Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur tulang temporal adalah kelainan yang sering dikonsultasikan ke


spesailis THT (Telinga, Hidung, Tengorok) pada keadaan darurat. Pengetahuan
tentang anatomi struktur vital dalam tulang temporal sangat penting untuk
mendiagnosa dan penanganan cedera dengan cepat dan tepat. Evaluasi yang tepat
dapat memperhitungkan derajat keparahan dan gejala-gejala trauma pada telinga.
Fraktur tulang temporal terjadi pada sekitar 14-22% dari semua cedera tengkorak.
Terjadi pengingkatan angka kejadian fraktur tulang unilateral, dan fraktur bilateral
dari 9% menjadi 20%. Anak-anak merupakan 8-22% dari pasien dengan fraktur
tulang temporal 1
Cedera pada tulang temporal terjadi pada 30 sampai 70% kasus yang
melibatkan trauma tumpul kepala. Meskipun langkah-langkah keamanan seperti
sabuk pengaman, airbags, dan helm sepeda dapat membantu mengurangi jumlah
kecelakaan kendaraan yang mengakibatkan trauma kepala, kecelakaan tetap yang
paling umum menjadi penyebab cedera tulang temporal. Luka tembakan pada
kepala merupakan penyebab yang tidak sering tetapi meningkatkan frekuensi
kejadian trauma kepala, dan lebih dari setengah pasien ini menderita trauma
intrakanial. Luka pada arteri karotis lebih sering meningkatkan angka kematian
dibandingkan pada trauma tumpul 2
Fraktur tulang temporal berpotensi mengakibatkan cedera serius pada saraf
wajah, telinga tengah, telinga bagian dalam dan berisiko pada intrakranial. Namun,
fraktur tulang temporal mungkin dapat tidak terdeteksi pada pasien yang
asimtomatik atau tidak melaporkan gejala mereka kepada dokter 3
Trauma tulang temporal sering dikaitkan dengan trauma cedera otak berat.
Sekitar 4% pasien dengan cedera kepala mengalami fraktur, dan 14-22% dari
pasien tersebut menderita fraktur tulang temporal. Tiga penyebab tersering adalah
kecelakaan dengan kendaraan dan sepeda motor 45%, jatuh 32%, dan perampokan
11% 4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang Temporal


Tulang temporal terdiri dari lima komponen yaitu tulang skuamosa,
timpani, styloid, mastoid, dan petrosus 2. Tulang temporal bersama dengan tulang
oksipital, parietal, sfenoid, dan zigomatikum membentuk dinding lateral dasar
tengkorak atau bagian tengah dan posterior dari fossa kranialis 5

Gambar 1. Gambar dua sisi tulang temporal pada tulang tengkorak manusia.
(A) Dilihat dari sisi anterior (B) Dilihat dari sisi Lateral, (C) dilihat
dari inferior, (D) Dilihat dari bagian dasar tulang tengkorak.2

Pada trauma tulang temporal sangat rawan terjadi kerusakan organ-organ


intratemporal. Tulang temporal menutupi organ-organ penting seperti saraf
fasialis, saraf vestibulokoklearis, koklea dan labirin, tulang-tulang pendengaran,
membran timpani, kanalis akustikus eksternus, sendi temporomandibular , vena
jugularis serta arteri karotis.5

2
Gambar 2. Gambar tulang temporal kiri dilihat dari sisi lateral. Tulang skuamosa, styloid,
dan mastoid yang terlihat. Garis bagian tympani, meatus akustikus eksternus dan tulang
petrous adalah struktur interior dan tidak terlihat dari pandangan lateral.

Petrosus merupakan bagian dari tulang temporal yang berbentuk piramid,


terletak di dasar tulang tengkorak dan diantara tulang sphenoid dan oksipital. Hal
ini yang menyebabkan petrosus tidak terlihat dari sisi lateral tulang temporal.
Petrosus merupakan bagian terpenting dari tulang temporal yang melindungi
telinga tengah dan dalam serta bagian-bagian dari saraf facialis2
Pada pemeriksaan tampak bagian-bagian dari pars petrosa yang terdiri dari
basis, apex, tiga permukaan, dan berisi bagian dari organ pendengaran. Basis
menyatu dengan permukaan dalam dari skuama dan mastoid. Bagian apex dapat
digambarkan sebagai bangunan bersiku antara batas posterior dari sayap os
sphenoid dan bagian bawah dari os occipital. Pada bagian ini terdapat orifisium
internal dari canalis caroticus dan membentuk batas postero-lateral dari foramen
lacerum6
Permukaan anterior terbentuk dari bagian posterior middle fossa dari basis
kranii, dan berlanjut pada bagian dalam pars squamosa yang bersatu pada sutura
petrosquamous. Pada bagian ini terdapat cekungan-cekungan yang konsisten
dengan bentuk otak. Permukaan posterior terdiri dari bagian depan fossa posterior
basis kranii dan berlanjut pada bagian dalam mastoid. Pada daerah sentral terdapat
orificium yang disebut meatus akustikus internus. MAI merupakan kanalis
sepanjang 1 cm yang berjalan kea rah lateral yang berisi nervus fasialis, nervus
akustikus dan cabang arteri basilaris. Permukaan inferior berbentuk tidak
6
beraturan, yang terbentuk dari bagian luar basis kranii

3
2.2 Klasifikasi
Fraktur tulang temporal dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif
terhadap sumbu panjang tulang petrosa, yaitu7:
a. Fraktur longitudinal
b. Fraktur tranversal
c. Fraktur oblik

a. Fraktur longitudinal (70-90%)


Fraktur longitudinal tulang temporal paralel terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya terkait dengan trauma tumpul temporoparietal
8,7
. Sekitar 10% berhubungan dengan ekimosis yang terlihat di prosesus
mastoid (Battle’s sign). Fraktur ini melintasi telinga tengah dan sangat sering
dikaitkan dengan dislokasi tulang-tulang pendengaran.
Struktur yang paling sering terlibat adalah membran timpani, atap telinga
tengah, dan bagian anterior dari apeks petrosa8 Selain itu, fraktur longitudinal
dapat ke arah anterior menuju tuba eustachius dan fosa kranial tengah, dan
dapat ke arah posterior relatif terhadap labirin, menuju foramen jugularis dan
memperluas ke dalam fosa posterior.8
Sekitar 15-20% akan melibatkan saraf fasialis dan cedera terjadi di dekat
ganglion genikulatum atau di bagian horizontal. Kelumpuhan fasialis sering
terjadi pada onset yang lambat, berhubungan dengan edema daripada gangguan
langsung dari sarafnya. Keterlibatan vestibular dan defisit sensorineural tidak
sering terjadi dan dikaitkan dengan efek benturan daripada trauma langsung
pada labirin vestibular dan koklea.8
Perdarahan di telinga tengah yang kemudian keluar menjadi perdarahan
dari kanalis eksternal merupakan tanda dari fraktur longitudinal, yang
berlawanan dengan perdarahan di belakang membran timpani pada fraktur
transversal. Kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi pada fraktur
longitudinal, namun kurang umum dibandingkan pada fraktur transversal.9

4
Gambar 3. Gambaran fraktur longitudinal 9

Terdapat dua subtipe berdasarkan utamanya lokasi asal, yaitu posterior


dan anterior7. Subtipe posterior sering berasal dari prosesus mastoid atau
bagian posterior bagian skuamosa tulang temporal dan berakhir di foramen
laserum. Jenis ini biasanya tidak melibatkan fosa glenoid. Sedangkan subtipe
anterior berasal dari bagian depan bagian skuamosa tulang temporal dan
melintasi tegmen timpani sampai apeks petrosa atau melewati sepanjang tuba
eustachius sampai foramen laserum. Jenis ini dapat mengakibatkan kerusakan
arteri meningeal medius dan perkembangan perdarahan epidural, dan jenis ini
biasanya melibatkan fosa glenoid.7

b. Fraktur transversal (20-30%)


Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang
dari piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau
temporoparietal. Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa
posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa
kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga
8,7

Fraktur ini sering terjadi pada pasien dengan cedera yang parah dan
kematian dari pukulan itu sendiri dapat terjadi cepat. Cedera ini sering diikuti
dengan gangguan pendengaran sensorineural yang parah, dan dapat disebabkan

5
karena kerusakan fungsi vestibular. Kerusakan ini berhubungan dengan cedera
benturan langsung terhadap telinga dalam atau berhubungan dengan fraktur
yang melalui kapsul otik. Ini diperkirakan bahwa paralisis fasialis, karena
gangguan saraf fasialis, dapat terjadi pada 50% kasus, tercatat cepat terjadi dan
mungkin permanen jika tidak dioperasi.
Pada fraktur tranversal, sering kali terjadi perdarahan di telinga tengah,
namun karena membrane timpani intak, terjadi hematotimpanum yang dapat
dilihat tanpa ada perdarahan yang keluar. Otorea cairan serebrospinal umum
terjadi dan paling sering dideteksi dengan aliran cairan jernih dari tuba
eustachius ke dalam nasofaring9.

Gambar 4. Gambaran fraktur transversal 9

Terdapat dua subtipe berdasarkan lokasi terhadap penonjolan arkuata


(tanda sepanjang permukaan superior petrosa yang secara kasar sama dengan
posisi apeks kurva kanalis semisirkularis superior), yaitu medial dan lateral7.
Subtipe medial melintasi fundus (aspek lateral) dari kanalis auditori internal.
Pada jenis ini, gangguan pendengaran sensorineural terjadi sekunder karena
transeksi saraf koklear dan seringkali terjadi lengkap dan permanen.
Sedangkan subtipe lateral melintasi lebih ke labirin tulang daripada kanalis
auditori internal. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran

6
sensorineural dan berkaitan dengan fistula perilimfatik dan hubungan telinga
tengah dan telinga dalam akibat fraktur.

Gambar 5. Fraktur Tranversal, suptipe lateral


A. Gambar CT aksial, telinga kanan. Fraktur (panah) dimulai pada posterior permukaan
petrosa di sekitar akuaduktus vestibular dan merusak bagian anterior tegmen timpani serta
bagian skuamosa petrosa.
B. Gambat CT aksial, telinga kanan, lebih rendah, juga memperlihatkan gangguan fraktur
promontorium (panah). Perhatikan hematotimpanum difus.

Gambar 6. Fraktur Tranversal, suptipe medial 9


A. Fraktur linier (panah) mulai dari permukaan petrosa posterior di sekitar akuaduktus
vestibular dan meluas melalui fundus kanalis auditor internal terhadap genu pertama kanal
saraf fasialis
B. Pneumovestibular (panah)

7
Tabel 1. Perbedaan Fraktur Longitudinal dan Fraktur Transversal7
Tipe Longitudinal Transversal
Lokasi Melalui garis sutura Melibatkan kapsul otik atau
petroskuamosa dan berlanjut kanalis auditori internal
ke arah anterior menuju
kapsul otik
Melalui superior CAE,
telinga tengah, aksis panjang
dari pyramid petrosa
Frekuensi 70-80% 20-30%
Gangguan Konduktif Sensorineural (biasanya
pendengaran parah)
Paralisis n. fasialis 15-20% 50%
Cedera pada ganglion
genikulatum atau pada
bagian horizontal saraf
Derajat trauma Rendah hingga tinggi Biasanya tinggi
Trauma tumpul lateral Trauma oksipital atau frontal
Komplikasi - Kerusakan osikular - Ruptur kapsul otik dan
(umum) kanalis auditori internal
- CHL - SNHL
- Vertigo (jarang) - Vertigo (umum)
- Perdarahan di kanalis - Kebocoran cairan
auditori eksternal serebrospinal (umum)
- Kebocoran cairan
serebrospinal (kadang)

c. Fraktur oblik
Fraktur oblik ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap
piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur
oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat
dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi

8
pada fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada
fraktur transversal11.

Akhir-akhir ini, juga terdapat peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur


tulang temporal menjadi perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan
kerusakan kapsul otik (otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi
lebih baik terhadap sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih
sering terjadi (>90%) daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya
insidensi cedera saraf fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan
serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi daripada OCS).

2.3 Diagnosis
2.3.1 Anamnesis

Tabel 2. Keluhan Utama Fraktur Tulang Temporal10


Gejala Diagnosis Banding Onset Prioritas Terapi
Gangguan Konduktif atau Awal Tidak mendesak
pendengaran sensorineural
Pusing Perifer atau sentral Bervariasi Tidak mendesak
Kelemahan Sentral atau perifer Penting untuk Intervensi awal
fasialis diputuskan
Hipestesi Defisit saraf kranialis Biasanya onset Rekoveri spontan
fasialis V intratemporal atau lambat jika sebagai terapi
cedera fasialis intrakranial general
Diplopia Defisit saraf kranialis Biasanya lambat Rekoveri spontan
VI atau cedera mata sebagai terapi
general

1. Gangguan pendengaran
- Lebih dari 40% kasus mengalami gangguan pendengaran
- Fraktur transversal  SNHL yang parah
- Fraktur longitudinal  CHL dan gangguan pendengaran campuran

9
- Keterlibatan labirin atau koklea  SNHL disertai vertigo

2. Pusing
- Sering merupakan gejala lambat

3. Kelemahan fasialis
- Sering terjadi
- Penting dalam memutuskan onset gejala
- Cepat  saraf terputus  memerlukan pembedahan
- Lambat  saraf mengalami oedema atau inflamasi
- Parese atau paralisis onset lambat sering terjadi dan dapat tertunda selama
beberapa hari atau minggu
- Area cedera saraf fasialis:
- Fraktur longitudinal  area perigenikulatum
- Fraktur transversal  segmen labirin
- Cedera tusuk  ekstratemporal, bagian stilomastoid, segmen vertikal
saraf

4. Otorea dan rinorea


- Kebocoran cairan serebrospinal dari kerusakan tulang temporal

5. Hipestesi fasialis dan diplopia


- Fraktur meliputi Meckel’s cave dan permukaan superior tulang temporal
atau Dorello’s canal di bawah ligament petrosfenoidalis
- Prognosis biasanya baik

2.3.2 Pemeriksaan Fisik


Tiga temuan yang sering:
- Hemotimpanum
- Ekimosis postaurikular (Battle’s sign)
- Ekimosis periorbital (Racoon eyes)
- Kelemahan saraf fasialis memerlukan evaluasi yang hati-hati

10
- Kebocoran plasma: otorea dan rinorea

2.3.3. Pemeriksaan Penunjang


1. Radiologi: CT Scan tulang temporal, MRI
2. Tes pendengaran: audiogram
3. Tes saraf fasialis
4. Tes vestibular

2.4 Penatalaksanaan
Tabel 3. Penatalaksanaan 10
Tanda-Gejala Tidak ada Non bedah Bedah
Gangguan Bisa diputuskan Amplifikasi, Timpanoplasti
pendengaran jika sekunder dari konvensional atau dengan atau tanpa
hematotimpanum alat bantu dengar rekonstruksi
telinga tengah
Pusing Diharapkan Farmakologi Ablasi labirin atau
resolusi spontan, supresi vestibular seksi saraf
jika tidak ada lesi untuk stadium vestibular pada
vestibular bilateral akut kasus lama
atau sentral
Paralisis fasialis Diharapkan Perawatan suportif Dekompresi atau
rekoveri sempurna mata memperbaiki saraf
pada kasus onset - Terapi fisik jika fasialis
tertunda diduga paralisis Diperhatikan
long-term kebutuhan
- Rehabilitasi perawatan mata
struktural (gold weight atau
dengan teknik tarsorrhaphy)
biofeedback
yang membantu
meningkatkan
fungsi dan

11
menghindari
sinkinesis
Otorea atau Resolusi spontan Elevasi HOB, Digunakan hanya
rinorea (cairan pada > 90% kasus drainase lumbal setelah 2 minggu
serebrospinal) dan gagal dengan
perawatan
konservatif
Indikasi;
- Kebocoran
persisten
- Meningitis
rekuren
- Pneumosefalus
persisten

Prinsip Penatalaksanaan:
Menstabilkan keadaan neurologis dan keadaan yang mengancam jiwa,
observasi, pemberian antibiotika. Operasi diindikasikan pada keadaan perforasi
membran timpani yang menetap, gangguan pendengaran konduktif, parese fasialis
dan kebocoran LCS yang menetap 12.

1. Gangguan pendengaran
Lebih dari separuh pasien dengan fraktur temporal mengalami gangguan
pendengaran dengan beberapa tingkat. Jenis dan tingkat defisitnya terkait
dengan kekuatan cedera dan lokasi fraktur. Evaluasi audiometri awal sering
akan menunjukkan CHL sekunder untuk hemotympanum. Oleh karena itu
disarankan bahwa audiogram harus diulang sekitar 1-2 bulan setelah cedera
untuk memungkinkan hemotympanum dan efusi telinga tengah untuk selesai.
Dalam pengelolaan jangka pendek CHL, Ho dan Makishima (2010) paling
suka menunggu untuk menentukan apakah gangguan akan menghilang secara
spontan. Namun, jika sebelumnya intervensi neurootologic direncanakan
(misal: dekompresi saraf fasialis, perbaikan kebocoran cairan serebrospinal),

12
ossiculoplasty cocok digunakan secara bersamaan untuk eksplorasi. Untuk
pasien yang mengalami CHL persisten setelah penyembuhan akut.
Pasien yang mengalami SNHL ringan sampai sedang, biasanya diobati
dengan amplifikasi alat bantu dengar standar. Untuk SNHL unilateral yang
parah, alat bantu dengar bone anchored telah menunjukkan dengan hasil yang
baik. Implantasi koklea juga telah terbukti memiliki manfaat dalam mengobati
pasien dengan SNHL bilateral yang parah setelah fraktur tulang temporal.8

2. Cedera saraf fasialis


Cedera saraf fasialis terjadi hampir 15-20% pada fraktur longitudinal dan
50% pada fraktur transversal. Menurut konsensus umum, pembedahan tidak
diperlukan pada pasien 1) didokumentasikan fungsi saraf fasialis yang normal
setelah cedera terlepas dari perkembangannya, 2) kelumpuhan tidak lengkap
selama tidak ada perkembangan untuk menyelesaikan kelumpuhan, dan 3)
kurang dari 95% degenerasi oleh ENoG (Electroneurography).
Setelah memutuskan pada eksplorasi saraf fasialis, lokasi tersangka
cedera saraf dan status pendengaran adalah dua faktor kunci dalam
menentukan pendekatan yang tepat. Cedera pada saraf fasialis pada atau di
distal ganglion geniculate dapat didekati melalui prosedur transmastoid. Untuk
pasien yang pendengaran tidak berguna, dapat dilakukan pendekatan
transmastoid-translabirintin. Untuk pasien dengan pendengaran utuh,
pendekatan transmastoid-supralabrinitin atau pendekatan fossa kranial tengah
dianggap 8

3. Otorea
Otorea pada fraktur tulang temporal biasanya terjadi dalam beberapa
menit atau juga dapat lambat jika mengalir melalui nasofaring. Manajemen
dimulai dengan pengukuran konservatif meliputi elevasi kepala, istirahat di
tempat tidur ddengan elevasi kepala, pencahar, menghindari bersin atau
mengedan, dan pada pasien tertentu dilakukan penempatan lumbar drain.
Resolusi spontan dengan menajemen konservatif terjadi pada 95-100% pasien8

13
Penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial, meskipun dengan
masih terjadi kebocoran lebih dari 7 hari telah berkorelasi dengan insiden
meningitis yang lebih tinggi. Perbaikan dengan bedah direkomendasikan untuk
kasus-kasus yang bertahan 7-10 hari setelah cedera. Karena perbaikan bedah
dengan cara pendekatan mastoidektomi sendiri dapat tidak memadai jika ada
cacat tegmen ganda, pendekatan fosa tengah sendiri atau dalam kombinasi
dengan pendekatan transmastoid harus dipertimbangkan dalam banyak kasus 8

4. Cedera vaskular
Cedera carotis terjadi 1-4% pada trauma tulang temporal. Untuk
mengetahui fraktur kanal karotis, dilakukan CT tulang temporal dan CT
maksilofasial8

5. Vertigo
Biasanya self-limiting dan membaik dalam 6-12 bulan dari adaptasi
sentral. Pasien dengan rasa penuh di telinga, tinitus, kehilangan pendengaran
yang fluktuatif dan vertigo sama dengan pasien dengan Meniere’s disease.
Episode vertigo utamanya berhubungan dengan BPPV (Benign Positional
Paroxysmal Vertigo). Ini disebabkan oleh trauma otokonia yang tidak pada
tempatnya dari vestibuler ke dalam ampula kanalis semisirkularis posterior.
Penatalaksanaan BBPV meliputi rehabilitasi standar dan maneuver reposisi8

6. Komplikasi lainnya
Beberapa dari komplikasi lambat yang jarang meliputi meningokel,
ensefalokel, meningitis, dan kolesteatoma. Penatalaksanaan yang sering adalah
pembedahan untuk mencegah perkembangan komplikasi intrakranial lebih
lanjut8

7. Tinitus
Cedera menyebabkan kerusakan sistem vestibule-koklearis juga labirin
perifer – disebut konkusio labirin – atau pada struktur sentral. Peranan dari
masing-masing pola kerusakan keseluruhan mungkin tergantung pada

14
mobilitas kepala saat terjadinya cedera – konkusio labirin mengikuti pukulan
terhadap kepala yang terfiksasi dan kerusakan sentral menjadi lebih umum
terjadi ketika mobilitas kepala secara lebih keras mengalami akselerasi (atau
deselerasi). Memukul kepala yang tetap immobile menyebabkan gelombang
tekanan melalui dasar tengkorak dan gerakan yang berlebihan dari lempeng
kaki stapes karena inersia tulang pendengaran. Perubahan koklea yang
disebabkan oleh mekanisme ini merupakan kerusakan organ korti, mirip
dengan yang disebabkan oleh noise damage.
Percepatan atau perlambatan dari kepala menyebabkan otak untuk
bergerak relatif terhadap tengkorak, karena inersianya, sering dengan gerakan
berputar. Dampak terhadap penyimpangan di dasar tengkorak ini menyebabkan
memar pada lobus frontal dan temporal; putaran batang otak menyebabkan
kerusakan; dan nervus VIII mungkin mengalami regangan atau robek1

15
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur tulang temporal terjadi pada sekitar 14-22% dari semua cedera
tengkorak. Sebagian besar patah tulang unilateral, dan fraktur bilateral dilaporkan
dari 9% menjadi 20%. Anak-anak mencapai 8-22% pasien dengan fraktur tulang
temporal.
Tulang temporal terdiri dari lima komponen yaitu tulang skuamosa, timpani,
styloid, mastoid, dan petrosus. Pars petrosus merupakan bagian dari tulang
temporal yang berbentuk piramid, terletak di dasar tulang tengkorak dan diantara
tulang sphenoid dan oksipital. Pada pemeriksaan tampak bagian-bagian dari pars
petrosa yang terdiri dari basis, apex, tiga permukaan, dan berisi bagian dari organ
pendengaran.
Fraktur tulang temporal diklasifikasikan menjadi fraktur longitudinal dan
fraktur transversal dan fraktur oblique.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis selain dari gejala klinis
dapat dilakukan pemerikssan penunjang dengan pemeriksaan radiologi antara lain
foto polos, CT-Scan, MRI, Nuclear imaging, angigrafi.
Komplikasi fraktur tulang temporal antara lain penurunan pendengaran,
kelumpuhan saraf wajah dan kebocoran cairan serebrospinal, fraktur kanalis
karotis, vertigo.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Tomoko Makishima, MD, PhD. 2010. Temporal Bone Fracture. Grand


Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology
2. Alpen Patel,M.D. 2010. Management of Temporal Bone Trauma,
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction Volume 3:105–113. Copyright#
2010 by Thieme Medical Publishers, Inc., 333 Seventh Avenue, New York, ,
USA.Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery, Towson
Medical Center
3. Zamzil Amin Asha’ari. 2008. Original article: Head Injury with Temporal
Bone Fracture: One Year Review of Case Incidence, Causes, Clinical
Features and Outcome, Department of Otorhinolaryngology-Head and
Neck Surgery, Kulliyyah of Medicine, International Islamic University
Malaysia, Jalan Hospital, 25100 Kuantan, Pahang, Malaysia.
4. Myrian Marajó Dal Secchi, Juliana Furno Simões Moraes, Fabrício
Barbosa de Castro. 2011. Fracture of the temporal bone in patients with
traumatic brain injury, Brotherhood of Santa Casa of Mercy of Santos.
Santos / SP - Brazil.
5. Yan Edward, Al Hafiz. 2008. Terapi Dekompresi pada Parese Saraf
Fasialis Akibat Fraktur Tulang Temporal, Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang
6. Gray’s anatomy of the Human Body. 2012. The Temporal Bone. Available
from : [accesed July 27 2011]
7. Antonio Riera March, MD, FAC. 2012. Temporal Bone Fracture
Treatment & Management, Department of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery, University of Puerto Rico School of Medicine
8. Richard J Woodcock Jr, MD. 2012. Temporal Bone Fracture Imaging.
Consulting Radiologist, Atlanta Radiology Consultants, LLC; Consulting
Radiologist and MRI Director, St Joseph's Hospital. Coauthor Sarah
Connell, MD., Peter C Belafsky, MD, MPH, PhD Assistant Professor,

17
Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of
Miami, Jackson Memorial Hospital
9. Mariam I. Saadia-Redleaf. 2011. Bilateral Clinical Pathology of The
temporal. Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery. The
University of illinois at Chicago.
10. Stewart C. Little, MD; Bradley W. Kesser, MD. 2006. Original Article:
Radiographic Classification of Temporal Bone Fracture, Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;132(12):1300-1304.
doi:10.1001/archotol.132.12.1300
11. Ling, Francis T. K. 2001. Middle Ear and Temporal Bone Trauma.
Available from : http://drfling.hyperphp.com/Notes/Ch%20139%20-
%20Middle%20Ear%20and%20Temporal%20Bone%20Trauma.pdf
[ accesed : June 25 2012]

12. Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008. Buku
Acuan Modul Telinga Trauma. Edisi I.

18

Anda mungkin juga menyukai