan penala segera dipindahkan ke posisi (B),
sehingga garpu berjarak kira-kira satu setengah inci menyamping dari meatus akustikus
eksternus. Setelah pasien tidak lagi mendengar bunyi penala yang bergetar melalui udara,
maka catatlah hantaran udara. Pada telinga normal, penala terdengar hampir dua kali lebih
lama pada hantaran udara dibandingkan hantaran tulang.

Interpretasi

- Normal : rinne positif

- Tuli konduksi : rinne negatif

- Tuli sensorineural : rinne positif

Gambar 8. Tes Rinne

3. Tes Weber

31
Tujuan : Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita

Cara : Garputala 512 dibunyikan kemudian diletakkan tegak lurus digaris median,
penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang mendengar lebih keras.
Bila mendengar pada satu telinga disebut lateralisasi.

Interpertasi

- Normal : Tidak ada lateralisasi

- Tuli konduksi : Mendengar lebih keras di telinga yang sakit

- Tuli sensorineural : Mendengar lebih keras di telinga yang sehat

Gambar 9. Tes Weber

4. Tes schwabach

Tujuan : Membandingkan hantaran tulang pemeriksa dengan hantaran tulang pasien

Cara: Bunyikan garputala 512 Hz, menggetarakan penala lalu tangkai penala diletakkan
pada posesus mastoideus pasien sampai tidak terdengar, pada saat itu tangkai penala
segera dipindaha pada prosesus mastoideus pemeriksa yang pendengarannya normal.
Bila pmeriksa masih mendengar getaran disebut Schwabach memendek, namun bila
pemeriksan tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulangi dengan cara sebaliknya yaitu

32
penala diletakkan terlebih dahulu pada prosesus mastoideus pemeriksa lalu pindahkan ke
paisen, jika pasien masih mendengar disebut schwabach memanjang.
Schwabach yang memanjang dapat ditemukan pada kasus tuli konduktif, sedangkan
schwabach yang memendek dapat ditemukan apada kasus tuli sensorineural.

Gambar 10. Tes Schwabach

Interpretasi

• Normal : schwabach normal

• Tuli konduksi : schwabach memanjang

• Tuli sensorineural: schwabach memendek

Ringkasan interpretasi

33
Gambar 11. Ringkasan interpretasi

Tes Suara 10

Pemeriksaan dilakukan pada salah satu telinga secara bergantian dimulai dari
telinga kanan. Pasien diminta menutup telinga kirinya dengan tangan.

a. Gesekan jari-jari pemeriksa di depan telinga pasien yang tidak ditutup


dengan cepat dan lembut.
b. Tanyakan apakah pasien mendegar suara tangan pemeriksa. Bandingkan
kanan dan kiri.
c. Kemudian pemeriksa mengambil posisi di sisi pasien dengan jarak 1 meter
dari telinga pasien.
d. Pemeriksa mengucapkan kata-kata di depan telinga pasien yang tidak
ditutup, ketinggian mulut pemeriksa sejajar dengan telinga pasien. Pastikan
pasien tidak melihat gerakan bibir pemeriksa.
e. Pilih kata yang terdiri dari dua suku kata yang dikenal pasien, seperti
“bola” atau “meja” dan dapat diulang sampai 3 atau 4 kali. Jika perlu,
tingkatkan intesitas suara pemeriksa menjadi suara bisik, suara biasa, suara
keras, dan berteriak di depan aurikula (penilaian semi kuantitatif).
f. Minta pasien mengulang kata yang disebutkan pemeriksa. Nilai apakah
benar. Lakukan prosedur yang sama untuk telinga yang lain.

Interpretasi:

 Normal (0-25 dB): mendengar bisikan


 Gangguan dengar ringan (26-40 dB): Mendengar dan dapat menirukan kata
dengan suara normal
 Gangguan dengar sedang (41-60 dB): Mendengar dan menirukan kata dengan
suara keras
 Gangguan dengar berat (61-80 dB): Mendengar beberapa kata yang diteriakkan
dekat telinga
 Gangguan dengar sangat berat: Tidak mendengar suara yang diteriakkan dekat
telinga
3.2. Hidung
Anamnesis 3

34
Keluhan utama penyakit hidung atau kelainan pada hidung adalah sumbatan hidung,
sekret di hidung dan tenggorok, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan dari
hidung dan gangguan penghidu.

Bila terdapat keluhan sumbatan hidung maka hal yang perlu ditanyakan adalah :

 Sejak kapan
 Makin lama makin tersumbat/ tidak
 Disertai keluhan-keluhan lain/ tidak (gatal-gatal, bersin-bersin, rinorhea, mimisan/
tidak, berbau/tidak)
 Obstruksi hilang timbul/tidak
 Adakah sebelumnya riwayat kontak dengan bahan allergen seperti debu, tepung
sari, bulu binatang
 Adakah riwayat trauma
 Adakah pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk jangka waktu yang lama
 Apakah perokok atau peminum alkoholyang berat
 Apakah mulut atau tenggorok terasa kering

Diagnosis banding Rhinitis (akut, kronis, alergi ), Benda asing, Polyp hidung dan
tumor hidung, Kelainan anatomi (atresia choana, deviasi septum), Trauma (fraktur os nasal)

Bila terdapat keluhan secret di hidung maka hal yang perlu ditanyakan adalah:

• Apakah sekret terdapat di satu atau kedua rongga hidung?


• Bagaimana konsistensi sekret tersebut? Apakah encer, bening seperti air,
kental, nanah atau bercampur darah
• Apakah sekret ini keluar hanya pada pagi hari atau pada waktu-waktu tertentu
misalnya seperti musim hujan.

Kemungkinan:

1. Infeksi hidung : sekret jernih sampai purulent, di kedua rongga hidung


2. Alergi hidung : sekret jernih seperti air dan jumlahnya banyak
3. Sinusitis hidung : sekret kuning kehijauan
4. Tumor hidung : sekret bercampur darah dari satu sisi
5. Benda asing di hidung: pada anak bila sekret yang terdapat hanya satu
sisi dan berbau kemungkinan terdapat benda asng di hidung

35
6. Post nasal drip : sekret dari hidung yang turun ke tenggorok
kemungkinan berasal dari sinus para nasal

Bila terdapat keluhan bersin maka hal yang perlu ditanyakan adalah :

 Apakah bersin ini timbul akibat menghirup sesuatu?


 Apakah disertai keluarnya sekret yang encer dan rasa gatal di hidung,
tenggorok, mata dan telinga?

Bila terdapat keluhan rasa nyeri di daerah muka dan kepala maka hal yang
perlu ditanyakan adalah:

 Apakah rasa nyeri atau rasa berat dirasakan pada saat menundukan
kepala?
 Berapa lama rasa nyeri dirasakan?

Nyeri di darah dahi, pangkal hidung, pipi, dan tengah kepala merupakan
tanda-tanda infeksi sinus (sinusitis).

Bila terdapat keluhan perdarahan dari hidung, hal yang perlu ditanyakan
adalah:

 Sejak kapan keluhan dirasakan?


 Sudah berapa kali keluhan dirasakan?
 Apakah mudah dihentikan dengan cara memencet hidung saja atau
tidak?
 Adakah riwayat trauma hidung/muka sebelumnya?
 Apakah menetes/memancar?
 Apakah disertai lender atau tidak?
 Apakah disertai bau atau tidak?
 Apakah disertai gejala lain seperti panas, batuk, pilek, suara sengau?
 Apakah terdapat penyakit kelainan darah, hipertensi dan pemakaian
obat-obatan anti koagulansia?

Bila terdapat gangguan penghidu maka ditanyakan:

 Apakah sebeumnya terdapat riwayat infeksi hidung?

36
 Apakah terdapat riwayat trauma kepala?
 Sudah berapa lama keluhan dirasakan?

Pemeriksaan Fisik

Cara pemeriksaan hidung. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk
memeriksa keadaan hidung dan yaitu:

• Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi.

• Rhinoskopi anterior.

• Rhinoskopi posterior.

Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :

- Kerangka dorsum nasi (batang hidung).

- Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.

- Bibir atas.

Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada
inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

- Lorgnet pada abses septum nasi.

- Saddle nose pada lues.

- Miring pada fraktur.

- Lebar pada polip nasi.

- Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat
tersebut.

- Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung &
sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan
adenoiditis.

37
Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :

• Dorsum nasi (batang hidung).

• Ala nasi.

• Regio frontalis sinus frontalis.

• Fossa kanina.

• Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi
hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.

• Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat
kita temukan pada furunkel vestibulum nasi.

Rhinoskopi Anterior

Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :

- Cermin rinoskopi posterior.

- Pipa penghisap.

- Aplikator.

- Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).

- Spekulum hidung Hartmann.

- Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi
cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan.

Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri
dalam posisi horisontal. Tangkainya di pegang di bagian lateral, sedangkan mulutnya di
medial.

Untuk memasukkan spekulum à mulut spekulum dalam keadaan tertutup, masukkan ke


dalam kavum nasi.dan mulut speculum di buka pelan-pelan.

38
Untuk mengeluarkan à masih dalam kavum nasi, menutup mulut spekulum kira-kira
90%.

5 tahap pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu:

- Pemeriksaan vestibulum nasi.

- Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.

- Fenomena palatum mole.

- Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.

- Pemeriksaan septum nasi.

Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rhinoskopi Anterior

3 hal penting kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan sebelum


menggunakan spekulum :

• Posisi septum nasi.

• Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.

• Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.

àCara kita memeriksa posisi septum nasi adalah dengan mendorong ujung hidung
pasien menggunakan ibu jari.

• Spekulum hidung digunakan untuk pemeriksaan vestibulum nasi dengan tujuan melihat
keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi.

• Sisi medial vestibulum nasi àmendorong spekulum ke arah medial.

• Sisi lateral vestibulum nasi àmendorong spekulum ke arah lateral.

• Sisi superior vestibulum nasi àterlihat lebih baik àmendorong spekulum ke arah
superior.

• Sisi inferior vestibulum nasià lebih jelasà mendorong spekulum ke arah inferior

• Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum hidung, kita


perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.

39
Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Bawah pada Rinoskopia Anterior

• Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah à mengarahkan cahaya
lampu kepala ke dalam kavum nasi yang searah dengan konka nasi media.

Ada empat hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung)
bagian bawah, yaitu :

• Warna mukosa dan konka nasi inferior.

• Besar lumen lubang hidung.

• Lantai lubang hidung.

• Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.

Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior

Cara memeriksa fenomena palatum mole yaitu dengan mengarahkan cahaya


lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara tegak lurus. Normalnya yaitu
terlihat cahaya lampu yang terang benderang. Pada saat pasien diminta mengucapkan
“iii” gerakan palatum mole àperubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih
gelap ßcahaya lampu kepala tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang
nasofaring. pasien mengucapkan “iii”àpalatum mole bergerak ke bawah àbenda gelap
menghilang dan dinding belakang nasofaring terang kembali.

Fenomena palatum mole positif àpalatum mole bergerak saat pasien mengucapkan “iii”
àtampak benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring menjadi
lebih gelap. Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu :

• Paralisis palatum mole pada post difteri.

• Spasme palatum mole pada abses peritonsil.

• hipertrofi adenoid

• Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid.

Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia Anterior

40
Memeriksa kavum nasi bagian atas dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam
kavum nasi bagian atas pasien.

4 hal penting pada pemeriksaan kavum nasi bagian atas, yaitu :

• Kaput konka nasi media.

• Meatus nasi medius : Pus dan polip.

• Septum nasi bagian atas : Mukosa dan deviasi septi.

• Fissura olfaktorius.

• Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita temukan sampai menekan konka
nasi media pasien. Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior, Kita dapat
menemukan septum nasi berbentuk krista, spina dan huruf S.

Rhinoskopi Posterior

Prinsip rinoskopi posterior adalah menyinari koane dan dinding nasofaring dengan
cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring.

• Syarat-syarat melakukan rhinoskopi posterior :

• Penempatan cermin.

– Ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring à menempatkan cermin.

– Lidah pasien tetap berada dalam mulutnya.

– Menekan lidah dengan spatula (spatel).

• Penempatan cahaya.

– Ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring pasien à cahaya lampu dapat masuk
dan menerangi nasofaring.

– Cara bernapas melalui hidung.

• 4 alat dan bahan yang digunakan pada rhinoskopi posterior :

– Cermin kecil.

41
– Spatula.

– Lampu spritus.

– Solusio tetrakain (- efedrin 1%).

Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior:

• Cermin kecil pegang tangan kanan.

• Terlebih dahulu memanaskan dengan lampu spritus

• Pasien buka mulutnya lebar-lebar. Lidah didalam mulut, jangan digerakkan dan
dikeraskan.

• Bernapas melalui hidung.

• Spatula pegang tangan kiri. Ujung spatula tempatkan pada punggung lidah depan uvula.
Punggung lidah tekan ke bawah di paramedian kanan lidah àterbuka ruangan untuk
menempatkan cermin kecil dalam nasofaring.

• Masukkan cermin kedalam faring, tempatkan antara faring dan palatum mole kanan
pasien.

• Sinari Cermin.

• Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu
tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.

• 4 tahap pemeriksaan saat melakukan rinoskopia posterior :

– Tahap 1 : Pemeriksaan tuba kanan.

– Tahap 2 : Pemeriksaan tuba kiri.

– Tahap 3 : Pemeriksaan atap nasofaring.

– Tahap 4 : Pemeriksaan kauda konka nasi inferior.

Tahap 1 : Pemeriksaan tuba kanan.

- Cermin berada di paramedian à memperlihatkan keadaan kauda konka nasi media


kanan.

42
- Putar Tangkai cermin ke medial àtampak margo posterior septum nasi. Putar ke
kanan,àberturut-turut tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar),
kauda konka nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.

Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri

- Putar tangkai cermin ke medialà tampak margo posterior septum nasi. Putar cermin
terus ke kiriàtampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.

Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring

- Putar tangkai cermin ke medialàTampak margo posterior septum nasi.

- Memasukkan tangkai cermin sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita
rendahkanàmemeriksa atap nasofaring

Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior

- Memeriksa kauda konka nasi inferior àcermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin
sedikit direndahkan.

- Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali hipertrofi à tampak seperti
murbei (berdungkul-dungkul).

Dua kelainan yang penting kita perhatikan pada rhinoskopi posterior :

- Peradangan. Misalnya pus meatus nasi medius & meatus nasi superior, adenoiditis, dan
ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC).

- Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.

Tiga sumber masalah pada rinoskopi posterior, yaitu :

- Pihak pemeriksa : Tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.

- Pihak pasien : Cara bernapas dan refleks muntah.

43
- Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.

Gambar 11. Rhinoskopi Posterior

Tes Penciuman Sederhana

a. Tes Alkohol

Bahan dan Alat:

1. Alcohol prep pad (standard 70% isopropyl alcohol pad)

2. Penggaris

Prosedur:

1) Tes dilakukan pada ruangan tertutup yang bebas dari pengharum ruangan, AC
atau kipas angin
2) Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan

3) Alcohol pad dibuka dan pasien diminta untuk mengenali bau

4) Pasien diminta untuk menutup kedua mata dan pad secara perlahan dinaikkan
dari posisi setinggi umbilikus hingga hidung dengan inhalasi normal
5) Dihitung jarak (dalam cm) dari pertama kali terdeteksi alcohol pad sampai
hidung

Interpretasi:

1. Normosmia : terdeteksi pada jarak > 10 cm

44
2. Hiposmia : terdeteksi pada jarak 5-10 cm

3. Hiposmia berat : terdeteksi pada jarak < 5 cm

4. Anosmia : tidak terdeteksi sama sekali

Bila didapatkan hasil anosmia, pemeriksaan dikonfirmasi dengan tes ammonia


untuk menentukan apakah pasien benar-benar anosmia atau pura-pura.

b. Tes Ammonia

Bahan dan Alat:

Ammonia
Prosedur:

1. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan


2. Ammonia secara cepat ditempatkan di depan hidung
3. Dinilai apakah pasien merasakan efek menyengat dan stimulus lakrimal atau
tidak
Interpretasi:

1. Anosmia murni : Terdapat efek menyengat dan stimulus lakrimal

2. Anosmia malingering : Menyangkal adanya efek menyengat dan stimulasi lakrimal

3.3 Leher, Mulut, Faring dan Laring

Anamnesis 3
Untuk menggali keluhan lebih dalam dan luas diperlukan anamnesis yang
terarah. Keluhan utama pada faring dapat berupa nyeri tenggorok, nyeri menelan
(odinofagia), rasa banyak dahak di tenggorok, sulit menelan (disfagia), rasa ada yang
menyumbat atau mengganjal.

Nyeri tenggorok. Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah
nyeri tenggorok ini disertai dengan demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering.
Apakah pasien merokok dan berapa jumlahnya perhari

Nyeri menelan (odinofagia) merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu


gerakan menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.

45
Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya
inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lender, pus atau bercampur
darah. Dahak ini dapat turun, keuar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.

Sulit menelan (disfagia) sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair
atau padat. Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat.

Rasa sumbatan di leher (sense of lump in the neck) sudah berapa lama,
tempatnya dimana.

 LEHER
Inspeksi
- Posisi kepala dan leher
- Simetris dari muscular servikalis
- Posisi trakea tampak digaris tengah
- Vena-vena servikalis tampak membesar
- Kulit leher anterior dan lateral untuk menetukan lesi-lesi, warna atau jaringan parut
- Pergerakan tulang belakang servikalis
 Fleksi anterior dan lateral
 Ekstensi
 Rotasi

Palpasi
- Pemeriksaan kelenjar Limfa bagian leher
Pemeriksaan kelenjar limfa bagian leher dilakukan dengan cara palpasi dimana
posisi pemeriksa berada dibelakang penderita dan dilakukan secara sistematis/ berurutan
mulai dari submental berlanjut kearah angulus mandibula, sepanjang muskulus
sternokleidomastoid, klavikula dan diteruskan sepanjang saraf assesorius. Bila terdapat
pembesaran kelenjar limfa, tentukan ukuran, bentuk, konsistensi, nyeri tekan, perlekatan
dengan jaringan sekitarnya dan lokasinya. Kelenjar leher pada umumnya baru teraba
apabila ada pembesaran lebih dari 1 cm.

46
- Trakhea
Dengan ujung-ujung jari, temukan tulang hyoid yang keras tetapi agak dibelakang,
inferior tehadap dasar mulut. Beregerak kebawah kekartilago tiroid yang lebih besar.
Sekurangnya dua cincin trakea harus dapat diraba dibawah kartilago tiroid yang lebih
besar. Sekurangnya dua cincin trakea harus dapat diraba dibawah kartilago. Apakah
semua struktur terletak digaris tengah atau simetris
- Tonsil dan Faring
Penderita diinstruksikan untuk membuka mulut, perhatikan struktur di kavum oris
mulai dari gigi geligi, palatum, lidah, bukkal. Lihat ada tidaknya kelainan berupa
pembengkakan, hiperemis, massa, atau kainan kongenital. Lakukan penekanan pada
lidah secara lembut dengan spatel lidah. Perhatikan strukturarkus anterior dan superior,
tonsil, dinding dorsal faring. Deskripsikan kelainan-kelainan yang tampak. Dengan
menggunakan sarung tangan lakukan palasi pada daerah mukosa bukkal, dasar lidah
daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-kelaian dalam rongga mulut.
a. Memeriksa besar tonsil
Besar tonsil ditentukan sebagai berikut :
T0 : Tonsil telah diangkat

47
T1 : Bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula
T2 : Bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3 : Bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula
T4 : Bila besarnya mencapai uvula atau lebih
b. Memeriksa mobilitas tonsil
Digunakan 2 spatula
o Spatula 1 : Posisi sama dengan diatas
o Spatula 2 : Posisi ujungnya vertikal menekan jaringan peritonsil, sedikit lateral dari arkus
anterior
o Pada tumor tonsil : Fiksasi
o Pada tonsillitis kronik : Mobile dan sakit
c. Memeriksa patologi faring :
o Faringitis akut : Semua merah
o Faringitis kronik : Hanya granulae merah

 Laring
Anamnesis
Untuk menggali keluhan lebih dalam dan luas diperlukan anamnesis yang terarah.
Keluhan utama pasien dapat berupa suara serak, batu, disfagia, rasa ada sesuatu di leher.

Suara serak (disfoni) atau tidak keluar suara sama sekali (afoni) sudah berapa
lama dan apakah sebelumnya menderita peradangan di hidung atau tenggorok. Apakah
keluhan ini disertai dengan batuk, nyeri, dan penurunan berat badan.

Batuk yang diderita pasien sudah berapa lama dan apakah ada faktor pencetus
seperti rokok, udara yang kotor serta kelelahan. Apa yang dibatukkan, dahak kental,
bercampur darah dan jumlahnya. Apakah pasien merokok.

Disfagia atau sulit menelan sudah diderita berapa lama, apakah tergantung dari
jenis makanan dan keluhan ini makin lama makin bertambah berat.

Rasa ada sesuatu di tenggorok merupakan keluhan yang sering dijumpai dan
perlu ditanyakan sudah berapa lama diderita, apakah ada keluhan lain yang menyertai
serta hubungannya dengan keletihan mental dan fisik.

Inspeksi :

48
Diperhatikan warna dan keutuhan kulit, serta benjolan yang ada pada daerah leher sekitar
laring. Suatu benjolan yang mengikuti gerakan laring adalah struma dan kista duktus
tireoglossus.
Palpasi berguna untuk :
- Mengenal bagian - bagian dari kerangka laring (kartilago hyoid, kartilago tiroid,
kartilago krikoid) dan gelang-gelang trakea.
- Apakah ada udem, struma, kista, metastase. Susunan abnormal dijumpai pada fraktur dan
dislokasi.
- Laring yang normal, mudah sekali digerakkan kekanan dan kekiri oleh tangan pemeriksa.

Laringoskopi Indirect

Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Kaca laring
dihangatkan dengan lampu spiritus, Sebelum dimasukkan suhu kaca di tes terlebih
dahulu dengan menempelkan pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Sambil
membuka mulut, instruksikan penderita untuk menjulurkan lidah sejauh mungkin ke
depan. Setelah dibalut dengan kasa steril lidah kemudian difiksasi diantara ibu jari dan
jari tengah. Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal.

Kemudian masukkan cermin laring yang sesuai yang sebelumnya telah dilidah
apikan ke dalam orofaring. Arahkan cermin laring ke daerah hipofaring sedemikian rupa
sehingga tampak struktur di daerah hipofaring yaitu : epiglottis, valekula, fossa
piriformis, plika eriepiglotika, aritaenoid, plika ventrikularis dan plika vocalis. Untuk
melihat pergerakan pita suara aduksi, pasien diminta mengucapkan “iii” sedangkan untuk
melihat pergerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik pasien diminta untuk
melakukan inspirasi dalam. Pemeriksaan menggunakan kaca laring ini disebut dengan
laringoskopi indirect/ tidak langsung.

Dalam pemeriksaan laring ini, untuk mengurangi rasa sakit, dapat diberikan obat
anestesi silokain yang disemprotkan ke bibir, rongga mulut, dan lidah pasien.
Pemeriksaan laring juga dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop 70o yang kaku
dengan disambungkan ke TV monitor atau fleksibel endoskop dengan monitor video
(laringoscopy video).

49
Gambar 12. Pemeriksaan laringoskopi Indirect

3.4 Pemeriksaan Pendengaran

Pemeriksaan pendengaran adalah tes yang dilakukan untuk menentukan tingkat


kemampuan mendengar seseorang. Apakah ada pada ambang normal, kurang atau lebih.
Anda mungkin tidak melihat diri anda sebagai orang dengan gangguan pendengaran. Anda
hanya mengalami kesulitan memahami apa yang orang katakan dalam situasi bising. Ada
berbagai macam tes pendengaran, antara lain:
Audiometri
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Audiometri tidak hanya dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran,
tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Uji audiometri terdiri dari beberapa macam, antara
lain:

1. Pure tone Audiometry (Audiometri nada murni)


Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal seperti ini,
nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (white noise), frekuensi, intensitas
bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, standar ISO dan ASA, notasi pada
audiogram, jenis dan derajat ketulian serta gap dan masking.
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audimeter. Bagian dari audiometer
tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk
memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC (hantaran
tulang).

50
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis
lurus penuh (intesitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu
dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk
telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan telinga kanan, warna merah.

Gambar 13. Tes Audiometri

Jenis dan Derajat Ketulian Serta Gap Pada Audiogram Telinga:


Pada interpretasi audiogram harus ditulis telinga yang mana, apa jenis
ketuliannya, bagaimana derajat ketuliannya, misal : telinga kiri tuli campura sedang.
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran
udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian ISO :
o 0 – 25 dB = normal
o > 25 – 40 dB = tuli ringan
o > 40 – 55 dB = tuli sedang
o > 55 – 70 dB = tuli sedang berat
o > 70 – 90 dB = tuli berat
o > 90 dB = tuli sangat berat
Jenis ketulian :
o Normal :

51
AC dan BC sama atau < 25 dB, atau AC dan BC berimpit,
tidak ada gap
o Tuli perseptif (sensorineural)
AC dan BC > 25 dB, atau AC dan BC berimpit (tidak ada gap)
o Tuli konduktif
BC normal atau < 25 dB, atau > 25 dB, atau antara AC dan BC
terdapat gap
o Tuli campur
BC > 25 dB, atau AC > BC terdapat gap
2. Play Audiometri (Audiometri Anak)
Bertujuan untuk menilai ambang pendengaran berdasarkan respons yang telah
dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap stimulus bunyi. Stimulus
bunyi diberikan melalui earphone sehingga dapat diperoleh ambang pada masing-
masing frekuensi (frequency-specific) dan masing - masing telinga (ear specific).
Dengan Teknik sini, dapat ditentukan jenis dan derajat ganggguan pendengaran.
Dilakukan untuk anak usia 30 bulan - 5 tahun. Prosedur pemeriksaan yaitu, terlebih
dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatan bermain, misalnya
memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anak mendengar suara dengan
intensitas (kekerasan bunyi) tertentu. Selanjutnya intensitas diturunkan sampai
diperoleh intensitas terkecil di mana anak masih memberikan respons terhadap
bunyi. Bila suara diganti dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech
reception threshold (SRT).

Langkah-langkah CPA:
1. Dengan bantuan pemeriksa, anak memegang benda misalnya balok, berdekatan
dekat dengan telinga namun tidak sampai menyentuh.
2. Stimulus auditori yang telah diketahui di atas ambang anak diberikan dan
pemeriksa mengarahkan tangan anak untuk membuat respon seperti menjatuhkan
balok dalam suatu kontainer. Pada awalnya stimulus dapat diberikan intensitas
tinggi dari headset portabel. Hadiah diberikan bila anak dapat berespon.
3. Kondisi ini berlanjut terus sampai anak memperlihatkan perilaku (jatuhnya balok
pada kontainer atas keinginan sendiri).
4. Earphone digunakan pada anak dan tes dilanjutkan dengan 500 dan 2000
Hzuntuk yang pertama, kemudian 1000 dan 4000 Hz untuk setiap telinga.

52
Gambar 14. Contoh pemeriksaan play audiometri

3. Speech Audiometry (Audiometri Tutur)

Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran yang menggunakan kata-kata


terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi,
untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur
hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disni sebagai alat uji pendengaran
digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut
dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan
dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang
diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam
atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer
tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setip kata yang didengar, dan
apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin
dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa mencatata presentase
kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini
dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-
kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yanag
diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi
kemampuan pendengaran yaitu :

53
a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata
yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang
lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan
desibel (dB).

b) Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan


bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan
nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah
persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan
intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri
nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak
saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.

Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-


kata yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai
50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.

Kriteria orang tuli :

 Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB


 Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB
 Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB
 Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB

Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila


seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan
alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada diamplifikasi,
dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya semua tes
pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara
minimal sunyi. Karena kita memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan
intensitas lemah, kalau ada gangguan suara pasti akan mengganggu
penilaian. Pada audiometri tutur, memng kata-kata tertentu dengan vokal
dan konsonan tertentu yang dipaparkan kependrita. Intensitas pad
pemerriksaan audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40
dB dan seterusnya, bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti

54
pendengaran baik. Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja perlu
pemeriksaan telinga : apakah congok atau tidak (ada cairan dalam telinga),
apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga,
untuk menentukan penyabab kurang pendengaran.
2.3.1 Free Field Test (FFT)
1. Behavioral Observational Audiometry (BOA)
Pemeriksaan pendengaran yang subjektif karena respon dari bayi dan anak tidak
konsisten. Namun demikian pemeriksaan behavioral memiliki kemampuan frekuensi
spesifik. Tentu saja, nilai sensitivitas dan spesifitasnya kurang dibandingkan
pemeriksaan objektif seperti OAE dan BERA. Idealnya dilakukan di ruang kedap suara,
bila tidak tersedia dapat di ruangan biasa tetapi cukup tenang. Bila tidak tersedia sarana
pemeriksaan yang lebih objektif, dapat dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan
misalnya Pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation
Audiometry (BOA). Pada anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioral juga
dapat dilakukan untuk konfirmasi pemeriksaan objektif yang telah dilakukan, terutama
bila menghadapi kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang bersifat frequency
spesific.
Tujuan BOA yaitu menentukan ambang pendengaran berdasarkan Unconditioned
responses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk menilai bayi/anak 0 - 6
bulan.

Persyaratan BOA:
 Pemeriksaan di ruang kedap suara
 Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa
 Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang pandangan
 Stimulus : Audiometer + loud speaker
 Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter

Langkah-langkah BOA:
1. Anak duduk diantara 2 pengeras suara. Lebih baik pada ruangan yang kedap suara.
Apabila anak tidak mau dipisahkan dari orang tuanya, anak dapat diletakan
dipangkuan orang tuanya. Orang tua diintruksikan untuk tidak memicu

55
anak untuk bergerak, akan lebih baik bila anak duduk di kursi kecil atau kursi tinggi
untuk membatasi pergerakannya.
2. Untuk menjaga ruang tes tetap sunyi, suara percakapan dan suara lain harus
minimal. Anak dialihkan perhatiannya dengan melihat gambar atau bermain dengan
mainan yang tidak bersuara. Audiologist mengarahkan aktifitas anak.
3. Stimulus (tutur, warbled tone, atau nada sederhana) diperdengarkan pertama kali
pada 0 dbHL. Apabila tidak ada respon (perubahan tingkah laku) yang terlihat,
intensitas dinaikan setiap 10 dB hingga timbul respon. Prosedur ini diulang 2-3 kali.
(misal terjadi respon pada 30 dB, maka pada 30 dB diulang 2-3 kali). Ketika
menggunakan stimulus nada murni, digunakan 500 dan 2000 Hz untuk pertama
kali. Apabila anak masih kooperatif, frekuensi pada 1000 dan 4000 Hz juga di tes
pada anak tersebut.
4. Perubahan perilaku termasuk menolehkan kepala atau melokalisasi smber bunyi,
memulai aktifitas atau berhenti beraktifitas, melebarnya mata atau mengedip,
meningkat menurunan frekuensi menyusui, meningkatnya respirasi, mengeluarkan
suara atau mencari sumber bunyi, Interval waktu antar stimulus harus bervariasi
untuk menghindari pola. Penting untuk melihat anak antara stimulus untuk
menentukan seberapa sering perubahan perilaku terjadi tanpa adanya stimulus.
Apabila ragu anak tersebut berespon atau tidak, intensitas harus dinaikan dan
perubahan perilaku lebih jelas apabila anak berespon.
5. Untuk menghindari kelelahan, tes harus dilakukan secepat mungkin, apabila tidak
ada respon ynag terlihat pada intensitas rendah, stimulus yang intens harus
dilakukan untuk merangrang respon kaget.

Keterbatasan BOA yaitu tidak dapat menentukan threshold (ambang


pendengaran). Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA, tetapi
menggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya
(misalnya bertepuk tangan)

56
Gambar 14. Contoh ruangan pemeriksaan BOA

Tes Ewing, merupakan tes distraksi dengan mengamati respon anak


berupa menolehnya kepala tanpa conditioning dengan menggunakan 6 jenis
stimulus yang diberikan pada jarak 1 m di belakang anak :
1. Bunyi : “ psss-psss “ untuk menggambarkan suara frekuensi tinggi
2. Suara frekuensi rendah : “ uuh - uuh ”
3. Suara sendok dan cangkir (white noise)
4. Suara remasan kertas (frekuensi 6000 Hz)
5. Suara bel (frekuensi puncak 2000 Hz)
6. Mainan ‘giring-giring’ (frekuensi puncak 4000 Hz)

Pada prinsipnya ada 4 jenis stimulus yang dipakai untuk refleks


orientasi bayi terhadap suara:
. Suara manusia atau kata-kata (live voice)
∙ Bunyi alat musik : Perkusi ( genderang ), bel, triangle
∙ Alat tiup : 120-1900 Hz
∙ Suara-suara yang mudah dikenal : bunyi decak mulut, ketukan pintu,
remasan kertas atau plastik

Noise maker sederhana yang dapat dipakai untuk tes BOA:


∙ Bola ping-pong diisi 6 butir beras panjang, 40 dB, 10 cm dibelakang
telinga
anak diberi tangkai untuk pegangan ; tangkai diputar2 secara perlahan
∙ Terompet 100 dB, 10 cm dibelakang telinga anak

57
∙ Plastik diremas-remas, 40 dB, 10 cm dibelakang telinga
∙ Menggesek tepi cangkir dengan sendok 4000 Hz
∙ Mengetuk dasar cangkir dengan sendok 900 Hz
∙ Suara mulut ‘sssss” 4000 Hz
∙ Suara mulut ‘oe-oe-oe” 250 Hz

2. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)


VRA bertujuan untuk menentukan ambang pendengaran bayi 7-30 bulan dengan
menilai conditioned response (respons yang telah dilatih terlebih dahulu). Pemeriksaan
ini dapat digunakan untuk menentukan ambang pendengaran. Keterbatasan : karena
stimulus berasal dari pengeras suara (loudspeaker), maka ambang yang diperoleh
menunjukkan kondisi telinga yang lebih baik. 4181. Prosedur pemeriksaan yaitu, bayi
dilatih terlebih dahulu untuk memberikan respons khusus (misal memutar kepala)
terhadap stimulus bunyi dengan kekerasan bunyi (intensitas ambang dengar yaitu
stimulus terkecil yang masih menghasilkan respon.

Langkah-langkah VRA :

1. Ruangan tes diatur dengan meletakan speaker berwarna hitam di sudut ruangan. Di
dalam speaker tersebut dapat muncul ilumiasi cahaya yang bergerak (missal
pergerkan boneka menabuh gendang yang mengeluarkan cahaya dan suara).
2. Anak didudukan sendirian pada kursi atau pangkuan orang tua diantara dua speaker.
Anak dialihkan perhatiannya dengan melihat gambar atau bermain dengan mainan
yang tidak bersuara.
3. Stimulus (tutur, warbled tone, or nada sederhana) diperdengarkan pertama kali pada
70 dbHL diatas perkiraan ambang dengar anak dan kotak yang mengandung mainan
diberikan cahaya. Perhatian anak dialihkan dengan melihat mainan tersebut. Kondisi
ini berlanjut terus dan stimulus auditori berganti-ganti diantara speaker dengan
stimulus auditori dan visual ditampilkan secara simultan untuk jangka waktu 3-4
detik.
4. Apabila anak terkondisikan, stimulus auditori ditampilkan tanpa rangsang visual.
Mainan yang bercahaya di dalam kotak pengeras suara, hanya sebagai hadiah untuk

58
anak apabila terdapat rangsang. Prosedur ini terus berlangsung dengan intensitas
stimulus semakin menurun hingga anak tidak berespon.

2.3.2 Electro Acoustic Impedance


1. Timpanometri
Tes Timpanometri
Timpanometri dilakukan untuk mengetahui keadaan di telinga tengah. Misalnya,
apakah ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain), kekakuan
gendang telinga atau bahkan gendang telinga terlalu lentur. Alat yang digunakan dalam
pemeriksaan timpanometri adalah timpanometer.
Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relatif
sistem timpano osikular sementara tekanan udara di liang telinga diubah-ubah.
Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan udara normal, dan berkurang jika tekanan
udara ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal atau dengan
gangguan sensorineural akan memperlihatkan sistem timpano osikular yang normal.
Gambaran hasil timpanometri tersebut adalah:
• Tipe A mengindikasikan bahwa kondisi telinga tengah normal.
• Tipe B terdapat cairan di telinga tengah.
• Tipe C terdapat gangguan fungsi tuba eustachius.
• Tipe AD terdapat gangguan rangkaian tulang pendengaran.
• Tipe AS terdapat kekakuan pada tulang pendengaran (otosklerosis)

1. Acoustics Reflex (Refleks Akustik)


Pemeriksaan reflek akustik terpenting adalah reflek kokleopalpebral dan reflek
muskulus stapedius atau middle ear muscle reflexes (MEMR). MEMR memberikan
informasi dalam menilai fungsi membran timpani dan keseluruhan sistem auditorik.
Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa MEMR pada manusia merupakan suatu
fenomena yang stabil dan dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang cukup sempurna
untuk menilai fisiologi otot telinga tengah dan keseluruhan sistem auditorik.
Prinsip Dasar Pemeriksaan Reflek Akustik Pemeriksaan reflek akustik
merupakan pengukuran kontraksi muskulus stapedius sebagai respon dari stimulus
akustik dengan intensitas tinggi (70-100 dB diatas nilai ambang), kekuatan kontraksi
akan meningkat seiring dengan peningkatan intensitas suara. Ketika muskulus stapedius

59
kontraksi, terjadi peningkatan kekakuan tulang pendengaran yang mempengaruhi
immittance telinga tengah dalam waktu yang cepat dan terjadi pada kedua sisi telinga,
ipsilateral sedikit lebih kuat dengan nilai ambang yang lebih rendah. Perubahan
immittance telinga tengah tersebut dapat dideteksi menggunakan audiometri impedans
sebagai MEMR atau biasa disebut dengan reflek akustik.

Jaras Pemeriksaan Reflek Akustik


Perjalanan jaras dari pemeriksaan reflek akustik terdiri dari reseptor, neuron aferen,
pusat reflek, neuron eferen dan efektor (gambar 5). Reseptor adalah koklea sedangkan
efektor adalah muskulus stapedius. Pusat reflek di pons bagian kaudal tepatnya di
nukleus olivarius, yang merupakan tempat lintasan neuron aferen menuju ke neuron
eferen.16, 25, 26 Komponen aferen adalah nervus koklearis yang merupakan sel bipolar
ganglion spiralis di dalam kanalis spiralis mediolus pada sisi yang terstimulasi, akson
sentral ganglion spiralis memasuki batang otak bersama-sama dengan nervus
vestibularis di dalam sulkus di bawah pons lalu berlanjut ke nucleus koklearis (nukleus
ventral dan nucleus dorsal nervus koklearis) di pons.16, 25, 26 Dari nucleus koklearis
ventral ipsilateral jaras utama berlanjut ke sebelah lateral korpus trapezoid di
anterior formasio retikuler yaitu nukleus olivarius superior ipsilateral yang
berhubungan dengan berbagai nukleus nervus kraniales (nukleus N.V dan N.VII)
melalui fasikulus longitudinal medialis dan pedunkulus olivarius superior. Pada
akhirnya, jaras dari nukleus olivarius superior ipsilateral menuju ke nukleus motorik
N.VII dan komponen eferen yaitu N.VII yang mensarafi muskulus stapedius ipsilateral.
Beberapa jaras yang berasal dari nukleus koklearis ventral mengadakan penyilangan ke
arah berlawanan bersama dengan bentukan terakhir korpus trapezoid di nukleus
olivarius superior kontralateral dan berlanjut ke komponen eferen kontralateral. Dari
nukleus koklearis ventral ipsilateral terdapat jaras yang langsung menuju ke daerah di
sisi medial nukleus motorik N.VII dan N.VII yang mengakibatkan kontraksi muskulus
stapedius ipsilateral. Beberapa jaras dari nukleus olivarius superiormengadakan
penyilangan ke arah berlawanan menuju ke nukleus motorik N.VII dan N.VII
kontralateral.

Jenis Pemeriksaan Reflek Akustik

60
Terdapat 2 jenis pemeriksaan reflek akustik yaitu ipsilateral dan kontralateral. Pada
pemeriksaan reflek akustik ipsilateral pada telinga yang sama dilakukan pemberian
stimulus akustik maupun pemeriksaan respon muskulus stapedius. Jalur yang diperiksa
meliputi telinga tengah, koklea, N. VIII, nukleus koklearis ventral, nukleus olivarius
superior, N. VII beserta nukleus otoriknya dan muskulus stapedius, kesemuanya pada sisi
ipsilateral. Pada pemeriksaan reflek akustik kontralateral, satu sisi telinga diberikan
stimulus akustik sedangkan pada telinga yang berlawanan dilakukan pemeriksaan respon
muskulus stapedius. Jalur yang diperiksa meliputi telinga tengah, koklea, N. VIII,
nukleus koklearis ventral bagian ipsilateral, jalur yang menyilang korpus trapezoid,
nukleus olivarius superior kontralateral, N.VII beserta nukleus motoriknya dan
muskulus stapedius kontralateral.

Penilaian dan Interpretasi Pemeriksaan Reflek Akustik


Terdapat 3 hal penting dalam rangka penilaian dan interpretasi pemeriksaan reflek
akustik yaitu :
1. Muncul atau tidaknya reflek akustik (Gambar 6)
2. Nilai ambang reflek akustik; dan 3). reflek akustik decay. 25,26,27 Apabila reflek
akustik ipsilateral muncul / (+) dengan nilai ambang yang normal (70-100 dB SL)
dengan rerata 85 dB HL, maka dapat disimpulkan bahwa jalur jaras reflek akustik
ipsilateral dalam keadaan utuh, pendengaran normal atau tidak terdapat KP baik
tipe konduktif maupun sensorineural pada telinga tersebut.
Peningkatan nilai ambang atau tidak munculnya reflek akustik disebabkan oleh
beberapa kemungkinan yaitu terdapat KP konduktif, KP sensorineural dan parese N.VII.
Pada KP sensorineural derajat sedang sampai berat sekali reflek akustik tidak muncul
karena stimulus akustik yang diterima oleh komponen aferen reflek akustik tidak adekuat
dan tidak dapat diteruskan ke jaras berikutnya.

Pemeriksaan Reflek Akustik pada Bayi dan Anak


Pemeriksaan reflek akustik pada bayi dan anak memiliki reliabilitas yang tinggi bila
digunakan pemeriksaan ipsilateral dengan stimulus frekuensi tinggi (1000 Hz). Rerata
nilai ambang reflek akustik pada neonatus sebesar 70 dB HL, sekitar 15 dB lebih rendah
dibandingkan dewasa karena ukuran liang telinga luar yang masih kecil.

61
Kelebihan dan Kekurangan Pemeriksaan Reflek Akustik
Kelebihan pemeriksaan reflek akustik antara lain bersifat obyektif, cepat, tidak
tergantung respon perilaku anak, relatif tidak dipengaruhi oleh bising lingkungan, harga
alat lebih murah, dapat menentukan parese N.VII, mewakili sistem pendengaran
perifer dan keseluruhan sistem auditorik sampai setinggi pons bagian kaudal, dan tidak
perlu tenaga ahli. 16, 25, 26 Kekurangan pemeriksaan reflek akustik antara lain
dipengaruhi oleh proses patologis di telinga luar dan telinga tengah serta ukuran alat
yang relatif besar. Bila aktivator intensitas suara alat periksa melebihi 100 dB, maka
hasil reflek akustik pada penderita KP ringan sampai sedang (21-60 dB) masih mungkin
muncul / (+). Bila aktivator intensitas suara alat periksa maksimal sebesar 100 dB, maka
hasil reflek akustik pada penderita KP ringan (21-30db) masih mungkin muncul / (+).
Proses patologis di telinga luar dan telinga tengah dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan timpanometer, sehingga bayi dan anak dengan timpanogram tipe A saja
yang memenuhi syarat untuk dilakukan pemeriksaan reflek akustik ipsilateral dalam
rangka untuk mendeteksi KP sensorineural.

Eustachian Tube Function (Fungsi Tuba Eustachius)


1. Tes Valsalva
Prinsip tes ini adalah untuk membuat tekanan positif di dalam nasofaring
sehingga udara masuk ke tuba Eustachius. Untuk melakukan tes ini, pasien memencet
hidungnya diantara ibu jari dan jari telunjuk, ambil nafas dalam, tutup mulutnya dan
coba untuk meniup udara ke telinga. Jika udara masuk telinga tengah, membrane timpani
akan terdorong ke lateral yang dapat di ferifikasi dengan otoskop atau mikroskop. Jika
terdapat perforasi membran timpani, akan terdengar suara mendesis atau jika terdapat
sekret di telinga tengah, suara retak akan terdengar.
Kegagalan tes ini tidak membuktikan tersumbatnya tuba karena sekitar 65%
orang berhasil melakukan tes ini. Tes ini harus di hindarkan jika terdapat atropic scar
dari membran timpani yang dapat menyebabkan ruptur, dan adanya infeksi hidung dan
nasofaring dapat menyebabkan otitis media.

2. Tes Politzer
Tes ini dilakukan pada anak-anak yang tidak bisa melakukan tes valsalva. Pada tes
ini, olive-shaped dari kantong politzer dimasukkan kelubang hidung pasien yang ingin

62
dites, lubang hidung yang lain di tutup, dan kantong ditekan bersamaan dengan saat
pasien menelan.
3. Tes Toynbee
Perasat Toynbee menimbulkan tekanan negatif. Ini dilakukan dengan meminta pasien
untuk menelan sementara hidung ditutup. Ini menarik udara dari telinga tengah ke dalam
nasofaring dan menyebabkan gerakan kedalam membran timpani yang diverifikasi
dengan pemeriksaan otoskopi atau dengan mikroskop.
4. Tympanometri
Pada tes ini, tekanan positif dan negatif diberikan pada liang telinga luar dan pasien
menelan berulang-ulang. Kemampuan tuba menyeimbangkan tekanan positif dan negatif
yang menandakan fungsi tuba normal. Tes dapat dilakukan pada pasien dengan membran
timpani yang perforasi atau intak.

1.3.3 Otoacoustic Emission (OAE)


Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologic untuk menilai
fungsikoklea yang objektif, otomatis (menggunakana kriteria PASS / lulus refer / tidak
lulus) tidak infasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat
efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (universal new born hearing
screening). Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus
listrik, selanjutnya dikirim kebatang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energy
bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke liang telinga.
Proses ini mirip dengan peristiwa echo (kemp echo). Produk sampingan koklea
ini selanjutnya disebut sebagai emisi otoakustik (otoacoustic emission). Koklea tidak
hanya menerima dan memproses bunyi tetapi juga dapat memproduksi energy bunyi
dengan intesitas rendah yang berasal ari sel rambut luar koklea (outer hair cells).
Terdapat 2 jenis OAE yaitu spontaneus OAE (SPOAE) dan Evoked OAE.

- SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus
diberikan stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal
mempunyai SPOAE.
- EOAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan
menjadi, Trasient evoked OAE (TEOAE) dan distortion product OAE
(DPOAE). Pada TEOAE stimulus akustik berupa click sedangkan DPOAE

63
menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan
inensitasnya.
Pemeriksaan dilakukan diruangan yang tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir
nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan.
Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real time) hal tersebut menyebabkan nilai
sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan
pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang telinga. Sedative tidak diperlukan
bila bayi dan anak kooperatif.
1.3.4 Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
Istilah lain yaitu Auditory Brainstem Response (ABR), atau Evoked Response
Audiometri (ERA). BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas
sistemauditorik, bersifat objektif, tidak invasive. Dapat digunakan untuk memeriksa bayi,
anak, dewasa dan penderita koma. Pemeriksaan ini merupakan suatu pemeriksaan untuk
menilai fungsi N VIII, dengan cara merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea
selama menempuh perjalanan mulai telinga dalam hingga inti-inti tertentu di batang otak.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan yang dilekatkan pada
kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau lobules telinga. Prinsip dari pemeriksaan
BERA adalah menilai perubahan potensial listrik otak setelah pemberian rangsang
sensoris berupa bunyi. Rangsangan bunyi yang diberikan melalui headphone akan menempuh
perjalanan melalui saraf ke VIII (gelombang I), nucleus koklearis (gelombang II), nucleus
olivarius superior (gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior
(gelombang V) kemudian menuju korteks auditoris di lobus temporal otak. Perubahan
potensial listrik di otak akan diterima oleh ketiga elektroda di kulit kepala, dari gelombang
yang timbul di setiap nucleus saraf sepanjang jalur saraf pendengaran tersebut dapat dinilai
benuk gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat pemberian rangsang suara sampai
mastoideus), atau pada kedua lobules auricular yang dihubungkan dengan preamplifier.
Untuk menilai fungsi batang otak pada umumnya digunakan bunyi rangsang click, karena
dapat mengurangi artefak. Rangsangan ini diberikan melalui headphone secara unilateral dan
rekaman dilakukan pada masing-masing telinga. Reaksi yang timbul akibat rangsang suara
sepanjang jalur saraf pendengaran dapat dibedakan menjadi beberapa bagian. Pembagian ini
berdasarkan waktu yang diperlukan mulai dari saat pemberian rangsang suara sampai
menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Terdapat tiga gelombang yaitu:

64
1. Early Response yang timbul dalam waktu kurang dari 10 mili detik, merupakan
reaksi dari batang otak.
2. Middle Response antara 10-15 mili detik, yang merupakan reaksi thalamus, dan
korteks auditorium primer
3. Late Response antara 50-500 mili detik, merupakan reaksi dari area auditorius primer
dan sekitarnya.
Berikut dibawah ini merupakan penilaian BERA:
1. Masa laten absolut gelombang I, III, V
2. Beda masing-masing masa laten absolut (Interwave latency I-V, I-III, III-V)
3. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaneural latency)
4. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity function)
5. Rasio amplitude gelombang V/I, yaitu rasio antara nilai puncak gelombang V ke
puncak gelombang I yang akan meningkat dengan menurunnya intensitas.
1.3.5 Auditory steady state response (ASSR)
Pemeriksaan elektrofisiologis lain untuk menilai AEP adalah Auditory Steady State
Response (ASSR), atau kadang-kadang dikenal juga sebagai Steady-State Evoked
Potential (SSEP). ASSR adalah salah satu metode pemeriksaan terbaru yang dapat
digunakan oleh para audiologis untuk menentukan prediksi ambang pendengaran pada
anak-anak.
Tujuan ASSR adalah untuk membuat estimasi audiogram statistik yang akurat. Pada
respons dari ABR diukur dalam microvolts, sedangkan pada ASSR diukur dalam
nanovolts. Pada dasarnya, cara pemeriksaan pada tes ASSR ini sama dengan
pemeriksaan pada BERA. Yang membedakan adalah frekuensi yang diperiksa serta
gambaran hasil tes. Hasil tes BERA gambarannya berupa gelombang-gelombang
sedangkan hasil tes ASSR berupa audiogram. Biasanya, jika dalam pemeriksaan BERA
tidak ditemukan gelombang V di intensitas 80 dB, maka disarankan untuk melakukan tes
ASSR untuk mengetahui berapa derajat gangguan pendengaran bayi atau anak.
Hasil tes ASSR ini sangat penting digunakan dalam pemilihan dan pengaturan alat
bantu dengar, terutama pada alat bantu dengar digital programmable. Ketepatan gain atau
amplifikasi yang diberikan harus sesuai dengan hasil tes ASSR dan hasil tes pendengaran
subyektif yang mendukung, yaitu Free Field Test.

65
BAB III

KESIMPULAN

Anamnesis dan Pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok adalah suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan-kelainan pada telinga,
mulai dari telinga bagian luar sampai telinga dalam yang dapat memberikan gangguan fungsi
pendengaran dan keseimbangan ;kelainan-kelainan pada hidung dan tenggorok yang dapat
memberikan gangguan penghidu dan pengecapan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
melihat (inspeksi), meraba (palpasi) dan melakukan tes-tes untuk melihat sifat dan jenis
gangguan pendengaran dan keseimbangan serta gangguan penghidu dan pengecapan.

66
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam G L, Boies L R, Higler P A (Alih bahasa : Wijaya C). Boeis buku ajar
penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC:; 2013. h. 30-8, 173-88, 264-71.
2. Snell Richard.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
EGC;2016.
3. Soepardi, E., Iskandar, N., & Bashiruddin, J., et al(ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Cetakan ke-3.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2014.
4. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and accessory
sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck. Fourteenth edition
Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger. Philadelphia, London, 2013: p.3-8
5. East C. Examination of the Nose. In : Mackay IS, Bull TR(Eds). Scott-Browns’s
Otolaryngology Sixth ed London: Butterworth, 1997: p.4/1/1-8
6. Effendi H, editor. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC ; 1997 ; p.135-
142.
7. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In : Gleeson (Ed). Scott-
Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth, 1997: p.1/5/1-30.
8. Sherwood L Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2006.
9. Chang P, Pedler K.Ear examination : a practical guide. Australian Family
Physician;2005.p. 10, 34, 857-62.
10. Anggraeni, Ratna dr Mkes Sp THT. Bahan Ajar Audiologi . Bandung : Bagian
Ilmu THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

67

Anda mungkin juga menyukai