PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Gambar dua sisi tulang temporal pada tulang tengkorak manusia.
(A) Dilihat dari sisi anterior (B) Dilihat dari sisi Lateral, (C) dilihat
dari inferior, (D) Dilihat dari bagian dasar tulang tengkorak.2
2
Gambar 2. Gambar tulang temporal kiri dilihat dari sisi lateral. Tulang skuamosa, styloid,
dan mastoid yang terlihat. Garis bagian tympani, meatus akustikus eksternus dan tulang
petrous adalah struktur interior dan tidak terlihat dari pandangan lateral.
3
2.2 Klasifikasi
Fraktur tulang temporal dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif
terhadap sumbu panjang tulang petrosa, yaitu7:
a. Fraktur longitudinal
b. Fraktur tranversal
c. Fraktur oblik
4
Gambar 3. Gambaran fraktur longitudinal 9
Fraktur ini sering terjadi pada pasien dengan cedera yang parah dan
kematian dari pukulan itu sendiri dapat terjadi cepat. Cedera ini sering diikuti
dengan gangguan pendengaran sensorineural yang parah, dan dapat disebabkan
5
karena kerusakan fungsi vestibular. Kerusakan ini berhubungan dengan cedera
benturan langsung terhadap telinga dalam atau berhubungan dengan fraktur
yang melalui kapsul otik. Ini diperkirakan bahwa paralisis fasialis, karena
gangguan saraf fasialis, dapat terjadi pada 50% kasus, tercatat cepat terjadi dan
mungkin permanen jika tidak dioperasi.
Pada fraktur tranversal, sering kali terjadi perdarahan di telinga tengah,
namun karena membrane timpani intak, terjadi hematotimpanum yang dapat
dilihat tanpa ada perdarahan yang keluar. Otorea cairan serebrospinal umum
terjadi dan paling sering dideteksi dengan aliran cairan jernih dari tuba
eustachius ke dalam nasofaring9.
6
sensorineural dan berkaitan dengan fistula perilimfatik dan hubungan telinga
tengah dan telinga dalam akibat fraktur.
7
Tabel 1. Perbedaan Fraktur Longitudinal dan Fraktur Transversal7
Tipe Longitudinal Transversal
Lokasi Melalui garis sutura Melibatkan kapsul otik atau
petroskuamosa dan berlanjut kanalis auditori internal
ke arah anterior menuju
kapsul otik
Melalui superior CAE,
telinga tengah, aksis panjang
dari pyramid petrosa
Frekuensi 70-80% 20-30%
Gangguan Konduktif Sensorineural (biasanya
pendengaran parah)
Paralisis n. fasialis 15-20% 50%
Cedera pada ganglion
genikulatum atau pada
bagian horizontal saraf
Derajat trauma Rendah hingga tinggi Biasanya tinggi
Trauma tumpul lateral Trauma oksipital atau frontal
Komplikasi - Kerusakan osikular - Ruptur kapsul otik dan
(umum) kanalis auditori internal
- CHL - SNHL
- Vertigo (jarang) - Vertigo (umum)
- Perdarahan di kanalis - Kebocoran cairan
auditori eksternal serebrospinal (umum)
- Kebocoran cairan
serebrospinal (kadang)
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap
piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur
oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat
dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi
8
pada fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada
fraktur transversal11.
2.3 Diagnosis
2.3.1 Anamnesis
1. Gangguan pendengaran
- Lebih dari 40% kasus mengalami gangguan pendengaran
- Fraktur transversal SNHL yang parah
- Fraktur longitudinal CHL dan gangguan pendengaran campuran
9
- Keterlibatan labirin atau koklea SNHL disertai vertigo
2. Pusing
- Sering merupakan gejala lambat
3. Kelemahan fasialis
- Sering terjadi
- Penting dalam memutuskan onset gejala
- Cepat saraf terputus memerlukan pembedahan
- Lambat saraf mengalami oedema atau inflamasi
- Parese atau paralisis onset lambat sering terjadi dan dapat tertunda selama
beberapa hari atau minggu
- Area cedera saraf fasialis:
- Fraktur longitudinal area perigenikulatum
- Fraktur transversal segmen labirin
- Cedera tusuk ekstratemporal, bagian stilomastoid, segmen vertikal
saraf
10
- Kebocoran plasma: otorea dan rinorea
2.4 Penatalaksanaan
Tabel 3. Penatalaksanaan 10
Tanda-Gejala Tidak ada Non bedah Bedah
Gangguan Bisa diputuskan Amplifikasi, Timpanoplasti
pendengaran jika sekunder dari konvensional atau dengan atau tanpa
hematotimpanum alat bantu dengar rekonstruksi
telinga tengah
Pusing Diharapkan Farmakologi Ablasi labirin atau
resolusi spontan, supresi vestibular seksi saraf
jika tidak ada lesi untuk stadium vestibular pada
vestibular bilateral akut kasus lama
atau sentral
Paralisis fasialis Diharapkan Perawatan suportif Dekompresi atau
rekoveri sempurna mata memperbaiki saraf
pada kasus onset - Terapi fisik jika fasialis
tertunda diduga paralisis Diperhatikan
long-term kebutuhan
- Rehabilitasi perawatan mata
struktural (gold weight atau
dengan teknik tarsorrhaphy)
biofeedback
yang membantu
meningkatkan
fungsi dan
11
menghindari
sinkinesis
Otorea atau Resolusi spontan Elevasi HOB, Digunakan hanya
rinorea (cairan pada > 90% kasus drainase lumbal setelah 2 minggu
serebrospinal) dan gagal dengan
perawatan
konservatif
Indikasi;
- Kebocoran
persisten
- Meningitis
rekuren
- Pneumosefalus
persisten
Prinsip Penatalaksanaan:
Menstabilkan keadaan neurologis dan keadaan yang mengancam jiwa,
observasi, pemberian antibiotika. Operasi diindikasikan pada keadaan perforasi
membran timpani yang menetap, gangguan pendengaran konduktif, parese fasialis
dan kebocoran LCS yang menetap 12.
1. Gangguan pendengaran
Lebih dari separuh pasien dengan fraktur temporal mengalami gangguan
pendengaran dengan beberapa tingkat. Jenis dan tingkat defisitnya terkait
dengan kekuatan cedera dan lokasi fraktur. Evaluasi audiometri awal sering
akan menunjukkan CHL sekunder untuk hemotympanum. Oleh karena itu
disarankan bahwa audiogram harus diulang sekitar 1-2 bulan setelah cedera
untuk memungkinkan hemotympanum dan efusi telinga tengah untuk selesai.
Dalam pengelolaan jangka pendek CHL, Ho dan Makishima (2010) paling
suka menunggu untuk menentukan apakah gangguan akan menghilang secara
spontan. Namun, jika sebelumnya intervensi neurootologic direncanakan
(misal: dekompresi saraf fasialis, perbaikan kebocoran cairan serebrospinal),
12
ossiculoplasty cocok digunakan secara bersamaan untuk eksplorasi. Untuk
pasien yang mengalami CHL persisten setelah penyembuhan akut.
Pasien yang mengalami SNHL ringan sampai sedang, biasanya diobati
dengan amplifikasi alat bantu dengar standar. Untuk SNHL unilateral yang
parah, alat bantu dengar bone anchored telah menunjukkan dengan hasil yang
baik. Implantasi koklea juga telah terbukti memiliki manfaat dalam mengobati
pasien dengan SNHL bilateral yang parah setelah fraktur tulang temporal.8
3. Otorea
Otorea pada fraktur tulang temporal biasanya terjadi dalam beberapa
menit atau juga dapat lambat jika mengalir melalui nasofaring. Manajemen
dimulai dengan pengukuran konservatif meliputi elevasi kepala, istirahat di
tempat tidur ddengan elevasi kepala, pencahar, menghindari bersin atau
mengedan, dan pada pasien tertentu dilakukan penempatan lumbar drain.
Resolusi spontan dengan menajemen konservatif terjadi pada 95-100% pasien8
13
Penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial, meskipun dengan
masih terjadi kebocoran lebih dari 7 hari telah berkorelasi dengan insiden
meningitis yang lebih tinggi. Perbaikan dengan bedah direkomendasikan untuk
kasus-kasus yang bertahan 7-10 hari setelah cedera. Karena perbaikan bedah
dengan cara pendekatan mastoidektomi sendiri dapat tidak memadai jika ada
cacat tegmen ganda, pendekatan fosa tengah sendiri atau dalam kombinasi
dengan pendekatan transmastoid harus dipertimbangkan dalam banyak kasus 8
4. Cedera vaskular
Cedera carotis terjadi 1-4% pada trauma tulang temporal. Untuk
mengetahui fraktur kanal karotis, dilakukan CT tulang temporal dan CT
maksilofasial8
5. Vertigo
Biasanya self-limiting dan membaik dalam 6-12 bulan dari adaptasi
sentral. Pasien dengan rasa penuh di telinga, tinitus, kehilangan pendengaran
yang fluktuatif dan vertigo sama dengan pasien dengan Meniere’s disease.
Episode vertigo utamanya berhubungan dengan BPPV (Benign Positional
Paroxysmal Vertigo). Ini disebabkan oleh trauma otokonia yang tidak pada
tempatnya dari vestibuler ke dalam ampula kanalis semisirkularis posterior.
Penatalaksanaan BBPV meliputi rehabilitasi standar dan maneuver reposisi8
6. Komplikasi lainnya
Beberapa dari komplikasi lambat yang jarang meliputi meningokel,
ensefalokel, meningitis, dan kolesteatoma. Penatalaksanaan yang sering adalah
pembedahan untuk mencegah perkembangan komplikasi intrakranial lebih
lanjut8
7. Tinitus
Cedera menyebabkan kerusakan sistem vestibule-koklearis juga labirin
perifer – disebut konkusio labirin – atau pada struktur sentral. Peranan dari
masing-masing pola kerusakan keseluruhan mungkin tergantung pada
14
mobilitas kepala saat terjadinya cedera – konkusio labirin mengikuti pukulan
terhadap kepala yang terfiksasi dan kerusakan sentral menjadi lebih umum
terjadi ketika mobilitas kepala secara lebih keras mengalami akselerasi (atau
deselerasi). Memukul kepala yang tetap immobile menyebabkan gelombang
tekanan melalui dasar tengkorak dan gerakan yang berlebihan dari lempeng
kaki stapes karena inersia tulang pendengaran. Perubahan koklea yang
disebabkan oleh mekanisme ini merupakan kerusakan organ korti, mirip
dengan yang disebabkan oleh noise damage.
Percepatan atau perlambatan dari kepala menyebabkan otak untuk
bergerak relatif terhadap tengkorak, karena inersianya, sering dengan gerakan
berputar. Dampak terhadap penyimpangan di dasar tengkorak ini menyebabkan
memar pada lobus frontal dan temporal; putaran batang otak menyebabkan
kerusakan; dan nervus VIII mungkin mengalami regangan atau robek1
15
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur tulang temporal terjadi pada sekitar 14-22% dari semua cedera
tengkorak. Sebagian besar patah tulang unilateral, dan fraktur bilateral dilaporkan
dari 9% menjadi 20%. Anak-anak mencapai 8-22% pasien dengan fraktur tulang
temporal.
Tulang temporal terdiri dari lima komponen yaitu tulang skuamosa, timpani,
styloid, mastoid, dan petrosus. Pars petrosus merupakan bagian dari tulang
temporal yang berbentuk piramid, terletak di dasar tulang tengkorak dan diantara
tulang sphenoid dan oksipital. Pada pemeriksaan tampak bagian-bagian dari pars
petrosa yang terdiri dari basis, apex, tiga permukaan, dan berisi bagian dari organ
pendengaran.
Fraktur tulang temporal diklasifikasikan menjadi fraktur longitudinal dan
fraktur transversal dan fraktur oblique.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis selain dari gejala klinis
dapat dilakukan pemerikssan penunjang dengan pemeriksaan radiologi antara lain
foto polos, CT-Scan, MRI, Nuclear imaging, angigrafi.
Komplikasi fraktur tulang temporal antara lain penurunan pendengaran,
kelumpuhan saraf wajah dan kebocoran cairan serebrospinal, fraktur kanalis
karotis, vertigo.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of
Miami, Jackson Memorial Hospital
9. Mariam I. Saadia-Redleaf. 2011. Bilateral Clinical Pathology of The
temporal. Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery. The
University of illinois at Chicago.
10. Stewart C. Little, MD; Bradley W. Kesser, MD. 2006. Original Article:
Radiographic Classification of Temporal Bone Fracture, Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;132(12):1300-1304.
doi:10.1001/archotol.132.12.1300
11. Ling, Francis T. K. 2001. Middle Ear and Temporal Bone Trauma.
Available from : http://drfling.hyperphp.com/Notes/Ch%20139%20-
%20Middle%20Ear%20and%20Temporal%20Bone%20Trauma.pdf
[ accesed : June 25 2012]
12. Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008. Buku
Acuan Modul Telinga Trauma. Edisi I.
18