Anda di halaman 1dari 18

Referat Abses Retroaurikuler

Dokter Pembimbing: dr. Wiendy, Sp.THT

Disusun oleh

LYDIA MARGARETHA (11-2013-101)


CECILIA WIRAWANTY (11-2014-283)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung & Tenggorok


Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


2015

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas berkat-Nya kami dapat menyelesaikan referat yang kami beri judul Abses
Retroaurikuler.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Telinga Hidung & Tenggorok Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bimbingan serta masukan dalam penyusunan referat ini.
Kami menyadari bahwa referat ini sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan agar referat ini bisa direvisi
menjadi lebih baik lagi. Kami berharap referat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.Terima kasih.

Jakarta, September 2015

Penulis

2
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Abses retroaurikuler merupakan abses yang paling sering terbentuk di mastoid
dan merupakan komplikasi mastoiditis yang paling sering terjadi.Pasien abses
retroaurikuler mengeluhkan nyeri telinga, otorea, dan gangguan pendengaran yang
makin bertambah. Pada pemeriksaan otologik, akan tampak otorea melalui
perforasi timpani. Di daerah retroaurikuler, akan terlihat gambaran sesuai dengan
stadium penyakit. Bila belum terbentuk abses, akan terlihat daerah yang hiperemis
disertai nyeri tekan. Bila telah teraba fluktuasi di daerah retroaurikuler,
menandakan abses sudah terbentuk.Bila sulkus retroaurikuler sudah hilang,
menandakan bahaya absesnya telah menembus periosteum menjadi abses
subkutis. Daun telinga akan terdorong ke depan dan ke bawah. Insidens dan
prevalensi kasus otitis media, termasuk abses retroaurikuler telah menurun drastis,
dokter tetap harus mampu mendiagnosis serta melakukan manajemen terhadap
abses retroaurikuler.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Dalam menyusun referat ini, penulis memiliki tujuan yang diharapkan dapat
tercapai, sebagai berikut: bagi penulis, melalui penyusunan referat ini penulis
berharap mampu menerapkan ilmu-ilmu yang dimiliki dan menambah bekal
pengetahuan yang dapat berguna kelak dalam memasuki dunia kerja di masa
depan.
Manfaat yang diharapkan adalah agar pembaca lebih memahami mengenai
proses terjadinya abses retroaurikuler, penyebab, patofisiologi, dan manajemen
yang tepat dan rasional jika menghadapi kasusabses retroaurikuler.

3
Bab II
Tinjauan Pustaka
I. Anatomi Telinga
Untuk memahami tentang adanya kelainan pada telinga atau gangguan
pendengaran, perlu diketahui dan dipelajari mengenai anatomi dan fisiologi
telinga terlebih dahulu.Anatomi telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan
telinga dalam.

A. Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna/auricula), liang telinga (meatus
acusticus externus, MAE) sampai gendang telinga (membran timpani). Daun
telinga merupakan gabungan dari tulang rawan elastin yang dilapisi kulit.1 Liang
telinga berbentuk huruf S, dengan sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan
yang disebut pars cartilagenous, sedangkan duapertiga bagian dalam rangkanya
terdiri dari tulang atau disebut pars osseus. Panjangnya kira-kira 2 - 3 cm. Pada
sepertiga bagian luar liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar
keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.
Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1

B. Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:1
- batas luar : membran timpani
- batas depan : tuba eustachius
- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.

1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki
panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9
mm, dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak

4
lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar
ke muka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.1
Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian
bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu
bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler
di bagian dalam.1
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani
disebut sebagai umbo.Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light)
ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul
5 untuk membran timpani kanan.Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya
dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani.Di membran timpani
terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis
reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak cahaya mendatar, berarti terdapat
gangguan pada tuba eustachius.1
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di
umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan,
serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.1
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosesus longus maleus melekat
pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada
stapes.Stapes melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan koklea.
Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.1
Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat
aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dan
antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.1
5
Aliran darah membran timpani berasal dari permukaan luar dan
dalam.Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang merupakan
cabang dari arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah
didarahi oleh arteri timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan
oleh stilomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.1
2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal,
bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior
atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani
mempunyai 6 dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial,
anterior, dan posterior.1
Kavum timpani terdiri dari :1
1) Tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus (hammer/martil),
inkus (anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana)
2) Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan
otot stapedius (muskulus stapedius).
3) Saraf korda timpani.
4) Saraf pleksus timpanikus.
3. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah
ke kaudal.Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah
dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah
duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad
antrum yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.1
4. Tuba eustakhius.
Tuba eustakhius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum
timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm
berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.1
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :1
1) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
6
Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah.Ventilasi berguna untuk
menjaga agar tekanan di telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar.
Adanya fungsi ventilasi tuba dapat dibuktikan dengan melakukan perasat
Valsava dan perasat Toynbee.1
Perasat Valsava meniupkan dengan keras dari hidung sambil mulut
dipencet serta mulut ditutup. Bila Tuba terbuka maka akan terasa ada udara
yang masuk ke telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral.
Perasat ini tidak boleh dilakukan kalau ada infeksi pada jalur nafas atas.1
Perasat Toynbee dilakukan dengan cara menelan ludah sampai hidung
dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membran
timpani tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis.1

C. Telinga dalam
Terdiri dalam terdiri koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala
timpani dengan skala vestibuli.1
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah, dan skala media
(duktus koklearis) diantaranya.1 Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa.Hal ini penting untuk
pendengaran.Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli
(Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.
Pada membran ini terletak organ Corti.1
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari satu baris sel rambut dalam, tiga baris sel rambut luar dan kanalis Corti,
yang membentuk organ Corti.1

7
Gambar 1. Anatomi Telinga1
II. Fisiologi Telinga
Proses mendengar ini dimulai dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea.
Getaran ini dialirkan ke telinga tengah dan mengenai membran timpani, sehingga
membran timpani bergetar. Selanjutnya getaran ini akan diteruskan ke telinga
tengah melalui tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain yang
terdiri dari maleus, incus, dan stapes. Stapes akan menggerakkan foramen ovale
yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran melalui membran
reissner akan mendorong endolimfe dan membrane basilaris ke bawah. Perilimfe
juga akan bergerak.2
Proses tersebut akan menyebabkan defleksi stereo silia sel-sel rambut pada
organ corti, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion-ion bermuatan
listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, kemudian dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39 dan 40) di lobus temporalis.2

8
Gambar 2. Fisiologi Pendengaran2

III. Definisi
Abses retroaurikular merupakan komplikasi dari infeksi yang berasal dari
dalam telinga (otitis media). Abses ini merupakan abses yang paling sering
terbentuk di mastoid. Abses retroaurikuler sering kali menyertai mastoiditis
koalesens pada anak-anak. Infeksi meluas dari mastoid hingga ruang
subperiosteal. Abses ini terjadi akibat perluasan langsung infeksi yang
menyebabkan destruksi tulang atau flebitis dan periflebitis vena-vena mastoid.

IV. Epidemiologi
Komplikasi ekstrakranial dan intrakranial dari otitis media dapat terjadi pada
seluruh kelompokusia, namun lebih umum dijumpai pada anak dalam dua tahun
pertama kehidupan. Data penelitian di daerah pedalaman provinsi Natal, Afrika
Selatan menunjukkan 80% komplikasi ekstrakranial dan 70% komplikasi
intrakranial terjadi pada anak-anak yang berusia antara 1-2 tahun. Komplikasi
otitis media akut dan kronik dapat menyebabkan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi. Salah satu komplikasi ekstrakranial dari otitis
media adalah abses retroaurikuler/abses postaurikuler.7
Dari penelitian di daerah pedalaman provinsi Natal, Afrika Selatan, abses
retroaurikuler merupakan komplikasi ekstrakranial yang paling sering terjadi
pada anak-anak di bawah 6 tahun yang mengidap otitis media.7

9
V. Etiologi
Abses retroaurikuker ini berasal dari infeksi pada telinga tengah.Infeksi pada
telinga tengah disebabkan oleh otitis media akut, otitis media supuratif kronik,
maupun infeksi pada tulang mastoid yaitu mastoiditis.

VI. Patofisiologi
Pertahanan telinga tengah yang pertama merupakan mukosa cavum
timpani.Bila pertahanan pertama ini dapat ditembus oleh infeksi, masih ada
pertahanan kedua yaitu dinding tulang cavum timpani dan sel mastoid.Namun
bila pertahanan kedua ini rusak akibatnya struktur lunak sekitar juga terkena dan
bila periosteum rusak mengakibatkan abses subperiosteal yang relatif tidak
berbahaya. Akhirnya terbentuk jaringan granulasi yang terjadi akibat erosi
tulang.8
Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama
host masih bertahan hidup, jaringan hidup di sekitarnya membuat suatu respons
mencolok yang disebut peradangan. Peradangan adalah reaksi vascular yang
menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi
darah ke jaringan-jaringan intertisial di daerah cedera atau nekrosis.9
Peradangan sebenarnya merupakan fenomena yang menguntungkan dan
defensif, yang menghasilkan eliminasi agen penyerang, penghancuran jaringan
nekrotik dan terbentuknya keadaan yang diperlukan untuk perbaikan dan
pemulihan.9
Fenomena vaskular, cairan, dan selular yang dramatik pada peradangan jelas
dibawah pengawasan yang ketat. Meskipn beberapa cedera secara langsung
merusak endotel pembuluh dan dengan demikian menimbulkan kebocoran
protein dan cairan di daerah cedera, pada sebagaian besar kasus cedera
mencetuskan pembentukan dan/atau pelepasan zat-zat kimia di dalam tubuh, dan
mediator ini menimbulkan peradangan.9
Zat-zat yang dilepas secara endogen ini dikenal sebagai mediator respons
peradangan. Pengetahuan semacam ini, pada satu sisi memberikan pengertian
yang lebih baik mengenai defisiensi dan gangguan respons peradangan dan, pada
sisi lain, menunjukkan cara menekan peradangan yang tidak dikehendaki saat
terjadi secara klinis. Mediator mediator ini dapat digolongkan menjadi kelompok

10
amin amin vasoaktif, zat-zat yang dihasilkan oleh system system enzim plasma,
metabolit asam arakhidonat, produk sel lain.9
Histamine adalah amin vasoaktif yang paling penting, mampu menghasilkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.Sejumlah besar histamine
disimpan dalam granula sel-sel jaringan yang dikenal sebagai sel mast.Cedera
fisik menyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamine yang penting
pada awal peradangan dan merupakan mediator utama dalam beberapa reaksi
alergi yang sering.
Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi PMN yang sangat tinggi yang
tertimbun di dalam jaringan, dan banyak sel-sel ini mati serta membebaskan
enzim enzim hidrolitiknya yang kuat ke sektarnya.Dalam keadaan ini, enzim-
enzim PMN secara harafiah mencerna jaringan dibawahnya dan mencairkannya.
Kombinasi agregasi neutrofil an pencairan jaringan-jaringan dibawahnya ini
disebut supurasi, dan dengan demikian eksudat yang terbesar disebut eksudat
supuratif, atau lebih sering disebut pus. Pus terdiri atas PMN yang hidup, mati,
dan yang hancur; jaringan yang mencair dan tercerna.Jika terjadi supurasi local di
dalam jaringan padat, lesi yang diakibatkan disebut abses.9
Abses retroaurikuler sering kali menyertai mastoiditis koalesens pada anak-
anak.Infeksi meluas dari mastoid hingga ruang subperiosteum.Abses ini terjadi
akibat perluasan langsung infeksi yang menyebabkan destruksi tulang atau
flebitis dan periflebitis vena-vena mastoid.Lubang kecil pada tulang temporal
dewasa yang membentuk area kribriformis mastoid di sekitar lengkung Henle
awalnya merupakan serangkaian terowongan vaskuler terbuka di antara bagian
inferior mastoid dan korteks.Infeksi dapat langsung terjadi dari mastoid ke ruang
subperiosteum hingga terowongan ini tertutup.Pada bayi dan anak-anak, abses
terbentuk di sekitar segitiga MacEwen; pus pada kasus ini menyebar sepanjang
terowongan vaskuler lamina kribrosa.Infeksi jaringan lunak menyebabkan
nekrosis jaringan dan pembentukan abses. Jaringan lunak sekitar akan mengalami
penebalan, inflamasi, eritema. Pada perabaan, dijumpai adanya nyeri tekan dan
fluktuasi.7,9,10
Seiring dengan luasnya penggunaan antibiotik, abses mastoid, termasuk abses
retroaurikuler lebih sering terjadi pada otitis media supuratif kronik dengan
kolesteatoma. Menurut Souza, abses retroaurikuler merupakan salah satu
komplikasi ekstrakranial. Bila erosi tulang berlangsung terus, akan terjadi abses
11
subperiosteum. Bila abses ini menembus periosteum, akan terbentuk abses dan
fistula subkutis. Bila proses tersebut mengarah ke posterior dan inferior, masing-
masing akan terjadi abses retroaurikular dan abses Bezold. Abses Bezold adalah
abses yang ruptur ke depan dinding prosesus mastoid menyebabkan perjalanan
abses di sepanjang m. sternokleidomastoideus.8,10

VII. Klasifikasi
Abses retroaurikuler termasuk kedalam abses subperiosteal.Abses
subperiosteal menyertai 50% pasien dengan mastoiditis. Abses subperiosteal
karena mastoiditis ini berupa :
1. Abses retroaurikuler (postauricular abscess) yang sering terbentuk yaitu diatas
Macewens triangle dari mastoid. Ini dikarenakan pus yang ada melintasi
pembuluh darah di lamina cribosa. Abses retroaurikuler sering terjadi pada
anak-anak. Akibat dari abses ini, posisi aurikula menjadi terdorong ke anterior,
lateral, dan inferior.
2. Abses zigomaticus berasal dari infeksi yang terjadi pada sel zigomatik yaitu
pada arcus zigomatikum posterior. Pus dapat terletak superfisial atau profunda
dari m. temporalis. Pembengkakan terjadi di bagian anteroinferior aurikula.
Dapat terjadi edema pada kelopak mata atas.
3. Abses Bezolds terjadi pada mastoiditis akut koalesens dimana pus dapat
menembus ujung dari tulang mastoid bagian medial yang tipis. Pus yang
menembus ini terlihat sebagai pembengkakan pada bagian atas leher.11

Gambar . Tipe Abses Mastoid.11

12
VIII. Diagnosis
Diagnosis abses retroaurikuler umumnya jelas.Edema jaringan dan abses
menyebabkan daun telinga terdorong ke bawah dan samping karena hanya bagian
atas mastoid yang masih memiliki pneumatisasi. Pada stadium awal, dokter harus
melakukan pemeriksaan radiologis atau ultrasonografi untuk mengkonfirmasi
keberadaan udara di dalam jaringan lunak atau kavitas di dalam kapsul abses jika
fluktuasi masih belum jelas.Pemeriksaan radiologi akan menunjukkan gambaran
perselubungan pada pneumatisasi mastoid atau gambaran radiolusen akibat erosi
tulang bila terdapat kolesteatoma.7,10

IX. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menegakkan diagnosis serta mencari
adanya komplikasi lain selain abses retroaurikuler.
1. CT scan tulang mastoid.
2. Kultur cairan abses.11

X. Diagnosis Banding
Limfadenitis adalah peradangan pada salah satu atau beberapa kelenjar getah
bening.Kelenjar getah bening ada yang di sekitar leher, ketiak dan pangkal paha.
Jika terjadi infeksi, maka biasanya kelenjar getah bening lokal akan ikut
membesar. Di daerah leher, terdapat banyak kelenjar getah bening yang menurut
Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification dibagi menjadi lima
daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah:
I. Kelenjar yang terletak di segitiga sub-mental dan submandibular
II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior,
kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior
III. Kelenjar limfa jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan
m.omohioid dengan m.sternokleidomastoid dan batas posterior
m.sternokleidomastoid
IV. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
V. Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal

13
Jika terjadi pada peradangan kelenjar getah bening di daerah V, bisa tampak
gejala klinis sebagai pembesaran pada daerah belakang telinga (limfadenitis
postaurikuler) yang lunak dan sakit, kulit terlihat kemerahan dan terasa hangat,
demam, kadang terbentuk abses.Infeksi yang terjadi pada kelenjar getah bening
leher posterior biasanya disebabkan oleh mononukleosis atau rubella.

X. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses retroaurikuler terdiri dari penanganan setempat abses
tersebut serta fokus infeksi diluar abses seperti penanganan OMSK, mastoiditis,
dan beserta komplikasi lainnya.
1. Insisi dan drainase abses retroaurikuler.
2. Pemberian antibiotik IV. Bila tidak ada perbaikan dilanjutkan dengan
mastoidektomi. Mastoidektomi terdiri dari mastoidektomi sederhana dan
mastoidektomi radikal. Pada OMSK tipe aman yang tidak sembuh dengan
pengobatan konservatif dilakukan mastoidektomi sederhana. Dengan tindakan
operasi ini, dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik.
Tujuannya adalah agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada
operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Sedangkan pada OMSK tipe
bahaya dilakukan mastoidektomi radikal. Pada operasi ini, rongga mastoid dan
kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas
antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.
Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
3. Penanganan komplikasi lainnya bila ada.8,11

14
Gambar . Penanganan Komplikasi Otitis Media.13

15
Gambar . Manajemen OMSK.13

XI.Prognosis
Abses yang ditangani dengan cepat dan benar, seperti drainase akan membuat
prognosis yang lebih baik. Bila abses tidak ditangani dengan baik, dapat menyebar ke
otak sehingga prognosisnya akan menjadi buruk.

16
Bab III
Kesimpulan

Abses retroaurikuler merupakan komplikasi dari suatu penyakit yang


mendahuluinya.Sehingga manajemen penyakit ini memerlukan penelusuran lebih
lanjut, tidak hanya berhenti di abses retroaurikuler namun harus mencari tahu
penyebabnya.
Pada bayi dan anak-anak infeksi dapat langsung terjadi dari mastoid ke ruangan
subperiosteum.Infeksi jaringan lunak menyebabkan nekrosis jaringan dan
pembentukan abses. Jaringan lunak sekitar akan mengalami penebalan, inflamasi, dan
eritema. Kemudian pada perabaan akan dijumpai nyeri tekan dan fluktuasi.
Untuk penatalaksanaan abses retroaurikuler sendiri dilakukan dengan insisi dan
debridement.Kemudian untuk penyakit yang mendahuluinya dilakukan tatalaksana
sesuai dengan penyakitnya.

17
Daftar Pustaka

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima
Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88.
2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 :
124-126.
3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available
at :http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall.
4. Bonarz. 2011. Kusta dalamhttp://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah
diunduh tanggal 4 Februari 2011.
5. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available
at :http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm.
6. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html.
7. Harker LA. Postaurikular abscess. In: Snow JB, Ballenger JJ, eds. Ballengers
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th Edition. Ontario; WBC
Decker: 2003.p. 303-4.

8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta: FKUI; 2014.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, E/6,
vol.1. Jakarta :EGC.2012.h:56-69.

10. Helmi. Abses Mastoid. Dalam: Soepardi EA, Hadjat F, Iskandar N, editor.
Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h. 52-3.
11. Bansal B. Disease of Ear, Nose, and Throat Head and Neck Surgery. Ed 1. New
Delhi : Jaypee; 2013.
12. McGill TJ, Muntz HR, Wetmore RF. Pediatric Otolaryngology Principle and
Practice Pathways. Ed 2. New York : Thieme; 2012.
13. Dhingra PL. Abscesses in Relation to Mastoid Infection. In: Diseases of Ear,
Nose, and Throat. 4th Edition. London; ElSevier; 2008. p. 77.

18

Anda mungkin juga menyukai