Anda di halaman 1dari 17

LUSY NOVITASARI

1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 1

SKENARIO 2
BLOK KEGAWATDARURATAN
FK YARSI 2014/2015

1. MM Fractur Basis Cranii
2. MM Perdarahan Intracranial
3. MM Trauma Kepala
4. MM Respon Cushing

TRAUMA KEPALA
Seorang laki-laki, 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas 4 jam yang lalu. Ia mengendarai motor tanpa menggunakan helm, lalu tertabrak mobil,
kemudian terpental dan jatuh. Menurut pengantar saat ia jatuh pingsan, kemudian sempat sadar sekitar
setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah dan kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan
hidung dan telinga sisi kanan.
Tanda vital:
Airway: terdengar bunyi snoring
Breathing: frekuensi napas terderngar 12x/menit
Circulation: tekanan darah 150/100 mmHg frekuensi nadi 50x/menit

Region wajah
Trauma didaerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal rhinorrhea
mobillitas maxilla krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Status neurologis
GCS E1 M3 V1 pupil: bulat, anisokor, diameter 3mm/5mm, RCL +/- RCTL +/-, kesan hemiparesis
sinistra, reflex patologis babinsky -/+.






LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 2

1. Fraktur basis cranii
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal.
Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi
pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar.
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya tidak
diperlukan intervensi.
Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan pada scalp.
Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya
belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.
Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan
komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).
Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan
langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi
bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar
gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi
cranium.

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya, cedera yang
fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi
oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak.
Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak mEnjadi bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji
coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur
pada tulang tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala.
Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis, kebocoran cairan
serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan (parenkim) otak. Angka kejadian fraktur
linear mencapai 80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat
meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi
melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan
tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi
ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang
besar, dan dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi
indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 3


INSIDEN
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan
mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika
meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata
(gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk.
Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera
medulla spinalis setiap tahunnya.

Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang
merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal
sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%.
Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah
lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang
tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur
linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat.

ANATOMI
Bagian cranium yang membungkus otak (neurocranium / brain box) menutupi otak, labirin, dan telinga
tengah. and middle ear. Tabula eksterna dan tabula interna dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 4

tulang rawan (diplo). Tulang-tulang yang membentuk atap cranium (calvaria) pada remaja dan orang
dewasa terhubung oleh sutura dan kartilago (synchondroses) dengan kaku. Sutura coronaria memanjang
melintasi sepertiga frontal atap cranium. Sutura sagitalis berada pada garis tengah, memanjang ke
belakang dari sutura coronaria dan bercabang di occipital untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah
perhubungan os frontal, parietal, temporal, dan sphenoidal disebut pterion, di bawah pterion terdapat
percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis cranii membentuk lantai cavitas cranii, yang
dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior.
1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya dibentuk oleh os
frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa
ini menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior
dan media dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh jugum
sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian depan, alae minor os sphenoidale
yang dengan bersama-sama pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan struktur-struktur di
midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars sphenoidal.
2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah lateral. Di bagian
anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di
belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars
squamosa ossis temporalis, os parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk permukaan
basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat
tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars anterior dinding lateral
fossa media dibentuk oleh alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars
squamosa os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid air cells serta kanalis
auditorius eksternus. Pyramid petrous mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran
(malleus, incus, dan stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi
satu sama lain di lateral oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae. Fossa posterior
adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk cerebellum, pons, dan medulla. Di
bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae yang melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian
anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di
posterior oleh os occipital. Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital yaitu
foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus interna terdapat pada bagian
posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral foramen
magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan ke anterior dari sinus sagitalis
superior dan melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus sigmoideus. Jenis penyebab dan pola
fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal yang penting dalam menentukan cedera yang ada.
Tulang tengkorak menebal di daerah glabella, protuberansia eksternal occipital, processus mastoideus,
dan processus angular eksternal dan disatukan oleh 3 arches pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang
tengkorak disusun oleh tulang cancellous (diplo) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina
externa (1.5 mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diplo tidak ditemukan pada bagian tulang tengkorak
yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis dan rentan terhadap fraktur.
PATOFISIOLOGI
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :
fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 5

fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang tengkorak
fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini dapat
disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya disertai dengan
robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur
temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).
a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os temporal, atap
dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke
posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau
pada tulang mastoid secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth, berakhir di fossa
media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal. Masih ada
sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi
menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang
melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi ke arah
aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi
tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur
bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur kominutif
condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.
b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi fraktur
basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae
dan membran tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang dipaksakan dan
lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal,
transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila
mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.




LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 6

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon eyes),
ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari
kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII
dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian
tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling
menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang
optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos
dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan
daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi
yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan
adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan
untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-
proses osteolitik atau osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium.
Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna
dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama
untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa
dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT
scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di
dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah
basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF
juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida
yang berperan dalam transport ion Fe.



LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 7




DIAGNOSIS
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama
pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala
dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh.
Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

DIAGNOSA BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau
blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os
zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
Kongenital
Ablasi tumor atau hidrosefalus
Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
Tindakan bedah

PENATALAKSANAAN
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi
nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh pada
pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube
dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman
jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang
paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan
dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS),
fungsi pupil, dan kelemahan ekstremitas.
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 8

Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini menunjukkan
adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan
penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan
kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala
terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan
bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien
dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat
membantu pada paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran
akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi
hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain
adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang
tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.

KOMPLIKASI
Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada fraktur basis cranii dengan
rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran dapat menjadi komplikasi dari
fraktur basis cranii. Fraktur condyler tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang
terjadi. Sebagian besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada dalam keadaan
koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini juga mungkin datang dengan
gangguan-gangguan nervus cranialis dan hemiplegi atau quadriplegi.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang terkait dengan gangguan
nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan keluhan kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-
otot pita suara, pallatum molle (curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan
trapezius.
Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga berdampak terhadap nervus IX, X, XI,
dan XII. Meski demikian, paralisis facialis yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari
neurapraxia n.VII dan responsif terhadap steroid dengan prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis
yang komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari transection dari
nervus dengan prognosis buruk.
Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus cranialis lain. Fraktur
ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah
suatu dampak langsung dari fraktur namun akibat regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid
dapat berdampak terhadap nervus III, IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna, dan berpotensi
menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera
caroticus dicurigai terjadi pada kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi.

PROGNOSIS
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis, pembuluh
darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 9

anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang
cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 10

2. Perdarahan Intrakranial
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 11

3. Trauma Kepala
A. DEFINISI
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang
tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi
yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari
lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik
yang trauma tumpul maupun trauma tembus.
B. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat
olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi
menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
GCS 13 - 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
GCS 9 - 12
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 12

Saturasi oksigen > 90 %
Tekanan darah systole > 100 mmHg
Lama kejadian < 8 jam
Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal
diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka
matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy
ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi
intrakranial.


b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur
didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis
lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis
mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea,
liquorrhea, brill hematom, batles sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan,
2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan
yang tidak menyebabkan sembelit.
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 13

2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (consul
ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke
kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat
berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera
tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan
sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma
berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin
terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-
sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi
adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan
timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia,
meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen media atau
cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,
occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh
darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak
ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan
corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK =
Tekanan Intra Kranial).
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 14

c) 0Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam
duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan
dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan
pecahnya pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya
vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak
menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis
haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada
jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema
otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.
C. ETIOLOGI
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala adalah
karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :

a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
2. Trauma akibat persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 15

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga
(otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-
gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60
ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan
otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi
dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu
bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila
kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan
LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 16

cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang
cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit
sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg).
Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia,
dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori
cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan
dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak
sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera
akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada
seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta
isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar
kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga
banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga
akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan
mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi
hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah
yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar
pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan
muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).

LUSY NOVITASARI
1102011144
EMERGENCY TRAUMA KEPALA Page 17

4. Respon cushing

Anda mungkin juga menyukai